BAB II TINJAUAN PUSTAKA - FIANAMIA AZIZAH = BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Antibiotik 1. Pengertian Antimikroba atau antibiotik adalah obat atau zat yang dihasilkan

  oleh suatu mikroba, terutama fungiyang dapat menghambat/membasmi mikroba lain (jasad renik/bakteri), khususnya mikroba yang merugikan manusia (penyebab infeksi pada manusia) (Tripathi, 2003)

  Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khusunya dalam proses bakteri oleh bakteri (Depkes, 2011).

2. Faktor-Faktor yang Harus Dipertimbangkan pada Penggunaan Antibiotik a.

  Resistensi Mikroorganisme Terhadap Antibiotik Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu 1) Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi. 2) Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik. 3) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri. 4)

  Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat dinding sel bakteri.

  5) Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan

  dari dalam sel melalui mekanisme transport aktif ke luar sel (Depkes, 2011).

  3. Resistensi antibiotik Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteridengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yangseharusnya atau kadar hambat minimalnya. Sedangkan multiple drugs

  resistance didefinisikan sebagai resistensi terhadap dau atau lebih obat maupun klasifikasi obat. Sedangkan cross resistance adalah resistensi suatu obat yang diikuti dengan obat lain yang belum pernah dipaparkan (Tripathi, 2003).

  Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Bakteri yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal yang dapat menghentikan perkembangan bakteri (Bari,2008). Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu atau lebih mekanisme berikut : a.

  Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotika. Misalnya Staphylococus sp, resisten terhadap penisilin G menghasilkan beta-laktamase, yang merusak obat tersebut. Beta- laktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang Gram-negatif.

  b.

  Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Misalnya tetrasiklin, tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten.

  c.

  Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat.

  Misalnya resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan hilangnya (atau perubahan) protein spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang rentan.

  d.

  Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung dihambat oleh obat. Misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak membutuhkan PABA (P-aminobenzoic acid) ekstraseluler, tetapi seperti sel mamalia dapat menggunakan asam folat yang telah dibentuk. Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman yang rentan. Misalnya beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, dihidropteroat sintetase, mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap sulfonamid dari pada PABA (Jawetz, 1997).

  Penyebab utama resistensi antibiotika adalah penggunaannya yang meluas dan irasional.Lebih dari separuh pasien dalam perawatan rumah sakit menerima antibiotik sebagai pengobatan ataupun profilaksis.Sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai untuk kepentingan manusia dan sedikitnya 40% berdasar indikasi yang kurang tepat, misalnya infeksi virus. Terdapat beberapa factor yang mendukung terjadinya resistensi,antara lain: a.

  Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) : terlau singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnose awal yang salah, dalam potensi yang tidak adekuat.

  b.

  Faktor yang berhubungan dengan pasien . Pasien dengan pengetahuan yang salah akan cenderung menganggap wajib diberikan antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk-pilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat. Pasien dengan kemampuan financial yang baik akan meminta diberikan terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan. Bahkan pasien membeli antibiotika sendiri tanpa peresepan dari dokter

  

(self medication) . Sedangkan pasien dengan kemampuan financial

  yang rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi.

  c.

  Peresepan : dalam jumlah besar, meningkatkan pengeluaran perawatan kesehatan yang tidak perlu dan seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan meningkat ketika diagnose awal belum pasti. Klinisi sering kesulitan dalam menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.

  d.

  Penggunaan monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi. e.

  Penggunaan di rumah sakit : adanya infeksi endemik atau epidemik memicu penggunaan antibiotika yang lebih massif pada bangsal- bangsal rawat inap terutama diruang ICU (intensive care unit). Kombinasi antara pemakaian antibiotik yang lebih intensif dan lebih lama dengan adanya pasien yang sangat peka terhadap infeksi, memudahkan terjadinya infeksi nosokomial.

  f.

  Penelitian : kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan antibiotika baru.

  g.

  Pengawasan : lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan pemakaian antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi (Depkes, 2011).

