Studi Komparasi antara madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali tentang Kafaah dalam Perkawinan.

STUDI KOMPARASI ANTARA MADZHAB SYAFI’I DAN
MADZHAB HANBALI TENTANG KAFAAH DALAM
PERKAWINAN

SKRIPSI

Oleh
Zahra
NIM. C01213094

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
Surabaya
2017

ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan dengan judul ‚Studi
Komparasi Antara Madzhab Syafi’i Dan Madzhab Hanbali Tentang Kafaah Dalam
Perkawinan‛. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tentang bagaimana
pandangan madzhab Syafi’i dan pandangan madzhab Hanbali tentang kafaah dalam

perkawinan dan bagaimana persamaan dan perbedaan antara madzhab Syafi’i dan
madzhab Hanbali tentang kafaah dalam perkawinan?
Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (text reading)
dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif-komparatif. Setelah melalui
pembahasan demi pembahasan, akhirnya dapat diketahui bahwasanya pandangan
madzhab Syafi’i tentang kafaah dalam perkawinan, meliputi: agama, nasab,
kemerdekaan, pekerjaan atau profesi dan harta, usia dan selamat dari aib. Dalam
pandangan madzhab Hanbali tentang kafaah dalam perkawinan, meliputi: agama,
nasab, kemerdekaan, pekerjaan dan harta.
Dari tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa persamaan dari kedua
madzhab, yaitu sepakat bila agamalah yang utama dalam kafaah, sedangkan sifat
yang lain hanya sebagai pelengkap. Perbedaannya, yaitu dalam madzhab Syafi’i
mensyaratkan harus selamat dari aib untuk menjadikan antara kedua mempelai itu
sekufu, sebab aib merupakan kemudharatan dan kemudharatan itu harus dihilangkan.
Begitu juga madzhab Syafi’i memasukkan usia dalam ranah kafaah yakni usia antara
kedua mempelai itu harus ideal. Dalam madzhab Hanbali tidak mensyaratkan
selamat dari aib dalam ranah kafaah sebab bila calon suami terdapat aib, maka bagi
calon perempuan boleh untuk memilih meneruskan pernikahannya atau tidak dan
pernikahanya sah. Bagi wali tidak memiliki hak untuk memilih meneruskan
pernikahan atau tidak, namun memiliki hak untuk mencegah dan melarangnya.

Dalam madzhab Hanbali tidak menyebutkan dan menjelaskan usia dalam ranah
kafaah.
Berdasarkan penelitian tersebut, untuk mewujudkan kebahagiaan rumah
tangga, salah satunya dapat diwujudkan melalui pasangan yang selaras atau kafaah.
Pada dasarnya, kafaah itu sendiri bukan merupakan syarat mutlak perkawinan namun
diperlukan dalam rumah tangga untuk memelihara kestabilan adat istiadat dari
kedua belah pihak.

vii

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ...................................................................................................i
PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................................ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................iii
PENGESAHAN ........................................................................................................iv
MOTTO ....................................................................................................................v
LEMBAR PERSEMBAHAN ...................................................................................vi

ABSTRAK ................................................................................................................vii
KATA PENGANTAR ..............................................................................................viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. x
DAFTAR TRANSLITERASI .................................................................................. xii
BAB

I

PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah .............................................. 9
C. Rumusan Masalah ...................................................................... 9
D. Kajian Pustaka ............................................................................ 10
E. Tujuan Penelitian ....................................................................... 13
F. Kegunaan Hasil Peneltian .......................................................... 14
G. Definisi Oprasional .................................................................... 14
H. Metode Penelitian ...................................................................... 15
I. Sistematika Pembahasan ............................................................ 21

BAB


II

PEMIKIRAN MADZHAB SYAFI’I TENTANG KAFAAH
DALAM PERKAWINAN .............................................................. 23
A. Latar Belakang Lahirnya Madzhab Syafi’i ................................ 23
1. Sejarah Ringkas Imam Syafi’i ............................................. 23
2. Pembangun Madzhab Syafi’i .............................................. 29
B. Kafaah menurut Pandangan Madzhab Syafi’i ........................... 43
x

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

1. Pengertian Kafaah ................................................................ 43
2. Sifat-sifat atau Ukuran Kafaah ............................................ 45
BAB

III

PEMIKIRAN MADZHAB HANBALI TENTANG KAFAAH

DALAM PERKAWINAN .............................................................. 62
A. Latar Belakang Lahirnya Madzhab Hanbali ............................. 62
B. Kafa’ah menurut Pandangan Madzhab Hanbali ....................... 68
1. Pengertian Kafaah ............................................................... 68
2. Sifat-sifat atau Ukuran Kafaah ........................................... 72

BAB

IV

ANALISIS KAFAAH DALAM PERKAWINAN MENURUT
MADZHAB SYAFI’I DAN MADZHAB HANBALI ...................... 79
A. Analisis Pandangan Madzhab Syafi’i Tentang Kafaah
Dalam Perkawinan ...................................................................... 79
B. Analisis Pandangan Madzhab Syafi’i Hanbali Tentang
Kafaah Dalam Perkawinan .......................................................... 84
C. Persamaan Dan Perbedaan Antara Madzhab Syafi’i Dan
Madzhab Hanbali tentang Kafaah Dalam Perkawinan .............. 87

BAB


V

PENUTUP ......................................................................................... 91
A. Kesimpulan ................................................................................. 91
B. Saran ........................................................................................... 92

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan sunnatulla>h yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk

berkembang biak dan melestarikan hidupnya.1
Dalam al-Quran dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup
berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia,
sebagaimana firman-Nya dalam surat Az-Zariyat ayat 49 :2
       

‚Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah‛.3
Hukum islam juga ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara
perorangan maupun secara masyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di
akhirat.

Kesejahteraan

masyarakat

akan

tercapai


dengan

terciptanya

kesejahteraan yang sejahtera, karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2010), 6.
2
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003), 12.
3
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: t.p., 1971), 862.

