PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA DI NEGARA MUSLIM - Test Repository

  xii PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA DI NEGARA MUSLIM

  SINOPSIS

  Keinginan kuat umat Islam untuk menerapkan syariat adalah lumrah karena Islam adalah agama yang mereka yakini kebenarannya. Dalam perspektif global, kecenderungan untuk menjalankan ajaran agama menjadi mainstream setelah berakhirnya perang dingin pada akhir 1980 yang mengakibatkan memudarnya ikatan-ikatan ideologis dan kembali pada simpul-simpul primordial seperti agama. Dunia Islam mempunyai pengalaman beragam mengenai berbagai upaya guna mempertahankan eksistensi hukum-hukum agamanya, mulai dari ‘ekstrim kiri’ yang meleburkan hukum agama dalam hukum sekular bahkan pada tingkat tertentu menggantikannya dengan hukum

  Sanksi pelanggaran Pasal 72: Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002

  sekular hingga ‘ekstrim kanan’ yang menerapkan hukum Islam secara

  Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 Pasal 44 Tentang

  rigid sebagaimana tertulis dalam teks keagamaan disertai pressure

  Hak Cipta

  struktur keagamaan. Tantangan modernitas telah mengarahkan

  1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana negara-negara Muslim untuk melakukan pembaharuan berupa upaya

penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit

  positifisasi hukum keluarga dengan metode dan pendekatan yang

  Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

  disesuaikan dengan pengalaman keberagamaan dan kultur masing-

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau

  masing. Namun demikian secara garis besar dapat ditarik benang

  menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau

  merah bahwa metode eklektik telah menjadi pilihan terlaris dalam

  hak terkait, sebagaimana dimaksud ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus

  kerangka mempertemukan antara divine law dan man-made law

  juta rupiah) secara harmonis. xi

BAB IV METODE PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA; SEBUAH ANALISIS KOMPARATIF ~ 89 A. Dinamika Hukum Islam dalam Tantangan Modernitas ~

  x

  89 B. Metode Pembaharuan Hukum Keluarga ~ 99

  DAFTAR PUSTAKA ~ 109 TENTANG PENULIS ~ 115 Moh Khusen, M.A.

  PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA DI NEGARA MUSLIM Moh Khusen, M.A. PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA DI NEGARA MUSLIM —Salatiga: 2012 xii + 118 hal.; 14,5 x 20,5 Hak Cipta dilindungi undang-undang © 2013

DAFTAR ISI

  Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektris maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penulis dan Penerbit.

  KATA PENGANTAR ~ v Penulis : Moh Khusen, M.A. DAFTAR ISI ~ ix

  Editor : Mochlasin Desain Cover : Alazuka Desain Isi : djanoerkoening

  BAB I HUKUM KELUARGA; URGENSI DAN PERKEM­ Cetakan I

  : September 2013

  BANGANNYA ~ 1

  ISBN :

  978-979-3549-18-7 A. Urgensi Hukum Keluarga di Negara Muslim ~ 1

  Penerbit : STAIN Salatiga Press B. Metodologi Penulisan ~ 5

  Jl. Tentara Pelajar No. 2 Salatiga A. Hukum Perkawinan ~ 9

  Jawa Tengah. Telp. (0298) 323706

  BAB II REFORMASI HUKUM KELUARGA Percetakan : CV. Orbittrust Corp. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 0,5 Gg. Jengger 01 DI INDONESIA ~ 9 Jongkang,Ngaglik, Sleman, Yogyakarta 55581 B. Hukum Kewarisan ~ 15 Telp. +62 328 230 858, +62 274 4463799 C. Hukum Perwakafan ~ 26

  e-mail: orbit_trust@yahoo.co.id A. Pembaharuan Hukum Keluarga di India ~ 35

  BAB III KASUS PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA DI DUNIA MUSLIM ~ 35 B. Pembaharuan Hukum Keluarga di Pakistan ~ 49 C. Pembaharuan Hukum Keluarga di Malaysia ~ 60 D. Pembaharuan Hukum Keluarga di Turki ~ 74 A. Dinamika Hukum Islam dalam Tantangan Modernitas ~ 89 ix

KATA PENGANTAR

  Hampir seluruh Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah PTAIN/S memasukkan mata kuliah Perbandingan Hukum Keluarga Islam di kurikulumnya. Hal ini dapat dipahami karena mata kuliah ini mem- berikan pengayaan pengetahuan mahasiswa tentang variasi penerapan hukum keluarga di berbagai belahan dunia sekaligus mengenalkan kepada mereka ‘versi modern’ dari Fiqh Munakahat, Mawaris, dan Wakaf yang secara riil diberlakukan di negara-negara tersebut. Karena muatan kajiannya yang melampaui wilayah Indonesia, maka bahan referensi yang digunakan berbahasa asing, Arab dan Inggris. Di STAIN Salatiga misalnya, mata kuliah ini diajarkan dengan referensi utama dua buah buku karya Tahir Mahmood yaitu Personal Law in Islamic

  Countries (1987) dan Family Law Reform in The Muslim World (1972).

  Oleh karena itu rintisan buku Bunga Rampai Pembaharuan Hukum Keluarga Islam ini akan menjembatani penguasaan mahasiswa dalam mata kuliah ini di samping juga sangat bermanfaat untuk memberikan data-data baru tentang hukum keluarga yang berlaku di masing-masing negara mengingat dua referensi karya Tahir Mahmood di atas sudah viii out of date. v Buku ini akan mengkaji tentang pemberlakuan hukum keluarga Seiring dengan rasa syukur atas selesainya penulisan buku ini, Islam di negara-negara modern mulai dari Asia hingga Timur Tengah. penulis berharap buku ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya Sasaran utama buku ini adalah pembahasan tentang produk per- dari kalangan akademisi pemerhati hukum Islam. Buku ini masih undang-undangan yang mengatur tentang keluarga meliputi per- banyak kekurangannya, oleh karena itu penulis membuka pintu kawinan, perceraian, pemeliharaan anak, kewarisan, dan lain-lain seluas-luasnya untuk menerima kritik, saran, dan masukan konstruktif yang telah diundangkan di negara tersebut. Pembahasan ini juga lainnya. akan menyentuh aspek sejarah pemberlakuannya mulai dari awal pem bentukan hingga perkembangan terakhir yang terjadi.

