KAIDAH HALAL DALAM USHUL FIQH DAN EKONOM

KAIDAH “HALAL” DALAM USHUL FIQH DAN EKONOMI ISLAM
oleh Aluzar Azhar

Kaidah Kulliyah yang Bukan Kaidah Kubra
Secara historis, ilmu ushul fiqh sepadan dengan historis-interpretasi dalam mengolah
hukum Islam seperti dengan adanya hukum nasikh-mansukh, asbab al-nuzul, asbab al-wurud,
dan status makkiyah atau madaniyah dari ayat-ayat Quran, semua ini adalah untuk
memperjelas proses terbentuknya suatu hukum dan latar belakang sejarah yang mendorong
kehadiran hukum tersebut.1
Hukum-hukum yang terdapat dalam buku-buku fiqh yang banyak dibaca oleh umat
Islam sekarang ini, termasuk para ulama, itu adalah produk-produk jadi dari ijtihad para
mujtahidin sebelum kita, yang mereka rumuskan untuk zaman mereka masing-masing dan
bagi masyarakat mereka masing-masing, yang belum tentu sama dengan situasi dan kondisi
dari zaman dan masyarakat kita sekarang ini. Sedikit dari kita yang berusaha mengetahui
minhaj atau metode yang dulu dipergunakan oleh para mujtahidin untuk sampai kepada
produk-produk jadi itu. Cabang ilmu yang membahas tentang metode tersebut dinamakan
Ushuulul Fiqh atau Prinsip-prinsip Yurisprudensi Islam.2
Sementara itu, menurut A. Hanafie, hukum-hukum tersebut ada sumbernya (dalilnya),
yaitu Quran, hadis, ijma‟, dan qiyas, maka yang dimaksud „Ushul Fiqh‟ ialah sumber-sumber
(dalil-dalil) tersebut dan bagaimana cara menunjukkannya kepada sesuatu hukum dengan
secara ijmal (garis besar). Karena itu, Ushul Fiqh tidak membicarakan satu-persatu persoalan,

tetapi hanya membicarakan dalil-dalilnya saja, apa syarat sahnya dalil-dalil tersebut dan
bagaimana cara menetapkannya. Kemudian dari sudut perkataannya, bagaimana bentuk
(shighat) perkataan itu, mafhum-nya, salurannya, dan apa yang dapat dipikirkan dari kata-kata
itu (qiyas).3
Abdul Wahhab Khallaf memperjelas alinea di atas dengan uraian berikut:
Quran adalah dalil syar‟i yang pertama bagi setiap hukum. Artinya nash-nash syar‟iyyah
tidak terumuskan dalam satu bentuk (shighat) saja. Bahkan di antaranya ada yang
terumuskan dengan bentuk perintah („amr), ada pula dengan bentuk larangan (nahi), dan
ada pula dengan bentuk umum atau mutlak. Maka semua shighat tersebut adalah „macam
keumuman‟ (kulliyah) yang diambil dari macam-macam dalil syar‟i yang umum pula
(„am), yaitu Quran. Jadi, seorang ushuly membahas setiap macam dari cabang-cabang
tersebut supaya bisa menghasilkan macam-macam hukum yang umum (kully), yang bisa
menunjukkan kepada macam shighat tersebut dengan menggunakan metode penelitian
mengenai asas bahasa Arab dan mengenai tata-cara hukum syariat Islam. Apabila dia bisa
mengambil kesimpulan bahwa shighat „amr itu memberikan pengertian wajib, atau shighat
nahi itu memberikan pengertian haram, atau shighat umum itu memberikan pengertian
tercakupnya semua unsur-unsur dalam dalil „am secara pasti, dan atau shighat ithlaq

Ali Yafie, “Konsep-konsep Hukum” dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 90.

2
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 49.
3
A. Hanafie, Usul Fiqh (Jakarta: Widjaya, 1989), h. 13.
1

1

2

(mutlak) itu memberikan pengertian tetapnya hukum secara mutlak, maka dengan itu
disusunlah kaidah-kaidah seperti berikut:

‫) اأ ايجـ‬
Larangan berarti keharaman ( ‫) ا ى ح ي‬

1. Perintah berarti wajib (
2.

3. Lafazh yang umum berarti mencakup semua unsur di dalamnya secara pasti (


‫ج ي أف ا قطفـ‬
‫)ي‬
4. Lafazh yang mutlak berarti keumuman tanpa batas
( ‫ى ا ف ا شـ ء غي قيـ‬
‫)ا طقي‬

‫ا ـ‬

Kaidah-kaidah umum (kulliyah) dan lainnya itu sebagai hasil susunan ulama Ushul yang
dijadikan pedoman oleh ulama Fikih sebagai kaidah yang bisa diterima (rasional, logis)
dan dijadikan pedoman dalam menerapkan bagian-bagian dalil umum, agar dengan itu bisa
menghasilkan hukum syariat Islam yang bersifat amali, yakni hal perbuatan manusia
secara terinci...
Ulama Ushul tidak akan membahas mengenai dalil-dalil juz‟iyah. Tidak pula mengenai
hukum juz‟iyah, akan tetapi hanya membahas dalil-dalil kulli dam hukum-hukum yang
kulli pula. Dan dengan itu disusunlah kaidah-kaidah kulliyah sebagai indikasi dalil, agar
ulama Fikih bisa menerapkannya terhadap juz‟iyah dalil untuk menghasilkan ketetapan
hukum secara terinci yang diperoleh darinya. Dan ulama Fikih tidaklah membahas dalildalil yang kulli. Tidak pula hukum-hukum yang kulli, akan tetapi hanya membahas dalildalil yang juz‟i dan hukum-hukum yang juz‟i pula.4
Dari prasaran di atas secara implisit terdapat perbedaan antara kaidah ushuliyah dengan

kaidah fiqhiyah. Kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya,
baik Quran maupun Sunnah dengan menggunakan pendekatan secara kebahasaan. Sedangkan
kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk operasional dalam mengistinbathkan hukum Islam,
dengan melihat kepada hikmah dan rahasia-rahasia tasyri‟. Namun kedua kaidah ini
merupakan patokan dalam mengistinbathkan suatu hukum, satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan, sebab keduanya saling membutuhkan, dalam sasarannya menetapkan hukun
Islam terhadap mukallaf. Sebagai contoh:

‫حْ ا ْ ْزي‬

‫ا‬

‫ْي ا ْ ْي‬
ْ

‫…ح‬

Diharamkan bagimu memakan mayat, darah, daging babi... (QS al-Maidah 3).

