BAB II TINJAUAN PUSTAKA - PREVALENSI EKTOPARASIT PADA IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy Lac.)DI DESA SINGASARI KECAMATAN KARANGLEWAS KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Ikan gurami merupakan ikan asli Indonesia, tepatnya berasal dari perairan

  daerah Sunda (Jawa Barat, Indonesia). Kemudian ikan gurami menyebar ke Malaysia, Thailand, Ceylond, dan Australia (Sutanto, 2011). Ikan gurami merupakan jenis ikan budidaya yang banyak dipelihara oleh masyarakat di daerah Banyumas, sehingga jenis ikan ini menjadi suatu unggulan di wilayah tersebut. Ikan ini memiliki nama yang beragam, di daerah Jakarta namanya ikan gurami, orang Jawa menyebutnya ikan gurameh atau grameh, orang Sumatra khususnya Sumatra Barat menyebut dengan ikan kalui, sedangkan orang Inggris menyebutnya Giant Gouramy (Sukamsiptro, 1999).

2.1 Biologi Ikan Gurami

2.1.1 Taksonomi

  Klasifikasi ikan gurami menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Clas is : Pisces Sub Clasis : Teleostei Ordo : Labyrinthici Sub ordo : Anabantoidei Familia : Anabantidae Genus : Osphronemus Species : Osphronemus gouramy Lac.

  7

  2.1.2 Morfologi Ikan gurami (Osphronemus gouramy Lac.) mempunyai bentuk badan yang tinggi dan pipih ke samping. Tinggi badan berkisar antara

  2,0-2,1 kali panjang standar. Tubuh ikan gurami memiliki garis lateral (garis gurat sisi tunggal dan tidak terputus). Sisik ikan gurami merupakan sisik stenoid berukuran besar (Sutanto, 2011).

  Ikan gurami mempunyai sepasang sirip perut yang telah mengalami modifikasi menjadi sepasang benang yang panjang dan berfungsi sebagai alat peraba. Sirip ekor membulat dan didaerah pangkal ekor terdapat titik-titik hitam bulat. Sewaktu muda kepalanya lancip kedepan dan berubah menjadi tumpul setelah dewasa. Warna tubuh pada bagian punggung berwarna merah kecoklatan sedangkan pada bagian perut berwarna kekuning-kuningan atau keperak-perakan. Ikan gurami dapat tumbuh mencapai panjang 65 cm dan berat badan lebih dari 10 kg (Respati & Santoso, 1993).

  2.1.3 Habitat Ikan gurami hidup dan berkembang biak di perairan tawar seperti danau, rawa–rawa, atau sungai tenang. Ikan gurami dapat hidup baik di daerah tropis maupun pada ketinggian tempat antara 0-800 m dari permukaan laut. Ikan gurami menyukai perairan yang dalam, jernih dan tenang (tidak berarus deras). Ikan gurami dapat hidup dengan baik pada suhu 24-28

  C, pada pH air antara 6,5 sampai 7,8. Ikan gurami mampu menyesuaikan diri dan tumbuh dengan normal pada kondisi air yang kandungan oksigennya rendah atau kurang dari 3 ppm (Respati & Santoso, 1993).

2.2 Penyakit Ikan

  Penyakit pada ikan dapat mengakibatkan gangguan pada suatu fungsi atau struktur dari alat tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung.

  Pada dasarnya penyakit yang menyerang ikan tidak datang kebetulan saja tetapi melewati suatu proses hubungan di antaranya kondisi air yang digunakan dalam kolam, kondisi inang ikan, dan adanya jasad penyakit pada ikan. Dengan demikian timbulnya suatu penyakit disebabkan dari hasil interaksi yang tidak sesuai dengan lingkungannya, ikan, dan jasad penyakit. Interaksi yang tidak sesuai ini menyebabkan stress pada ikan, sehingga mengakibatkan kondisi tubuhnya melemah dan nantinya terserang oleh penyakit (Kordi, 2004).

