Relasi kuasa Nahdlatul Ulama (NU) dan politik pasca-reformasi: studi kasus NU Jawa Timur tahun 2004-2014.
(Studi Kasus NU Jawa Timur Tahun 2004-2014)
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh :
ROBBAH MUNJIDDIN AHMADA NIM: E54212058
PROGRAM STUDI FILSAFAT POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2017
(2)
ii
(Studi Kasus NU Jawa Timur Tahun 2004-2014)
Skripsi
Diajukan kepadaUniversitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1)
Ilmu (Program Studi Filsafat Politik Islam)
Oleh :
ROBBAH MUNJIDDIN AHMADA NIM: E54212058
PROGRAM STUDI FILSAFAT POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2017
(3)
iv
Skripsi oleh Robbah Munjiddin Ahmada ini telah disetujui untuk diujikan.
Surabaya, 28 Desember 2016
Pembimbing,
Zaky Ismail, M.Si. NIP. 198212302011011007
(4)
v
Tim Penguji Skripsi Surabaya, 14 Februari 2017
Mengesahkan
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Dekan,
Dr. Muhid, M.Ag. NIP. 196310021993031002
Tim Penguji Ketua,
Zaky Ismail, M.Si. NIP. 198212302011011007
Sekretaris
Fikri Mahzumi, M.Fil.I. NIP. 198204152015031001
Penguji I
Dr. Ainur Rofiq Al Amin, SH, M.Ag. NIP. 197206252005011007
Penguji II
Holilah, S.Ag, M.Si. NIP. 197610182008012008
(5)
vi Yang bertanda tangan di bawah ini saya :
Nama : Robbah Munjiddin Ahmada NIM : E54212058
Prodi : Filsafat Politik Islam
dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.
Surabaya, 28 Desember 2016
Saya yang menyatakan,
(6)
iii
Penelitian ini berjudul RELASI KUASA NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN POLITIK PASCA-REFORMASI (Studi Kasus NU Jawa Timur Tahun 2004-2014). Rumusan masalah yang diketengahkan dalam penelitian ini adalah apa bentuk relasi kuasa NU dan politik pasca-reformasi, bagaimana proses terbentuknya relasi, dan prospek relasi dalam suksesi kepemimpinan politik ke depan. Tujuan dari penelitin ini adalah untuk mengklasifikasikan bentuk relasi kuasa NU dan politik pasca-reformasi, mendeskripsikan proses terbentunya relasi kuasa NU dan politik pasca-reformasi, dan menganalisis prospek relasi kuasa NU dan politik dalam suksesi kepemimpinan politik ke depan.
Adapun metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, jenis penelitian studi kasus (case study). Studi kasus merupakan tipe pendekatan dalam penelitian yang penelahaannya kepada suatu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasca-reformasi ada relasi antara NU Jawa Timur dan Politik berbentuk relasi non-institusional yakni berperannya kiai struktural PWNU Jawa Timur dalam pemenangan pasangan Mega-Hasyim pada Pilpres 2004, dan relasi institusional yakni pada rekomendasi PWNU Jawa Timur terhadap calon anggota DPD pada Pileg 2014. Berpijak pada Teori Pilihan Rasional Baert dan Teori Politik Jawa Anderson, relasi ini terbentuk sebab rasionalitas NU Jawa Timur yang ditopang dengan kultur Jawa yang melingkupi Jawa Timur. Atau bisa disebut, terbentuk sebab sisi rasional dan kultural. Berkenaan dengan prospek relasi, masih akan tetap muncul. Hal ini dikarenakan, pertama, kepercayaan/ajaran di internal NU berupa pemaknaan politik, hubungan kiai dengan politik, khittah NU dan cara berkhidmah kader NU yang terjun dalam politik praktis. Kedua, “terlembaganya” paduan Islam-Jawa. Ketiga, peran pesantren dalam konfigurasi politik yang masih belum beranjak dari vote-getter dan penyedia sumber daya untuk mengisi pos politik.
(7)
xi
SAMPUL DALAM ... ii
ABSTRAK ...iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
PENGESAHAN ... v
PERNYATAAN ORISINALITAS ... vi
MOTTO ... vii
PERSEMBAHAN ...viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ...xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan penelitian ... 9
D. Kegunaan Penelitian... 10
E. Penelitian Terdahulu ... 10
F. Metode Penelitian... 13
G. Sistematika Pembahasan ... 22
BAB II KERANGKA TEORI ... 24
A. Teori Pilihan Rasional ... 24
(8)
xii
B. Peta Sosial Keagamaan Provinsi Jawa Timur ... 51
C. Nahdlatul Ulama Jawa Timur dan Konstelasi Politik ... 53
BAB IV PEMBAHASAN ... 59
A. Bentuk Relasi Kuasa Nahdlatul Ulama Jawa Timur dan Politik Pasca-Reformasi ... 59
B. Proses Terbentuknya Relasi Kuasa Nahdlatul Ulama Jawa Timur dan Politik Pasca-Reformasi ... 74
C. Prospek Relasi Kuasa Nahdlatul Ulama Jawa Timur dan Politik dalam Suksesi Kepemimpinan ke Depan ... 82
BAB V PENUTUP ... 85
A. Simpulan ... 85
B. Saran ... 86 DAFTAR PUSTAKA
(9)
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahRelasi antara agama (Islam) dan politik harus diakui menjadi perbincangan yang tak pernah usai di kalangan para akademisi. Hal ini memang bukanlah sesuatu yang tabu. Potret relasi ini bisa dilacak genealoginya dengan masa lalu, pada masa Nabi Muhammad, sang pembawa risalah Islam. Ada sebuah kisah yang sering disebut mengindikasikan pergulatan antara Islam dan politik.
Seorang pedagang bernama Afif Al-Kindi datang ke Makkah ketika musim haji. Kemudian ia melihat seorang keluar, diikuti seorang wanita dan pemuda, lalu mengerjakan shalat di depan ka’bah. Ibnu Abbas (paman Nabi Muhammad) yang ada di samping Afif Al-Kindi memberi tahu bahwa yang keluar dan melaksanakan shalat di depan ka’bah adalah keponakannya, Muhammad bin Abdullah. Sementara sang wanita adalah Khadijah dan sang pemuda adalah Ali bin Abi Thalib. Ibnu Abbas menuturkan, bahwa Muhammad mengaku dia adalah utusan Allah dan dia meyakini akan menghancurkan dua negara adidaya, Romawi dan Persia.1
Kisah di atas acapkali dianggap sebagai bukti historis kuatnya dimensi politik dalam dakwah Nabi Muhammad. Dalam fakta historis lain, sesaat setelah wafatnya Nabi Muhammad, bahkan sebelum dimakamkan, terjadi pertemuan yang mengarah pada kontestasi kepemimpinan politik (atas umat Islam) oleh kaum Muhajirin dan Anshar. Pertemuan yang terjadi di Saqifah Bani Saidah ini
1
Aksin Wijaya, Menusantarakan Islam Menelusuri Jejak Pergumulan yang Tak Kunjung Usai di Nusantara(Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2011), 21.
(10)
memunculkan perdebatan terkait siapa yang pantas dan sah untuk menggantikan kepemimpinan pasca-nabi.2
Rangkaian peristiwa munculnya kelompok-kelompok dalam Islam, umpamanya, juga tidak lepas dari masalah politik. Kelahiran Syi’ah, Khawarij, Jabariyah, Qodariyah, Murji’ah, hingga Ahlussunnah juga berkelindan dengan persoalan politik. Narasi tentang politik menjadi bagian integral dari kelahiran kelompok-kelompok Islam itu. Tentu kita sepakat bahwa persoalan politik tidaklah identik dengan hal negatif.
Sejarah mencatat, nuansa politik yang melingkupi kelahiran kelompok-kelompok di atas, ada yang sebab carut marut politik, keluar dari urusan politik, dan lebih concern pada gerakan kultural, seperti Ahlussunnah yang dimotori Hasan al-Bashri, ada juga yang menggunakan agama untuk kepentingan politik, seperti Jabariyah. Pergulatan antara Islam dan politik menjadi fase penting yang akhirnya melahirkan kelompok-kelompok dalam Islam.3 Meskipun motif kelahiran, bagaimana dan sejauh mana hubungan dengan politik mendapati perbedaan.
Dalam konteks Indonesia juga demikian. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan di Indonesia bisa dibilang lahir sebab nuansa politik. Lebih tepatnya merespon kebijakan politik yang dikeluarkan penguasa Tanah Hijaz. Ketika Muhammad bin Abdul Wahab menjalin kerjasama dengan penguasa Dir’iyah, Muhammad bin Saud (setelah sebelumnya Muhammad bin Abdul 2
Ibid., 26. Terkait pertemuan ini, Jufri memberikan pandangan bahwa yang menjadi fokus utama adalah tuntutan sosial-politik umat. Tak ada penggunaan (ayat) Al-Qur’an untuk memperkuat klaim masing-masing, baik Muhajirin atau Anshar. Lihat Syed Hussain Mohammad Jafri, Agama dan Negara dalam Pandangan Imam Ali (Yogyakarta: RausyanFikr, 2016), 18.
3
Terkait kelahiran kelompok-kelompok ini, selengkapnya dalam Said Aqil Siroj,Tasawuf sebagai Kritik Sosial(Jakarta: SAS Foundation, LTN PBNU, 2012), 81-84.
(11)
Wahab terusir dari Uyainah) menjadikan pola keberagamaan di tanah Hijaz berubah. Perkembangan politik di tanah Arab ini berdampak pada pemusnahan situs-situs peradaban Islam dan pluralitas madzhab keagamaan yang dibatasi.4 Meyikapi hal ini, ulama di Indonesia membentuk delegasi bernama Komite Hijaz (sebuah kepanitiaan kecil yang dibentuk sekitar tahun 1924-1925) yang menjadi cikal bakal lahirnya NU.5
Seiring berjalannya waktu, NU ikut dalam perjuangan kemerdekaan, hingga kondisi mengharuskan NU terjun, secara institusi, ke gelanggang politik praktis. Sebagai anggota Masyumi di awal kemerdekaan, pada tahun 1952 NU memutuskan untuk keluar dari wadah aspirasi politik kelompok Islam ini. NU memilih untuk menjadi partai politik sendiri. Pada pemilu tahun 1955 Partai NU yang merupakan wadah perjuangan politik bagi warga NU, memperoleh 45 kursi di DPR. Ini berbeda jauh dengan ketika masih bergabung bersama Masyumi. Saat masih di Masyumi, NU hanya mendapat jatah 8 kursi.6
Kiprah NU di panggung politik praktis terus berlanjut dari tahun ke tahun. Hingga akhirnya pada 1973 pemerintah menghendaki penyederhanaan partai politik, menjadi tiga partai saja. NU memfusikan fungsi politiknya kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tak berhenti di situ, ketidaknyamanan kini (juga) menghinggapi NU di “rumah barunya” tersebut. Dalam perkembangannya jatah kursi untuk NU semakin berkurang.
Pergulatan panjang antara NU dan politik ini, pada akhirnya membawa NU untuk menjauh dari politik, melalui Muktamar-nya ke 27. Muktamar yang 4
M. Nur Hasan,Ijtihad Politik NU(Yogyakarta: Manhaj, Jember: Ikatan Keluarga PMII Jember, 2010), 49.
5
Majalah AULA, No. 4 Tahun XXXVIII April 2016, 8. 6
AyuSutarto, Menjadi NU Menjadi Indonesia Pemikiran KH. Abdul Muchit Muzadi (Surabaya, Khalista, 2008), 39.