  4. Konsekuensi akibat resistensi antibiotik Resistensi antibiotik terhadap mikroba menimbulkan beberapa konsekuensi yang fatal.Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang gagal berespon terhadap pengobatan mengakibatkan perpanjangan penyakit (prolonged illness), meningkatnya resiko kematian (greater risk

  

of death) dan semakin lamanya masa rawat inap di rumah sakit (length of

stay) .Ketika respon terhadap pengobatan menjadi lambat bahkan gagal,

  pasien menjadi infeksius untuk beberapa waktu yang lama (carrier). Hal ini memberikan peluang yang lebih besar bagi galur resisten untuk menyebar kepada orang lain. Kemudahan transportasi dan globalisasi sangat memudahkan penyebaran bakteri resisten antar daerah, negara, bahkan lintas benua. Semua hal tersebut pada akhirnya meningkatkan jumlah orang yang terinfeksi dalam komunitas (Deshpande et al, 2011)

  Penyebab utama meningkatnya bakteri yang resisten adalah penggunaan antibiotik secara berulang dan tidak sesuai aturannya.Pemberian antibiotik merupakan suatu pengobatan yang ditentukan oleh pengetahuan dan kepatuhan dalam menjalankan terapi pengobatan. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan minum obat meliputi usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi yang rendah, tingkat keparahan penyakit, golongan obat yang diresepkan, jumlah obat yang diminum, efek samping obat, dan pengetahuan mengenai pentingnya pengobatan (Sudiarto, 2012).

B. Infeksi Saluran Pencernaan 1. Definisi a. Demam Tifoid

  Demam tifoid (enteric fever)adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna, dengan gejala demam kurang lebih dari 1 minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran. Penyakit infeksi dari Salmonella (Salmonellosis) ialah segolongan penyakit infeksi yang disebabkan oleh sejumlah besar spesies yang tergolong dalam genus Salmonella, biasanya mengenai saluran pencernaan (Sodikin, 2011)

  1) Etiologi

  Penyebab penyakit ini adalah jenis Salmonella typhosa, kuman ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a)

  Basil gram negatif yang bergerak bergerak dengan bulu getar dan tidak berspora.

  b) Memiliki paling sedikit 3 macam antigen, yaitu antigen O

  (Somatik yang terdiri atas zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flagella), dan antigen Vi. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pasien, biasanya terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut (Sodikin, 2011)

  2) Patofisiologi

  Mekanisme masuknya kuman diawali dengan infeksi yang terjadi pada saluran pencernaan, basil diserap oleh usus melalui pembuluh limfe lalu masuk ke dalam peredaran darah sampai di organ-organ lain, terutama hati dan limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ-organ tersebut akan membesar disertai dengan rasa nyeri pada perabaan, kemudian basil masuk kembali ke dalam darah (bakterimia) dan menyebar ke seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus, sehingga menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa diatas plak Peyeri, tukak tersebut dapat menimbulkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus (Sodikin, 2011)

3) Pemeriksaan Diagnosis

  a) Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif, dan aneosinofilia pada permukaan sakit.

b) Kultur darah (biakan, empedu) dan widal.

  c) Biakan empedu basil Salmonella typhosadapat ditemukan dalam darah pasien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya, lebih sering ditemukan dalam urine dan feses.

  d) Pemeriksaan widal, pemeriksaan yang diperlukan adalah titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih merupakan kenaikan yang progresif (Sodikin, 2011)

4) Penatalaksaan

  Obat-obat antimikroba yang sering dipergunakan, ialah:

  a) Kloramfenikol dosis (50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis peroral atau intravena) selama 10-14 hari, tetapi untuk bayi muda perlu dipertimbangkan secara lebih spesifik.

  b) Apabila tidak diberikan kloramfenikol, dipakai amoksisilin

  Dosis 100 mg/kgBB/hari per oral atau ampisilin intravena selama 10 hari, atau kotrimoksazol 48 mg/kgBB/hari (dibagi 2 dosis) per oral selama 10 hari c) Apabila kondisi klinis tidak ada perbaikan, gunakan generasi ketiga sefalosporin seperti sefriakson (80 mg/kgBB/hari dibagi

  2 dosis selama 10 hari) (Sodikin, 2011) b.

   Diare Akut Karena Infeksi

  Gangguan pada saluran pencernaan pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh trauma atau adanya infeksi baik pada saluran pencernaan atau di luar saluran cerna. Gangguan akibat infeksi dapat disebabkan oleh jamur (Candida albicans); basil coli (Escherichia

  

coli ); virus ; basil : Salmonella sp, Shigella sp, Vibrio cholerae dan

parasit (Ngastiyah. 2005).