  Salatiga,

  27 Maret 2012 Di tengah-tengah penyusunan buku ini penulis berkesempatan meng ikuti Refresher Program yang diselenggarakan oleh Direktorat

  Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama. Program ini telah

  Moh Khusen

  memfasilitasi penulis untuk melakukan kunjungan ke India, salah satu Negara yang kebijakan pembaharuan hukum keluarganya penulis bahas dalam buku ini. Meskipun program ini lebih difokuskan untuk mendalami tentang manajemen pengelolaan perguruan tinggi, namun pengalaman satu bulan berada di beberapa wilayah India cukup memberikan tambahan pemahaman kondisi Negara tersebut, khusus nya dalam konteks kehidupan social keagamaan dan system hukumnya.

  Oleh karena itu, terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Muhammad Ali sebagai Dirjen Pendidikan Islam waktu itu, Prof. Dr. Dede Rosyada selaku Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Dr. M. Ishom Yuski selaku Kasubdit Ketenagaan, dan Ketua STAIN Salatiga atas rekomendasinya. Tidak ketinggalan penulis menyampaikan terima kasih juga kepada Pusat Ilmiah dan Penerbitan (PIP) STAIN Salatiga dan STAIN Salatiga Press, tanpa dukungan dan bantuannya buku ini tidak akan dapat diterbitkan. vi vii

  29 Desember 1989 disahkan dan di undangkan Undang-undang 7 No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

BAB I Kedua produk perundang-undangan itu merupakan satu

  paket legislasi yang saling berhubungan secara timbal balik dan saling melengkapi. Kompilasi Hukum Islam disusun dan

HUKUM KELUARGA;

  dirumuskan untuk mengisi kekosongan hukum yang bersifat

URGENSI DAN PERKEMBANGANNYA

  substansial (mencakup hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan), sedangkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 meng atur tentang prosedur beracara di Pengadilan Agama yang meliputi: kekuasaan Pengadilan Agama di bidang perkawinan, kewarisan, perwakafan, dan Shadaqah, khususnya untuk orang yang beragama Islam.

  A. Urgensi Hukum Keluarga di Negara Muslim

  Penerapan hukum Islam dalam proses pengambilan keputusan Upaya untuk melaksanakan hukum Islam di berbagai di Pengadilan itu selalu menjadi masalah, karena rujukan yang kawasan yang paling menonjol adalah dalam bidang hukum digunakan oleh Pengadilan senantiasa berkeanekaragaman yang keluarga. Meskipun dalam bidang-bidang lain seperti hukum terdiri atas beragam kitab fikih dari bebagai aliran pemikiran, muamalah atau tata perekonomian yang berdasakan syari’ah yang berakibat munculnya keragaman keputusan Pengadilan juga sedang diperjuangkan, hukum pidana Islam ( jinayah) serta terhadap perkara yang serupa. Hal ini sangat merisaukan para politik hukum Islam ( siyasah syar’iyah). Hukum ekonomi Islam petinggi hukum, terutama dari kalangan Mahkamah Agung dan mengembangkan sistem ekonomi yang berdasar syari’ah; sistem Departemen Agama. Dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum bagi hasil. Hukum pidana Islam (jinayah) merupakan hukum Islam kekosongan hukum itu telah terisi, dan kerisauan para publik yang berdasarkan syari’ah Islam. petinggi hukum teratasi.

  Dari segi orisinalitasnya, hukum keluarga Islam memiliki Penyusunan Kompilasi Hukum Islam dapat dipandang sebagai kelebihan dibandingkan dengan produk hukum lain. Kelebihan suatu proses transformasi hukum Islam dalam bentuk tidak tetulis itu terletak pada kemampuan hukum keluarga untuk bertahan ke dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penyusunan itu dari pengaruh ideologi luar, baik dari agama lain maupun dari dapat dirinci pada dua tahapan, yaitu sebagai berikut: faham sekularisme maupun komunisme. Fenomena ini senada dengan tesis Herbert Lieberny sebagaimana dikutip oleh

  1. Pengumpulan bahan baku, yang digali dari berbagai sumber An-Na’im yang dikenal dengan nama “paradigma lima teori baik tertulis maupun tidak tertulis. Pengumpulan bahan baku 7 konsentris”. Paradigma itu mengatakan bahwa bagian hukum

  Cik Hasan Bisri, et. al, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indo-

  yang paling awal dan paling total digantikan oleh hukum Eropa nesia: Dalam Sistem Hukum Nasional , (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 1. 1

  2

  adalah dalam bidang perdagangan, kemudian diikuti hukum pidana, pertanahan, hukum kontrak dan gangguan. Sedangkan hukum keluarga dan waris yang berada dalam lingkaran paling dekat, paling sedikit terkena pengaruh hukum Eropa. 1 Dengan sedikit berbeda Norman D. Anderson mengemukakan bahwa ada dua pola reformasi hukum di dunia Islam. Pertama, syari’ah lambat laun semakin terabaikan dari kehidupan sehari-hari seperti dalam hukum dagang, pidana dan sebagainya untuk kemudian mengikuti hukum “asing”. Kedua, bahkan hukum keluarga yang dianggap sakral mengalami sejumlah perubahan signifikan dengan jalan menginterpretasikan ulang. 2 Kemampuan resistensi yang besar dari hukum keluarga ini semakin kentara dengan adanya fenomena penerapan hukum keluarga dan waris di sebagian besar negara Islam maupun di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang tidak menampakkan keberanjakan yang cukup jauh dari ketentuan dalam Fikih klasik kecuali pada beberapa negara seperti Turki, Tunisia dan Somalia. ‘Keberanian’ hukum keluarga Turki dan Somalia, misalnya, tampak dalam ketentuannya yang memberikan bagian yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam menerima warisan, sedangkan dalam hukum keluarga Tunisia hal itu terlihat dalam aturan tentang perkawinan dan perceraian.