Kata hurrimat pada ayat di atas menunjukkan tentang keharaman memakan bangkai,

darah, daging babi. Dalam kaidah ushuliyah disebutkan bahwa: ‫ااص فى ا ي ح ي‬
(asal pada larangan adalah haram). Mengenai hal ini kaidah fiqhiyah menjelaskan:

‫ي‬

‫ح‬

‫ح‬

‫اح ي‬

(yang mengelilingi larangan hukumnya sama dengan yang

dikelilinginya).

4

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, Terjemah: Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah
Mansoer, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), h. 3-4.


3

Kaitan kaidah fiqh di atas dengan kaidah sebelumnya adalah sebagaimana diharamkan
memakan bangkai, darah, daging babi, maka diharamkan pula untuk memperjualbelikannya,
atau memanfaatkannya. Apabila bangkai, darah, dan daging babi tersebut diperjualbelikan,
maka harga dari jual beli tersebut haram hukumnya. Begitu juga apabila gemuk bangkai
dijadikan minyak lalu minyak itu dijual kepada orang lain, maka jual beli tersebut menjadi
haram hukumnya. Hal ini didasarkan pada kaidah fiqh di atas bahwa pada hakikatnya yang
dikelilingi adalah keharaman memakan bangkai, darah, daging babi, sedangkan yang
mengelilinginya adalah menjual dan memanfaatkannya, hal ini diharamkan karena hukum
asalnya adalah haram.5
Berdasarkan kutipan terakhir di atas, maksud tulisan ini adalah menguraikan persoalan
kaidah-kaidah kulliyah dalam perspektif Ilmu Qawa‟id al-Ahkam. Jadi, tidak mempersoalkan
apakah kaidah-kaidah kulliyah itu objek kajian Ushul atau Fiqh sebagaimana dijelaskan
Abdul Wahhab Khallaf bahwa Fiqh membahas perbuatan orang dewasa (mukallaf),
sedangkan Ushul membahas dalil syar‟i yang umum dipandang dari ketetapan-ketetapan
hukum yang umum pula.6 Tulisan ini hanya mengangkat kaidah-kaidah kulliyah yang menjadi
kaidah hukum beserta contohnya. Dari studi pendahuluan ditemukan bahwa terdapat
klasifikasi pada kaidah-kaidah kulliyah itu, yaitu: kubra ( ْ ‫ ) كـ‬atau utama dan bukan kubra .7


Kaidah Kulliyah
Kaidah kulliyah berarti peraturan umum dalam hal ini adalah melaksanakan ketentuan
syara‟ kecuali dalam keadaan terpaksa, seperti memakan mayat, darah, dan daging babi dalam
keadaan terpaksa. Sedangkan hukum asal dari memakan mayat, darah, dan daging babi itu
adalah haram.8

Terdapat dua pendapat yang berbeda perihal Kaidah Kulliyah ini. Pertama , bagian dari
Kaidah Ushuliyah dari pengertian ashal ( ‫) اص‬, yakni: (1) Kaidah Kulliyah (peraturan
umum), (2) Rajih (terkuat), (3) Mustashhab (ketetapan), (4) Maqis „alaih (tempat
mengkiaskan), dan (5) Dalil (alasan);9 serta kedua , bagian dari Kaidah Fiqhiyyah.10 Pada
pendapat kedua atau terakhir inilah, Kaidah Kulliyah akan diuraikan.
Menurut Dja‟far Amir, Qaidah-qaidah Fiqhiyyah atau al-Qawaidul Fiqhiyyah adalah
qaidah-qaidah yang berlaku bagi hukum-hukum Fiqih, kemudian dapat dicari persamaan
hukum dari berpuluh-puluh masalah yang sama hukumnya. Qaidah-qaidah Fiqhiyyah ini
dibagi dalam dua bagian, yaitu: (1) Qaidah-qaidah Pokok (Lima Qaidah Pokok); dan (2)
Qaidah-qaidah Kulliyah.
Qaidah-qaidah Pokok adalah lima qaidah yang disebutkan para ulama bahwa
sesungguhnya semua masalah fiqih itu kembali kepada lima qaidah pokok ini. Kelima qaidah
pokok ini adalah:


Ahmad Rajafi, “Qawaid al-Ushuliyyah dan al-Fiqhiyyah”, Sumber: http://ahmadrajafi.wordpress.com,
akses: 06/03/2014.
6
Abdul Wahhab Khallaf, op.cit., h. 3.
7
Lihat misalnya Mohd. Asri Silahuddin, “Kaedah-kaedah Kulliyah yang bukan Utama”, Sumber:
www.scribd.com, akses: 06/03/2014.
8
Ahmad Rajafi, lo.cit.
9
Ibid.
10
Dja‟far Amir, Qidah-qaidah Fiqih (Semarang: Ramadhani, 1969), h. 8.
5

4

ْ ‫ا ْأ‬

‫قص‬

Segala perkara tergantung pada maksud/niatnya.

‫ا شك‬
Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.
Kesulitan menarik/mendatangkan kemudahan.
Madharat (bahaya) harus dihilangkan.

‫ا يْس ْي‬

‫ا يق ْي ايزا‬
ْ‫ا ْ شق ج‬
‫ا يزا‬

‫ا‬

ْ‫ح‬

‫اْ ـ‬

Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum.


Masih menurut Dja‟far Amir, dari kelima qaidah pokok ini lahirlah berpuluh-puluh
hukum, bahkan beratus-ratus hukum yang semuanya itu melindung pada qaidah pokok
tersebut.
Selain kelima qaidah pokok, pada bukunya, Qidah-qaidah Fiqih, Dja‟far Amir hanya
mencantumkan 12 (dua belas) qaidah kulliyah, sedangkan Mohd. Asri Silahuddin hanya 8
(delapan) qaidah kulliyah.11 Dengan demikian, definisi operasional dari Lima Qaidah Pokok
adalah Kaidah Kulliyah yang Kubro, dan Dua Belas Qaidah Kulliyah adalah Kaidah Kulliyah
yang Bukan Kubro.
Kaidah Kulliyah yang Bukan Kaidah Kubra
Kaidah Kulliyah adalah kaidah-kaidah yang meliputi sebagai pokok yang daripadanya
bersumber contoh-contoh beberapa masalah yang tak terhingga banyaknya sebagai
cabangnya.12 Kedua Belas Qaidah Kulliyah atau Kaidah Kulliyah yang Bukan Kubro yang
dimaksud Dja‟far Amir adalah:

Kaidah I:

‫ا ْاجْ ـ اي ْقض ْاجْ ـ‬
Ijtihad seseorang yang telah lalu tidak rusak (tidak batal) karena ada ijtihad yang
datang kemudian, sekalipun keduanya berbeda.


