PANCASILA DALAM PUSARAN GLOBALISASI

  

PANCASILA DALAM

PUSARAN GLOBALISASI

  Prolog Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H.

  PANCASILA DALAM PUSARAN GLOBALISASI

  Editor: Al-Khanif, S.H., LL.M., Ph.D Mirza Satria Buana, S.H., M.H., Ph.D Manunggal Kusuma Wardaya, S.H., LL.M

  PANCASILA DALAM PUSARAN GLOBALISASI Dominikus Rato, Dina Tsalist Wildana, Muhammad Bahrul Ulum, dkk.

  @CHRM2 UNEJ, LKiS, 2017 xviii + 440 halaman: 15,5 x 23 cm

1. Pancasila 2. Globalisasi

  ISBN: 978-602-6610-23-2 Prolog: Prof. Moh. Mahfud MD Editor: Al Khanif, Mirza Satria Buana, Manunggal Kusuma Wardaya Penyelaras Bahasa: Muhammad Bahrul Ulum Perwajahan Sampul/Buku: Dwi Agusatya Wicaksana Setting/Layout: Tim Redaksi LKiS Penerbit & Distribusi: Salakan Baru No. I Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 387194 Faks.: (0274) 379430 http://www.lkis.co.id e-mail: lkis@lkis.co.id Anggota IKAPI

Bekerja sama dengan The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration

(CHRM2) Universitas Jember Cetakan I: 2017 LKiS Percetakan: Salakan Baru No. I Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 417762 e-mail: lkis.printing@yahoo.com

PENGANTAR EDITOR PENGANT PENGANT PENGANT PENGANT AR EDITOR AR EDITOR AR EDITOR AR EDITOR

  egala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya buku ketiga Pancasila yang didukung penuh oleh Universitas Jember dan the Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2)

  S

  Universitas Jember telah berhasil dirampungkan. Kami dari tim editor, Universitas Jember dan CHRM2 tentu senang dengan diterbitkannya buku ini karena kami telah berhasil melewati banyak permasalahan yang mewarnai perjalanan panjang penulisan buku ini. Beberapa tantangan diantaranya terkait pemilihan tema dan proses seleksi artikel yang akan diterbitkan.

  Hampir setengah tahun tim editor selalu bekerja dan berkoordinasi untuk bisa menyelesaikan penulisan buku ini tepat waktu. Pada akhirnya kami dari tim editor menyepakati tema untuk buku ketiga Pancasila ini adalah “Pancasila Dalam Pusaran Globalisasi.”

  Pemilihan tema besar “globalisasi” yang menjadi kata kunci dalam buku ini, tidak saja dikarenakan sistem politik, hukum dan budaya global yang sudah semakin niscaya dan memengaruhi segenap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, namun juga dikarenakan globalisasi dalam konteks kekinian dihadapkan pada realita bangkitnya kekuatan ultra-nasionalis (kanan), radikalisme agama dan sentimen populisme di berbagai negara. Munculnya gerakan ultra-nasionalis di Eropa semacam English Defense League (EDL) dan United Kingdom Independence Party (UKIP), Front National Party yang dipimpin Jean-Marin Le Pen di Perancis, dan The Independent Party pimpinan Geert Wilders di Belanda layak untuk direnungkan. Apalagi gerakan ultra-nasionalis di Eropa juga menyebar ke

  

[ v ]

  

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

  Hungaria, Yunani, Swedia, Jerman, Austria dan Slovakia dengan satu slogan

  1 yakni anti imigran.

  Anti imigran yang menjadi kampanye utama dari gerakan ultra- nasionalis menunjukan bahwa “benturan peradaban” seperti yang ditulis oleh Samuel Huttington beberapa dekade silam layak untuk direnungkan. Hal ini disebabkan slogan “anti imigran” yang sekarang banyak berkembang di negara-negara maju sebenarnya juga berkaitan dengan penolakan mereka terhadap Islam dan bukan karena semata-mata alasan imigran. Tentu saja gerakan ultra-nasionalis tersebut menjadi anti-tesis globalisasi yang selama ini didengungkan oleh Barat. Hal ini dikarenakan revivalisme ultra- nasionalis muncul di negara-negara pendukung utama globalisasi dengan tingkat kemampuan ekonomi, pengetahuan demokrasi, pemahaman

  2

  toleransi, dan pemanfaatan teknologi yang sudah mapan. Gerakan ultra- nasionalisme ini secara evolutif mendapatkan respon yang cukup besar di negara-negara mayoritas kulit putih. Oleh karena itu, terpilihnya Donald Trump di Amerika juga menjadi indikasi bahwa kemunculan ultra- nasionalisme di berbagai negara tidak lah berdiri sendiri melainkan sebuah fenomena yang saling berkaitan. Beberapa sebabnya antara lain terkait identitas dan ekonomi nasional, kebijakan pasar, nilai-sosial dan demografi

  3 penduduk terutama imigran yang ada di negara-negara Barat.

  Di lain pihak, semangat nasionalisme juga terus tumbuh di negara- negara berkembang dengan dinamika dan kompleksitas yang beragam. Konflik antara perdagangan bebas dan proteksi aset negara, sekularisme vs. fundamentalisme agama, universalisme vs. relativisme hak asasi manusia telah menempatkan diskursus nasionalisme negara-negara berkembang

  4 1 dalam kerangka globalisasi yang kompleks. Seringkali pertentangan

The New York Times, “Europe’s Rising Far Right: A Guide to the Most Prominent Parties”, N Y

Times (13 June 2016), online: <https://www.nytimes.com/interactive/2016/world/europe/ europe-

2 far-right-political-parties-listy.html>.

  

Muhammad Abdul Bari, “Brexit and the spectre of Europe’s ugly nationalism”, (18 June 2016),

online: <http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2016/06/brexit-spectre-europe-ugly-nation-

3 alism-160608110032798.html>.

  

Patali C Ranawaka, “2017 a year of Transition from Globalization to Economic Nationalism”, (1

February 2017), online: <http://www.dailymirror.lk/article/-a-year-of-Transition-from-

4 Globalization-to-Economic-Nationalism-121493.html?fbrefresh=refresh>.

  Ibid.