  Dunia Islam mempunyai pengalaman yang sangat beragam mengenai berbagai upaya yang dilakukan untuk mempertahankan eksistensi “hukum-hukum” agamanya, mulai dari yang paling “ekstrim kiri” sampai yang “ekstrim kanan”. Ekstrim kiri yang 1 Abdullahi Ahmad An-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right and International Law, (New York: Syracuse University Press, 1990), hlm.

  14. Lihat juga Noel J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964), hlm. 161. 2 Norman D. Anderson, Law Reform in The Modern World (London: Athlone Press, 1967), hlm. 1-2. 15

  untuk mengangkat status wanita dan memberikan perlindungan kepada mereka, suatu hal yang sejalan dengan semangat Alquran dan Sunnah Rasul.

  Meskipun kini perkawinan poligami telah dan agaknya akan menjadi hal yang jarang terjadi di Indonesia, namun efektifas hukum yang mengatur poligami kelihatannya masih diragukan. Di antara faktor penyebabnya adalah sanksi hukum atas pelanggaran UU ini, denda Rp. 7.500,- atau penjara 3 bulan, sudah dianggap tidak sesuai kondisi saat ini. Hukuman tersebut tidak cukup keras mencegah pelanggaran hukum tersebut. Selain itu masih terjadinya dualisme hukum di Indonesia: Hukum Islam tradisional versus hukum negara, mengakibatkan para pelaku poligami lebih memilih berlindung pada hukum Islam tradisional yang mengabsahkan poligami tanpa khawatir akan dijatuhi hukuman seperti yang diberlakukan oleh Hukum Islam “produk negara”. Sedangkan pemberlakuan sanksi bagi PNS meskipun cukup berat namun disayangkan hanya untuk kalangan terbatas.

  B. Hukum Kewarisan

  Pada akhir dekade 1980-an terdapat dua peristiwa penting berkenaan dengan perkembangan hukum dan Peradilan Islam di Indonesia. Pertama, pada tanggal 25 Pebruari 1988, ulama Indonesia telah menerima tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam. Namun rancangan itu baru tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 10 Juni 1991, mendapat legalisasi dari pemerintah dalam bentuk Instruksi Presidan kepada Menteri Agama untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Instruksi itu dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama No. 154 tanggal 22 Juli 1991. Kedua, pada tanggal atasan/pejabat, kecuali Pegawai Bulanan di samping pensiunan, dimaksud adalah negara-negara muslim yang sangat kental dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP dengan faham sosialismenya dalam menerapkan hukum Islam No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS, apabila melakukan dalam ranah kehidupan negara. Sedangkan ekstrim kanan me- salah satu/lebih perbuatan berikut: rupakan kekuatan Islam yang tumbuh dan berkembang dengan visi dan misi menerapkan syariat Islam sebagai paradigma hukum a. Tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga kepada Pejabat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 sistem sosial yang dibangun berlandaskan kepada hukum Islam. tahun setelah perkawinan dilangsungkan.

  b. Setiap atasan yang tidak memberi pertimbangan dan tidak Menurut J. N. D. Anderson tipologi pembaharuan Hukum meneruskan permintaan izin/pemberitahuan adanya gugatan Islam di kawasan dunia muslim ada tiga corak, yaitu (1) negera- perceraian untuk melakukan perceraian, dan atau untuk negara yang masih menganggap Syari’ah sebagai hukum dasar beristri lebih dari seorang dalam jangka waktu selambat- dan masih dapat diterapkan seluruhnya, (2) Negara yang lambatnya 3 bulan setelah ia menerima permintaan izin/ membatalkan hukum Syari’ah dan telah menggantinya dengan pemberhentian adanya gugatan perceraian. hukum yang seluruhnya sekuler (Hukum Barat) dan (3). Negara

  c. Pejabat yang tidak memberikan putusan terhadap permintaan yang menempuh jalan kompromi antara Syari’ah dan Hukum izin perceraian/tidak memberikan surat keterangan atas sekuler . Adapun negara yang termasuk kategori pertama adalah pemberitahuan adanya gugatan perceraian dan atau tidak Saudi Arabia, kategori kedua adalah Turki dan kategori yang memberikan keputusan terhadap permintaan izin untuk ketiga negara seperti Mesir, Tunisia, Pakistan dan Indonesia. beristri lebih dari seorang dalam jangka waktu selambat-

  Politik hukum Islam merupakan strategi dalam memper- lam batnya 3 bulan setelah ia menerima permintaan izin/ juangkan hukum Islam dan pelaksanaannya melalui sistem hukum pemberitahuan adanya gugatan perceraian. dan sistem peradilan di kawasan tertentu. Di beberapa kawasan yang paling menonjol adalah dalam bidang hukum keluarga.