(12)
dilangsungkan pada tahun 1984 di Situbondo itu memutuskan bahwa NU tidak (lagi) terikat secara organisatoris, dengan organisasi sosial maupun politik manapun. Posisi ini ditegaskan lagi pada tahun 1994, dimana NU membebaskan diri dari keterikatan dengan partai yang ada kala itu dan “memberi lampu hijau” pada warganya untuk masuk partai politik manapun.7
Ketika reformasi bergulir, dengan segenap hiruk-pikuknya, muncul tuntutan di kalangan warga NU untuk mendirikan partai politik (lagi). Mencermati dinamika yang terjadi, bahkan awalnya terjadi penolakan dari beberapa pengurus PBNU,8namun sesuai dengan Rapat Harian PBNU tanggal 25 Mei 1998, tanggal 17 dan 22 Juni 1998, PBNU mengeluarkan surat tugas nomor 925/A.II/03/6/1998 kepada 14 orang untuk menginventarisir dan merangkum usulan-usulan mengenai pembentukan partai politik untuk mewadahi aspirasi politik warga NU; mengkoordinasikan warga NU yang ingin membentuk partai politik untuk mewadahi aspirasi politik warga NU; dan membatu keinginan warga NU untuk membentuk satu partai politik yang dapat mewadahi aspirasi politik warga NU.9
Tim yang beranggotakan 14 orang ini (dengan rincian 5 orang sebagai Tim Lima dan 9 orang sebagai Tim Asistensi) akhirnya memutuskan tidak mendirikan Partai NU, tetapi memfasilitasi berdirinya partai yang punya hubungan historis, aspiratif, dan kultural dengan NU, bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
7
Ibid., 43 8
Penolakan itu di antaranya muncul dari Sekretaris Jendral PBNU, Ahmad Bagja yang tidak setuju PBNU membuat partai politik. Begitujuga yang tidak mikir partai dari NU dan menganggap penting pembahasan seputar itu. Meskipun pada akhirnya, gelombang ketidak setujuan itu tidak menghalangi pendirian partai. Lihat Mahrus Ali dan MF. Nurhuda Y, Pergulatan Membela yang Benar Biografi Matori Abdul Djalil (Jakarta: Kompas, 2008), 170-171.
9
(13)
Deklrasi (kelahiran) PKB dilangsungkan 1 bulan pasca-surat tugas dikeluarkan, tepatnya pada 23 Juli 1998.
Pada posisi ini, bisa dibaca sebagai wujud relasi antara NU dan politik pasca-reformasi. Dalam skala lokal Jawa Timur, pola relasi NU dan politik juga menarik dikaji. Keputusan PBNU yang memfasilitasi berdirinya PKB, juga turut diikuti kepengurusan tingkat bawah, seperti turut andilnya NU Jember yang saat itu berada di bawah kepemimpinan H. Mukhson Sudjono dalam memfasilitasi dan mem-back up pendeklarasian PKB cabang Jember. Pun NU Jember juga mendampingi setiap proses perpolitikan yang dilakukan oleh PKB.10
Beberapa hal lain, yang bisa dibaca sebagai relasi NU dengan politik, umpamanya ketika Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, peran tokoh-tokoh NU Jawa Timur juga tidak bisa dianggap sebelah mata. Kiai Abdullah Faqih, Langitan, Tuban adalah kiai yang sering disebut-sebut sosok utama dalam majunya Gus Dur sebagai presiden.11 Begitujuga saat masa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (pilpres) tahun 2004. Di kalangan nahdliyyin (sebutan bagi warga NU) Jawa Timur, bahkan muncul istilah “Poros 10
Abdul Haris, dkk,“Pergeseran Perilaku Politik Kultural Nahdlatul Ulama (NU) di Era Multi Partai Pasca Orde Baru (Studi Kasus NU Jember, Jawa Timur)”, http://www.averroes.or.id/pergeseran-perilaku-politik-kultural-nahdlatul-ulama-nu-di-era-multi-partai-pasca-orde-baru-2.html (Sabtu, 14 Mei 2016, 20.08)
11
Gus Dur Files, ”Ini 5 Kiai Khos yang Menentukan”, http://www.gusdurfiles.com/2016/03/inilah-5-kiai-khos-yang-menentukan.html (Jum’at, 13 Mei 2016, 13.04). Memang harus diakui, pergulatan NU dan politik di sisi lain juga beriringan dengan bersemainya bibit-bibit NU dengan kecakapan intelektual dan politik yang bisa diperhitungkan. Di era awal, sebut saja Kiai Wahid Hasyim, Kiai Idham Chalid dan Kiai Syaifuddin Zuhri. Persemaian itu berlanjut seperti lahirnya tokoh sekaliber Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam pandangan Dawam Rahardjo, hadirnya Gus Dur ini memberikan dampak positif pada lahirnya generasi muda NU (baru) seperti Ulil Abshar Abdalla, A. Muqsith Ghozali, Guntur Ramli dan Maman Imanul Haq. Dawam juga mengakui bahwa Gus Dur menyusup ke mana-mana dan menempatkan kader-kader NU di berbagai organisasi dan pemerintahan. Pun dengan kegiatan yang sangat berorientasi kepada kepentingan NU. Lihat Rumadi (ed.) Damai Bersama Gus Dur (Jakarta: Kompas, 2010), 142-146. Sebagai catatan, beberapa tokoh yang disebut di atas, turut mewarnai perpolitikan tanah air, menjelang dan pasca-reformasi.
(14)
Langitan” dan “Poros Lirboyo”. Istilah ini merujuk pada dua pesantren “sepuh” dan masyhur di lingkungan NU, yakni Pesantren Langitan di Tuban dan Pesantren Lirboyo di Kediri.
Dua poros di atas merupakan representasi dari diferensiasi aspirasi politik nahdliyyin Jawa Timur. “Poros Langitan” dengan Kiai Abdullah Faqih-nya merapat ke Wiranto-Sholahuddin Wahid, sementara “Poros Lirboyo” dibawah Kiai Idris Marzuki merapat ke pasangan Megawati-Hasyim Muzadi.12 Tak hanya itu, relasi lain juga muncul dalam kontestasi politik lokal Jawa Timur, yakni pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (pilgub) Provinsi Jawa Timur tahun 2008 dan 2013.
Dalam dua Pilkada Jawa Timur (terakhir) itu, warga NU juga dihadapkan pada diferensiasi aspirasi politik. Pada tahun 2008 antara Soekarwo-Saifullah Yusuf dan Khofifah-Mudjiono, sementara di tahun 2013 antara Soekarwo-Saifullah Yusuf dan Khofifah-Herman. Sebagai catatan, Soekarwo-Saifullah Yusuf pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor dua periode, yakni 2000-2005, 2005-2010.
Sementara Khofifah menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU sampai sekarang. Tepatnya dari periode 2001-2006, 2006-2011, 2011-2016, 2017-2022. Dua kader NU itu berkontestasi dalam hajatan lima tahunan, Provinsi Jawa Timur. Tentu sebagai tuan rumah dari hajatan ini, NU Jawa Timur dibayangi tarik-menarik untuk mendukung kekuatan politik tertentu.
Relasi lain antara NU Jawa Timur dan politik nampak pula dalam pelaksanaan Pemilihan Legislatif (pileg) terakhir, yakni pada tahun 2014. Pada
12
Suara Merdeka “Poros Langitan dan Poros Lirboyo”, http://www.suaramerdeka.com/harian/0406/21/pem04.htm (Jum’at,13 Mei 2016, 13.04)
(15)
pileg tahun 2014 ini, muncul rekomendasi dari Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur atas calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jawa Timur. Ada lima calon DPD yang mendapat rekomendasi resmi dari PWNU Jawa Timur untuk mengarungi kontestasi pileg 2014. Lima calon DPD tersebut yakni Kiai Hasib Wahab, Ainul Yakin, Istibsjarah, Dwi Astutik, dan Khodijatul Qodriah.13
Dalam hal ini, meski sejak tahun 1984 NU menyatakan tidak terikat dengan organisasi sosial dan politik manapun, namun di lapangan NU masih memperlihatkan relasi dengan politik yang dibangun baik melalui instrumen institusi maupun melalui institusi itu sendiri. Relasi melalui instrumen non-institusi terwujud, umpamanya melalui berperannya kiai struktural NU Jawa Timur pada pilpres 2004, sementara relasi melalui institusi terwujud pada surat rekomendasi NU Jawa Timur atas calon anggota DPD.
Berkenaan dengan penelitian ini, dua relasi (baca: NU Jawa Timur dengan pilpres 2004 dan NU Jawa Timur dengan pileg 2014) akan ditelaah lebih lanjut. Penekanan pada dua relasi ini berdasar pada beberapa alasan.14 Pertama, pilpres 2004 menempatkan NU pada posisi dilema. Di satu sisi Ketua Tanfidziah PBNU non-aktif, Kiai Hasyim Muzadi tampil menjadi calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Megawati, di sisi lain, cucu Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari (pendiri NU), Kiai Salahuddin Wahid (Gus Sholah) tampil menjadi cawapres mendampingi Wiranto.
13
NU Online “PWNU Jatim Rekomendasikan 5 Anggota DPD, ”http://www.nu.or.id/post/read/16193/pwnu-jatim-rekomendasikan-5-anggota-dpd
(Senin, 09 Mei 2016, 14.32). 14
Dua relasi ini (baca: NU Jawa Timur dengan pilpres 2004 dan pileg 2014) harus diakui mempunyai bobot tersendiri. Memang tidak bisa dipungkiri, pada pilgub 2008 dan 2013 ada nilai lebih dengan turut andilnya dua kader NU. Namun, meskipun demikian, apabila “berhenti” pada tahun 2008 atau 2013, tentu tidak bisa menjadi titik tolak prospek relasi NU Jawa Timur dan politik ke depannya. Sebab, setelah tahun 2013 ada kontestasi yang lebih besar, yakni pileg (DPD) tahun 2014 yang juga melibatkan NU Jawa Timur.
(16)
Kedua, pilpres tahun 2004 menjadi pemilihan presiden pertama setelah “presiden NU”, Gus Dur, jatuh dari kursi kepresidenan. Ketiga, pilpres 2004 menjadi pilpres pertama yang langsung dipilih oleh rakyat. Tiga alasan ini akan menjadi pijakan untuk membaca kondisi politik di internal NU, tepatnya dalam kaitan dengan relasi antara NU Jawa Timur dan politik. Termasuk sejauh mana penggunaan sumber daya NU di tengah kebebasan politik (pasca-reformasi) dan bagaimana peran NU Jawa Timur dalam konstelasi politik.
Sementara pada pileg (DPD) tahun 2014 beralasan, pertama, lahirnya relasi antara NU Jawa Timur dengan politik secara institusi (relasi secara institusi ini tidak terlihat pada pileg (DPR dan DPRD) dan pilpres 2014). Kedua, menjadi pemilihan terakhir pasca-reformasi yang akan menjadi indikator posisi NU Jawa Timur dan konstelasi politik. Ketiga, menjadi titik tolak prospek relasi NU Jawa Timur dan politik kedepannya.
Mengetengahkan dua unsur ini (baca: PWNU Jawa Timur dan politik) merupakan upaya untuk menelaah dan menjelaskan pola relasi. PWNU Jawa Timur tak bisa dipungkiri mempunyai posisi dan pengaruh yang sangat diperhitungkan dalam konstelasi politik. Telaah ini menjadi menarik, sebab akan memberikan penjelasan tentang posisi elit agama (dalam hal ini NU) dalam konstelasi politik.
Posisi elit agama ini dapat dibaca sebagai budaya politik yang berkembang di Indonesia. Berkenaan dengan hal itu, sejauh mana posisi khittah dalam dinamika NU dan politik pasca-reformasi juga akan diketengahkan. Sebab khittah NU ini akan memberikan gambaran tentang prospek posisi elit agama dalam konstelasi politik Indonesia.
(17)
Terkait pemilihan lokasi di Jawa Timur, beralasan sebab sebagaimana disampaikan Hilmy, bahwa Jawa Timur adalah wilayah di Pulau Jawa yang paling dinamis dan heterogen dari perspektif sosial, budaya dan politik.15 Sementara pemilihan pasca-reformasi (2004-2014) beralasan gelagat politik di era kebebasan yang begitu nampak, di sisi lain sudah ada keputusan tertinggi yang menyatakan larangan keterlibatan NU secara institusi ke gelanggang politik praktis. Maka dengan alasan inilah, penulis mengangkat penelitian dengan judul “Relasi Kuasa Nahdlatul Ulama (NU) dan Politik Pasca-Reformasi (Studi Kasus NU Jawa Timur Tahun 2004-2014)”.