  

Pengantar Editor

  tersebut menyebabkan pertentangan antara nasionalisme vs. globalisasi di banyak negara berkembang yang mengakibatkan konflik internal negara dan bahkan mengancam keamanan kawasan dan global.

  Dalam paparan sejarah dunia, boleh dikata tak seorangpun pengamat yang mampu memprediksi secara presisi bahwa ultra-nasionalisme akan mampu menjungkir balikkan etos integrasi bangsa dan globalisasi. Bahkan proposisi Fransis Fukuyama yang dianggap sangat hebat di awal tahun 1990an juga tidak mampu menjelaskan mengapa ultra-nasionalisme justru mendapatkan panggung kembali di era milenium. Padahal globalisasi dalam sejarahnya telah mampu melakukan rekonsiliasi seperti yang terjadi di Jerman maupun juga menipiskan jarak antar negara khususnya pasca selesainya perang dingin. Diawal abad milenia, Hong Kong kembali berintegrasi dengan Tiongkok daratan. Dunia seolah juga semakin rapat dan borderless terutama setelah rejim internasional terus menekan seluruh negara di dunia untuk memasuki era globalisasi dengan membuka diri khususnya terhadap investasi asing. Sejalan dengan ide tersebut, mereka juga memberlakukan stigma “axis of evil” terhadap negara-negara yang anti globalisasi seperti Iran, Korea Utara dan Tiongkok.

  Model Integrasi semacam ini mengakibatkan globalisasi dianggap sebagai sebuah kredo hubungan internasional. Negara-negara yang tidak inklusif terhadap globalisasi seperti Korea Utara, Iran, Tiongkok dan Kuba dianggap sebagai negara yang tidak demokratis dan tidak terbuka. Ketertutupan mereka dianggap berlawanan dengan nilai-nilai global. Mereka adalah negara-negara menyimpang harus dimusuhi oleh semua negara.

  Sampai pada akhirnya nilai-nilai dasar globalisasi tersebut justru diruntuhkan oleh para penganjur globalisasi itu sendiri. Salah satu contohnya adalah keterkejutan publik dengan hasil pilihan mayoritas warga Inggris dalam referendum yang mengeluarkan Inggris dari sistem Uni Eropa di awal tahun 2016 lalu. Tentu saja hasil referendum tersebut menjadi indikasi bahwa warga negara Inggris tidak lagi menganggap Inggris sebagai bagian dari Eropa dan tidak seharusnya menanggung semua persoalan ekonomi yang sekarang menghantam kawasan tersebut.

  Gejala menguatnya nasionalisme seperti yang terjadi di Eropa maupun di Amerika merupakan gejala global, yang manakala buku ini disusun,

  

[ vii ]

  

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

  begitu kuat menampak dan menyeruak. Gejala ini seolah muncul tiba- tiba, namun sebenarnyalah telah lama berkecambah dalam relung masyarakat kelas menengah di negara-negara Barat. Austria dalam pemilu eksekutif tahun lalu juga nyaris dikuasai partai populis-nasionalis. Pemilu Presiden Amerika Serikat 2016 bahkan memberi kejutan dengan terpilihnya sosok Donald Trump yang dikenal anti-keberagaman, anti-imigran dan anti-globalisasi. Sentimen anti-integrasi dan anti-keberagaman juga terasa kuat di Belanda, walaupun pada pemilu parlemen tahun 2017 narasi

  5

  populisme tersebut dapat dibendung. Tentu juga menarik disimak hasil pemilu Perancis dalam beberapa bulan menjelang pemilu tersebut akan menentukan arus utama paradigma Eropa mendatang.

  Tantangan nasionalisme sempit juga menjangkiti Indonesia, negara yang disebut-sebut paling demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) se-ASEAN. Gejala nasionalisme sempit yang anti- keberagaman berkembang dan mulai mendapatkan tempat di era Reformasi, dimana keran aspirasi publik mengalir kencang dan cenderung tiada batas. Puncak gunung es nya adalah pada perhelatan pemilu presiden 2014 silam, dimana masyarakat Indonesia terbelah dua; kami dan si liyan ( others). Kontestasi pemilu berubah menjadi arena zero sum game. Konsep “others” yang mulai menggejala di Indonesia pasca Reformasi sebenarnya merupakan pengulangan sejarah karena sebenarnya benih-benih ultra- nasionalisme yang membedakan pribumi dan non pribumi telah ada sejak jaman kolonial hingga di awal kemerdekaan. Salah satu indikasinya adalah adanya kelompok-kelompok yang memaksakan kehendak mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam seperti yang dilakukan oleh

6 Mohammad Natsir.

  Pertentangan dengan si liyan bernuasa politis yang sekarang sedang merebak di Indonesia terejawantahkan dalam beberapa isu-isu sensitif seperti perbedaan keyakinan, rapuhnya kohesi sosial antar umat beragama dan tafsir kebenaran sepihak. Isu-isu tersebut jika diabaikan akan dapat 5 menjadi ancaman potensial bagi keutuhan bangsa Indonesia yang majemuk

  The New York Times, 6 supra note 1.

  

Septian Prasetyo & others, “PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR TENTANG IDEOLOGISASI

  

ISLAM DI INDONESIA TAHUN 1949-1959” (2015) 3:2 J Mhs Teknol Pendidik, online:

<http://ejournal.unesa.ac.id/article/15336/38/article.pdf>.

  

Pengantar Editor

  dan toleran. Terutama jika intoleransi semacam ini menjadi salah satu slogan kampanye politik untuk menjaring simpati dari masyarakat. Hal ini disebabkan benih-benih intoleransi dan radikalisme sebenarnya masih ada di Indonesia terutama pasca tumbangnya Rejim Orde Baru. Orde Reformasi hanya berhasil menumbuhkan gerakan masyarakat sipil melainkan juga memberikan peluang kepada kelompok-kelompok radikal

  7

  untuk berkembang di Indonesia. Seringkali keduanya terlibat perdebatan di ruang-ruang publik terkait isu moralitas dan toleransi.

