Nahdlatul ulama (NU) di Era Reformasi: studi tentang muslimat NU periode 2011-2014 dan khittah NU 1926
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI:
STUDI TENTANG MUSLIMAT NU
PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Anisa Hidayati
1111112000064
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI:
STUDI TENTANG MUSLIMAT NU
PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Anisa Hidayati
1111112000064
Di Bawah Bimbingan :
Dra. Gefarina Djohan, MA
NIP: 1963310241999032001
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(3)
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul :
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI: STUDI TENTANG MUSLIMAT NU
PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 April 2015
(4)
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa : Nama : Anisa Hidayati
NIM : 1111112000064
Program Studi : Ilmu Politik Telah menyelesaikan skripsi dengan judul :
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI: STUDI TENTANG MUSLIMAT NU PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
... ... dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 27 April 2015
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Dr. Ali Munhanif, MA Dra. Gefarina Djohan, MA
(5)
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI: STUDI TENTANG MUSLIMAT NU
PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926 Oleh
Anisa Hidayati 1111112000064
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 27 April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Ketua, Sekretaris,
Dr. Ali Munhanif, MA M. Zaki Mubarak, M. Si
NIP. 196512121992031004 NIP.19730927200511008
PENGUJI I, PENGUJI II,
Dra. Haniah Hanafi, MA Suryani, M. Si
NIP. 196105242000032002 NIP. 197702242007102003
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 27 April 2015 Ketua Program Studi
FISIP UIN Jakarta
Dr. Ali Munhanif, MA NIP. 196512121992031004
(6)
v
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) di era reformasi berkaitan dengan keputusannya untuk kembali kepada khittah 1926 dengan studi kasus Badan Otonom NU yaitu Muslimat. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana khittah NU 1926 diimplementasikan di era reformasi seperti sekarang ini, khususnya pada Muslimat NU periode 2011-2014. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara dengan beberapa narasumber berkaitan dengan Muslimat NU. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa aturan khittah 1926 secara umum masih diyakini oleh Muslimat NU. Sebagai organisasi, Muslimat NU memelihara dan melaksanakan khittah dengan tidak berpihak dalam partai politik manapun. Hal ini dibuktikan dengan tetap berjalannya program-program organisasi yang bertujuan sosial dan keagamaan, seperti YKM-NU, YPM-NU, serta masih banyak lagi yayasan-yayasan Muslimat NU yang berdiri dalam koridor pendidikan, dakwah, sosial maupun kesehatan. Namun disamping sebagai organisasi, dalam Muslimat NU terdapat orang-orang yang memiliki hak politik salah satunya ialah hak untuk menentukan pilihan politiknya. Sehingga tidak menutup kemungkinan orang-orang dalam Muslimat NU berpolitik atau memilih salah satu partai politik. Kemudian menjadi buyar nilai khittah 1926 ini dikarenakan identitas perseorangan dalam lembaga organisasi terbawa ke dalam hak berwarganegara sehingga Muslimat NU sebagai organisasi yang menjaga khittah kemudian terkikis oleh oknum-oknum tersebut. Argumen ini dirumuskan melalui hasil penelitian dari awal sejarah hingga era sekarang melalui implementasi lembaga dan orang-orang di dalamnya terhadap nilai khittah 1926. Kemudian dikaitkan dengan kerangka teori yang sudah dibuat.
Kerangka teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah teori civil society untuk melihat bagaimana Muslimat NU sebagai organisasi sosial keagamaan melaksanakan tugas dan tujuannya. Kemudian manajemen organisasi menjelaskan bahwa jabatan Khofifah Indar Parawansa sebagai Ketua Umum menjadi latar belakang keputusan individu Khofifah berpengaruh besar terhadap individu lain di bawah jabatan Ketua Umum. Serta teori kekuasaan untuk melihat seberapa besar pengaruh Khofifah dalam Muslimat NU yang ditunjukkan dengan masa Khofifah memimpin muslimat NU selama tiga periode, sehingga menjadi modal awal Khofifah dalam meraih kekuasaan politik. Dapat disimpulkan bahwa Muslimat NU sebagai organisasi masih tetap menjaga komitmen khittah 1926 terlepas dari praktik politik orang-orang di dalam lembaga tersebut. Namun bercermin pada posisi Ketua Umum Muslimat NU yang sudah dijelaskan melalui tiga teori tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keputusan NU untuk kembali pada khittah 1926 sudah tidak relevan apabila diaplikasikan di era reformasi seperti saat ini. Oleh karena itu, keputusan kembalinya NU kepada khittah 1926 perlu untuk ditinjau bersama demi kebaikan lembaga maupun individu di dalamnya.
(7)
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirabbilaalamiin,
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw beserta para keluarga, sahabat serta para pengikut beliau dari dulu, sekarang hingga akhir zaman.
Ucapan terimakasih yang begitu dalam penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang senantiasa telah membantu dalam penulisan skripsi ini dari proses untuk meyakinkan diri hingga sampai pada tahap penulisan, wawancara, dan lain sebagainya, baik berupa moril maupun materilnya. Ucapan terimakasih penulis sampaikan teruntuk :
1. Prof. Dr. Zulkifli selaku Dekan FISIP UIN Jakarta.
2. Dr. Ali Munhanif, MA serta M. Zaki Mubarak, M.Si sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Politik yang senantiasa membimbing jalannya proses penulisan skripsi.
3. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Politik sebagai pahlawan intelektual yang terus memberikan sumbangsih dalam proses kegiatan belajar mengajar.
4. Dra. Gefarina Djohan, MA yang dengan sabar membimbing penulis serta memberikan kesempatan penulis untuk bersilaturahmi dengan berbagai kalangan nahdliyin dalam proses penulisan skripsi dari awal hingga akhir.
(8)
vii
5. Bapak Armen Daulay yang selalu memberikan semangat dan bantuan dalam studi pustaka penulis.
6. Ibu Anna S. Azmi dan Mas Faghwa yang setia menjadi guru, orang tua serta sahabat penulis.
7. Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, Prof. Ismawati, Hj. Umi Azizah serta jajaran pengurus PP Muslimat NU, PW Jateng dan PC Kab. Tegal atas kerjasamanya dalam memberikan berbagai pelajaran serta informasi.
8. Bapak Fatchurrohman dan Ibu Muzayanah yang telah menjadi orang tua terbaik dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
9. Teman-teman seperjuangan di Ilmu Politik B angkatan 2011 Mama Riska, Wiky, Nita, Panda, Layla, dan semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Serta semua mahasiswa FISIP UIN Jakarta yang dibanggakan. 10. Sahabat-sahabat dan adik-adik di Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Ciputat
yang sudah banyak sekali memberikan pelajaran hidup kepada penulis, para senior yang terus memberikan pelajaran dan pengalaman berharga, dan teruntuk mas yang terspesial diantara yang lain, semoga kita semua dimudahkan segalanya.
11. Keluarga cemara yang tidak pernah bosan mengingatkan sholat, makan, istirahat serta setia dalam satu tempat tidur tanpa ranjang (Lia, Ipat dan Nurul), seluruh warga masyarakat Indonesia yang senantiasa menjaga keutuhan Bangsa dan Negara, dan seluruh umat manusia yang saling menghargai satu sama lain.
(9)
viii
Diharapkan dengan tersusunnya skripsi ini dapat memberikan tambahan inforamsi baru, dan senantiasa bermanfaat bagi para pembaca maupun penulis secara pribadi. Penulis sangat menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT, dan sebagai manusia biasa masih banyak sekali kekurangan dalam diri penulis maupun dalam penulisan skripsi ini. Sehingga demi terwujudnya kesempurnaan skripsi ini, maka penulis mengharapkan berbagai kritik dan saran-saran yang bersifat membangun ke arah kesempurnaan.
Jakarta, 02 April 2015
(10)
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ... 1
B. Pertanyaan Penelitian ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Tinjauan Pustaka . ... 7
E. Metodologi Penelitian . ... 9
F. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II KERANGKA TEORI A. Teori Civil Society . ... 14
B. Teori Manajemen Organisasi ... 21
C. Teori Kekuasaan ... 25
BAB III NAHDLATUL ULAMA (NU), KEBERADAAN MUSLIMAT NU (MNU) DAN KEPUTUSAN NU KEMBALI KE KHITTAH 1926
A. Sejarah lahirnya Nahdlatul Ulama (NU ... 31
B. Sejarah Lahir, Tujuan, dan Sikap Muslimat NU ... 40
C. Keputusan NU Kembali ke Khittah 1926. ... 45
BAB IV IMPLEMENTASI KHITTAH 1926 DALAM MUSLIMAT NU A. Khittah 1926 dalam Muslimat NU ... 50
(11)
x
B. Muslimat NU Periode 2011-2014 dan Komitmen Tentang
Khittah 1926 ... 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA . ... . xii LAMPIRAN-LAMPIRAN
(12)
xi
DAFTAR TABEL
Tabel III.A.1. Keterwakilan NU dalam Parlemen ...37
(13)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Diskusi mengenai Nahdlatul Ulama (NU) sudah menjadi hal yang umum, apalagi dalam masyarakat tradisional seperti kiai, ulama dan santri. Sebagai Organisasi Sosial Keagamaan, NU sudah berkiprah di Indonesia selama 89 tahun dari tanggal kelahirannya yaitu 31 Januari 1926. Hal ini memperlihatkan bahwa NU merupakan organisasi yang cukup tua dan matang dalam sejarah. Secara historis NU tampil sebagai antitesa dari keresahan masyarakat Islam tradisinonal di era tersebut.