1

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2


masyarakat, sehingga kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada
kesejahteraan keluarga. Demikian pula kesejahteraan hidup keluarganya. Islam
mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi sampai secara terperinci. Yang
demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan
keluarga. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu perkawinan sangat
dianjurkan oleh Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan. Tujuan itu
dinyatakan, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah.4
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera
artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan
hidup lahir dan batinnya sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang
antar anggota keluarga.5
Terciptanya kebahagiaan dalam perkawinan salah satunya faktor kafaah,
karena kafaah merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan
suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau
kegoncangan rumah tangga.
Kafaah adalah persamaan derajat antara suami dengan istri. Kekufuan itu
diperlukan dalam suatu rumah tangga, yakni untuk memelihara kesetabilan dan

kesesuaian adat istiadat dari kedua belah pihak. Tidak jarang hal ini dapat
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat …, 14.
Ibid., 22.

4

5

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

mempengaruhi kelancaraan jalannya roda rumah tangga. Oleh sebab itu Islam
memperhatikan masalah ini, meskipun bukan syarat atau rukun nikah.6
Dalam istilah fikih, ‚sejodoh‛ disebut dengan ‚kafaah‛ artinya ialah sama,
serupa, seimbang atau serasi.7 Kafaah atau kufu’ menurut bahasa artinya setara,
seimbang, keserasian atau kesesuian, serupa, sederajat atau sebanding. Yang
dimaksud dengan kafaah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut hukum Islam
yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masingmasing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan atau laki-laki
sebanding dengan calon istrinya sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat

sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan dalam hal kafaah
adalah keseimbangan, keharmonisan dan keserasian terutana dalam hal agama,
yaitu akhlak dan ibadah.8
Dalam buku al-Fiqh al-Islami> wa Adillatuhu, menyatakan makna kafaah
menurut bahasa adala sama atau setara. Dikatakan, si fulan setara dengan si

fulanah, maksudnya sebanding. Di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW yang
artinya: ‚darah orang-orang Islam setara‛. Maksudnya, sebanding, maka darah
orang yang rendah mereka sama dengan darah orang yang tinggi. Dalam hukum
Islam persesuaian disebut juga kafaah yang berasal dari bahasa Arab dari kata al-

6

Moch Anwar, Dasar-dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama
(Bandung: CV. Diponegoro, 1991), 51.
7
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap …, 56.
8
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munahakat…, 96.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

Kufwu yang berarti sama atau serata, contohnya adalah dalam al-Quran surat alIkhla>s{ ayat 4:
     

‚ Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia‛.9
Maksudnya, tidak ada bandingannya. Dalam istilah fuqaha, penyetaraan di
antara suami istri yang dapat menghilangkan rasa malu dalam perkara khusus.10
Kafaah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi
tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan, karena menurut pendapat
jumhur ulama kafaah merupakan syarat dalam lazimnya perkawinan, bukan syarat
sahnya perkawinan. 11 Mereka mengikuti dalil berikut ini, yaitu sabda Rasulullah
SAW:

ِ ِ
ِ
ْ َ‫َ د ََُا ِ َْا ِ ُ َ د ََُا َس ِ ٌد ْاَُ ْ ِ َ ْن أَِ ن‬
ُ ‫صلى ل‬
َ ‫لََ َ د َِي َمن َ َ ُ طَْةَ َا ُسوا ل‬
ََ َََ‫اا أَََ ِا َا ُك ْم َو ِ ٌد َوِا أََا ُك ْم َو ِ ٌد أ‬
َ ‫َلَْ َو َسل َم ِ َو َس ِ أَ ِاا ْ ِ ِ َُ َق‬
ُ ‫اا َا أَ ُ َ ا‬
ِ َ
ِ
ِ ِ
ِ
َِ ََ ْ َ‫َس َوَد َلَى أ‬
ْ
ْ ‫َس َوَد َوََ أ‬
ْ ‫ل َ َ َِ ٍ َلَى أَ ْ َ م ٍ َوََ َ َ م ٍ َلَى َ َِ ٍ َوََ َْ ْ ََ َلَى أ‬
َ ‫ِا ُ ْق َوى ُاو ه أ د‬

‚Telah menceritakan kepada kami Isma'il Telah menceritakan kepada
kami Sa'id Al Jurairi dari Abu Nadhrah telah menceritakan kepadaku
orang yang pernah mendengar khutbah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
salam ditengah-tengah hari tasyriq, beliau bersabda: "Wahai sekalian

Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya …, 1118.
Wahbah Az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami> wa Adillatuhu jilid IX (Damaskus: Darul Fikir, 2007), 213214.
11
Ibid., 221.
9

10

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

manusia! Rabb kalian satu, dan ayah kalian satu, ingat! Tidak ada
kelebihan bagi orang arab atas orang ajam dan bagi orang ajam atas orang
arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit
hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan
ketakwaan. (HR. Ahmad)12
Masalah kafaah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran adalah sikap
hidup yang lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan dan
sebagainya. Seorang laki-laki yang saleh walaupun dari keturunan rendah berhak
menikah dengan perempuan yang berderajat tinggi. Begitu pula laki-laki yang
fakir sekalipun, ia berhak dan boleh menikah dengan perempuan yang kaya raya,
asalkan laki-laki muslim dan dapat menjauhkan diri dari minta-minta serta tidak
seorang pun dari pihak walinya menghalangi atau menuntut pembatalan.13
Dalam hadis Nabi dijelaskan bahwa yang menjadi ukuran untuk memilih
calon mempelai perempuan, yaitu ada 4 antara lain kecantikan, keturunan, harta
dan agamanya, namun lebih ditekankan dalam agama agar selamat dalam
kehidupan. Sabda Nabi yaitu:

‫ُ َ ََُْ َا ِض َى‬
‫َوِ ِد ِْ َ ا‬

َِ‫اا َ د َِي َس ِْ ُد ْ ُن أَِ َس ِْ ٍد َ ْن أَِْ ِ َ ْن أ‬
َ َ‫دد َ د ََُا َْ َ َ ْن َُُْ ِد هِ ق‬
ٌ َ ‫َ د ََُا ُم‬
‫اا ُُْ َك ُح ْ َم ْأَُ ََِْاَ ٍ ِ َما َِا َو ِاَ َ ِ َ ا َو ََا َِا‬
َ َ‫صلى هً َلَْ ِ َو َسل َم ق‬
َ ِ ِ ‫هً َْ ُ َ ِن‬
ِ َ ِ ‫َاظْ َف‬
َ ‫ت َ َد َو ُاو ه خاا‬
ْ َِ َ ‫ِد ْ ِن‬
ْ