Contoh: Apabila seseorang bingung dan ragu dalam soal qiblat-shalat, kemudia ia shalat
dengan menghadap ke barat, menurut ijtihadnya barat inilah qiblat yang sebenarnya
(misalnya shalat zhuhur). Sesudah itu akan melakukan shalat „ashar, tetapi kini berubah
ijtihadnya, sehingga ia shalat „ashar menghadap ke arah selatan menurut ijtihadnya yang
sekarang dikiranya selatan inilah qiblat yang sebenarnya. Maka shalatnya yang pertama
(zhuhur) itu tidak batal, yakni tetap sah juga.

11
12

Mohd. Asri Silahuddin, loc.cit.
Dja‟far Amir, op.cit., h. 47.

5

Kaidah II:

‫ا ْح ا‬

‫ا ْح ا غ‬

‫ا ْ حا‬

ْ‫ا ااج‬

Apabila sesuatu yang halal bercampur aduk dengan yang haram, maka yang haram
haruslah dimenangkan, yakni kita harus menetapkan hukumnya ialah haram.

Contoh: Jika seseorang yang sedang junub (dalam hadats besar) membaca ayat Quran
dengan maksud sengaja membaca Quran dan juga dengan maksud sengaja membaca
dzikir, ingin supaya tercapai maksud kedua-duanya itu bersama-sama, maka Haram
hukumnya karena orang yang sedang junub Haram membaca Quran. Jadi dalam hal ini,
kita menangkan yang „Haram‟ daripada yang „Mubah‟.
Kaidah III:

ْ ْ‫فى غ ْي ـ ح‬

ْ ْ

ْ ‫ْق‬

‫ا ْا ْي ـ‬

Mendahulukan kepada orang lain daripada dirinya sendiri dalam urusan makruh (tidak
disukai oleh syara‟). Adapun dalam urusan lainnya, ibadat, mendahulukan kepada
orang lain itu disukai oleh syara‟ (utama sekali).

Contoh: Orang yang sudah berada di shaf pertama, dalam shalat berjamaah, kemudian ia
mundur ke belakang untuk memberi kesempatan kepada orang lain supaya maju ke shaf
pertama tersebut (ini makruh).
Kaidah IV:

‫ْ صْ ح‬
ْ

‫ىا ا ي‬

‫ص ف ْاا‬

Menguasainya Imam atas rakyat haruslah disesuaikan dengan kemaslahatan umum.

Contoh: Apabila Imam membagi zakat kepada macam-macam golongan yang berhak
menerima, maka haram baginya melebihkan segolongan yang lain, sedangkan hajat
mereka sama terhadap zakat itu (sama-sama membutuhkan). Sebab yang demikian akan
menimbulkan iri hati, sentimen dan dengki, ada yang merasa dibeda-bedakan dan lain
sebagainya, padahal Imam harus dapat memelihara kemaslahatan umum.
Kaidah V:

‫ش ـ‬

‫ا ْح ْ سْق‬

Hukuman Had itu runtuh (dibebaskan) apabila perkaranya itu masih syubhat, belum
terang dan masih samar.

Contoh: Seseorang dituduh berzina atau mencuri, padahal tidak ada bukti yang nyata,
hanya prasangka saja, harus dibebaskan dari hukuman had, karena perkaranya masih
syubhat (belum jelas).

6

Kaidah VI:

‫ا ْ اف ْس ح‬

ْ‫ا‬
ْ

Mencari jalan keluar dari masalah yang diperselisihkan antara ulama itu adalah utama
sekali.

Contoh: Diutamakan menjauhi arah qiblat dan menjauhi membelakanginya di waktu
buang air besar, sekalipun sudah memakai tabir atau di tempat yang tertutup, karena hal
ini diperselisihkan ulama. Imam Ats-Tsaury mewajibkan menjauhi qiblat sekalipun
sudah memakai tabir atau di tempat yang tertutup, sedangkan imam-imam yang lain
tidak mewajibkan menjauhi arah qiblat, bila tempat sudah tertutup. Oleh karena itu,
sekalipun WC itu sudah tertutup, terkunci misalnya lebih baik kita jangan menghadap
qiblat di dalamnya bilamana kita membuang air besar. Inilah jalan keluar dari ikhtilaf
ulama.
Kaidah VII:

‫ْ ـ صى‬

‫ا خص ا ـ‬

Rukhshah (kemudahan) itu tidak dapat diperoleh dengan disertai perilaku maksiat.
Contoh: Orang yang berpergian jauh (lebih 84 km) dengan tujuan maksiat, misalnya
pergi untuk merampok, maka ia tidak mendapat kemudahan atau kemurahan (rukhshah)
seperti meringkas dan menjamak shalat atau tidak puasa.
Kaidah VIII:

‫شك‬

‫ا خص ا ـ‬

Rukhshah (kemudahan) itu tidak dapat diperoleh dengan disertai keragu-raguan.
Contoh: Wajib menyempurnakan shalat, yakni tidak qashar (meringkas) shalat bila ia
ragu-ragu tentang diperbolehkannya qashar dalam bepergian jauh.
Kaidah IX:

‫ا ْكـ ف ْ ا‬

‫ا ْكـ ف ْا ك‬

‫ك‬

Sesuatu yang lebih banyak dalam mengerjakannya, tentu lebih banyak pula
keutamaannya.

Contoh: Shalat sunnat dengan duduk itu pahalanya separo shalat sunnat dengan berdiri
(dengan berdiri lebih utama daripada duduk).
Kaidah X:

‫ا ْ طـ ؤ‬

‫ا ْخـ ح‬

‫ح‬

Sesuatu yang haram diperolehnya maka haram pula memberikannya kepada orang
lain.

Contoh: Memperoleh harta riba itu haram, maka memberikan kepada orang lain pun
haram hukumnya.