  Gastroenteritis adalah defekasi encer lebih dari 3x sehari dengan atau tanpa darah dan lendir dalam tinja, terjadi secara mendadak dan berlangsung kurang dari 7 hari pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat (Mansjoer,2000).

  Saluran cerna berperan dalam serangkaian proses yakni ingesti makanan, proses digesti makanan yang dibantu oleh getah pencernaan yang dihasilkan oleh kelenjar ludah, hati dan pancreas. Hasil digesti berupa zat gizi akan diserap (absorpsi) ke dalam tubuh. Proses ini berlangsung mulai dari mulut sampai ke rectum. Massa yang berupa bolus hasil campuran makanan dan getah pencernaan di dorong / digerakan ke arah anus, sisa dari masa yang tidak diserap akan dikeluarkan dari anus (defekasi) berupa tinja (Suandi, 2008).

  Menurut perjalanan penyakit jenis diare antara lain : 1)

  Akut : jika < 1 minggu 2)

  Berkepanjangan : antara 7 – 14 hari 3)

  Kronis : > 14 hari, disebabkan oleh non infeksi 4)

  Persisten : > 14 hari, disebabkan oleh infeksi

  2. Etiologi a.

  Faktor Infeksi 1)

  Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak meliputi : a) Infeksi bakteri:Vibriocholerae, Esherichia Coli, Salmonella sp,

  Shigella sp, Compylobacter yersinia, Aeromonas hydrophila, dan sebagainya.

  b) Infeksi virus: Eterovirus (Echovirus, Coxsackie A virus, poliomyelitis), Adenovirus, rotavirus, astrovirus dan lain-lain.

  c) Infeksi parasite:Cacing(Ascaris lumbricoides, Thrichiuris,

  Oxyuris, Strongyloides sp , protozoa (Entamoeba hystolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis) , jamur (Candida albicans )(Ngastiyah, 2005)

  2) Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain di luar alat pencernaan, seperti Otitis Media Akut (OMA), tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur di bawah 2 tahun (Ngastiyah, 2005). 3) Faktor Malabsorbsi

  a) Malabsorbsi karbohidrat : Disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering ialah intoleransi laktosa.

  b) Malabsorbsi lemak

  c) Malabsorbsi protein

  4) Faktor makanan : Makanan basi, beracun, elergi terhadap makanan(Ngastiyah, 2005)

  3. Patofisiologi

  Proses terjadinya diare dapat disebabkan oleh berbagai kemungkinan faktor diantaranya pertama faktor infeksi, proses ini dapat diawali adanya mikroorganisme (kuman) yang masuk ke dalam saluran perncernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan daerah permukaan usus. Selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorbsi cairan dan elektrolit. Atau juga dikatakan adanya toksin bakteri akan menyebabkan sistem transport aktif dalam usus sehingga sel mukosa mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit akan meningkat. Kedua, faktor malabsorbsi merupakan kegagalan dalam melakukan absorbsi yang mengakibatkan tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadilah diare. Ketiga, faktor makanan ini dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu diserap dengan baik. Sehingga terjadi peningkatan peristaltik usus yang mengakibatkan penurunan kesempatan untuk menyerap makan yang kemudian menyebabkan diare. Keempat, faktor psikologis dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltik usus yang akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat menyebabkan diare(Alimul, 2006).

4. Pemeriksaan Diagnostik a.

  Pemeriksaan Tinja 1)

  Makroskopis dan mikroskopis 2)

  PH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet clinitest, bila diduga terdapat intoleransi gula.

3) Bila perlu lakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.

  b.

  Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah dengan menentukan PH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan pemeriksaan analisa gas darah menurut Astrup (bila memungkinkan).

  c.

  Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.

  d.

  Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium dan fosfor dalam serum (terutama pada penderita yang disertai kejang).

  e.

  Pemeriksaan intubasi secara kualitas dan kuantitatif, terutama dilakukan pada penderita diare kronik (Alimul, 2006)

5. Penatalaksanaan

  Dasar pengobatan diare antara lain : a. Pengobatan dietetik

  ASI atau susu formula yang mengandung rendah laktosa dan asam lemak. Beri makanan tinggi kalium ; misalnya jeruk, pisang, air kelapa b. Obat – obatan

  1) Obat anti sekresi

  2) Klorpormazin ; dosis 0,5 – 1 mg/ kg BB/ hari

  3) Antibiotik ; umumnya tidak diberikan jika tdk ada penyebab yang jelas. Bila penyebabnya kolera, diberikan Tetrasiklin 25 – 50 mg / kg BB/ hari (Alimul, 2006) c.

