BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. PERKAWINAN 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan - Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Un

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. PERKAWINAN

1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan

  Pengertian perkawinan terdapat di dalam UUP No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

26 Yang Maha Esa“.

  Sedangkan tujuan perkawinan, adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

  Berdasarkan pengertian diatas dapat dirumuskan unsur-unsur

  

  perkawinan, yaitu : a.

  Perkawinan merupakan ikatan lahir batin. Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat (hubungan formal), yaitu mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Hal ini dapat dilihat karena dibentuk oleh undang-undang, hubungan mana mengikat bagi kedua belah pihak dan pihak lain atau masyarakat. Ikatan batin ialah ikatan yang tidak dapat dilihat (hubungan tidak formal), yang diawali oleh adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama, yang akan menimbulkan kerukunan dan mengikat kedua belah pihak. Terjalinnya ikatan lahir batin tersebut, merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.

  b.

  Adanya unsur ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita, 26 sebagai suami istri mengandung arti bahwa dalam waktu yang sama 27 Pasal 1 UUP No.1 Tahun 1974.

  K. Wantjik Saleh, Op. Cit, hal 14-15. seorang suami tidak diperbolehkan untuk kawin lagi dengan wanita lain. Dalam hal ini mengandung asas monogami. Dalam keadaan tertentu asas monogami dapat dikesampingkan, akan tetapi diperbolehkan bagi mereka yang yang diperkenankan oleh agama dan undang-undang untuk menikah lagi dengan alasan dan syarat-syarat yang telah ditentukan.

  c.

  Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Hal ini dapat diartikan, bahwa mereka itu haruslah berlangsung terus-menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan. Perceraian karena sebab-sebab lain daripada kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat, sehingga suatu pemutusan perkawinan karena perceraian (cerai hidup), merupakan jalan akhir setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi.

  d.

  Perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya bahwa perkawinan itu tidak begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia, sebagai makhluk yang beradab.

2. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia

  Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini

  

  antara lain adalah : a.

  Buku I dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu Bab IV samapi dengan Bab XI.

  b.

  Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

  c.

  Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

  d.

  Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.

  1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

  e.

  Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

28 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta, PB Gadjah Mada, 1999), hal 37.

  f.

  Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1-170 KHI).

3. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

a. Menurut UUP No.1 Tahun 1974

  Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UUP No. 1 Tahun 1974. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil. Syarat-syarat tersebut antara lain : 1)

  Pasal 6 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2)

  Pasal 6 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3)

  Pasal 7 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. 4)

  Pasal 8 UUP No. 1 Tahun 1974, larangan perkawinan karena hubungan keluarga yang dekat. 5)

  Pasal 9 UUP No. 1 Tahun 1974, seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain yang tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang Perkawinan. 6)

  Pasal 10 UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan setelah yang kedua kalinya antara orang yang sama adalah dilarang. 7) Pasal 11 UUP No. 1 Tahun 1974, mengatur tentang “waktu tunggu” .

  Pada ayat (1) bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Dan pada ayat (2) tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut. Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975. Pada Pasal 39 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975, berbunyi : “Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut : a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.

  b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.

  c) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.”

  8)

  Pasal 12 UUP No. 1 Tahun 1974, tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Selanjutnya ketentuan tentang tata cara perkawinan ini diatur dalam Pasal 10 dan

  11 PP No. 9 Tahun 1975.

  

b. Menurut KUHPerdata

  Menurut Hukum Perdata Barat (KUHPerdata), syarat sahnya perkawinan (syarat materil) adalah : 1) Berlaku asas monogami (Pasal 27 KUHPerdata). 2)

  Harus ada kata sepakat dan kemauan bebas antara si pria dan wanita (Pasal 28 KUHPerdata). 3) d) Anak luar kawin namun tidak diakui, selama belum dewasa, tidak diperbolehkan kawin tanpa izin dari wali atau wali pengawas mereka (Pasal 40 KUHPerdata).

  Seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 KUHPerdata). 4)

  Ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai, yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir bubar (Pasal 34 KUHPerdata). 5)

  Anak-anak yang belum dewasa harus memperoleh izin kawin dari kedua orang tua mereka (Pasal 35 KUHPerdata). Mengenai izin kawin ini diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut ini :

  a) Jika wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasaannya, harus ada izin dari wali pengawas (Pasal 36

  KUHPerdata).

  b) Jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka yang memberikan izin ialah kakek-nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu, sedangkan izin wali masih pula tetap diperlukan (Pasal 37 KUHPerdata).

  c) Anak luar kawin yang belum dewasa untuk dapat kawin, harus mendapat izin dari bapak dan/atau ibu yang mengakuinya. Jika wali itu sendiri hendak kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas. Jika di antara orang-orang yang harus memberi izin itu terdapat perbedaan pendapat, maka Pengadilan atas permintaan si anak, berkuasa memberikan izin (Pasal 39 KUHPerdata). 29 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga, Cet. 2, (Bandung, Nuansa Aulia, 2007), hal 82.

  e) Untuk anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun, masih juga diperlukan izin kawin dari orang tuanya. Tetapi apabila mereka tidak mau memberikan izin, maka anak dapat memintanya dengan perantaraan hakim (Pasal 42 KUHPerdata).

  f) Tidak terkena larangan kawin (Pasal 30-33 KUHPerdata).

   Sementara syarat formil perkawinan (Pasal 50 sampai dengan 84

  KUHPerdata), terdiri dari : 1)

  Tata cara/formalitas-formalitas yang harus mendahului perkawinan (Pasal 50 sampai dengan 58 KUHPerdata). 2) Mencegah perkawinan (Pasal 59 sampai dengan 70 KUHPerdata). 3)

  Melangsungkan perkawinan (Pasal 71 sampai dengan 82 KUHPerdata). 4)

  Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri (Pasal 83 sampai dengan 84 KUHPerdata).

  

4. Larangan-larangan Perkawinan

a. Menurut UUP No.1 Tahun 1974

  Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas; b.

  Berhubungan darah dan garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri; d.

  Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan; e.

  Berhubungan saudara dengan istri atau sebagi bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; f.

  Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

  30 P.N.H. Simanjuntak, Op. Cit, hal 41-42. 31 Djaja S. Meliala, Op. Cit, hal 76-80. 32 Pasal 8 UUP No. 1 Tahun 1974

  Perkawinan dilarang antara dua orang yang :

   a.

  Menurut Pasal 9 UUP No. 1 Tahun 1974, seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali jika :

  1) Mendapat izin dari Pengadilan (berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat

  (2) UUP No. 1 Tahun 1974); 2)

  Dengan alasan bahwa istri, yaitu : (Pasal 4 UUP No. 1 Tahun 1974).

  a) Tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri;

  b) Mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c)

  Tidak dapat melahirkan keturunan; Menurut Pasal 10 UUP No. 1 Tahun 1974 menentukan, bahwa apabila suami dan istri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

  Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dapat dipikirkan matang-matang. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun istri benar-benar saling menghargai.

  Menurut Pasal 11 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974 bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Pada ayat (2) tenggang jangka waktu tunggu tersebut pada ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut. Peraturan Pemerintah lebih lanjut tersebut dalam hal ini adalah PP No. 9 Tahun 1975 yang dalam Pasal 39 ayat (1).

b. Menurut KUHPerdata

  Di dalam KUHPerdata ditegaskan, bahwa perkawinan dilarang antara

  

  1) Mereka yang bertalian keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah atau dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara laki-laki dan saudara perempuan (Pasal 30 KUHPerdata).

  : 2)

  Ipar laki-laki dan ipar perempuan, paman atau paman orang tua dan anak perempuan saudara atau cucu perempuan saudara; atau antara bibi atau bibi orang tua dan anak laki saudara atau cucu laki saudara (Pasal 31 KUHPerdata). 3)

  Kawan berzinahnya setelah dinyatakan salah karena berzinah oleh putusan hakim (Pasal 32 KUHPerdata). 4)

  Mereka yang memperbaharui perkawinan setelah pembubaran perkawinan terakhir jika belum lewat waktu 1 (satu) tahun (Pasal

  33 KUHPerdata).

5. Pengumuman dan Pencatatan Perkawinan

a. Menurut UUP No. 1 Tahun 1974

  Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (Pasal 2 ayat 2 UUP No. 1 Tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor

33 P.N.H. Simanjuntak, Op. Cit, hal 42.

  Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).

  Dalam PP No. 9 Tahun 1975, dikatakan bahwa tahap-tahap

  

  pencatatan perkawinan itu adalah sebagai berikut : 1)

  Pegawai pencatat perkawinan Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Pasal 2).