7

Kaidah XI:

ْ‫ح‬

‫ْق‬

‫ا ْس ْ ج ق ْ ا ا‬

Barang siapa tergesa-gesa menjalankan sesuatu sebelum masanya, ia akan mendapat
hukuman, terhalang dari apa yang dimaksudkannya.

Contoh: Orang yang membunuh ahli waris, ia menjadi terhalang mendapat warisan dari
orang yang dibunuhnya karena menyegerakan meninggalnya orang yang akan diwaris
hartanya.
Kaidah XII:

ْ ‫ْ ْس‬

‫ا ْ يْس ْ ايسْق‬

Suatu perbuatan yang mudah dijalankan, tidak boleh diruntuhkan (dibebaskan) karena
adanya perbuatan lainnya yang sukar dijalankan.

Contoh: Orang yang hanya mampu membaca sebagian surat al-Fatihah, ia wajib
membaca al-Fatihah menurut kadar kemampuannya tadi (tidak dibebaskan dari
kewajiban membaca al-Fatihah) ketika ia melakukan shalat.13

Demikian uraian Kedua Belas Kaidah Kulliyah yang bukan Kubra. Sebagaimana
dijelaskan Dja‟far Amir, sesungguhnya Kaidah Kulliyah ini bukan hanya dua belas, akan
tetapi bisa berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus hukum yang semuanya kembali mengacu
kepada Lima Kaidah Kubra (Pokok).
Yang menjadi catatan di sini adalah tujuan syar‟i dalam pembentukan hukumnya,
yaitu merealisir kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya ( ‫) ض ْ ي‬

dan memenuhi kebutuhan sekunder ( ‫ ) حـ جي‬serta kebutuhan pelengkap ( ‫) حْ سي ي‬
mereka.14 Dan seperti amanat Dja‟far Amir, ke-5 dan ke-12 kaidah pokok tersebut penting
untuk diketahui untuk memperdalam pengertian kita tentang fikih, karena itu beliau
menganjurkan kita untuk menghafal kaidah-kaidah tersebut.

Kaidah Hukum Ekonomi Islam
Ushul fiqh ( ‫ا فق‬
‫ )أص‬adalah ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari kaidahkaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terperinci dalam rangka menghasilkan hukum
Islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut.15 Sedangkan menurut Abdul Wahhab
Khallaf, ushul fiqh adalah pengetahuan tentang kaidah dan penjabarannya yang dijadikan
Lihat uraian Dja‟far Amir, op.cit., h. 47-65.
Abdul Wahhab Khallaf, op.cit., h. 329.
15
Taha Jabir al-Alwani, Ushul al-Fiqh dikutip dari id.wikipedia.org/wiki/Ushul_fiqih , akses: 30/12/2013;
Munawir Sjadzali menerjemahkan ushuul fiqh dengan prinisp-prinsip yurisprudensi Islam sebagai minhaj atau
metode untuk mengetahui hukum-hukum dalam buku-buku fiqh; lihat Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan
(Jakarta: Paramadina, 1997), h. 49.
13

14

8

pedoman dalam menetapkan hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia, di mana
kaidah itu bersumber dari dalil-dalil agama secara rinci dan jelas. Atau, himpunan kaidahkaidah dan penjabarannya yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum syariat Islam
mengenai perbuatan manusia, di mana kaidah-kaidah itu bersumber dari dalil-dalil agama
secara rinci dan jelas.16
Adapun „ekonomi‟ adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian
barang-barang serta kekayaan (seperti hal keuangan, perindustrian, dan perdagangan).17
Masalah-masalah pokok ekonomi mencakup pilihan-pilihan yang berkaitan dengan konsumsi,
produksi, distribusi, dan pertumbuhan sepanjang waktu. Semua satuan ekonomi baik individu
maupun negara selalu menghadapi masalah-masalah tersebut.18 Sedangkan ekonomi ( ‫)إق ص‬
Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur
berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam
rukun iman dan rukun Islam.19
Relevansi antara ushul fiqh dan ekonomi tersebut bermuara pada kajian „fiqh
muamalah‟ dalam arti sempit, menurut Hendi Suhendi, yakni aturan-aturan Allah yang wajib
ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara
memperoleh dan mengembangkan harta benda.20 Selanjutnya, dengan ushul fiqh, menurut
Rachmat Syafe‟i, seseorang atau mujtahid dapat mengetahui hukum syara‟ yang bersifat furu‟
(persoalan ekonomi) dan menggunakan metode istinbath hukum dari dalil-dalilnya dengan
jalan yang benar.21
Prasaran di atas mengantarkan tulisan sederhana yang berjudul: “Kaidah Hukum
Ekonomi Islam” ini dengan target mengidentifikasi beberapa kaidah atau prinsip ekonomi
dalam perspektif (doktrin dan peradaban) Islam.

Ekonomi Islam
Telah disebutkan di atas bahwa „ekonomi Islam‟ merupakan ilmu yang mempelajari
perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan
didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.22
Sedangkan menurut H. Halide, Doktor Ilmu Ekonomi yang menjadi Kepala Pusat Pengelolaan
Data Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, „ekonomi Islam‟ adalah kumpulan dasar-dasar
umum ekonomi yang disimpulkan dari Quran dan Sunnah yang ada hubungannya dengan
urusan ekonomi melalui pendekatan, antara lain: (1) konsumsi manusia dibatasi sampai pada
tingkat yang perlu dan bermanfaat saja bagi kehidupan manusia; (2) alat pemuasan dan
kebutuhan manusia, seimbang; (3) dalam pengaturan distribusi dan sirkulasi barang dan jasa,
nilai-nilai moral harus harus diterapkan; dan (4) pemerataan pendapatan dilakukan dengan
mengingat sumber kekayaan seseorang yang diperoleh dari usaha yang halal di mana sarana

16

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh , Terjemah: Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah
Mansoer, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), h. 3.
17
Lukman Ali dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 251.
18
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 67.
19
Rasyid Rizani, “Dasar-dasar Ekonomi Islam”, Sumber: http://konsultasi-hukum-online.com, akses:
06/03/2014.
20
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Bandung: Gunung Djati Press, 1997), h. 2.
21
Rachmat Syafe‟i, Pengantar Ushul Fiqh Perbandingan (Bandung: PIARA, 1994), h. 26.
22
Rasyid Rizani, loc.cit.