Dalam sejarah tercatat bahwa kemunculan NU merupakan jawaban dari beberapa peristiwa yang ada di era tahun 20-an. Peristiwa tersebut antara lain adanya globalisasi wahabi yang terjadi di Arab Saudi, kemunculan penguasa Arab dari kelompok wahabi melahirkan keresahan tersendiri bagi kaum Islam tradisional yang kurang sepaham dengan pemikiran kelompok tersebut. Selain itu, globalisasi yang terjadi di Indonesia akibat penjajahan menjadi nilai tambah dalam latar belakang ide pembentukan organisasi NU.1 Latar belakang tersebut diperkuat dengan kemunculan Muhammadiyah serta Syarikat Islam (SI) sebagai organisasi keagamaan yang membawa nilai-nilai pembaruan dalam Islam, menjadi alasan yang kemudian meyakinkan para kiai tradisionalis untuk berupaya
1
Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa: Pergulatan Politik dan Kekuasaan (Jogjakarta:
(14)
2
keras mempertahankan tradisi dan budaya Islam yang dianggap bid’ah oleh kelompok Islam modernis dengan membentuk organisasi NU.2
Selain didirikan sebagai organisasi sosial keagamaan, dalam perjalannya tidak dapat dilupakan bahwa NU juga banyak terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Melalui semangat juang para kiai dan santri-santrinya, NU menjadi salah satu aktor penting dalam melawan penjajahan kolonial. Atas semangat juangnya melawan penjajah, pasca kemerdekaan Indonesia, saat Wakil Presiden Indonesia Moh. Hatta menandatangani Maklumat No. X tanggal 3 November 1945 yang menjelaskan tentang pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan partai-partai agar dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat,3 NU kemudian tertarik untuk ikut berpartisipasi kedalam partai politik. NU bergabung dengan Ormas Islam lainnya seperti Muhammadiyah, SI, dan Perti dalam wadah partai yang diberi nama Masyumi.
Keputusan bergabung di Masyumi menjadi awal sejarah NU dalam politik praktis. Sangat disayangkan bergabungnya NU di Masyumi tidak bertahan lama karena beberapa alasan, salah satunya pembagian kekuasaan yang kurang sesuai dengan apa yang sudah dilakukan dan diberikan oleh NU kepada Masyumi. Akibat dari kekecewaan ini, pada 3 Juli 1952 setelah kurang lebih 14 kali
2
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 58. 3
(15)
3
pergantian kabinet, NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan membuat partai baru yaitu partai NU.4
NU dalam panggung politik dengan berbagai macam pengalaman dan sejarah berlangsung hingga era Orde Baru. Pada era ini NU masih bertahan dalam partai politik melalui fusi partai Islam yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Karena merasa masih sangat berperan dalam ranah politik, NU masih enggan untuk meninggalkan keterlibatannya dalam panggung politik.5 Baru pada pertengahan Orde Baru, NU mulai merasa posisinya sudah tidak relevan lagi di dalam partai politik. Oleh karena itu, tahun 1979 tepatnya pada Muktamar NU di Semarang, muncul gagasan NU untuk kembali ke khittah 1926.6
Khittah 1926 merupakan istilah yang digunakan NU dalam mengambil keputusan untuk kembali pada pembentukan awal NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Kata Khittah berasal dari akar kata khaththa yang artinya menulis dan merencanakan. Kata khittah kemudian diartikan sebagai garis dan thariqah
(jalan).7 Jadi dapat disimpulkan bahwa khittah 1926 ialah garis jalan NU diawal berdirinya tahun 1926, yaitu sebagai gerakan sosial dan keagamaan.
Keputusan kembalinya NU ke khittah 1926 serta penegasan bahwa NU berada pada garis politik netral ditetapkan dalam Muktamar NU di Situbondo pada tahun 1984. Dalam upaya menunjukkan keseriusannya mundur dari
4
Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 62-65.
5
Kacung Marijan, Quo Vadis NU: Setelah Kembali ke Khittah 1962 (Jakarta: Erlangga,
1992), h. 105. 6
Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 241.
7
Ensiklopedi NU, Khittah NU. Diunduh 01 Februari 2015
(16)
4
panggung politik, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) direkomendasikan untuk mengeluarkan aturan yang melarang rangkap jabatan semua pengurus.8 Setelah khittah 1926 ditetapkan, maka NU seharusnya sudah tidak lagi bermain dalam praktik politik.
Namun kebiasaan NU bermain dalam politik ternyata berakibat pada generasi NU selanjutnya. Kemunculan NU dalam politik setelah ditetapkannya
khittah 1926 mulai terlihat di awal era reformasi. Munculnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang diyakini sebagai salah satu strategi NU dalam mempertahankan organisasi, menjadi awal NU kembali dalam politik. Pada Pemilu 2004 dua tokoh NU juga tampil dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung yaitu Hasyim Muzadi mendampingi calon Presiden Megawati dan Solahudin Wahid yang berdampingan dengan Wiranto. Seperti sudah lupa dengan khittahnya, di era reformasi NU kini masih berpolitik. Bahkan nilai khittah yang menekankan persatuan dan kesatuan semakin dilupakan. Aktor-aktor tidak bertanggung jawab membawa NU dalam politik demi mendapatkan kekuasaan. Akibatnya NU kini kembali pada era sebelum adanya ide khittah.
Penulisan skripsi ini ingin melihat relevansi nilai khittah NU di era reformasi. Namun untuk mempersempit penelitian secara mikro, peneliti mengerucutkan penelitan pada nilai khittah 1926 dalam organisasi Muslimat NU sebagai bagian dari organisasi NU yang sudah cukup besar dan matang dalam kancah politik. Pada Anggaran Rumah Tangga (ART) Muslimat NU tahun 2006,
8
Badrun Alaena, NU: Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja (Yogyakarta: Tiara
(17)
5
nilai khittah 1926 yang disebutkan di atas tertera dalam Bab V pasal 32 ayat 1 mengenai rangkap jabatan yang menyatakan bahwa:
“Ketua Umum dan Ketua-Ketua sesuai tingkatannya tidak diperkenankan merangkap jabatan dengan Pimpinan Harian partai politik.”9
Namun pada realitanya Muslimat NU diberbagai kesempatan masih andil dalam praktek politik, bahkan Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat NU hingga saat ini masih aktif dalam pentas politik. Hal ini dibuktikan dengan keikutsertaan Khofifah Indar Parawansa sebagai Ketua Umum Muslimat NU dalam pencalonan Gubernur di Jawa Timur. Bahkan di Pemilu Presiden 2014 Khofifah tampil sebagai Juru Bicara pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kala hingga mengantarkan ia menjadi Mentri Sosial.
Pernyataan masalah di atas menunjukkan bahwa kader NU khususnya Muslimat NU saat ini tidak konsisten terhadap nilai khittah 1926 yang diatur pada AD/ART tahun 2006. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti lebih jauh bagaimana saat ini (periode tahun 2011-2014) khittah diatur dan diimplementasikan dalam Muslimat NU.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pernyataan masalah di atas, maka penelitian sekripsi ini akan mengangkat masalah berfokus pada pertanyaan berikut :
1. Bagaimana implementasi khittah 1926 dalam organisasi Muslimat NU di era reformasi khususnya di periode pengurusan tahun 2011-2016 ?
9
Pengurus Pusat Muslimat NU, “Bagian Pertama: Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
Muslimat NU.” Diunduh 27 Oktober 2014
(18)
6
2. Apa dampak dari implementasi khittah 1926 terhadap organisasi muslimat NU di periode pengurusan tahun 2011-2014 ?
C. Tujuan dan Manfaat Tujuan :
1. Melihat bagaimana implementasi khittah 1926 di era reformasi khususnya dalam Muslimat NU.
2. Memahami dampak implementasi khittah 1926 terhadap Muslimat NU.
Manfaat :
Akademis
1. Pengembangan ilmu pengetahuan tentang implementasi khitttah 1926 dalam Muslimat NU.
2. Pengembangan ilmu pengetahuan tentang dampak dari implementasi
khittah 1926 dalam Muslimat NU. Praktis
1. Pengetahuan tentang implementasi khittah 1926 di era reformasi khususnya dalam Muslimat NU.
2. Pemahaman tentang dampak implementasi khittah 1926 terhadap Muslimat NU.
(19)
7
Banyak penelitian sebelumnya yang membahas tentang organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) yang berfokus pada Muslimat NU. Seringkali penelitian tentang Muslimat NU justru berfokus pada partisipasi Muslimat NU dalam politik tanpa mengkritisi posisi Muslimat NU sebagai organisasi sosial keagamaan itu sendiri. Sangat jarang penelitian melihat dengan kacamata yang berbeda mengenai seharusnya sikap Muslimat NU dalam politik yaitu untuk kembali pada khittah 1926. Dari berbagai penelitian yang sudah ada diantaranya ialah :
Penelitian yang dilakukan oleh Andi Ilman Hakim tahun 2014 seorang mahasiswa Universitas Brawijaya, yang berjudul “Komunikasi Politik Muslimat Nahdlatul Ulama Jawa Timur (Studi Partisipasi Politik Perempuan Pada
Pemilihan Gubernur Jawa Timur Tahun 2013)” menjelaskan bahwa kasus
mulimat NU di Jawa Timur berkaitan dengan komunikasi politik yang memiliki latar belakang sosial keagamaan. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat latar belakang adanya partisipasi politik perempuan dari anggota muslimat NU Jawa Timur khususnya.
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa proses komunikasi politik Muslimat NU dilatarbelakangi oleh kultur sosial keagamaan Muslimat NU sebagai kaum nahdliyin dan iklim Muslimat NU yang berbasis keluarga. Hal ini mampu memberikan pengaruh besar dalam menggerakkan masa dalam proses partisipasi politiknya. Serta ikatan emosional antar sesama Muslimat juga menjadi bangunan kesatuan dalam bergerak bersama yang didasarkan atas kebenaran yang
(20)
8
diyakininya. Peneliti melihat penelitian ini justru menyetujui adanya unsur politik praktis dalam tubuh Muslimat NU, sehingga nilai khittah 1926 terabaikan.
Selanjutnya penelitian dari mahasiswa lulusan Universitas Negeri Semarang, Misbakhul Munir. Melihat bagaimana peran perempuan dalam mempengaruhi kebijakan publik di Kabupaten Pemalang dengan studi kasus di Pimpinan Cabang Muslimat NU Kabupaten Pemalang. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa peran Muslimat NU dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan publik di Kabupaten Pemalang dilakukan dari tahapan agenda setting, formulasi serta regulasi, dan evaluasi kebijakan. Semua peran dilakukan melalui Musrenbang, berpartisipasi aktif dalam Pemilu dan Pilkada serta dengan mencari dukungan politik dari partai politik. Faktor yang menghambat peran Muslimat NU dalam perannya mempengaruhi pembuatan kebijakan publik adalah belum adanya kader Muslimat NU yang duduk di kursi parlemen maupun dalam pemerintahan serta masalah dana yang dapat mengganggu kelancaran setiap aktifitas Muslimat NU dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan publik di Kabupaten Pemalang. Saran yang diajukan kepada PC Muslimat NU Kabupaten Pemalang agar perannya dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan publik di Kabupaten Pemalang lebih maksimal.
Tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini juga memperlihatkan adanya aktifitas politik Muslimat NU yang justru sedang dibangun untuk mendapatkan posisi strategis di dalam pemerintahan. Tujuannya adalah untuk kemaslahatan Muslimat NU itu sendiri. Namun apabila hal ini terus
(21)
9
dilakukan, maka tidak menutupi kemungkinan akan terulang kembali keterlibatan NU dalam politik ketika para kadernya sudah mulai mementingkan kepentingan individu bukan kelompok.
Dari penelitian-penelitian di atas, semakin meyakinkan penulis untuk mengkaji tentang implementasi khittah 1926 di era reformasi khususnya dalam Muslimat NU di periode 2011-2014 sebagai Badan Otonom dari NU.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya.10 Penelitian kualitatif pengumpulan datanya dilakukan melalui studi pustaka. Berbeda dengan kuantitatif yang lebih menekankan pada penghitungan angka-angka dari hasil observasi, kualitatif lebih menguatkan kajian pada kasus-kasus aktual. Selain melalui data primer seperti wawancara langsung dengan aktor terkait untuk memperkuat.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menjadi salah satu bagian penting dalam metode penelitian ini. Bagaimana memilih cara pengumpulan data yang baik juga akan
10
Deddy Mulyana, Metodeologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
(22)
10
sangat berpengaruh pada hasil akhir. Oleh karena itu, dalam penulisan skripsi ini metode yang dipilih adalah dengan proses trianggulasi, proses tersebut meliputi11:
a. Wawancara
Wawancara merupakan proses yang sering digunakan oleh para peneliti. Melalui wawancara peneliti akan mendapatkan jawaban langsung dari nara sumber yang dapat dipercaya. Sehingga hasil penelitian pun tidak jauh dari data yang ada di lapangan. Metode wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung mengenai aturan khittah dan implementasinya di periode 2011-2014. Sehingga peneliti dapat menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan sebelumnya.
Dalam proses ini peneliti melakukan wawancara dengan beberapa narasumber yang terkait dengan penelitian, diantaranya ialah : pertama, mantan Ketua Umum PP Muslimat NU yaitu Aisyah Hamid Baidlowi yang lebih awal mengalami berjalannya kepengurusan Muslimat NU. Melalui informasi ini peneliti dapat melihat bagaimana implementasi khittah 1926 di era sebelum periode kepengurusan tahun 2011-2014. Kedua, Ketua VI PP Muslimat NU yaitu
Yani’ah Wardhani yang mewakili PP Muslimat NU di periode 2011-2014
sehingga penulis dapat secara langsung megetahui informasi mengenai aturan-aturan yang diberlakukan dan pengimplementasiannya, khususnya terkait khittah
1926. Ketiga, Ismawati sebagai Ketua Pengurus Wilayah Jawa Tengah mewakili kepengurusan di Wilayah untuk dapat menggali pandangan pengurus di wilayah
11
Lexy Moleong J., Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosada karya,
(23)
11
mengenai situasi yang ada di PP Muslimat NU. Keempat, ialah Pengurus Cabang Muslimat NU, dari PC peneliti dapat menggali informasi di tingkat yang lebih mikro mengenai situasi di PP Muslimat NU terkait aturan dan implementasi
khittah 1926.
b. Dokumentasi
Dokumentasi ialah pengumpulan data melalui dokumen-dokumen tertulis, seperti catatan harian, buku, jurnal, karya ilmiah, surat kabar, dan lain sebagainya. Pengumpulan data melalui dokumentasi ini sering dilakukan dalam kajian sehari-hari, melalui data-data tertulis yang berkaitan dengan penelitian ini peneliti dapat mengkaji dalil maupun teori dari karya orang lain untuk digunakan dalam penelitiannya.
Dalam penelitian ini, buku-buku, jurnal, surat kabar, dan catatan lainnya mengenai NU, khittah NU serta muslimat NU, sangat penting untuk dijadikan acuan. Oleh karena itu, peneliti menggunakan 26 buku, 5 jurnal dan laporan, dan beberapa data elektronik yang dapat menjelaskan perkembangan fenomena-fenomena yang terjadi.
3. Teknik Analisis Data
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan-hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta
(24)
12
proses-proses yang sedang berlansung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.12
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini akan dibahas mengenai profil perjalanan Organisasi NU. Kemudian disambung dengan profil Badan Otonomnya yaitu Muslimat NU. Selanjutnya penulisan skripsi ini membahas lebih mendalam sejarah khittah 1926 serta kembalinya NU pada khittah yang ditetapkan pada Muktamar tahun 1984 di Situbondo. Terakhir pemaparan terkait perjalan Muslimat NU di era reformasi yang difokuskan pada periode tahun 2011 sampai dengan 2014 untuk melihat bagaiman Muslimat NU menanggapi keputusan
khittah 1926 dan mengimplementasikannya.
Adapun sistematika penulisan ini berisi 5 bab dengan masing-masing sebagai berikut :
Bab I menjelaskan mengenai pendahulun dari penelitian, di dalamnya membahas mengenai pernyataan masalah yang menjadi rujukan awal penelitian. Dalam pernyataan masalah memperlihatkan bagaimana alur serta gambaran umum dari penelitian. Kemudian dikerucutkan dengan pertanyaan penelitian yang menjadi unsur penting dalam penelitian. Proses penelitian ini tidak lain adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Melalui pertanyaan
12Eko Manalu, “Metodologi Penelitian.” Diunduh 02 Desember 2014 (http://www.academia.edu/3160247/Metodologi_penelitian)
(25)
13
tersebut maka dapat ditarik tujuan serta manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian. Selanjutnya pemaparan metodeologi penelitian dan sistematika penulisan yang menjadi dasar-dasar dari penelitian.
Bab II berfokus pada kerangka teori. Bagian kerangka teori menjelaskan tentang teori-teori apa saja yang digunakan dalam penilitan. Peneliti dalam hal ini mengambil tiga teori dalam melihat masalah organisasi Muslimat NU dan implementasi khittah 1926. Teori-teori tersebut antara lain, teori civil society, teori kekuasaan, dan teori manajemen organisasi.
Bab III lebih banyak membahas mengenai sejarah perjalanan Nahdlatul Ulama (NU), Muslimat NU dan sejarah serta tujuan diputuskannya NU untuk kembali ke khittah 1926 sebagai pengantar pada titik permasalahan yang dapat membantu dalam proses penelitian.
Bab IV merupakan inti jawaban dari pertanyaan penelitian. melalui bab ini peneliti mengenalkan seperti apa khittah 1926 diatur di Muslimat NU periode 2011-2014 dan bagaimana pengimplementasiannya dan kemudian disinkronisasikan dengan fenomena-fenomena yang terjadi di pernyataan masalah sebelumnya.
Bab V menjadi penutup dari bab-bab sebelumnya. Oleh karena itu, dalam bab V peneliti memaparkan kesimpulan dari awal hingga akhir penelitian mengenai Muslimat NU dan khittah NU 1926. Bab ini diakhiri dengan saran-saran yang kiranya dapat memberikan pengetahuan baru bagi peneliti maupun pembaca.
(26)
14
BAB II
KERANGKA TEORI
Dalam melihat implementasi khittah NU di era reformasi khususnya dalam organisasi muslimat NU ini penulis menggunakan beberapa teori, diantaranya ialah teori civil society, teori kekuasaan, dan teori manajemen organisasi.
A. Teori Civil Society
Demokrasi sebagai sistem yang diagung-agungkan banyak negara membuktikan eksistensinya melalui pemberdayaan civil society yang dipengaruhi oleh pergeseran-pergeseran (shifting) yang terjadi. Kenyataan runtuhnya rezim totaliter di Eropa Timur, dan surutnya legitimasi rezim-rezim otoriter di negara berkembang yang kemudian disusul dengan merebaknya gerakan redemokratisasi menjadi bukti. Sebagai konsekuensinya wacana teoritik dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya ilmu politik, semakin diwarnai oleh pencarian yang lebih relevan dengan situasi yang baru yaitu tentang proses transisi menuju sistem politik demokratis.1
Para filusuf mulai mencari landasan filosofis melalui beberapa sumber, baik sumber klasik maupun modern tentang civil society. Walaupun secara konseptual belum ditetapkan pemaknaannya, namun ada beberapa nilai dari civil society yang dapat diserap, antara lain: pertama, individu dan kelompok-kelompok mandiri dalam masyarakat (politik, ekonomi, kultur). Kedua, adanya ruang publik bebas
1
Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, (Jakarta:
(27)
15
sebagai tempat wacana dan kiprah politik bagi warga negara yang dapat menjamin proses pengambilan keputusan berjalan secara demokratis. Ketiga, kemampuan masyarakat untuk mengimbangi kekuatan negara, walaupun tidak melenyapkan secara total.2
Para filusuf dalam lintas sejarah melihat civil society dengan pandangan yang berbeda-beda. Pemaknaan civil society melalui keragaman berfikir para filusuf sesuai dengan konteks sejarah pada saat pemikiran tersebut diterapkan, dapat diklasifikasikan melalui lima kelompok, antara lain3:
Pertama, civil society paling awal dipahami sebagai sistem kenegaraan yang selalu diidentikan dengan negara (state). Pemahaman ini dikembangkan oleh filusuf Yunani, Aristoteles (384-322 SM) yang menyebut civil society dengan istilah koinonie politike, yaitu sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam pengambilan keputusan. 4 Pandangan ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil society itu muncul. Pemikiran Aristoteles kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) yang memandang civil society sebagai alat peredam konflik. Oleh karena itu, civil society harus memiliki kekuatan yang mutlak, sehingga ia mampu mengawasi dan mengontrol pola-pola interaksi politik setiap warga negara. Berbeda dengan Hobbes, John Locke (1632-1704M) berpandangan bahwa civil society ialah dilahirkan untuk
2
Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, h. x.
