BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan - TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN VERSTEK DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi Kasusdi Pengadilan Agama Cilacap) - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

  Perkawinan sebagaimana dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu, ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagaimana suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut selanjutnya menegaskan bahwa perkawinanadalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya (Ridhwan H.M. Indra, 1994: 2).

  Pengertian perkawinan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di atas, apabila diperinci terdapat 3 (tiga) unsur penting: a.

  Perkawinan ialah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.

  b.

  Ikatan lahir batin itu di tunjukkan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal dan sejahtera.

  c.

  Ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Saleh K. Wantjik, 1987: 14).

  Dengan ikatan “lahir-batin” dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya “ikatan lahir” atau “ikatan batin” saja tetapi harus keduannya. Dalam hal ini suatu “ikatan lahir” adalah ikatan yang dapat dilihat.Mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara Sedangkan “ikatan batin” adalah merupakan hubungan ikatanya tidak dapat dilihat, walapun tidak nyata, tapi ikatan harus ada,karena tanpa adanya ikatan batin dan ikatan lahir akan menjadi rapuh (Salim HS, 2002: 79-80).

  Mengenai pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Hukum Islam (KHI) tidak ada perbedaan yang signifikan. Pengertian Perkawinan menurut Hukum Islam adalah sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Bahwa setiap perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) intinya sama yaitu membentuk rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warahmah (Indra. H.M. Ridhwan, 1994: 3).

2. Tujuan Perkawinan

  Tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan- ketentuan yang telah diatur oleh Syari’ah (Ali Afandi, 1987: 7).

  Rumusan tujuan perkawinan di atas dapat diperinci sebagai berikut:

  a) Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat

  b) Mewujudkan sesuatu keluarga dengan dasar cinta kasih.

  c) Memperoleh keturunan yang sah.

  d) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

  e) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggungjawab kepada keluarga

  (Soemiyati, 1982: 12-13).

3. Kedudukan Hukum Perkawinan dalam Agama Islam

  Hukum Perkawinan dalam Agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang Perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci.Hukum Perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja melainkan juga mengatur segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan.Misalnya, hak-hak dan kewajiban suami-istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara- cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya perkawinan dan lain-lain (Helmy Thohir, 2008: 3).

  Adapun pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia, khusunya bagi orang-orang Islam adalah sebagai berikut: a.

  Dengan melakukan perkawinan yang sah dapat terlaksana pergaulan hidup manusia, baik secara individual maupun kelompok antara pria dan wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat di antara makhluk-makhluk b.

  Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk satu rumah tangga dimana kehidupan dalam rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan tentram serta kekal dengan disertai rasa kasih sayang antara suami dan istri.

  c.

  Dengan melaksanakan perkawinan yang sah, dapat diharapkan memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dlama keluarga dan keturunannya dapat berlangsung terus secara jelas dan bersih.

  d.

  Dengan terjadinya perkawinan maka timbullah sebuah keluarga yang merupakan inti dari pada hidup bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan timbulnya suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam suasanana damai.

  e.

  Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Al- Qur’an dan Sunnah Rasul, adalah merupakan salah satu ibadah bagi orang Islam (Nur Muhaimin. 1986: 5-6).

4. Asas-asas dan Prinsip-prinsip Perkawinan

  Menurut Soemiyati (1982: 4-5), menyebutkan bahwa dalam ajaran Islam ada beberapa prisip-prisip dalam perkawinan, yaitu: a) Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranya ialah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.

  Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.

  c) Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan- persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.

  d) Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga/rumah tangga yang tentram, damai dan kekal untuk selama- lamanya.

  e) Hak dan kewajiban suami-istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggungjawab pimpinan keluarga ada pada suami.

  Adapun prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan menurut Undang- undang Perkawinan, disebutkan di dalam penjelasan umumnya sebagai berikut:

  a) Tujuan perkawinan dalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. b) Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

  c) Undang-undang ini mengaut asas monogami, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.

  Perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

  d) Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-istri itu harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhirnya pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami- istri yang masih di bawah umur. Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita. e) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus f)

  Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-istri (Soemiyati, 1982: 5-7).

5. Syarat-syarat Perkawinan

  Menurut Ali Afandi (1987: 27) menjelaskan bahwa mengenai syarat- syarat perkawinan, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

1. Harus aja persetujuan dari kedua calon mempelai.

  2. Adanya ijin dari kedua orangtua atau wali (Pasal 6 ayat 2) ijin ini hanya diperlukan bagi calon mempelai yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun.

  3. Apabila kedua orangtua meninggal duania, maka yang berhak memberi ijin sesuai dengan ketentuan (Pasal 6 ayat 3, 4 dan 5).