9

zakat sebagai distribusi pendapatan dan peningkatan taraf hidup golongan miskin yang
ampuh.23
Istilah lain ekonomi Islam ialah „ekonomi syariah‟ yang didefinisikan sebagai ilmu
pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh
nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah atau sistem ekonomi koperasi berbeda dari kapitalisme,
sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari kapitalisme karena
Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang
penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan
kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah yang teraplikasi dalam etika dan
moral.24
Krisis ekonomi yang sering terjadi ditengarai adalah ulah sistem ekonomi konvensional,
yang mengedepankan sistem bunga sebagai instrumen profitnya. Berbeda dengan apa yang
ditawarkan sistem ekonomi syariah, dengan instrumen profitnya, yaitu sistem bagi hasil atau
laba.
Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis maupun
komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada di tengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu.
Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang
memberikan hampir semua tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrem,
ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak
boleh ditransaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.25
Dengan demikian terdapat perbedaan asasi antara ekonomi Islam atau syariah dengan
ekonomi konvensional. Sebagai contoh dalam sistem dan instrumen bank. Di bank
konvensional terdapat produk bunga (riba), yakni yang menyimpan uang diberi bunga (bonus)
dan yang meminjam uang diberi bunga (denda).26 Sedangkan di bank Islam/syariah, kedua
belah pihak, yakni penyimpan dan peminjam sama-sama menanggung baik kerugian maupun
keuntungan yang dikenal dengan sistem bagi hasil (profit sharing). Sistem dan instrumen
bank berupa bunga atau riba ini jelas diharamkan Quran (lihat QS al-Baqarah: 275).
Secara historis, fungsi bank di zaman Rasulullah sudah berjalan, yakni orang-orang baik
muslim maupun kafir menyimpan uangnya di Rasulullah karena beliau al-Amin (orang yang
amat dipercaya). Kemudian di zaman para sahabat sudah melakukan mudharabah (kerja
sama), musyarakah (kemitraan), dan wakalah (transfer atau menitipkan uang dari Makkah ke
Syam). Jadi, meski secara institusional belum berdiri, namun secara fungsional, bank sudah
ada pada saat itu, yaitu dilakukan secara sendiri-sendiri oleh Rasulullah dan para sahabat.27
Di Indonesia, transformasi bank konvensioanl ke bank syariah terkesan abu-abu
sekaligus malu-malu. Secara praktis, terdapat sinyalemen bahwa sistem „margin‟ dalam bagi
hasil justru lebih „jahat‟ daripada sistem bunga. Namun secara mayoritas, terdapat

23

Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press, 1988), h. 3-5.
Anonim, “Ekonomi Syariah”, Sumber: http://id.wikipedia.org , akses: 06/03/2014.
25
Ibid.
26
Lihat misalnya pendapat A. Chotib, Bank dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1962), h. 9.
27
Abu Muhammad Dwiono Koesen al-Jambi, Selamat Tinggal Bank Konvensional: Haramnya Bank
Konvensional dan Halalnya Bank Syariah (Jakarta: Tifa Publishing House, 2009), h. 23-24.
24

10

kesepakatan bahwa bank konvensional merupakan kondisi darurat (sementara) sebelum bank
syariah tersosialisasi dan membumi di Indonesia.28
Untuk memperjelas teori bagi hasil, penulis kutipkan pendapat Muhamad, dosen Islamic
Business School STIS Yogyakarta:
Pada mekanisme lembaga keuangan syariah atau bagi hasil, pendapatan bagi hasil ini
berlaku untuk produk-produk penyertaan, baik penyertaan menyeluruh maupun sebagiansebagian, atau bentuk bisnis korporasi (kerja sama). Pihak-pihak yang terlibat dalam
kepentingan bisnis yang disebutkan tadi, harus melakukan transparansi dan kemitraan
secara baik dan ideal. Sebab semua pengeluaran dan pemasukan rutin yang berkaitan
dengan bisnis penyertaan, bukan untuk kepentingan pribadi yang menjalankan projek.
Keuntungan yang dibagihasilkan harus dibagi secara proporsional antara shahibul maal
dengan mudharib. Dengan demikian, semua pengeluaran rutin yang berkaitan dengan
bisnis mudharabah, bukan untuk kepentingan pribadi mudharib, dapat dimasukkan ke
dalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi antara shahibul maal dan
mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati sebelumnya dan secara eksplisit
disebutkan dalam perjanjian awal. Tidak ada pembagian laba (keuntungan) sampai semua
kerugian telah ditutup dan ekuiti shahibul maal telah dibayar kembali. Jika ada pembagian
keuntungan sebelum habis masa perjanjian akan dianggap sebagai pembagian keuntungan
di muka.29

Kaidah Hukum Ekonomi Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , „kaidah‟ didefinisikan sebagai rumusan asasasas yang menjadi; aturan yang sudah pasti; patokan; atau dalil.30 Sedangkan „hukum-hukum
ekonomi‟, menurut Seligman dalam karyanya Principles of Economics, pada hakikatnya
bersifat hipotetis (kesimpulan sementara). Semua hukum ekonomi memuat isi anak kalimat
bersyarat sebagai „hal-hal lain diasumsikan sama keadaannya (ceteris paribus)‟, yakni
anggapan bahwa dari seperangkat fakta-fakta tertentu, akan menyusul kesimpulan-kesimpulan
tertentu jika tidak terjadi perubahan pada faktor-faktor lain pada waktu yang bersamaan. Hal
ini berbeda dengan hukum pada ilmu eksak yang bisa dilakukan eksperimen tanpa perlu
membuat suatu asumsi. Ilmu ekonomi, tidak seperti cabang-cabang ilmu pengetahuan sosial
lainnya, mempunyai pengukur bersama dari motif-motif manusia dalam bentuk uang.31
„Hukum ekonomi Islam‟ pun merupakan produk-produk jadi dari ijtihad para mujtahidin
sebelum kita yang mereka rumuskan untuk zaman mereka masing-masing dan bagi
masyarakat mereka masing-masing, yang belum tentu sama dengan situasi dan kondisi dari
zaman dan masyarakat kita sekarang ini.32

Dengan demikian maksud „kaidah hukum ekonomi Islam‟ dalam tulisan ini adalah asasasas atau prinsip-prinsip perilaku ekonomi berdasarkan sumber hukum Islam yang
diupayakan sesuai dengan tuntutan zaman menurut para mujtahid kontemporer.
Ada berbagai metode pengambilan hukum (istinbath) dalam Islam, yang secara garis
besar dibagi atas yang telah disepakati oleh seluruh ulama dan yang masih menjadi perbedaan
28

