Tinjauan hukum acara pidana dan hukum acara pidana Islam terhadap kompetensi saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso.

TINJAUAN HUKUM ACARA PIDANA DAN HUKUM ACARA
PIDANA ISLAM TERHADAP KOMPETENSI SAKSI AHLI DARI
TERDAKWA JESSICA KUMALA WONGSO

SKRIPSI

Oleh:

Alan Tathmainnul Qulub Al Umami
NIM. C03213006

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam
Surabaya
2017

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul ‚Tinjauan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara
Pidana Islam terhadap Kompetensi saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala

Wongso‛ merupakan hasil penelitian dari kepustakaan untuk menjawab dua
pertanyaan yaitu bagaimana tinjauan Hukum Acara Pidana terhadap kompetensi
saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso dan bagaimana tinjauan Hukum
Acara Pidana Islam terhadap kompetensi saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala
Wongso.
Data penelitian yang dihimpun adalah bahan hukum primer dan bahan
hukum skunder, yang dihimpun melalui pengumpulan data dari buku-buku dan
literatur dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode normatif kualitatif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Saksi ahli dari terdakwa Jessica
Kumala Wongso yaitu Dewi Taviana Haroen dan Rismon Hasiolan Sianipar
tidak sesuai dengan kompetensinya, sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 28
KUHAP. Hal ini dikarenakan Dewi Taviana Haroen merupakan ahli dalam
bidang Psikologi politik sedangkan Rismon Hasiolan Sianipar bukan ahli digital
forensik dengam melihat latar belakang pendidikannya, dan pengalaman dalam
penelitiannya. Menurut kriteria saksi ahli dalam Hukum Acara Pidana Islam.
Saksi ahli Dewi Taviana Haroen dan Rismon Hasiolan Sianipar bisa dikatakan
tidak sesuai hal ini di karenakan saksi ahli menurut Hukum Acara Pidana Islam
adalah seseorang yang memiliki pemahaman atau ilmu pengetahuan khusus
tertentu yang tidak diketahui orang banyak, yang berkewajiban menjelaskan atau
menerangkan kepada khalayak umum mengenai ilmu pengetahuan tersebut.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka disarankan: pertama, Perlu
adanaya regulasi untuk syarat seorang bisa dikatakan ahli yang dihadirkan di
dalam persidangan untuk memberikan keterangannya dan bersifat mengikat bagi
masing- masing profesi yang akan hadir di dalam persidangan. Kedua, Seorang
ahli yang akan dihadirkan di sidang pengadilan haruslah memiliki keahlian
keilmuan khusus dan profesionalisme, agar dapat memberikan keterangan yang
berkualitas di dalam persidangan.

v

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM .............................................................................................

i

PERNYATAAN KEASLIAN .............................................................................


ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... iii
PENGESAHAN .................................................................................................. iv
ABSTRAK ..........................................................................................................

v

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
PERSEMBAHAN ............................................................................................... viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
DAFTAR TRANSLETRASI .............................................................................. xi
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................

1

B. Identifikasi dan batasan Masalah ...........................................


6

C. Rumusan Masalah ...................................................................

7

D. Kajian Pustaka ........................................................................

8

E. Tujuan Penelitian .................................................................... 9
F. Kegunaan Hasil Penelitian ......................................................

9

G. Definisi Operasional ............................................................... 10
H. Metode Penelitian ................................................................... 11
I.
BAB II


Sistematika Pembahasan ......................................................... 15

TEORI PEMBUKTIAN
A. Teori Pembuktian menurut Hukum Acara Pidana .................. 17
1. Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana ......................... 17
2. Kedudukan saksi dalam Hukum Acara Pidana .................. 23
3. Kedudukan saksi ahli/ keterangan ahli menurut Hukum Acara
Pidana ................................................................................ 26
B. Teori Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Islam ........... 30

ix

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

1. Pembuktian menurut Hukum Acara Pidana Islam ............. 30
2. Kedudukan saksi dalam Hukum Acara Pidana Islam ........ 34
3. Saksi ahli dalam Hukum Acara Pidana Islam .................... 37
BAB III


PERANAN SAKSI AHLI TERDAKWA JESSICA KUMALA
WONGSO DI DALAM PERSIDANGAN
A.

Identitas saksi ahli terdakwa Jessica Kumala Wongso .......... 41

B. Tugas pokok saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso
dalam persidangan .................................................................. 43
C. Beberapa pendapat berkenaan dengan saksi ahli pihak terdakwa
Jessica Kumala Wongso ......................................................... 51
BAB IV

ANALISIS KOMPETENSI SAKSI AHLI DARI TERDAKWA
JESSICA KUMALA WONGSO DITINJAU DARI HUKUM
ACARA PIDANA DAN HUKUM ACARA PIDANA ISLAM
A. Tinjauan Hukum Acara Pidana terhadap kompetensi saksi ahli
dari terdakwa Jessica Kumala Wongso .................................. 55
B. Tinjauan Hukum Acara Pidana Islam terhadap Kompetensi saksi
ahli terdakwa Jessica Kumala Wongso ................................... 60


BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 64
B. Saran ....................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 66
LAMPIRAN

x

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan
pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil
(materiile waarheid) terhadap suatu perkara agar nememukan suatu titik

terang dalam penyelesain permasalahan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari
adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam
memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu
perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan
penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut.1
Wirjono Prodjodikoro, menjelaskan hukum acara pidana sebagai berikut.
‚Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,
maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara
bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara
dengan mengadakan hukum pidana.‛ Jadi, belaiu sangat menggantungkan
fungsi hukum acara pidana pada ‚menjalankan hukum pidana (materiil)‛.2
Hukum Pidana formil (hukum acara pidana) yaitu mengatur
tentang bagaimana negara melalui alat- alatnya melaksanakan haknya
untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Pembuktian merupakan
masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang
1

Shellanika Ari Astuti, Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli Forensik Dalam Tindak Pidana


Pembunuhan

Bayi

Oleh

Ibunya (Tinjauan Yuridis Putusan No. 147/Pid.B/2013/PN.Pwt.)

Skripsi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, 2014. diakses pada tanggal 29 Oktober 2016.
2
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia (Bandung: Sumur, 1983), 1.

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang ‚tidak

cukup‛ membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa,
terdakwa ‚dibebaskan‛ dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan
terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut
dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwah dinyatakan ‚bersalah’’.
Pembuktian berasal dari kata bukti yang artinya adalah usaha
untuk membuktikan. Dalam kampus Besar Bahasa Indonesia, kata
pembuktian diartikan sebagai: memperlihatkan bukti atau meyakinkan
dengan bukti, Sedangkan kata pembuktian diartikan sebagai proses,
perbuatan cara membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si
terdakwa dalam sidang pengadilan.3
Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan yang
membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan
kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat
hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti
yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan
caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat
bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak

3


Tim penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka , 2004), 133.

Kamus Besar Bahasa

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar diluar
ketentuan yang telah digariskan undnag-undang.4
Berkaitan dengan pembuktian, maka saksi adalah orang yang
mengetahui tentang suatu peristiwa pidana berdasarkan apa yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi merupakan alat bukti di
persidangan dan berguna dalam mengungkap duduk perkara suatu
peristiwa pidana yang nantinya akan dijadikan salah satu dasar
pertimbangan hakim untuk menentukan terbukti atau tidaknya perbuatan
terdakwa serta kesalahan terdakwa. Dalam proses persidangan dikenal
adanya beberapa macam saksi, Misalnya dilihat dari pihak yang
mengajukan dikenal sebutan: ‚saksi a charge‛ atau (saksi yang
memberatkan) dan ‚saksi a decharge‛ (saksi yang meringankan). Dilihat
dari posisi dalam peristiwa tindak pidana dikenal sebutan : ‚saksi korban‛
(saksi yang mengalami) ‚saksi melihat‛ dan ‚saksi mendengar‛. Jika
keterangan tersebut berupa pendapat diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan, maka hal tersebut
dimasukkan sebagai alat bukti ‚keterangan ahli‛.5
Di dalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan
seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di dalam sidang
4

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 274.
5
AL. Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana Proses persidangan Perkara Pidana (Jakarta:
Galaxy Puspa Mega, 2002), 8.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

pengadilan.6 Menurut Andi Hamzah definisi keterangan ahli adalah
pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang
telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya.
Jadi, dari keterangan tersebut diketahui bahwa yang dimaksud dengan
keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki)
seseorang.
Salah satu kasus yang banyak melibatkan saksi ahli dalam proses
pembuktian adalah kasus dengan terdakwa Jesica Kumala Wongso dan
dari berbagai sumber media masa terdapat banyak sekali kontroversi
saksi ahli dari pihak terdakwa Jesika Kumala Wongso. Utamanya dalam
bidang digital forensik dan juga Psikologi. Semisal dalam memberikan
keterangannya, saksi ahli Jesika Kumala Wongso bidang digital forensik
Rismon Hasiolan Sianipar

mengatakan bahwa rekaman CCTV yang

ditampilkan di ruang sidang terindikasi kuat telah direkayasa dengan cara
temparing7.
Padahal kualifikasi Ahli yang diperlukan dalam proses pembuktian
perkara pidana, baik di tingkat penyidikan maupun persidangan bukanlah
masalah praktis belaka. Persyaratan dan standar keahlian yang menjadi
acuan pihak penuntut umum maupun terdakwa dalam memilih ahli dan
pertentangan

pendapat

ahli,

dapat

ditelaah

lebih

lanjut

untuk

6

Hari Sasangka dan Lily Rosita, KUHAP Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (Bandung:
Mandar Maju, 2000), 214.
7
Dadan Eka Permana, “perang saksi ahli digital forensik soal CCTV di sidng Jessica” dalam
www.bintang.com/.../perang-saksi-ahli-digital-forensik-soal-cctv-di-sidang-jessica. diakses pada
tannggal 23 November 2016