  4. Apabila salah seorang dari kedua orangtua dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya karena disebabkan: a) Karena di bawah kuratele.

  b) Sakit ingatan.

  c) Tempat tinggalnya tidak diketahui, maka ijin cukup diberikan oleh salah satu pihak saja yang mampu menyatakan kehendaknya (Pasal

  5. Apabila kedua orangtua telah meninggal dunia atau kedua-duanya tidak mampu menyatakan kehendanya maka, yang berhak memberi ijin adalah wali atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup (Pasal 6 ayat 4).

  6. Jika ada perbedaan pendapat antara mereka yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal 6 ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak ada menyatakan pendapatnya, pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang berhak melaksanakan perkawinan yang berhak memberi ijin.

  7. Batas umur untuk melaksanakan perkawinan adalah sekurang- kurangnya 19 (sebilan belas) tahun bagi calon suami dan 16 (enam belas) tahun bagi calon isteri (Pasal 7 ayat 1).

6. Larangan Perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan

  Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

  Pasal 8 menyebutkan larangan perkawinan, sebagai berikut:

a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah.

  b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara nenenknya.

c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, ibu/bapak tiri.

  Berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan, dan saudara susuan dan bibi atau paman susuan.

  e) Berhubungan saudara dengan istri atau sebgai bibi atau keponakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

  f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin (Soemiyati, 1982: 38).

  Menurut Ridwan H.M. Indra (1994: 24-25) menyebutkan bahwa larangan perkawinan di dalam lingkungan kekeluargaan yang sangat dekat, terdapat di mana-mana dan di Indonesia larangan tersebut sedikit banyak mengambil larangan yang terdapat pada Hukum Islam dan Hukum Barat dari Burgelijk Wetboek. Hal ini menurut Al-

  Qur’an Surat An-Nisa ayat 22, 23, dan 24 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi orang yang beragama Islam di larang karena: 1.

  Pertalian Nasab a.

  Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya.

  b.

  Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.

  c.

  Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.

  2. Pertalian Kerabat Semenda a.

  Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya.

  Mengenai pengertian perceraian di dalam perundang-undangan tidak disebutkan secara jelas sebagaimana pengertian perkawinan. Dalam

  Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

  e.

  Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.

  d.

  Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan ke bawah.

  c.

  Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.

  b.

  Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.

  3. Pertalian Sesusuan a.

  Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.

  d.

  aldukhul .

  Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobal

  b.

B. Tinjauan Umum tentang Perceraian

1.Pengertian Perceraian

  ketentuan Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya disebutkan bahwa perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Alasan dari perceraian ini adanya tujuan perkawinan sebagaimana tercantum pada Undang-undang Nomor 1 Tahun Perceraian hendaknya menjadi upaya terakhir yang ditempuh jika upaya- upaya lain yang ditempuh sebelumnya untuk mengusahakan keutuhan ikatan perkawinan tidak berhasil (Saleh K.Wantjik, 1987: 31).

  Putusnya perkawinan menurut pendapat lain dari jurnal internasional:

  Futhermore there are several causes of marital breakdown. That the rise of divorce was partly prompted by increasing survival rates, which placed a greater strain on the ability of couples to manage marital stress or maintain marital contenment (Frank F. Furstenberg, 1994: 30).

  Artinya: Selanjutnya ada beberapa penyebab putusnya perkawinan. Bahwa munculnya perceraian sebagian dipicu oleh, meningkatnya tingkat kelangsungan hidup, yang menempatkan ketegangan yang lebih besar pada kemampuan pasangan untuk mengelola mempertahankan perkawinan atau menekan perkawinan (Frank F. Furstenberg, 1994: 30).

  Untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami-istri tidak akan hidup rukun sebagai suami-istri. Perceraian hanya mungkin dengan salah satu alasan seperti disebutkan dalam Undang- undang perkawinan yang harus dilakukan di depan sidang pengadilan (Hamid Zahri, 1977: 406-415).

2. Alasan-alasan Perceraian

  Undang-undang Nomor

  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengisyaratkan pula pengertian perceraian. Kalaupun itu akan ditempuh maka harus di penuhi syarat-syaratnya sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta peraturan pelaksanaannya. Perceraian hendaknya menjadi upaya terakhir yang di tempuh jika upaya-upaya lain yang di tempuh sebelumnya untuk mengusahakan keutuhan ikatan perkawinan tidak berhasil (Soemiyati, 1982: 129).

  Untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak akan hidup rukun sebagai suami istri. Perceraian hnya mungkin dengan salah satu alasan seperti disebutkan dalam Undang- undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya, yang harus dilakukan di depan sidang pengadilan.

  Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan Pasal 39 Ayat (2) menyatakan bahwa,

  “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri”. Lebih lanjutnya, pada bagian penjelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 Ayat

  (2)tersebut dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 dinyatakan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian sebagai berikut: a.

  Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, dan b.

  Salah satu pihak meninggal dunia atau meninggalkanselama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain tersebut dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar kemampuannya.

  c.

  Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat, setelah perkawinan berlangsung.

  d.

  Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

  e.

  Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

  f.

  Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

  Alasan cerai diatas berlaku secara umum bagi umat Islam dan umat yang bukan beragama Islam. Sementara itu, khusus bagi umat Islam, alasan cerai juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116. Namun, intinya sama dengan ketentuan yang dinyatakan dalam Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 ayat 2 (dua) dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 tersebut. Dalam KHI Pasal 11, terdapatalasan cerai tambahan sebagai berikut: g.

  Suami melanggar taklik talak.

  h.

  Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam Selain hal diatas ada beberapa hallagi yang dapat memicu perceraian, sebagai berikut: a.

  Hilangnya kesetiaan oleh kedua pasangan.

  b.

  Kurangnya kepercayaan dalam keluarga.

  c.

  Hubungan seksual yang hambar.

  d.

  Masalah keuangan/perekonomian dalam keluarga, karena dalam menjalin sebuah keluarga harus membutuhkan biaya yang besar, jadi jika keuangan yang tidak setabil bisa bikin keluarga itu pecah.

  e.

  Pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, sering sekali pernikahan tidak dilandasi rasa cinta. Dalam hal ini pernikahan yang dilakukan bisanya berada di desa karena, kehidupan di desa hanya memikirkan bahwa jika mempunyai anak perempuan lebih baik dijodohkan. Dengan dijodokan tersebut cumah memiliki pondasi bahwa menyandang setatus yang sah sudah lebih dari cukup. Hal ini dapat memicu perceraian.

  f.

  Tidak memiliki keturunan/anak, karena biasanya dalam sebuah keluarga tidak meliliki/tidak hadirnya seorang anak bisa menjadikan keluarga itu jadi kurang keharmonisannya. kehadiran seorang anak sangat penting karena bisa sebagai hakim disebuah keluarga (Majorang. P. Aditya, dan Purnamasari. F. Intan, 2015: 108-116).

  Menurut pendapat dari jurnal internasional bahwa faktor penyebab putusnya perkawinan yaitu:

  curiosity of why couple divorce. Although figures never tell the reason, form our common sense, we understand that people will not divorce with out a reason. From numerous foreign literatures concerning marriage and family, it stated that the top three common factors that influenced divorce: (1) infidelity, (2) no longer in love, and (3) emotional problem. Others

included drugs problems, sexsual problems, problem with in-law,

communication problems, married too young, job conflict, and so on (Samuel Chan Hsin Chlen and Mohamed Sarif Mustaffa, 2008: 26).

  Artinya: Semua ini telah ditingkatkan rasa ingin tahu kita mengapa pasangan bercerai. Meskipun angka tidak pernah memberitahu alasannya, dari akal sehat kita, kita memahami bahwa orang tidak akan menceraikan tanpa alasan. Dari berbagai literatur asing tentang pernikahan dan keluarga, itu menyatakan bahwa tiga faktor yang mempengaruhi perceraian adalah (1) perselingkuhan (2) tidak lagi cinta dan (3) masalah ekonomi. Lainnya termasuk masalah obat, masalah seksual, masalah dengan hukum, masalah komunikasi, menikah terlalu muda, konflik pekerjaan, dan sebagainya (Samuel Chan Hsin Chlen and Mohamed Sarif Mustaffa, 2008: 26).

3. Putusnya Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam

  Suatu perkawinan tentunya dibangun dengan harapan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, kekal dan abadi sampai akhir hayat.Akan tetapi kenyataannya perkawinan tersebut terkadang tidak perkawinan berakhir di tengah jalan, berakhirnya perkawinan biasanya disebut juga dengan putusanya perkawinan (Helmy Thohir, 2008: 8-9).

  Menurut Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa suatu perkawinan putus, yaitu:

  1. Karena salah satu pihak meninggal dunia.

  2. Putusnya perkawinan karena Perceraian.

  3. Putusnya perkawinan karena putusan Pengadilan Agama.

  Sebab pertama tidak perlu dibahas, karena memang sudah semestinya semua manusia akan meninggal dunia. Sebab kedua diatur dalam Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI)bahwasanya putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Sedangkan sebab yang ketiga diatur dalam Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak(Ridhwan H.M Indra, 1994: 122-123).

4. Cara Mengajukan Gugatan Perceraian

  Pasal 118 H.I.R. menentukan bahwa gugatan harus diajukan dengan surat permintaan yang ditanda tangani oleh pengugat atau wakilnya. Pengertian surat gugatan itu sendiri adalah suatu surat yang diajukan oleh tuntutan hak dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak (Purwosusilo, 2014: 63).