  Berbagai ketentuan dalam UU Perkawinan No. 1/1974 Sebab hukum keluarga dirasakan sebagai garda terdepan dalam maupun dalam KHI mengenai poligami di atas pada dasarnya pembinaan masyarakat muslim yang diawali dari pembentukan tidak bertentangan dengan konsep mazhab-mazhab konvensional, keluarga sakinah. Pembinaan masyarakat muslim yang paling termasuk mazhab Syafi‘i. Hampir sama dengan Hukum Keluarga awal berasal dari keluarga, dengan asumsi bahwa keluarga yang

  Malaysia, persyaratan bagi seorang suami yang ingin berpoligami sejahtera dan berhasil membina seluruh anggotanya akan mem- juga dihubungkan dengan kewajiban suami yang diatur dalam berikan kontibusi kepada kemajuan di tengah masyarakat serta konsepsi fikih tradisional, yakni kemampuan memberi nafkah dalam komunitas yang lebih besar. dan dapat berlaku adil kepada para istri. Begitu pula dengan kondisi darurat istri yang dimadu tampaknya dikaitkan dengan

  Perkembangan hukum Islam di negara modern terutama alasan fasakh. Lebih jauh produk hukum ini juga diorientasikan 14 yang berhubungan dengan ahwal al syakhsiyah (nikah, cerai, 3

  4

  rujuk, warisan, wakaf, hibah dan shadaqah) dapat disebutkan sebagai format baru yang mengakomodasikan gagasan-gagasan pembaharuan pemikiran Hukum Islam yang relatif fenomenal. Yordania, misalnya merumuskan Jordanian Law of Family Right tahun 1951, Syiria dengan Syirian Law of Personal Status tahun 1953, Maroko mengundangkan Family Law of Marocco tahun 1957, Pakistan dengan Family Law of Pakistan pada tahun 1955, Irak mengundangkan Law of Personal Status for Iraq tahun 1955, Tunisia dengan Code of Personal Status tahun 1957 dan Sudan dengan Sudan Family Law tahun 1960 .

  Beberapa hal yang baru dalam produk perundang-undang- an tersebut adalah dalam Hukum perkawinan yang me- liputi pencatatan perkawinan, pembatasan usia perkawinan, persetujuan kedua calon mempelai, izin poligami, perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan, dan tindakan hukum yang merupakan upaya untuk mewujudkan perkawinan dengan segala akibatnya. Hal baru dalam hukum keluarga tersebut bisa dapat dilihat dari keberanjakannya dari hukum fikih menuju hukum positif yang berupa perundang-undangan di negara muslim tersebut.

  Untuk melaksanakan hukum keluarga atau perundang- undangan hukum perseorangan ( personal status), maka ke- beradaan suatu sistem peradilan juga merupakan dua sisi dari mata uang, keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari legislasi Islam melalui perundang-undangan dan pendirian pengadilan. Di beberapa kawasan untuk menyebutkan sistem peradilan Islam yang melaksanakan hukum keluarga dengan beraneka nama; di Indonesia dengan nama Peradilan Agama, Mahkamah Syari’ah, Kerapatan Qadhi, Peradilan Ugama, Raad Agama, Family Court, Peradilan Surambi, Pristeraad, Majelis Syara’ dan lain-lain. 13 Ketentuan yang sama tetap dipertahankan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ditetapkan pada tahun 1991. 4 Pengadilan dalam hal ini memainkan peran penting dalam pemberian izin kepada suami untuk berpoligami. Meskipun demikian baik UU No. 1 /1974 maupun KHI tidak mencantumkan sanksi hukum terhadap pihak yang melakukan pelanggaran. Sanksi poligami diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974, disebutlkan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,-. 5 Sanksi hukum juga dikenakan kepada petugas pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang berpoligami tanpa izin Pengadilan dengan hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-. 6 Di samping itu, hukuman yang relatif berat dijatuhkan bagi

  Pegawai Negeri Sipil yang berpoligami di luar ketentuan yang ditetapkan. Disebutkan dalam Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bahwa PNS dan atau atasan/pejabat, kecuali Pegawai Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS. Dalam Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bagian VII perihal Sanksi, disebutkan bahwa PNS dan atau 4 Dalam KHI persoalan poligami diatur dalam pasal 55-59, dari segi substansi pasal-pasal tersebut mengacu dan selaras dengan ketentuan yang diatur oleh UU No.

  1/1974 Pasal 3, 4, dan 5. 5 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 1975 Pasal 45 ayat (1) 6 Ibid.,

Pasal 45 ayat (2)

  12

  ketentuan hukum tersebut (Pasal 3); dan memang salah satu tujuan utama dari UU Perkawinan adalah untuk menekan tingkat perkawinan poligami. Di sisi lain, UU tersebut memperkenankan laki-laki untuk mempunyai lebih dari seorang istri jika ia mampu memenuhi persyaratan dari sejumlah ketentuan UU tersebut, diperbolehkan oleh agamanya, dan memperoleh izin dari Pengadilan Agama.

  Disebutkan dalam Pasal 4 : (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau istri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan pada Pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) adanya persetujuan dari istri/istri-istri; (1) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istti-istri dan anak-anak mereka; (3) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Meskipun hak tersebut tetap dipertahankan, namun secara prosedur administratifnya tidaklah mudah. Jadi, secara umum ketentuan ini membatasi kemungkinan terjadinya penggunaan hak tersebut secara sewenang-wenang. 3 3 Simon Butt, “Polygamy and Mixed Marriage in Indonesia: The Application of

  The Marriage Law in Courts,” dalam Timothy Lindsey (Ed.), Indonesia: Law and Society, The Federation Press, Leichhardt, 1999, hlm. 132. 5 B. Metodologi Penulisan

  Buku ini membahas tentang kasus pembaharuan hukum keluarga di Negara-negara Muslim. Sebagai sebuah studi kasus buku ini lebih ditekankan untuk mengungkap faktor-faktor yang menjadi pertimbangan diundangkannya aturan-aturan hukum keluarga yang ternyata tidak sama dan sebangun dengan aturan dalam Fikih klasik. Adapun pemilihan kepada Negara-negara yang dibahas untuk edisi ini dikhususnkan kepada wilayah Asia. Malaysia merupakan representasi dari Asia Tenggara, India dan Pakistan mewakili Asia Selatan, dan Turki mewakili Negara yang secara geografis berada di Asia namun kebudayaan dan per gaulan lebih dekat kepada Eropa sehingga bergabung dengan Uni Eropa. Di samping itu juga mempertimbangkan keterwakilan dari aspek afiliasi madzhab hukumnya, seperti sunni dan syi’ah; misalnya Turki dihuni oleh penduduk bermadzhab Hanafi, India dan Pakistan mayoritas Hanafi namun minoritas Syi’ah Ja’fariyah, dan Malaysia bermadzhab Syafi’i.