  Dalam usaha budidaya ikan, penyakit merupakan faktor yang mengakibatkan menurunnya hasil budidaya. Kerugian yang ditimbulkan tergantung pada jumlah populasi yang diserang oleh penyakit, umur ikan yang sakit, parahnya penyakit, dan adanya penyakit sekunder. Bagi ikan faktor– faktor noninfeksi juga sangat berperan dalam penularan penyakit (Zonneveld

  et al ., 1991). Menurut Supriyadi et al. (2004), penurunan lahan budidaya

  perikanan yang diakibatkan tingginya pencemaran lahan dan kurang efisiennya penggunaan bahan baku atau input produksi merupakan salah satu penyebab timbulnya suatu panyakit pada usaha budidaya perikanan. Penyakit pada ikan merupakan masalah yang besar sehingga perlu mendapatkan perhatian yang serius dalam usaha budidaya perikanan. Kerugian yang dialami akibat penyakit ini biasanya cukup tinggi, di samping kematian ikan, kerugian yang mungkin diderita dalam usaha perikanan adalah penurunan kualitas ikan.

  Hal ini mengakibatkan harga jual ikan mengalami penurunan.

  Menurut Afrianto & Liviawaty (1992), penyebab penyakit dibedakan menjadi dua yaitu penyakit non parasit & penyakit parasit. Penyakit non parasiter adalah penyakit yang tidak ditimbulkan oleh hama dan organisme parasit, sedangkan penyakit parasit ditimbulkan oleh parasit. Organisme parasit adalah organisme yang hidup di dalam organisme lain, dan mendapatkan makanan untuk bertahan hidup tanpa adanya bantuan apapun (Brotowidjoyo, 1987). Parasit adalah hewan atau tumbuhan yang hidup atas pengorbanan induknya. Jadi dengan suatu cara parasit itu menyakiti induknya sendiri (Noble & Noble, 1989).

  Penyebab penyakit ikan antara lain infeksi yang ditimbulkan oleh organisme parasit seperti virus, bakteri, jamur, protozoa, krustacean, dan dapat diakibatkan oleh stress karena jumlah ikan yang terlalu banyak, mutu pakan kurang baik atau tercemar, serta terjadi perubahan lingkungan secara drastis (APEC/SEAFDEC, 2001). Infeksi penyakit yang sering dialami dalam usaha pembesaran ikan gurami di antaranya cacar, mata menonjol, bisul pada pangkal ekor dan bintik darah di bawah sirip (Supriyadi et al., 2002).

2.2.1 Pengertian ektoparasit

  Ektoparasit merupakan organisme penyakit yang menginfeksi bagian luar dari inang (ikan) dan dapat menimbulkan kerugian pada budidaya ikan. Pada budidaya ikan, ektoparasit dapat menurunkan mortalitas yang tinggi (Stickney, 1994), terutama pada fase pembenihan yang sangat sensitif terhadap penyakit ektoparasit.

  Ektoparasit dapat menyebabkan mortalitas tinggi (Sommerville, 1998), yaitu kematian yang terjadi tanpa timbulnya gejala–gejala yang ditimbulkan oleh ikan tersebut. Infeksi ektoparasit juga dapat menimbulkan kerugian pada usaha budidaya perikanan yang di akibatkan pertumbuhan yang lambat. Selain itu juga dapat mempengaruhi tingkah laku ikan dan sensitifitas ikan serta menurunkan harga jual dalam pasar (Scholz, 1999).

  Ektoparasit merupakan parasit yang menyerang bagian luar ikan. Keberadaan ektoparasit di dalam kolam karena terbawa oleh aliran air, tumbuhan, benda–benda yang masuk dalam kolam atau binatang–binatang renik. Untuk hidupnya ektoparasit membutuhkan bahan organik dan kualitas air yang sangat buruk, kondisi perairan yang tenang, suhu yang rendah dan kolam yang luas ( Bhagawati et al., 1991). Jumlah suatu inang juga dibutuhkan untuk kelangsungan hidup parasit. Kenaikan jumlah inang juga akan menyebabkan kenaikan jumlah parasit pada kolam tersebut dan mempertinggi tingkat infeksi yang dideritanya.

2.2.2 Jenis – jenis ektoparasit

  Menurut Daelami (2001), berdasarkan biotaksonominya parasit digolongkan dalam dua golongan yaitu Zooparasit dan Phytoparasit.

  Zooparasit merupakan penyakit yang secara biotaksonomi tergolong dalam dunia hewan.

  Jenis ektoparasit Protozoa merupakan kelompok mikroba yang memiliki keragaman yang tinggi baik dari segi morfologi maupun ukuran.