  2) Pemberitahuan perkawinan

  Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh hari kerja) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualikan terhadap jangka waktu tersebut yang disebabkan oleh sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat, atas nama Bupati Kepala Daerah (Pasal 3). Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4). Pemberitahuan memuat : nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (Pasal 5). 3)

  Penelitian oleh pegawai pencatat Menurut Pasal 6, pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti hal-hal sebagai berikut :

  a) Apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi.

  b) Apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undnag- undang.

  c) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai.

  Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal- usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu.

  d) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.

  e) Izin tertulis /izin Pengadilan, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.

  f) Izin Pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami 34 yang masih mempunyai istri.

  Ibid, hal 61-63.

g) Dispensasi Pengadilan/ Pejabat.

  h) Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih. i)

  Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/ PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata. j)

  Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain. Hasil penelitian tersebut oleh pegawai pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukan untuk itu. Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud undang-undang dan atau belum dipenuhinya pernyataan tersebut diatas (3-10), keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya (Pasal 7). 4)

  Pengumuman perkawinan Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman Tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (Pasal 8). Menurut Pasal 9, pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat : a.

  Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama istri dan atau suami mereka terdahulu.

  b.

  Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan. 5)

  Tata cara perkawinan Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkwinan oleh pegawai pencatat. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 10). Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan, dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi (Pasal 11).

  Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua) helai pertama disimpan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera

  Pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada. Kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 13).

b. Menurut KUHPerdata

  Semua orang yang hendak kawin, harus memberitahukan kehendak itu kepada Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal salah satu dari kedua pihak (Pasal 50 KUHPerdata). Pemberitahuan ini harus dilakukan, baik sendiri maupun dengan surat-surat yang dengan cukup kepastian memperlihatkan kehendak kedua calon suami istri, dan Tentang pemberitahuan itu oleh Pegawai Catatan Sipil harus dibuat sebuah akta (Pasal 51 KUHPerdata).

  Menurut pasal 52 KUHPerdata, sebelum perkawinan dilangsungkan, Pegawai Catatan Sipil harus menyelenggarakan pengumumannya dengan jalan menempelkan sepucuk surat pengumuman pada pintu utama daripada gedung dalam mana register- register catatan sipil diselenggarakannya. Surat itu harus tetap tertempel selama 10 (sepuluh) hari. Pengumuman tak boleh dilangsungkan pada hari Minggu atau hari Tahun Baru, hari Paskah, hari Natal, dan Hari Mikraj Nabi. Surat itu berisi : 1e. Nama, nama depan, umur, pekerjaan dan tempat tinggal calon suami-istri, pun jika yang akhir ini dulu pernah kawin, nama istri dan suami mereka dulu. 2e. Hari, tempat dan jam pengumuman berlangsung.

  Kemudian, surat itu ditandatangani oleh Pegawai Catatan Sipil. Jjika kedua calon suami istri tak mempunyai tempat tinggal dalam daerah Pegawai Catatan Sipil yang sama, maka pengumuman harus dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal masing-masing pihak (Pasal 53 KUHPerdata). Pengumuman hanya berlaku selama 1 (satu) bulan, dan apabila dalam waktu itu tidak dilangsungkan perkawinan , maka perkawinan tidak boleh dilangsungkan lagi, dan untuk itu pengumuman harus diulang sekali lagi (Pasal 57 KUHPerdata). Pada asasnya, suatu perkawinan dapat dibuktikan dengan adanya akta perkawinan (Pasal 100 KUHPerdata).

6. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perkawinan

  Menurut Pasal 31 UUP No. 1 Tahun 1974, berbunyi bahwa : (1) hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat;

  (2) Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum;

  (3) Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

  Sedangkan kewajiban suami istri terdapat dalam Pasal 30 UUP No.

  1 Tahun 1974 yang menyatakan, bahwa suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi susunan masyarakat. Didalam Pasal 32 UUP No. 1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa: (1)

  Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap; (2)

  Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.

  Pasal 33 UUP No.1 Tahun 1974 dikatakan, bahwa suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 UUP No. 1 Tahun 1974 menentukan, bahwa : (1)

  Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; (2)

  Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; (3)

  Jika suami istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

B. PERCERAIAN

1. Pengertian Perceraian

  Menurut ketentuan Pasal 38 UUP No. 1 Tahun, perkawinan dapat

   putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.

  a.