Abu> Hajir Muhammad Sa’i>d bin Basyu>ni>y, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (Bairut: Da>r al-Kutub
al-Ilmiyah, t.t.), 1272.
13
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap …, 57.
12

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

‚Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada
kami Yahya> dari ‘Ubaidilla>h, ia berkata telah menceritakan kepadaku
Sa‛i>d bin Abi> Sa’i>d dari ayahnya dari Abi> Hurairah dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Salam, beliau bersabda: wanita dinikahi karena empat perkara
yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, maka
pilihlah karena agamanya, maka akan selamat engkau‛. (HR. Bukha>ri>)14
Berdasarkan hadis di atas, jumhur fuqaha sepakat bahwa yang menjadi
ukuran kafaah adalah agama, nasab, kemerdekaan dan profesi. Dalam madzhab
Syafi’i yang menjadi ukuran kafaah yaitu agama, nasab merdeka, profesi, selamat
dari aib dan harta serta usia. Dalam hal agama, madzhab Syafi’i menyatakan
bahwa seharusnya bagi laki-laki sama dengan perempuan dalam kebaikan dan
istiqamahnya. Bila laki-laki fasiq sebab zina, maka tidak sekufu dengan
perempuan yang terjaga kebaikannya, meskipun laki-laki tersebut telah taubat
dengan sebaik-baiknya taubat, karena taubat dari zina tidak menghilangkan
kehinaan pendengaran.15
Dalam hal nasab, madzhab Syafi’i menyatakan bahwa orang ajam tidak
sekufu dengan orang arab meskipun nenek moyang mereka dari orang arab.
Dalam hal merdeka, bahwa pemuda budak tidak sekufu dengan perempuan
merdeka, dari segi ayah bukan ibunya. Dalam hal profesi bahwa anak pejabat
tidak sekufu dengan anak pedagang dan anak pedagang tidak sekufu dengan anak

Abu> Abdullah Muhammad bin Isma>’i>l al-Bukha>ri, S{ah>{ih{ Bukha>ri> juz III (Bairut: al-Maktabah al‘As{riyah, 2001), 1639.
15
Abdur Rahman al-Jaziry, Al-fiqh ‘ala al-Madza>hibi al-Arba’ah juz IV (Qa>hirah: Dar al-hadis, t.t.),
51.
14

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

hakim karena sudah menjadi kebiasaan atau urf.16 Dalam hal harta, sebagian
madzhab Syafi’i menjadikan harta sebagai ukuran kafaah, sedangkan sebagian
yang lain tidak menjadikan harta dalam ukuran kafaah karena Nabi Muhammad
SAW memilih yang fakir, dan harta itu bisa hilang serta lenyap. Dalam hal
selamat dari aib, yakni aib yang bisa menyebabkan fasakh nikah, aib yang
menetapkan untuk khiya>r dan yang umum bagi laki-laki maupun perempuan serta
masih ada kesempatan untuk sembuh.17
Adapun dalam madzhab Hanbali ukuran kafaah yaitu agama, pekerjaan,
kemakmuran dari segi uang, merdeka dan nasab. Dalam hal agama bahwa lakilaki yang pengecut, fasiq tidak sekufu dengan perempuan yang solehah, adil dan
terjaga karena laki-laki tersebut ditolak persaksiannya. Dalam hal pekerjaan
bahwa orang yang memiliki pekerjaan rendah atau hina tidak sekufu dengan orang
yang pekerjaannya mulia atau tinggi seperti tukang sampah tidak sekufu dengan
anak pedagang. Dalam hal kemakmuran dari segi uang yakni yang menjadi
kewajibannya dalam hal mahar dan nafkah, maka orang kaya tidak sekufu dengan
orang miskin.18
Dalam masalah kafaah haknya siapa, para jumhur ulama sepakat bahwa
kafaah merupakan hak perempuan dan para walinya. Jika seorang perempuan
kawin dengan orang yang tidak setara, maka para walinya memiliki hak untuk
16

Ibid., 52.
Abi Muhammad Husain Ibn Mas’ud, Tahdhi>b fi Fiqhi Imam Syaf’i (Bairut: Dar al-Kutb al‘Ilmiyah, t.t.), 298.
18
Abdur Rahman al-Jaziry, Al-fiqh ala al-Madza>hibi al-Arba’ah juz IV …, 52.
17

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

menuntut pembatalan. Madzhab Syafi’i berpendapat jika wali yang paling dekat
mengawinkannya dengan keridhaannya, maka bagi wali yang lebih jauh tidak
memiliki hak untuk menolaknya, karena tidak ada hak baginya sekarang untuk
mengawinkannya. Madzhab Hanbali berpendapat, wali yang lebih jauh memiliki
hak untuk menolak dengan keridhaan wali yang lebih dekat, juga dengan
keridhaan sang istri untuk menolak rasa malu.
Dari sini dapat dilihat perbedaan pendapat antara madzhab Syafi’i dan
Hanbali dalam ranah kafaah, yaitu kemakmuran dari segi uang (harta). Yang
mana sebagian madzhab Syafi’i tidak menjadikan kemakmuran dari segi uang
dalam ranah kafaah. Madzhab Hanbali mensyaratkan kemakmuran sebagai ranah
kafaah karena manusia lebih merasa bangga dengan harta daripada kebanggaan
terhadap nasab. Selain itu, terdapat perbedaan dalam hal selamat dari aib. Yang
mana madzhab Syafi’i mensyaratkan selamat dari aib dalam ranah kafaah. Dalam
madzhab Hanbali tidak mensyaratkan selamat dari aib dalam ranah kafaah.
Dari perbedaan itulah peneliti tertarik untuk mengkaji tentang kafaah di
antara dua madzhab tersebut dan mengkomparasikan antara dua madzhab
tersebut sehingga dapat ditemukan titik perbedaan dan persamaan tentang kafaah
dalam perkawinan.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasikan inti
permasalahan yang terkandung di dalam judul ‚Studi Komparasi antara madzhab
Syafi’i dan madzhab Hanbali tentang Kafaah dalam Perkawinan‛, yaitu:
1.

Kafaah menurut pandangan madzhab Syafi’i.