  Suatu surat gugatan harus memuat gambaran yang jelas mengenai duduknya persoalan, dengan kata lain dasar gugatan harus dikemukakan dengan jelas. Dalam hukum acara perdata bagian dari gugatan ini disebut

  

Fundamentum Petendi atau Posita, yang terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu

  bagian yang memuat alasan-alasan berdasarkan keadaan dan bagian yang memuat alasan-alasan yang berdasarkan hukum.

  Dalam gugatan harus pula dilengkapi dengan petitum, yaitu hal-hal apa yang diinginkan atau diminta oleh penggugat agar diputuskan, ditempatkan dan atau diperintahkan oleh hakim. Petitum ini harus lengkap dan jelas, karena bagian dari surat gugatan ini yang terpenting (Nur Muhaimin. 1986: 21).

  Pada prinsipnya semua gugatan harus dibuat secara tertulis, akan tetapi bagi penggugat yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan. Ketua pengadilan dapat menyuruh kepada Hakim untuk mencatat segala sesuatu yang dikemukakan oleh Penggugat, dan gugatan tersebut di tanda tangani oleh Ketua/Hakim yang menerimanya itu berdasarkan ketentuan pasal 120 HIR (Sudikno Mertokusumo. 1988: 34).

  Dilihat dari pihak-pihak yang mengajukan perceraian, perceraian dibagi menjadi 2 (dua), perceraian karena talak dan perceraian karena oleh suami. Apabila seorang suami hendak menceraikan istrinya, jalur hukum yang ditempuh dengan cara mengajukan gugatan permohonan cerai talak ke-Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi kediaman Termohon (istri). Pengecualian dari hal ini: a.

  Gugatan diajukan pada Pengadilan Agama ditempat kediaman pemohon (suami) dalam hal termohon (istri) sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami (pemohon).

  b.

  Gugatan diajukan pada Pengadilan Agama ditempat kediaman pemohon dalam hal termohon bertempat diluar Negeri.

  c.

  Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama Jakarta pusat atau Pengadilan Agama ditempat perkawinan dilangsungkan dalam hal permohonan dan termohon sama-sama bertempat tinggal di luar Negeri (KansilChristine, 2000: 73-78).

  Selanjutnya yaitu perceraian karena gugat yaitu seorang istri menggugat suaminya didepan pengadilan berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Undang-undang yang diajukan di depan pengadilan tempat tinggalnya dengan permintaan agar memeriksa perkaranya dan menjatuhkan putusan perceraian. Berdasarkan Pasal 73 ayat 1 Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang sekarang dirubah menjadi Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama menjelaskan bahwa gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat (istri).

  a.

  Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama tempat kediaman tergugat (suami) apabila istri (pengugat) pergi meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.

  b.

  Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat kediaman tergugat (suami) dalam hal Istri (pengugat) bertempat tinggal diluar negeri.

  c.

  Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat apabila suami istri bertempat tinggal diluar negeri (Pramesti J. A Tri, 2013: 1).

5. Akibat-akibat dari Perceraian

  Akibat-akibat dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri itu kemudian dapat hidup terpisah. Kalau dalam perkawinan itu diperjanjikan, bahwa satu pihak akan mendapat keuntungan dari pihak yang lain, maka

  Pasal 150 dan 151 Kompilasi Hukum Islam (KHI) keuntungan itu tetap harus diberikan, apabila pihak yang lain itu adalah salah dalam perceraian tersebut. Sebaliknya keuntungan itu tidak akan diberikan kepada pihak yang menginginkan keuntungan, apabila pihak yang akan mendapat keuntungan itulah yang salah (Nur Muhaimin, 1986: 24).

  Apabila keuntungan ini tergantung pada meninggalnya pihak yang lain, maka menurut Pasal 153 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pemberian keuntungan ini harus ditangguhkan sampai meninggalnya pihak yang lain itu.Kalau ada tunjangan-tunjangan itu harus dipenuhi dengan tidak salah atau tidak dalam soal perceraian ini (KansilChristine, 2000: 92).

  Menurut Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam (KHI) kalau ada keuntungan yang dijanjikan untuk anak-anak dari kedua belah pihak atau menurut hakim harus diberikan kepada anak-anak itu, maka pemberian keuntungan itu tidak terpengaruh oleh perceraian. Sementara itu anak-anak hanya diperbolehkan menuntut keuntungan tersebut dengan jalan atau dalam hal yang sama, seolah-olah tidak ada perceraian.