B. Rumusan Masalah
Berpijak dari uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apa Bentuk Relasi Kuasa Nahdlatul Ulama dan Politik Pasca-Reformasi di Jawa Timur Tahun 2004-2014 ?
2. Bagaimana Proses Terbentuknya Relasi Kuasa Nahdlatul Ulama dan Politik Pasca-Reformasi di Jawa Timur Tahun 2004-2014 ?
3. Bagaimana Prospek Relasi Kuasa NU dan Politik dalam Suksesi Kepemimpinan Politik ke Depan?
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang dikehendaki dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengklasifikasikan bentuk relasi kuasa Nahdlatul Ulama dan politik pasca-reformasi di Jawa Timur tahun 2004-2014.
15
(18)
2. Untuk mendeskripsikan proses terbentuknya relasi kuasa Nahdlatul Ulama dan politik pasca-reformasi di Jawa Timur tahun 2004-2014.
3. Untuk menganalisis prospek relasi kuasa NU dan politik dalam suksesi kepemimpinan politik ke depan.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam keilmuan, antara lain:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan memperkaya khazanah keilmuan, khususnya yang berkaitan dengan relasi kuasa NU dan politik.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi atau pertimbangan bagi peminat kajian keislaman. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan acuan atau literatur bagi mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya khususnya dan para pembaca pada umumnya, ketika mengkaji relasi kuasa NU dan politik.
E. Penelitian Terdahulu
Sejauh pengetahuan penulis, tidak ditemukan penelitian yang secara khusus membahas relasi kuasa Nahdlatul Ulama (NU) dan politik pasca-reformasi di Jawa Timur tahun 2004-2014. Namun ada beberapa penelitian yang mengetengahkan relasi semacam ini, diantaranya :
a. Penelitian dengan judul “Pergeseran Perilaku Politik Kultural Nahdlatul Ulama (NU) di Era Multi Partai Pasca Orde Baru (Studi Kasus NU Jember, Jawa Timur)” oleh Abdul Haris, dkk. Dalam penelitian ini dibahas fenomena pada diri NU dalam hal berpolitik.
(19)
Terdapat perubahan peta sosial-politik yang kemudian direspon dengan cara, diantaranya mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Langkah ini tentunya tak bisa dilepaskan dari peran partisipatif warga NU di tingkat daerah, seperti Jember. Menurut keterangan yang berhasil dihimpun oleh peneliti, ada keterlibatan NU Jember dalam pembentukan PKB. Bahkan sudah berlangsung lama yakni ketika muncul wacana pembentukan partai politik di lingkungan internal NU (pasca-reformasi). Beberapa tokoh dan kader muda NU Jember aktif melakukan berbagai kegiatan diskusi tentang kemungkinan NU membentuk partai sendiri. Serangkaian kegiatan diskusi yang disponsori kader-kader muda NU Jember melibatkan tokoh-tokoh dan segenap warga NU Jember dari berbagai elemen. Puncaknya, NU Jember yang saat itu berada di bawah kepemimpinan H. Mukhson Sudjono memfasilitasi dan sekaligus mem-back up pendeklarasian PKB cabang Jember yang dilakukan di Pondok Pesantren Sumberwringin pimpinan K.H Khatib Umar. Dalam perjalanannya, NU Jember juga mendampingi setiap proses perpolitikan yang dilakukan oleh PKB.16
b. Tesis dengan judul “Transformasi Islam Politik Era Reformasi (Studi Terhadap Pendidikan Politik PKB Tahun 1998-2008 di Kabupaten Probolinggo Jawa Timur)” oleh Zuhri Humaidi. Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Dalam tesis ini dipaparkan bahwa pasca reformasi, PKB muncul sebagai salah satu partai yang
16
(20)
memperoleh reputasi luas. Dalam pandangan peneliti, paling tidak hal ini disebabkan dua hal pokok, yaitu perolehan suaranya yang cukup signifikan pada Pemilu 1999 dan 2004 serta kehadirannya sebagai partai politik yang muncul dari rahim NU –organisasi muslim terbesar di Indonesia-. Terkait pendidikan politik, di Probolinggo, hal ini diimplementasikan melalui enam hal, yakni; kampanye Pemilu dan Pilkada, pelatihan politik kader dan diskusi publik, pembentukan organisasi tani dan nelayan, penghijauan lingkungan, patronase kyai dan kegiatan keagamaan, dan pemberdayaan masjid. Pada tataran praktis, PKB merupakan partai terkuat di daerah ini dengan memenangi dua kali Pemilu. Keberhasilan PKB tidak bisa dilepaskan dari struktur sosial dan keagamaan masyarakat Probolinggo yang notabene merupakan pengikut NU yang taat. Sementara relevansi pokok dari pendidikan politik PKB adalah memberikan kontekstualisasi terhadap reformasi yang berlangsung di tingkat nasional serta meningkatkan kualitas demokrasi yang sedang berjalan. Pendidikan politik yang dilakukan PKB sekaligus menandai pergeseran paradigma politik NU, yang juga berarti pergeseran paradigma Islam politik. Islam politik pasca reformasi relatif tidak mempermasalahkan posisi formal Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Suatu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah perpolitikan di tanah air pada periode sebelumnya.17
17
(21)
c. Skripsi dengan judul “Pemikiran Politik KH. Badri Mashduqi” oleh As’ari. Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga. Dalam skripsi ini dipaparkan pemikiran politik KH. Badri Mashduqi, seorang yang terjun ke dunia politik sejak tahun 1971 saat NU eksis sebagai partai politik. KH. Badri juga masih aktif tatkala partai NU berfusi ke PPP. Dalam pandangan KH. Badri Mashduqi, politik bagi kiai adalah kata lain dari dakwah. Pandangan politik KH. Badri Mashduqi berpijak pada doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah, di mana politik merupakan satu kesatuan dengan agama. Meskipun dalam hal ini ada garis singgung antara sisi politik dan agama, namun secara fungsional harus dibedakan. Sisi agama diperankan oleh kiai, sementara politik diperankan oleh umara. Keterlibatan kiai dalam politik adalah untuk mengontrol kegiatan politik agar tidak bertentangan dengan agama.18 F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan hal penting dalam penelitian, sebab dengan ini cara yang ditepuh akan dipaparkan. Untuk itu agar penulisan penelitian ini dapat tersusun dengan benar, maka penulis memandang perlu untuk mengemukakan metode penelitian ini yakni sebagai berikut :
a. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian Relasi Kuasa Nahdlatul Ulama (NU) dan Politik Pasca-Reformasi (Studi Kasus NU Jawa Timur Tahun 2004-2014)merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Menurut Moleong, penelitian kualitatif adalah
Politik PKB Tahun 1998-2008 di Kabupaten Probolinggo Jawa Timur)” (Tesis tidak diterbitkan, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010), viii.
18
As’ari, “Pemikiran Politik KH. Badri Mashduqi”, (Skripsi tidak diterbitkan, Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, 2009), vii.
(22)
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, dan tindakan.19 Sementara jenis/tipe penelitian ini adalah studi kasus.
Studi kasus merupakan tipe pendekatan dalam penelitian yang penelahaannya kepada satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif. Pendekatan studi kasus ini pada hakikatnya terfokus kepada kasus (case). Kasus-kasus ini dapat diperoleh dari kasus yang unik, konteks khusus, isu- isu yang sedang berkembang, budaya, alamiah, holistik, fenomena dan lain-lain20. Menurut Denzin, berkenaan dengan langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian studi kasus menurut adalah sebagai berikut: (a) membatasi kasus, menentukan objek dari penelitian, (b) meyeleksi fenomena-fenomena, tema atau isu (sebagai pertanyaan penelitian, (c) menentukan pola data untuk mengembangkan isu, (d) obsevasi triangulasi, (e) menyeleksi alternatif interpretasi, (f) mengembangkan kasus yang telah ditentukan.21
b. Data yang dikumpulkan
Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :
a) Data tentang bentuk relasi kuasa Nahdlatul Ulama dan politik pasca-reformasi di Jawa Timur tahun 2004-2014.
b) Data tentang terbentuknya relasi kuasa Nahdlatul Ulama dan politik pasca-reformasi di Jawa Timur Tahun 2004-2014.
c) Data tentang prospek relasi kuasa NU dan politik dalam suksesi kepemimpinan politik ke depan.
19
Lexy J. Moleong,Metode Penelitian Kualitatif(Bandung: Rosda Karya, 2008), 6. 20
M. Syahran Jailani.Ragam Penelitian Qualitative (Ethnografi, Fenomenology, Grounded Theory dan Studi Kasus),Jurnal Edu-Bio; Vol. 4 Tahun 2013, 48 21
Norman Denzin K. & Yvonna S. Lincoln (Eds.),The Handbook of Qualitative Research (Thousand Oaks, CA: Sage, 1994), 244; Ibid., 49.
(23)
c. Sumber Data
Terkait sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a). Sumber Data Primer
Sumber Primer yaitu data yang diperoleh penulis secara langsung dari sumber aslinya.22 Dalam penelitian ini teknik pemilihan informan menggunakan purposive sampling, di mana penentuan ditentukan dengan pertimbangan tertentu.23 Dalam hal ini kriteria yang dipakai untuk memilih informan adalah tokoh yang pernah menjabat sebagai pengurus di PWNU Jawa Timur kurun waktu tahun 2004-2014 dan dinilai memahami tentang relasi kuasa NU dan politik pasca-reformasi di Jawa Timur tahun 2004-2014. Tokoh NU yang dimaksud yakni; pertama, Kiai Ali Maschan Moesa yang pernah menjabat sebagai Ketua Tanfidziah PWNU Jawa Timur periode 1999-2008.
Informan kedua adalah Kiai Mutawakkil Alallah. Beliau pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Tanfidziah PWNU Jawa Timur periode 1999-2004, Ketua Tanfidziah PWNU Jawa Timur periode 2008-2013 dan saat ini menjabat sebagai Ketua Tanfidziah PWNU Jawa Timur untuk periode kedua, tahun 2013-2018. Informan ketiga adalah Kiai Abdurrahman Navis, yang pernah menjabat sebagai Syuriah PWNU Jawa Timur periode 2008-2013 dan saat ini sebagai Wakil Ketua Tanfidziah PWNU Jawa Timur periode 2013-2018). Informan keempat yakni Prof. Shonhaji Sholeh yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Tanfidziah PWNU Jawa Timur periode 2013-2018.
22
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 114.
23
Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D(Bandung: Alfabeta, 2012), 85.
(24)
b). Sumber Data Sekunder
Sumber sekunder yaitu data yang diambil dan diperoleh dari bahan pustaka dengan mencari data atau informasi berupa benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, jurnal, dokumen, kliping, atau karya tulis ilmiah.24 Dalam penelitian kali ini, peneliti menggunakan beberapa sumber sekunder antara lain:
Buku Kyai di Panggung Pemilu dari Kyai Khos sampai High Cost karya Munawar Fuad Noeh. Buku ini memaparkan bagaimana peran kiai dalam perpolitikan di Indonesia, kiai dan tatanan politik di Jawa Timur, begitu juga posisi kiai dalam konstelasi politik di Jawa Timur pada pilpres tahun 2004.25
Buku Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama karya Abdul Halim. Buku yang merupakan hasil disertasi ini, memotret intrepretasi Ahlussunnah Wal Jamaah (sebagai basis teologis NU) menurut para elit NU yang berada pada empat partai politik Islam, yakni PKB, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di sisi lain, buku ini juga memotret bergesernya elit agama (kiai) daricultural broker menjadipolitical brokerdanpolitical actor.26
Karya ilmiah berjudul Fiqih Politik NU: Studi Pergeseran dari Politik Kebangsaan ke Politik Kekuasaan karya Achmad Warid dalam Jurnal Asy-Syir’ah vol. 43. No. I, 2009. Dalam karyanya ini, Warid memaparkan terjadinya pergeseran pola politik kiai NU dari politik kebangsaan ke politik kekuasaan. Pergeseran ini berkelindan dengan masalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan posisi di pemerintahan. Hal ini di antaranya berdampak pada polarisasi politik
24
Suharsimi Arikunto,Prosedur Penelitian…115. 25
Munawar Fuad Noeh, Kyai di Panggung Pemilu dari Kiai Khos sampai High Cost (Jakarta Selatan: Renebook, 2014).