  Pemberian cairan 1)

  Belum terjadi dehidrasi Cairan rumah tangga (seperti air tajin, air teh manis, dsb) sepuasnya dengan perkiraan 40 ml/kg BB/ setiap kali BAB

  2) Dehidrasi Ringan

  Beri cairan oralit 30 ml / kg BB dalam 3 jam pertama, selanjutnya 10 ml / kg BB atau sepuasnya setiap kali BAB 3)

  Dehidrasi Sedang Beri cairan oralit 100 ml / kg BB dalam 3 jam pertama, selanjutnya 10 ml / kg BB atau sepuasnya setiap kali BAB(Alimul, 2006)

  4) Dehidrasi Berat 0 – 2 th : RL 70 ml / kg BB dalam 3 jam pertama, bila dehidrasi beri cairan oralit 40 ml / kg BB, seterusnya 10 ml / kg BB setiap BAB. Usia > 2 th : RL 110 ml / kg BB dalam 3 jam pertama, bila syok guyurkan sampai nadi teraba. Bila masih dehidrasi beri cairan oralit 200 – 300 ml / kg BB tiap jam. Seterusnya cairan oralit 10 ml / kg BB (Alimul, 2006)

c. UlkusPeptikum

  Infeksi Helicobacter pylori 1.

  Amoksisilin dan klaritromisin merupakan kombinasi terpilih untuk pengobatan awal b.

  S.boydii, dan S.sonnei (Mutaqqin, 2011)

  disebabkan oleh berbagai agen infeksi yang menginvasi intestinal, infeksi Shigella memiliki empat subgrup : S.dysenteriae, S.flexneri,

  

basiler ) adalah peradangan pada intestinal, terutama usus besar yang

  Disentri basilar atau Infeksi Shigellasp(shigelosis, disentri

  Gunakan amoksisilin dan metronidazol untuk kegagalan pengobatan. (Mandal, 2008).

  4. Penatalaksanaan a.

   Etiologi

  Saat endoskopi, spesimen biopsi diperiksa untuk H.pylori melalui tes urease dan histologi serta kultur (Mandal, 2008).

  b.

  Evaluasi pasien yang kemungkinan mengalami ulkus dilakukan dengan endoskopi sehingga ulkus maupun infeksi dapat dikonfirmasi, namun pasien awalnya dapat diskrining melalui pemeriksaan antibodi.

   Diagnosis a.

  Infeksi merusak lapisan mukosa pelindung dalam beberapa minggu atau bulan dan menyebabkan gastritis superfisial kronik atau duodenetis. Pajanan asam dalam waktu lama dapat menyebabkan pembentukan ulkus atau atrof, metaplasia (Mandal, 2008) 3.

  2. Patogenesis

  Infeksi ini merupakan penyebab tersering ulkus peptikum dan penyeban utama adenokarsinoma gaster nonkardia. Basil Gram negatif berbentuk spiral hidup di bawah lapisan mukosa lambung dan duodenum (Mandal, 2008)

d. Disentri Basilar

  1. Etiologi dan Patofisiologi

  Penyebab Shigella Disentri basiler sering disebut dengan

shigellosis disebabkan S. Dysenteriae, S. Sonnei, S. Boydii, dan S.

  Flexneri.

  Mekanisme disentri ini terjadi setelah agen basiler masuk kedalam saluran pencernaan melalui oral dan menuju kolon yang kemudian menyekresi enterotoksin. Agen kemudian melakukan kolonisasi diileum terminalis/kolon, terutama kolon invasi ke sel epitel mukosa usus dan melakukan multiplikasi, serta melakukan penyebaran intrasel dan intersel. Kondisi ini akan memberikan respons peningkatan c-AMP dengan manifestasi hipersekresi usus (diare cair, diare sekresi). Respons lanjut agen akan memproduksi eksotoksin (Shiga toxin) yang bersifat sitotoksik dan menginfiltrasi sel radang sehingga terjadi nekrosis sel epitel mukosa dengan manifestasi terbentuknya ulkus-ulkus kecil. Dengan adanya ulkus ini memberikan kemudahan pada eritrosit dan plasma keluar ke lumen usus sehingga memberikan manifestasi feses bercampur darah (Muttaqin, 2011)