Ibid., h. 24-25.
Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 23-24.
30
Lukman Ali dkk, op.cit., h. 430.
31
Fauzi Gerrard, “Hukum Ekonomi Islam”, Sumber: http://fauzigerrard.blogspot.com, akses: 06/03/2014.
32
Munawir Sjadzali, loc.cit.
29

11

pendapat, di mana secara khusus hal ini dapat dipelajari dalam disiplin ilmu ushul fiqh.
Metode pengambilan hukum atas suatu permasalahan dalam Islam ada bermacam-macam
metode, namun dalam tulisan ini hanya akan dijelaskan metode pengambilan hukum yang
telah disepakati oleh seluruh ulama, terdiri atas Quran, sunnah, ijma‟ (konsensus), dan qiyas
(analogi).33
Keempat dalil atau sumber hukum ekonomi Islam tersebut, menurut Ahmad M.
Saifuddin, mengilhami tiga asas filsafat ekonomi Islam, yaitu (1) semua yang di alam
semesta; langit, bumi serta sumber-sumber alam yang ada padanya, bahkan harta kekayaan
yang dikuasai oleh manusia adalah milik Allah karena Dialah yang menciptakannya. Semua
ciptaan Allah itu tunduk pada kehendak dan ketentuan-Nya (QS 20:6 dan 5:120); (2) Allah itu
Maha Esa yang menciptakan manusia sehingga manusia yang berasal dari substansi yang
sama, wajib saling bantu-membantu dan bekerja sama terutama dalam kegiatan ekonomi
untuk memenuhi keperluannya berdasarkan persamaan dan persaudaraan (QS 31:20, 16:1016, 35:27-28, dan 39-21); serta (3) beriman kepada hari kiamat dan kepada hari pengadilan
akan mengendalikan perilaku ekonomi manusia karena akan dimintai pertanggungjawabannya
kelak oleh Allah. Ketiga asas filsafat ekonomi Islam ini melahirkan nilai-nilai dasar sistem
ekonomi Islam, yaitu: (1) pemilikan; (2) keseimbangan; dan (3) keadilan.34
Meskipun tidak banyak yang dikemukakan dalam Quran, dan hanya prinsip-prinsip
yang mendasar saja. Namun karena alasan-alasan yang sangat tepat, Quran dan Sunnah
banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya kaum muslim berprilaku sebagai
produsen, konsumen, dan pemilik modal, tetapi hanya sedikit tentang sistem ekonomi.
Sebagaimana diungkapkan dalam uraian di atas, ekonomi dalam Islam harus mampu
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. Selain itu, ekonomi
syariah menekankan empat sifat, antara lain: (1) kesatuan (unity); (2) keseimbangan
(equilibrium); (3) kebebasan (free will); dan (4) tanggung jawab (responsibility).35
Selanjutnya sistem ekonomi Islam berdasarkan tujuan dan motif ekonomi tidak berbeda
dengan sistem ekonomi lain, yaitu bekerja atas (1) tujuan yang sama mencari pemuasan
berbagai kebutuhan hidup; dan (2) motif yang sama mencapai hasil yang sebesar-besarnya
dengan tenaga dan ongkos yang sekecil-kecilnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Namun secara prinsip berdasarkan nilai-nilai dasar, sistem ekonomi Islam menjadi sistem
ekonomi yang terjadi setelah prinsip ekonomi yang menjadi pedoman kerjanya, dipengaruhi
atau dibatasi oleh ajaran-ajaran Islam.36
Pendapat lain menyebutkan bahwa ekonomi Islam mempunyai tujuan untuk
memberikan keselarasan bagi kehidupan di dunia. Nilai Islam bukan semata-semata hanya
untuk kehidupan muslim saja, tetapi seluruh mahluk hidup di muka bumi. Esensi proses
ekonomi Islam adalah pemenuhan kebutuhan manusia yang berlandaskan nilai-nilai Islam
guna mencapai pada tujuan agama (falah). Ekonomi Islam menjadi rahmat seluruh alam, yang
tidak terbatas oleh ekonomi, sosial, budaya dan politik dari bangsa. Ekonomi Islam mampu
menangkap nilai fenomena masyarakat sehingga dalam perjalanannya tanpa meninggalkan
sumber hukum teori ekonomi Islam, bisa berubah.37

33

Fauzi Gerrard, loc.cit.; lihat pula Abdul Wahhab Khallaf, op.cit, h. 2; dan Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam
(Jakarta: Attahiriyah, 1976), h. XIX.
34
Mohammad Daud Ali, op.cit, h. 5-9.
35
Anonim, “Ekonomi Syariah”, loc.cit.
36
Mohammad Daud Ali, op.cit, h. 18.
37
Anonim, “Ekonomi Syariah”, loc.cit.

12

Karena itu, secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar, yaitu: (1)
berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau anugerah dari Allah SWT kepada
manusia; (2) Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu; (3) kekuatan
penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama; (4) ekonomi Islam menolak terjadinya
akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja; (5) ekonomi Islam menjamin
pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang; (6)
seorang muslim harus takut kepada Allah SWT dan hari penentuan di akhirat nanti; (7) zakat
harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab); dan (8) Islam melarang
riba dalam segala bentuk.38
Kemudian Abul A‟la al-Maududi melansir larangan Quran dalam memperoleh
kekayaan dengan cara-cara berikut: (1) mengambil milik orang lain tanpa izin atau tanpa
imbalan, atau dengan izin dan dengan memberikan imbalan tetapi hal itu dilakukan dengan
paksaan atau tipuan; (2) menyuap; (3) dengan cara memaksa; (4) menggelapkan, baik
kekayaan milik pribadi atau masyarakat; (5) pencurian; (6) menyelewengkan milik anak
yatim; (7) menimbang tau mengukur dengan curang; (8) jual beli yang membantu
kemungkaran; (9) pelacuran dan upahnya; (10) pembuatan, pembelian, penjualan, dan
pengedaran minuman keras; (11) judi dan sejenisnya seperti pemindahan kekayaan kepada
orang lain hanya berdasarkan nasib (kebetulan); (12) membuat, membeli, dan menjual patungpatung, dan memlihara candi-candi yang di dalamnya patung-patung disimpan dan disembahsembah; (13) pendapatan yang diperoleh dari bisnis astrologi (nujum), peramalan nasib dan
sebagainya; serta (14) riba.39
Senada dengan di atas, menurut Yusuf Qardhawi, kaidah umum dalam mencari nafkah
adalah bahwa Islam tidak memperbolehkan para penganutnya mendapatkan harta dengan cara
semaunya. Islam menegaskan bahwa ada cara-cara usaha yang sesuai dengan syariat, ada pula
yang tidak sesuai dengannya, seiring dengan tegaknya kemashlahatan bersama. Perbedaan ini
mengacu kepada prinsip umum yang mengatakan bahwa segala cara untuk mendapatkan harta
yang hanya akan mendatangkan manfaat untuk diri sendiri dengan merugikan orang lain
adalah ghair masyru‟ (tidak sesuai dengan syariat). Sedangkan cara yang antar-individu saling
merelakan dan sama-sama mendapatkan manfaat dan keadilan („an taraadlin), ia adalah
masyru‟. Pendapat Qardhawi ini berdasarkan firman Allah SWT:

            
.           
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (QS an-Nisa: 29-30).

38

Rasyid Rizani, loc.cit.; lihat pula kompilasi ajaran-ajaran Quran tentang ekonomi yang dihimpun Abul
A‟la al-Maududi dalam MM Syarif (ed.), “Advent of Islam: Fundamental Teaching of the Qur‟an”, Buku Dua,
History of Muslim Philosophy, Penerjemah: Ahmad Muslim, Esensi Al-Quran: Filsafat, Politik, Ekonomi, dan
Etika (Bandung: Mizan, 1990), h. 69-83.
39
MM Syarif (ed.), ibid., 74.

13

Ayat tersebut menegaskan dua syarat perniagaan yang masyru‟ (sesuai dengan syariat),
yaitu: (1) perniagaan berlangsung atas dasar suka sama suka; dan (2) manfaat satu pihak tidak
boleh didasarkan kepada kerugian pihak lain; di sinilah, menurut Yusuf Qardhawi, maksud
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu” salah satu maknanya adalah merugikan pihak
lain.40
Selanjutnya Yusuf Qardhawi mengkompilasi ajaran Islam perihal interaksi ekonomi
sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW yang secara historis ketika Nabi diutus,
bangsa Arab telah memiliki aneka bentuk transaksi jual beli dan barter. Nabi pun menetapkan
sebagiannya, yang tidak bertolak belakang dengan prinsip-prinsip syariah, dan melarang
sebagian lain yang tidak sesuai dengan tujuan dan misinya. Larangan ini berkisar pada
beberapa hal, yang antara lain: membantu perbuatan maksiat, penipuan, eksploitasi, dan
merugikan salah satu pihak yang bertransaksi.
Selain itu, Yusuf Qardhawi membahas hal-hal berikut: (1) menjual sesuatu yang haram
adalah haram; (2) jual beli yang tidak transparan adalah haram; (3) mempermainkan harga
adalah zhalim; (4) para penimbun itu terlaknat; (5) intervensi yang mempengaruhi kebebasan
pasar seperti sistem ijon dilarang; (6) praktik makelar boleh hukumnya; (7) eksploitasi dan
penipuan dalam bisnis, haram; (8) banyak bersumpah, haram; (9) curang dalam menakar dan
menimbang, haram; (10) membeli barang rampasan dan curian, haram; (11) riba, haram; (12)
hati-hati dalam soal utang; (13) menjual dengan kredit dan dengan tambahan harga, boleh;
(14) inden (aqad salam), boleh dan haram apabila terkandung unsur pemerasan dari penjual;
(15) kerja sama dan modal (muzara‟ah), boleh dan haram jika tidak adil; (16) kerja sama
antar-pemilik modal (patungan), boleh; (17) asuransi (ta‟min), boleh atas nama keadilan atau
kerelaan dan diubah ke bentuk transaksi „sumbangan untuk mendapatkan ganti‟; (18)
eksploitasi tanah pertanian dengan digarap sendiri atau diserahkan kepada orang lain
(mukhabarah), boleh asal tanah tidak nganggur dan rusak; serta (19) menyewakan tanah
dengan uang, boleh dan haram berdasarkan qiyas (analogi) dengan gadai binatang yang bisa
dikendarai atau diperah susunya; qiyas ini diilhami hadis yang diriwayatkan oleh dua tokoh
ahlul Badr serta oleh Rafi‟ bin Khudaij, Jabir, Abu Said, Abu Hurairah, dan Ibnu Umar.41
Interaksi ekonomi menurut Islam lainnya dan lebih lengkap tentunya perlu pembahasan
lebih mendalam terhadap buku-buku fiqh muamalah.
Uraian kaidah hukum ekonomi Islam di atas merupakan beberapa prinsip yang global
dalam interaksi ekonomi menurut Islam. Konsepsi Islam yang berkaitan dengan penciptaan
keadilan sosio-ekonomi dengan pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan adalah
ditempuh dengan built-in program melalui zakat, dan sejumlah cara lain guna melaksanakan
pendistribusian pendapatan yang sesuai dengan konsep persaudaraan umat manusia. Dengan
demikian, ini merupakan hal penting bahwa sistem keuangan dan perbankan serta kebijakan
moneter dirancang semuanya itu pada akhirnya saling kait-mengkait ke dalam pakaian nilainilai Islam dan memberikan sumbangan secara positif untuk mengurangi ketidakadilan
daripada sebaliknya.42
Dua kata kunci yang menjadi pedoman dalam interaksi ekonomi Islam dan menjadi
kesimpulan tulisan ini adalah: (1) adil dan (2) tanggung jawab yang berdimensi duniawi dan
ukhrawi.
40

Yusuf Qardhawi, Al-Halal wal Haram fil Islam, Penerjemah: Wahid Ahmadi dkk, Halal dan Haram dalam
Islam (Solo: Era Intermedia, 2003), h. 210-211.
41
Ibid., h. 354-402.
42
Muhamad, op.cit., h. xi.