  Pembahasan dalam buku ini juga akan dicoba dikaitkan dengan sistem peradilan yang berlaku dalam konteks pelaksanaan hukum keluarga Islam di beberapa negara. Metode yang digunakan ialah dengan mengkaji naskah undang-undang mengenai hukum keluarga yang kini berlaku di negeri-negeri muslim itu, khususnya mengenai berbagai pasal yang berhubungan dengan sistem peradilan hukum keluarga dan mencoba membandingkan antar beberapa negara. Mengapa setiap ada komunitas muslim, maka pelaksanaan hukum keluarga menjadi sebuah kebutuhan bagi keberadaan masyarakat tersebut? Bagaimana hukum keluarga dilaksanakan secara kelembagaan oleh negara sebagai pemegang kekuasaan dalam bidang pemerintahan dan kehakiman? Pertanyaan di atas dibahas dengan cara mendeskripsikan sistem peradilan hukum keluarga di negara-negara muslim modern. Untuk menjawab permasalahan di atas disusun siste matika pembahasan sebagai berikut: Pendahuluan akan mem bahas tentang sejarah berdirinya negara-negara tersebut; hal ini dimaksudkan melihat gambaran secara global tentang negara-negara tersebut. Kemudian akan dikemukakan masalah sketsa politik di negara- negara tersebut; hal ini dimaksudkan sebagai bahan analisis tentang pengaruh politik terhadap hukum keluarga di sana. Selanjutnya dikemukakan tentang potret hukum keluarga di setiap negara serta sistem peradilan dan hukum keluarganya. Hal ini dimaksudkan sebagai bahan analisis apakah hukum keluarga itu sesuai dengan madzhab fikih, terutama mazhab yang dominan di ketiga negara tersebut. Studi ini akan ditutup dengan analisis komparatif.

  Bagian analisis buku ini mengetengahkan tiga tingkat analisis perbandingan; pertama, analisis perbandingan antara perundang- perundangan di sebuah negara dengan aturan baku dalam kitab Fikih. Analisis ini menghasilkan gambaran tentang perbedaan ketentuan yang ada dalam keduanya, sejauhmana produk per- undang-undangan tersebut bergeser dari ketentuan-ketentuan Fikih, dan argumentasi yang mendasari pergeseran tersebut.

  Kedua, analisis perbandingan antara produk perundang- undangan satu negara dengan produk perundang-undangan di Indonesia yang meliputi UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan UU Wakaf. Latar belakang madzhab yang berlaku di sebuah negara tentu menjadi diskusi awal dalam analisis ini. Tahapan selanjutnya memperlihatkan corak pembaharuan yang terjadi dalam bingkai madzhab masing-masing negara dan sejauhmana madzhab tersebut ikut mewarnai reformasi hukum keluarga di sana. 11 warga Indnesia yang beragama kristen di Jawa, Minahasa dan

  Ambon; Kitab Undag-undang Hukum Perdata bagi warga negara Indonesia keturunan Eropa dan Cina; dan peraturan Perkawinan Campuran bagi perkawinan campuran.

  Setelah UU Perkawinan, upaya pembaharuan berikutnya terjadi pada masa Menteri Agama Munawir Syadzali yang di- tandai dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada

  10 Juni 1991 yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Jadi, dalam konteks pembaharuan hukum keluarga Islam pada khususnya dan hukum Islam pada umumnya, maka Indonesia termasuk yang telah melakukan pembaharuan relative lebih luas, yakni meliputi urusan per- kawinan, perceraian, hadhanah, nafkah, waris dan wakaf, poligami. Di bidang perwakafan, usaha positifisasi telah di lakukan melalui UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang merupakan tindak lanjut dari PP No 28/ 1977 tentang perwakafan tanah milik. Ini menunjukkan bahwa di Indonesia selain mengatur wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam, juga mengaturnya secara tersendiri dalam UU No. 41/2004 yang sifatnya lebih mengikat.

  Implikasi dari pembaharuan yang telah dilakukan sangat jelas terlihat pada beberapa aspek penerapan hukum Islam, misalnya praktik poligami. Sebelum pemberlakuan UU Per- kawinan No. 1/1974 di Indonesia, seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan perkawinan poligami. Ia hanya diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas pencatat perkawinan dan bersikap adil kepada para istrinya. Secara substansial Hukum Perkawinan merubah keadaan ini, walaupun sesungguhnya masih bersifat mendua. Di satu sisi, prinsip yang menyatakan bahwa perkawinan yang merupakan institusi monogami dianggap telah mendasari ketentuan- warisan Belanda, dan hukum-hukum lain, berdasarkan asas Ketiga, analisis perbandingan antara produk perundang- konkordansi, adanya pengaruh hukum Barat yang tidak bisa undangan tentang hukum keluarga yang pertama kali diberlakukan dinafikan begitu saja. Seperti halnya bidang pencatatan dalam di sebuah negara dengan perundang-undangan baru yang perkawinan, kewarisan, perwakafan, wasiat dan sebagainya. diberlakukan belakangan. Setiap peraturan membutuhkan evaluasi dan revisi ketika dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan

  Persoalan pencatatan perkawinan dalam fikih klasik dinilai rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan mem- sebagai sesuatu yang tidak signifikan untuk dilakukan karena pola bandingkan produk perundangan yang lama dengan yang baru pikir dan kehidupan yang masih tradisional. Padahal apabila ideal diperoleh gambaran tentang dinamika sosial, politik, dan hukum moral yang dikandung dalam al Qur’an sangat jelas me merintahkan di negara tersebut. Di samping itu juga tergambar sejauhmana perlunya sistem administrasi yang rapi dalam urusan hutang piutang isu-isu kontemporer di dunia mempengaruhi penetapan hukum maupun transaksi perjanjian, sehingga masalah yang berhubungan di Negara tersebut. dengan perbuatan hukum seseorang seperti perkawinan, kewarisan, perwakafan yang mempunyai akibat hukum lebih kompleks, pencatatan mempunyai peran yang lebih penting.