3
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah: Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi,
(Jakarta: Logos, 1999) h. 21. 4
(28)
16
melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara.5 Oleh karena itu, civil society bukan kekuatan absolut seperti sebelumnya, sehingga masyarakat memiliki ruang untuk memperoleh haknya.
Kedua, makna ini muncul dari Adam Ferguson (1767) yang melihat civil society melalui sejarah sosial-politik Skotlandia. Sejarah Skotlandia yang tengah menghadapi kemunculan kapitalisme dan pasar bebas sebagai peristiwa revolusi industri membuat ia khawatir akan berkurangnya tanggung jawab sosial masyarakat serta menguatnya sikap individualisme. Oleh karena itu, Ferguson lebih memaknai civil society sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat untuk memelihara tanggung jawab sosial yang identik dengan solidaritas sosial serta adanya sentimen moral dan sikap saling menyayangi antar warga secara alamiah.6
Ketiga, Thomas Paine (1792) memaknai civil society dalam posisi terpisah dengan negara, bahkan civil society dinilai sebagai antitesis dari negara. Karena keberadaan negara menurut Paine hanyalah sebuah keniscayaan buruk (necessary evil) belaka, maka Civil society harus lebih kuat dan dapat mengontrol negara demi keperluannya.7
Keempat, mengkritisi civil society Thomas Paine, George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) mengembangkan civil society yang justru subordinatif
5
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, ed., Pendidikan Kewargaan (Civic Education):
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE dan Perdana Media Grup, 2008), h. 193.
6
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, h. 23.
7
(29)
17
terhadap negara. Berangkat dari fenomena masyarakat borjuis Eropa yang pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melepaskan diri dari dominasi negara, menurut Hegel, civil society merupakan tempat berlangsungnya konflik pemenuhan kepentingan pribadi atau kelompok, terutama kepentingan ekonomi. Pandangan seperti ini dikembangkan pula oleh Karl Marx (1818-1883) yang
melihat “masyarakat borjuis” bahwa keberadaannya merupakan kendala bagi kebebasan manusia dari penindasan dan ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Sedangkan Antonio Gramsci (w.1937) berbeda dengan Marx, ia tidak memaknai civil society dari segi produksi melainkan dari sisi ideologis. Menurutnya civil society ialah tempat perebutan posisi hegemonik selain negara, yang kemudian dalam proses ini negara dapat terserap dalam civil society hingga terbentuk sebuah masyarakat yang teratur (regulated society).8 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Hegel dan Marx tidak percaya dengan adanya civil society yang mandiri. Berbeda dengan Gramsci yang justru sangat optimis bahwa civil society dapat berdiri sendiri tanpa intervensi dari negara.
Kelima, Sebagai reaksi terhadap model Hegelian, Alex „De Tocqueille
mengembangkan teori civil society yang dimaknai sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Teori ini dikemukakan berdasar pada pengalaman demokrasi di Amerika yang dijalankan lewat civil society berupa pengelompokan sukarela dalam masyarakat, termasuk gereja dan asosiasi profesional yang membuat keputusan pada tingkat lokal dan menghindari intervensi dari negara. Civil society
8
(30)
18
bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan pengimbang negara, bahakan menjadi sumber legitimasi negara untuk mengurangi derajat konflik dalam masyarakat.9
Paradigam civil society ini memberi sumbangan pemikiran yang besar dalam perjalanan demokrasi serta menjadi sumber inspirasi bagi pemberdayaan rakyat di berbagai negara, khususnya di Indonesia. Civil society di Indonesia sesuai dengan yang didefinisikan oleh Dawam Rahardjo, ialah proses penciptaan peradaban yang mengacu pada nilai-nilai kebijakan bersama. Menurutnya, dalam
civil society masyarakat akan bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif, dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-negara. Azyumardi Azra mengartikan civil society lebih dari sekedar gerakan pro-demokrasi, tetapi mengacu pada pembentukan masyarakat berkualitas. Menurut Nurcholis Majid makna civil society berasal dari kata civillity yang mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkahlaku sosial.10
Karakter utama dari civil society ialah „keswadayaan’ dan „kesukarelaan’.
Artinya bahwa organisai memiliki tujuan untuk menyalurkan kepentingan bersama, satu visi, serta gagasan, dan tidak untuk kepentingan individu atau perorangan saja. Civil society mampu melaksanakan kiprahnya sendiri dengan keterbukaan serta tanpa ada ketergantungan kepada negara.11
9
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, h. 29.
10
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, ed., Pendidikan Kewargaan, h. 193-197.
11
(31)
19
Akar-akar sejarah civil society di Indonesia dapat diruntut semenjak terjadinya perubahan keadaan sosial ekonomi pada masa kolonial, tepatnya ketika kapitalisme mulai diperkenalkan oleh Belanda. Civil society telah ikut mendorong terjadinya pembentukan masyarakat lewat proses industrialisasi, urbanisasi dan pendidikan modern. Oleh karena itu, muncul kesadaran baru di kalangan elite pribumi yang kemudian mendorong terbentuknya organisasi-organisasi sosial modern di awal abad ke-20.12
Pertumbuhan civil society di Indonesia sempat mengalami kejayaan pasca revolusi tahun 1950-an, yaitu pada saat organisasi-organisasi sosial dan politik dibiarkan tumbuh bebas dan memperoleh dukungan kuat dari masyarakat yang baru saja merdeka. Namun sangat disayangkan, situasi seperti ini tidak berlangsung lama sesuai dengan yang diharapkan. Civil society yang sedang berkembang di Indonesia mulai mengalami penyusutan terus menerus akibat dari krisis-krisis politik pada level negara, ditambah dengan kebangkrutan ekonom. Hal ini kemudian menjadi penghalang untuk berlangsungnya perkembangan civil society, bahkan ormas-ormas serta lembaga-lembaga sosial justru berubah menjadi alat bagi merebaknya politik aliran dan pertarungan berbagai ideologi. Pada era ini, sekitar tahun 1960-an civil society di Indonesia mengalami kemunduran yang sangat pesat.13
12
Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996)
h. 4. 13
(32)
20
Situasi terparah dari kemunduran civil society ialah munculnya rezim Orde Baru dibawah kuasa Soeharto. Pada era ini, politik Indonesia didominasi oleh penggunaan mobilisasi masa sebagai alat legitimasi politik. Akibatnya, setiap usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai sebuah kemandirian akan dicurigai sebagai kontra-revolusi. Rezim Orde Baru berupaya untuk memperkuat posisi negara dalam segala bidang, akibatnya kemandirian sosial serta partisipasi masyarakat dibungkam oleh negara.14
Perkembangan LSM dan ormas di Indonesia saat ini tidak diragukan lagi, jumlahnya yang mencapai lebih dari 10.000 menjadi kegembiraan tersendiri. Namun, LSM dan ormas yang begitu banyaknya dihadapkan pada kenyataan bahwa kondisi LSM dan ormas sangat lemah ketika harus berhadapan dengan kekuatan negara. Karena berbagai hal, LSM dan ormas di Indonesia masih harus bergantung pada negara. Bagi orams-ormas sosial dan keagamaan adanya campurtangan dan intervensi negara menjadi sebuah ancaman, namun ormas atau LSM yang ingin survive dengan cepat terpaksa harus masuk dalam jaringan kooptasi negara.15 Melihat kondisi di atas, dapat disimpulkan bahwa civil society
di Indonesia sudah baik dari segi kuantitas namun msaih sangat jauh menuju sempurna dari segi kualitasnya. Oleh karena itu, masih sulit kiranya civil society
di Indonesia dijadikan sebagai kekuatan penyeimbang dari kekuatan negara. Muslimat NU sebagai civil society aktif dalam kegiatan demokrasi seperti pembangunan ikatan sosial Muslimat NU dapat dilihat melalui sifat organisasinya
14
Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, h. 4-5.
15
(33)
21
sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang bersifat keagamaan. Jaringan-jaringan produktif sudah mulai terbangun di era kepemimpinan Mahmudah Mawardi dengan membuka peluang kerjasama dengan banyak pihak khususnya organisasi perempuan di Indonesia seperti KOWANI dan lain sebagainya, bahkan jaringan tersebut mampu menembus hingga kancah internasional (PBB) sampai sekarang. Solidaritas kemanusiaan dalam Muslimat NU tertuang dalam berbagai perangkat Muslimat NU sebagai pelayanan langsung untuk masyarakat diluar pemerintah.
Selain itu, karakter utama dari civil society yang dipaparkan oleh Hikam diterapkan dalam Muslimat NU melalui program maupun perangkat-perangkatnya seperti Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU (YKM NU), Yayasan Pendidikan Muslimat NU (YPM NU), Yayasan Haji Muslimat NU (YHM NU), Induk Koperasi An-Nisa Muslimat NU (Inkopan MNU), Yayasan Himpunan Da’iyah
dan Majlis Ta’lim Muslimat NU (HIDMAT), dan masih banyak lagi perangkat
Muslimat NU lainnya yang aktif bahkan tersebar luas ke seluruh penjuru baik kota maupun pelosok desa.16 Seperti YKM NU saja saat ini telah berkembang menjadi 148 Wilayah Kerja yang terdiri dari 27 Wilayah Kerja I di tingkat Provinsi dan 121 Wilayah Kerja II pada tingkat Kabupaten/Kota.17
16
PP Muslimat NU, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU,
(Jakarta: PP Muslimat NU, 2012), h. 13. 17
Laporan YKM NU Pusat Periode September 2014 – Maret 2015. Jakarta 1 April 2015, h.
(34)
22
B. Teori Manajemen Organisasi
Meninjau pemahaman terkait definisi manajemen, terdapat banyak penulis yang mendefinisikannya. Manajemen dapat diartikan bahwa para manajer mengelola upaya pencapaian tujuan atau sasaran organisasi. Manajemen juga dapat diartikan sebagai proses kerja sama dengan dan melalui orang-orang dan kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Sedangkan definisi dari organisasi itu sendiri ialah merupakan sistem sosial yang terdiri dari sub-sub sistem yang saling berkaitan dan salah satu sub sistem tersebut ialah sub sistem sosial.18 Suatu rumusan juga sering dikemukakan mengenai manajemen bahwa itu adalah suatu proses pencapaian tujuan organisasi lewat usaha orang-orang lain. Disini manajer ialah sebagai orang yang memikirkan kegiatan untuk mencapai suatu tujuan organisasi. Agar organisasi dapat berhasil mencapai tujuan maka diperlukan manajemen atau dengan kata lain untuk mencapai sutau tujuan organisasi harus melalui proses kegiatan kepemimpinan, kegiatan inilah yang dinamakan manajemen organisasi.