  Secara keseluruhan protozoa merupakan organisme eukariotik uniseluler beberapa spesies membentuk koloni. Protozoa penyebab infeksi pada ikan dapat ditularkan secara langsung maupun secara tidak langsung melalui perantara inang perantara. Pada dasarnya sebagian besar protozoa hidup bebas dan bersifat saprofitik dan hanya pada kondisi tertentu bersifat parasit.

  A.

  Jenis ektoparasit protozoa 1.

  Trichodina sp.

  Trichodina sp. dapat berkembang dengan cepat dan dapat

  mengalami kerugian yang besar jika ikan mengalami stres dan kualitas air dalam budidaya ikan tersebut menurun (Klinger & Floyd, 1998).

  Trichodina sp. termasuk parasit obligat yang berfungsi penuh sebagai

  parasit yang tidak akan melepaskan dirinya dari inang yang dihuninya (Daelami, 2001). Organisme ini dapat bertahan hidup tanpa inang selama 2 hari dan mempunyai mobilitas yang tinggi.

  Trichodina sp . termasuk dalam famili Trichodinidae, sub ordo Mobilina, ordo Petrichida, kelas Cilophora (Kabata, 1985), merupakan

  parasit yang menyerang bagian luar ikan yaitu pada kulit dan bagian insang ikan (Klinger & Floyd, 1998) dan sering ditemukan pada budidaya ikan air tawar (Taufik et al., 2003). Trichodina sp dapat menyebabkan penyakit gatal pada ikan (Trichodinisiasis) bagian tubuh yang sering diserang yaitu pada bagian kulit, sirip dan insang. Irawan (2000) menyatakan bahwa ikan yang sering terkena penyakit ini ditandai oleh adanya bintik–bintik putih keabu-abuan pada bagian tubuh ikan, terutama pada bagian kepala dan sirip juga dapat mengakibatkan peningkatan produksi lendir.

  Menurut Klinger & Floyd (1998), infeksi Trichodina sp. dalam jumlah yang sedikit tidak akan mengakibatkan kerugian dalam usaha budidaya perikanan. Namun, jika ikan mengalami stres atau kualitas air dalam kolam mengalami penurunan maka parasit ini akan berkembang biak dengan cepat dan akan mengalami penurunan hasil budidaya ikan sehingga akan menyebabkan kerugian yang sangat besar. Infeksi Trichodina sp. yang banyak akan mengakibatkan ikan tampak pucat, nafsu makan turun, dan sensitif terhadap infeksi bakteri.

  Trichodina sp . merupakan agen penyebab penyakit

  Trichodiniasis. Parasit ini berbentuk bundar seperti cawan, dengan diameter 50 μm (Irianto, 2005). Trichodina sp. tumbuh dengan baik pada kondisi kolam dangkal dan menggenang terutama pada tempat pemijahan dan pembibitan ikan (Rokhmani, 2002).

2. Epistylis sp.

  Epistylis sp. termasuk dalam peritchida, sub ordo Sesilina, serta

  famili Epistylidae. Parasit ini mempunyai kemampuan untuk membentuk koloni dan dapat mengakibatkan luka yang dapat dijadikan suatu pintu masuknya bakteri (Klinger & Floyd, 1998).

  Epistylis sp. berbentuk silinder tipis seperti lonceng bertangkai

  berukuran 0,4-0,5 μm. Hidup berkoloni dan biasanya di temukan di kulit insang (Kabata, 1985). Menurut Irianto (2005) protozoa ini merupakan protozoa yang bertangkai dan memiliki bulu getar, pada dasarnya merupakan protozoa yang hidup bebas dengan melekat pada tanaman air, tetapi pada kondisi kualitas air yang kaya bahan organik maka Epistylis sp. dapat berubah menjadi penyakit.

  Epistylis merupakan jasad saprofitik yang hidup pada perairan

  yang kaya bahan organik terlarut. Karena sifat hidupnya, Epistylis memerlukan tempat perlekatan, antara lain berupa kulit atau lembar insang. Populasi Epistylis yang tinggi mengakibatkan insang tertutup, insang atau kulit mengalami peradangan, dan seringkali menyebabkan timbulnya borok.