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

menganalisis masalah tentang siapa sebenarnya ahli yang dimaksudkan
oleh KUHAP. Demikan halnya dengan masalah pertentangan pendapat
ahli yang akan berkaitan dengan sikap penyidik maupun hakim dalam
memilih keterangan ahli untuk kepentingan pembuktian.
Sedangkan dalam Hukum Pidana Islam pembuktian merupakan
sesuatu hal yang sangat penting, sebab pembuktian merupakan esensi dari
suatu persidangan guna mendapatkan kebenaran yang mendekati
kesempurnaan. Didalam hukum Islam, pembuktian biasa disebut dengan

Al-bayyina, Secara terminologi Al-bayyinah adalah membuktikan suatu
perkara dengan mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada
batas meyakinkan. Hasbi Ash Shiddiqy berpendapat, bahwa pembuktian
sebagai segala sesuatu yang dapat menampakkan kebenaran, baik ia
merupakan saksi atau sesuatu yang lain.8 Pembuktian merupakan salah
satu tahapan yang menjadi prioritas yang harus di penuhi dalam
penyelesaian suatu sengketa.
Dalam Al- Qur’an Surat Al- Hujarat ayat 6 di jelaskan bahwa
pentingnya mencari kebenaran dalam suatu pembuktian:9

8

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1970), 139.
9
Abu Thahir Muhammad bin Ya’kub Al-Fairuzabadi, Tafsir Ibnu ‘Abbas Disertai Asbabun Nuzul
Karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi Jilid 1 (Bandung: Padi Bandung, 2008), 222-223.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatua berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaan yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.
Ayat di atas menjadi dasar kewajiban untuk melakukan
pembuktian,

karena

tindakan

pembuktian

diharapkan

mampu

menunjukkan kenyataan yang sebenarnya sehingga nantinya menjadi
dasar bagi hakim untuk menetapkan putusannya berdasarkan bukti-bukti
yang ada dan juga keyakinannya. Ini adalah sebuah aturan yang wajib
dilaksanakan oleh hakim, agar masalah tersebut dapat diselesaikan
dengan adil dan bijak tanpa menimbulkan ketimpangan hukum.
Melihat pentingnya alat bukti saksi ahli dalam mengungkap kasus
kopi sianida Jessica Kumala Wongso ini, maka penulis tertarik meneliti
tentang kompetensi saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso.
Dari latarbelakang tersebut penulis tertarik mengkaji lebih lanjut
dengan menuangkan dalam skripsi yang berjudul ‚Tinjauan Hukum Acara

Pidana dan Hukum Acara Pidana Islam terhadap kompetensi saksi Ahli
dari terdakwa Jessica Kumala Wongso‛.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas maka masalah yang muncul
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Peranan saksi ahli dalam penyelesaian perkara tindak pidana sehingga
hakim mengganggap dan membutuhkan saksi ahli tersebut.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

2. Kedudukan saksi ahli dalam memberikan keterangan di dalam
persidangan.
3. Kompetensi saksi Ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso
4. Kemandirian saksi Ahli dalam memberikan keterangannya.
5. Tinjauan Hukum Acara Pidana Islam terhadap kompetensi saksi Ahli.
Untuk menghasilkan penelitian yang lebih fokus pada judul diatas,
penulis membatasi penelitian yakni pada : ‚Tinjauan Hukum Acara

Pidana dan Hukum Acara Pidana Islam terhadap kompetensi saksi Ahli
dari terdakwa Jessica Kumala Wongso‛.
1. Kompetensi saksi Ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso.
2. Tinjauan Hukum Acara Pidana Islam terhadap kompetensi saksi Ahli
dari terdakwa Jessica Kumala Wongso.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan Hukum Acara Pidana terhadap kompetensi saksi
Ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso?
2. Bagaimana tinjauan Hukum Acara Pidana Islam terhadap kompetensi
saksi Ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso ?

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau
penelitian yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang diteliti
sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak
merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang
sudah ada.10 Berawal dari kajian yang ditulis oleh Shellanika Ari Astuti (
Skripsi 2014) dengan judul ‚Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli

Forensik Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya
(Tinjauan Yuridis Putusan No. 147/Pid.B/2013/Pn.Pwt.) Menjelaskan
mengapa keterangan Ahli Forensik di butuhkan dalam perkara tindak
pidana ini dan bagaimana kekuatan pembuktian keterangan Ahli forensik
dalam Putusan Tindak Pidana Nomor: 147/Pid B/2013/PN.Pwt.11
Kedua, Muhibuddin Baihaki ( Skripsi 2011) dengan judul ‚

Tinjauan Hukum Acara Pidana Islam terhadap Keterangan Saksi Ahli
dalam Penetapan Perkara Pidana Menurut Uu No. 8 Tahun 1981‛. Dalam
skripsi ini difokuskan pada kedudukan keterangan ahli / saksi ahli dalam
penetapan perkara pidana dan ditinjau dari hukum acara pidana Islam.12
Dengan adanya kajian pustaka di atas jelas sangat berbeda dengan
penelitian yang penulis lakukan dengan judul ‚Tinjauan Hukum Acara

10

Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis
Penulisan Skripsi, ( UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2016). 8
11
Shellanika Ari Astuti, Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli Forensik Dalam Tindak Pidana
Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (Tinjauan Yuridis Putusan No. 147/Pid.B/2013/PN.Pwt.) ,
Skripsi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, 2014.
12
Muhibuddin Baihaki, Tinjauan Hukum Acara Pidana Islam terhadap Keterangan Saksi Ahli
dalam Penetapan Perkara Pidana Menurut Uu No. 8 Tahun 1981 Skripsi Institut Agama Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2011.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

Pidana Islam terhadap Kompetensi Saksi Ahli dari Terdakwa Jessica
Kumolo Wongso‛ Perbedaan hasil penelitian diatas berbeda dengan yang
penelti teliti, pada penelitian ini penulis memfokuskan tentang bagaimana
kompetensi saksi Ahli dalam persidangan.