  Menurut Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam (KHI) hubungan antara bekas suami dan istri masih ada, apabila pihak yang minta cerai dan kemudian dimenangkan oleh hakim, tidak mempunyai cukup penghasilan yang cukup untuk biaya hidupnya.Dalam hal ini pihak yang dikalahkan dapat diperintahkan oleh hakim untuk memberikan nafkah kepada pihak yang menang. Timbul pertanyaan bagaimana halnya, apabila Tergugat menggugat kembali, yaitu dalam rekopensi, untuk bercerai (tentunya dengan alasan lain) dan hakim mengabulkan baik gugat dalam konpensi maupun gugat dalam rekonpensi (Nur Muhaimin, 1986: 26).

  Menurut penulis pendapat tentang hal ini, yaitu yang satu menhendaki bahwa tidak mungkin dapat ditetapkan pemberian nafkah, olehh karena kedua belah pihak adalah salah dalam hal perceraian ini. Sedangkan pendapat lain menyatakan pemberian nafkah ini masih dimungkinkan pada keadaan tertentu dan hal ini diserahkan pada pertimbangan hakim. Menurut Pasal 153 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6) dengan meninggalnya suami atau istri.

  Menurut Pasal 156aKompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai anak- anak yang belum dewasa dari bekas suami dan bekas istri.Pengadilan harus sekaligus menetapkan kepada siapa dari kedua belah pihak anak- anak itu harus turut, juga jika orang tua itu dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua. Apabila pihak yang diserahkan anak itu, tidak mampu memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut

  Pasal 156f KHI hakim dapat menentukan sejumlah uang, yang harus diberikan pihak lain untuk membayar biaya tadi. Pada akhirnya Pasal 163 KHI menentukan bahwa, apabila bekas suami dan bekas istri yang bercerai kemudian kawin lagi, maka segala hubungan hukum antara mereka dikembalikan kepada keadaan sebagimana sebelum perceraian (Ridhwan H.M Indra, 1994: 129-130).

C. Tinjauan Umum tentang Proses Pemeriksaan Perkara Perceraian

  Menurut Tiar Ramon (2013: 2) menjelaskan bahwa proses pemerikaan perkara gugatan timbul karena adanya gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat ke Pengadilan. Diawali dengan adanya gugatan masuk ke pengadilan. Gugatan tersebut diproses dahulu di bagian Panitera yaitu melalui dengan membayar pajar biaya perkara, penetapan nomer register perkara, disampaikan ke Ketua Pengadilan, Ketua Pengadilan menetapkan Majelis Hakim, selanjutnya Majelis Hakim menetapkan hari sidang dan sesuai dengan hari sidang yang ditetapkan. Selanjutnya ada beberapa proses lagi, sebagai berikut:

1. Pemanggilan

  Setelah surat gugatan yang telah dibuat dan di tandatangani oleh Penggugat atau kuasanya yang sah, dan telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan serta telah pula dibayarnya panjar biaya perkara, oleh Ketua Pengadilan ditunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut dengan mengeluarkan Penetapan Penunjukan Majelis Hakim. Selanjutnya Ketua Majelis Hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang dengan mengeluarkan Penetapan Hari Sidang. Didalam Penetapan Hari Sidang ini juga diperintahkan kepada jurusita/jurusita pengganti agar memanggil para pihak yang berpekara (Hensyah H. Syahlani, 1993: 17).

  Tata cara pemanggilan menurut aturan umum diatur dalam Pasal 390 jo Pasal 389 dan 122 HIR. Pemanggilan harus dilaksanakan secara resmi dan patut yaitu: a.

  Dilakukan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti yang sah, yakni telah diangkat dengan Surat Keputusan oleh pejabat yang berwenang dan telah disumpah untuk jabatan itu. b.

  Panggilan disampaikan langsung kepada pribadi yang dipanggil di tempat tinggalnya, namun apabila:

1. Tidak dijumpai di tempat tinggalnya, maka panggilan disampaikan lewat kepala desa/lurah setempat.

  Yang dipanggil telah meninggal dunia, maka panggilan disampaikan kepada ahli waris.

  3. Apabila yang dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya atau tak dikenal, maka panggilan disampaikan lewat Bupati setempat yang akan mengumumkannya pada papan pengumuman.

  4. Yang dipangggil berada di luar negeri, maka panggilan disampaikan lewat Perwakilan Republik Indonesia setempat melalui Departemen Luar Negri Republik Indonesia di Jakarta.

  c.

  Jarak antara hari pemanggilan dengan hari persidangan harus memenuhi tenggang waktu yang patut, yaitu sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja (tidak hari libur didalamnya) (Purwosusilo, 2014: 14).

