Konsep al Tark dalam Ushul Fiqh dan implikasinya terhadap beberapa masalah furu'iyah.

KONSEP AL-TARK DALAM USHUL FIQH
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP BEBERAPA MASALAH FURUli> di dalam proses istimbat hukum mereka,
sehingga diperlukan kajian yang mendalam tentang sistematisasi pemikiran konsep al-tark ini,
apakah dapat dipakai sebagai piranti di dalam proses istimbat hukum ataukah tidak bisa ? Sejauh
mana implikasi dari konsep al-tark jika diimplikasikan terhadap masalah-masalah furu’iyah ?
Dilatarbelakangi oleh hal tersebut, maka masalah pokok yang ingin dicari jawabannya
dalam penelitian tesis ini adalah : 1. Bagaimana makna al-tark? 2. Bagaimana bangunan
argumentasi al-tark dalam beberapa masalah furu’iyah ? 3. Bagaimana implikasinya terhadap
masalah-masalah tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah Penelitian Pustaka (Library Research).
Sedangkan metode analisanya adalah analisa terhadap implikasi dari konsep al-tark di dalam
beberapa masalah furu’iyah yaitu dengan mencoba meneliti secara mendetail implikasi tersebut
berdasarkan perspektif ilmu ushul fiqh. Dalam hal ini konsep al-tark akan diungkap secara
deskriptif lalu menganalisanya dengan menggunakan metode content analysis (analisa isi).
Dari dua periode sejak periode Rasulullah saw., kemudian pada periode sahabat, dapat
disimpulkan bahwa ada dua model implikasi dari al-tark yaitu penetapan dan penolakan. Hal ini
berdasarkan kesimpulan bahwa al-tark tidak dianggap sebagai sumber pengambilan istimbat
hukum di dalam kajian ushul fiqh, dan jika ia berdiri sendiri tanpa ada indikator eksternal yang
melingkupinya, maka ia hanya menetapkan satu hukum yaitu iba>hah atau kebolehan.

vi


digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI
Halaman
Pernyataan Keaslian .........................................................

i

Persetujuan Pembimbing ..................................................

ii

Pengesahan Tim Penguji ...................................................

iii

Pedoman Transliterasi ......................................................

iv


Motto .................................................................................

v

Abstrak ..............................................................................

vi

Ucapan Terima Kasih ........................................................

vii

Daftar Isi ............................................................................

ix

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah


........................................

1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ..........................

7

C. Rumusan Masalah ...................................................

7

D. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ..........

8

E. Penelitian Terdahulu ...............................................

9


F. Metode Penelitian .................................... ……….

11

G. Sistematika Pembahasan ........................................

12

BAB II SUNNAH DAN MACAMNYA
A. Definisi al-Sunnah.....................................................

14

B. Kedudukan al-Sunnah di Dalam Syariah..................

16

C. Macam al-Sunnah ……….......................................

21


ix

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB III AL-TARK DAN IMPLIKASI HUKUMNYA
A. Definisi al-Tark .....................................................

24

B. Macam-macam al-Tark …….………….................

27

C. Implikasi Hukum Dari al-Tark ….............................

29

D. Al-Sunnah al-Tarkiah ………….............................


30

BAB IV IMPLIKASI HUKUM AL-TARK DI DALAM BEBERAPA
MASALAH FURU’IYAH
A. Periode Rasulullah saw. …..............................

41

B. Periode Sahabat.........................................................

67

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................

89

B. Saran ....................................................................

90


DAFTAR PUSTAKA .............................................

92

x

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam tradisi studi ushul fiqh dikenal lima macam hukum syar’i yang
menjadi titik poin pembahasan seluruh permasalahan di dalam ilmu fiqh, yaitu wajib,
sunnah, haram, makruh dan mubah. Kelima hukum tersebut menjadi label atas setiap
permasalahan yang dialami oleh mukallaf sehingga semua segi kehidupannya dikover
oleh salah satu dari hukum syar’i di atas.
Kelima hukum di atas tentunya memiliki sumber yang menjadi landasan yang
di dalam study ushul fiqh dikenal dengan istilah mas}a>dir al-tashri>’ al-isla>mi>. Ada
empat sumber hukum Islam yang menjadi konsensus mayoritas ulama yaitu al-Qur’an,

al-Sunnah, Qiya>s, dan Ijma>’. Selain keempat sumber yang disepakati di atas, ada
beberapa sumber yang ulama berbeda pendapat akan kevalidannya untuk menjadi
sumber hukum seperti h}adi>th mursal, qaul s}ah}ab> i>, shar’u man qablana, istis}ha>b,

istih}sa>n, dan ‘amal ahl Madinah.1
Salah satu dari sumber hukum di dalam hukum Islam adalah al-Sunnah yang
merupakan sumber kedua di dalam hukum Islam. Al-Sunnah merupakan tafsi>r ‘amali

1

Muhammad Abu Zahrah, Ushu> al-Fiqh, (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, t.th), 74.

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

dari al-Qur’an dan realitas ideal dari Islam itu sendiri. Hal ini berdasarkan jawaban
‘Aishah ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah saw. ia menjawab bahwa akhlak

beliau adalah al-Qur’an.2
Dalam pembacaannya terhadap al-Sunnah, al-Qardhawi menyebutkan bahwa
al-Sunnah memiliki lima karakteristik. Pertama, al-Sunnah merupakan metode yang
holistik sehingga ia mencakup segala macam persoalan manusia kapan dan dimana
saja. Kedua, al-Sunnah merupakan metode yang seimbang karena ia menyeimbangkan
antara jasmani dan rohani, antara individu dan sosial dan lain sebagainya tanpa ada
pengabaian dan berlebih-lebihan. Ketiga, al-Sunnah merupakan metode yang saling
melengkapi sehingga akal melengkapi wahyu, keimanan melengkapi ilmu
pengetahuan. Keempat, al-Sunnah merupakan metode yang realistis sehingga ia selalu
menempatkan manusia sebagai manusia yang memiliki nafsu syahwat, kebutuhan
primer sebagai manusia, juga manusia yang membutuhkan kehidupan spiritual yang
baik. Kelima, al-Sunnah merupakan metode yang mudah sehingga tidak terdapat di
dalam al-Sunnah hal-hal yang memberatkan bagi manusia baik itu dalam
permasalahan dunia maupun agama.3

Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hila>l bin Asad al-Shayba>ni>, Musnad al-Ima>m
Ahmad bin Hanbal, Vol 41 (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2001), 148.
3
Yusuf al-Qardhawi, Kayfa Nata’a>mal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 2002),
2