E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui analisis tinjauan Hukum Acara Pidana terhadap
kompetensi saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso.
2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan Hukum Acara Pidana Islam
terhadap kompetensi saksi Ahli dari terdakwa Jessica Kumala
Wongso.

F. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian di atas,
maka diharapkan dengan adanya penelitian ini mampu memberikan
manfaat bagi pembaca maupun penulis sendiri, baik secara teoritis
maupun secara praktis. Secara umum, kegunaan penelitian yang
dilakukan ini dapat ditinjau dari dua aspek:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan atau
menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya bagi ilmu
pengetahuan Hukum Acara Pidana tentang kompetensi saksi Ahli
dalam kasus terdakwa Jesica Kumala Wongso.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

2. Secara praktis, memberikan informasi kepada aparat penegak hukum
maupun masyarakat luas agar dapat dijadikan bahan perbandingan
terhadap kajian- kajian ilmiah, tentang sejauh mana KUHAP
dilaksanakan terkait pelaksanaan proses pembuktian khusus mengenai
alat bukti keterangan Ahli dalam praktek di Pengadilan.

G. Definisi Operasional
Untuk menghindari munculnya salah pengertian terhadap judul
penelitian skripsi ini, yaitu ‚Tinjauan Hukum Pidana dan Hukum Acara
Pidana Islam terhadap kompetensi saksi Ahli dari terdakwa Jessica
Kumala Wongso.‛ Maka perlu dijelaskan beberapa istilah yang berkenaan
dengan judul diatas.
Hukum Acara Pidana

: Suatu rangkaian peraturan yang memuat cara
bagaimana badan-badan pemerintah yang
berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan harus bertindak guna mencapai
tujuan negara dengan mengadakan hukum
pidana.

Hukum Acara Pidana Islam :Ketentuan-ketentuan

yang

ditunjukkan

kepada masyarakat dalam usahanya mencari
kebenaran dan keadilan bila terjadi tindak
pidana atas suatu ketentuan hukum materiil,
meliputi ketentuan-ketentuan tentang cara

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

bagaimana seseorang harus menyelesaikan
masalah dan mendapatkan keadilan.
Kompetensi

: Kecapakan atau kemampuan yang dimiliki
seseorang

untuk

menunjukkan

dan

menerapkan kemampuan yang dimilikinya.
Saksi Ahli

: Pendapat seorang ahli yang berhubungan
dengan

ilmu

...pengetahuan

yang

telah

dipelajarinya, tentang sesuatu ...apa yang
dimintai pertimbangannya.

H. Metode Penelitian
Metode

penelitian

adalah

cara

untuk

menemukan,

mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang
dilakukan secara sistematis.
Dalam metode penelitian ini yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Data yang dikumpulkan
a) Kompetensi saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala
Wongso.
b) Kompetensi saksi ahli menurut Hukum Acara Pidana
Islam.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

2. Sumber Data
a. Sumber Primer
Merupakan sumber yang bersifat utama dan penting yang
memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi yang
diperlukan dan berkaitan dengan penelitian. Data yang diperoleh
dari sumber utama yaitu:
1) Media Masa, berita tentang penjelasan saksi ahli dalam
persidangan terdakwa Jessica Kumala Wongso
2) Ibnu Qayyim Al- Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam
b. Sumber Sekunder
Sumber yang bersifat membantu atau menunjang dalam
melengkapi

dan

memperkuat

serta

memberikan

penjelasan

mengenai sumber sekunder, diantaranya:
1) Soesilo, KUHAP ( Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
2) Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia
3) M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali).
4) AL. Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana Proses persidangan

Perkara Pidana
5) Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam

Perkara Pidana.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

6) Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama Aris Bintania,

Hukum Acara Peradilan Agama
7) Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah)
8) Anshoruddin, Hukum Pembuktian menurut Hukum Acara Islam

dan Hukum Positif
Dan buku-buku literatur lain yang masih berhubungan dengan
permasalahan sebagai bahan penunjang, dan juga kitab kitab fiqh yang
masih berhubungan dengan permasalahan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan
standar

untuk

memperoleh

data

yang

diperlukan.

Teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode kepustakaan, yaitu dengan cara mencari dan menghimpun
data dari buku-buku atau literatur yang ada.13
4. Teknik Pengolahan Data
Data-data yang diperoleh dari hasil penggalian terhadap sumbersumber data akan diolah melalui tahapan-tahapan berikut:
a. Editing yaitu memeriksa kembali lengkap atau tidaknya data-data
yang diperoleh dan memperbaiki bila terdapat data yang kurang
jelas atau meragukan.14 Teknik ini betul-betul menuntut kejujuran
intelektual (intelectual honestly) dari penulis agar nantinya hasil
data konsisten dengan rencana penelitian.
13
14

Moh. Nasir, Metodologi Penelitian ( Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet. II, 1985), 53.
Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 125.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

b. Organizing yaitu mengatur dan menyusun data sumber dokumentasi
sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai
dengan rumusan masalah, serta mengelompokkan data yang
diperoleh.15

Dengan

teknik

ini

diharapkan

penulis

dapat

memperoleh gambaran secara jelas tentang kompetensi saksi ahli
dari terdakwa Jesica Kumala Wongso.
c. Analyzing yaitu dengan memberikan analisis lanjutan terhadap hasil

editing dan organizing data yang telah diperoleh dari sumbersumber penelitian, dengan menggunakan teori dan dalil-dalil
lainnya, sehingga diperoleh kesimpulan.16
5. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan
metode normatif kualitatif, yaitu penyusunan secara kualitatif untuk
mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dengan tidak
menggunakan rumus kuantitatif atau dengan cara menjabarkan dan
menafsirkan data yang diperoleh berdasarkan norma atau kaidah,
teori, pengertian hukum dan doktrin yang terdapat dalam ilmu hukum
khususnya dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP), kemudian dianalisa
menggunakan Hukum Acara Pidana Islam.

15

Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 153.
Ibid., 195.

16

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

I. Sistematika Pembahasan
Agar dalam penyusunan skripsi dapat terarah dan sesuai dengan
keinginan atau sesuai dengan yang diharapkan oleh penulis, maka
disusunlah sistematika pembahasan sebagai berikut.
BAB I

Dalam bab ini memuat pendahuluan yang merupakan
langkah- langkah penelitian yang berisi tentang latar
belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah,
rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,
kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II

Dalam bab ini menjelaskan landasan teori landasan teori
menurut Hukum Acara Pidana Positif yang terdiri dari
pembuktian menurut Hukum Acara Pidana, kedudukan
saksi dalam Hukum Acara Pidana, dan kedudukan saksi
ahli atau keterangan ahli menurut Hukum Acara Pidana.
serta menjelaskan landasan teori tentang pembuktian
menurut Hukum Acara Pidana Islam meliputi pembuktian
menurut Hukum Acara Pidana Islam, kedudukan saksi
dalam Hukum Acara Pidana Islam, dan saksi ahli dalam
Hukum Acara Pidana Islam.

BAB III

Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang peranan saksi
Ahli terdakwa Jessica Kumala Wongso yang meliputi
identitas saksi ahli terdakwa Jessica Kumala Wongso,

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

tugas pokok saksi ahli terdakwa Jessica Kumala Wongso di
dalam persidangan dan pendapat berkenaan dengan saksi
ahli pihak terdakwa Jessica Kumala Wongso.
BAB IV

Pembahasan dalam bab ini adalah analisis kompetensi
saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso ditinjau
dari Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Pidana Islam.

BAB V

Dalam bab ini memuat penutup yang berisi kesimpulan dan
saran.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

BAB II
TEORI PEMBUKTIAN

A. Teori pembuktian dalam Hukum Acara Pidana.
1. Pembutkian menurut Hukum Acara Pidana.
Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian
dalam perkara perdata. Dalam pembuktian perkara pidana (hukum acara
pidana) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yaitu
kebenaran sejati atau yang sesungguhnya, sedangkan pembuktian dalam
perkara perdata (hukum acara perdata) adalah bertujuan untuk mencari
kebenaran formil, artinya hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang
diajukan oleh para pihak yang berperkara. Jadi hakim dalam mencari
kebenaran formal cukup membuktikan dengan ‛preponderance of

evidence‛, sedangkan hakim pidana dalam mencari kebenaran materiil,
maka peristiwanya harus terbukti (beyond reasonable doubt).1
Pembuktian secara bahasa (terminologi), menurut kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah suatu proses perbuatan, cara membuktian, suatu
usaha menentukan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang
pengadilan.2 Dalam hal ini pembuktian merupakan salah satu unsur yang

1

Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (Yogyakarta: Rangkang Education,
2013),241.
2
Ebta Setiawan, ‚arti atau makna pembuktian‛ dalam http:// KBBI.web.id/arti atau makna
pembuktian. diakses pada 10 Maret 2017.

17

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

penting dalam hukum acara pidana. dimana menentukan antara bersalah
atau tidaknya seorang terdakwa didalam persidangan.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, bahwa pembuktian adalah
mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah
suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran
peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah
dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP yang menetapkan
tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui:
a. Penyidikan
b. Penuntutan
c. Pemeriksaan di persidangan
d. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan
Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase
atau prosedur dalam pelaksanaan hukum acara pidana secara keseluruhan.
Yang sebagaimana diatur didalam KUHAP.3
Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa pembuktian adalah ‛usaha
dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak
mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan
agar supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan
keputusan seperti perkara tersebut‛. Sedangkan menurut Darwan , bahwa
pembuktian adalah ‛pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana

3

Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti (Jakarta: Ghalia, 1983), 12.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakaukannya, sehingga
harus mempertanggungjawabkannya.4
Menurut

Sudikno

Mertokusumo

menggunakan

istilah

membuktikan, dengan memberikan pengertian, sebagai berikut:5
a. Kata membuktikan dalam arti logis, artinya memberi kepastian yang
bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak
memungkinkan adanya bukti-bukti lain.
b. Kata membuktikan dalam arti konvensional, yaitu pembuktian yang
memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan
kepastian yang nisbi atau relatif, sifatnya yang mempunyai tingkatantingkatan:
1) Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka, maka kepastian ini
bersifat intuitif dan disebut conviction intime.
2) Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka disebut

conviction raisonnee.
3) Kata membuktikan dalam arti yuridis, yaitu pembuktian yang
memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa
yang terjadi.
Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana
yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,
sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang
mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima,
4

Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar ..., 242.
Ibid, 242.