3. Oodinum sp.

  Oodinum sp. berbentuk bundar, berdiameter 20-80

  μm dengan filamen seperti akar dan dicirikan dengan adanya semacam karat pada kulit ikan. Oodinium sp. menyerang jaringan kulit dan sel-sel kulit ikan. Infeksi bukan bagian kulit saja tetapi pada rongga mulut dan pada bagian insang sehingga insang mengalami pembengkakkan. Oodinum

  sp . membentuk suatu krista kemudian akan tumbuh dewasa dalam

  beberapa hari pada bagian sirip ikan. Jenis parasit ini hidup pada inang, apabila dalam 24 jam tidak menemukan inang maka jenis parasit ini akan mati (Daelami, 2001). Jenis parasit ini dapat dikenali pada ikan yang terinfeksi, yaitu gerakan ikan menjadi lemas dan tidak tahan dalam permukaan serta kematian masal yang disebabkan karna kerusakan kulit dan insang (Kordi, 2004).

  4. Vorticella sp.

  Vorticella sp . termasuk dalam golongan protozoa dari filum Ciliophora. Vorticella sp . berbentuk seperti lonceng terbalik dengan

  tangkai bersilia yang mengandung fibril (Kabata, 1985). Vorticella sp. dapat hidup di air tawar dan di air laut serta dapat menempel di tumbuhan atau hewan. Reproduksi aseksualnya dengan cara pembelahan proses budding.

  5. Ichthyopthirius multifiliis

  Ichtyophthrius multifiliis merupakan salah satu anggota

  protozoa yang sering menyerang dan menimbulkan suatu penyakit pada ikan air tawar baik ikan konsumsi ataupun ikan hias. Protozoa ini mempunyai ukuran yang relatif kecil, sehingga tidak bisa dilihat dengan mata telanjang berdiameter 0,5-1 mm (Kordi, 2004).

  Organisme ini menyebabkan penyakit yang dikenal dengan white spot, karna pada infeksi tinggi, terjadi bintik-bintik putih pada tubuh.

  Menurut Afrianto & Liviawaty (1992), bagian tubuh yang paling disukai oleh parasit jenis ini adalah bagian luar ikan, terutama lapisan lendir kulit, sirip, dan insang. Jika sudah menyerang bagian insang organisme ini akan merusak fungsi insang sehingga proses pertukaran gas menjadi terhambat. Infeksi jenis parasit ini harus diwaspadai karena salah satu ancaman yang serius pada usaha budidya ikan air tawar (Scholz, 1999). I. multifilliis akan meninggalkan inang yang sudah mati dan akan berkembangbiak membentuk krista pada substrat, sehingga berprotensi menginfeksi inang ikan lainnya (Nickell & Ewwing, 1998).

6. Chilodonella sp.

  Chilodonella sp. termasuk filum ciliophora (Kabata, 1985).

  Biasanya parasit ini sering menyerang bagian luar ikan yaitu sirip dan insang. Parasit ini kadang ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak menyerang ikan air tawar. Parasit jenis ini memiliki ciri–ciri tubuh yang pipih dorsoventral, kaku, oval, dengan bagian permukaan dorsal yang cekung dan bagian ventralnya berbentuk pipih dan bersilia. Menurut Klinger & Floyd (1998), infeksi Chilodonella sp. baik berada pada permukaan tubuh maupun filamen insang akan mengakibatkan sekresi mukus berlebihan dan iritasi.

7. Myxobolus sp.

  Parasit jenis ini menyebabkan penyakit yang disebut Myxoboliasis pada ikan (Kabata, 1985). Bertindak sebagai inangnya adalah ikan budidaya air tawar, spesies ini menghasilkan semacam kista yang kemudian akan pecah. Spora parasit ini bentuknya membulat dan melebar pada bagian anterior. Polar kapsul berentuk pyroform, ramping dan menempati 2/3hingga 3/4 bagian spora. Panjang spoa berukuran 13,5–16 dan lebarnya 7,0-9,0. Parasit ini tidak hanya tinggal di insang ikan, dan merupakan parasit obligat pada jaringan–jaringan ikat, hati, dan ginjal.

  Akibat infeksi Myxobolus sp. tergantung dari kehebatan dan letak kristanya. Infeksi yang hebat pada insang dapat menyebabkan berhentinya kapiler-kapiler darah dan gangguan pernafasan. Selain itu infeksi yang terjadi pada insang juga menyebabkan penurunan berat badan terutama pada benih ikan. Ikan menjadi lemah, cenderung berenang dekat pinggir kolam dan warna ikan menjadi suram.

  B.

  Jenis Ektoparasit Cacing 1.

