J00624

(1)

(Studi Etnografi di Kecamatan M ollo Utara- Timor Tengah Selatan)

Asni Salviany La’a dan Sri Suwartiningsih

Abstract

W eaving is a woman activity passed by ancestors to young girls from generation to generation. This kind of occupation is a contribution made by women to parents, husband and family to assist the need of family and to show the inner beauty of girls. This research has a purpose to explain the meaning of weaving for women in North M ollo, East Nusa Tenggara. This is an ethnographic research. The research revealed that social change has shifted the role of women in villages. They tend to buy blanket from the market instead of do the weaving themselves. Now, they lose skills in traditional weaving. W eaving in North M ollo is now facing a transition and the impact is that the symbols in weaving disappear gradually. Only certain people still maintain the weaving custom because of the influence of people from outside on the traditional design for an economic reason. From that activity, the researchers draws a conclusion that weaving is now facing a problem of spiritual and cultural values degradation.

From the research, the writers hope that the government pays attention on the preservation of classic weaving design. The government should control the pricingso that the buyer and seller get profit equally and the activity itself should be included as part of the school curriculum. W hereas the sources about traditional weaving can be in a form of publication of books about it.

Kata kunci : tenun, desain tradisional, tenun di M ollo Utara, nilai spiritual dan budaya.

1. Pendahuluan

Tenun adalah hasil kerajinan benang dengan cara memasukkan benang yang arahnya horizontal (benang pakan) ke dalam benang yang terentang atau arah vertikal (benang lungsi) pada alat tenun bukan mesin. Dalam kain tenun yang dihasilkan dengan peralatan tradisional tersimpan


(2)

makna-makna yang bernilai dan agung. Sesungguhnya dengan memegang dan memakai kain tenun tradisional kita seakan-akan sedang mengarungi suatu lembaran dokumen sejarah dari masyarakat yang membuatnya. Kain tenun sendiri merupakan benda mati, tetapi benda itu justru merupakan saksi hidup dari suatu budaya, yang dapat mengungkapkan salah satu sisi kebudayaan (Erni, 2003:17)

Kerajinan tenun Indonesia banyak jenisnya, ditinjau dari teknik pembuatan ragam hiasnya, seperti Tenun Songket, Tenun Ikat, Tenun Dobel Ikat, dan Tenun Jumputan. Asalmula kerajinan ini berasal dari daerah di mana tumbuh dan berkembangnya kerajinan ini. Hal ini dapat dilihat dari ragam hias yang terdapat pada masing-masing tenunan, yang merupakan pengembangan dari kehidupan alam dan masyarakat yang membuatnya, Arby (1995 : 15)

Arby, (1995:8) menambahkan lagi bahwa menurut sejarah sebutan ‘Tenun Ikat’ diperkenalkan pertama kali oleh seorang ahli Etnografi-Indonesia dari Belanda, G.P Rouffaen sekitar tahun 1900. Rouffaen meneliti cara pembuatan ragam hias dan sekaligus proses pewarnaannya dan menyimpulkan, kain ini dibuat dengan teknik mengikat lembaran benang supaya dalam proses pencelupan atau pewarnaan membentuk pola ragam hias sesuai dengan ikatan yang ada. Untuk nama teknik ini Rouffaen meminjam istilah bahasa M elayu yakni “Ikat” sehingga disebut “Tenun Ikat”.

Keberadaan Tenun ikat dalam kehidupan masyarakat, memiliki peran dan bernilai sangat baik secara ekonomi, sosial dan budaya. Nilai-nilai ini dapat dilihat dari perilaku atau kebiasaan masyarakat daerah Nusa Tenggara Timur. Pembuatan kerajinan Tenun Ikat ini biasanya oleh perempuan. Kemampuan dalam menenun akan digunakan untuk menentukan derajat perempuan. Setiap perempuan yang pandai menenun dianggap lebih tinggi derajatnya dari pada perempuan yang tidak pandai menenun. Pada saat peminangan, pihak laki-laki bersedia memberikan mas kawin atau belis sebanyak yang diminta apabila perempuan pandai menenun.