5

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

menolak dan menilai suatu pembuktian. Adapun sumber-sumber hukum
pembuktian adalah, sebagai berikut:
a. Undang-undang
b. Doktrin atau ajaran
c. Yurisprudensi.6
Kekuatan pembuktian dalam hukum acara pidana terletak didalam
Pasal 183 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, yang berbunyi ‚hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

sesorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi

dan

bahwa

terdakwalah

yang

bersalah

melakukannya.‛

Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa seorang hakim dalam memutuskan
suatu perkara pidana harus berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah.
Apabila sebaliknya maka terdakwa tidak dapat diajutuhi hukuman atas
tindakannya.
Menurut Andi Hamzah, teori dalam sistem pembuktian, yakni
sebagai berikut:
a. Sistem atau teori berdasarkan berdasarkan Undang-undang secara
psoitif (positive wetteljik bewijstheorie)
b. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja
(conviction intime)

6

Hari Sasongko dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa
dan Praktisi ( Bandung: Mandar Maju, 2003), 10.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

c. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan
yang logis (laconviction raisonnee)
d. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-undang secara
negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie)
Adapun pembahasan lebih lanjut mengenai keempat teori dalam
sistem pembuktian hukum acara pidana, sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh pakar ahli hukum pidana, yakni sebagai berikut:
a. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positive wetteljik

bewijstheorie).
Menurut Simons, bahwa sistem atau teori pembuktian berdasar
undang-undang secara positif (positif wettelijke bewijs theorie).
‚untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan
mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang
keras‛.7
b. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja (conviction intime)
Merupakan suatu pembuktian dimana proses-proses menentukan
salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian
keyakinan hakim. Seorang hakim tidak terikat oleh macam-macam alat
bukti yang ada, hakim dapat memakai alat bukti tersebut untuk
memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa, atau mengabaikan

7

Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar...,245.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

alat bukti dengan hanya menggunakan keyakinan yang disimpulkan
dari keterangan saksi dan pegakuan terdakwa.8
c. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim secara logis (conviction

raisonnee)
Bahwa suatu pembuktian yang menekankan kepada keyakinan
seoranng hakim berdasarkan alasan yang jelas. Jika sistem pembuktian

conviction intime memberikan keluasan kepada seorang hakim tanpa
adanya pembatasan darimana keyakinan tersebut muncul, sedangkan
pada sistem pembuktian conviction raisonnee merupakan suatu
pembuktian yang memberikan pembatasan keyakinan seorang hakim
haruslah berdasarkan alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan
menjelaskan atas setiap alasa-alasan apa yang mendasari keyakinannya
atas kesalahan seorang terdakwa.9
d. Pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif (negatief

wettellijk bewijs theotrie)
Merupakan suatu percampuran antara pembuktian conviction

raisonnee dengan system pembuktian menurut undang-udanng secara
psoitif. Rumusan dari sitem pembuktian ini adalah, salah atau tidaknya
seorang terdakwa ditentukan keyakinan hakim yang didasarkan kepada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.10

8

Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan di
Indonesia) (Malang: Setara Press, 2014), 171.
9
Ibid, 171.
10
Ibid, 171.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

Adapun alat bukti yang sah sebagaimana diatur didalam pasal 184
ayat (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, yakni sebagai berikut:
a. Keterangan sakasi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Kelima alat bukti tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang
sama dalam persidangan acara pidana. tidak ada pembedaan antar masingmasing alat bukti satu sama lain. Urutan sebagaimana yang diatur
didalam pasal tersebut hanyalah urutan sebagaimana dalam pemeriksaan
persidangan.

2. Kedudukan saksi dalam Hukum Acara Pidana.
Pengertian keterangan saksi sebagaimana yang diatur di dalam
pasal 1 ayat (27) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana. bahwa ‚ keterangan saksi adalah salah satu alat bukti

dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuan itu.‛ Sebagaima yang

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

telah dijelaskan diatas bahwa diakatakan sebagai seorang saksi memiliki
tiga kriteria yakni:11
1) dengar sendiri
2) lihat sendiri
3) alami sendiri
Sebagai alat bukti, tidak semua keterangan saksi dapat dinilai
sebagai alat bukti dalam suatu persidangan, terdapat syarat-syarat
tertentu agar keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti didalam
persidangan untuk membuat ketarangan dalam suatu perkara. Adapun
syarat-syarat tersebut yakni sebagai berikut:12
1) dinyatakan didalam sidang pengadilan secara langsung
2) keterangan tersebut diberikan dibawah sumpah
3) keterangan seorang saksi bukan saksi, bahwa pada prinsipnya
KUHAP mensyaratkan lebih dari seorang saksi, akan tetapi prisip ini
dapat disimpangi apabila keterangan seorang saksi tersebut didukung
oleh alat bukti yang lainnya
4) Dalam hal keterangan saksi yang berdiri sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat dinilai sebagai alat bukti apabila
keterangan para saksi tersebut saling terkait dan berhubungan satu
dengan lainnya
5) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi lainnya.