2.

Kafaah menurut pandangan madzhab Hanbali.

3.

Persamaan kafaah antara madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali.

4. Perbedaan kafaah antara madzhab Hanbali dan madzhab Hanbali.
Agar tidak terjadi pelebaran masalah, maka penulis perlu memberi
pembatasan masalah.Yang menjadi pembahasan pokok dalam penulisan ini adalah
mengkomparasikan persamaan dan perbedaan kafaah antara madzhab Syafi’i
dengan madzhab Hanbali serta menganalisis persamaan dan perbedaan kafaah
antara dua madzhab tersebut.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang dan identifikasi masalah di atas,
dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti adalah sebaga berikut :
1. Bagaimana pandangan madzhab Syafi’i tentang kafaah dalam perkawinan?
2. Bagaimana pandangan madzhab Hanbali tentang kafaah dalam perkawinan?
3. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara madzhab Syafi’i dan madzhab
Hanbali tentang kafaah dalam perkawinan?

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada penelitian ini adalah pada dasarnya untuk
mendapatkan gambaran topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang
pernah dilakukan oleh penelitian sebelumnya sehingga diharapkan tidak ada
pengulangan materi secara mutlak. Mengenai masalah kafaah sudah banyak yang
membahas, namun penelitian yang membahasa tentang kafaah dan hampir sama
dengan ini yaitu :
1. Skripsi saudara Mujahidul Watoni, mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya,
menyelesaikan pendidikan pada tahun 1999, di dalam tulisannya yang berjudul
‚Studi komparatif tentang kafaah dalam perkawinan menurut Imam Syafi’i
dan Imam Malik‛. Hasil kesimpulan dari skripsi tersebut, yaitu ulama Maliki
berpendapat bahwa kafaah itu dipertimbanhkan, tetapi pertimbangannya
dengan istiqamah dan akhlak, maka nasab, pekerjaanm kekayaan tidak di
jadikan pertimbangan. Ulama Syafi’i berpendapat bahwa kafaah mencakup
kemerdekaan, kebangsaan, keagamaan dan kekayaan. Sebab terjadinya
perbedaan adalah sebab eksternal, yaitu perbendaharaan hadis dari masingmasing mujtahid berbeda dan perbedaan pandangan dalam bidang politik juga
menimbulkan pendapat yang berbeda dalam menetapkan hukum. Sebab

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

internal, yaitu kedudukan suatu hadis yang di buat pijakan keduanya,
perbedaan penggunaan sumber hukum.19
2. Skripsi saudara Ahmad Zainal Fahrudin, mahasiswa IAIN Sunan Ampel
Surabaya, menyelesaikan pendidikan pada tahun 2002, di dalam tulisannya
yang berjudul ‚Study komperasi antara pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan
Ja’far as-Siddiq tentang kafaah dalam perkawinan‛. Hasil kesimpulan dari
skripsi tersebut, yaitu Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa kafaah adalah
kesamaan dalam lima hal antara lain keagamaan, pekerjaan, kelapangan harta,
kemerdekaan dan nasab. Imam Ja’far as-Siddiq tidak mensyaratkan adanya
kafaah dalam hal nasab, kemerdekaan, pekerjaan dan kelapangan harta, akan
tetapi hanya mensyaratkan adanya kafaah dalam hal keagamaan saja dan yang
menjadi tolak ukurnya adalah Islam dan iman. Persamaan antara keduanya
terletak dalam masalah keagamaan saja, sedangkan yang lain berbeda
pendapat. Mengenai perbedaan, penulis sependapat dengan pendapat Imam
Ja’far as-Siddiq yang hanya mensyaratkan adanya unsur keagamaan saja,
karena hal inilah yang menjadi pokok dari ajaran Islam serta sesuai dengan
jiwa/ruh yang terkandung dalam ajaran Islam.20
3. Skripsi saudara Muhammad Ahmad, mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya,
menyelesaikan pendidikan pada tahun 2011, di dalam tulisannya yang berjudul
Mujahidul Wathoni, ‚Studi Komparatif tentang Kafaah dalam Perkawinan menurut Imam Syafi’i
dan Imam Malik‛(Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 1999), 68.
20
Ahmad Zainal Fahrudin, ‚Studi Komparatif anatara pendapat Ahmad bin Hanbal dan Ja’far assiddiq tentang Kafaah dalam Perkawinan‛(Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2002), 68-69.
19

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

‚kafaah dalam pernikahan komunitas Arab, alawiyyin di Pasuruan Jawa
Timur‛ lebih fokus pada upaya menjaga kemuliyaan dzat ahl al-bait,
perkawinan terhadap wanita-wanita keturunan mulia (syarifah) dengan orang
laki-laki yang bukan keturunan syarif. Hasil kesimpulannya bahwa keturunan
syarifah harus menjaga keturunan Nabi karena silsilah Ilahi yang tidak semua
orang miliki. Jadi, orang yang memiliki keturunan yang mulia hanya sekufu
dengan yang memiliki keturunan yang mulia.21
4. Skripsi saudara Habib Luqman Hakim, mahasiswa IAIN Sunan Ampel
Surabaya, menyelesaikan pendidikan pada tahun 2012, di dalam tulisannya
yang berjudul ‚Studi Komparasi tentang Ketentuan Kafaah menurut Golongan
Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan pendapat Hanafiyah‛. Dalam skripsi ini
mengkomparisakan tentang ketentuan kafaah antara golongan Ahmadiyah
dengan Hanafiyah. Kesimpulannya, golongan Ahmadiyah mensyaratkan bahwa
kesepadaan ada pada 4 hal, yaitu kekayaan, kecantikan z{ahir, nasab dan agama.
Golongan Ahmadiyah menyatakan agama sebagai doktrin pegangan hidup
yang tidak bisa ditolelir lagi. Hanafiyah menjelaskan bahwa yang menjadikan
sebagai ketentuan kafaah yaitu nasab, agama, taqwa, pekerjaan, merdeka,
harta kekayaan. Adapun kedua golongan tersebut berbeda pendapat dalam
batasan makna dan hukum dalam ketentuan kafaah dalam hal nasab, agama,

Muhammad Ahmad, ‚Kafaah dalam Perkawinan Komunitas Arab, Alawiyyin di Pasuruan Jawa
Timur (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2011), 79.