Inti dari pembicaraan mengenai manajemen tertuang dalam fungsi-fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pemotivasian (motivating), dan pengendalian (controlling). Seluruh fungsi tersebut memang relevan dengan setiap jenis organisasi atau level manajemen. Harold Koontz dan
Cyril O’Donell dalam buku Paul Hersey dan Ken Blanchard menyatakan “Dengan
bertindak dalam kapasitas manajerial mereka, semua direktur, kepala departemen,
18
Paul Hersey dan Ken Blanchard, Manajemen Perilaku Organisasi: Pendayagunaan
(35)
23
mandor, supervisor, dekan fakultas, bishop dan kepala lembaga pemerintahan melakukan hal yang sama. Sebagai manajer untuk sebagian mereka terlibat dalam upaya mencapai hasil dengan dan melalui orang lain. Sebagai seorang manajer setiap orang harus, pada suatu saat atau saat yang lain, melaksanakan semua tugas
yang merupakan tanggung jawab manajer,” bahkan dalam lingkup rumah tangga
sekalipun menerapkan fungsi-fungsi manajemen dalam banyak hal.19
Organisasi itu sendiri memiliki pengertian yang sangat luas. Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Dalam pengertiannya dapat dijelaskan secara rinci, pengertian organisasi yang dikoordinasikan dengan sadar mengandung arti manajemen. Kesatuan sosial berarti bahwa unit tersebut terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama lain. Pola interaksi ini tidak semata-mata muncul, melainkan melalui proses pemikiran . Oleh karena itu, mengingat organisasi merupakan kesatuan sosial, maka pola interaksi para anggotanya harus diseimbangkan dan diselaraskan untuk meminimalkan keberlebihan, namun juga memastikan bahwa tugas-tugas yang kritis telah diselesaikan. Sebuah organisasi memiliki batasan yang relatif, batasan dalam organisasi dapat berubah dalam kurun waktu tertentu dan tidak selalu jelas. Namun sebuah batasan yang nyata harus ada agar dapat membedakan antara anggota dan bukan anggota. Batasan ini
19
(36)
24
biasanya dihasilkan dari kesepakatan eksplisit maupun implisit dari anggota di dalamnya. Pada umumnya dalam organisasi sosial atau sukarela para anggota memberi kontribusi dengan imbalan prestise, interaksi sosial, atau keputusan dalam membantu orang lain. Namun dalam organisasi terdapat batasan yang membedakan antara siapa yang menjadi bagian dan siapa yang tidak menjadi bagian dari organisasi tersebut.20
Teori manajemen organisasi sendiri merupakan disiplin ilmu yang mempelajari struktur dan desain organisasi. Teori ini menjelaskan bagaimana organisasi sebenarnya distruktur dan menawarkan tentang bagaimana organisasi dapat dikonstruksi guna meningkatkan keefektifan. Organisasi adalah bentuk lembaga yang dominan dalam masyarakat. Hampir setiap saat dan setiap sudut dalam kehidupan manusia menggunakan organisasi, dari manusia lahir hingga dimakamkan fungsi organisasi tekait erat didalamnya. Organisasi meresap dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh baik dari segi ekonomi hingga kehidupan pribadi. Oleh karena itu, teori organisasi secra tidak sengaja sudah sering kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berkaitan dengan Muslimat NU, teori ini melihat bahwa terdapat kelompok masa yang terorganisir dengan tata sistem kepengurusan terstruktur didukung oleh proses kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan bersama. Struktur kepengurusan ini yang di dalamnya terdapat cabang hirarki yang menunjukkan adanya posisi manajer atau Ketua sebagai penanggung jawab penuh terhadap
20
Stephen P. Robbins, Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Penerjemah Jusuf
(37)
25
kelompok di dalamnya. Adanya tanggung jawab yang besar ini menunjukkan bahwa posisi manajer atau ketua memiliki pengaruh yang dominan terhadap anggota lainnya dalam kelompok tersebut.
C. Teori Kekuasaan
Kekuasaan merupakan sebuah kata yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kata ini mudah dipahami oleh banyak orang, namun jarang sekali untuk didefinisikan. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku.21 Kekuasaan mengacu pada suatu jenis pengaruh yang dimanfaatkan oleh salah satu objek, individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya. Seperti dalam tulisan Roderick Martin mengutip artikel penelitian Robert Dahl pada International Encyclopedia of the Social Sciences
yang menyebutkan bahwa: “istilah kekuasaan dalam ilmu sosial modern mengacu
pada bagian perangkat hubungan diantara satuan-satuan sosial seperti pada perilaku satu atau lebih satuan yang dalam keadaan tertentu tergantung pada perilaku satuan-satuan yang lain.”22
Kebanyakan teori sosiologi mendefinisikan kekuasaan dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu sebagai sebuah hubungan yang khas diantara para objek, antara pribadi-pribadi dengan kelompok. Definisi yang paling berpengaruh dalam
hal ini ialah yang dikemukakan oleh Weber bahwa: “kekuasaan adalah
21
Miriam Budiardjo,Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008)
h. 18. 22
Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan. Penerjemah Herry Joediono, (Jakarta: PT
(38)
26
kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan sosial yang ada, termasuk dengan kekuatan atau tanpa menghiraukan landasan
yang menjadi pijakan kemungkinan itu.” Dalam penelitian Martin, psikologi
sosial Michigan, French dan Raven menggunakan definisi yang sama dalam membahas teori lapangan Lewin mengenai kekuasaan, kekuasaan adalah kemampuan potensial dari seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi yang lainnya di dalam sistem yang ada.23
Dahrendorf dan Blau berhasil menemukan kelemahan tertentu dari teori Weber yang kemudian menjadi dasar Dahrendorf dalam mengemukakan bahwa kekuasaan adalah milik kelompok, milik individu-individu dari pada milik struktur sosial. Perbedaan terpenting antara kekuasaan dengan otoritas terletak pada kenyataan bahwa kalau kekuasaan pada hakikatnya dilekatkan pada keperibadian individu, maka otoritas selalu dikaitkan dengan posisi atau peran sosial. Blau mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seeorang atau sekelompok orang untuk memaksakan keinginannya pada yang lain meski dengan kekuatan penangkal, baik dalam bentuk pengurangan secara tetap ganjaran-ganjaran yang digunakan maupun dalam bentuk hukuman , keduanya sama-sama bersifst negatif. Kemampuan untuk memproduk pengaruh melalui kekuatan telah memberikan cara kepadanya untuk menggunakan sanksi-sanksi yang negatif.24
Berbeda dengan sebelumnya, Parsons memandang kekuasaan sebagai suatu sumber sistem, yaitu bahwa kekuasaan merupakan sebuah bentuk kemampuan
23
Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, h. 69.
24
(39)
27
yang mampu menjamin pelaksanaan kewajiban yang mengikat sesuai dengan tujan-tujuan kolektif yang telah disepakati dari satuan-satuan yang ada dalam suatu sistem organisasi kolektif. Jika terdapat perlawanan didalamnya, maka lembaga yang berkuasa dapat menegakkannya dengan sanksi-sanksi situasional yang sifatnya negatif.25 Serta masih banyak lagi definidi sosoiologis mengenai kekuasaan yang kurang lebih dapat dijadikan sintesis maupun antitesis dari definisi di atas.
Dalam organisasi sendiri, kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kepemimpinan. Pemimpin memperoleh alat untuk dapat mempengaruhi perilaku para pengikutnya dengan menggunakan kekuasaan. Dalam kutipan Miftah Thoha dari Hersey, Blanchard, dan Natemeyer menegaskan bahwa para pemimpin seharusnya tidak hanya menilai perilakunya sendiri agar mereka dapat mengerti bagaimana mereka dapat mempengaruhi orang lain, namun mereka juga perlu meniti posisi serta bagaimana cara menggunakan kekuasaan yang tepat.26
Bentuk dari kekuasaan itu sendiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu seperti pernyataan Machiavelli yang dikemukakan pada abad ke-16 bahwa hubungan yang baik itu tercipta jika didasarkan atas cinta (kekuasaan pribadi) dan ketakutan (kekuasaan jabatan). Berangkat dari pernyataan tersebut, maka Amitai Etziomi membahas bahwa bentuk dan sumber dari kekuasaan ialah kekuasaan jabatan (position power) dan kekuasaan pribadi (personal power). Menurut Etziomi,
25
Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, h. 75.
26
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, (Jakarta: PT
(40)
28
perbedaan kedua bentuk kekuasaan ini ialah konsep kekuasaan itu sendiri sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi perilaku. Seseorang yang mampu untuk memperngaruhi perilaku orang lain untuk melakukan kerja sesuai jabatannya, maka orang tersebut memiliki kekuasaan jabatan. Sebaliknya, apabila seseorang memperoleh kekuasaan dari para pengikutnya dapat dikatakan sebagai kekuasaan pribadi.27
Sumber kekuasaan lain ialah yang dikemukakan oleh French dan Roven. Mereka mengemukakan enam bentuk kekuasaan yang dimiliki oleh seorang manajer atau pemimpin. Keenam bentuk kekuasan itu ialah kekuasaan legitimasi, kekuasaan imbalan, kekuasaan paksaan, kekuasaan ahli, kekuasaan referen, dan kekuasaan informasi.28
Kekuasaan legitimasi (legitimate power) merupakan kekuasaan yang berasal dari kedudukan seseorang dalam hirarkhi organisasi. Seseorang mampu mempengaruhi karena ia memiliki posisi atau jabatan tertentu dalam organisasi. Karena jabatan tersebutlah menyebabkan bawahannya patuh kepadanya. Bawahan di sini memegang peran penting dalam pelaksanaan kekuasaan legitimasi. Jika bawahan menganggap, bahwa pengguna kekuasaan tersebut sah sesuai kedudukan seseorang maka mereka akan patuh.
Kekuasaan imbalan (reward power) bertitik tekan pada kemampuan seseorang untuk memberikan imbalan kepada orang lain dalam hal ini bawahan
27
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi, h. 292.