  Dalam menjawab tantangan-tantangan kontemporer tersebut, peran Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa menjadi sangat relevan untuk membendung paham-paham ekstrim diatas. Namun pertanyaan besar harus mulai diajukan terkait kemampuan Pancasila untuk menjadi penengah dalam kuasa tarik menarik antara globalisasi dengan sentimen ultra- nasionalis yang sedang menguat di Indonesia saat ini. Mungkinkah Pancasila

  8

  yang katanya Eka Dharmaputra sebagai periuk kosong karena hanya memuat pilar kebangsaan dalam lima sila yang sangat sederhana mampu menjawab persoalan besar tersebut? Pertanyaan ini layak untuk diajukan karena Pancasila telah lama dimanipulasi oleh Orde Lama dan Orde Baru. Lalu saat ini Pancasila justru terjebak dalam pusaran globalisasi, ultrasanionalisme dan juga fundamentalisme agama yang kian hari semakin menguat. Tawaran konsep Pancasila sebagai ideologi terbuka justru dimanfaatkan oleh beberapa kelompok untuk menggaungkan intoleransi, menyebarkan paham radikalisme bahkan melakukan terorisme. Oleh karena itu sudah saatnya ada pemikiran untuk menekankan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang mampu memediasi dan bergerak lincah menjawab persoalan-persoalan tersebut.

  Berdasarkan pemikiran diatas, buku ini diharapkan dapat digunakan oleh para pembaca untuk memahami perubahan sosial politik mutakhir yang berlangsung di aras global. Selain itu, buku ini juga diharapkan dapat 7 memberikan perspektif baru bagi bangsa Indonesia dalam menyiasati ekses

  Zachary Abuza, Political Islam and violence in Indonesia, 1st ed, Asian security studies (New York: 8 Routledge, 2007) hlm. 67.

  Al Khanif, Protecting Religious Minorities within Islam in Indonesia: A Challenge for International

Human Rights Law and Islamic Law (SOAS University of London, 2016) [unpublished] hlm.

192.

  

[ ix ]

  

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

  perubahan tersebut dalam kehidupan bernegara. Pancasila sebagai ideologi bangsa yang dikaji dari berbagai sudut oleh para penulisnya dalam buku ini diyakini akan menjadi benteng bagi bangsa Indonesia dari kuatnya pusaran globalisasi dan perubahan yang walau tak selalu bermakna negatif, pula berpotensi mengancam keutuhan dan jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat.

  Jember, 30 April 2017 Editor

  Manunggal K. Wardaya, Universitas Jenderal Soedirman Mirza Satria Buana, Universitas Lambung Mangkurat

  Al Khanif, Universitas Jember DAF D D AF AF T AF T TAR K T AR KONTRIBUTOR AR K AR K ONTRIBUTOR ONTRIBUTOR ONTRIBUTOR D D AF T AR K ONTRIBUTOR

  M M oh. M oh. M ahfud M.D., ahfud M.D., M Moh. M M oh. M oh. Mahfud M.D., ahfud M.D., ahfud M.D., S.H., (Universitas Islam Indonesia), S.U., (Universitas Gadjah Mada), Dr. (Universitas Gadjah Mada), adalah guru besar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, hakim Mahkamah Konstitusi periode 2008–2013, dan Menteri Pertahanan di era Presiden Abdurrahman Wahid.

  M M Murni H M M urni H urni H urni H urni Hermawaty S ermawaty S ermawaty S ermawaty S ermawaty Sitanggang itanggang itanggang itanggang, S.Th. (Sekolah Tinggi Alkitab Jember), itanggang M.Th. (Seminari Alkitab Asia Tenggara), adalah pengajar di UPT-BSMKU Universitas Jember.

  Anik I Anik I ftitah ftitah Anik I Anik Iftitah Anik I ftitah ftitah, S.H., (Universitas Brawijaya Malang) adalah mahasiswa program pascasarjana Universitas Islam Kediri.

  A A dam M dam M uhshi uhshi A Adam M A dam M dam Muhshi uhshi uhshi, S.H., (Universitas Jember), S.AP., (Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi-Lembaga Administrasi Negara, Bandung), M.H., (Universitas Airlangga) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember.

  M Made P M M M ade P ade P ade Pramono ade P ramono ramono ramono, S.S., (Universitas Gadjah Mada), M.Hum., (Universitas ramono Gadjah Mada), Dr. (Universitas Gadjah Mada) adalah staf pengajar di Universitas Negeri Surabaya.

  M Moch. Choir M och. Choir och. Choir och. Choirul Rizal ul Rizal ul Rizal ul Rizal, S.HI., (Universitas Islam Negeri Surabaya), M.H., M M och. Choir ul Rizal (Universitas Trunojoyo Madura) adalah peneliti di Penal Policy of Initiatives (POINTS).

  

[ xi ]

  

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

  Al Khanif Al Khanif, S.H. (Universitas Jember), M.A. (Universitas Gadjah Mada), Al Khanif Al Khanif Al Khanif LL.M. (Universitas Lancaster), Ph.D. (School of Oriental and African Studies/SOAS Universitas London) adalah pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember, direktur the Centre for Human Rights, Multi- culturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember dan Ketua Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia periode 2017-2019.

  Khoir Khoir Khoir Khoir Khoirul Anam ul Anam, S.Thi., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo), M.A. ul Anam ul Anam ul Anam (Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada) adalah Editor Media Damai di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

  F Fiska M F iska M iska M iska Maulidian N aulidian N aulidian Nugr aulidian N ugr ugroho ugr oho oho, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas oho F F iska M aulidian N ugr oho Airlangga) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember.

  D D D D Dominikus Rato ominikus Rato, S.H. (Universitas Jember), M.Si (Universitas Airlangga), ominikus Rato ominikus Rato ominikus Rato Dr. (Universitas Diponegoro) adalah guru besar dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember. Fokus keahlian dan penelitiannya adalah hukum adat dan filsafat hukum.