  Kematian; Putusnya perkawinan karena kematian suami atau istri, disebut juga oleh masyarakat dengan ” cerai mati ”.

  b.

  Perceraian; Putusnya perkawinan karena perceraian, disebut oleh masyarakat dengan istilah ” cerai hidup ”.

   Putusnya perkawinan karena perceraian ada 2 (dua) jenis, yaitu :

  35 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000), hal 117. 36 K. Wantjik Saleh, Op. Cit, hal 38.

  1) Cerai gugat, yaitu berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya bukan Islam dan seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam.

  2) Cerai talak, yaitu berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam.

  c.

  Putusan Pengadilan; Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.

  Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya terhitung sejak pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatunya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan

   hukum tetap.

  Pasal 39 UUP No. 1 Tahun 1974 menyebutkan, bahwa : (1)

  Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

  (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri, tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

  (3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

  Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapat kita ketahui bahwa perceraian mempunyai arti, bahwa diputuskannya perkawinan tersebut 37 oleh Hakim dikarenakan sebab tertentu atau putusnya perkawinan karena

  Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung, Mandar Maju, 1990), hal 175. perceraian berarti pengakhiran suatu perkawinan karena suatu sebab tertentu dengan keputusan Hakim. Perceraian juga dapat diartikan sebagai salah satu cara pembubaran perkawinan karena sebab tertentu, melalui keputusan Hakim yang didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengertian perceraian adalah putusnya perkawinan yang sah karena suatu sebab tertentu oleh keputusan Hakim, yang dilakukan didepan sidang Pengadilan berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh undang-undang serta telah didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil.

2. Alasan-alasan Perceraian

  Tujuan Perkawinan, adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa., Walaupun pada mulanya para pihak dalam suatu perkawinan bersepakat untuk mencari kebahagiaan, meneruskan keturunan, dan ingin hidup bersama sampai akhir hayat atau cerai mati, namun seringkali tujuan tersebut kandas ditengah jalan karena sebab-sebab tertentu.

  Walaupun perceraian adalah perbuatan tercela dan dibenci oleh Tuhan (Allah), suami istri boleh melakukan perceraian apabila perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Namun, perceraian harus mempunyai alasan-alasan seperti yang diatur undang-undang bahwa antara

  

  suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Alasan- alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan perceraian

38 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Op. Cit, hal 118.

  dapat diketahui dari penjelasan Pasal 39 (2) UUP No. 1 Tahun 1974 dan

   Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975, sebagai berikut : a.

  Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya dan sukar disembuhkan. Pengertian zinah pada alasan perceraian ini, adalah zinah menurut konsep agama. Pengertian pemabok, pemadat, dan penjudi ditafsirkan oleh Hakim; b.

  Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut- turut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. Waktu 2 (dua) tahun berturut-turut pada alasan perceraian ini, adalah untuk menciptakan kepastian hukum. Kata ” berturut-turut” berarti kepergian salah satu pihak tersebut harus penuh 2 (dua) tahun lamanya dan selam waktu itu yang bersangkutan tidak pernah kembali. Rasio dari ketentuan ini adalah untuk melindungi kepentingan pihak yang ditinggalkan. Maksud ”hal lain diluar kemampuannya” pada alasan perceraian ini, maka Hakim yang menentukannya; c.

  Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. ”Hukuman lima tahun atau hukuman yang lebih berat” maksudnya adalah hukuman yang sudah mempunyai kekuatan tetap setelah Perkawinan berlangsung. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun haruslah dijatuhkan oleh Hakim Pidana setelah perkawinan dilangsungkan. Penentuan lima tahun dianggap cukup mentukan apakah perkawinan para pihak hendak diteruskan atau diakhiri; d.

  Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain. Kekejaman atau penganiayaan yang dikaitkan membahayakan terhadap pihak lain bukan jasmani namun juga jiwa para pihak. Sebaiknya ada visum dari dokter atau keterangan saksi ahli hukum kejiwaan untuk mengetahui bagaimana perasaan dalam diri pihak yang melakukan kekejaman atau penganiayaan dan pihak lain yang diperlukan dengan kejam dan dianiaya. Selain itu juga perlu di dengar keterangan dari orang yang melihat dan atau mendengar secara langsung kekejaman dan penganiayaan itu dilakukan. UUP No. 1 Tahun 1974 tidak memberikan penjelasan Tentang apa yang dimaksud dengan kekejaman atau penganiayan berat itu sendiri, sehingga Hakimlah yang harus menafsirkan; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. Tujuan dari alasan perceraian ini adalah untuk menjaga dan melindungi jangan sampai segala kepentingan dari salah satu pihak dikorbankan karena suatu sebab yang menimpa pihak lain. Menurut Lili Rasjidi, ciri utama dari cacat badan atau penyakit berat ini adalah harus 39 yang menyebabkan si penderita tidak lagi dapat menjalankan

  Lili Rasjidi, Alasan Perceraian Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Bandung, Alumni, 1983), hal 5.

  

  kewajibannya sebagai suami atau istri. Apabila dalam rumah tangga, salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan perceraian. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. UUP No. 1 Tahun 1974 tidak memberikanpenjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan cacat badan atau penyakit. Dalam hal ini Hakimlah yang menentukan secara pasti terhadap semua keadaan yang dapat dijadikan alasan untuk bercerai, sebagaimana yang dimaksud dalam alasan perceraian tersebut; f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga. Perselisihan dan pertengkaran antara suami istri yang mengakibatkan suami istri tersebut tidak dapat diharapkan lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangga. Hal ini merupakan persoalan yang bersifat relatif karena Hakimlah yang menilai dan menetapkan dengan sebaik-baiknya berdasarkan bukti-bukti yang ada. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal, dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tujuan perkawinan tersebut tidak dapat dicapai oleh suami istri maka sudah sewajarnya para pihak memutuskan jalan untuk bercerai berdasarkan alasan-alasan perceraian seperti tersebut diatas.

3. Tata Cara Perceraian

  Ada dua macam perceraian, yaitu perceraian dengan talak dan perceraian dengan gugatan. Perceraian dengan talak biasa disebut cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Bagi perceraian dengan gugatan biasa disebut cerai gugat berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut

   agama Islam dan bukan beragama Islam.

  40 41 Ibid.

  Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Op. Cit, hal 119-123.

a. Tata Cara Cerai Talak

  Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat pemberitahuan kepada pengadilan agama di tempat tinggalnya bahwa dia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya, dengan permintaan agar pengadilan agama mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu (Pasal 14 PP No. 9 Tahun 1975).

  Setelah pengadilan agama mempelajari isi surat pemberitahuan tersebut, selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah menerima pemberitahuan itu, pengadilan agama memanggil suami dan istri yang bersangkutan untuk meminta penjelasan mengenai perceraian itu (Pasal

  15 PP No. 9 Tahun 1975).

  Setelah memperoleh penjelasan dari suami dan istri yang bersangkutan dan ternyata terdapat alasan-alasan untuk bercerai, maka berdasarkan Pasal 7 PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Setelah dilakukan mediasi dan pengadilan agama berpendapat bahwa antara suami dan istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun dalam rumah tangga, maka pengadilan agama memutuskan untuk mengadakan sidang menyaksikan perceraian itu (Pasal 16 PP No. 9 Tahun 1975).

  Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian itu, Ketua Pengadilan Agama membuat surat keterangan Tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian (Pasal 17 PP No. 9 Tahun 1975). Perceraian itu terjadi terhitung sejak saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan agama (Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975). Pentingnya penetapan saat terjadi perceraian adalah untuk menghitung lamanya

   masa tunggu (masa idah).

b. Tata Cara Cerai Gugat

  Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Dalam hal tempat kediaman Tergugat tidak jelas, tidak diketahui, tidak mempunyai tempat kediaman tetap, atau Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman Penggugat (Pasal 20 PP No. 9 Tahun 1975).

  Setelah pengadilan menerima gugatan Penggugat, pengadilan memanggil pihak Penggugat dan Tergugat atau kuasa mereka di tempat kediamannya atau jika mereka tidak dijumpai di tempat kediamannya, panggilan disampaikan melalui lurah atau yang dipersamakan dengan itu secara patut dan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dibuka sudah diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Penggilan kepada Tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan (Pasal 26 PP No. 9 Tahun 1975).

  42 pada hari Selasa, tanggal 06 Januari 2015 pukul 16.32 WIB.

  Pemerikasaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim paling lambat tiga puluh hari setelah diterima surat gugatan perceraian. Pada sidang pemerikasaan gugatan perceraian, suami istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Usaha perdamaian dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Apabila tercapai perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru dengan alasan yang sama (Pasal 29 ayat (1) dan pasal 30 PP No. 9 Tahun 1975).

  Apabila tidak tercapai perdamaian, pemerikasaan gugat dilakukan dalam sidang tertutup sampai pengadilan memberikan putusannya.

  Akan tetapi, putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka. Perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor catatan sipil oleh pegawai pencatat bagi yang bukan beragama Islam dan jatuhnya putusan pengadilan agama yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 33 dan 34 PP No. 9 Tahun 1975).

c. Pencatatan Perceraian

  Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap/ yang telah dikukuhkan tanpa bermaterai kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi dan pegawai pencatat mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar

  

  yang disediakan untuk itu. Jika perceraian dilakukan didaerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum pegawai pencacat di mana perkawianan dilangsungkan, satu helai salinan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap/ yang telah dikukuhkan tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat tersebut dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan. Bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan putusan itu disampaikan kepada pegawai pencatat di Jakarta (Pasal 35 PP No. 9 Tahun 1975).

  Selambat-lambatnya tujuh hari setelah perceraian diputuskan, panitera pengadilan agama menyampaikan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum hukum tetap itu kepada pengadilan negeri untuk dikukuhkan. Pengukuhan tersebut dilakukan dengan membubuhkan kata “dikukuhkan” dan ditandatangani oleh hakim pengadilan negeri dan dibubuhi cap dinas pada putusan tersebut.

  Selambat-lambatnya, tujuh hari setelah diterima putusan dari pengadilan agama, panitera pengadilan negeri menyampaikan kembali putusan itu kepada pengadilan agama (Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975).

4. Akibat Hukum Perceraian

   Akibat dari perceraian akan menimbulkan akibat hukum, terhadap:

a. Orang tua/anak

  43 44 P.N.H. Simanjuntak, Op. Cit, hal 75.

  K. Wantjik Saleh, S.H, Op. Cit, hal 34-35.

  Menurut Pasal 41 UUP No. 1 Tahun 1974 akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : 1)

  Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terdapat perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan akan memberikan keputusan;

  2) Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam keadaan tidak dapat memberikan kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

  3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

b. Harta benda perkawinan

  Mengenai harta benda perkawinan menurut UUP No. 1 Tahun 1974 diatur dalam Bab VII, yaitu Pasal 35, 36, 37. Dalam Pasal 35 UUP No. 1 Tahun 1974 menyebutkan, bahwa : 1)

  Harta benda yang diperoleh selam perkawinan menjadi harta bersama; 2)

  Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing. Sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

  Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa pengertian dari harta benda perkawinan adalah harta benda yang diperoleh sebelum atau selama perkawinan berlangsung baik yang didapat oleh suami maupun istri.

  Menurut UUP No. 1 Tahun 1974, harta benda perkawinan, terbagi

  

  atas :

  a) Harta bersama;

  b) Harta Pribadi;

  (1) Harta bawaan suami

  (2) Harta bawaan istri

  (3) Harta hibah/warisan suami

  (4) Harta hibah/warisan istri

a) Harta bersama

  Menurut Pasal 35 UUP No. 1 Tahun 1974, harta bersama suami istri hanya meliputi harta-harta yang dipeoleh suami istri sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu antara dimulainya sebuah perkawinan sampai perkawinan itu putus, baik dikarenakan kematian (cerai mati) atau karena perceraian (cerai hidup).

   Harta bersama terdiri dari yaitu :

  (1) Hasil dan pendapatan suami

  (2) 45 Hasil dan pendapatan istri

  J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Cet. Ke-2, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1993), hal 188. 46 Ibid, hal 188.

  (3) Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama asal kesemuanya itu diperoleh sepanjang perkawinan.

  Pada asasnya harta bersama hanya meliputi, yaitu : (1)

  Hasil dan pendapatan suami dan istri sepanjang perkawinan; (2)

  Hasil yang keluar dari harta pribadi suami dan istri sepanjang perkawinan; (3)

  Dengan demikian harta bersama merupakan hasil dan pendapatan suami istri atau kedua-duanya secara bersamasama yang secara otomatis menjadi harta kekayaan bersama.

b) Harta pribadi

  Harta pribadi adalah harta yang sudah dimiliki suami atau istri pada saat perkawinan dilangsungkan dan tidak masuk kedalam harta bersama kecuali mereka memperjanjikan lain.