28
Indriyo Gito Sudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, (Yogyakarta:
(41)
29
atau pengikut, dan mereka menganggap imbalan tersebut mempunyai nilai atau mereka membutuhkan imbalan tersebut. Imbalan itu dapat berupa gaji, upah, jaminan sosial, promosi, kesempatan jam lembur dan penugasan pada pekerjaan yang disenanginya.
Kekuasaan paksaan (coercive power) ialah kekuasaan atau kepatuhan seseorang terhadap orang lain karena mereka takut akan hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Kekuatan dari kekuasaan paksaan tergantung pada implikasi negatif dari hukuman tersebut dan apakah ada kemungkinan hukuman tersebut dapat dihindari atau tidak.
Kekuasaan ahli (expert power) merupakan kekuasaan yang dimiliki seseorang karena ia memiliki kemampuan khusus, keahlian atau pengetahuan tertentu. Kekuasaan referen (referent power) ialah kekuasaan yang bersumber dari sifat seseorang yang memiliki daya tarik tertentu atau karisma tertentu. Karisma merupakan istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan tokoh masyarakat, politisi, artis, dan lain sebagainya.
Kekuasaan informasi (information power) merupakan kekuasaan yang dipunyai seseorang karena ia memiliki informasi-informasi penting yang berhubungan dengan organisasi.
Pandangan teori kekuasaan menjadi pilihan dalam penelitian karena penggalian informasi tentang NU dalam politik praktis yang ternyata tujuan NU dalam politik tidak lain ialah kekuasaan. Teori ini kiranya tepat untuk melihat perjalanan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang matang dalam politik
(42)
30
praktis dan pemerintahan. Khususnya dalam melihat khittah NU 1926 dalam Muslimat NU menunjukkan bahwa faktor kekuasaan menjadi salah satu alasan penting sikap Muslimat dalam pilihan panggung politik yang justru mengakibatkan tidak terimplementasinya khittah NU 1926.
Kekuasaan jabatan yang terbangun dalam Muslimat NU seperti yang dijelaskan dalam teori manajemen organisasi bahwa posisi tertinggi dapat mempengaruhi posisi lain. Unsur ini muncul karena dilatar belakangi oleh adanya keinginan untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih luas dari Muslimat NU yaitu dalam politik. Melalui organisasi, seseorang mampu mendapatkan kekuasaan tertinggi, banyaknya masa dalam sebuah organisasi dapat menjadi modal seseorang untuk berkompetisi politik.
(43)
31
BAB III
NAHDLATUL ULAMA (NU), KEBERADAAN MUSLIMAT NU (MNU)
DAN KEPUTUSAN NU KEMBALI KE KHITTAH 1926
A. Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)
Latar belakang berdirinya sebuah organisasi sosial keagamaan yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU) tidak lain karena kebutuhan para kiai dan santri akan legitimasi legal formal. Kebutuhan ini muncul atas dorongan lahirnya berbagai macam organisasi sosial yang memiliki corak berbeda-beda. Seperti Budi Utomo (BU) pada tahun 1908 sebagai organisai yang berfokus pada pendidikan dan budaya serta menjadi pelopor awal munculnya organisasi-organisasi di Indonesia.1
Selain kemunculan organisai BU sebagai pelopor awal, dalam organisasi sosial keagamaan, Sarekat Islam (SI) tahun 1912 menjadi yang pertama mendirikan organisasi yang berfokus pada kelompok saudagar Islam di Indonesia. Kemudian disusul dengan munculnya Muhammadiyah tahun 1912, Al Irsyad tahun 1915, dan Persatuan Islam (PERSIS) tahun 1913.
Kehadiran dari berbagai macam organisasi di atas, kiranya organisasi Muhammadiyah memiliki pengaruh paling besar terhadap latar belakang didirikannya NU. Muhammadiyah sebagai organisai sosial keagamaan yang
1
Einar Martahan Sitompul, Nu dan pancasila: Sejarah dan Peranan NU dalam Perjuangan
Umat Islam di Indonesia dalam Rangka Penerimaan Pancasila sebagai Satu-satunya Asas, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1996) h. 42.
(44)
32
menawarkan bentuk pembaruan dalam Islam memiliki perbedaan tujuan yang besar dengan NU yang sangat menjaga erat tradisi dan budaya tradisional Islam di Indonesia.
Lembaga yang memiliki corak Islam seperti NU pada dasarnya merupakan sebuah fenomena pedesaan. Ziarah ke makam orang yang dihormati seperti keluarga dan leluhur, guru, wali dan raja dianggap sebagai perbuatan yang berpahala besar. Bahkan pahala yang diperoleh dari membaca doa-doa atau ayat-ayat suci al-Qur’an, tahlilan, serta selametan dapat dipersembahkan bagi arwah-arwah orang yang sudah meninggal.2
Berbeda pandangan dengan organisasi pembaru seperti Muhammadiyah, mereka melihat fenomena di atas sebagai kegiatan bid’ah dan tidak sesuai dengan ajaran asli Islam. Oleh karena itu, pada abad 20-an ketika Muhammadiyah telah memperluas jaringan organisasinya hingga wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah sebagai basis ulama tradisional, menjadi ancaman tersendiri bagi para ulama dan kiai.3 Disini ulama-ulama tradisional merasa penting untuk membentuk organisasi baru demi menjaga posisi mereka yang terancam dengan munculnya Islam reformis.
Pada belahan bumi yang lain, hadir sosok Ibn Sa’ud dan pengikutnya yang merupakan kaum Wahabi menentang keras adanya pemujaan pada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama mereka menduduki kota
2
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru.
Diterjemahkan oleh Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1994) h. 17-18. 3
(45)
33
Mekkah beberapa waktu sebelumnya, kaum Wahabi telah menghancurkan banyak makam di dalam dan sekitar kota tersebut dan membrangus berbagai praktek
keagamaan populer. Bahkan Sa’ud telah merencanakan pembongkaran makam
Rasullah SAW serta Makam Sayidina Umar. Bagi kaum tradisionalis Indonesia yang sangat terkait dengan praktik keagamaan merasa kecemasan yang luar biasa
dengan adanya penaklukan Ibn Sa’ud atas Mekkah.4
Sebagai bentuk perjuangan kaum tradisionalis dalam mempertahankan tradisi dan budaya Islam, maka kaum tradisionalis memutuskan untuk mengirim utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah Madzhab dengan Ibn
Sa’ud. Demi terlaksananya tujuan tersebut, maka mereka membentuk komite Hijaz. Bertemu di Surabaya pada 31 Januari 1926, kaum tradisionalis menentukan siapa yang akan diutus. Agar berkesan kuat di pihak luar, komite ini memutuskan
untuk mengubah diri menjadi sebuah organisasi dengan nama Nahdlatul „Oelama
(NU). Inilah menjadi alasan paling kuat dibeberapa masa awal tahun kehadirannya.5
Proses panjang pendirian NU ini tidak lain karena peran tokoh-tokoh pendiri
NU seperti K.H. Hasyim Asy’ari dan kyai muda Abdul Wahab. Sebelum
terbentuknya NU, kiyai Abdul Wahab sepulangnya dari Makkah merasa perlu adanya tindakan untuk melakukan pergerakan dalam mendidik para kader dalam bentuk tashwir al-afkar yaitu sebuah pertukaran gagasan, maka ide ini kemudian dijadikan sebagai sebuah kursus perdebatan untuk anak-anak muda dan kiai-kiai
4
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 32.
5
(46)
34
muda. kursus perdebatan ini sudah diupayakan dari datangnya kiai Abdul Wahab dari makkah pada tahun 1914, tapi hingga tahun 1918 kegiatan ini berlangsung lebih fokus membahas soal-soal yang membelah kelompok yang lebih dekat dengan salafiyah dan kelompok madzhab dari kiai pesantren. Inti dari diskusi ini adalah untuk membuka cakrawala pengetahuan dan memperluas ilmu bagi kalangan pesantren. Kursus ini terus berjalan hingga berdirinya NU pada 31 Januari 1926.6
Setelah melakukan kursus-kursus perdebatan di Surabaya, kiai Wahab bersama dengan Mas Mansur yang kala itu baru kembali dari Mesir bekerja sama untuk membentuk Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) dan mendapat pengakuan dari pemerintah Belanda pada tahun 1916. Tujuan dibentuknya
Nahdlatul Wathan adalah untuk memperluas dan memperdalam mutu madrasah-madrasah yang ada. Pada tahun 1922, Mas Mansur keluar dan bergabung dengan Muhammadiyah yang lebih cocok dengannya. Inti dari Nahdlatul Wathan ini ialah tidak hanya sekedar mendidik calon-calon kiai dan mendirikan sekolah-sekolah. Hal ini juga menjadi fondasi awal untuk memberi pengertian bahwa para pendiri NU yang legendaris ini sejak awal telah memberikan semangat bahwa perlunya orang pesantren bukan hanya menjadi santri namun juga mampu berpartisipasi dalam kebangkitan bangsa.7
Selain perhatian Abdul Wahab Hasbullah terhadap perkembangan sosial dan pendidikan, para ulama pesantren juga pernah merintis usaha perdagangan dalam
6
Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 33-35.
7
(47)
35
bentuk koperasi dengan istilah sjirkah al-„inān yang diberi nama Nahdlatut Tujjar (kebangkitan usahawan) dengan restu penuh oleh K.H. Hasjim Asj’ari pada tahun
1918. Diangkat ketua koprasi yaitu K.H. Hasyim Asy’ari dan Abdul Wahab sebagai manajer yang menjalankan koperasi. Inti dari dibentuknya Taswirul Afkar
kemudian Nahdlatul Watan dan Nahdlatut Tujjar merupakan bentuk perhatian para ulama pesantren untuk menghimpun kegiatan bersama serta mengembangkan kaum muslimin pada masa itu. Himpunan para ulama inilah yang sudah dijelaskan sebagai pelopor penting lahirnya organisasi NU.8
Setelah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926, NU mulai menata organsisainya dengan manajemen organisai yang lebih baik. Penataan manajemen organisasi NU dimulai dengan pembentukan Anggaran Dasar 1926 yang disusun pada tahun 1929 dan disahkan oleh pemerintah pada tahun 1930. Berdasarkan Anggaran Dasar yang telah dibentuk sebagai tujuan berdirinya organisai, NU menetapkan tujuannya untuk mengembangkan Islam berlandaskan ajaran keempat mazhab sebagai berikut9 :
1. Memperkuat persatuan diantara sesama ulama penganut ajaran-ajaran empat mazhab.
2. Meneliti kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan ajaran ahlusunnah wal jamaah.
3. Menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab.
4. Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya.