26-32.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

Ulama ushul mendefinisikan al-Sunnah dengan apa yang bersumber dari Nabi
Muhammad saw. baik itu dari segi perkataan, perbuatan, dan pernyataan.4 Definisi
ini sedikit berbeda dengan definisi ahli hadis yang mendefinisikan al-Sunnah dengan
apa yang disandarkan kepada Rasulullah saw. baik itu perkataan, perbuatan, sifat fisik,
sifat moral, dan apa yang berkenaan dengan kenabian sebelum diangkatnya Nabi saw.
menjadi rasul.
Definisi ulama ushul di atas lebih spesifik karena tidak semua yang disandarkan
kepada Nabi saw. dapat dianggap sebagai al-Sunnah kecuali yang benar-benar teruji
kevalidannya bahwa itu adalah bersumber dari Nabi saw. Pembatasan al-Sunnah
menurut ulama ushul kepada perkataan, perbuatan, dan pernyataan yang bersumber
dari Nabi saw. saja mengindikasikan bahwa apa yang bersumber dari Nabi saw.
sebelum beliau diangkat menjadi rasul bukanlah sunnah.
Biasanya, di dalam studi ushul fiqh pembahasan tentang tark al-Nabi saw.

terhadap sesuatu masuk ke dalam pembahasan perbuatan Nabi saw. walaupun tidak
semua ulama bersepakat tentang masuknya tark al-Nabi kepada salah satu dari
pekerjaan Nabi karena ada yang berpendapat bahwa al-tark adalah perkara yang nihil,
‘amr ‘adamiy.

4

Wahbah al-Zuhayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, Vol 1 (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986), 450.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

Dalam perkembangan studi ushul fiqh kontemporer, pembahasan mengenai al-

tark menjadi pembahasan yang harus menjadi perhatian yang lebih dari para peneliti.
Perkembangan ajaran Islam yang begitu pesatnya sehingga mengakibatkan banyak
terjadi hal-hal baru yang tidak pernah terjadi dan dialami oleh Nabi dan tiga abad
setelah beliau, ditambah lagi dengan terjadinya asimilasi antara Islam dan budaya baru
menyebabkan banyaknya perubahan dan tambahan-tambahan di dalam ajaran Islam.
Karena realita selalu berkembang sedangkan teks tidak.
Maka tidak heran, muncullah gerakan purifikasi ajaran Islam dengan jargon
kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Namun amat disayangkan, gerakan ini
bukan membasmi hama dari tumbuhan, namun tumbuhannya pun diberangus sampai
ke akar-akarnya. Dengan dalih bahwa praktek ajaran agama yang ada telah keluar dari
jalur al-Qur’an dan al-Sunnah, apalagi praktek tersebut tidak pernah dicontohkan oleh
Nabi saw. dan generasi Salaf, gerakan ini kemudian mengklaim bahwa praktek ajaran
yang tidak pernah dicontohkan Nabi atau generasi Salaf adalah bid’ah yang sesat.
Tidak pernah dicontohkannya sebuah praktek keagamaan oleh Nabi saw. yang
lebih dikenal dengan tark al-Nabi> saw. kemudian menjadi dasar pijakan, ushul, dalam
menilai segala amalan, sehingga amalan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh
Nabi saw. adalah bernilai haram.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

Purifikasi ajaran Islam adalah penting, namun harus tetap disesuaikan dengan
universalitas Islam dan bahwa Islam itu s}a>lih{ li kull zama>n wa maka>n, Islam itu sesuai
dengan waktu dan tempat apapun. Tark Rasulullah saw. terhadap sesuatu tentunya
memiliki maksud tertentu. Maka, kajian untuk menentukan bagaimana maksud al-tark
dari Nabi saw. sangatlah penting untuk dapat mendudukkan permasalahan di
tempatnya yang tepat.
Generalisasi terhadap makna tark al-Nabi akan mengakibatkan resistensi
terhadap perkara-perkara baru yang dianggap tidak memiliki landasan dan sumber dari
wahyu, sehingga jika perkara baru yang memiliki nilai keagamaan tidak memiliki
landasan dan sumber dari wahyu, maka akan dianggap sebagai sebuah penyimpangan.
Sayangnya, banyak perkara yang terdampak dari aktualisasi pola fikir ini adalah
perkara yang berkaitan erat dengan budaya dan tradisi, sehingga akhirnya
memunculkan sebuah konflik horizontal yang sampai saat ini masih belum mencapai
sebuah titik terang.
Sejatinya, ketika Rasulullah saw. meninggalkan sebuah perkara, maka itu
bukan berarti perkara tersebut tidak dicakup oleh hukum syariat yang kemudian tidak
boleh dikerjakan. Namun sebaliknya hal itu adalah keringanan dari Rasulullah saw.
kepada umatnya agar pola pengerjaan perkara yang tidak mendapatkan payung hukum
dari teks keagamaan tersebut dapat disesuaikan dengan kemampuan umatnya.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

Maka, usaha untuk memberikan payung hukum dari teks keagamaan tidak
senantiasa berpola tekstual saja, namun lebih dari itu, upaya kontekstualisasi perkara
baru dalam bingkai teks dan makna teks secara umum akan memberikan jalan keluar
dalam proses memberikan nilai hukum terhadap perkara baru tersebut.
Pola-pola semacam itu dapat kita lihat dari beberapa literatur hadis baik itu
yang bersetting pada masa Rasulullah saw. ataupun pada masa sahabatnya, dimana
Rasulullah saw. dan para sahabatnya bereaksi ketika berhadapan dengan pola prilaku
baru dari sahabat yang sebelumnya tidak memiliki payung hukum dari wahyu secara
tekstual.
Dari sini kita bisa melihat dari dua sudut pandang, pertama adalah dari reaksi
Rasulullah saw. dan para sahabatnya, kedua aksi dari sahabat yang melakukan perkara
baru. Dari sudut pandang pertama kita melihat bahwa reaksi Rasulullah saw. dan para
sahabatnya terhadap perkara baru yang tidak dilakukan dan diperintahkan oleh
Rasulullah saw. cenderung tidak seragam, karena kadang Rasulullah saw. dan para
sahabatnya memberikan persetujuan dan kadang pulang menolak dan mengingkari.
Jika kita lihat dari sudut pandang kedua, maka aksi dari sahabat yang melakukan apa
yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw. mengindikasikan pemahaman sahabat
bahwa segala sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. tidak berarti bernilai
haram, namun harus dilihat indikasi eksternalnya apakah ada penetapan ataupun