26
(25)
atau kepentingan politik yang menyebabkan perseteruan yang terjadi antar kiai dan pesantren.27
Karya ilmiah berjudul Melacak Peran Kyai-Santri dalam Politik Kebangsaan di Indonesia karya Fifi Nofiaturrahmah dalam Jurnal Islamic Review volume III No. 1 April 2014. Dalam karyanya ini, Fifi melihat corak gerakan kiai pada setiap masa. Di era revolusi, kemerdekaan, pemberontakan dan orde baru kiai berhasil mengimplementasikan politik kebangsaan sebagai ruh perjuangannya. Sedangkan pada era reformasi, gerakan kiai tersita pada urusan politik praktis yang lebih banyak membawa madharat daripada maslahat. Posisi kiai pada pergulatan politik praktis ini menjadikan citra kiai menjadi negatif di mata umat. Fifi menilai, idelnya politik kebangsaan kembali menjadi fokus utama para kiai.28
BukuPedoman Organisasi dan Administrasi Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur yang diterbitkan oleh PW Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur. Buku ini memuat aturan-aturan dalam NU, seperti Muqaddimah Qonun Asasi NU, Surat Komite Hijaz, Anggaran Dasar (AD) NU, Anggaran Rumah Tangga (ART) NU, dan Pedoman Organisasi dan Administrasi NU. Buku ini memberikan gambaran bagaimana pengelolaan organisasi NU.29
Majalah AULA No. 4 Tahun XXXVIII April 2016. Majalah yang dikeluarkan oleh PWNU Jawa Timur ini berisi beberapa hal yang bisa dibaca sebagai kecenderungan sikap politik PWNU Jawa Timur pada pilpres 2004. Di
27
Achmad Warid,Fiqih Politik NU: Studi Pergeseran dari Politik Kebangsaan ke Politik Kekuasaan,Jurnal Asy-Syir’ah vol. 43. No. I, 2009.
28
Fifi Nofiaturrahmah, Melacak Peran Kyai-Santri dalam Politik Kebangsaan di Indonesia,JurnalIslamic Reviewvolume III No. 1 April 2014.
29
Tim Revisi POA PWNU Jawa Timur,Pedoman Organisasi dan Administrasi Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur(Surabaya: PW LTNNU Jatim, 2015).
(26)
antara content dalam majalah tersebut adalah surat pembaca berjudul Menguji Keotentikan Fatwa Gender, Siapa di Balik Fatwa Presiden Perempuan Haram, rubrik Mimbar Aula dengan judul Pemimpin dalam Islam, rubrik Dirosah dengan judul Kriteria Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Versi Fiqih Terapan, rubrik Wawasan dengan tulisan berjudul Kalkulasi Mengapa Pilih Mega-Hasyim dan rubrik An nisak dengan tulisan berjudulPresiden Perempuan dalam Islam.
Selain buku, jurnal, majalah yang disebut di atas, sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini juga akan digunakan.
d. Metode Pengumpulan Data a). Wawancara
Wawancara adalah memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara.30 Berkenaan dengan penelitian ini, informan yang dipilih peneliti adalah tokoh yang memang paham betul mengenai relasi kuasa NU dan politik pasca-reformasi di Jawa Timur tahun 2004-2014.
Dalam hal ini tokoh yang dimaksud adalah tokoh NU Jawa Timur guna mendapatkan data berkenaan dengan permasalahan tentang relasi kuasa NU dan politik pasca-reformasi di Jawa Timur tahun 2004-2014. Secara spesifik, data tersebut adalah data tentang bentuk relasi NU dan politik pasca-reformasi, data tentang proses terbentuknya relasi kuasa NU dan politik pasca-reformasi di Jawa Timur tahun 2004-2014, dan data tentang prospek relasi NU Jawa Timur dan politik dalam suksesi politik ke depannya.
30
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial, (Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif),(Surabaya: Airlangga University Press, 2001), 133.
(27)
b). Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan salah satu sumber untuk memperoleh data dari buku dan bahan bacaan mengenai penelitian yang pernah dilakukan. Berkenaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, maka peneliti melakukan penelaahan dan membaca buku-buku dan literatur-literatur yang berkaitan dengan judul penelitian.
e. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai dari pengumpulan data dalam periode tertentu. Dalam hal ini peneliti menggunakan analisis data model Miles dan Huberman.31 Dalam analisis data model ini, setelah data dikumpulkan (periode pengumpulan data), dilakukan reduksi data, penampilan data dan penarikan kesimpulan. Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal yang penting, dicari tema dan polanya.
Proses reduksi ini akan memudahkan dalam penelitian dengan didapati gambaran yang lebih jelas. Di sisi lain juga akan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Tahapan kedua yakni penampilan data.32 Maksudnya adalah menyajikan data yang diperoleh ke dalam pola, umpamanya, sehingga data semakin mudah dipahami. Dalam penelitian kualitatif, cara yang paling sering digunakan untuk menampilkan data adalah dengan teks yang bersifat naratif. Penampilan data ini akan memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya, berdasar apa yang dipahami tersebut.
31
Sugiyono,Memahami Penelitian Kualitatif(Bandung: Alfabeta, 2010), 91-92. 32
(28)
Sementara tahap terakhir yakni penarikan kesimpulan. Setelah data dirangkum, ditampilkan, kemudian ditarik kesimpulan. Dalam penelitian kualitatif, suatu kesimpulan terkadang bisa menjawab rumusan masalah yang dirumuskan, terkadang tidak. Sebab masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif, sifatnya sementara dan akan berkembang tatkala peneliti terjun ke lapangan. Dalam penelitian kualitatif, kesimpulan merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Berkenaan dengan temuan tersebut, (temuan) dapat berupa deskripsi atau gambaran yang awalnya belum jelas, menjadi jelas setelah diteliti.33
f. Uji Keabsahan Data
Dalam uji keabsahan data suatu penelitian, acapkali hanya ditekankan dalam uji validitas dan uji reabilitas. Selain pula objektifitas. Data penelitian kualitatif dapat dianggap valid, apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Terkait validitas, terdapat dua validitas dalam penelitian. Pertama validitas internal, kedua validitas eksternal. Validitas internal berkaitan dengan derajat keakuratan yang dicapai. Sementara validitas eksternal berkaitan dengan apakah hasil penelitian bisa digeneralisasikan atau diterapkan pada populasi di mana sampel itu diambil.34
Terkait dengan reliabilitas, konsistensi, dalam penelitian kualitatif memang tidak dijamin. Sebab dalam pandangan kualitatif, suatu realitas sifatnya majemuk (ganda), selalu berubah dan dinamis. Untuk itu, tidak ada suatu data
33
Ibid., 99. 34
(29)
yang tetap, konsisten dan stabil. Tabel di bawah ini mencoba menjelaskan uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif.35
Aspek Metode Kualitatif
Nilai Kebenaran Validitas Internal
Penerapan Validitas Eksternal
Konsistensi Reliabilitas
Netralitas Objektivitas
Terkait uji nilai kebenaran, bisa dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, dan menggunakan bahan referensi.36 Perpanjangan pengamatan dimaksudkan, peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, dan melakukan wawancara lagi dengan sumber data yang pernah ditemui, atau yang baru. Diharapkan, sumber data semakin terbuka dan tidak ada informasi yang disembunyikan lagi.
Di sisi lain, peneliti juga harus meningkatkan ketekunan dengan mengamati secara lebih cermat dan berkesinambungan. Harapannya, kepastian data, kronologi, rangkaian peristiwa akan teramati dengan baik. Penggunaan bahan referensi juga akan menunjang nilai kebenaran. Dalam arti, referensi dapat mendukung data yang telah ditemukan. Sebagai contoh, hasil wawancara didukung dengan rekaman wawancara.
Sementara aspek penerapan (validitas eksternal) meniscayakan bahwa peneliti harus membuat laporan penelitian yang jelas, rinci sistematis, dan dapat dipercaya. Hal ini diamksudkan agar pembaca hasil penelitian dapat memahami
35
Ibid., 119-120. 36
(30)
secara baik, sehingga bisa memperoleh gambaran apakah hasil penelitian tersebut bisa diterapkan di tempat lain atau tidak37.
Terkait uji reliabilitas, dilakukan dengan audit terhadap seluruh proses penelitian. Bagaimana peneliti menentukan fokus masalah, masuk ke lapangan, dan segenap tahapan lain, diaudit oleh auditor yang independen. Umpamanya dilakukan oleh pembimbing. Terakhir, uji aspek netralitas, yakni apabila data yang diperoleh adalah data objektif. Objektifitas ini dinilai dengan indikator, bahwa data disepakati banyak orang. Dalam hal uji netralitas, pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan38.
G. Sistematika Pembahasan
Penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa subbab sebagai berikut:
Bab pertama tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi tentang landasan teori, yakni Rational Choice Theoryoleh Patrick Baert dan Teori Politik Jawa Ben Anderson.
Bab ketiga berisi penjelasan tentang lokasi penelitian, termasuk peta sosial Jawa Timur dan posisi NU Jawa Timur dan konstelasi politik.
Bab keempat merupakan kajian analisis mengenai relasi kuasa NU dan politik pasca-reformasi di Jawa Timur tahun 2004-2014.
37
Ibid., 130. 38
(31)
Bab kelima penutup. Bab ini merupakan bagian akhir yang berisi kesimpulan dari uraian-uraian yang telah dibahas dalam keseluruhan penelitian dan saran.
(32)
24
KERANGKA TEORI
A. Teori Pilihan Rasional1. Pengertian Pilihan Rasional
Sebagaimana dituturkan George Ritzer dalam Sociology; A Multiple Paradigm Science dikenal tiga rumpun paradigma dalam sosiologi. Tiga paradigma tersebut adalah paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Secara istilah, menurut Robert Friedrichs, paradigma adalah pandangan yang mendasar tentang apa yang semestinya menjadi hal yang dikaji atau dipelajari. Sementara Ritzer mendefinisikan paradigma sebagai what is the subject matter of science.1 Wirawan juga memberikan perumpamaan lain, bahwa paradigma adalah jendela keilmuan yang digunakan untuk melihat realitas dunia sosial.2
Berpijak pada hal ini, maka tatkala mengetengahkan suatu teori hendaknya dilacak pula bahwa suatu teori yang dimaksud, termasuk pada rumpun paradigma fakta sosial, definisi sosial, atau perilaku sosial.3 Dalam hal ini, teori pilihan rasional dikategorikan dalam rumpun paradigma perilaku sosial. Paradigma perilaku sosial menjadikan tingkah laku manusia yang tampak dan kemungkinan pengulangannya (hubungan antar individu dan lingkungannya melalui stimulus dan respon) sebagai fokus utama.
Jika ditilik sejarahnya, teori pilihan rasional awalnya lekat dengan domain ekonomi. Namun seiring dengan berjalannya waktu teori pilihan rasional juga
1
Chabib Mustofa,Hand Out Teori Sosiologi Modern (tt) 2
I.B. Wirawan,Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma(Jakarta: Kencana, 2013), 1-2. 3
Walau dalam perkembangannya, muncul pula rumpun paradigma lain, yakni paradigma positivistik, konstruksi sosial, dan kritis.