  2. Diagnosis

  Kultur tinja dibutuhkan bila penyebab diare inflamasi perlu dibedakan. Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit karena diare, kehilangan cairan pada gastrointestinal, gangguan absorpsi usus besar, pengeluaran elektrolit dari muntah (Muttaqin, 2011)

  3. Penatalaksanaan

  Infeksi berat membutuhkan antibiotik:

  a. Antibiotik, diberikan antibiotik jenis trimethoprim- sulfamethoxazole, nalidixic acid, atau ciprofloxacin (Muttaqin, 2011)

  b. Siprofloksasin untuk orang dewasa dan trimetoprin untuk anak- anak seringkali cukup (Mandal, 2008)

C. Kepatuhan a. Pengertian

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pranoto,2007), patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Kepatuhan (ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau orang lain (Slamet, 2007). Kepatuhan juga dapat didefinisikan sebagai perilaku positif penderita dalam mencapai tujuan terapi (Degresi, 2005).

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan

  Menurut Smet (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah: 1)

  Faktor komunikasi Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter dan ketidakpuasan terhadap obat yang diberikan.

  2) Pengetahuan

  Ketepatan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama sekali penting dalam pemberian antibiotik. Karena seringkali pasien menghentikan obat tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis. 3)

  Fasilitas Kesehatan Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan penyuluhan terhadap penderita diharapkan penderita menerima penjelasan dari tenaga kesehatan yang meliputi : jumlah tenaga kesehatan, gedung serba guna untuk penyuluhan dan lain-lain.

D. Pengetahuan 1) Pengertian

  Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan didapat setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinganya. Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

  Kedalaman pengetahuan yang diperoleh seseorang terhadap suatu rangsangan dapat diklasifikasikan berdasarkan enam tingkatan, yakni : 1) Tahu (know)

  Merupakan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Oleh karena itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. 2)

  Memahami (comprehension) Merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar objek yang diketahui. Orang telah paham akan objek atau materi harus mampu menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

  3) Aplikasi (application)

  Kemampuan dalam menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang benar. 4)

  Analisis (analysis) Kemampuan dalam menjabarkan materi atau suatu objek dalam komponen-komponen, serta masuk ke dalam struktur organisasi tersebut.

  5) Sinthesis (synthesis)

  Kemampuan dalam meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bntuk keseluruhan yang baru. 6)

  Evaluasi (evaluation) Kemampuan dalam melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat (Notoatmodjo, 2003).

  b) Indikator Pengetahuan

  Ada beberapa indikator untuk mengetahui tingkat pengetahuan seseorang,yaitu sebagai berikut : a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi penyebab penyakit, gejala dan tanda penyakit, cara pengobatan dan kemana mencari pengobatan, cara penularan dan cara pencegahan penyakit.

  b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat meliputi jenis makanan-makanan bergizi, manfaat makanan bergizi bagi kesehatan, pentingnya olah-raga bagi kesehatan, bahaya merokok, minuman keras, narkoba, pentingnya istirahat yang cukup, relaksasi dsb.

  c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan meliputi manfaat air bersih, cara pembuangan limbah yang sehat, manfaat pencahayaan, penerangan rumah yang sehat, dan akibat yang ditimbulkan polusi bagi kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

  c) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

  Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang, yaitu : a.

  Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan berpengaruh terhadap proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan.

  b.

  Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Kemajuan teknologi akan menyediakan munculnya bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayan orang.

  c.

  Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan ketrampilan profesional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan penalaran secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.

  d.

  Pekerjaan adalah tugas rutin yang harus dilakukan untuk menunjang kehidupan individu dan keluarga. Pekerjaan bukan sumber kesenangan, tetapi merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang, dan banyak tantangan yang pada umunya merupakan kegiatan yang menyita waktu.

  e.

  Ekonomi Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2003).

E. Kerangka Konsep

  variabel bebas F.

   Hipotesis Penelitian

  Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu Ha : Terdapat hubungan pengetahuan dengan kepatuhan orang tua dalam pemberian antibiotik pada anak penderita infeksi saluran pencernaan di

  RSUD Ho : Tidak terdapat hubungan pengetahuan dengan kepatuhan orang tua dalam pemberian antibiotik pada anak penderita infeksi saluran pencernaan di RSUD Majenang Majenang.

  Pengetahuan orang tua Variabel bebas Variabel terikat Kepatuhan orang tua