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

penolakan dari Rasulullah saw. dan para sahabatnya ataupun ada tidaknya
pertentangan dari keumuman al-Qur’an.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari uraian di atas, dapat ditemukan sebuah masalah mendasar yaitu bahwa
apakah al-tark dapat dijadikan sebuah pijakan teoritis ushuliyah bahwa setiap praktek
keagamaan yang tidak pernah dicontohkan dan dikerjakan oleh Rasulullah saw. adalah
praktek yang illegal bahkan dapat dikategorikan sebagai sebuah bid’ah yang sesat
sehingga orang-orang yang melakukan praktek tersebut disebut ahli bid’ah yang
sesat? ataukah al-tark tidak dapat dijadikan pijakan teoritis ushuliyah karena tidak
memberikan implikasi hukum apa-apa kecuali kebolehan?
Dengan demikian, identifikasi penelitian ini adalah studi analisa terhadap
konsep al-tark di dalam ushul fiqh dan implikasinya terhadap masalah furu>’iyah.
Penelitian ini dibatasi pada studi analisa konsep al-tark di dalam ushul fiqh dan
implikasinya terhadap beberapa masalah furu>’iyah dalam dua periode saja yaitu :
Pertama, Periode Rasulullah saw. Kedua Periode pada masa sahabat ra.
C. Rumusan Masalah
Dari identifikasi dan batasan masalah di atas, penelitian ini dapat dirumuskan
menjadi beberapa pertanyaan sebagaimana yang tercantum di bawah ini :

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

1. Bagaimana makna al-tark ?
2. Bagaimana bangunan argumentasi al-tark dalam masalah-masalah

furu’iyah ?
3. Bagaimana implikasi makna dari al-tark terhadap masalah-masalah tersebut
?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan
sebagaimana berikut :
1. Meneliti konsep al-tark menurut perspektif ushul fiqh.
2. Meneliti bangunan argumentasi al-tark di dalam perspektif ushul fiqh.
3. Meneliti implikasi dari al-tark terhadap beberapa masalah furu>’iyah.
E. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan keterangan yang valid
dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah tentang konsep al-tark
menurut perspektif ushul fiqh dan implikasinya terhadap beberapa masalah

furu>’iyah serta bangunan argumentasinya.
2. Praktis.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan umat Islam dalam usaha
pemahaman yang baik terhadap konsep al-tark menurut perspektif ushul
fiqh dan implikasinya terhadap beberapa masalah furu>’iyah serta bangunan
argumentasinya.
F. Penelitian Terdahulu
Tidak banyak ulama yang mengarang secara khusus tentang al-tark di dalam
kajian ushul fiqh. Hal ini dikarenakan pembahasan al-tark tidaklah populer kecuali
setelah munculnya gerakan purifikasi ajaran Islam di awal abad ke 18. Mayoritas
ulama ushul fiqh kontemporer hanya membahas tentang pekerjaan-pekerjaan
Rasulullah saw. itupun terbatas kepada pekerjaan yang diklasifikasikan sebagai wahyu
dan sumber tashri>’.
Muhammad Sulaiman al-Ashqar menulis sebuah disertasi yang berjudul Af’a>l

al-Rasu>l wa Dala>latuha ‘Ala al-Ah}ka>m al-Shar’iyah yang akhirnya memberikannya
gelar Doktor dari universitas al-Azhar jurusan Ushul Fiqh. Dalam disertasi yang
akhirnya diterbitkan oleh Muassasah al-Risalah ini, al-Ashqar membahas al-tark dan
mengklasifikasikannya termasuk pekerjaan yang tidak jelas, al-af’a>l ghair al-s}ari>hah.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

Al-Ashqar membahas al-tark dengan sangat detail. Ia menjelaskan definisi, lalu
apakah al-tark dapat menjelaskan sesuatu atau tidak, dan lain sebagainya.5
Muhammad bin Husayn al-Ji>za>ni> menulis sebuah buku berjudul Sunnah al-

Tark wa Dala>latuha ‘Ala al-Ahka>m al-Shar’iyah. Dalam bukunya ini al-Ji>za>ni>
mengupas Sunnah al-Tark dari berbagai dimensi baik itu hakikatnya, kehujjahannya,
dan dampaknya.
Muhammad Rubh}i Muhammad Mallah menulis sebuah tesis berjudul al-Tark

‘Inda al-Us}ul> iyyi>n yang memberikannya gelar Master dari Fakultas Dirasah Ulya
Universitas al-Naja>h al-Wataniyah di Nablus Palestina. Dalam tesisnya tersebut,
Mallah membahas definisi al-tark dan pembagiannya, al-tark menurut ahli sufi, dan
dampak dari perbedaan dalam mengerjakan al-tark atas pendapat ahli fiqh.6
Adapun penelitian ini lebih memfokuskan pembahasannya kepada konsep al-

tark menurut perspektif ushul fiqh dan implikasinya terhadap beberapa masalah
furu>’iyah serta bangunan argumentasinya. Hal ini agar penelitian ini memiliki
pembahasan yang lebih luas dan mendalam sehingga setiap permasalahan dapat
menjadi jelas dan terurai dengan baik. Diharapkan konsep al-tark dapat dipahami

Muhammad Sulaiman al-Ashqar, ‘Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘Ala> al-Ah}ka>m al-Shar’iyah, Vol 02
(Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2003), 45-48.
6
Muhammad Rabh}i Muhammad Malla>h}, Al-Tark ‘Inda al-Us}u>liyyi>n (Tesis: Fakultas Pasca Sarjana
Universitas al-Naja>h al-Wat}aniyah Nablus Palestin, 2010), 75.
5

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

dengan baik sesuai dengan dalil-dalil yang jelas dan kuat sehingga dapat diketahui
apakah al-tark dapat memberikan nilai hukum pada perkara-perkara yang baru ataukah
tidak.
G. Metodologi
1. Sumber Data
Sumber utama penelitian ini adalah Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha ‘Ala al-