  SS S ukr ukr ukron M ukr on M on M on M on Maaaaa’’’’’mun mun mun mun mun, S.HI., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo) SSukr M.Hum., (Universitas Gadjah Mada) adalah staf pengajar di Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Aktivis muda NU ini pernah mengikuti short course Religious Pluralism di University of California, Santa Barbara, USA; Muslim Exchange Program (MEP) di Australia; Short Course Research Methodology di Western Sydney University, Australia; dan Short Course di English and Foreign Language University (EFLU) Hyderabad, India.

  Mir M M M M ir irza S ir ir za Satria B za S za S za S atria B atria B atria B atria Buana uana, S.H., (Universitas Lambung Mangkurat), M.H., uana uana uana (Universitas Islam Indonesia), Dr. (T.C. Beirne School of Law Universitas Queensland) adalah pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.

  IIIIIrham B rham B rham B rham B rham Bashori H ashori Hasba ashori H ashori H ashori H asba, S.HI., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo), asba asba asba M.H., (Universitas Islam Indonesia) adalah staf pengajar di Universitas Islam Negeri Malang.

  D D D D Dina ina T ina ina ina Tsalist T T T salist W salist salist salist W Wildana W W ildana ildana ildana, S.HI., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo ildana Yogyakarta) LL.M., (Universitas Gadjah Mada) adalah staf pengajar di

  

Daftar Kontributor

  Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember. Anwar Masduki Anwar M Anwar M Anwar M Anwar M asduki, S.HI., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga asduki asduki asduki Yogyakarta), M.A., (Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. E Emanuel Raja D E E E manuel Raja Damaitu manuel Raja D manuel Raja D manuel Raja D amaitu amaitu amaitu amaitu, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas Negeri Sebelas Maret) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Widya Karya Malang. Ayuningtyas S Ayuningtyas S aptarini aptarini Ayuningtyas Saptarini Ayuningtyas S Ayuningtyas S aptarini, S.H., (Universitas Jember) adalah mahasiswa pada aptarini program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember dan pegiat sosial di Mata Timoer Institute Jember. Wiwit K W W iwit K iwit Kurniawan iwit K urniawan urniawan, S.S. (Universitas Muhammadiyah Purwokerto), M.A., urniawan W W iwit K urniawan (Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada) adalah staf pengajar di Universitas Pamulang dan peneliti di Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Muhammad B M M M M uhammad B uhammad B uhammad Bahr uhammad B ahr ahr ahr ahrul U ul Ulum ul U ul U ul U lum, S.H., (Universitas Jember), LL.M. (Universitas lum lum lum Osmania) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember. H Hayatul I H ayatul I ayatul I ayatul Ismi smi, S.H., (Universitas Riau), M.H., (Universitas Islam Indonesia), smi smi H H ayatul I smi Dr. (Universitas Padjajaran) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Riau. Rosita I R R R R osita I osita I osita I osita Indrayati ndrayati ndrayati, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas Airlangga) ndrayati ndrayati adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember. M. Iwan S M. I M. I wan Satriawan wan S wan S atriawan atriawan, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas atriawan M. I M. I wan S atriawan Brawijaya) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Achmadudin Rajab A A chmadudin Rajab chmadudin Rajab, S.H., (Universitas Indonesia), M.H., (Universitas chmadudin Rajab A A chmadudin Rajab Indonesia) adalah tenaga fungsional perancang undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

  

[ xiii ]

  

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

  SS S adhu B adhu B adhu Bagas S adhu B agas Suratno agas S agas S agas S uratno uratno uratno uratno, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas SSadhu B Jember) adalah staf di Biro Hukum Pemerintah Daerah Banyuwangi.

  Cakra Abbas Cakra A Cakra A Cakra A Cakra A bbas, S.HI., (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), bbas bbas bbas M.H., (Universitas Sumatera Utara), Dr. (Universitas Sumatera Utara) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

  D D AF AF T T AR ISI AR ISI DAF D D AF AF T TAR ISI T AR ISI AR ISI

  → → → → Pengantar Editor → v → → → → Daftar Kontributor → xi → → → Daftar Isi → xv PR PROL PR PR PR OL OLOG OL OL OG OG OG OG → → → → Pancasila sebagai Pijakan Politik dan Ketatanegaraan →

  1 Moh. Mahfud MD → → → →

  BAB I PANCASIL BAB I P BAB I P BAB I P BAB I P ANCASIL ANCASIL ANCASIL ANCASILA, A A, A A, A A, AGAMA DAN GL A, A GAMA DAN GLOBALISASI GAMA DAN GL GAMA DAN GL GAMA DAN GL OBALISASI OBALISASI OBALISASI OBALISASI → → → → →

  15 Pancasila, Agama dan Tantangan Globalisasi →

  17 Murni Hermawati Sitanggang → → → → Pancasila versus Globalisasi: Antara Konfrontasi dan Harmonisasi? →

  35 Anik Iftitah → → → Mengkaji Hak Beragama dalam Sistem Hukum Pancasila →

  51 Adam Muhshi Spiritualitas Pancasila: Dari Korupsi Spiritual ke Pancaran Intensional → → → Universalitas Nilai-Nilai Pancasila →

  73 Made Pramono → → → → Mediasi Penal dan Pembaruan Hukum Berperspektif Pancasila →

  91 Moch. Choirul Rizal

  

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

  BAB II P BAB II P ANCASIL ANCASIL A, RADIKALISME DAN IDEOL A, RADIKALISME DAN IDEOL OGI OGI BAB II P BAB II P BAB II PANCASIL ANCASILA, RADIKALISME DAN IDEOL ANCASIL A, RADIKALISME DAN IDEOL OGI OGI A, RADIKALISME DAN IDEOLOGI → → → → TRANSNASIONAL → TRANSNASIONAL TRANSNASIONAL TRANSNASIONAL TRANSNASIONAL 111 → → → → Pancasila dalam Pusaran Islam Transnasional → 113 Al Khanif → → → Quo Vadis Ilusi Khilafah di Negara Pancasila → 129 Khoirul Anam → → → → Pancasila: Refleksi Sadar Ideologi sebagai Anti-virus Radikalisme → 147 Fiska Maulidian Nugroho