  Gyrodactylus sp.

  Gyrodactylus sp. adalah ektoparasit yang sering menyerang ikan pada bagian kulit maupun insang (Klinger & Floyd, 1998).

  Apabila kulit ikan banyak mengeluarkan lendir, warna tubuhnya pucat, ikan lemas dan tidak suka bergerak, siripnya kuncup, insang pucat, pertumbuhan ikan terhambat, nafsu makan ikan berkurang, maka dapat dipastikan ikan tersebut terserang penyakit ini (Kordi, 2004).

  Gyrodactylus sp. umumnya dijumpai pada permukaan tubuh

  dan sirip hampir pada semua jenis ikan. Gyrodactylus sp. melekatkan diri pada tubuh inang dengan alat pelekat (haptor), individu ini bersifat hermaprodit dan membebaskan anaknya dalam bentuk larva yang sudah dalam bentuk morfologi yang sama dengan induknya. Tiap individu dewasa mengandung banyak embrio yang sudah berkembang sempurna. Strategi reproduksi yang demikian memungkinkan populasi

  Gyrodactylus sp. berkembang sangat cepat (Irianto, 2005).

  2. Dactylogyrus sp.

  Dactylogyrus sp. masih dalam satu filum, satu kelas dan satu

  sub kelas dengan Gyrodactylus sp. Namun masuk dalam ordo

  

Dactylogrydae dan genus Dactylogyrus (Kabata, 1985). Dactylogyrus

sp . berbentuk pipih dengan alat pengait yang berfungsi sebagai

  penghisap darah, Dactylogyrus sp. lebih suka menyerang ikan di bagian insang (Afrianto & Liviawaty, 1992).

  Dactylogyrus sp . merupakan organisme parasit yang tergolong

  cacing monogenea. Dactylogyrus sp. lebih suka menyerang ikan pada

  bagian insang. Bagian yang diserang parasit biasanya akan menjadi kurus, kulitnya tidak kelihatan bening serta terlihat pucat, bintik merah di bagian tertentu, produksi lendir tidak normal, pada sebagian atau seluruh tubuh berwarna gelap, sisik dan kulit terkelupas, respirasi, dan osmoregulasi terganggu (ikan kelihatan megap-megap seperti kekurangan oksigen). Juga sering terlihat menggosok-gosokkan badannya ke dasar atau ke dinding kolam serta benda-benda keras lain di sekitarnya (Kordi, 2004).

3. Lernaea sp.

  Lernaea sp. merupakan parasit berjangkar, pada stadium

  dewasa menusukan kepalanya ke jaringan badan ikan dengan kuat sekali. Parasit ini sering menyerang ikan air tawar terutama pada saat musim pembenihan dan pendederan (Afrianto & Liviawaty, 1992). Tubuh Lernaea sp. ini memanjang seperti cacing, pada bagian kepalanya terdapat empat tonjolan seperti tanduk.

  Siklus hidup Lernaea sp. telur yang berada pada kedua kantong akan dikeluarkan setelah menetas dalam bentuk nauplius. Pada stadia nauplius Lernaea sp. hidup bebas di dalam air seperti plankton. Setelah memasuki stadia copepodid, Lernaea sp. mulai hidup di sekitar rongga mulut, tetapi Lernaea sp. betina saja yang hidup sampai dewasa (Daelami, 2001).

  Pada umumnya infeksi Lernaea sp. ditandai oleh kehilangan berat badan. Parasit ini dapat dilihat dengan mata telanjang atau menggunakan bantuan kaca pembesar. Jenis penyakit Lernaea sp. yang banyak ditemukan pada budidaya ikan air tawar adalah Lernaea

  

cyprinaceae yaitu sejenis udang renik yang berbentuk bulat panjang seperti cacing. Kepalanya terdapat organ yang menyerupai jangkar, sehingga organisme ini sering disebut cacing jangkar (Kordi, 2004).

2.2.3 Pengendalian Ektoparasit

  Proses penyakit pada ikan yang disebabkan oleh parasit, didasari oleh tiga faktor, yaitu organisme ektoparasit, lingkungan, dan ikan. Oleh karena itu, pengendalian ektoparasit dapat dilihat dari ketiga faktor tersebut. Pengendalian ektoparasit secara umum dapat dilakukan dengan pengendalian atau pembasmian ektoparasit, manajemen kualitas lingkungan, dan bisa dengan cara meningkatkan daya tahan ikan.