Ah}ka>m al-Shar’iyah karya Muhammad Sulaiman al-Ashqar, Sunnah al-Tarki
wa Dala>latuha ‘Ala al-Ahka>m al-Shar’iyah karya Muhammad bin Husayn alJi>za>ni>, al-Tarku ‘Inda al-Us}ul> iyyi>n karya Muhammad Rubh}i Muhammad
Mallah. Adapun sumber sekunder dipakai untuk lebih memperdalam
pembahasan dan mempertajam analisa. Sumber sekunder diambil dari bukubuku yang berkaitan erat dengan obyek penelitian seperti Us}ul> Fiqh karya Abu
Zahra, Us}ul> Fiqh karya Abdul Wahha>b Khalla>f, Us}ul> Fiqh al-Isla>mi> karya
Wahbah al-Zuhayli>, Us}u>l Fiqh karya Khudari Bek, Us}ul> Fiqh karya
Muhammad Abu al-Nu>r Zuhair, dan lain sebagainya.
2. Metode Penggalian Data
Metode penggalian data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode
kepustakaan (Library Research) yaitu suatu metode yang mengumpulkan data
dari buku-buku yang berkenaan dengan obyek penelitian yang akan dibahas.
3. Metode Analisa Data

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

Karena obyek dari penelitian ini adalah permasalahan usul fikih, maka
pendekatan yang tepat adalah pendekatan usul fikih. Sedangkan metode
analisanya adalah analisa isi (content analysist) dengan mencoba meneliti
secara mendetail permasalahan al-tarku secara deskriptis analitis.
H. Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam penelitian ini dapat disistematikan dalam empat bab
sebagai berikut : Bab pertama dari penelitian ini berupa pendahuluan yang berisi :
latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, metodologi, dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua berisi tentang definisi al-Sunnah, Posisi al-Sunnah dalam syariah,
Macam al-Sunnah.
Bab ketiga berisi tentang definisi al-tarku, definisi al-sunnah al-tarkiyah,
macam-macam al-tarku, hukum yang ditunjukkan oleh al-tarku.
Bab keempat membahas tentang implikasi al-tarku terhadap beberapa masalah
furu>’iyah dan bangunan argumentasinya yang akan dibagi menjadi dua periode yaitu
: Periode pada masa Rasulullah saw. masih hidup, Periode di masa sahabat.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

Bab kelima merupakan bab terakhir yang berisi penutup dan kesimpulan
terhadap pembahasan di atas serta saran-saran.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
SUNNAH DAN MACAMNYA
A. Definisi al-Sunnah
Secara etimologi al-Sunnah berarti jalan dan adat kebiasaan, baik jalan itu
baik ataupun buruk1, Allah swt. berfirman :

ُ‫َاس أَ ْن يُ ْؤِمنُوا إِ ْذ َُاءَ ُ َُ ا ََُْد َويَ ْستَ ْغ ِف ُروا َربَ ُه َْ إَِل أَ ْن َََِْيَ ُه َْ ُسنَة‬
َ ‫َوَما َمنَ َع الن‬
ِ
ِ
.ًَ ُ‫اب قُب‬
َ ‫ْاِ ََول‬
ُ ‫ْ أ َْو يَََْيَ ُه َُ الْ َع َذ‬
Dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika
petunjuk telah datang kepada mereka, dan dari memohon ampun kepada
Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang telah
berlalu pada) umat-umat yang dahulu atau datangnya azab atas mereka
dengan nyata.2
Sunnah orang-orang terdahulu di dalam ayat tersebut merupakan sunnah
yang buruk dikarenakan mereka tidak mau untuk beriman kecuali azab yang
nyata sudah datang kepada mereka.3
Dalam ayat yang lain Allah swt. berfirman :

Muhammad bin Mukarram bin Ali Abu al-Fad}l Jama>l al-Di>n bin Manz{u>r, Lisa>n al-Arab, Vol 13
(Beirut: Da>r S{a>dir, 1414 H.), 225.
2
Al-Qur’an, 08: 55.
3
Muhammad al-T{a>hir bin Muhammad bin Muhammad al-T{a>hir bin ‘Ashu>r, al-Tah}ri>r wa al- Tanwi>r,
Vol 15 (Tunisia : al-Da>r al-Tunisiah li al-Nashr, 1984), 350.
1

14

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

ِ
ِ
ِ ‫ت ِم ْن قَ ْبلِ ُك َْ ُسنَ ٌن َ ِسرُوا ِِ ْاِ َْر‬

ْ َ‫قَ ْد َخل‬
َ ‫ض َانْظُُروا َكْي‬
َ ِ‫ف َكا َن َعاقبَةُ الْ ُم َك ِذب‬
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orangorang yang mendustakan (rasul-rasul)4.
Kata sunan dalam ayat di atas bermakna jalan dan tradisi buruk orang-orang
yang mendustakan rasul.
Makna ini diperkuat oleh sebuah hadis Rasulullah saw. :

ِ ِ
ِ
ِ
ِ ِْ ِِ ‫من س َن‬
،‫َُ ِر َم ْن َع ِم ٍَ َِِا‬
ْ ‫ب لَهُ مثْ ٍُ أ‬
َ َْ
َ ‫ ُكت‬،ُ ‫ َ عُم ٍَ َِا بَ ْع َد‬،ً‫اْ ْس ََم ُسنَةً َح َسنَة‬
ِ ‫وَل ي ْن ُق‬
ِْ ِِ ‫ َوَم ْن َس َن‬،ٌ‫ُُوِرِ َْ َشيء‬
،ُ ‫ َ عُ ِم ٍَ َِِا بَ ْع َد‬،ً‫اْ ْس ََِم ُسنَةً َسيِِئَة‬
ُ ‫ص م ْن أ‬
ُ َ َ
ْ
5

ِ ِ
ِِ
ِ
.ٌ‫ص ِم ْن أ َْوَزا ِرِ َْ َش ْيء‬
ُ ‫ َوَل يَْن ُق‬،‫ب َعلَْيه مثْ ٍُ ِوْزِر َم ْن َعم ٍَ َِا‬
َ ‫ُكت‬

Barang siapa yang membiasakan suatu kebiasaan yang baik di dalam Islam,
lalu kebiasaan itu dikerjakan oleh orang setelahnya, maka ia akan mendapat
seperti pahala orang yang mengerjakannya sedang pahala mereka tidak
dikurangi sedikitpun. Dan barang siapa yang membiasakan suatu kebiasaan
yang buruk, lalu dikerjakan oleh orang setelahnya, maka ia akan mendapat
seperti dosa orang yang mengerjakan kebiasaan buruk tersebut sedang dosa
mereka tidak dikurangi sedikitpun.
Dalam tradisi fiqh, al-Sunnah didefinisikan secara terminologi sebagai
sesuatu yang jika dikerjakan maka orang yang mengerjakannya