8
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, h. 45.
9
(48)
36
5. Membantu pembangunan masjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin.
6. Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota. Melalui berbagai macam upaya dan strategi NU ikut berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan ikut serta melawan para penjajah. Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, NU menutup periodenya sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah) dengan gemilang dan mengeluarkan Resolusi Jihad (Resolusi Perjuangan) pada tanggal 22 Oktober 1945.10
Maklumat No. X tanggal 3 November 1945 yang menjelaskan tentang pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan partai-partai agar dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat.11 Disambut baik khususnya oleh NU dengan mengkoordinir organisasi Islam dalam satu wadah partai. Muktamar Islam Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945 memutuskan untuk dibentuk kembali Masyumi dengan wajah baru, yaitu yang dianggap sebagai partai politik Islam dan bukan lagi organisasi bentukan Jepang.12
Awal mula dukungan NU terhadap Masyumi sangat menggelora, namun kemudian perbedaan kepentingan kelompok dalam Masyumi mulai muncul. NU dalam keterlibatannya di Masyumi tidak benar-benar terwakili di kepengurusan.
10
Einar Martahan Sitompul, Nu dan pancasila, h. 93.
11
Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa (Bandung: Mizan, 2001), h. 135.
12
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam
(49)
37
Langkanya anggota NU yang mempunyai tingkat pendidikan umum modern yang memadai, menyebabkan tidak ada satupun jabatan eksekutif yang jatuh kepada anggota NU. Situasi seperti ini menjadi awal munculnya problem antara NU dengan kaum pembaru dan modernis yang mendominasi Masyumi.13 Selain dalam pengurusan internal partai, di dalam kabinet pun NU merasa berkurang dalam peranannya. NU hanya mendapat kursi Departemen Agama (dapat dilihat di tabel I).14
Tabel III.A.1. Keterwakilan NU dalam Parlemen
sumber : Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa: Pergulatan Politik dan Kekuasaan, h. 62-65.
13
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 62.
14
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 63.
No. Nama Kabinet Tahun Periode Keterwakilan NU
1. Sjahrir I 14 November 1945 –
12 Maret 1946 -
2. Sjahrir II 12 Mart 1946 – 2
Oktober 1946
-3. Sjahrir III 2 Oktober 1946 – 27
Juni 1947
Wahid Hasyim sebagai Menteri Negara (NU)
4. Amir Syarifudin I 3 Juli 1947 – 11
November 1947
-5. Amir Syarifudin II 11 November 1947 –
29 Januari 1949
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama (NU)
6. Hatta I 29 Januari 1949 – 8
Agustus 1949
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama (NU)
7. Darurat 19 Desember 1948 – 3
Juli 1949
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama (NU)
8. Hatta II 4 Agustus 1949 – 20
Desember 1949
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama (NU)
9. RIS 20 Desember 1949 – 6
September 1950
Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama (NU)
10. Susanto 20 Desember 1949 – 21
Januari 1950
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama (NU)
11. Halim RI 21 Januari 1950 – 6
September 1950
-12. Natsir 6 September 1950 – 27
April 1951 Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama
13. Sukiman-Suwrjo 27 April 1951 – 3 April
1952
Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama (NU)
14. Wilopo 3 April 1952 – 30 Juli
(50)
-38
Akibat kekecewaan NU terhadap Masyumi, dalam Muktamar NU ke 19 tahun 1951 di Palembang NU menyatakan keluar dari Masyumi. Pelaksanaan pendirian partai NU baru terjadi pada 3 Juli 1952, ketika NU secara resmi keluar dari federasi Masyumi.15 Setelah Muktamar Palembang dan berdirinya partai NU, orang-orang NU maupun orang yang merasa dekat dengan NU mulai menarik diri dari Masyumi. Hanya ada beberapa orang muslim tradisionalis yang bertahan di Masyumi.16
Pada pemilu yang diselenggarakan tahun 1955 merupakan pemilu bersejarah bagi partai NU. Perolehan suara partai NU pada saat itu sangat mengejutkan, yaitu 18,4 % dari seluruh suara yang sah, bahkan tidak jauh dari Masyumi dengan prolehan suara 20,9 %. Seperti yang dapat kita lihat di tabel berikut :
Tabel III.A.2. Perolehan Suara Pemilu 1955
Sumber : Kacung Marijan, Quo Vadis NU: Setelah Kembali ke Khittah, h. 74.
Perolehan suara ini merupakan kemenangan yang sangat menentukan untuk NU, dari perolehan 8 kursi meningkat tajam menjadi 45 kursi. Partai besar lainnya
15
Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 110.
16
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 68.
Nama Partai Jumlah Suara yang
Diperoleh Prosentase
Jumlah Kursi di Parlemen
PNI 8.434.653 22,3 57
Masyumi 7.903.886 20,9 57
NU 6.955.141 18,4 45
PKI 6.176.914 16,4 39
(51)
39
pun memperoleh suara cukup banyak, namun tidak sedramatis partai NU.17 Demikian keterlibatan NU dalam politik praktis. Secara pengalaman, NU dapat dikatakan lebih maju dibanding Muhammadiyah yang tidak pernah menjadi partai politik. Meskipun dalam Masyumi, Muhammadiyah memiliki peranan lebih besar dibanding dengan NU.
Memasuki periode Presiden Soeharto sebagai langkah pemerintah dalam program penataan kehidupan politik yang dirancang Ali Mustopo, NU terpaksa bergabung dengan tiga partai Islam lainnya menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang diresmikan pada 5 Januari 1973. Partai politik lainnya yang berasaskan sosial, nasional, dan kristen disatukan dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Jadi hanya ada dua parati disamping Golkar.18 Fusi partai ini diresmikan dalam keputusan pemerintah bersama dengan DPR yang berusaha menyederhanakan partai politik dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.19 Kasus ini menjadi penutup terhadap kegemilangan Partai NU di kancah politik.
Memasuki era reformasi kekhawatiran muncul dari generasi muda NU yang
dekat dengan Gus Dur, dalam hal ini mereka yang senang dengan garis “non
-politis” NU merasa resah dengan adanya pembentukan partai politik NU yang baru yaitu PKB. Kemunculan PKB dalam daftar nama partai politik di era
17
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 69.
18
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 102.
19
Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia (Jakarta: LP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 107.
(52)
40
reformasi menimbulkan banyak tanda tanya besar. Salah satunya ialah pengaruh dari kemunculan PKB terhadap pernyataan kembalinya NU pada khittah 1926.20
Gus Dur dalam hal ini memberikan tanggapan bahwa para aktivis dan simpatisan NU perlu dibimbing dalam pilihan politik mereka. Pernyataan kembalinya NU pada khittah 1926 di era Orde Baru menjadi perubaha strategi dalam menghadapi situasi politik yang memberikan keuntungan bagi NU. Pada saat konflik NU dan PPP semakin parah, disamping itu Golkar menawarkan prospek yang lebih baik dalam arti kelangsungan hidup bagi kaum tradisionalis dibidang sosial-keagamaan. Pengambilan strategi ini yang menghidupkan NU sampai sekarang.21
B. Sejarah Lahir, Tujuan, dan Sikap Muslimat NU
Secara historis perjuangan kaum perempuan sudah dimulai dari era kolonial. Kesetaraan perempuan dalam bidang pekerjaan sudah teraktualisasikan di masyarakat jawa sejak dulu, sebagaimana kaum perempuan jawa bebas bertani di sawah, bakulan di pasar maupun mengenyam pendidikan.22 Fenomena ini menunjukkan adanya kebebasan perempuan dalam mengaktualisasikan diri di ranah publik. Namun secara mendalam kaum perempuan masih terdeskriditkan dengan budaya patriarki jawa yang memaksakan perempuan untuk tetap berada dibawah laki-laki.
20
Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, h. 428. 21
Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, h. 429.
22Muhadjir Darwin, “Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa,”
jurnal ilmu sosial dan ilmu politik 7 (Maret 2004): h. 283-284.
(53)
41
Budaya patriarki yang disebut sebagai konco wingking dalam jurnal perempuan yang ditulis oleh Muhadjir Darwin menunjukkan bahwa perempuan Indonesia belum terbebas dari ketimpangan gender. Pengaruh distribusi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dengan latar belakang budaya ini juga pernah dialami oleh R.A. Kartini. Sebagai simbol pejuang perempuan, Kartini juga tepat sebagai contoh dari ketidak berdayaan perempuan melawan budaya patriaki, karena ia sendiri menyerah ketika dilarang oleh ayahnya untuk sekolah ke Belanda dan dipaksa menikah dengan laki-laki yang sudah beristri. Bahkan perempuan yang memiliki kesemptan bekerja pun belum terbebas dari diskriminasi baik diskriminasi upah, pelecehan maupaun kekerasan di tempat kerja.23 Kenyataan seperti ini kemudian menjadi alasan perjuangan perempuan dalam mendapatkan hak-haknya dari masa ke masa bahkan hingga Indonesia mencapai puncak kemerdekaannya.
Pada era kemerdekaan organisasi perempuan sudah semakin banyak. Kesadaran perempuan akan hak-haknya dari hak bersosial hingga hak untuk berpolitik yang kemudian menjadi sorotan penting di era kemerdekaan hingga reformasi semakin luas. Perjuangan perempuan di panggung politik sendiri sudah dimulai sejak organsisai perempuan dalam kongres umum ke 3 KPI (Kongres Perempuan Indonesia) berusaha mendudukan Maria Ulfah dalam perwakilan Volksraad, meskipun usaha tersebut belum berhasil. Namun kekecewaan itu terbayar dengan terpilihnya Rasuna Said menjadi anggota Volksraad dan SK
(54)
42
Timurti terpilih menjadi anggota BPUPKI.24 Keberhasilan Rasuna Said dan SK Timurti menunjukkan bahwa pengakuan hak perempuan dalam bernegara menjadi semakin jelas.