  Pasal 118 ayat (1,2,3, dan 4) HIR menyebutkan:

  a) Ayat 1 disebutkan bahwa pada dasarnya gugatan di ajukan kepada

  Ketua Pegadilan Negeri atau Agama di daerah hukum siapa Tergugat bertempat kediaman.

  b) Ayat 2 dijelaskan bahwa gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan

  Negeri atau Agama di tempat tinggal Tergugat yang dipilih oleh Penggugat. c) Ayat 3 dijelaskan bahwa surat gugatan itu dimasukkan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Agama di tempat tinggal Penggugat.

  d) Ayat 4 dijelaskan bahwa misal disepakati sebelumnya oleh para pihak untuk memilih dan menentukan tempat kedudukan pengadilan, maka

  Pengadilan Negeri atau Agama dalam daerah hukum yang dipilih itu.

2. Tata Cara Pemanggilan

  Khusus mengenai perkara perceraian, tata cara pemanggilan diatur tersendiri pada Pasal 26 (dua puluh enam) sampai 29 (dua puluh sembilan) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu:

  a) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa perkara perceraian, baik suami maupun istri atau kuasanya akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.

  b) Pangilan dilakukan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti yang sah.

  c) Panggilan disampaikan langsung kepada pribadi yang bersangkutan, apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.

  d) Panggilan disampaikan secara patut dan harus sudah diterima oleh suami ataupun istri atau kuasanya selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebelum sidang dibuka.

  e) Panggilan kepada Tergugat dilampiri surat gugatan. f) Apabila Tergugat tempat kediamannya tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara: 1.

  Menempelkan gugatan atau surat panggilan pada papan 2.

  Mengumumkan melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.

  3. Pengumuman melalui surat kabar atau mass media lain tersebut dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.

  4. Tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan, yaitu sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan (Purwosusilo, 2014: 25). Mengenai pemanggilan terhadap pihak yang berperkara berada di wilayah hukum Pengadilan Agama lain, maka Jurusita/Jurusita Pengganti meminta bantuan kepada Pengadilan Agama lain tersebut agar pihak yang bersangkutan dipanggil oleh Jurusita/Jurusita Pengganti setempat, yang kemudian setelah dilakukan pemanggilan selanjutnya mengirimkan relas panggilan kepada Pengadilan Agama yang meminta bantuan tersebut.

  Ketentuan mengenai pemanggilan para pihak harus dilaksanakan secara resmi dan patut merupakan kewajiban atas pengadilan. Kelalaian pemanggilan para pihak dapat berakibat batalnya pemeriksaan dan putusan, meskipun mungkin para pihak hadir dalam persidangan (Moch Imam, 1998: 45).

3. Proses di dalam Peradilan

  Sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 54 Undang-undang undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku di Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus, maka proses pemeriksaan perkara di depan sidang dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata, setelah hakim terlebih dahulu berusaha dan tidak berhasil mendamaikan para pihak yang bersangkutan (Hensyah H. Syahlani, 1993: 25).

  Tahap-tahappersidangan sebagai berikut meliputi (Purwosusilo, 2014: 28- 40): 1.

  Pembacaan surat gugatan.

  2. Jawaban Tergugat.

  3. Replik Penggugat.

  4. Duplik Tergugat.

  5. Pembuktian.

  6. Kesimpulan.

  7. Putusan Hakim.

3.1. Pembacaan Surat Gugatan

  Sebelum masuk pada tahap pembacaan gugatan oleh Hakim Ketua sidang, Ketua harus mebuka dengan kata-kata dibuka dan dinyatakan tertutup untuk umum. ini berati bahwa setiap orang tidak Hakim tidak dapat mengadakan kontrol, dan dengan demikian Hakim tidak dapat memperjuangkan jawaban pemeriksaan yang fair serta memihak, karena sudah ditentukan dalam persidangan. Setelah sidang dibuka dan dinyatakan terbuka dan tertutup untuk umum, maka kedua belah pihak, yaitu penggugat dan tergugat dipanggil masuk ke dalam ruang sidang (Yahya M. Harahap, 1993: 8).

  Apabila pada sidang pertama para pihak yang berperkara atau salah satu pihak tidak hadir dimuka sidang, maka:

  1. Hakim dapat memutus verstek atau digugurkan apabila penggugat maupun tergugat tidak hadir.

  2. Apabila penggugat yang tidak hadir, hakim dapat menggugurkan perkara yang diajukan oleh penggugat.

  3. Apabila tergugat tidak hadir, Hakim dapat memutus verstek (Sudikno Mertokusumo, 2002: 35).

  Namun berdasarkan Pasal 126 HIR, karena kedudukan Hakim dalam perkara perdata merupakan penengah diantara para pihak yang berperkara maka Hakim diperbolehkan memanggil yang kedua kali terhadap pihak-pihak yang tidak hadir di persidangan tersebut, sebelum Hakim memutus verstek atau digugurkan. Jika penggugat dan tergugat harus di persidangan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat 1 dan 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun kedua belah pihak yang berpekara, dan dapat saja usaha ini dilakukan selama perkara belum diputuskan (Hensyah H. Syahlani, 1993: 28).