21

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

harta dan kekayaan. Hanafiyah menyatakan bahwa kafaah mernjadikan syarat
lazim dalam perkawinan.22
Secara singkat pembahasan kafaah di atas bahwa Imam Malik
menyatakan harus kafaah dalam segi istiqamah dan akhlaknya dan Imam Jafar
as-siddiq harus sama dalam masalah keagamaan saja. Pembahasan yang akan
dikaji dalam skripsi ini adalah lebih difokuskan pada masalah kafaah dalam
segi keselamatan dari aib yang menjadi syarat menurut madzhab Syafi’i,
namun tidak dengan madzhab Hanbali. Selain itu, madzhab Syafi’i
menyebutkan dan menjelaskan usia dalam ukuran ranah kafaah, sedangkan
madzhab Hanbali tidak menyebutkan. Begitu juga dalam penelitian ini, yaitu
membandingkan dan menganalisis pendapat dan pandangan dari madzhab
Syafi’i dan madzhab Hanbali tentang kafaah dalam perkawinan.

E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari studi ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pandangan madzhab Syafi’i tentang kafaah dalam perkawinan.
2. Mengetahui pandangan madzhab Hanbali tentang kafaah dalam perkawinan.
3. Mengetahui persamaan, perbedaan antara madzhab Syafi’i dan madzhab
Hanbali tentang kafaah dalam perkawinan.

Habib Luqman Hakim, ‚Studi Komparasi tentang Ketentuan Kafaah menurut Golongan Jemaat
Ahmadiyah Indonesia dengan Pendapat Hanafiyah‛ (Skripsi – IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012),
89
22

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

F. Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun kegunaan dari penyusunan skripsi ini, adalah:
1. Sebagai sarana untuk mengembangkan wacana berfikir umat tentang hukum
Islam, khususnya bagi yang mengikuti pendapat madzhab.
2. Sebagai sumbangan pemikiran mengenai cara pemecahan masalah menurut
syariat Islam, bila ada perkawinan terhambat disebabkan karena kafaah.
3. Dapat dijadikan bahan untuk menyusun hipotesis bagi penelitian berikutnya
tentang kafaah dalam perkawinan.

G. Definisi Operasional
Berdasarkan judul skripsi ini ‚Studi Komparasi Antara Madzhab Syafi’i
Dan Madzhab Hanbali Tentang Kafaah Dalam Perkawinan‛. Untuk menghindari
kesalahpahaman atau interpretasi pembaca terhadap judul tersebut, perlu
dijelaskan beberapa variabel yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Studi Komparasi yaitu penyelidikan deskriptif yang berusaha mencari

pemecahan masalah melalui analisis tentang persamaan dan perbedaan
fenomena yang diselidiki.23

Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi Belajar Mengajar dan Teknik Metode Mengajar
(Bandung: Tarsito, 1986), 84.

23

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

2. Madzhab Syafi’i yaitu pendapat Ulama Syafi’iyah. Madzhab ini mulanya

tumbuh di Iraq dan Mesir, kemudian tersiar luas di Iraq, Mesir, Khurasan,
Afganistan, India, Indonesia dan lain-lain.
3. Madzhab Hanbali yaitu pendapat Ulama Hanabilah. Madzhab ini tumbuh di

Iraq dan kemudian tersiar luas dan akhirnya penganut yang banyak adalah di
Nejed, Negeri Ibnu Sa’ud, keluarga yang memerintah Sa’udi Arabia
sekarang.24
4. Kafaah yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami

sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan
perkawinan.25

H. Metode Penelitian
1. Data Yang Dikumpulkan
Adapun data yang diperlukan dalam skripsi ini adalah data literer yang
berkaitan dengan pemikiran madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali tentang
kafaah.
2. Sumber Data
Sumber data adalah subyek dimana data dapat diperoleh. Dalam skripsi
ini sumber data diperoleh dari kitab-kitab, buku-buku yang terkait dengan
pokok pembahasan tersebut.
24
25

Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1994), 53.
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat …, 96.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

Sebagai sumber data primer pendapat madzhab Syafi’i diperoleh dalam
kitab al-Ha>wi> al-kabi>ri, al-Ah{wa>l ash-Shah{si{ yyah fi> al-Madza>hibi asy-Sya>fi’i>,

Raudhah ath-Tha>libi>n

dan ‘i’a>nah ath-Tha>libi>n, sedangkan sumber data

primer pendapat madzhab Hanbali diperoleh dalam kitab kasha>fu al-Qina>’, al-

Mughni> dan al-ka>fi>.
Adapun data sekunder yang berfungsi sebagai penunjang data primer
diperoleh dari kitab-kitab dan buku-buku yang relevan dalam permasalahan
tersebut.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam skripsi ini, yaitu
dengan cara mengumpulkan kitab-kitab madzhab Syafi’i dan madzhab
Hanbali, membaca, mengartikan, mencermati, menelaah dan mencatat hal-hal
yang dianggap penting serta mengelompokkan hal-hal yang sesuai dengan data
yang diperlukan, lebih lanjut diadakan analisa data sesuai dengan keperluan
studi.
4. Teknik Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari studi kepustakaan dianalisa secara kualitatif
melalui tahap-tahap sebagai berikut:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

a. Organisasi data, yaitu cara ini dilakukan dengan membaca berulang kali
data yang ada sehingga peneliti dapat menemukan data yang sesuai dengan
penelitiannya dan membuang data yang tidak sesuai.26
Unsur yang di lakukan oleh peneliti, yaitu
1) Membaca kitab-kitab madzhab Syafi’i tentang kafaah dalam perkawinan,
sehingga dapat menemukan pandangan-pandangan madzhab Syafi’i
tentang kafaah beserta katagori dalam kafaah.
2) Membaca

kitab-kitab

madzhab

Hanbali

tentang

kafaah

dalam

perkawinan, sehingga dapat menemukan pandangan-pandangan madzhab
Hanbali tentang kafaah beserta katagori dalam kafaah.
b. Editing, yaitu pemeriksaan ulang terhadap semua data yang penulis peroleh
terutama dari segi kelengkapan, keterbacaan, kejelasan makna, kesesuaian
dan keselarasan data yang satu dengan yang lainnya, relevansi dan
keseragaman satuan atau kelompok data.27
Unsur yang di lakukan oleh peneliti, yaitu:
1) Mengoreksi ulang kitab-kitab madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali
tentang kafaah terkait kelengkapan isi, kejelasan makna dan kesesuaian
kalimat dalam kitab-kitab tersebut.