Al-Qur’an, 23: 037.
Muslim bin al-H}ajja>j Abu al-Hasan al-Qushairi{ al-Naisa>bu>ri>, S{ah{i>h Muslim, Vol 4 (Beirut: Da>r
Ih{ya>’ al-Turath al-‘Arabi>, t.th), 0259.
4

5

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

mendapatkan pahala namun jika tidak dikerjakan maka orang yang tidak
mengerjakannya tidak mendapat dosa, sehingga menurut definisi ini alSunnah termasuk di dalam kategorisasi hukum yang lima yaitu wajib,
sunnah, haram, makruh, dan mubah.
Namun di dalam tradisi ushul fiqh, al-Sunnah didefinisikan secara
terminologis sebagai apa yang bersumber dari Nabi saw. baik itu berupa
perkataan yang bukan mukjizat, perbuataan, dan pernyataan atau taqi>r. Jadi,
dalam ushul fiqh, al-Sunnah dibagi menjadi tiga; pertama sunnah qawliyah,
kedua sunnah fi’liyah, dan ketiga sunnah taqri>riyah.6 Dalam definisi ini
disebutkan sebuah batasan yaitu perkataan yang bukan mukjizat untuk
mengindikasikan bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah swt.
B. Kedudukan al-Sunnah di dalam Syariah
Yang penulis maksud dari pembahasan ini adalah bagaimana kedudukan alSunnah di dalam pengambilan hukum berkenaan dengan para mukallaf,
apakah ia bersifat ta’abbudiah secara keseluruhan ataukah tidak ? dan
apakah jika ia bersifat ta’abudiah maka apa yang dilakukan oleh nabi saw.
seperti apa yang ia tinggalkan menurut hukum ?

Muhammad Abu> al-Nu>r Zuhayr, Us}u>l al-Fiqh, Vo3 (Kairo: al-Maktabah al-Azhariyah li al-Tura>ts,
t.th), 87.
6

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

Abdul

Wahab Khalla>f menyatakan di dalam bukunya bahwa ada

kesepakatan ulama tentang kehujjahan al-Sunnah baik itu berupa perkataan,
perbuatan, atau pernyataan dari Rasulullah saw. yang dimaksudkan untuk
menjelaskan syariat dan memiliki kualitas transmisi yang s}ah{i>h baik itu
menunjukkan sebuah pemahaman yang qat}’i ataupun z}anni>.7 Meskipun alA menyebutkan bahwa ada perbedaan ulama di dalam kehujjahan alSunnah. Menurutnya, sebagian besar imam ahli fiqh dan ahli kalam
bersepakat bahwa mengikuti Nabi baik itu dalam hal yang wajib, sunnah,
dan mubah merupakan unsur ibadah. Adapun sebagian dari mereka –imam
ahli fiqh dan ahli kalam- ada yang menolak hal tersebut secara mutlak,
adapula yang memerinci permasalahannya.8
Perbedaan ulama di dalam kehujjahan al-Sunnah di atas permasalahannya
terletak dari apa saja perbuatan-perbuatan Nabi yang dapat ditiru dan
diamalkan, dan apakah semua perbuatan Nabi bersifat ta’abbudiah ?
Apalagi selain sebagai Nabi dan Rasul, Muhammad saw. adalah manusia
biasa yang memiliki tabiat kemanusiaan yang sama dengan manusia
lainnya. Nah, apakah tabiat kemanusiaan tersebut juga dianggap memiliki
nilai ta’abbudiah ?

Abdul Wahab Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiah, t.th), 37.
Abu al-Hasan Sayyid al-Di>n Ali bin Abi Ali bin Muhammad bin Sa>lim al-Tha’labi> al-A, alIh>ka>m fi> al-Us{u>l al-Ah{ka>m, al-Vol 01 (Beirut: al-Maktabah al-Isla>mi>, t.th), 186.
7

8

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

Disini penulis akan menyebutkan beberapa klasifikasi ulama terhadap
perbuatan Rasulullah saw. sebagaimana berikut :
1. Perbuatan yang dilakukan sebelum kenabian.
Menurut al-Isnawi, perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
sebelum beliau menjadi rasul tidak bersifat ta’abbudiah karena tidak
mengandung unsur syariat, dan hukumnya adalah tawaqquf yaitu tidak
diambil

sebagai

landasan

hukum

untuk

membolehkan

atau

mengharamkan sesuatu.9
2. Perbuatan beliau sebagai manusia biasa.
Yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Nabi sebagai seorang
manusia biasa dalam kesehariannya, seperti cara tidur, cara makan, dan
lain sebagainya. Ulama bersepakat bahwa perbuatan Rasul saw. yang
semacam ini hukumnya adalah mubah dan tidak wajib.
3. Perbuatan Nabi yang khusus.
Perbuatan-perbuatan yang hanya khusus bagi Rasulullah saw. seperti
beristri lebih dari empat. {Perbuatan yang semacam ini tidak harus
diikuti karena ada dalil-dalil khusus yang menjelaskan tentang
kekhususan Rasulullah saw. atas umatnya.

Abd al-Rah{i>m bin al-Hasan bin Ali al-Isnawi al-Sha>fi’i, al-Tamhi>d fi> Takhri>j al-Furu>’ ‘ala al-Us}u>l
(Beirut : Muassasah al-Risa>lah, t.th), 487.
9

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

4. Perbuatan Nabi dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti memakai wewangian, memanjangkan rambut dan jenggot,
memotong kumis dan lain sebagainya. Dalam menyikapi perbuatan
Nabi dalam kehidupan sehari-harinya, ulama merumuskan dua hal yaitu
apakah perbuatan tersebut hanya bernilai tradisi dan budaya ataukah
juga bernilai penjelasan syariat ?
Dalam contoh memanjangkan jenggot dan mencukur kumis, ada sebuah
hadis

‫ب َوأ َْع ُفوا اللِِ َحى‬
ْ ‫أ‬yang berarti potonglah kumis dan
َ ‫َوا ِر‬
َ ‫َح ُفوا الش‬

panjangkanlah jenggot. Ulama yang memahami bahwa hadis tersebut
merupakan penjelasan syariat berpedoman bahwa teks hadis tersebut
merupakan dalil tentang hukum memotong kumis dan memanjangkan
jenggot. Adapun ulama yang memahami bahwa hadis tersebut hanya lah
tradisi semata berpedoman bahwa tidak semua larangan dipahami
sebagai sesuatu yang haram, apalagi ketika hadis di atas dipahami
dengan perintah Rasulullah saw. untuk menyelisihi orang-orang Yahudi
yang memanjangkan kumis dan memotong janggut mereka.10
5. Perbuatan Nabi dalam perkara keduniaan.