(33)
digunakan untuk menjelaskan fenomena yang bersifat non-ekonomi. Dalam catatan Wirawan, selama dua dekade terakhir pilihan rasional telah muncul sebagai prespektif dominan dalam ilmu politik. Para ahli ekonomi-pun juga tak luput menggunakan prespektif pilihan rasional untuk menganalisis subjek di luar wilayah tradisionalnya (ekonomi).4
Secara definitif, Patrick Baert memberikan definisi teori pilihan rasional sebagai suatu teori sosial yang digunakan untuk menjelaskan perilaku politik dan sosial dengan mengasumsikan bahwa seseorang bertindak secara rasional.5 Sebagai catatan, dalam penelitian ini teori pilihan rasional yang dikembangkan oleh Patrick Baert yang akan digunakan sebagai pijakan.6
Patrick Baert dan beberapa teoritis lain menjadikan beberapa asumsi sebagai dasar teori pilihan rasional.7 Asumsi pertama adalah intensionalitas. Dalam hal ini penjelasan intensionalitas tidak hanya menyatakan bahwa setiap individu bertindak dengan maksud tertentu –secara intensional–, namun juga dengan mempertimbangkan praktik sosial seperti keyakinan dan kepercayaan. Termasuk pula keinginan dari para individu yang terlibat. Penjelasan intensionalitas juga sering kali disertai dengan suatu pencarian terhadap efek agregat atau akibat-akibat yang tidak dimaksudkan dari tindakan purposif para pelaku pilihan rasional.
4
Wirawan,Teori-teori...190. 5
Ibid., 209. 6
Patrick Baert adalah professor dalam bidang teori sosial di University of Cambridge. Ia juga editor diInternational Journal of Politics, Culture and Society. Diantara karyanya adalah The Existensialist Moment; Sartre’s Rise as a Public Intellectual, Philosophy of the Social Sciences: Toward Pragmatism,danSocial Theory in the Twienth Century and Beyond(dengan F.C. da Silva). Lihat Departement of Sociology,“Patrick Baert Head of
Departement ”http://www.sociology.cam.ac.uk/people/academic-staff/pbaert (Senin, 08 Agustus 2016 pukul 06.47)
7
(34)
Pada asumsi pertama ini, teori pilihan rasional oleh para teoris diberi catatan berupa “kontradiksi sosial” yakni counterfinality dan suboptimality. Dimaksud dengan counterfinality adalah tatkala ada asumsi seseorang bahwa apa yang dianggap sebagai hal yang bermanfaat bagi seseorang pada wilayah tertentu, secara otomatis bermanfaat pula bagi semua individu dalam wilayah tertentu.
Terkait counterfinality ini Sartre memberikan perumapamaan tindakan penggundulan hutan yang dilakukan oleh seorang petani. Ketika seorang petani berasumsi bahwa untuk mendapat lahan luas bisa diperoleh dengan menebangi pohon, nyatanya apa yang dilakukan oleh petani ini tidak memberikan kemanfaatan. Sebab hutan yang gundul dan ancaman erosi mengancam lahan pertanian itu sendiri. Pada posisi ini asumsi seseorang tentang kebermanfaatan, adalah “asumsi yang salah”.
Sementara suboptimality dimaksudkan ketika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan dan ia juga mengasumsikan bahwa orang lain akan memilih atau menggunakan strategi yang sama. Di sisi lain, seorang individu juga menyadari bahwa setiap individu akan mendapatkan keuntungan minimal ketika memilih stategi yang lain. Sebagai contoh, peperangan antara dua negara besar. Idealnya dalam kondisi ini dua negara mengurangi jumlah persenjataannya, tetapi keputusan yang terbaik dari dua negara ini adalah sama-sama menambah jumlah persenjataan, terlepas apapun keputusan yang diambil pihak lain.
Asumsi kedua adalah rasionalitas. Unsur kerasionalan dalam bertindak atau beraksi akan diketengahkan dalam penjelasan rasional ini. Rasionalitas seseorang akan berperan penting untuk menyusun rencana yang koheren dan di sisi lain
(35)
mencoba untuk memaksimalkan kepuasan dirinya. Meminimalkan biaya yang akan dikeluarkan juga menjadi poin yang tidak bisa diabaikan.
Adanya rasionalitas ini juga memberikan efek pada munculnya kecenderungan atau preferensi individu. Maksudnya, ada beberapa pilihan yang harus diputuskan menjadi pilihan yang pertama. Proses atribusi ini dapat terwujud melalui kecenderungan yang muncul dari individu saat dihadapkan pada beberapa pilihan. Sebagai contoh preferensi A atas B, preferensi B atas C, dan seterusnya.
Hal yang juga menjadi perhatian dalam rasionalitas ini adalah rujukan pada keyakinan dan preferensi individu yang sifatnya subjektif. Kondisi objektif yang melingkupi individu tidak menjadi perhatian dalam pilihan rasional. Hal ini memberikan implikasi pada kemungkinan munculnya tindakan rasional, namun berpijak pada keyakinan yang salah. Oleh karena itu mengumpulkan informasi untuk memperkuat keyakinannya adalah poin penting agar bisa dikatakan rasional. Akan tetapi, pengumpulan informasi yang tidak dikalkulasi juga tidak menutup kemungkinan melahirkan suatu hal yang irrasional. Seagai contoh, tatkala ada serangan justru terfokus pada pencarian informasi dan seluk-beluknya, sehingga serangan tersebut menjadi tidak terkendali dan berdampak buruk.
Asumsi ketiga adalah kondisi antara ketidakpastian dan risiko. Dalam hal ini seorang tidaklah bisa berada pada posisi mendapatkan informasi yang sempurna. Unsur ketidakpastian dan risiko tetaplah ada. Para teoris teori pilihan rasional mengamini hal ini, namun cenderung pada kondisi penuh risiko. Maksudnya adalah tatkala dihadapkan pada risiko seseorang dapat saja mengatribusikan berbagai kemungkinan yang telah diperkirakan, berikut konsekuensinya. Hal ini tidak bisa dilakukan ketika pada posisi ketidakpastian.
(36)
Dalam pandangan teoris pilihan rasional, ada dua alasan yang menjadikan posisi risiko sebagai fokus. Pertama adalah kondisi ketidakpastian jarang ditemui. Alasan kedua, ketika dihadapkan pada posisi risiko, teori pilihan rasional mengasumsikan bahwa ada kemampuan untuk mengkalkulasi apayang diharapkan dari setiap tindakan yang dilakukan.
Sementara asumsi terakhir adalah perbedaan antara pilihan parametrik dan strategis. Pilihan parametrik adalah ketika seseorang berada pada posisi independen dari beberapa pilihan yang ditemui. Istilah independen dimaksudkan bahwa seseorang tidak perlu perhitungan atas perhitungan-perhitungan yang dilakukan orang lain. Sementara pilihan strategis menghendaki bahwa seseorang sebelum menentukan pilihan harus mempertimbangkan pilihan-pilihan yang dibuat oleh orang lain. Penjelasan counterfinality dan suboptimaly kiranya dapat dikaitkan dengan pilihan strategis ini.
Dalam Political Science and Rational Choice William H. Riker menuturkan beberapa elemen pilihan rasional.8 Elemen-elemen tersebut yakni; pertama, para aktor dapat merangking tujuan-tujuan, nilai-nilai, selera dan strategi yang diinginkan; kedua, para aktor dapat memilih alternatif terbaik yang sekiranya bisa memaksimalkan kepuasan aktor.
Berpijak pada elemen di atas ada beberapa komponen yang juga menjadi perhatian penting dalam teori pilihan rasional. Komponen pertama adalah perangkingan. Dalam perangkingan ini perangkat alternatif diasumsikan tertentu dan jumlahnya tetap. Sementara hal-hal yang dipercaya tidak relevan dikategorikan sebagai pilihan yang tidak mungkin.
8
Ismail, Buku Ajar Ekonomi Politik, Program Studi Filsafat Politik Islam Fakultas Ushuluddin IAIN (UIN) Sunan Ampel Surabaya, 205.
(37)
Komponen kedua adalah kepercayaan. Adanya komponen kepercayaan ini menunjukkan bahwa individu-individu tidak bertindak semata-mata berdasar kebiasaan dan emosi, tetapi juga atas dasar kepercayaan tentang struktur sebab akibat. Komponen ketiga adalah kesempatan. Secara prinsipil setiap aktor mempunyai keinginan, namun tidak semua keinginan dapat tercapai sebab terbatasnya sumber daya dan kemampuan. Komponen terakhir adalah tindakan aktor, yang menggariskan adanya pilihan-pilihan dengan pertimbangan atau respons atas keadaan.
Sebagaimana dituturkan di muka, bahwa teori pilihan rasional telah masuk pada domain politik, ini juga ditegaskan (lagi) oleh Ismail. Tatkala menggunakan kerangka pilihan rasional, akan dapat dipahami rasionalitas politik dalam pemilihan. Sebelum menentukan pilihan, seseorang akan melakukan interpretasi politik dan perhitungan tentang tujuan, sarana, dan hal lain yang dapat menyokong terwujudnya harapan.9
2. Aplikasi Pilihan Rasional
Setelah dijelaskan beberapa hal penting yang melingkupi teori pilihan rasional, kini pengaplikasian melalui teori permainan (bagian dari pilihan rasional) akan dipaparkan. Lazimnya di dalam permainan terdapat minimal dua pemain yang berkontestasi untuk memperebutkan sesuatu. Termasuk pula dalam teori permainan ini. Sejalan dengan apa yang telah disampaikan di atas (poin 1) terkait penggunaan strategi, maka dalam pengaplikasian pilihan rasional, hal tersebut juga sangatlah berpengaruh pada hasil.
9
(38)
Dalam hal ini, tidak hanya strategi yang direncanakan oleh satu pemain, namun juga strategi yang digunakan oleh lawannya. Kehadiran teori permainan mencoba untuk mengulas dan memprediksi strategi-strategi pemain di mana mereka bertindak secara rasional berdasar pada informasi yang diperoleh. Walaupun, sekali lagi, terkait informasi ini tentu tidak akan sempurna. Begitujuga pencarian informasi yang berlebihan (tanpa perhitungan) juga akan berdampak buruk–seperti disinggung pada pembahasan asumsi kedua; rasionalitas–.
Ada dua model yang lazim dalam teori permainan; pertama teori permainan kooperatif; kedua teori permainan nonkooperatif. Teori permainan kooperatif menganalisis permainan-permainan koalisinal, begitujuga kekuatan yang dimiliki pemain, dan juga seputar pembagian hasil diantara koalisi. Sementara permainan non-kooperatif menggambarkan detail permainan dari setiap strategi-strategi yang diambil oleh pemain. Walaupun menggunakan istilah kooperatif dan nonkooperatif, namun tidak menutup kemungkinan adanya kerjasama dan konflik baik dalam kooperatif maupun nonkooperatif.10
Lebih lanjut, dalam hal ini ada dua bentuk permainan di dalam permainan nonkoperatif, yang dapat dibedakan menjadi permainan bentuk strategis dan permainan bentuk ekstensif. Dalam permainan bentuk strategis, para pemain dapat memilih strategi secara simultan (waktunya bersamaan). Sementara bentuk ekstensif cenderung mempertimbangkan sekian pilihan yang dikumpulkan untuk setiap permainan.
10
Henny I, “Dasar Teori Permainan dan Lelang”,
http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/637/jbptitbpp-gdl-hennyikase-31825-3-2007ts-2.pdf (Selasa, 30 Agustus 2016, 07.09)
(39)
Patrick Baert memfokuskan pada bentuk permainan strategis, melalui dilema tahanan. Penggambaran yang ideal sebab relevansi dilema tahanan dengan hal-hal yang berkaitan dengan unsur sosial-politik. Dilema tahanan yang dimaksudkan adalah kondisi yang menghendaki pertarungan dan strategi secara rasional, tatkala dua orang tertangkap oleh petugas keamanan. Seorang dengan informasi yang dimiliki, bisa saja memilih strategi X agar bebas, dan seorang lain dihukum seumur hidup, atau memilih strategi Y agar sama-sama dihukum 5 tahun. Berikut uraiannya.