26

Ariesto Hadi Sutopo dan Adrianus Arief, Terampil Mengelolah Data Kualitatif dengan Nvivo
(Jakarta: Kencana, 2010), 8.
27
Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum (Surabaya: UIN SA Press, 2014), 197.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

2) Memeriksa kembali kitab-kitab tersebut apakah sudah relevan, karena
kemungkinan ada kalimat atau data yang tidak logis dan meragukan.
c. Katagori, yaitu menentukan kategori yang merupakan proses yang cukup
rumit karena peneliti harus mampu menggelompokkan data yang ada suatu
kategori dengan tema masing-masing, sehingga pola keteraturan data
menjadi terlihat jelas.28 Selain itu, melakukan klasifikasi konsep
perbandingan satu dengan yang lain terkait data yang telah dikelompokkan,
sehingga menjadi jelas persamaan dan perbedaan antara data tersebut.
Unsur yang di lakukan oleh peneliti, yaitu:
1) Menentukan dan menggelompokkan pandangan madzhab Syafi’i tentang
kafaah dalam perkawinan sesuai kitab-kitab yang telah di baca, sehingga
terlihat secara jelas pandangan madzhab Syafi’i tentang kafaah.
2) Menentukan dan menggelompokkan pandangan madzhab Hanbali
tentang kafaah dalam perkawinan sesuai kitab-kitab yang telah di baca,
sehingga terlihat secara jelas pandangan madzhab Hanbali tentang
kafaah.
3) Melakukan klasifikasi perbandingan antara pandangan madzhab Syafi’i
dengan madzhab Hanbali, sehingga ditemukan persamaan dan perbedaan
di antara kedua pandangan madzhab tersebut.

28

Ariesto Hadi Sutopo dan Adrianus Arief, Terampil Mengelolah Data Kualitatif …, 8.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

d. Penemuan hasil, yaitu melanjutkan analisis terhadap hasil pengorganisasian
data dengan menggunakan kaidah-kaidah, dalil-dalil dan sebagainya,
sehingga

diperoleh

kesimpulan-kesimpulan

tertentu.

Kesimpulan-

kesimpulan ini diharapkan bahkan harus merupakan jawaban-jawaban dari
sebagian pertanyaan yang terdapat di dalam perumusan masalah.
Kesimpulan-kesimpulan tersebut berupa uraian deskriptif.29
Unsur yang di lakukan oleh peneliti, yaitu:
1) Melakukan analisis terhadap pandangan madzhab Syafi’i tentang kafaah
yang telah di organisasikan dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqih
menurut madzhab Syafi’i.
2) Melakukan analisis terhadap pandangan madzhab Hanbali tentang kafaah
yang telah di organisasikan dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqih
menurut madzhab Hanbali.
5. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data yang diperoleh, akan digunakan teknik
analisis yang berfungsi untuk menjelaskan dan menerangkan gejala-gejala
konkrit. Adapaun teknik analisis data dalam skripsi ini menggunakan:
a. Deskriptif Analisis, yaitu menjelaskan, memutuskan, menguraikan data
terkumpul, sehingga tergambar menjadi jelas. Dalam hal ini memberikan

29

Ibid., 8.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

gambaran secara tertulis dan general kadar kafaah dalam perkawinan
menurut madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali, serta argumentasinya.
Unsur yang di lakukan oleh peneliti, yaitu:
1) Menjelaskan, memaparkan dan menguraikan argumentasi pandangan
madzhab Syafi’i tentang kafaah dalam perkawinan (lihat dalam kitab al-

Ha>wi> al-Kabi>r juz 9 halaman 101-107, kitab H{a>shiyah i’a>nah athTha>libi>n juz 3 halaman 554-561, kitab Mughni> al-Muh{ta>j juz 3 halaman
164, kitab al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hibi al-Arba’ah juz 4 halaman 51-52).
2) Menjelaskan dan menguraikan argumentasi pandangan madzhab Hanbali
tentang kafaah dalam perkawinan (lihat dalam kitab Kasha>fu al-Qina>’ an

matni al-‘Iqna>’ juz 5 halaman 67-68, kitab al-Ka>fi> fi fiqh al-Ima>m
Ahmad bin H{anbal juz 3 halaman 21-23, kitab al-Mughni> fi fiqh alIma>m Ahmad bin H{anbal ash-Shaiba>ni> juz 7 halaman 26-29).
b. Komparasi Analisis, yaitu menguji perbandingan antara dua kelompok data
variabel serta dasar pemikiran.30 Perbandingan yang dipakai atas dasar
pemikiran madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali sehingga dapat diambil
kesimpulannya.

30

Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum …, 207.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

Unsur yang di lakukan oleh peneliti, yaitu:
1) Mengkomparasikan pandangan madzhab Syafi’i dengan madzhab
Hanbali tentang kafaah dalam perkawinan, sehingga terlihat secara jelas
persamaan ranah kafaah dalam pandangan kedua madzhab tersebut.
2) Mengkomparasikan pandangan madzhab Syafi’i dengan madzhab
Hanbali tentang kafaah dalam perkawinan, sehingga terlihat secara jelas
perbedaan ranah kafaah dalam pandangan kedua madzhab tersebut.

I. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan alur penulisan dan pembahasan dalam skripsi ini,
maka penulis membagi menjadi 5 bab dan dari masing-masing bab diuraikan
menjadi beberapa sub bab sebagai berikut:
Bab pertama, diawali pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah,
identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaan hasil penelitian, metode penelitian kemudian bab ini diakhiri
dengan sistematika pembahasan.
Bab kedua, memuat pemikiran madzhab Syafi’i tentang kafaah dalam
perkawinan. Bab ini membahas tinjauan umum madzhab Syafi’i tentang kafaah
meliputi latar belakang lahirnya madzhab Syafi’i, pengertian kafaah, hak-hak
kafaah dan sifat atau ranah kafaah secara rinci.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

Bab ketiga, pemikiran madzhab Hanbali tentang kafaah dalam
perkawinan. Bab ini membahas tinjauan umum madzhab Hanbali tentang kafaah
meliputi latar belakang lahirnya madzhab Hanbali, pengertian kafaah, hak-hak
kafaah dan sifat atau ranah kafaah secara rinci.
Bab keempat, memuat analisis pandangan madzhab Syafi’i dan madzhab
Hanbali, persamaan, perbedaan antara kedua madzhab tersebut tentang kafaah
dalam perkawinan.
Bab kelima, adalah bab yang terakhir yang berisi penutup yang memuat
tentang kesimpulan sebagai jawaban pokok penelitian dan saran dari penulis.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
PANDANGAN MADZHAB SYAFI’I TENTANG KAFAAH DALAM
PERKAWINAN

A. Latar Belakang Lahirnya Madzhab Syafi’i
1. Sejarah Ringkas Imam Syafi’i
Nama asli dari Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Gelar beliau
Abu Abdillah. Orang Arab kalau menuliskan nama biasanya mendahulukan
gelar dari nama, sehingga berbunyi: Abu Abdillah Muhammad bin Idris. Beliau
lahir di Gazza, bagian selatan dari Palestina, pada tahun 150 H, pertengahan
abad kedua Hijriyah. Ada ahli sejarah mengatakan bahwa beliau lahir di
Asqalan, tetapi kedua perkataan ini tidak berbeda karena Gazza dahulunya
adalah daerah Asqalan. Ketika beliau masih kecil bapaknya meninggal di
Gazza dan beliau menjadi anak yatim yang hanya diasuh oleh ibunya.1
Nenek moyang Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Abbas
bin Utsman bin Syafi’i bin Said bin Abu Yazid bin Hasyim bin Abdul
Muthalib bin Abdul Manaf bin Qushai. Abdul Manaf bin Qushai yang menjadi
nenek ke 9 dari Imam Syafi’i adalah abdul Manaf bin Qushai nenek yang ke 4
dari Nabi Muhammad SAW. Teranglah dalam silsilah ini bahwa Imam Syafi’i
senenek moyang dengan Nabi Muhammad SAW. Adapun dari pihak ibu yaitu

1

Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1994), 3.

23

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

Fatimah binti Abdullah bin hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.2 Ibu
Imam Syafi’i adalah cucu dari cucu Sahabat Ali bin Abi Thalib, memantu Nabi
dan Khalifah IV yang terkenal. Jadi baik dipandang dari segi keturunan darah,
maupun dari keturunan ilmu maka Imam Syafi’i yang kita bicarakan ini adalah
karib kerabat dari Nabi Muhammad SAW>. Gelar ‚Syafi’i‛ dari Imam Syafi’i
diambil dari nenek moyangnya yang keempat yaitu Syafi’i bin Saib.
Setelah usia Imam Syafi’i 2 tahun, ia dibawa ibunya kembali ke
Mekkah, yaitu kampung halaman beliau dan tinggal sampai usia 20 tahun (170
H). Selama beliau di Mekkah, beliau berkecimpung dalam menuntut ilmu
pengetahuan.
Dalam agama Islam yang sangat dipatuhi orang ketika itu, baik dalam
hadis-hadis Nabi maupun dalam al-Quran banyak sekali terdapat petunjukpetunjuk yang mengajurkan dan mengerahkan rakyat supaya belajar segala
macam ilmu pengetahuan, khususnya yang bertalian dengan agama. Sesuai
dengan ini maka Imam Syafi’i pada masa mudanya menghabiskan waktunya
untuk menuntut ilmu pengetahuan, khususnya yang bertalian dengan agama
Islam sesuai dengan kebiasaan anak-anak kaum Muslimin ketika itu. Markasmarkas ilmu pengetahuan ketika itu adalah di Mekkah, Madinah, Kuffah
(Iraq), Syam dan Mesir. Oleh karena itu seluruh pemuda mengidam-idamkan

2

Huzaemah Tahido Yango, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos, 1997), 121.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

dapat tinggal di salah satu kota itu untuk berstudi, untuk mencari ilmu
pengetahuan dari rendah sampai yang tinggi.3
Pada seperempat terakhir dari abad II H, kota Madinah sedang gilanggemilang dalam ilmu pengetahuan, karena di sana banyak menetap ulamaulama Tabi’in dan ulama-ulama Tabi’-tabi’in. Di tengah-tengah ulama yang
banyak itu ada seseorang yang menonjol yang menjadi bintangnya, yaitu
seorang ulama yang terkenal dengan gelar julukan ‚Imam Darul Hijrah‛, yakni
Imam Malik bin Anas (pembangun madzhab Maliki).
Imam Syafi’i seorang yang mengagumi Imam Malik bin Anas, sehingga
pada usia 10 tahun beliau hafal kitab Al-Muwatha>’ di luar kepala dan beliau
ingin belajar kepada Imam Malik secara berhadapan. Oleh karena itu, beliau
minta izin kepada gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji untuk pergi ke
Madinah menjumpai Imam Malik dan belajar pada beliau. Imam Syafi’i
berangkat ke Madinah pada tahun 170 H dengan menaiki kendaraan onta
selama delapan hari delapan malam. Selain itu imam Syafi’i membawa surat
dari Wali Mekkah (gubernur) kepada Wali Madinah agar Wali Madinah
memperkenalkan Imam Syafi’i kepada Imam Malik. Sesampainya di Madinah
beliau langsung menemui Imam Malik bersama-sama dengan Wali Kota
Madinah dan beliaupun belajar kepada Imam Malik.4

3
4

Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i …, 14-15.
Ibid., 20-21.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