  Menurut Pasal 35 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, harta

  

  pribadi terdiri dari : (1)

  Harta bawan suami atau istri (2)

  Harta hibah suami atau istri (3)

  Harta warisan suami atau istri Sesuai dengan kata “hak sepenuhnya“ pada Pasal 36 ayat 47 (2) UUP No. 1 Tahun 1974, bahwa hak yang paling penuh adalah

  Ibid, hal 193 hak milik dan orang yang mempunyai hak milik, mempunyai wewenang yang paling luas meliputi beheer (pengurusan) dan

  

beschikking (pemilikan). Kata “masing-masing“ menunjukkan

  bahwa suami istri dapat bertindak sendiri-sendiri tanpa bantuan, kuasa maupun persetujuan dari suami atau istrinya.

  Dalam penjelasan Pasal 35 Undang-undang No.1 tahun1974 Tentang Perkawinan, disebutkan juga bahwa apabila perkawinan putus maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing- masing.

  Pasal 36 UUP No. 1 Tahun 1974 juga menyebutkan bahwa : (1)

  Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak; (2)

  Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

  Pasal 37 UUP No. 1 Tahun 1974 mengatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, adalah Hukum Agama, Hukum Adat, dan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.

  Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama- agama lainnya namun tunduk kepada Hukum Adat, maka dalam Hukum Adat ini dikenal harta bersama/harta gono-gini. Jika terjadi perceraian, maka masing-masing suami atau istri mendapat separuh dari harta bersama.

  Sedangkan bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen namun tunduk pada KUHPerdata yang mengenal harta bersama, maka jika terjadi perceraian harta bersama dibagi menjadi dua, yaitu separuh untuk pihak suami dan separuh untuk pihak istri.

C. HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN

1. Pengertian Harta Bersama

  Dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan dengan istilah “harta bersama”, yaitu kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar harta bawaan, hadiah dan warisan. Maksudnya, harta yang di dapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Karena itu, harta bersama merupakan bagian dari harta perkawinan, yakni harta (baik bergerak maupun tidak bergerak) yang diperoleh sejak terjalinnya hubungan suami istri yang sah melalui akad nikah, yang dapat dipergunakan oleh suami atau istri untuk membiayai keperluan hidup mereka beserta anak-anaknya, sebagai satu kesatuan yang utuh dalam rumah tangga.

  

Menurut M. Yahya Harahap menyatakan :

48 M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-

  Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 , (Medan, Zahir Trading Co, 1975), hal 117.

  “Harta bersama adalah barang-barang yang diperoleh selama perkawinan dimana suami istri itu hidup berusaha untuk memenuhi kepentingan kebutuhan kehidupan keluarga. Luas-luas harta bersama disamping penting untuk kedua belah pihak suami istri maka hal ini relevant untuk pihak ketiga sesuai dengan adanya ketentuan Pasal 35

  

  ayat (2) UU Perkawinan, yakni : a.

  Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan sekalipun harta atau barang terdaftar diatas namakan salah seorang suami istri, maka harta yang atas nama suami atau istri dianggap sebagai harta bersama; b.

  Jika harta itu dipelihara atau diusahai dan telah dialihnamakan ke atas nama adik suami jika harta yang demikian dapat dibuktikkan hasil yang diperoleh selama masa perkawinan maka harta tersebut harus dianggap harta bersama suami istri; c.

  Juga dalam putusan yang sama telah dirumuskan suatu kaedah bahwa adanya harta bersama suami istri tidak memerlukan pembuktian bahwa istri harus ikut aktif membantu terwujudnya harta bersama tersebut. Yang menjadi prinsip asal harta itu terbukti diperoleh selama perkawinan; d. Harta yang dibeli baik oleh suami maupun istri ditempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah harta bersama suami istri jika pembelian itu dilakukan selama perkawinan; e. Barang termasuk harta bersama suami istri yaitu :

  1) Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan termasuk penghasilan yang berasal dari barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan oleh harta bersama itu sendiri;

  2) Demikian juga segala penghasilan pribadi suami istri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai f.