  Usaha mendamaikan oleh Hakim tersebut adalah mengupayakan tidak terjadinya perceraian. Apabila upayamendamaikan tersebut berhasil, maka gugatan Penggugat dicabut, dan untuk ini tidak mungkin dibuat suatu ketentuan yang bermaksud melarang salah satu pihak melakukan perbuatan tertentu, misalnya dilarang meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin, dilarang menganiaya dan lain-lain, sebab apabila ketentuan yang telah dibuat tersebut dilanggar, tentu saja tidak dapat di eksekusi, karena akibat pelanggaran tersebut tidak mengakibatkan putusnya perkawinan keduanya, apabila salah satu pihak menghendaki perceraian maka salah satu jalan adalah dengan mengajukan gugatan baru (Al-Mizan, 2015: 4).

  Selanjutnya apabila tidak tercapai perdamaian, maka Hakim menyatakan persidangan tertutup untuk umum guna memeriksa materi pokok perkara, yang dimulai dengan pembacaan surat gugatan Penggugat. Pada tahap pembacaansurat gugatan ini, maka pihak Penggugat berhak meneliti ulang ulang apakah seluruh materi (dalil gugatan dan petitum) sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam surat gugatan itulah yang menjadi acuan (obyek) pemeriksaan, dan pemeriksaan tidak boleh keluar dari ruang lingkup menyatakan tidak akan melakukan perubahan terhadap surat gugatannya, maka kepada pihak Tergugat diberi kempatan untuk mengajukan jawaban atas surat gugatan Penggugat tersebut (Yahya M. Harahap, 1993: 13-15).

3.2. Jawaban Penggugat

  Pada tahap jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap Penggugat melalui Hakim.Dapat saja dalam jawabannya tergugat mengemukakan pengakuan, yaitu membenarkan gugatan Penggugat, membantah, mengajukan eksepsi, atau dapat pula mengajukan rekonpensi (gugatan balik) (Purwosusilo, 2014: 29).

  Menurut Pasal 121 ayat 2 HIR jo Pasal 132 ayat 1 HIR, Tergugat dapat mengajukan jawaban secara tertulis atau lisan. Di dalam mengajukan jawaban tersebut Tergugat harus hadir secara pribadi dalam sidang atau diwakilkan oleh kuasanya yang sah, apabila Tergugat atau kuasanya yang sah tidak hadir dalam sidang meskipun mengirimkan surat jawabannya, tetapi dinilai oleh Hakim tidak hadir dan jawabannya itu tidak perlu diperhatikan, kecuali dalam hal jawaban yang berupa eksepsi atau tangkisan bahwa pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkaranya itu (Sudikno Mertokusumo, 2002: 72).

3.3. Replik Penggugat

  gugatannya yang disangkal oleh Tergugat dan juga mempertahankan diri atas serangan oleh tergugat.Bahwasanya replik yaitu jawaban Penggugat dalam hal baik tertulis maupun juga lisan terhadap jawaban Tergugat atas gugatannya (Purwosusilo, 2014: 30).

  Replik diajukan oleh Penggugat untuk meneguhkan gugatanya tersebut, dengan cara mematahkan berbagai alasan dalam penolakan yang dikemukakan Tergugat di dalam jawabannya. Replik adalah lanjutan dari suatu pemeriksaan dalam perkara perdata di dalam pengadilan Agama atau Pengadilan Negri setelah Tergugat mengajukan jawabannya.Replik ini berasal dari 2 (dua) kata yakni re (kembali) dan pliek (menjawab), jadi dapat kita simpulkan bahwa replik berarti kembali menjawab (Al-Mizan, 2015: 6).

  Replik harus disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas dalam jawaban Tergugat.Oleh sebab itu, replik ialah respons Penggugat atas suatu jawaban yang diajukan Tergugat.Bahkan juga tidak tertutup kemungkinan membuka peluang kepada Penggugat agar mengajukan replik. Replik Penggugat ini bisa berisi pembenaran terhadap suatu jawaban Tergugat atau juga boleh jadi Penggugat menambahkan keterangan dengan maksud untuk memperjelas dalil yang diajukan Penggugat di dalam gugatannya (Ridhwan H.M Indra, 1994: 154).

  Sebagaimana juga halnya jawaban, maka replik itu juga tidak di atur dalam HIR/RBg, akan tetapi di dalam Pasal 142 reglemen tambahan guna dalam menguatkan dalil-dalil gugatan si Penggugat. Penggugat di dalam replik ini juga bisa mengemukakan sumber- sumber pendapat para ahli, kepustakaan, kebiasaan, doktrin, dan sebagainya.Peranan yurisprudensi sangat penting dalam replik, mengikat kedudukannya adalah salah satu dari sumber hukum. Untuk dalam penyusunan replik biasanya cukup sekiranya dengan cara mengikuti poin-poin jawaban pihak Tergugat (Hensyah H. Syahlani, 1993: 39).