Tenun Ikat juga dipercaya dapat memberikan sugesti kekuatan terhadap suatu tindakan. Hal ini nampak pada pemberian kain oleh seorang ibu kepada anaknya yang akan pergi merantau.


(3)

Kain tenun juga dapat dijadikan kebanggaan bagi seseorang atau suatu keluarga. Hal tersebut terlihat ketika seseorang atau keluarga didatangi tamu dan akan bermalam. Kewajiban tuan rumah adalah menyediakan selimut atau hasil kerajinan tenunnya sebagai penutup badan pada saat akan tidur atau merasa dingin. Kebiasaan ini merupakan kebanggaan bagi tuan rumah (Arby, 1995:22).

M enenun adalah pekerjaan atau kerajinan tangan kaum perempuan yang diturunkan kepada anak gadisnya dari generasi ke generasi. Pekerjaan ini merupakan sumbangan kaum perempuan bagi orang tua, suami, anak-anak dan keluarga serta untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga yang sekaligus memperlihatkan pancaran seni yang terpatri dalam diri sang istri atau anak gadis. Orang yang melihat akan berpikir pekerjaan menenun pekerjaan ringan karena dilakukan pada waktu senggang, namun sebenarnya pekerjaan menenun merupakan pekerjaan yang sulit dan menyita waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Konon ada tenunan yang dikerjakan sampai kurang lebih 10 (sepuluh) tahun dan hanya akan dipakai pada saat upacara-upacara khusus.

Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah dalam artikel ini adalah “apa makna tenun ikat bagi perempuan di kecamatan M ollo Utara-Timor Tengah Selatan”. Dengan tujuan menjelaskan makna Tenun Ikat bagi perempuan di Kecamatan M ollo Utara - Timor Tengah Selatan. Penelitian ini adalah penelitian etnografi menggunakan pendekatan kualitatif. Etnografi adalah penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya.

2. Kebudayaan dan Tenun

2.1 Pengertian dan Unsur Kebudayaan

Kebudayaan dapat didefinisikan dalam berbagai cara. Harris (dalam Spradley 2006:8) mengatakan bahwa, konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang diartikan oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat (custom), atau cara hidup masyarakat. Konsep kebudayaan sebagai sistem simbol yang bermakna banyak memiliki persamaan dengan pandangan interaksionalisme simbolik (suatu teori yang


(4)

berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan makna).

Pengertian kebudayaan oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (dalam Koentjaraningrat 1990:180) adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau nya “kebudayaan jasmania” (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. Sementara itu menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

2.2 Tenun hasil Kebudayaan

Dalam masyarakat tradisional tenunan merupakan harta milik keluarga yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini sulit dibuat. Proses pembuatannya atau penuangan motif tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun sehingga menjadi mahal. Tenunan sangat bernilai dari nilai simbolis yang terkandung, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat.

Penelitian ini dilaksanakan di salah satu wilayah NTT yaitu di M ollo Utara. Sebagai penelitian etnografi, penelitian ini mencari nara sumber pertama dan mencari data yang senyatanya. Penelusuran sejarah dan aktor menjadi data primer tanpa memberikan opini. Jadi data-data ditelusuri sampai pada nara sumber utama seperti yang diuraikan di bawah ini.

M enurut sejarah pada masa pemerintahan Raja Sobe Sonba’i III (kerajaan Oenam) terjadi perang Bipolo, dan sang raja ditangkap Belanda di Bes’ana akibat pengkhianatan marga Oematan di Bes’ana dan kemudian diasingkan ke W aingapu Sumba Timur. Pada tahun 1922, Sobe Sonba’i II I meninggal dan dimakamkan di Fatufeto Kupang. Setelah sang raja meninggal, Belanda membagi-bagi wilayah kerajaan Oenam atas beberapa kerajaan kecil yaitu: kerajaan M iomafo, kerajaan M ollo, dan kerajaan Fatule’u.