Tatkala si A dan si B tertangkap petugas keamanan, keduanya ditempatkan di ruang terpisah, kemudian masing-masing diberi pertanyaan tentang keterlibatan. Jawaban yang keluar dari masing-masing tahanan (si A dan si B) mempunyai konsekuensi dengan rincian; jika si A mengakui dan si B menolak mengakui maka si A bebas dan si B dihukum seumur hidup. Jika si A mengakui dan si B mengakui maka keduanya dihukum 20 tahun. Jika keduanya menolak mengakui maka keduanya akan dihukum 5 tahun. Rincian hukuman ini juga menjadi pilihan yang bisa dipilih si B. Tabel di bawah ini mencoba untuk menggambarkan rincian hukuman tersebut.
Si A Si B
Menolak Mengakui
Menolak 3 3 1 4
Mengakui 4 1 2 2
(40)
Catatan :
Pay-off11 : 1 (hukuman seumur hidup), 2 (dua puluh tahun), 3 (lima tahun), 4 (bebas).
Baris : si A dan Kolom : si B
Perhitungannya adalah tatkala si B mengakui dan si A mengakui maka skor yang ditulis adalah sama-sama 2. Jika si B mengakui dan si A menolak maka si A mendapat skor 1 dan si B mendapat skor 4. Jika si B menolak dan si A mengakui maka si B mendapat skor 1 dan si A 4. Jika si B menolak dan si A juga menolak maka keduanya mendapat skor 3.
Rangkaian teori pilihan rasional ini akan diaplikasikan pada tataran sosial-politik, untuk menelaah kasus relasi kuasa NU dan politik pasca-reformasi di Jawa Timur tahun 2004-2014. Lebih praktisnya, teori pilihan rasional akan digunakan untuk melihat kerja rasional yang dilakukan oleh NU Jawa Timur dalam kontestasi pilpres 2004 dan pileg 2014.
B. Teori Politik Jawa
1. Tinjauan Wilayah Jawa
Wilayah Jawa, atau tana (tanah) Jawa merupakan jajaran pulau besar dari kepulauan Indonesia. Terkait nama Jawa, dalam arti terkait asal mula penyebutan nama sebagai wilayah Jawa, memang tidak ada kepastian. Namun beredar cerita tentang penemuan biji-bijian baru oleh para pendatang India yang diberi nama jawawut. Ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Nusa Hara-hara, atau
11
(41)
Nusa Kendang, yang mempunyai makna masih liar atau yang bertepian dengan perbukitan.12
Sebagai sebuah komunitas masyarakat yang mempunyai sejarah panjang dalam peradabannya, banyak nilai-nilai yang tercermin dalam kehidupan masyarakat Jawa. Franz Magnis-Suseno menuliskan bahwa ada 4 lingkaran dalam pandangan dunia masyarakat Jawa. Lingkaran pertama adalah sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai sebuah kesatuan kesadaran antara manusia, alam dan dunia adikodrati. Lingkaran kedua adalah penghayatan kekuasaan politik sebagai perpanjangan tangan kekuatan adikodrati. Lingkaran ketiga adalah pengalaman mistis-batiniah manusia Jawa dalam memahami eksistensi dirinya sebagai bagian dari alam. Lingkaran keempat adalah penentuan semua lingkaran di atas sebagai bagian dari takdir kehidupannya.13
Asal mula penduduk di wilayah Jawa, disebut-sebut berasal dari nenek moyang dari pulau-pulau di timur semenanjung Asia yang merupakan wilayah pertamakali ditempati manusia. Di kawasan Asia Timur terdapat suatu bangsa yang besar, bangsa Cina, bangsa Jepang dan beberapa suku bangsa lain yang mendiami Semenanjung India di luar Gangga, dan juga di pulau-pulau selatan dan timurnya, sampai New Guinea.
Di kawasan ini ditemukan kemiripan ciri-ciri yang terdapat pada masyarakat Jawa dengan ciri-ciri bangsa yang disebut di atas. Begitujuga adanya kemiripan dengan bangsa Birma dan Siam. Berdasar kemiripan ini, baik secara
12
Thomas Stamford Raffles, The History of Java, terj. Eko Prasetyoningrum, dkk. (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2014), 1.
13
Aryaning A. Kresna, “The Concept of Power and Democracy in Javanese Worldview“
http://www.researchgate.net/profile/Aryaning_Kresna2/publication/256765840_The_Con cept_of_Power_and_Democracy_in_Javanese_Worldview/links/02e7e523beb969561700 0000 (Jum’at,08 Juli 2016, 10.37 )
(42)
fisik, tingkah laku ataupun adat istiadat, memperkat dugaan bahwa penghuni pulau Jawa berasal dari pulau-pulau di wilayah antara Cina dan Siam. Terkait migrasi dan penyebabnya, memang tidak diketahui secara pasti apa yang melatarbelakanginya.14
Berkenaan dengan agama yang dianut oleh masyarakat Jawa, sebelum kedatangan agama Islam (yang kini menjadi keyakinan terbesar di kalangan masyarakat Jawa) masyarakat Jawa menganut agama Hindu. Dalam catatan sejarah dan tradisi umum di daerah, kerajaan Hindu Majapahit sekitar tahun 1475 M yang berdiri dan berkuasa di tanah Jawa harus tergeser sebab datangnya Islam. Pengaruh Islam juga dirasakan oleh Portugis ketika ia pertamakali berkunjung ke Bantam (kini Banten). Portugis menemukan raja Hindu di Bantam yang kehilangan hak atas propinsinya sebab keberadaan raja Islam yang berkuasa.
Meskipun Islam sudah menjadi agama masyarakat Jawa, namun tak semua elemen dari kalangan masyarakat Jawa yang masih enggan meninggalkan kebiasaannya dan memercayai institusi nenek moyang mereka. Secara dzahirnya masyarakat Jawa sudah tidak pergi ke candi, namun mereka masih menunjukkan perhatian yang tinggi pada hukum, adat-istiadat dan kebiasaan setempat yang telah ada sebelum datangnya Islam.15
Terkait suku Jawa, di Indonesia, suku ini menjadi suku mayoritas. Sebagaimana hasil laporan Badan Pusat Statistik dan Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) suku Jawa adalah suku terbesar dengan proporsi 40,05 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara suku Sunda berada pada urutan
14
Thomas Stamford Raffles,The History of…32. 15
(43)
kedua, sebesar 15,50 persen.16Begitujuga di Jawa Timur, suku Jawa menjadi suku yang dominan disusul suku Madura.17
2. Teori Politik Jawa
Berkenaan dengan Teori Politik Jawa, dalam penelitian ini akan menggunakan teori yang dirumuskan Ben Anderson. Dalam karyanya ini Anderson menilai banyak karya ilmiah yang mengetengahkan sejarah dan kebudayaan Indonesia, terkhusus Jawa, namun sekian karya itu masih sedikit yang menyentuh wilayah baik mengenai konsep politik tradisional maupun pengaruhnya yang signifikan atas Indonesia masa kini.
Anderson hadir melakukan sebuah upaya penjabaran sistematis mengenai konsepsi tradisional Jawa tentang politik. Paparan tentang gambaran kehidupan sosial dan politik dalam kacamata Jawa ini berkelindan dengan upaya untuk menjabarkan teori politik pribumi, agar dapat membuktikan bahwa budaya tradisional Jawa memang memiliki teori politik.18
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, tidak sepenuhnya konsepsi Jawa tentang sosial dan politik mendapati kesesuaiannya. Sebab Anderson memotret gagasan politik Jawa tradisional sebelum masuknya kolonialisme. Sementara dalam penelitian ini, Jawa yang dimaksud adalah Jawa pasca-kemerdekaan (kurun waktu 2004-2014). Meskipun demikian, penggunaan Teori Politik Jawa ini sangat
16
Badan Pusat Statistik, https://www.bps.go.id/KegiatanLain/view/id/127 (Senin, 20 November 2016, 18.08)
17
Website Pemerintah ProvinsiJawa Timur, “Sekilas Jawa Timur” dalam
http://jatimprov.go.id/read/sekilas-jawa-timur/sekilas-jawa-timur (Senin, 20 November 2016, 18.17)
18
Ben Anderson,Kuasa Kata Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia,terj. Revianto Budi Santosa (Yogyakarta: MataBangsa, 2000), 37-38.
(44)
relevan. Sebab, sebagaimana dipaparkan Anderson sendiri, Teori Politik Jawa ini menjadi langkah untuk memahami kondisi politik Jawa era kini.19
Kondisi ini menghendaki perlunya perumusan ulang konsepsi Jawa dengan tetap berpijak pada apa yang telah disampaikan Ben Anderson. Adapun perumusan ulang itu terwujud pada poin paduan Islam-Jawa, kekharismatikan penguasa, konsep kuasa dalam kacamata Jawa dan upaya mendapatkan kuasa. Poin-poin ini akan dipaparkan berurutan untuk menjelaskan kehidupan sosial politik suku Jawa sebagai suku mayoritas di Jawa Timur
a) Paduan Islam-Jawa
Tatkala Islam masuk ke tanah Jawa, Islam mengambil alih peranan-peranan tradisional yang telah ada di masyarakat Jawa sebelum kedatangan Islam. Di antaranya penasihat Istana, ahli nujum, dan begawan-pertapa. Sifat Islam yang asimilatif, pada gilirannya mendapati paduan antara apa yang berkembang dengan masyarakat Jawa dengan ajaran Islam. Sebagaimana dipaparkan di muka bahwa agama yang dianut oleh masyarakat Jawa, sebelum kedatangan agama Islam adalah agama Hindu.
Anderson menilai, sifat asmilatif Islam yang masuk pada abad 15-16 menandakan adanya unsur besar yang sebangun dan berkesesuaian antara Islam dengan tradisi kebudayaan yang ada di masyarakat. Di antara kesesuaian itu adalah pengasosiasian Islam dengan lambang kuasa dari zaman sebelumnya. Pengasosiasian itu terwujud pada istilah wali atau pewarta suci yang dikaitkan dengan budaya penting sebelum datangnya Islam seperti wayang.
19
(45)
Tafsiran umum tentang pusaka Serat Kalimasada yang dimilik kakak tertua pandawa dalam cerita Mahabharata sebagai kalimat syahadat, mewakili pengasosiasian ini. Pusaka milik Prabu Yudhistira itu dimaknai sebagai ikrar akan keyakinan terhadap Islam. Di sisi lain, corak Islam ini sebelum sampai ke Jawa telah melewati daratan Persia dan India sehingga menyimpan unsur patrimonial. Unsur ini juga menemukan kesesuaiannya dengan pandangan dunia Jawa tradisional, berkenaan dengan peranan dan pentingnya penguasa.20
Sebagai catatan, karakter Islam yang masuk pada abad 15-16 Masehi ini menjadi karakter Islam ala NU. Sebagaimana catatan Agus Sunyoto, pada abad 15-16 juru dakwah yang menyebarkan ajaran Islam adalah Walisongo. Istilah Walisongo dalam pandangan masyarakat adalah ketua kelompok dari sejumlah mubaligh Islam yang bertugas mendakwahkan Islam di daerah Jawa yang belum memeluk Islam21. Ajaran dakwah ala Walinsongo ini, pada gilirannya, sebagaimana dituturkan Siradj, (diteruskan) menjadi corak dakwah NU.22
Pada posisi ini, penulis berkesimpulan bahwa konsepsi Jawa tentang kuasa tidak hanya berkutat pada penguasa tradisional-kerajaan seperti raja, tetapi juga pada penguasa tradisional-keagamaan seperti kiai.
20
Ibid.,147-149. 21
Agus Sunyoto,Atlas Walisongo(Jakarta: LESBUMI PBNU, Pustaka IIMaN, 2016), 142
22
Ibid., xiii. Perpaduan budaya yang berkembang di masyarakat dan Islam, memang menjadi ciri yang lekat dengan pola dakwah NU. Bahkan Gus Dur dalam satu tulisannya menganalogikan salah satu penggalan ayat al-Qur’an, nafsul muthmainnah dan nafsul lawwamah dengan Pandawa dan Kurawa dalam cerita Mahabhata. Lihat Abdurrahman Wahid, Musuh dalam Selimut dalam Ilusi Negara Islam, ed. Abdurrahman Wahid (Jakarta: Wahid Institute, Maarif Institute, 2009), 13-14.