  Pengendalian penyakit ektoparasit dapat menggunakan bahan-bahan kimia. Penggunaan bahan kimia terbukti cukup efektif untuk menangani penyakit ektoparasit, tetapi sebelum penggunaan bahan kimia harus sudah diketahui dulu jenis ektoparasit yang menyerang (Handajani & Samsundari, 2005).

  Pengendalian ektoparasit dapat dilakukan dengan cara membersihkan kolam budidaya atau tempat pemeliharaan, hal ini dilakukan untuk memutus siklus hidup dari parasit. Pemutusan siklus hidup dapat dilakukan menggunakan bahan–bahan desinfektan sebelum ikan dimasukkan kedalam kolam.

  Daelami (2001), menyatakan bahwa ikan yang terkena Trichodina

  sp . dapat dilakukan dengan cara perendaman dengan menggunakan larutan

  garam (NaCl) atau 2,5 g NaCl dan dilarutkan dalam 100 ml air bersih, sebanyak tiga kali selama tiga hari. Bisa juga menggunakan larutan formalin yang dicampur dengan 100 ml air bersih. Perendaman dengan larutan formalin dilakukan selama 10 menit ditempat yang teduh. Pengobatan ini dilakukan 2-3 kali dengan jangka waktu 2-3 hari.

  Menurut Kordi (2004), penanggulangan ikan yang terkena parasit

  

I. multifiliis dapat dilakukan dengan cara ikan dimasukkan kedalam air

  mengalir, mengurangi jumlah penebaran, dan pemberian pakan yang cukup. Menurut Afrianto & Liviawaty (1992), pengobatan I. multifiliis dapat ditanggulangi dengan cara perendaman ikan dalam larutan NaCl 0,1- 0,3 ppm selama 5-10 menit. Selain itu, dapat dilakukan penggunaan berbagai obat lainnya yaitu perendaman ikan dalam larutan Methylene Blue sebanyak 2-4 cc kedalam 4 liter air bersih selama 24 jam dengan jangka pengulangan 3-5 kali, perendaman dengan menggunakan larutan formalin 200-250 ppm di dalam kolam, perendaman menggunakan larutan Malachite Green 0,15 ppm sebanyak 3 kali dengan interval waktu 3 hari.

  Serangan yang disebabkan oleh Chilodonella sp. dapat diatasi dengan menggunakan NaCl, formalin, Malachite Green 0,15 dan perendaman dalam larutan KMnO4 50 ppm selama 10-15 menit. Ektoparasit Epistylis sp. dan Vorticella sp. dapat dikendalikan dengan cara pengeringan kolam, pemberian kapur, sirkulasi air, dan pergantian air secara teratur. Pengobatan kedua jenis parasit ini dapat dilakukan dengan cara perendaman larutan formalin 200 ppm selama 24 jam atau KMnO4 20 ppm selama 24 jam (Daelami, 2001).

  Untuk penanganan Gyrodactylus sp. dan Dactilogyrus sp., pengendalian dapat dilakukan dengan cara perendaman menggunakan Methylene Blue (dengan perbandingan 1 g / 1 m air). Jika warna air yang semula biru berubah menjadi warna biru terang, larutan perlu diganti.

  Selain itu dapat juga dilakukan perendaman dalam larutan garam 2,5% selama 10-15 menit perendaman PK 4-5 mg per liter, dan dalam perendaman formalin 200-250 ppm selama 30 menit.

  2.3 Kolam Ikan di Singasari

  Kolam ikan Singasari merupakan sarana masyarakat untuk menghasilkan suatu benih ikan, hal ini bertujuan dalam rangka peningkatan produksi ikan air tawar. Penyedian benih ikan yang cukup merupakan suatu faktor yang menentukan keberhasilan suatu usaha budidaya perikanan.

  Efektifitas dan efisiensi kolam ikan di Desa Singasari akan dapat tercapai apabila ada suatu keseimbangan antara tuntutan kebutuhan benih di daerah setempat dengan fasilitas yang disediakan seperti tenaga pelaksana, organisasi, dan pengelolaannya (Anonim, 1991).