14

Kesimpulan
Benang merah yang ditarik dari uraian “Kaidah Kulliyah yang Bukan Kaidah Kubra”
dan “Kaidah Hukum Ekonomi Islam” kaitannya dengan “Produk Halal” di atas, secara
implisit, terkandung relevansi filsafat etika dan estetika dengan ilmu akhlak dan syari‟ah
dalam ilmu hukum Islam; dengan pengertian: Pertama , berdasarkan pertimbangan etika (baikjahat) dan estetika (indah-buruk), individu akan berbuat; kedua , tingkah laku atau perbuatan
individu yang etis-tidak etis dan estetis-tidak estetis dinilai oleh akhlak; serta ketiga , akhlak
individu itu dinilai oleh syari‟ah (boleh atau dilarang). Ketiga asumsi ini menjadi acuan ilmu
hukum Islam (Ushul Fiqh), khususnya dalam menentukan hukum halal atau haramnya suatu
perbuatan, sebagaimana dilansir Yusuf Qardhawi bahwa prinsip-prinsip Islam tentang hukum
halal dan haram adalah: (1) pada dasarnya, segala sesuatu boleh hukumnya, (2) penghalalan
dan pengharaman hanyalah wewenang Allah SWT, (3) mengharamkan yang halal dan
menghahalkan yang haram itu termasuk perilaku syirik kepada Allah SWT, (4) sesuatu
diharamkan karena ia buruk dan berbahaya, (5) pada sesuatu yang halal terdapat sesuatu yang
dengannya tidak lagi membutuhkan yang haram, (6) sesuatu yang mengantarkan kepada yang
haram maka haram pula hukumnya, (7) menyiasati yang haram, haram hukumnya, (8) niat
baik tidak menghapuskan hukum haram, (9) hati-hati terhadap yang syubhat agar tidak jatuh
ke dalam yang haram, (10) yang haram adalah haram untuk semua, dan (11) darurat
mengakibatkan yang terlarang menjadi boleh.43
Secara eksplisit-praktis, produk halal itu harus disertifikasi yang di Indonesia di bawah
koordinasi MUI (Majelis Ulama Indonesia) dengan BPOM (Badan Pengawas Obat dan
Makanan). Siginifikansi sertifikasi halal ini karena „halal‟, menurut Dr. Dwi Purnomo, STP,
MT, dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad, adalah konsepsi mutu tertinggi
dibandingkan dengan konsepsi mutu lainnya, terlebih Indonesia merupakan pangsa produk
halal terbesar di dunia. Kalau kita beli produk yang halal, maka sudah dipastikan mutunya
paling tinggi. Sertifikasi halal dalam suatu produk sangatlah penting. Hal tersebut terkait
dengan jaminan mutu dalam suatu produk, juga sebagai jaminan kepercayaan bagi para
konsumennya. Seiring dengan perkembangan zaman, konsumen akan cenderung memilih
produk yang telah bersertifikasi halal berdasarkan keyakinan bahwa produk halal sudah pasti
memiliki mutu yang baik.44
Wa Alla ah a‟lam.

Daftar Pustaka
Ali dkk, Lukman. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka.
Ali, Mohammad Daud. 1988. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press.
Amir, Dja‟far. 1969. Qidah-qaidah Fiqih . Semarang: Ramadhani.
Chotib, A. 1962. Bank dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani.
Hanafie, A. 1989. Usul Fiqh. Jakarta: Widjaya.

Yusuf Qardhawi, op.cit., h. 33; lihat pula Dja‟far Amir, op.cit., yang memuat 5 qaidah pokok dan 12
qaidah kulliyah dalam Fikih.
44
Sumber: http://news.unpad.ac.id/?p= 63611 , Akses: 31/3/2016.
43

15

Jambi, Abu Muhammad Dwiono Koesen al-. 2009. Selamat Tinggal Bank Konvensional:
Haramnya Bank Konvensional dan Halalnya Bank Syariah . Jakarta: Tifa Publishing
House.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1991. Ilmu Ushulul Fiqh. Terjemah: Noer Iskandar al-Barsany dan
Moh. Tolchah Mansoer. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Muhamad. 2001. Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press.
Qardhawi, Yusuf. 2003. Al-Halal wal Haram fil Islam. Penerjemah: Wahid Ahmadi dkk.
Halal dan Haram dalam Islam. Solo: Era Intermedia.
Rasjid, Sulaiman. 1976. Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyah.
Shiddqiey, TM Hasbi Ash-. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra.
Sjadzali, Munawir. 1997. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina.
Suhendi, Hendi. 1997. Fiqh Muamalah. Bandung: Gunung Djati Press.
Syafe‟i, Rachmat. 1994. Pengantar Ushul Fiqh Perbandingan. Bandung: PIARA.
Syarif (ed.), MM. 1990. “Advent of Islam: Fundamental Teaching of the Qur‟an”. Buku Dua.
History of Muslim Philosophy. Penerjemah: Ahmad Muslim. Esensi Al-Quran: Filsafat,
Politik, Ekonomi, dan Etika . Bandung: Mizan.
Yafie, Ali. 1994. “Konsep-konsep Hukum”. Editor: Budhy Munawar-Rachman.
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
Pustaka Online
Alwani, Taha Jabir al-. 2013. Ushul al-Fiqh dalam id.wikipedia.org/wiki/Ushul_fiqih, akses:
30/12/2013.
Anonim. “Ekonomi Syariah”. Sumber: http://id.wikipedia.org, akses: 06/03/2014.
Anonim. “Ushul Fiqih”. Sumber: http://id.wikipedia.org. Akses: 30/12/2013.
Budiati, Ria. “Kaidah-kaidah Fiqh”. Sumber: http://riabudiati.blogspot.com. Akses:
06/03/2014.
Gerrard, Fauzi. “Hukum Ekonomi Islam”. Sumber: http://fauzigerrard.blogspot.com, akses:
06/03/2014.
Maulana, “Dr. Dwi Purnomo STP., MT., „Halal adalah Konsepsi Mutu Tertinggi‟”, Sumber:
http://news.unpad.ac.id/?p= 63611, Akses: 31/3/2016.
Rajafi,
Ahmad.
“Qawaid
al-Ushuliyyah
dan
al-Fiqhiyyah”.
Sumber:
http://ahmadrajafi.wordpress.com. Akses: 06/03/2014.
Rizani, Rasyid. “Dasar-dasar Ekonomi Islam”. Sumber: http://konsultasi-hukum-online.com,
akses: 06/03/2014.
Silahuddin, Mohd. Asri. “Kaedah-kaedah Kulliyah yang bukan Utama”. Sumber:
www.scribd.com. Akses: 06/03/2014.