(46)
b) Konsep kuasa
Di dalam tradisi Jawa kekuasaan adalah kenyataan yang nyata adanya, bukan merupakan postulat teoritis, tetapi merupakan suatu kenyataan eksistensial. Kekuasaan Jawa bersifat ilahiyah. Pun ada konsepsi bahwa seluruh kekuasaan sama jenisnya dan berasal dari sumber yang sama. Kuantitas kekuasaan tidak berubah, dan tidak patut mempertanyakan kekuasaan (yang diperoleh) absah atau tidak. Hal yang pasti adalah kekuasaan itu ada.23
c) Upaya mendapatkan kuasa
Dalam kehidupan masyarakat Jawa, upaya untuk mendapatkan kuasa terdapat dua jalur. Pertama ortodoks, kedua heterodoks. Jalur ortodoks dimaksudkan pada sebuah usaha yogaistik dan laku tapa umpama puasa, meditasi, berpangkal seksual dan berbagai tipe “pengorbanan” lain. Nilai penting dari laku tapa yang demikian dimaksudkan semata demi mendapat kuasa. Sementara jalur kedua, heterodoks adalah merujuk pada sistem kepercayaan Bhairava, yang mengumbar hawa nafsu untuk mendapatkan kuasa. Pengumbaran nafsu dipercaya sebagai cara menuntaskan gairah-gairah sehigga tujuan akhir konsentrasi guna mendapat kuasa dapat tercapai.24
d) Kharismatik
Pengatributan para pengikut kepada pemimpin, atau pandangan pengikut kepada pemimpin yang luar biasa, mempunyai kekesuaian dengan konsepsi Jawa. Pada posisi ini seorang pemimpin dianggap sebagai titik sentral dari mana kuasa itu memancar, dan para pengikut melekatkan dirinya kepada pemimpin. Dalam
23
Ben Anderson,Kuasa Kata…49. 24
(47)
pandangan Anderson, konsepsi kharismatik didapatkan dari gagasan yang berkesuaian dengan konsepsi Jawa tentang Kuasa.25
Berpijak pada konstruksi teori politik Jawa ini, dalam pandangan penulis, akan layak digunakan untuk memotret relitas kultural Jawa Timur. Dalam arti Jawa Timur dengan suku Jawa sebagai mayoritas, dan di sisi lain kelompok keagamaan mayoritas adalah NU. Corak NU Jawa Timur yang memadukan Islam dengan kultur (baca: budaya Jawa), akan ditelaah menggunakan teori politik Jawa untuk melihat sejauh mana paduan Islam-kultur dalam pembentukan relasi kuasa NU Jawa Timur dan politik pasca-reformasi tahun 2004-2014.
Perpaduan rational choice-teori politik Jawa diharapkan dapat membedah sisi rasional para tokoh NU dan eratnya unsur Jawa sehingga akan maksimal dalam mengetengahkan relasi kuasa antara NU Jawa Timur dan konstelasi politik di Jawa Timur. Lebih spesifiknya, bagaimana proses terbentuknya relasi NU Jawa Timur dalam kontestasi pilpres 2004 dan pileg (DPD) tahun 2014.
25
(48)
40
SETTING LOKASI PENELITIAN
A. Profil Nahdlatul Ulama Jawa TimurNahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah organisasi kemasyarakatan yang secara formal didirikan di Surabaya, pada tanggal 16 Rajab 1433 H atau bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M. Disebut secara formal sebab di kalangan para kiai –yang kelak menjadi basis massa NU– sudah terjalin komunikasi secara informal. Pun kesamaan faham, wawasan keagamaan, cara pengamalan, dan “ritual-ritual” keagamaan yang dijalani.1
Di sisi lain, para kiai juga mempunyai ikatan emosional yang kuat sebab pertemuan-pertemuan dalam berbagai acara, seperti selamatan, haul, atau berada dalam ikatan seperguruan. Bahkan tidak jarang pula para kiai yang mempunyai ikatan keluarga (dengan kiai lain) melalui hubungan perkawinan.2 Sebagai contoh Kiai Hasyim Asy’ari menikahkan putrinya dengan Kiai Baidlowi. Sementara putra Kiai Hasyim (Kiai Kholiq Hasyim) menikah dengan keponakan Kiai Baidlowi.3
Jika ditilik lebih lanjut, kelahiran NU tidak bisa dilepaskan dari perdebatan atas corak pemahaman kegamaan yang berkembang di tanah air. Hal ini bisa dilihat pada tahun 1922, ketika diselenggarakan Kongres Umat Islam di Cirebon
1
M. Nur Hasan,Ijtihad Politik…48. 2
Ibid. 3
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta:LP3ES, 1982), 72; Abdul Chalik, Nahdlatul Ulama dan Geopolitik Perubahan dan Kesinambungan(Surabaya: IAIN Sunan Ampel, Yogyakarta: IMPULSE, 2011), 56-57.
(49)
yang mempertemukan umat Islam baik dari kalangan kaum pembaruan maupun kalangan tradisi.4
Forum yang awalnya diharapkan menjadi media pengikat dan wahana persatuan umat Islam untuk melawan penjajah, justru menjadi “arena konflik”. Muhammadiyah –organisasi keagamaan yang berdiri tahun 1912– menghendaki bahwa umat Islam idealnya mengembalikan segenap urusan pada al-Qur’an dan Hadits. Kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama sudah seharusnya ditutup.
Muhammadiyyah yang secara karakter keagamaan cenderung melakukan pembaharuan, secara nyata menyudutkan kelompok tradisi. Meskipun kehadiran kelompok tradisi memunculkan penentangan terhadap sendi keagamaan yang dianut, namun kelompok tradisi tidak bersikap anti terhadap kelompok pembaharu. Sementara di internal kelompok pembaharu juga muncul konflik. Sarekat Islam (SI) yang enggan mendebatkan permasalahan keagamaan dihadapkan pada Muhammadiyah dan Persis yang menghendaki kemurnian agama.5
Perdebatan antara kaum pembaharu dan tradisi kembali mengemuka tatkala pemilihan utusan ke Kongres Khilafat6 di Makkah. Kala itu kelompok pembaharu memutuskan sendiri akan mengirimkan utusan, yakni Tjokroaminoto dari SI dan Kiai Mas Mansur dari Muhammadiyah. Terkait dengan hal ini
4
Einar Martahan Sitompul,NU & Pancasila(Yogyakarta: LKiS, 2010), 44-51. 5
Perbedaan pandangan antara kaum pembaharu dan yang menjaga tradisi memang senantiasa menghiasi perjalanan umat Islam Indonesia. Selain dalam kongres tersebut,
“pertentangan” kaum pembaharu dan adat di Minangkabau bisa menjadi contoh lain.
Lihat Aksin Wijaya, Menusantarakan Islam…120. Bahkan (sebab) penentangan ini juga menjadi cikal bakal NU (respon penolakan atas kebijakan Raja Saud).
6
Kongres Khilafat adalah kongres yang bertujuan menetapkan khalifah (pemimpin umat Islam). Sebelumnya Kongres Khilafat juga hendak dihelat oleh pemimpin di Mesir, namun diundur. Akhirnya perhatian tertuju ke Kongres Khilafat Makkah. Lihat Einar Martahan Sitompul,NU & Pancasila…48.
(50)
ditengarai sebelum kongres resmi dihelat pada Pebruari 1926, sudah ada suatu rapat internal antar-organisasi modernis pada Januari 1926 dan memutuskan delegasi dua orang di atas (baca: Tjokroaminoto dan Mas Mansur).7
Merespon keputusan kongres yang mendelegasikan Tjokroaminoto dan Kiai Mas Mansur, kaum tradisi yang tidak diikutkan menitipkan usulan agar penguasa baru di Saudi tetap menghormati tradisi keagamaan yang berlaku dan ajaran madzhab yang dianut oleh masyarakat Islam setempat. Namun usulan kaum tradisi ditolak oleh kaum pembaharu.8
Sebagai catatan, semenjak tahun 1746 Makkah berada pada kekuasaan koalisi Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad Ibnu Saud. Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang dengan corak pemikiran yang cukup ekstrim dan menjadi fenomena yang baru sama sekali dalam sejarah Islam. Ketika tahun 1740 Muhammad bin Abdul Wahab terusir dari Uyainah, ia kemudian pergi ke Dir’iyah dan menemukan sekutu baru, Muhammad ibnu Saud. Setelah lima belas tahun koalisi ini berlangsung, sebagian besar Jazirah Arab sudah dikuasai.
Perpaduan antara paham keagamaan ala Muhammad bin Abdul Wahab (kemudian disebut Wahabi) dan kekuatan politik Muhammad ibnu Saud ini melahirkan sebuah kekuatan baru yang saling melengkapi. Kekuatan ini berlanjut hingga Muhammad Ali Pasha, Gubernur Mesir, atas perintah Sultan Utsmani pada sekitar tahun 1811-an melakukan ekspedisi dan berhasil membebaskanHaramain. Namun kemenangan Muhammad Ali Pasha ini hanya berlangsung sesaat. Pada tahun 1832 kekuatan Wahabi bangkit dan pada tahun 1925 berhasil menguasai 7
Abdul Chalik, Nahdlatul Ulama… 100. Menurut hemat penulis, merasa tidak dilibatkannya kalangan tradisionalis juga hal yang wajar. Sebab tatkala merespon kongres yang diinisiasi Mesir terpilih Surjopranoto (SI), Haji Fakhrudin (Muhammadiyah) dan Kiai Wahab Hasbullah (kalangan tradisionalis–kelak NU–) . Lihat ibid.
8 Ibid.
(51)
Haramain. Kemenangan ini didukung “perjanjian pertemanan dan kerjasama” antara Wahabi-Saudi dengan pihak Inggris.9
Kebangkitan Raja Saud yang berpaham Wahabi ini, dalam pandangan kaum tradisi menjadi “ancaman” sebab nasib madzhab dan tradisi keislaman di Indonesia juga dipertaruhkan. Sebagaimana diketahui, pola keagamaan Wahabi sangat mudah mengkafirkan selain golongannya, bahkan secara mudah menghalalkan membunuh, menyembelih dan mencuri harta umat Islam lain.10 Termasuk pula dalam karakter keagamaan Wahabi adalah pemusnahan situs-situs peradaban Islam dan anti-pluralitas bermadzhab.11
Kaum tradisi kemudian bergerak dengan mengundang ulama-ulama di Jawa dan Madura untuk berkumpul di kediaman Kiai Abdul Wahab Hasbullah. Pertemuan yang dihelat di Surabaya pada 31 Januari 192612 tersebut menghasilkan dua keputusan yakni:13
“Pertama, meresmikan dan mengukuhkan berdirinya Komite Hijaz dengan masa kerja sampai delegasi yang diutus menemui Raja Saud kembali ke tanah air. Kedua,membentuk jam’iyah (organisasi) untuk wadah persatuan para ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju terciptanya cita-cita izzul Islam wal Muslimin(kejayaan Islam dan umat Islam)”
Komite Hijaz adalah sebuah kepanitiaan kecil yang kemudian mendelegasikan dari dua orang yakni Kiai Abdul Wahab Hasbullah (sebagai ketua) dan Syekh Ghonaim al-Mishri ke Hijaz (sekarng Arab Saudi). Sebagai gabungan dari Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Syubbanul Wathon, tak
9
Abdurrahman Wahid (Ed.),Ilusi Negara Islam...67-69. 10
Syekh Fathi Al Mishri Al Azhari,Radikalisme Sekte Wahabiyah Mengurai Sejarah dan Pemikiran Wahabiyah,ter. Asyhari Masduqi(Tangerang Selatan: Pustaka Asy’ari, 2011),
33. 11
Majalah AULA Tahun XXXVIII April 2016, 13. 12
Tanggal 31 Januari 1926 masehi bertepatan dengan 16 Rajab 1433 hijriah. Tanggal hijriah ini kemudian diputuskan sebagai hari lahir NU. Lihat Majalah AULA Tahun XXXVIII April 2016, 10.