10

Muhammad Abu Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (t.t: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, t.th), 004-115.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

Yaitu perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan untuk mendapat sebuah
manfaat atau mencegah kemudharatan baik itu pada badan atau harta,
seperti berobat, berkebun, berdagang dan mengatur peperangan.
Perkara-perkara tersebut tidaklah wajib ditiru.
6. Perbuatan yang mengandung nilai syariat.
Yaitu semua perbuatan yang mempunyai nilai syariat sehingga
mengikutinya adalah sebuah keharusan. Seperti sholat dan haji yang
harus mengikuti Nabi Muhammad saw. seperti disebutkan di dalam
hadis :
11

‫ُصلِِي‬
َ ‫صلوا َك َما َرأيْتُ ُموِ أ‬
َ

Sholatlah kalian sebagaimana aku sholat.
Dan hadis :
12

ِ َ‫خ ُذوا ع ِِ من‬
َْ ‫اس َك ُك‬
َ َِ ُ

Ambillah dariku manasik haji kalian.
Dari sini kita bisa melihat bahwa semua perbuatan Nabi saw. yang
bernilai syariat maka semua umatnya wajib untuk mengikutinya,

11

Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Ushman bin Sha>fi’ bin Abd. Mut}t}alib,

Musnad al-Ima>m al-Sha>fi’, Vol 01 (Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, 0950), 028.
12
Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa al-Khusraujardi> al-Khu>ra>sa>ni>, al-Sunan al-Kubra, Vol 05
(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, 0223), 024.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

begitupun segala perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw.
dengan syarat bahwa perkara yang ditinggalkan tersebut harus
dimaksud oleh Rasulullah saw. baik perkara itu memiliki hukum wajib,
sunnah,

boleh,

atau

makruh

sesuai

dengan

indikator

yang

melingkupinya.13
Perbuatan yang mengandung nilai syariat tersebut dapat dijadikan dalil
kebolehan perbuatan tersebut atau bisa menjadi penjelas dari hukum
global yang dikandung oleh al-Qur’an. Pada dua contoh di atas, antara
sholat dan haji, keduanya merupakan dalil atas pensyariatan haji juga
sekaligus menjadi penjelas dari tata cara sholat dan haji yang disebutkan
secara global di dalam al-Qur’an.
C. Macam-macam al-Sunnah
Berdasarkan klasifikasi bentuknya, al-Sunnah terbagi menjadi beberapa
macam yaitu :

1. Al-Sunnah al-Qawliah
Yaitu hadis-hadis yang disabdakan oleh Rasulullah saw. dalam berbagai
macam keadaan dan untuk berbagai maksud, baik itu dikatakan tanpa
ada sebab atau dengan adanya sebab. Bentuk al-Sunnah yang semacam

‘Abdu al-Ila>h bin Husain al-‘Arfaj, Mafhu>m al-Bid’ah wa Atharuhu fi Id{t{ira>b al-Fata>wa> alMu’a>s}irah (Jordania: Da>r al-Fath} li al-Dira>sa>t wa al-Nashr, 2009), 105.
13

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

ini merupakan bentuk yang paling banyak ditransmisikan kepada kita
seperti sabda Nabi saw.

14 ِ

‫ال بِالنِِيَات‬
ُ ‫َع َم‬
ْ ِ‫إََِا ا‬

Sesungguhkan pekerjaan itu sah atau sempurna dengan niatnya.
Hadis-hadis ini merupakan salah satu sumber dari sumber-sumber
syariat tanpa ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut.

2. Al-Sunnah al-Fi’liyah
Yaitu perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. baik itu perbuatan beliau
sebagai manusia biasa, perbuatan yang berkaitan dengan tradisi dan
urusan duniawi, perbuatan yang khusus bagi beliau, seperti yang sudah
penulis jelaskan di depan.

3. Al-Sunnah al-Taqri>riah
Yaitu apa yang Rasulullah saw. tegaskan dari perkataan atau perbuatan
sebagian sahabat beliau dengan cara diam atau tidak mengingkarinya,
atau dengan persetujuan dan menganggap baik hal tersebut.
Penegasan dan persetujuan dari Rasulullah saw. ini kemudian dianggap
sebagai sesuatu yang bersumber dari Rasulullah saw. sendiri. Seperti

Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah al-Bukha>ri al-Ju’fi>, S{ah}i>h al-Bukha>ri>, Vol 20(t.tt: Da>r T{auq
al-Najah, 1422 H.), 06.
14

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

yang diriwayatkan di dalam sebuah hadis bahwa ada dua orang sahabat
yang sedang dalam perjalanan, ketika masuk waktu sholat, mereka tidak
menemukan air sehingga mereka berdua bertayammum lalu sholat.
Setelah mereka sholat, ternyata mereka menemukan air sehingga salah
satu dari mereka mengulang kembali sholatnya namun sahabat yang
satu lagi tidak mengulang sholatnya, kemudian mereka menceritakan
hal tersebut kepada Rasulullah saw. lalu Rasulullah saw. menegaskan
apa yang mereka lakukan. Beliau lalu berkata kepada sahabat yang tidak
mengulang sholatnya bahwa ia telah mengikuti sunnah dan sholatnya
sah. Rasulullah saw. lalu berkata kepada sahabat yang mengulang
sholatnya bahwa ia mendapatkan dua pahala.15

15

Khalla>f, ‘Ilm Us{u>l…, 36-37.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB III

AL-TARK DAN IMPLIKASI HUKUMNYA
A. Definisi al-Tark
Secara bahasa al-tark berarti meninggalkan sesuatu1. Sedangkan secara
peristilahan, terminologi al-tark tidak terlalu populer di dalam pembahasan
ulama ushul fiqh periode awal dan pertengahan sehingga penulis belum
menemukan ulama ushul fiqh yang secara spesifik mendefinisikan al-tark
dalam konsepsi ilmu ushul fiqh.2
al-I menjelaskan secara terperinci bahwa al-tark secara kebahasaan yaitu
tidak mengerjakan perbuatan yang mampu dilakukan baik itu sengaja ataupun
tidak, seperti dalam keadaan lalai dan tidur, adapun tidak mengerjakan apa
yang tidak mampu dikerjakan maka tidak dinamakan al-tark, oleh karena itu
tidak dikatakan al-tark jika: si Fulan tidak menciptakan badannya. Dalam
pendapat lain disebutkan jika meninggalkan suatu perkara dengan sengaja
yaitu dengan meninggalkan perbuatan yang dapat dikerjakan, maka disebut al-