  Upaya konkret pembaruan hukum keluarga di Indonesia di mulai sekitar tahun 1960-an yang berujung dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Namun demikian, jauh sebelum itu sesungguhnya telah ada upaya-upaya pembaruan hukum keluarga yang berlaku. Misalnya pada tanggal 1 oktober 1950, Menteri Agama membentuk suatu panitia penyelidik yang bertugas meneliiti kembali semua peraturan mengenai perkawinan serta menyusun RUU perkawinan yang sesuai dengan perkembangan zaman. RUU itu selanjutnya diajukan ke DPR oleh pemerintah pada tahun 1958. Sayangnya DPR ketika itu lalu dibekukan melalui dekrit presiden 5 Juli 1959. Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 merupakan Undang-undang pertama di Indonesia yang mengatur soal perkawinan secara nasional. Sebelum itu urusan perkawinan diatur melalui beragam hukum, yaitu: hukum adat bagi warga negara Indonesia asli; hukum Islam bagi warga negara yang beragama Islam; Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen bagi

BAB II REFORMASI HUKUM KELUARGA DI INDONESIA A. Hukum Perkawinan Indonesia merupakan negara yang jumlah mayoritas pen-

  duduknya beragama Islam, namun konstitusi negaranya tidak menyatakan diri sebagai negara Islam tetapi sebagai negara yang mengakui otoritas agama dalam membangun karakter bangsa. Sehingga Indonesia mengakomodir hukum-hukum agama sebagai sumber legislasi nasional, selain Hukum Adat, dan Hukum Barat. Apabila menggunakan tipologi pembaharuan hukum Islam merupakan tipologi yang ketiga, sebab menempuh jalan kompromi antara syariah dan hukum sekuler.

  Hukum keluarga di Indonesia dalam upaya perumusannya selain mengacu pada kitab-kitab fikih klasik, fikih modern, him punan fatwa, keputusan pengadilan (yurisprudensi), juga ditempuh wawancara kepada seluruh ulama Indonesia. Pengambilan terhadap Hukum Barat sekuler memang tidak secara langsung dapat dibuktikan, tetapi karena di Indonesia berjalan cukup lama Hukum Perdata ( Burgelijk Wetbook) yang diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 8 Hukum Acara Perdata (Reglemen Indonesia yang diperpaharui) maksimal dapat dilakukan. Harta wakaf yang dinilai kurang dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam dilakukan melalui menguntungkan secara ekonomis maupun secar strategis, seperti beberapa jalur. Diantaranya sebagai berikut: lahan pertanahan yang sangat jauh dari lokasi di mana Nadir

  a. Penelaahan 38 kitab fikih dari berbagai madzhab, men- berada justru hanya akan menyulitkan dan besar kemungkinan cakup 160 masalah hukum keluarga. Penelaahan kitab akan terbengkalai. Sebagai solusinya, adalah si wakif dapat fikih itu dilakukan para pakar di tujuh IAIN menjual harta yang akan diwakafkan tersbut lebih dahulu,

  b. Wawancara dengan 181 ulama yang tersebar di sepuluh kemudian uang hasil penjualan itulah yang diwakafkan kepada daerah hukum Pengadilan Tinggi Agama waktu itu (Aceh Nadzir.

  Medan, Padang, dan Mataram)

  c. Penelaahan produk Pengadilan dalam lingkungan Kelima, sertifikasi tanah wakaf menjadi harga mati demi Peradilan Agama yang terhimpun dalam 16 buah buku. legalitas hukum dalam pengelolaanya. Lagi-lagi ini merupakan

  Ia terdiri atas empat jenis, yakni himpunan putusan pembaharuan dari pradigma lama bahwa wakaf hanya cukup

  Pengadilan Tinggi Agama, himpunan fatwa Pengadilan, dan sudah sah dilakukan secara lisan tanpa adanya pencatatan himpunan yurisprudensi Pengadilan Agama, dan law resmi oleh pemerintah. Fakta sejarah mencatat bahwa praktik

  report tahun 1977 sampai tahun 1984

  perwakafan secara tradisional telah berujung pada masalah-

  d. Kajian perbandingan hukum keluarga yang berlaku di masalah baru, seperti hilangnya benda wakaf, perebutan harta

  Maroko, Mesir dan Turki. Di samping itu, memperhatikan wakaf oleh ahli waris, ketidakjelasan status harta wakaf, dan aspek-aspek historis dan kemajemukan masyarakat bangsa lain-lain yang berujuang pada tidak terurusnya harta wakaf secara 8 Indonesia, baik secara vertikal maupun horizontal. baik. Oleh karena itu, pola sertifikasi tanah wakaf dan hart wakaf

  2. Perumusan yang didasarkan kepada peraturan perundang- secara umum merupakan upaya pembaharuan bagi manajemen undangan yang berlaku dan sumber hukum Islam yakni perwakafan di Indonesia. al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Selain itu, para perumus mem- Keenam, perlunya persyaratan ketat bagi seorang Nazdir. perhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta

  UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah memberikan memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis dan tatanan ketentuan tentang Nadzir sebagai berikut: (1) Selain mengatur hukum Adat yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum

  Nadzir perseorangan, UU juga mengatur Nadzir yang berupa Islam. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka organisasi dan Badan Hukum. Inovasi tentang Nadzir organisasi terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dan Badan Hukum merupakan langkah tepat berpijak pada dalam Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, Kompilasi pengalaman sebelum adanya UU bahwa Nadzir perseorangan

  Hukum Islam merupakan suatu perwujudan hukum Islam telah banyak membuka peluang terjadinya penyelewengan dan yang khas di Indonesia atau dengan kata lain, Kompilasi atau pengabaian tugas-tugas Nadzir. (2) Penetapan persyaratan seorang Nadzir diarahkan kepada kinerja professional. Hal ini 8 32 Ibid, hlm. 8.