  BAB III P BAB III P BAB III P BAB III P BAB III PANCASIL ANCASIL ANCASIL ANCASILA SEBA ANCASIL A SEBAGAI IDEOL A SEBA A SEBA A SEBA GAI IDEOLOGI INKL GAI IDEOL GAI IDEOL GAI IDEOL OGI INKLUSIF DI ERA OGI INKL OGI INKL OGI INKL USIF DI ERA USIF DI ERA USIF DI ERA USIF DI ERA → → → GLOBALISASI GLOBALISASI GLOBALISASI → GLOBALISASI GLOBALISASI 173 → → → → Pancasila sebagai Ideologi yang Hidup → 175 Dominikus Rato → → → → Pancasila, Ideologi Bangsa yang Terkoyak → 193 Sukron Ma’mun → → → → Pancasila, Multikulturalisme dan Tantangan Inklusi Sosial → 215 Mirza Satria Buana Patriarkhisme Pancasila: Dialektika Perempuan dalam Perumusan → → → → Pancasila dan Pembangunan Bangsa Indonesia → 237 Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana → → → Menguji Negara Paripurna: Pancasila dan Tantangan Dunia Maya → 261 Anwar Masduki BAB IV PANCASIL BAB IV P ANCASIL ANCASIL ANCASIL ANCASILA, KEDA BAB IV P BAB IV P BAB IV P → → → A, KEDA A, KEDAUL A, KEDA A, KEDA ULA UL UL UL A A A AT T TAN NEGARA DAN T T AN NEGARA DAN AN NEGARA DAN AN NEGARA DAN AN NEGARA DAN GLOBALISASI → GLOBALISASI GLOBALISASI GLOBALISASI GLOBALISASI 277 → → → → Moralitas Pancasila dalam Kesesatan Globalisasi → 279 Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini

  

Daftar Isi

→ → → →

  Pancasila dan Kedaulatan Bahasa dalam Pusaran Globalisasi → 301 Wiwit Kurniawan → → → → Pancasila dalam Arus Liberalisasi Pangan Pascareformasi → 317 Muhammad Bahrul Ulum Menguji Keadilan Pancasila dalam Menjaga Kedaulatan Rakyat → → → → atas Tanah → 337 Hayatul Ismi

BAB V KEADIL BAB BAB BAB BAB V KEADILAN DAN DEMOKRASI P V KEADIL V KEADIL V KEADIL AN DAN DEMOKRASI PANCASIL AN DAN DEMOKRASI P AN DAN DEMOKRASI P AN DAN DEMOKRASI P ANCASIL ANCASIL ANCASIL ANCASILA DI ERA A DI ERA A DI ERA A DI ERA A DI ERA → → → → GLOBALISASI GLOBALISASI GLOBALISASI → GLOBALISASI GLOBALISASI 355 → → → → Pancasila dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia → 357 Rosita Indrayati

  → → → → Purifikasi Pilkada dan Revitalisasi Demokrasi Pancasila di Indonesia → 371 M. Iwan Satriawan Solusi Pancasila dalam Pembaharuan Demokrasi Indonesia: Kajian → → → Penyempurnaan Regulasi Pilkada → 387 Achmadudin Rajab → → → →

  Menyoal Aktualisasi Pancasila dalam Perspektif Mahkamah Konstitusi → 405 Sadhu Bagas Suratno → → → → Pancasila di Era Globalisasi: Sebuah Perspektif Ketatanegaraan → 423 Cakra Arbas

  

[ xvii ] PANCA PANC PANC PANC PANC A A A ASIL SIL SIL SIL SILA A A A

  A, IDEOLOGI BANGSA Y , IDEOLOGI BANGSA Y , IDEOLOGI BANGSA Y , IDEOLOGI BANGSA YANG , IDEOLOGI BANGSA Y ANG ANG ANG ANG TERK TERK TERKO TERK TERK OY O O O Y Y YAK Y AK AK AK AK Sukron Ma’mun

  rus global tidak hanya menyangkut ranah sosial, politik, dan budaya, namun juga melibatkan sisi agama sebagai “penyedap” dalam pertempuran ideologi sebagai bungkus kepentingan, baik politik

  A

  ataupun ekonomi. Kenyataannya agama menjadi sumbu peledak yang paling ampuh untuk memporak-porandakan tatanan politik yang berkeadaban dan menjunjung tinggi moralitas kemanuasiaan.

  Persoalan inilah yang nampaknya terjadi dalam dua tahun terakhir belakangan dan memiliki kecenderungan untuk terus menguat. Indikasi yang mampu memberikan gambaran akan terjadinya penguatan adalah adanya kekuatan-kekuataan politik yang mampu memahami karakter masyarakat bangsa, sebagai komunitas yang relijius dan kompromistis terhadap berbagai persoalan.

  1 Gerakan keagamaan transnasional juga telah menjadi bagian yang tak

  terpisahkan dalam sisitem sosial dan politik bangsa Indonesia, semenjak

  2

  reformasi tahun 1998 lalu. Hal ini tidak bisa dipungkiri mengingat kran kekebasan dalam sistem demokrasi memungkinkan masyarakat untuk bebas 1 berserikat, berkumpul, berpendapat, dan memilih keyakinannya. Sistem

  

Gerakan keagamaan transnasional juga merupakan efek dari globalisasi dalam ranah politik, ekonomi,

dan budaya. Kendurnya sekat-sekat (boundaries) ikatan sosial, budaya, dan politik sebuah masyarakat

mengakibatkan mudah diterimanya berbagai aliran, ideologi, dan pemahaman kelompok lain.

Derasnya arus informasi sebagai bagian tak terpisahkan dari modernisasi dan globalisasi menjadi

faktor pendorong cepatnya merambah gerakan keagamaan transnasional.

  

[ 193 ]

  

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

  rezim politik represif terhadap Islam yang dimainkan Orde Baru telah meledakkan gerakan Islam baik politik maupun keagamaan murni.