Ibn Manz}u>r, Lisa>n …, Vol 10, 405.
Penulis sudah berusaha mencari definisi al-tark secara spesifik di dalam beberapa buku ushul fiqh
populer seperti kitab Us}u>l Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah, ‘Ilm Us}u>l Fiqh karya ‘Abd Wahha>b
Khalla>f, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi> karya Wahbah al-Zuhayli> dan beberapa kitab yang lain namun tidak
menemukan pembahasan yang memadai tentang konsep al-tark.
1

2

24

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

tark jika mendapatkan apa

yang diharapkan, sehingga tidak dapat

dikategorikan sebagai al-tark, orang tidur yang tidak menulis.3
Qutub Musthofa Sanu di dalam Ensiklopedi Peristilahan Ushul Fiqh, Mu’jam

Mus}t}alaha>t Us}ul> Fiqh, mencoba untuk mendefinisikan al-tark dengan upaya
untuk meninggalkan sebuah perkara, baik itu disengaja ataupun tidak seperti
perkara-perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. yaitu perbuatan yang
ditinggalkan oleh Rasulullah saw. meski beliau mampu untuk melakukannya
seperti Rasulullah saw. meninggalkan untuk merayakan maulid beliau, atau
Rasulullah saw. meninggalkan untuk tidak secara kontinyu shalat tarawih
secara berjamaah.4
Definisi al-tark di atas mencakup semua perkara yang ditinggalkan oleh
Rasulullah saw. karena memasukkan semua perkara yang Rasulullah saw.
tinggalkan baik itu yang disengaja ataupun yang tidak disengaja sebagai altarku dan hanya memasukkan perkara yang mampu dilakukan saja. Hal ini
menjadikan definisi di atas menjadi terlalu luas karena mencakup perkaraperkara yang tidak sengaja ditinggalkan oleh Rasulullah saw.
Dalam tesisnya, Muhammad Rubh}i Muhammad Malla>h mencoba untuk
memberikan definisi al-tark secara istilah yaitu perbuatan-perbuatan bernilai

3
4

‘Ad}adu al-Di>n Abdurrahman bin Ahmad al-I, al-Mawa>qif, Vol 02 (Beirut: Da>r al-Jail, 1997), 168.
Qutub Mushtofa Sanu, Mu’jam Mus}t}alaha>t Us}u>l Fiqh (Beirut : Da>r al-Fikr, 2000), 132.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

syariat yang tidak khusus hanya kepada Nabi saw., yang ditinggalkan oleh
Rasulullah saw. secara sengaja dengan adanya kemampuan untuk
mengerjakannya dan adanya indikator untuk mengerjakannya, selain sebab ia
meninggalkannya, yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. atau apa yang ia
isyaratkan melalui teks.5
Menurut penulis, definisi di atas lebih dekat kepada definisi al-sunnah al-

tarkiah yang akan dibahas di pembahasan yang akan datang.
Adapun menurut al-Ghuma>ri, al-tark adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh
Rasulullah saw. dan para Salaf al-S{a>lih dengan tidak adanya hadis ataupun
athar yang melarang hal tersebut sehingga mengakibatkan keharaman dan
kemakruhannya.6
Terminologi al-tark menjadi pembahasan tersendiri khususnya setelah
beberapa ulama kontemporer yang menganggap bahwa semua yang
ditinggalkan oleh Rasulullah saw. hukumnya harus juga ditinggalkan oleh
umatnya, sehingga perlu ada garis tegas yang dapat membedakan antara al-

tark dan al-sunnah al-tarkiah.

Malla>h}, Al-Tark …, 39.
Abdullah bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumari>, Husnu al-Tafahhum wa al-Darki Fi Masalah alTark (Kairo : Da>r al-Qa>hirah, 2002), 9.

5

6

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

B. Macam-macam al-tark.
1. Al-tark al-Maqs}u>d
Maksudnya adalah perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. disertai
dengan unsur kesengajaan. Unsur kesengajaan di dalam al-tark tersebut
dikarenakan adanya alasan kuat untuk mengerjakan perkara tersebut, atau
ada sebuah kebutuhan untuk mengerjakan perkara tersebut dan seringnya
perkara tersebut dikerjakan. Meski begitu, Rasulullah saw. tetap
meninggalkannya.
Menurut Imam al-Shaukani, semua apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah
saw. seperti apa yang dilakukan beliau dalam hal kewajiban untuk meniru.
Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibn al-Sam’a>ni dengan mengambil
contoh keengganan para sahabat untuk memakan biawak karena
Rasulullah saw. tidak memakan biawak tersebut disebabkan biawak bukan
makanan yang biasa dimakan orang Arab pada waktu itu, sampai
Rasulullah saw. mengizinkan mereka untuk memakannya. Juga ketika
Rasulullah saw. tidak melaksanakan shalat malam secara berjamaah karena
ditakutkan akan diwajibkan kepada umat islam.7

Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdillah al-Shauka>ni> al-Yamani>, Irsha>d al-Fuh}u>l ila Tahqi>q
al-Haqqi Min ‘Ilm al-Us}u>l, Vol (Damaskus: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 0999), 009.
7

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

Al-Tark al-Maqs}u>d disini terbagi menjadi dua macam :
a. Al-Tark al-Maqs}u>d al-‘Adami>
Muhammad Sulaiman al-Ashqar menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan Al-Tark al-Maqs}u>d al-‘Adami> adalah bahwa Rasulullah saw.
tidak memberikan hukum terhadap perkara-perkara yang tidak terjadi
di zamannya sehingga tidak dikerjakan dan tidak memberikan
pernyataan terhadap perkara-perkara tersebut. Para ahli ushul fiqh
membahas perkara ini dalam pembahasan Qiya>s, Mas}lahah} Mursalah,
dan lain sebagainya.

b. Al-Tark al-Maqs}u>d al-Wuju>di>
Maksudnya adalah suatu perkara yang sudah terjadi dan ada
kemungkinan untuk dilakukan atau dikatakan namun Rasulullah saw.
tidak melakukan dan menyabdakannya.8

Al-Tark al-Maqs}u>d al-Wuju>di> ini terbagi menjadi dua : Pertama adalah
dalam perkataan yaitu ketika Rasulullah saw. tidak menjawab dari
suatu pernyataan tertentu ataupun diamnya Rasulullah saw. dan tidak
mengingkari perbuatan atau perkataan yang dilakukan oleh Sabahatnya
yang lebih dikenal dengan istilah taqi>r. Kedua adalah dalam perbuatan
yaitu ketika Rasulullah saw. meninggalkan suatu perbuatan yang

8

al-Ashqar, Ahka>m …, Vol. 2, 47-48.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

sebenarnya mampu untuk dikerjakan namun dengan sengaja tidak
lakukan oleh Rasulullah saw.