11

Tinjau lebih dalam Pasal 1 ayat (2) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.
12
Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana..., 175.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

6) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lainnya.
7) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi atau tidaknya keterangan itu
dipercaya patut dipertimbangkan oleh hakim dalam menilai
keterangan saksi
Saksi menurut sifatnya dalam sidang pembuktian dapat dibagi
menjadi dua golongan , yaitu sebagai berikut:13
a) Saksi a charge (saksi yang memberatkan terdakwa)
saksi ini adalah saksi yang telah dipilih dan diajukan oleh penuntut
umum, dengan keterangan atau kesaksian yang diberikan akan
memberatkan terdakwa, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 160
Ayat (1) Huruf C Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
b) Saksi a de charge (saksi yang meringankan atau mengutungkan
terdakwa)
Saksi ini dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau
penasihat hukum, yang mana keterangan atau kesaksian yang diberikan
akan meringankan atau mengutungkan terdakwa, sebagaimana yang
diatur di dalam Pasal 160 Ayat (1) Huruf C Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

13

Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar...,254-255.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

3. Kedudukan Saksi Ahli/ keterangan ahli menurut Hukum Acara
Pidana.
Kehadiran seorang ahli dalam memberikan keterangan suatu
penyidikan terjadinya tindak pidana menjadi sangat penting dalam
semua tahap-tahap penyidikan, baik dalam tahap penyelidikan,
penindakan, pemeriksaan maupun penyerahan berkas perkara kepada
penuntut umum. Tanpa kehadiran seorang ahli dalam memberikan
atau menjelaskan suatu masalah akandapat dibayangkan bahwa
penyidik akan mengalamai kesulitan dalam usaha mengungkap suatu
tindak pidana, terutama tindak pidana berdimensi tinggi.14
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan suatu perkara (Pasal 1 Ayat 28 Undang- undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Pengaturan dalam Kitab
Undang

Hukum

Acara

Pidana

tidak

mensyaratkan

dalam

mengkualifikasi sebagai ahli, namun beberapa pasal dalam KUHAP
telah mengkualifikasikan.15
Kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti tersebut sama
dengan kedudukan saksi lainnya, yakni sebagai alat bukti yang sah
menurut undang-undang. Penentuan sebagai seorang ahli dalam

14

Ibid, 259.
Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan di
Indonesia)..., 176.
15

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

persidangan ditentukan diputuskan oleh hakim dengan proses
pemeriksaan pendahuluan.16
Menurut A Nasution bahwa pengertian tentang ahli tidak
harus merujuk pada sesorang yang memperoleh pendidikan khusus
atau orang-orang yang mempunyai ijasah tertentu. Setiap orang
menurut hukum acara pidana dapat diangkat sebagai ahli, asal saja
mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai
sesuatu hal, atau memiliki pengetahuan atau pengalaman tentang hal
tersebut. 17
Seorang

ahli

forensik

tidak

mesti

menyaksikan

atau

mengalami peristiwa secara langsung suatu tindak pidana, akan tetapi
berdasarkan keahlian, ketrampilan, pengalaman maupun pengetahuan
yang ia miliki dapat memberikan keteranganketerangan sebab akibat
suatu peristiwa atau fakta tertentu dari alat bukti yang ada, kemudian
menyimpulkan pendapatnya untuk membantu membuat terangnya
suatu perkara.18
Produk hasil pemeriksaan ahli forensik ini merupakan bukti
materiil yang obyektif dan ilmiah serta merupakan salah satu alat
bukti yang sulit disangkal oleh terdakwa dalam sidang pengadilan.

16

Harrys Pratama dan Usep Saepullah, Hukum Acara Pidana Khusus (Penundaan Eksekusi Mati
Bagi Terpidana Mati di Indonesia, Kasus Tipikor, Narkoba, Teroris, Pembunuhan, dan Politik)
(Bandung: Pustaka Setia, 2016), 235.
17
Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan di
Indonesia)..., 176.
18
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar..., 259.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

Dalam hal saksi ahli tanpa dasar yang sah menolak untuk
bersumpah atau berjanji, maka pemeriksaan tetap dilakukan,
sedangkan saksi ahli dengan surat penetapan hakim ketua sidang
dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan Negara paling lama
14 hari (Pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP). Sesuai ketentuan pasal
ini keterangan ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji tidak
dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud
dalam pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP, tetapi hanyalah keterangan
yang dapat menguatkan keyakinan hakim.19
Persyaratan dan kriteria sebagai seorang saksi ahli tidak
diatur lebih lanjut dalam KUHAP. Seseorang dapat menjadi saksi
ahli apabila mempunya keahlian khusus di bidangnya, keahlian
khusus tersebut dapat diperolehnya baik itu dari pendidikan formal
ataupun
hakim

dari

pendidikan non

formal,

berdasarkan pertimbangan

nantinya

hukum

yang

pertimbangan
menentukan

seseorang tersebut dapat dikatakan menjadi saksi ahli. Namun
biasanya, latar belakang pendidikan dan sertifikasi yang dimiliki
seseorang serta pengalaman yang dimilikinya dapat menjadi
pertimbangan

oleh

hakim.