  Hukum Islam merupakan wujud hukum Islam yang bercorak Kedua, system ikrar wakaf yang dilakukan oleh para calon 9 keindonesiaan. wakif diarahkan kepada bentuk ikrar wakaf untuk umum, Nampak jelas dalam paparan di atas bahwa sampai saat ini bukan untuk kepentingan khusus seperti yang selama ini terjadi. belum terdapat undang-undang tersendiri yang mengatur tentang Kebijakan ini harus dimaknai dalam rangka mempermudah hukum kewarisan di Indonesia sebagaimana Undang-undang dalam pengelolaannya oleh Nadzhir. Tanah wakaf yang berada Perkawinan. Aturan kewarisan baru diatur dalam Kompilasi Hukum di kaki gunung, misalnya, tidak perlu dibatasi dalam ikrarnya Islam (KHI), khususnya buku II dan sekaligus menjadi salah satu hanya untuk membangun pesantren karena boleh jadi menurut rujukan bagi penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh umat analisis riilnya tanah tersebut hanya cocok untuk perkebunan Islam dalam bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. atau pertanian. Dengan penyebutan ikrar secara lebih umum maka pengelolaan harta wakaf oleh Nadzir dapat dilakukan secara

  Dalam Bab I, pasal 171 Kompilasi Hukum Islam tentang lebih maksimal sesuai dengan kondisi harta wakaf dan kebutuhan Ketentuan Umum, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan: umat secara umum.

  a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang Ketiga, UU No. 41 Tahun 2004 Bab IV Pasal 41 memberikan pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pe- legalitas terhadap penukaran benda wakaf selama mendapatkan waris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris 10 izin dari Menteri Agama RI dengan dua alasan yakni karena sudah dan berapa bagiannya masing-masing. tidak sesuai lagi dengan tujuan utama wakaf dan sepenuhnya

  Pada dasarnya pengertian hukum kewarisan menurut demi kepentingan umum. Pemberdayaan harta wakaf menjadi

  Kompilasi hukum Islam sama dengan pengertian warisan tujuan paling utama dari manajemen pengelolaan wakaf, oleh menurut fikih. karena itu secara substansial kalau pemberdayaan itu baru dapat

  b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dilaksanakan dengan syarat adanya penukaran harta wakaf, dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan ber- maka dibolehkan dan mendapatkan legalitas hukum. Aturan agama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. pembolehan ini dengan demikian merupakan pembaharuan dari

  Pengertian ini juga tidak jauh bebeda dengan pengertian paradigma Fikih madzhab Syafi’iyah yang telah mengakar kuat pewaris menurut fikih. Hanya saja di dalam Kompilasi Hukum dalam praktik umat Islam Indonesia bahwa harta wakaf adalah

  Islam orang yang meninggal dunia tersebut bedasarkan putusan untuk Allah yang karenanya tidak boleh diutak-atik lagi dengan

  Pengadilan. Hal ini untuk mempermudah pembuktian. Karena alasan apapun. pada dasarnya hukum di Pengadilan berdasarkan pembuktian. Bukti yang dimaksud adalah surat kematian.

  Keempat, perlunya Nadzir menerapkan seleksi terhadap 9 harta yang akan diwakafkan oleh wakif atas pertimbangan man- 10 Ibid , hlm. 9. faatnya. Seleksi harta wakaf ini sangat penting dilakukan oleh

  Departemen Agama, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia; Dilengkapi

  Nadzir dalam rangka memastikan bahwa pengelolaannya secar Kompilasi Hukum Islam di Indonesia , (Surabaya: Arkola, t.t.), hlm. 239. 18 31 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya. Keduanya memiliki arti penting dalam pengembangan pengellaan harta wakaf, yakni tidak hanya untuk kepentingan ibadah mahdah, melainkan untuk kepentingan produktif guna menunjang kepentingan social.

  Regulasi peraturan perundangan perwakafan tersebut se sungguhnya telah lama didambakan dan dinantikan oleh masyarakat Muslim Indonesia. Pengelolaan wakaf secara pro- duktif untuk kesejahteraan umat menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindari lagi. Ditambah lagi dengan kondisi Negara Indonesia yang mengalami krisis ekonomi yang membutuhkan partisipasi dari berbagai pihak.

  Kedua peraturan peprundangan perwakafan tersebut memiliki nilai lebih dalam hal: pertama, benda yang diwakafkan ( mauquf

  bih). Dalam peraturan wakaf sebelumnya, benda wakaf hanya

  dibatasi benda yang tidak bergerak dan lebih banyak digunakan untuk kepentingan yang tidak produktif seperti masjid, madrasah, makam, yayasan yatim piatu, pesantren, sekolah, dan lain-lain sedangkan dalam UU dan PP Wakaf diatur juga tentang benda wakaf yang bergerak seperti uang, ( cash waqf), saham, surat-surat berharga lainnya dan hak intelektual. Ini adalah terobosan yang luar biasa karena wakaf seperti uang, saham atau surat berharga lainnya merupakan variable penting dalam pengembangan ekonomi. Namun demikian, pembaharuan paradigma wakaf dengan harta bergerak tersebut perlu diberikan penegasan bahwa kebolehannya bukan dalam arti untuk dibelanjakan secara konsumtif, melainkan untuk kepentingan produktif guna menunjang kesejahteraan umat. Aspek kemanfaatana yang diharapkan dari barang-barang bergerak ini bukan terletak pada dzat dari barang tersebut, melainkan pada manfaatnya itu sendiri.

  c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Seseorang yang beragama Islam bisa dilihat dari kartu iden- titas, pengakuan, perbuatan, maupun pelaksanaan ibadah. Sedangkan bagi bayi yang baru lahir beragama me nurut ayah- nya atau lingkungannya.