2. Al-Tark Ghayr al-Maqs}u>d
Adalah perkara-perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. tanpa ada
unsur kesengajaan. Perbedaan antara al-Tark Ghayr al-Maqs}u>d dan al-Tark

al-Maqs}u>d al-‘Adami adalah bahwa yang pertama berhubungan dengan
perkara adat kebiasaan seperti perkembangan teknologi dan lain
sebagainya, adapun perkara yang kedua berkenaan dengan perkara yang
memiliki hubungan dengan syariah yang jika syarat dan ketentuannya
berlaku niscaya akan dilakukan oleh Rasulullah saw.9
C. Implikasi Hukum Dari al-Tark
Semua ulama bersepakat bahwa al-tark bukan merupakan salah satu metode di
dalam penyimpulan hukum jika ia berdiri sendiri, karena menurut kesepakatan
ulama ushul, metode-metode yang dipakai dalam penyimpulan hukum baik itu
wajib, boleh, sunah, makruh, dan haram adalah adanya teks dari al-Qur’an,
teks sunnah Nabi, consensus atau ijma>’, dan qiya>s. Adapun metode-metode
penyimpulan hukum yang tidak disepakati adalah qaul s}ah}abi>, sadh al-

dhari>’ah, ‘amal ahl madinah, hadi>th mursal, istih}sa>n, hadi>th d{ai>f, dan lain

9

Muhammad Ribh}i, al-Tarku …, 60.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

30

sebagainya,10 sehingga al-tark hanya memberikan implikasi hukum mubah
saja. Hal ini ditegaskan oleh al-Ghuma>ri> dengan menyitir pendapat dari alTilmasani di dalam kitab Mifta>h{ al-Us}u>l tentang penjelasan hadis bahwa
Rasulullah saw. tidak berwuduk dengan air yang dimasak,11 dan Abdul Ila>h
yang menyitir pendapat al-Subki dalam Sharh{ al-Muhalla bahwa meski
Rasulullah saw. bermaksud untuk meninggalkan suatu perkara, itu merupakan
sebuah dalil kebolehan untuk mempermudah orang yang melakukannya.12
Para sahabat tidak memahami perkara-perkara yang ditinggalkan oleh
Rasulullah saw. sebagai sesuatu yang haram ataupun makruh. Hal ini terlihat
ketika pada sahabat membuatkan Rasulullah saw. sebuah mimbar dan tidak
melihat itu adalah keharaman meskipun sebelumnya Rasulullah saw.
berkhutbah di atas kayu. Juga Bilal yang tidak menganggap haram shalat dua
rakaat setelah wudhuk meski tidak diperintah oleh Rasulullah saw., bahkan
ketika Rasulullah saw. tahu, beliau memberikan apresiasi kepada Bilal dengan
menyatakan bahwa beliau mendengar bunyi terompah Bilal di syurga.13
D. Al-Sunnah al-Tarkiah.

Ali Jum’ah, al-Baya>n Lima> Yushghilu al-Adzha>n, Vol 1 (Kairo : al-Muqattam li al-Nashr wa alTauzi>, 2005), 210-211.
11
Al-Ghuma>ri>, Husnu al-Tafahhum…., 22-23.
12
Abdu al-Ila>h, Mafhu>m al-Bid’ah…, 110.
13
Ali Jum’ah, al-Baya>n…, 211-212.
10

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

31

Al-Sunnah al-tarkiah adalah perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw.
baik itu berupa perkataan atau perbuatan dengan syarat perkara tersebut
dengan sengaja ditinggalkan sehingga umatnya harus meninggalkannya juga
sebagai upaya untuk mengikuti beliau saw. baik perkara tersebut bernilai
wajib, sunnah, boleh, atau makruh sesuai dengan indikator-indikator yang
melingkupinya.14
Untuk lebih memperjelas apa yang penulis ulas di atas, selanjutnya penulis
akan memberikan klasifikasi berkenaan dengan al-sunnah al-tarkiah
sebagaimana berikut ini :15
1. Al-sunnah al-tarkiah yang bernilai wajib.
Yaitu perbuatan atau perkataan yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw.
dengan sengaja dan mampu dikerjakan namun karena bertentangan dengan
dalil yang lebih kuat, maka beliau meninggalkannya untuk memberikan
pelajaran kepada umatnya bahwa meninggalkan hal tersebut hukumnya
adalah wajib.
Contohnya adalah ketika Rasulullah saw. tidak mau memakan daging
keledai liar yang diburu oleh al-S{a’b bin Jutha>mah yang dihadiahkan

14
15

Abdul Ila>h, Mafhum…, 105.
Ibid, 105-107.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

32

kepada Rasulullah saw., ketika beliau melihat rona kesedihan pada wajah
al-S{a’b, beliau lalu bersabda :
16

‫ك إَِل أَنَا ُح ُرٌم‬
َ ‫أ ََما إِنَا ََْ نَ ُرَد ُ َعلَْي‬

Kami menolaknya karena kami sedang dalam keadaan berihram.
Adapun daging keledai liar yang diburu oleh Abu Qatadah, Rasulullah saw.
memberikan keringanan dan bertanya kepada sahabatnya mengenai daging
tersebut karena Abu Qatadah tidak memburunya khusus untuk Rasulullah
saw.
Dari sini kemudian Imam al-Nawawi berkesimpulan bahwa daging buruan
yang diburu oleh orang yang berihram atau daging buruan yang
diperuntukkan untuk orang yang berihram hukumnya adalah haram, baik
itu daging buruan yang diperuntukkan untuk orang yang berihram itu
sudah mendapat izin atau tidak. Adapun jika orang yang tidak berihram
berburu untuk dirinya sendiri dan tidak diperuntukkan untuk diberikan
kepada orang yang sedang berihram kemudian dia menghadiahkan atau
menjual daging tersebut kepada orang yang berihram maka hukumnya

16

Al-Bukha>ri, S{ah}i>h…, Vol 03, 155.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

33

tidak haram. Pendapat ini merupakan pendapat madzhab Imam Syafi’i dan
juga Imam Malik, Imam Ahmad dan Dawud al-Z}a>hiri>.17
Imam Ibn Hajar al-‘Asqala>ni mencoba un