Sebagai

contoh hakim akan

mempertimbangkan seseorang dapat dikatakan sebagai saksi ahli
digital forensik apabila ia mempunyai sertifikasi di bidang digital

19

Ibid, 259.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

forensik dan banyak berurusan di dunia digital forensik tersebut.20
Debra Shinder mengungkapkan beberapa faktor dan kriteria yang
harus dimiliki oleh saksi ahli, antara lain adalah21 :
1) Gelar pendidikan tinggi atau pelatihan lanjutan di bidang
tertentu
2) Mempunyai spesialisasi tertentu
3) Pengakuan sebagai guru, dosen, atau pelatih di bidang tertentu
4) Lisensi Profesional, jika masih berlaku
5) Ikut sebagai keanggotan dalam suatu organisasi profesi, posisi
kepemimpinan dalam organisasi tersebut lebih bagus
6) Publikasi artikel, buku, atau publikasi lainnya, dan bisa juga
sebagai reviewer. Ini akan menjadi salah satu pendukung bahwa
saksi ahli mempunyai pengalaman jangka panjang
7) Sertifikasi teknis
8) Penghargaan atau pengakuan dari industri.Namun

apabila

kehadiran seorang saksi ahli dalam persidangan tersebut
kapabilitasnya atau hasil keterangan ahlinya diragukan oleh
salah satu

pihak, maka pihak tersebut dapat mengajukan

keberatan kepada hakim untuk selanjutnya berdasarkan penilaian
hakim untuk menerima keberatan tersebut atau tidak. Dan jika

20

Didik
Sudyana,
‚Etika
dan
Profesionalisme
Saksi
Ahli‛
dalam
https://www.academia.edu/16480565/Etika_dan_Profesionalisme_Saksi_Ahli
diakses
pada
tanggal 20 mei 2017.
21
D. L. Shinder, ‚Testifying as an expert witness in computer crimes cases,‛ techrepublic.com,
diakses pada tanggal 20 mei 2017

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

30

keberatan tersebut diterima, maka harus dicari saksi ahli lain
yang lebih mempunyai kapabilitas tersebut. Oleh karena itu,
pemilihan seorang saksi ahli harus selektif sehingga hasil
kesaksiannya tidak diragukan.
A. Teori Pembuktian menurut Hukum Acara Pidana Islam
1.

Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Islam
Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Islam disebut juga dengan
al-bayyinah, secara etimologi berarti keterangan, yaitu segala sesuatu
yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar). Al-bayyinah
di definisikan oleh para ulama fiqh sesuai dengan pengertian
etimologisnya, secara terminologi adalah membuktikan suatu perkara
dengan mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada batas
meyakinkan.
Menurut Hasbi As-Shidiqiy, membuktikan suatu perkara adalah:
‚memberikan keterangan dan dalil hingga dapat menyakinkan orang
lain‛.22
Menurut Sobhi Mahmasoni yang ditulis oleh Anshoruddin, yang
dimaksud dengan membuktikan suatu perkara adalah: ‚Mengajukan
alasan dan memberikan dalil sampai kepada batas yang menyakinkan‛.
Yang dimaksud menyakinkan ialah apa yang menjadi ketetapan atau
keputusan atas dasar penelitian dan dalil-dalil itu.23 Karena itu hakim

Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam...,129.
Anshoruddin, Hukum Pembuktian menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 114.
22

23

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

31

harus mengetahui apa yang menjadi gugatan dan mengetahui hukum allah
terhadap gugatan itu, sehingga keputusan hakim benar-benar mewujudkan
keadilan.
Menurut Roihan yang di maksud dengan membuktikan suatu perakara
adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan di muka persidangan dalam suatu perkara.24
Dalam sistem pembuktian, yaitu pengaturan tentang macam- macam
alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan cara-cara
bagaimana alat bukti tersebut dipergunakan dan bagaimana hakim harus
membentuk keyakinannya.25 Dimana hakim agar dapat menyelesaikan
perkara yang diajukan kepadanya dan penyelesaian itu memenuhi
tuntutan keadilan, maka wajib mengetahui hakekat dakwaan/gugatan, dan
mengetahui hukum Allah terhadap kasus tersebut.
Menurut Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah alat bukti adalah bukti yang
diajukan didepan pengadilan untuk menguatkan gugatan. Untuk
memberikan dasar kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang
didalilkan para pihak yang dibebani pembuktian diwajibkan mengajukan
alat-alat bukti untuk membuktikan peristiwa-peristiwa di muka
persidangan.26
Dipandang dari segi pihak-pihak yang berperkara, alat bukti artinya
alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara
24

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo, 2015), 144.
Har