Setelah 2 tahun di Madinah yakni dalam usia 22 tahun, Imam Syafi’i
berangkat ke Iraq (Kuffah dan Baghdad), di mana beliau bermaksud selain
menambah ilmu dalam soal-soal kehidupan bangsa-bangsa juga untuk
menemui ulama-ulama ahli hadist atau ahli fiqh yang bertebaran pada ketika
itu di Iraq dan Persia (Iran). Sampai di Kufah beliau menemui ulama-ulama
sahabat almarhum Imam Abu Hanifah, yaitu guru besar Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan di mana Imam Syafi’i sering kali bertukaran fikiran dan
beri-memberi dengan beliau-beliau ini dalam soal-soal ilmu pengetahuan
agama.
Dalam kesempatan ini Imam Syafi’i dapat mengetahui aliran-aliran
atau cara-cara fiqh dalam madzhab Hanafi yang agak jauh berbeda dari caracara dan aliran fiqh madzhab Maliki. Ketika itu beliau dapat mendalami dan
menganalisa cara-cara yang dipakai oleh kedua Imam itu.
Ketika itu beliau tidak lama di Iraq dan terus mengembara ke Persi,
sampai ke Turki trus ke Palestina dimana beliau dalam perjalanan mencari dan
menjumpai ulama-ulama baik Tabi’in atau Tabi-Tabi’in. Pada kesempatan
mengembara ini beliau mengetahui adat istiadat bangsa-bangsa selain bangsa
Arab. Hal ini nantinya menolong beliau dalam membangun fatwanya dalam
madzhab Syafi’i.5

5

Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i …, 23-24.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

Sesudah 2 tahun mengembara meninjau antara Baghdad, Persia, Turki
dan Palestina, Imam Syafi’i kembali ke Madinah dan kembali kepada guru
besarnya yaitu Imam Malik bin Anas. Imam Malik bertambah kagum dengan
ilmu Imam Syafi’i dan sudah ada pertanda dari Imam Malik bahwa Imam
Syafi’i sudah melebihi ilmunya. Selain itu Imam Malik memberi izin kepada
Imam Syafi’i untuk memberi fatwa sendiri dalam ilmu fiqih, artinya tidak
berfatwa atas dasar aliran Imam Malik dan juga tidak atas dasar aliran Imam
Hanafi, tetapi berfatwa atas dasar madzhab sendiri. Imam Syafi’i tinggal
bersama Imam Malik sampai Imam Malik meninggal dunia.
Setelah gurunya (Imam Malik) meninggal dunia, Imam Syafi’i pergi ke
Yaman. Di Yaman beliau belajar kepada Syeikh Yahya bin Husain seorang
ulama besar di kota Shan’ah ketika itu. Di sisi lain, beliau juga di angkat
menjadi wali daerah Najran, sebagai Kepala Daerah beliau disayangi oleh
rakyat karena adil dan pemurahnya. Pekerjaan ini tidak lama dijabat oleh
beliau, karena tidak sesuai dengan bakatnya. Beliau lebih condong kepada ilmu
daripada siasah. Imam Syafi’i menikah di Yaman dengan seorang puteri
bernama Hamidah binti Nafi’i, seorang puteri keturunan Saidina Ustman bin
Affan. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai 3 orang anak, seorang laki-laki
dan dua orang perempuan.6

6

Ibid., 24-26.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

Imam Syafi’i kembali ke kampung asalnya yaitu Mekkah. Kurang lebih
17 tahun beliau di Mekkah menaburkan ilmu-ilmu agama kepada kaum
muslimin yang setiap tahun datang ke Mekkah untuk ibadah haji. Karena itu
nama Imam Syafi’i masyhur ke seluruh dunia Islam. tetapi ketika itu beliau
masih merasa belum sampai pada derajatnya Imam Mujtahid Muthlak
sehingga fatwa-fatwa beliau adalah berdasarkan fatwa guru-gurunya yang di
dapatkan di Mekkah, Madinah dan Iraq.
Setalah Imam Syafi’i mendengar wafatnya guru-guru beliau yang di
Iraq, hati beliau tergerak kembali hendak datang ke Baghdad, Ibu Kota dan
Pusat Kerajaan Umat Islam ketika itu. Pada kesempatan ini beliau membuat
sejarah, yaitu membentuk madzhab tersendiri yang kemudian dinamakan
‚Madzhab Syafi’i‛.
Mula-mula di Iraq beliau mengarang kitab ‚ar-Risa>lah‛, kitab Ushul
Fiqh yang pertama di dunia yakni suatu ilmu yang dijadikan pedoman dalam
menggali hukum-hukum fiqih dari kitan suci al-Quran dan hadis Nabi. Pada
saat beliau di Iraq fatwa beliau dinamakan ‚Al-Qaul al-Qadi>m‛, sedangkan
fatwa-fatwa yang dikeluarkan sesudah beliau pindah ke Mesir dinamakan ‚Al-

Qaul al-Jadi>d‛.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

Setelah 6 tahun tinggal di Mesir menggembangkan madzhabnya dengan
lisan dan tulisan serta sesudah mengarangkan kitab-kitab beliau yang banyak
sekali, maka beliau meninggal dunia pada akhir bulan Rajab tahun 204 H.7
2. Pembangun Madzhab Syafi’i
Ulama-ulama besar Madzhab Syafi’i dari abad ke abad banyak sekali,
sehingga tak terhitung lagi banyaknya karena madzhab ini sudah lama
berkembang, sudah hampir 1200 tahun dan daerah pengaruhnya sudah amat
luas pula, hampir di seluruh pelosok dunia Islam.8 Akan dikemukakan namanama ulama besar Madzhab Syafi’i dari abad ke abad yaitu nama-nama yang
biasa di dengar atau biasa di baca dalam kitab-kitab Syafi’iyah yang beredar di
Indonesia. Di mulai sejak abad wafatnya Imam Syafi’i, yaitu abad III.
a. Abad III H.
1) Imam Syafi’i Rahi>mahulla>h (wafat 204 H)
Inilah Imam besar Mujtahid Muthlak (mujtahid penuh) dalam
madzhab Syafi’i.
2) Ar-Rabi’i bin Sulaiman al-Muaradi (wafat 270 H)
Beliau murid langsung dari Imam Syafi’i, dibawa dari Baghdad
sampai ke Mesir, dan yang membantu Imam Syafi’i menulis kitabnya

al-Umm dan kitab Risa>lah al-jadi>dah. Beliau seorang yang utama,

7
8

Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i …, 30-34.
Ibid., 148.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

30

penyiar dan penyebar madzhab Syafi’i dalam abad-abadnya yang
pertama.
3) Al-Buwaithi (wafat 231 H)
Nama lengkap beliau adalah Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya alBuwaithi, lahir di desa Buwaithi (Mesir). Bel