3.4. Duplik Tergugat

  Duplik yaitu jawaban Tergugat terhadap suatu replik yang diajukan oleh Penggugat.Sama juga halnya dengan replik, duplik ini juga bisa diajukan baik dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk lisan (Yahya M. Harahap, 1993: 16).

  Duplik ini diajukan oleh Tergugat untuk meneguhkan jawabannya yang pada lazimnya berisi suatu penolakan terhadap suatu gugatan pihak Penggugat. Apabila dalam acara jawab- menjawab diantara pihak Penggugat dan pihak Tergugat sudah dinyatakan cukup, dimana dalam duduk perkara perdata yang telah diperiksa sudah jelas keseluruhannya, tahapan pemeriksaan berikutnya ialah pembuktian (Purwosusilo, 2014: 32).

3.5. Pembuktian

  Pada tahap pembuktian, maka Penggugat mengajukan semua Tergugat juga mengajukan alat-alat bukti untuk mendukung jawabannya.Masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak lainnya.Pada dasarnya tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi.

  Alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh para pihak yang berperkara dimuka sidang sebagaimana diatur di dalam pasal 164 HIR adalah:

  a) Bukti surat.

  b) Bukti saksi.

  c) Persangkaan.

  d) Pengakuan.

  e) Sumpah (Sudikno Mertokusumo, 2002: 78).

3.6. Kesimpulan

  Setelah melalui beberapa tahapan beracara pada peradilan perdata, mulai dari pembacaan gugatan, jawaban atas gugatan dari tergugat, replik, duplik, pembuktian, akhirnya masing-masing pihak yang berperkara sampai pada kesimpulan masing-masing atas proses pemeriksaan perkara di pengadilan, untuk itu baik Penggugat maupun Tergugat membuat kesimpulan atau diberi kesempatan oleh hakim untuk mengajukan kesimpulan yang diserhkan kepada majelis Syahlani, 1993: 43).

  Bagaimana bentuk dan isi kesimpulan biasanya diserahkan kepada masing-masing pihak yang berperkara.Hakim hanya memberikan kesempatan kepada para pihak, dan itu pun tidak wajib.Artinya bisa saja masing-masing pihak tidak membuat kesimpulan dan menyerahkan kepada hakim, tetapi umumnya masing-masing pihak berperkara mengajukan kesimpulan (Sudikno Mertokusumo, 2002: 99).

  Setelah tidak ada lagi alat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak yang berperkara, maka masing-masing pihak (Penggugat dan Tergugat) diberi kesempatan mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan atau kesimpulannya. Tahap berikutnya yaitu putusan yang dibajakan oleh majelis hakim setelah hasil pemeriksaan atau kesimpulan oleh Penggugat untuk menentukan pembacaan putusan (Purwosusilo, 2014: 35).

3.7. Putusan Hakim

  Tahap yang paling akhir dalam proses pemeriksaan adalah tahap putusan Hakim, yakni:

  1. Putusan hadir, yaitu: Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim dalam persidangan dengan dihadiri kedua belah pihak.

  2. Putusan di luar hadir, yaitu: Putusan yang dijatuhkan pleh Hakim dalam persidangan yang tanpa dihadiri oleh kedua belah pihak.

  Putusan verstek, yaitu Putusan yang tidak dihadiri oleh Pihak Tergugat atau Termohon.

  4. Putusan dicabut, yaitu: Putusan yang dimintakan dicabut oleh Penggugat atau Pemohon dalam persidangan.

  5. Putusan ditolak, yaitu: Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim dalam persidangan, karena pada pokoknya perkara penggugat tidak memenuhi perintah dari Hakim dan atau perkara tidak menguatkan pada dalil-dalil gugatan yang diajukan.

  6. Putusan gugur, yaitu: Putusan yang diajukan karena perkara telah kadaluarsa.

  7. Putusan tidak diterima, yaitu: Putusan yang dijatuhkan karena Penggugat atau pemohon tidak bisa membuktikan dalil-dalil yang diajukan dalam persidangan (Yahya M. Harahap, 1993: 31)

  Dalam tahap ini maka Hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara itu dan menyimpulkan dalam amar putusan.Putusan Hakim ini untuk mengakhiri sengketa. Dalam pemeriksaan perkara perceraian terdapat azas umum yang berlaku menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, antara lain: a)

  Pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim, salah seorang diantaranya sebagai Ketua dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 80 ayat 1).

  b) Putusan perkara perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Penyimpangan terhadap azas ini akan berakibat putusan batal demi hukum (Pasal 59 ayat 1 dan ayat 2).