  Kelompok-kelompok keagamaan yang selama ini “terindimitasi” oleh pemerintahan Orde Baru menyeruak dan mencari eksistensi diri dalam ruang publik yang terbuka. Ekspresi kebebasan ditunjukkan dengan penguatan ideologi, gerakan keagamaan, dan sakralitas ritual. Ideologi- ideologi yang selama ini belum dikenal oleh masyarakat tiba-tiba muncul menjadi idola baru bagi masyarakat yang dimabuk kebebasan.

  Ekspresi keagamaan pada masa-masa awal reformasi menunjukkan hal yang bersifat positif, karena mengarah pada bentuk keterbukaan alam demokrasi, dalam berserikat, berpedapat, dan tentunya berkeyakinan. Namun belakangan nampaknya gerakan keagamaan tersebut lambat laun mulai mengkristal untuk menemukan titik kejelasan atau orientasi yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak.

3 Ali menyatakan bahwa gerakan keagamaan di Indonesia dapat dipilah

  dalam dua bkelompok besar, yakni kelompok mainstream dan non-main- stream. Kelompok gerakan Islam mainstream merujukan pada model gerakan keagamaan yang memiliki akar kuat dalam perjalanan masyarakat Muslim di Indonesia. Gerakan keagamaan ini seperti Miuhammadiyyah, NU, Persatuan Islam Indonesia (Persis) dan Mathlaul Anwar. Sementara gerakan non-mainstream adalah gerakan keagamaan yang tidak memiliki basis kuat dalam perjalanan gerakan di Indonesia, karena berangkat dari gerakan keagamaan transnasional.

  Masing-masing kelompok ini masih dapat dipilah-pilah jenis dan modelnya, mengingat beragamannya orientasi yang ingin dicapai dalam pembentukan gerakan tersebut. Gerakan Islam mainstream dengan berbagai anak gerakan sendiri dapat dipilah dalam tiga model, yakni Islam modernis,

  4 2 Islam tradisonalis-konservatif, transformasi Islam, dan Islam fundamentalis.

  Lihat M Imdadun Rahmad, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah

Ke Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005) hlm. X. Lihat pula As’ad Said Ali, Ideologi Gerakan Pasca-

Reformasi: Gerakan-gerakan Sosial-Politik dalam Tinjauan Sosialogis (Jakarta: LP3ES, 2013), hlm.

3 vii-xi.

  As’ad Said Ali, Ibid., 63-144. Baca pula As’as Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan 4 Berbangsa (Jakarta: LP3ES, 2009), hlm. 286-307.

  As’ad Said Ali, Ideologi, hlm. 63-64.

  

Sukron Ma’mun

  Sementara kelompok non-mainstream dalam dipilah menjadi dua, yakni kelompok salafi dan non-salafi. kelompok salafi merujuk pada model Islam literal dan kaffah. Sementara non-salafi berusaha mewujudkan cita-cita

  5 politik Islam.

  Dalam konteks demokrasi dan kemajemukan Indonesia tentu hal ini sangat wajar terjadi. Adanya pluralitas dalam keyakinan beragama merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan, namun bagaiamana jika pluralitas tersebut mengancam bangunan fundamental dari ideologi besar bangsa yang menjadi penyangga berdirinya bangsa? Pancasila merupakan ideologi bangsa yang menjadi pondasi berdirinya bangsa Indonesia. Ia merupakan hasil perasan dari berbagai ideologi yang tumbuh di Nusantara. jika demikian adanya, pertanyaan selanjutnya adalah akankah sebuah bangsa mampu bertahan dalam ancaman rongrongan yang menggerus kerangka besar bangunannya? Jika ia berpotensi merobohkan imaginasi bersama, bagiamanakah seharusnya diselamatkan?

  Konteks Historis Keragaman Ideologi Konteks Historis Keragaman Ideologi Konteks Historis Keragaman Ideologi Konteks Historis Keragaman Ideologi Konteks Historis Keragaman Ideologi

  Secara ideologis Pancasila merupakan hasil dari proses resapan budaya, ajaran, dan nilai-nlai bangsa Indonesia yang sangat plural. Keberagaman budaya dan keyakinan masyarakat Indonesia adalah hasil warisan dan silang budaya yang menjadi bagian dari sejarah Indonesia semenjak berkembang- nya peradaban Nusantara. Posisi silang nan strategis inilah yang menjadikan bangsa Indonesia tumbuh dalam keragaman budaya dan ideologi.

  6 Sartono Kartodirdjo, dalam pengantar buku Denys Lombard,

  menyatakan periodisasi kebudayaan dan ideologi masyarakat Nusantara mengalami tiga periode, yakni Hindu-Budha, Islamisasi, dan Westernisasi. Pengaruh ideologi dan budaya Hindu-Budha mungkin dapat dikatakan sebagai periode cukup lama memberikan pengaruh terhadap cara berfikir masyarakat Nusantara, yakni berlangsung sekirat 14 abad. Pengaruh 5 Kategori salafi dan non-salafi ini ditunjukkan oleh As’ad Said Ali untuk membedakan gerakan

  

keagamaan non-mainstream yang memiliki orentasi politik dan murni gerakan agama. Meskipun

pada gerakan mainstream juga terdapat kelompok non-salafi. lihat 6 Ibid, 73-74.

  Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejara Terpadu, Bagian 1: Batas-Batas Pembaratan (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. xv.

  

[ 195 ]

  

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

  ideologi Islam berlangsung sekitar 7 dan pengaruh ideologi barat dengan

  7 varian agamanya berlangsung selama 4 abad.

  Hindu dan Budha yang berasal dari India memberikan warna dalam ideologi Nusantara mulai dari abad ketiga dan keeampat Masehi. Agama yang berasal dari Asia Selatan ini bukan hanya memberikan nuansa religi, tetapi juga memberikan cetak budaya pada masyarakat Nusantara hingga Indonesia modern. “Kontak” Islam dengan penduduk Nusantara disinyalir mulai abad ketujuh Masehi belum mampu memberikan warna ideologi dan budaya masyarakat Nusantara hingga abad ketiga belas Masehi. Artinya tujah abad Islam memasuki wilayah Nusantara namun tidak banyak mem- berikan pengaruh terhadap keyakinan dan kebudayaan Nusantara kala itu.

  Sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dimulai abad ke-7 hanya menyentuh wilayah kontak ekonomi, belum merambah pada ranah ideologis dan kebudayaan. Islam baru secara massif menjadi bagian dari keyakinan masyarakat Nusantara dan mampu meberikan warna kebudayaan baru sekitar abad ketiga belas hingga empat belas Masehi. Hal ini ditandai oleh konversi masyarakat Nusantara untuk mengikuti ajaran Islam, serta massifnya intensitas masyarakat Timur Tengah dan India Muslim masuk wilayah Nusantara.

  Hingga pada titik itu, Islam secara ideologis dan kebudayaan pada dasarnya belum diikuti secara “kaffah” (totalitas) oleh pemeluk barunya. Bahkan yang terjadi adalah adalah akulturasi kebudayaan antara Islam dan Jawa, yang tentu saja kental dengan budaya Hindu-Budha dan keyakinan animis-dinamis yang sudah ada. Pada proses selanjutnya terjadi sinkretisme ajaran, sehingga menyebabkan model dan praktik keagamaan Islam

  

8

  masyarakat Nusantara menjadi unik. Tidak mengherankan banyak model keislaman yang tumbuh dalam masyarakat muslim Nusantara sebagai artikulasi sinkretisme ajaran Islam dengan keyakinan lokal. Hal ini menunjukkan adanya penerimaan terhadap ajaran baru, namun masih

  9 7 kuatnya pengaruh ajaran lama yang telah ada.

  Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 8 2015), hlm. 57.

  Martin Van Bruinessen, “Global andLocal in Indonesia lslam” dalam Southeast Asian Studies, 9 Kyoto: vol 37, No 2, 1999, hlm. 46-63.

  Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), hlm. 170. Lihat pula

Andik Wahyu Muqoyyidin, Dialektika Islam dan Budaya Lokal dalam Bidang Sosial Sebagai Salah

Satu Wajah Islam Jawa,

el Harakah, Vol. 14. No. 1, 2012, hlm. 21-22.

  

Sukron Ma’mun

  Selain diterima Islam sebagai bagian dari ideologi dan kebudayaan baru di Nusantara, masyarakat Nusantara juga memperoleh pengaruh Konghucu yang berasal dari China. Orang-orang China memberikan pengaruh cukup

  10

  dalam kebudayaan dan ideologi masyarakat Nusantara. Lebih dari itu pada perkembangannya etnik China juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem sosial masyarakat Nusantara. Komunitas China dan tentu dengan ideologi dan kebudayaannya menjadi warna tersendiri dalam perkembangan masyarakat Nusantara, yang tersebar di berbagai wilayah.

  Kedatangan kaum kolonial Eropa mulai abad 16, beberapa diantaranya adalah Portugis, Inggris, dan Belanda, memberikan pengaruh ideologi dan budaya modern bagi masyarakat Nusantara. Agama Kristen yang awalnya tidak dikenal oleh penduduk Nusantara mulai dikenal dan dikuti. Meskipun datang lebih akhir dibanding dengan ketiga agama sebelumnya, Kristen memberikan warna yang cukup mengingat kolonial Belanda yang memerintah Indonesia mayoritas pemeluk agama Kristen. Meskipun tidak ada pemaksaan agama oleh pemerintahan Hinda Belanda, namun kontak pemerintah dengan penduduk lokal memberikan imbas yang signifikan terhadap keberagaman masyarakat Indonesia pada nantinya.

  Kenyataan di atas tentu bukan hal kebetulan belaka, namun sebuah proses sejarah yang berlangsung dalam cukup lama. Keragaman bangsa Indonesia tentu bukan kebetulan semata, namun dialektika dan negosiasi berbagai keyakinan dan budaya terjadi secara intensif. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah proses tersebut berjalan sangat harmonis dan nyaris tanpa perselisihan berarti. Mengapa hal ini dapat terjadi? Menurut

11 Suyanto hal ini lebih karena disebabkan oleh karakteristik budaya Jawa

  1 0 yang cenderung religious, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan 1 1 Yudi Latif, Negara, hlm. 58.

  

Lebih jauh Suyanto menyebutkan karakter di atas melahirkan corak, sifat, dan kencenderung masyarakat

Jawa dalam 10 sifat; 1) Percaya pada Tuhan Yang Mahaa Esa sebagai sangkan paraning dumani

(tempat manusia berasal). 2) Bercorak idealitis, percaya pada hal-hal yang bersifat adikodrati

  

(supranatural), dan cenderung mistik. 3) Lebih mebnutamakan hakikat daripada segi-segi formal

dan ritual. 4) Mengutamakan cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia. 5)

Percaya pada takdir dan cenderung bersikap pasrah. 6) Bersifat konvergen dan universal. 7) Momot

dan non-sekterian. 8) Cenderung pada simbolisme. 9) Cenderung pada gotong royong, guyub,

rukun, dan damai. 10) Kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi. Lihat Suyanto,

Pandangan Hidup Jawa (Semarang: Dahana Prize, 1990), hlm. 144.

  

[ 197 ]

  

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

  optimistik. Karakter yang demikian menjadikan masyarakat Nusantara, dengan komunitas etnik Jawa paling dominan, memiliki tingkat keragaman ideologi, budaya, sosial, dan politik. Dengan demikian, keragaman menjadi menjadi hal yang sangat wajar terjadi.

  Pancasila sebagai I P P ancasila sebagai I ancasila sebagai Ideologi B ancasila sebagai I deologi B deologi B deologi Bangsa angsa angsa angsa P P ancasila sebagai I deologi B angsa

  Pancasila lahir dalam konteks keragaman budaya dan ideologi masyarakat Nusantara. Ia merupakan konsesus dari berbagai keyakinan dan faham yang telah tumbuh di bumi Nusantara. Bahkan lebih dari itu Pancasila lahir dalam situasi pertarungan ideologi-ideologi besar dunia yang ada kala itu, yakni Liberalisme, Sosialis-Komunisme, Chauvinisme, dan Kosmopolitisme. Pancasila lahir setelah melalui pemikiran matang para pendiri bangsa yang tidak serta merta memunculkan poin-poin dasar (sila) yang lima tersebut.