  2.4 Kualitas Air

  Kualitas air merupakan faktor yang sangat penting dalam usaha budidaya perikanan. Kualitas dan kuantitas air yang memenuhi syarat merupakan salah satu kunci keberhasilan budidaya ikan, karena air merupakan tempat hidup bagi ikan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas air pada budidaya perikanan antara lain suhu, pH, kecerahan air, dan kadar oksigen terlarut.

  2.4.1 Suhu Suhu merupakan faktor yang berpengaruh pada kehidupan dan pertumbuhan ikan. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu dan dapat menekan laju pertumbuhan bahkan menyebabkan kematian bila peningkatan suhu sangat drastis. Kisaran suhu optimum bagi kehidupan ikan adalah 24-28 C (Respati & Santoso, 1993). Kenaikan maupun penurunan suhu yang mendadak akan mengakibatkan ikan mengalami stress dengan gejala ikan berenang mengapung di permukaan dan penurunan nafsu makan, daya tahan menurun sehingga pada kondisi tersebut ikan akan rentan terhadap serangan penyakit dan parasit (Aryati, 2003). 2.4.2 pH pH merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan ikan dan sangat berperan pada organisme perairan dalam keadaan terlarut. Sehingga dapat digunakan untuk mengukur baik-buruknya kualitas perairan. Perairan yang ideal untuk kehidupan budidaya ikan gurami adalah kisaran pH 6,5-8,5 (Afrianto & Liviawaty, 1992). Menurut Mulia (2007), pH yang dapat menggangu kehidupan ikan adalah pH yang terlalu rendah (sangat asam) atau sebaliknya terlalu tinggi (sangat basa).

2.4.3 Kadar oksigen terlarut

  Menurut Afrianto & Liviawaty (1992), oksigen adalah salah satu faktor pembatas yang penting bagi usaha budidaya ikan. beberapa ikan masih mampu hidup pada perairan dengan konsentrasi oksigen 3 ppm, tetapi konsentrasi yang masih dapat diterima oleh sebagian besar spesies ikan untuk hidup dengan baik adalah 5 ppm. Pada konsentrasi oksigen di bawah 4 ppm ikan masih mampu bertahan hidup, tetapi nafsu makannya rendah atau tidak ada sama sekali, sehingga pertumbuhannya menjadi terhambat, Ikan akan mati atau mengalami stress bila konsentrasi oksigen mencapai nol. Semakin tinggi kandungan oksigen terlarut dalam air akan semakin baik untuk keperluan budidaya (Daelami, 2001).

Dokumen yang terkait

OPTIMALISASI DOSIS HORMON METILTESTOSTERON DAN LAMA PERENDAMAN BENIH IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy Lac.) TERHADAP KEBERHASILAN PEMBENTUKAN KELAMIN JANTAN

0 14 1

PREVALENSI EKTOPARASIT PROTOZOA Trichodina sp. PADA IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI DESA NGABETAN KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK Repository - UNAIR REPOSITORY

0 1 66

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kelompok Wanita Tani - PERAN KELOMPOK WANITA TANI “SARI MAKMUR” DALAM PEMBERDAYAAN WANITA DI DESA ALASMALANG KECAMATAN KEMRANJEN KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

0 1 10

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PENDEDERAN IKAN GURAMI (Osphronemous gouramy Lac) DI KECAMATAN BOJONGSARI KABUPATEN PURBALINGGA

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Penyebaran Jagung - ANALISIS PEMASARAN JAGUNG (Zea mays L.) DI DESA KARANGMALANG KECAMATAN KEDUNGBANTENG KABUPATEN TEGAL - repository perpustakaan

0 0 9

BAB II TINJAUAN TEORI A. PENDIDIKAN - HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN, PENGETAHUAN DAN DUKUNGAN SUAMI DENGAN PEMANFAATAN BPJS PADA IBU POST PARTUM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KARANGLEWAS KECAMATAN KARANGLEWAS KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kekurangan Energi Kronis - FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN KEK PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS BATURRADEN II KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

0 10 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Balita - HUBUNGAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEMBARAN II KECAMATAN KEMBARAN KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Perilaku 1. Definisi Perilaku - STUDI FENOMENOLOGI PEMANFAATAN SUNGAI SEBAGAI MEDIA MCK DI DESA SOKARAJA KULON KECAMATAN SOKARAJA KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

0 1 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Persepsi - PERSEPSI KEPALA PUSKESMAS TERHADAP PERAN APOTEKER DI PUSKESMAS KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

0 4 8