  Mengenai harta bersama apabila si suami kawin poligami baik dua atau tiga istri maka penentuan harta bersama dapat diambil garis pemisah yaitu: 1)

  Segala harta yang telah ada antara suami dengan istri pertama sebelum perkawinannya dengan istri kedua maka istri kedua tidak mempunyai hak apa-apa atas harta tersebut;

  2) Oleh sebab itu harta bersama yang ada antara suami dengan istri kedua ialah harta yang diperoleh kemudian setelah perkawinan. Jadi harta yang telah ada diantara istri pertama dengan suami adalah harta bersama yang menjadi hak mutlak 49 antara istri pertama dengan suami dimana istri kedua terpisah Ibid, hal 119. dan tidak mempunyai hak menikmati dan memiliki atasnya. Istri kedua baru ikut dalam lembaga harta bersama dalam kehidupan keluarga tersebut ialah harta kekayaan yang diperoleh terhitung sejak istri kedua itu resmi sebagai istri.

  3) Atau jika kehidupan mereka terpisah dalam arti istri pertama dengan suaminya hidup dalam satu rumah kediaman yang berdiri sendiri demikian juga istri kedua terpisah hidup dalam rumah tangga sendiri dengan suami, apa yang menjadi harta istri pertama dengan suami dalam kehidupan rumah tangga menjadi harta bersama antara istri pertama dengan suami dan demikian juga apa yang menjadi harta kekayaan dalam rumah tangga istri kedua dengan suami. Apa yang diterangkan mengenai harta bersama dalam keadaan suami beristri lebih dari satu seperti yang dijelaskan di atas oleh UU Perkawinan

  

  

  telah diatur pada Pasal 65 ayat (1) huruf b dan huruf c serta ayat (2), yang memberi kemungkinan penyimpangan dari ketentuan-ketentuan diatas jika suami istri kemungkinan menyimpang dari ketentuan-ketentuan diatas jika suami istri membuat ketentuan-ketentuan lain sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini seperti membuat perjanjian yang diatur dalam Pasal 29. “

  Menurut Sayuti Thalib, berpendapat bahwa : “macam-macam harta

  

  suami istri dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu : a.

  Dilihat dari sudut asal-usulnya harta suami istri itu dapat digolongkan pada tiga golongan : 1)

  Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya sebelum mereka kawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri atau dapat disebut sebagai harta bawaan;

  2) Harta masing-masing suami istri yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan tetapi diperolehnya bukan dari usaha mereka baik seorang-seorang atau bersama-sama tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan untuk masing-masing;

  3) Harta yang diperoleh sesudah mereka dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka disebut harta pencaharian.

  b. 50 Dilihat dari sudut penggunaannya maka harta ini dipergunakan untuk :

  Pasal 65 ayat (1) huruf b UUP No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya. 51 Pasal 65 ayat (1) huruf c UUP No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa semua istri mempunyai hak bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing. 52 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cetakan Kelima, (Jakarta, UI Press, 1986), hal 83.

  1) Pembiayaan untuk rumah tangga, keluarga dan belanja sekolah anak-anak;

2) Harta kekayaan yang lain.

  c.

  Dilihat dari sudut hubungan harta dengan perorangan dalam masyarakat harta itu akan berupa : 1)

  Harta milik bersama; 2)

  Harta milik seseorang tetapi terikat kepada keluarga; 3)

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

10 140 156

Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang Perkawinan

2 93 97

Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Kuhperdata) Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

0 63 163

Hadiah Undian Yang Diperoleh Dalam Perkawinan Dan Kaitannya Dengan Harta Bersama Di Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

8 97 95

Analisis Yuridis Hak Istri Ke-2, Dan Seterusnya Atas Harta Perkawinan Dalam Perkawinan Poligami Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

0 35 146

Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam

0 30 138

Tinjauan Hukum Atas Perkawinan Beda Agama (Islam dan Kristen)Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Juncto Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

0 3 1

View of Harta Bersama dalam Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam

0 2 20

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Dan Asas Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 - Pelaksanaa

0 0 42

BAB II TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN POLIGAMI A. Pengertian Perkawinan Poligami. - Pembatalan Perkawinan Karena Tidak Adanya Izin Poligami(Studi kasiis Putusan nomor 255/PdtG/2012/PA.Mdn)

0 0 22