13
(1)
DAFTAR PUSTAKA
BukuAl Azhari, Syekh Fathi Al Mishri. Radikalisme Sekte Wahabiyah Mengurai Sejarah san Pemikiran Wahabiyah. ter. Asyhari Masduqi. Tangerang Selatan: Pustaka Asy’ari, 2011.
Ali Mahrus, MF dan Nurhuda Y. Pergulatan Membela yang Benar Biografi Matori Abdul Djalil.Jakarta: Kompas, 2008.
Anderson, Ben. Kuasa Kata Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia. ter. Revianto Budi Santosa. Yogyakarta: MataBangsa, 2000.
Anshor, Ushfuri.Belum Terlambat Sebelum Kiamat.Jakarta: DPP PKB, 2012.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Baso, Ahmad.Islam Pasca-kolonial.Bandung: Mizan, 2005.
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Sosial, (Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif). Surabaya: Airlangga University Press, 2001.
Chalik, Abdul.Nahdlatul Ulama dan Geopolitik Perubahan dan Kesinambungan. Surabaya: IAIN Sunan Ampel, Yogyakarta: IMPULSE, 2011.
Halim, Abdul.Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama.Jakarta:LP3ES, 2014.
Hasan, M. Nur.Ijtihad Politik NU.(Yogyakarta: Manhaj, Jember: Ikatan Keluarga PMII Jember, 2010.
Hilmy, Masdar.Islam Politik dan Demokrasi.Surabaya: Imtiyaz, 2014.
Ismail. Buku Ajar Ekonomi Politik, Program Studi Filsafat Politik Islam Fakultas Ushuluddin IAIN (UIN) Sunan Ampel Surabaya,tt.
Jafri, Syed Hussain Mohammad.Agama dan Negara dalam Pandangan Imam Ali. Yogyakarta: RausyanFikr, 2016.
Moleong, Lexy J.Metode Penelitian Kualitatif.Bandung: Rosda Karya, 2008.
Mustofa, Chabib,Hand Out Teori Sosiologi Modern. tt.
Noeh, Munawar Fuad. Kyai di Panggung Pemilu dari Kiai Khos sampai High Cost.Jakarta Selatan: Renebook, 2014.
(2)
Raffles, Thomas Stamford. The History of Java. ter. Eko Prasetyoningrum, dkk. Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2014.
Rofiq, MH. NU dan Ambisi Kekuasaan. Surabaya: LKP PW GP Ansor Jawa Timur, 2004.
Rumadi (ed.).Damai Bersama Gus Dur.Jakarta: Kompas, 2010.
Siroj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial. Jakarta: SAS Foundation, LTN PBNU, 2012.
Sitompul, Einar Martahan.NU & Pancasila.Yogyakarta: LkiS, 2010.
Sutarto, Ayu. Menjadi NU Menjadi Indonesia Pemikiran KH. Abdul Muchit Muzadi.Surabaya: Khalista, 2008.
Sugiyono.Memahami Penelitian Kualitatif.Bandung: Alfabeta, 2010.
_________. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2012.
Sunyoto, Agus. Atlas Walisongo. Jakarta: LESBUMI PBNU, Pustaka IIMaN, 2016.
Tim Revisi POA PWNU Jawa Timur. Pedoman Organisasi dan Administrasi Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur.Surabaya: PW LTNNU Jatim, 2015.
Wahid, Abdurrahman, “Musuh dalam Selimut” dalam Ilusi Negara Islam, ed. Abdurrahman Wahid. Jakarta: Wahid Institute, Maarif Institute, 2009. Wijaya, Aksin. Menusantarakan Islam Menelusuri Jejak Pergumulan yang Tak
Kunjung Usai di Nusantara.Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2011.
Wirawan, I.B.Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma.Jakarta: Kencana, 2013. Skripsi dan Tesis
As’ari. “Pemikiran Politik KH. Badri Mashduqi”, Skripsi tidak diterbitkan (Yogyakarta: Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, 2009).
Humaidi, Zuhri. “Transformasi Islam Politik Era Reformasi (Studi Terhadap Pendidikan Politik PKB Tahun 1998-2008 di Kabupaten Probolinggo Jawa Timur)” Tesis tidak diterbitkan (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010).
(3)
Ma’ali, Hasan. Strategi Komunikasi Politik Kiai dalam Suksesi Pilpres 2014 (Studi di Desa Gadu Barat Kecamatan ganding Kabupaten Sumenep Madura) Skripsi tidak diterbitkan (Yogyakarta: Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan humaniora, UIN Sunan Kalijogo, 2015).
Jurnal dan Majalah
Abdul Chalik. “Elite Lokal Berbasis Pesantren dalam Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Timur”. Jurnal Karsa vol. 23 No. 02 Desember 2015.
M. Syahran Jailani.“Ragam Penelitian Qualitative (Ethnografi, Fenomenologi, Grounded Theory dan Studi Kasus”.Jurnal Edu-Bio; vol. 4 Tahun 2013.
Fifi Nofiaturrahmah. “Melacak Peran Kyai-Santri dalam Politik Kebangsaan di Indonesia”.Jurnal Islamic Reviewvol. III No. 1 April 2014.
Achmad Warid. “Fiqih Politik NU: Studi Pergeseran dari Politik Kebangsaan ke Politik Kekuasaan”. Jurnal Asy-Syir’ah vol. 43. No. I, 2009.
Majalah AULA No. 4 Tahun XXXVIII April 2016.
Majalah AULA No. 07 Tahun XXVI Juli 2004
Majalah Tempo, 13 Juni 2004.
Majalah Tempo, 20 Juni 2004.
Majalah Tempo, 20 Juni 2004.
Majalah Tempo, 18 Juli 2004.
Wawancara
Kiai Abdurrahman Navis,Wawancara, Surabaya, 30 Agustus 2016.
Kiai Ali Maschan,Wawancara, Surabaya, 17 September 2016.
Kiai Mutawakkil Alallah,Wawancara, Surabaya, 06 September 2016.
Prof. Shonhaji,Wawancara, Surabaya, 09 Nopember 2016.
Internet
Badan Pusat Statistik, https://www.bps.go.id/KegiatanLain/view/id/127 (Senin, 20 Nopember 2016, 18.08)
(4)
Departement of Sociology, “Patrick Baert Head of Departement ”http://www.sociology.cam.ac.uk/people/academic-staff/pbaert (Senin, 08 Agustus 2016 pukul 06.47)
Detik, “PWNU jatim: Hasyim Hanya Harus Non-Aktif Saat Kampane” http://news.detik.com/berita/155641/pwnu-jatim-hasyim-hanya-harus-nonaktif-saat-kampanye (Rabu, 09 Nopember 2016, 21.08)
Gus Dur Files, ”Ini 5 Kiai Khos yang Menentukan”,
http://www.gusdurfiles.com/2016/03/inilah-5-kiai-khos-yang-menentukan.html(Jum’at, 13 Mei 2016, 13.04).
Halaqoh, “Kiai Wahid Hasyim dan Rekrutmen Kader” dalam http://www.halaqoh.net/2016/08/kiai-wahid-hasyim-dan-rekrutmen-kader_28.html (Selasa, 20 September 2016, 19.38)
Haris, Abdul, dkk, “Pergeseran Perilaku Politik Kultural Nahdlatul Ulama (NU) di Era Multi Partai Pasca Orde Baru (Studi Kasus NU Jember, Jawa Timur)”, http://www.averroes.or.id/pergeseran-perilaku-politik-kultural-nahdlatul-ulama-nu-di-era-multi-partai-pasca-orde-baru-2.html (Sabtu, 14 Mei 2016, 20.08)
I, Henny, “Dasar Teori Permainan dan Lelang”,
http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/637/jbptitbpp-gdl-hennyikase-31825-3-2007ts-2.pdf (Selasa, 30 Agustus 2016, 07.09)
Jati, Wasisto Raharjo, Ulama dan Pesantren dalam Dinamika Politik dan Kultur Nahdlatul Ulama, https://www.researchgate.net/publication/284642148 (Kamis, 17 Nopember 2016, 21.32)
Kresna, Aryaning A., “The Concept of Power and Democracy in Javanese
Worldview “
http://www.researchgate.net/profile/Aryaning_Kresna2/publication/25676 5840_The_Concept_of_Power_and_Democracy_in_Javanese_Worldview /links/02e7e523beb9695617000000(Jum’at, 08 Juli 2016, 10.37 )
Kementerian Agama Jawa Timur, “Jumlah Pemeluk Agama Tahun 2013
Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur”
https://jatim.kemenag.go.id/files/jatim/file/file/data/wlex1395925556.pdf (Kamis, 17 Nopember 2016, 20.01)
Kementerian Agama, “Daftar Jumlah Santri dan Nama Kyai Tahun 2008/2009” dalam http://pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/santri-kyai-pontren-35b.pdf (Kamis, 17 Nopember 2016, 20.49)
Majalah Langitan, “Biografi Ir. KH. Salahudin Wahid”
(5)
NU Online, “Ali Maschan “no comment” soal Pj Ketua PWNU Jatim” dalam http://www.nu.or.id/post/read/11990/ali-maschan-quotno-commentquot-soal-pj-ketua-pwnu-jatim (Selasa, 20 September 2016, 20.31)
NU Online, “ISNU Jatim Ajak PMII Ajak Kawal Pemilu” dalam http://ww.nu.or.id/post/read/50771/isnu-jatim-ajak-pmii-ajak-kawal -pemilu (Senin, 14 Nopember 2016, 09.13).
NU Online, “Kiai Miftah-Mutawakkil Kembali Pimpin NU Jatim” dalam http://www.nu.or.id/post/read/44884/kiai-miftah-mutawakkil-kembali-pimpin-nu-jawa-timur (Selasa, 20 September 2016, 20.21)
NU Online, “Nahdliyyin Jatim Inginkan Gubernur NU” dalam http://www.nu.or.id/post/read/43062/nahdliyin-jatim-inginkan-gubernur-nu (Kamis, 17 Nopember 2016, 20.32)
NU Online, “Jusuf Kalla dan Fauzi Bowo Mustasyar PBNU” dalam http://www.nu.or.id/post/read/22527/jusuf-kalla-amp8211-fauzi-bowo-mustasyar-pbnu (Rabu, 09 Nopember 2016, 20.41)
NU Online “PWNU Jatim Rekomendasikan 5 Anggota DPD, ”http://www.nu.or.id/post/read/16193/pwnu-jatim-rekomendasikan-5-anggota-dpd (Senin, 09 Mei 2016, 14.32).
NU Online “Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki Meninggal Dunia” http://www.nu.or.id/post/read/2303/sayyid-muhammad-alwi-al-maliki-meninggal-dunia (Senin,14 Nopember 2016, 08.27)
Pemerintah Provinsi Jawa Timur, “Peraturan Gubernur Nomor 55 Tahun 2012”, http://jdih.jatimprov.go.id/?wpfb_dl=633 (Selasa, 20 September 2016, 21.03)
Sari, Hendro Fadli, Perilaku Politik Elit dan Hubungan Kyai-Santri Dukungan Politik Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang terhadap Pilgub Jatim 2013 dalam http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jpmfaa672299efull.pdf (Kamis, 17 November 2016, 21.07)
Suara Merdeka “Poros Langitan dan Poros Lirboyo”, http://www.suaramerdeka.com/harian/0406/21/pem04.htm (Jum’at, 13 Mei 2016, 13.04)
Suara Merdeka, “KH. Akhyar-Maschan Pimpin NU Jawa Timur” dalam http://suaramerdeka.com/harian/0711/05/nas15.htm (Selasa, 20 September 2016, 20.01)
Tempo, “Lima Pasangan Capres Cawapres Jadi Peserta Pemilu 2004” dalam http://nasional.tempo.co/read/news/2004/05/22/05542842/lima-pasangan-capres-cawapres-jadi-peserta-pemilu-2004 (Rabu, 09 Nopember 2016, 20.09)
(6)
Website Pemerintah Provinsi Jawa Timur, “Sekilas Jawa Timur” dalam http://jatimprov.go.id/read/sekilas-jawa-timur/sekilas-jawa-timur (Senin, 20 November 2016, 18.17)