Perjuangan organisasi perempuan semkain sulit, bahkan lebih sulit dari era penjajahan yang sudah jelas melawan musuh yang dapat terlihat secara fisik. Perjuangan perempuan di era kemerdekaan adalah kesamaan hak politik serta diskriminasi pembagian peran yang tidak adil antara laki-laki dengan perempuan.25 Melalui latar belakang persoalan yang seperti ini kemudian kaum perempuan mulai banyak yang tergugah untuk ikut memperjuangkan haknya, salah satu organisasi yang muncul kemudian ialah Muslimat NU.
Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) merupakan Badan Otonom dari organisasi NU.26 Muslimat NU merupakan organisai sosial keagamaan yang menaungi kaum perempuan dengan harapan untuk menyalurkan aspirasi perempuan NU. Kelahiran Muslimat dapat dikatakan sebagai hasil dari perjuangan kaum perempuan NU di era kemerdekaan.
Sebelumnya, kelahiran NU pada 31 Januari 1926 hanya diisi oleh kaum laki-laki. Sedangkan kaum perempuan pada saat itu masih dianggap belum perlu untuk masuk dalam organisasi atas dasar kultur patriarki jawa yang menganggap perempuan hanya konco wingking saja. Kemudian seiring berjalannya waktu terjadi polarisasi pemikiran tentang pentingnya kaum perempuan di dalam
24Muhadjir Darwin, “Gerakan Perempuan di Indonesia,” h. 286. 25Muhadjir Darwin, “Gerakan Perempuan di Indonesia,” h. 287. 26
PP Muslimat NU, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU,
(55)
43
organisasi, sehingga beberapa kaum perempuan mulai menyadari akan perannya dalam relasi publik.
Menjawab persoalan perempuan di era kemerdekaan serta pentingnya kaum perempuan dalam badan NU, maka pada Kongres NU di Menes, Pandeglang – Jawa Barat tahun 1938 menjadi Kongres NU pertama yang mempersilahkan seorang muslimat untuk tampil di atas podium dan membicarakan mengenai pentingnya kaum perempuan untuk mendapat pendidikan agama yang sama seperti apa yang diperoleh oleh kaum laki-laik.27 Nyi R. Djunaisih atas nama Muslimat menjelaskan dalam pidatonya bahwa sesuai dengan azas dan tujuan dari NU untuk mendidik umat Islam ke jurusan agama seluas-luasnya, sedangkan dalam agama Islam bukan saja laki-laki yang harus dididik mengenai soal-soal keagamaan, bahkan kaum perempuan pun harus dan wajib mendapatkan didikan yang sesuai dengan kehendak dan tujuan agama.28 Melalui pidato ini para peserta Kongres merasa mantap dan terkagum-kagum dengan adanya peran perempuan, selain karena pidatonya yang begitu mempesona, beliau juga merupakan Muslimat yang pertama kali naik ke mimbar.
Kongres ke XIII yang diadakan di Menes menjadi Kongres pertama NU yang dihadiri oleh Muslimat sebagai peserta Kongres. Oleh karena itu, di Kongres berikutnya yaitu Kongres ke XIV yang digelar di Magelang pada bulan Juli 1939 kembali dihadiri oleh kaum Muslimat yang mewakili beberapa daerah, antara lain:
1. Wakil dari NU Muslimat Muntilan
27
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 41-42.
28
(56)
44 2. Wakil dari NU Muslimat Sukareja 3. Wakil dari NU Muslimat Kroya 4. Wakil dari NU Muslimat Wonosobo 5. Wakil dari Muslimat Surakarta 6. Wakil dari NU Muslimat Magelang 7. Wakil dari Banatul Arabiyah Magelang 8. Wakil dari Zaharatul Iman Magelang 9. Wakil dari Islamiyah Purworejo
dari jumlah perwakilan Muslimat di atas kemudin diberi ruang untuk berbicara demi menyampaikan saran dan prasarannya.29
Perjuangan kaum Muslimat waktu demi waktu terus berjalan dengan berbagai macam progres. Hingga pada kongres ke XV di Surabaya kehadiran kaum Muslimat lebih banyak lagi dari Kongres sebelumnya. Kemajuan yang ditunjukkan Muslimat saat itu bukan lagi sekedar berperan dalam Kongres, tetapi juga mengadakan rapat tertutup Muslimat yang diadakan pertamakali pada hari Selasa tanggal 10 Desember 1940 bertempat di gedung Madrasah NU Bubutan-Surabaya dengan membahas beberapa hal, diantaranya30: pertama, Pengesahan Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM) oleh kongres NU. Kedua, pengesahan Anggaran Dasar NUM oleh Kongres NU. Ketiga, adanya Pengurus Besar NUM.
Keempat, menetapkan datar pelajaran untuk tingkat Madrasah Banat. Kelima,
rencana penerbitan majalah bulanan NUM. Keenam, bertamasya keliling kota Surabaya pada hari Kamis, tanggal 12 Desember 1940.
29
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 43.
30
(57)
45
Setelah beberapa kali Muslimat mengadakan pertemuan tertutup, tepat pada 12-26 Robiul Akhir 1365 atau pada tanggal 26-29 Maret 1946 digelar Kongres NU yang ke 16 bertempat di Purwokerto-Jawa Tengah. Pada Kongres ini kaum Muslimat memenuhi Kogres lebih banyak dari biasanya. Dalam kongres ini merupakan terakhirkalinya Muslimat duduk hanya sebagai peninjau, melalui perjuangan dan kegigihan para Muslimat, dengan suara aklamasi (suara bulat) para utusan Kongres NU menyetujui dan memutuskan bahwa31 :
“Menerima baik usul untuk menjadikan Muslimat sebagai bagian dari
NU yang kemudian disahkan dan diresmikan dalam rapat pleno pada tanggal 26 Robiul Akhir 1365 atau tanggal 29 Maret 1946 suatu
organisasi Nahdlatul Ulama Muslimat dengan singkatan NUM.”
Dalam putusan ini disahkan pula kepengurusan Muslimat NU yang pertama dengan diketua oleh Ny. Chadidjah Dahlan. Kelahiran Muslimat NU ini tidak lain atas budi baik dari KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Muhamad Dahlan, atas ketekunan dan dorongan merekalah Muslimat dapat berdiri di samping NU.32
C. Keputusan NU Kembali ke Khittah 1926
Setelah melewati perjalanan yang sangat panjang dengan berbagai macam persoalan yang menghadang, organisai NU telah melewati pengalaman luar biasa dalam perjalanan hidupnya. Lahir sebagai organisasi Islam yang aktif dalam berbagai macam kegiatan sosial keagamaan di tahun 1926, di era kolonial NU juga ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan, hingga era reformasi NU tertarik untuk berjihad dalam plolitik praktis bahkan sempat bertransformasi menjadi
31
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 46.
32
(1)
yang sbeleumnya belum mengenal muslimat NU menjadi ingin tahu yang akhirnya ikut dalam muslimat NU.
8. Bagaimana cara Ibu membagi waktu dalam menjalankan dua tanggung jawab sekaligus ?
Kegiatan-kegiatan Muslimat kebanyakan dilaksanakan di luar jam kerja saya, bisa malam atau sore setelah kerja. Bahkan hari libur saya yaitu sabtu dan ahad saya perioritaskan untuk kegiatan Muslimat.
9. Bagaimana pandangan Ibu melihat posisi Ketua Umum PP Muslimat NU yang sudah memasuki periode ke-3 ?
Idealnya termasuk di cabang pun hanya dua periode, namun dengan adanya situasi dan kondisi pada saat ini serta melihat Ibu Khofifah yang masih muda dan dibuthkan oleh Muslimat serta beliau mampu menempatkan diri di Muslimat. Meskipun dalam hal regenerasi kurang baik, namun melihat tantangan saat itu dan saat ini masih membutuhkan sosok Khofifah sehingga saya tidak mampu mempertahankan argumen. Apalagi proses pengkaderan organisasi yang non-profit menjadi tantangan sendiri untuk menemukan bibit-bibit pemimpin yang tepat.
10.Bagaimana tanggapan Ibu terhadap Ketua Umum PP Muslimat NU yang pernah mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Jawa Timur ?
Itu merupakan ekspresi politik individu ibu Khofifah sebagai warga negara
11.Apa tanggapan Ibu mengenai keterlibatan Ketua PP Muslimat NU sebagai juru bicara dalam kampanye politik Presiden Joko Widodo?
(2)
Tidak masalah, sebatas itu berangkat melalui perseorangan sebagai Khofifah. Bukan sebagai Ketua Muslimat.
12.Setelah Ketua Umum PP Muslimat NU menjabat sebagai menteri sosial, apa tanggapan Ibu melihat hal tersebut ?
Bagus, artinya bahwa orang-orang dalam Muslimat NU mampu memperjuangkan haknya dalam politik, asalkan tidak membawa organisasi dalam politik.
13.Apa harapan Ibu untuk PP Muslimat NU di periode saat ini dan periode mendatang kaitannya dengan perpolitikan di Indonesia ? Jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki harus didukung dengan kebijakan pro perempuan. Kebijakan ini sulit diwujudkan ketika keterwakilan perempuan sedikit. Oleh karena itu, selagi bukan atas nama organisasi perempuan khususnya dalam Muslimat harus berjuang dalam mewujudkan kebijakan perempuan.
(3)
Wawancara dengan Ketua Umum PP Muslimat NU Periode tahun 1995 – 2000 Hj. Aisyah Hamid Baidlowi di Kantor Yayasan Sosial Kebayoran Baru – Jakarta Selatan.
(4)
Wawancara dengan Ketua PW Jawa Tengah -Prof. Dr. Ismawati, M. Ag- di Lab. Fak. Dakwah UIN Wali Songo Semarang.
Wawancara dengan Ketua VI PP Muslimat NU DR. Yani’ah Wardani, M. A di Fak. Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
(5)
Wawancara dengan Ketua PC Muslimat NU Kab. Tegal – Jawa Tengah -Dra. Umi Azizah- yang saat ini menjabat sebagai Wakil Bupati Kabupaten Tegal, di Kator Pemda Kab.Tegal.
(6)
Serah terima Ketua Periodik Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU (YKM NU) di kediaman Ibu Ida Salahuddin Wahid.