  d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.

  e. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. 11 Di sini terjadi perbedaan konsep; dalam fikih tidak ada perbedaan antara pengertian harta peninggalan dan harta warisan. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam harta peninggalan dan harta warisan dibedakan, karena yang dimaksud dengan harta peninggalan belum tentu harta warisan. Harta peninggalan sifatnya menyeluruh karena belum dikurangi tanggungan-tanggungan yang harus diselesaikan dari sebelum dan sesudah si pewaris meninggal dunia.

  f. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

  Selanjutnya, di dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelas- kan sebab-sebab menerima warisan yang sedikit berbeda dengan sebab-sebab menerima warisan dalam perspektif fikih. Di dalam 11 Ibid , hlm. 239. fikih sebab-sebab menerima warisan ada tiga, diantaranya sebab nasab, pernikahan, dan wala’. Wala’ yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau perempuan, dengan dia memerdekakannya, maka kekerabatan tersebut menjadi miliknya. Sedangkan di dalam pasal 175 Kompilasi Hukum Islam sebab- sebab menerima warisan hanya ada dua, yaitu karena sebab nasab dan sebab pernikahan. Dan istilah wala’ tidak dikenal dalam Kompilasi Hukum Islam Mengingat bahwa Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum Islam yang bercorak keindonesiaan. Dan di Indonesia tidak mengenal perbudakan atau wala’ sebagaimana di negara Arab zaman dahulu di mana hukum kewarisan Islam pertama kali dibangun. 12 Halangan-halangan menerima warisan juga dijelaskan dengan sedikit perbedaan dalam dalam perspektif fikih. Halang- an-halangan menerima warisan dalam fikih ada lima, yaitu karena kekafiran, pembunuhan, perbudakan, zina dan li’an. Sedangkan dalam pasal 173 Kompilasi Hukum Islam halangan-halangan menerima warisan ada dua, yaitu yang dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris, dan yang dipersalahkan karena memfitnah dengan mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. 13 Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materiil di Pengadilan

  Agama telah mengintrodusir beberapa model pembagian waris yang belum pernah dijelaskan dalam Fikih, khususnya Madzhab Syafi’i, yang dianut oleh sebagian besar umat Muslim Indonesia. Di antaranya adalah sistem kewarisan kolektif. Dalam pasal 189 12 Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma’arif), hlm. 390. 13 Departemen Agama, op.cit, hlm. 240. kepada seseorang yang dianggap tokoh masyarakat seperti kyai, ulama, ustadz, ajengan, dan lain-lain. Mereka inilah yang kemudian bertindak sebagai nadzir wakaf, meskipun si wakif belum mengetahui secara persis kemampuan para tokoh tersebut dalam mengelola harta wakaf. Dalam kenyataannya, banyak para tokoh tersebut yang tidak memiliki kemampuan memadai dalam hal pengelolaan harta wakaf, sehingga harta wakaf tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal bagi masyarakat sekitar.

  Praktik perwakafan semacam ini pada nantinya terbukti lebih banyak memunculkan persoalan khususnya mengenai validitas dan legalitas harta wakaf yang tidak sedikit berujung pada persengketaan. Persengketaan ini terjadi lebih banyak di- sebab kan oleh ketiadaan bukti autentik bahwa benda tertentu telah diwakafkan. Minimnya kemampuan pengelolaan juga mengakibatkan banyaknya bharta wakaf yang terbengkalai tidak terurus.

  Tidak terbantahkan lagi, bahwa dalam sejarah Islam wakaf merupakan sarana dan modal yang sangat penting dalam memajukan perkembangan agama. Sebelum lahirnya Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, perwakafan di Indonesia diatur dalam PP. Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Namun, peraturan perundangan tersebut hanya mengatur benda-benda wakaf yang tidak bergerak dan peruntukannya lebih banyak untuk kepentingan ibadah mahdlah, seperti pembangunan masjid, musholla, pesantren, makam dan lain-lain.

  Agar lebih bermakna dalam memberdayakan harta wakaf, maka peraturan perundangan dalam perwakafan tersebut ditinjau ulang dan diperbaharui dengan UU Nomor 41 Tahun 2004

  28 Problem akan mulai muncul ketika, misalnya, si anak yang di-

  tunjuk sebagai pemegang amanat wakaf sudah meninggal dunia; siapa yang akan memanfaatkan harta wakaf tersebut.

  Paradigma perwakafan tradisional lainnya adalah terkait ketidakbolehan menukar harta wakaf. Madzhab Syafi’yah me- nyatakan bahwa harta wakaf tidak boleh ditukarkan denga alasan apapun. 26 Sebuah masjid, misalnya, meskipun kondisinya yang sudah akan roboh tidak boleh dijual secara mutlak. Sebagai perbandingan, Imam Ahmad bin Hanbal justru membolehkan menjual harta wakaf untuk ditukar denngan harta lainnya. Artinya, dalam kasus masjid tersebut, bagi Imam Ahmad boleh dijual apabila masijd itu sudah tidak lagi sesuai dengan tujuan wakaf sebagaimana diniatkan oleh orang yang berwakaf ( wakif). Namun demikian hasil penjualannya harus digunakan untuk membanun masjid lain yang lebih representative dan dapat dimanfaatkan secara maksimal. 27 Ulama Hanafiyah membolehkan menukar benda wakaf dengan syarat: 1) apabila wakif member isyarat akan kebolehan menukar harta tersebut ketika mewakafkannya; 2) apabila benda wakaaf tidak dapat dipergunakan lagi; 3) apabila manfaat benda pengganti wakaf itu lebih besar daripada harta wakaf. 28 Jadi, perubahan peruntukan harta wakaf pada prinsipnya tidak dibolehkan kecuali apabila harta wakaf tersebut sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi sesuai dengan tujuan wakaf semula.