  Pancasila adalah dasar yang menjadi pijakan dalam setiap langka masyarakat bangsa dan tentu sistem pemerintahan dengan berbagai aturannya. Karenanya dalam sejarah penyusunannya ia digodog secara matang, melalui kejernihan fikir dan ketulusan hati. Ia merupakan resapan nilai-nilai fundamental dari kebudayaan, keyakinan atau kepercayaan, dan fasalah (cara pandang) bangsa Indonesia.

  Hal yang perlu ditetakkan disini adalah Pancasila bukan sebuah kebetulan belaka, meskipun proses perumusannya terjadi setelah adanya janji kemerdekaan pemerintahan Jepang yang menguasai Indonesia kala itu, tahun 1945. Jepang yang menjanjian kemerdekaan Indonesia sejak September 1944, membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 29 April 1945. BPUPK sendiri mulai melakukan persidangan pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Hal yang mendasar dalam pertemuan tersebut adalah pembicaraan mengenai dasar

  12 negara.

  Masing-masing anggota memberikan pandangan mengenai hal-hal dasar yang menjadi landasan bernegara. Beberapa hal mendasar yang 1 2 dibicara dalam persidangan tersebut adalah pentingnya ketuhanan (agama)

  A.M.W Pranaka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila (Jakarta: CSIS, 1985), hlm. 31.

  

Sukron Ma’mun

  dalam bernegara, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, demokrasi

  13 permusyawaratan, dan nilai-nilai keadilan atau kesejahteraan sosial.

  Masing-masing tokoh memberikan pandangan mengenai dasar negara Republik Indonesia, beberapa diantaranya yang diminta memberi pendangan oleh ketua BPUPK, Radjiman Wediodiningrat adalah

  14 Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno.

  Dalam pandangan Muhammad Yamin, ketika berpidato di sidang BPUPK tanggal 29 Mei 1945, lima mendasar dari kehidupan bernegara adalah peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Sementara Soepomo yang berkesempatan memberikan pandangan pada 31 Mei 1945 menyatakan lebih abstrak dari gagasan Muhammad Yamin. Soepomo hampir senada dengan Yamin, ia melihat pentingnya prinsip ketuhanan, kemanusaian, persatuan, permusyawaratan dam keadilan/kesejahteraan sebagai fundamen

  15

  kenegaraan. Meskipun Soepomo lebih melihat pentingnya sebuah negara memiliki falsafah yang mendasar sebagai pondasi kehidupan. Ia juga mengusulkan aliran bagi Indonesia merdeka adalah alirah atau faham

  16 integralistik.

  Sementara Soekarno yang mendapatkan kesempatan mengemukakan gagasannya pada tanggal 1 Juni 1945 mengemukakan gagasan yang hampir sama dengan Yamin dan Soepomo. Hanya saja urutannya berbeda, kelima dasar tersebut adalah kebangsaan Indonesia, internasionalisasi atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Soekarno memberikan pandangan yang runut, solidm dan koheren sehingga mampu menyakinkan anggota BPUPK yang berjumlah 69 plus 7 anggota istimewa (Tokubetu Iin) perwakilan

  17 pemerintahan Jepang.

  1 3 Yudi Latif, 1 4 Negara, hlm. 10-11.

  

Ibid. Lihat pula Muhammad Choirul Huda, Meneguhkan Pancasila Sebagai Ideologi Bernegara:

Implementasi Nilai Keseimbangan dalam Pembangunan Hukum, dalam Absori, dkk (ed),

Transendensi Hukum: Prospek dan Implementasi (Yogyakarta: Genta Publishing 2016), hlm.

1 5 494. Yudi Latif, 1 6 Negara, hlm. 10. A.M.W Pranaka, 1 7 Sejarah, hlm. 31. Yudi Latif, Negara, hlm. 669-671.

  

[ 199 ]

  

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

  Pada dasarnya Soekarno sendiri tidak mempersoalkan urutan lima dasar tersebut harus sebagaimana yang ia sampaikan. Ia mempersilahkan urutan tersebut dibuat sesuai dengan kesepakatan. Namun yang lebih penting dari Soekarno adalah dasar-dasar tersebut hendaknya menjadi “dasar falsafah” (philosofische grondslog) atau “pandangan dunia” (weltanschauung) bagi

  18 bangsa dan negara Indonesia.

  Soekarno memberikan nama Pancasila yang berasal dari Bahasa Sansekerta. Panca berarti lima dan Sila berarti dasar. Angka lima menurut Soekarno merupakan “angka keramat” yang diyakini oleh bangsa Indonesia.

  Dalam ajaran Jawa terdapat ajaran etika mengenai larangan “Mo-Limo”. Taman Siswa dan Chuo Sangi memiliki ajaran “Panca Dharma”. Hindu- Jawa memiliki keyakinan kesatria Pandawa Lima. Islam memiliki rukun Islam yang berjumlah lima. Soekarno menyebut lima dasar tersebut dengan

  19 asosiasi penggunaan istilah Leitstar atau bintang pemimpin.

  Lima dasar dalam rumusan Pancasila adalah sari pati nilai-nilai kehidupan bangsa yang telah mengakar dalam alam pikir, sikap hidup, cara pandang hidup, dan tindakan masyarakat Indonesia. Sehingga wajar banyak ilmuwan, tokoh, dan pemerhati dunia yang menyatakan bahwa rumusan dalam Pancasila adalah karya agung bangsa Indonesia.

  Pancasila merupakan sitensa dan juga antitesa dari berbagai ideologi. Rumusan yang terkadung dalam Pancasila merepresentasikan sebuah imaji besar dari bangsa Indonesia, bahwa Indonesia bukan negara agama, sekuler, ataupun sosialis. Tetapi juga mencerminkan bagaimana rumusan sila-sila di dalamnya merupakan resapan dari nilai-nilai agama, pandangan sosialis dan liberalis. Namun demikian Pancasila bukan ideologi agama, apalagi nilai ideologi sosialis, komunis, dan liberalis.