Tentang orang pertama di M ollo sendiri (suku M olus atau M elus dan Keunjmana atau Kenurawan) diduga kuat adalah bagian dari ras


(5)

Papua-M elanesia. Papua-M ereka digambarkan sebagai kelompok nomaden, bertubuh pendek, bermuka cekung, berhidung pesek, berkulit hitam dan berambut keriting. Khusus pada suku Keunjaman terdapat ciri lainnya yakni berbulu dada dan berkaki jangkung. Dalam perkembangannya suku M olus dan Keunjaman terdesak oleh suku bangsa lain yang datang (orang-orang dari M alaka atau Belu Selatan). Suku M olus yang terdesak kemudian menyebrangi laut menuju kepulauan Alor disebut sebagai met-meni kiuftasi (Yosep Taum, 2009)

Asal usul nama M ollo:

a. M enurut juru bicara (mafefa) dari desa Bes’ana, nama M ollo berasal dari kata ‘na molok’ artinya ‘berbicara’, pembicara antara seorang pemburu dan seekor musang (anseko). Informasi yang mirip juga dikemukan oleh para mafefa dari desa Oelbubuk, Binaus dan Kuale’u, yang mengartikan ‘molok’ sebagai berbicara, bersepakat, berjanji, atau bermusyawarah. Namun yang dimaksud adalah pembicaraan dan perjanjian antara marga Lassa yang meminta bantuan marga Oematan untuk memerangi Jabi-Uf.

b. Informasi dari mafefa desa Laob, nama M ollo berasal dari kata ‘’noni (noin) mollo’’ yang artinya uang kuningan yang ditemukan oleh seorang wanita bernama Bi Tae-Neno di puncak sebuah gunung yang sekarang disebut gunung M ollo.

c. Informasi dari mafefa desa Netpala, nama M ollo berasal dari kata ‘molfa-mate’ yang artinya sangat kuning. Asal usul mollo dari pemahaman ini mengacu pada nama dua marga yaitu Lassa dan Toto yang konon disebut sebagai penghuni pertama gunung M ollo, yang sebelumnya bernama ‘M atahas’ artinya menyinari, karena kedua marga ini sudah cukup lama bermukim di gunung M ollo maka kedua marga ini mendapat julukan sebagai ‘molo-oki atau oik molo’.

d. Informasi dari mafefa Fatumnutu, nama M ollo sendiri disesuaikan dengan kondisi alam, yaitu sinar matahari yang condong ke ufuk barat dan tampaknya seperti mengarah ke bawah kaki langit. W arna cahayanya berubah menjadi kekuningan menyinari seluruh gunung M ollo sehingga tampak menguning seluruhnya.


(6)

Kesimpulannya meskipun ada berbagai perbedaan persepsi dan versi cerita dari para M afefa, namun masih ada satu sisi kesamaan di dalamnya yaitu kata M ollo yang berarti ‘kuning’.

Struktur pemerintahan kerajaan M ollo: 1. Afinit artinya pendahulu atau leluhur.

2. Pah Tuaf artinya penguasa atau pemilik wilayah.

3. M afefa artinya juru bicara raja atau juru bicara adat. Penghubung

Pah Tuaf dengan amaf, meob, dan ana’a tobe. Hubungan antara Pah Tuaf dan amaf, meob dan ana’a tobe merupakan sebuah hubungan tidak langsung.

4. Amaf-amaf artinya marga-marga pendukung utama Pah Tuaf atau Raja. Dalam satu kelompok, amaf terdiri dari delapan marga pendukung. Dari delapan marga pendukung terdapat empat marga pendukung yang bertanggungjawab atas kesejahteraan dan kehidupan raja. Empat marga pendukung lainnya bertanggungjawab untuk melayani kebutuhan raja.

5. M eob artinya pahlawan yang bertanggungjawab atas keamanan dan ketentraman wilayah kerajaan.

6. Ana’ A tobe artinya yang berwenang dan bertanggungjawab atas kelestarian alam atau wilayah.

7. M nais Kuan artinya tua kampung atau pemangku adat yang keberadaanya telah disepakati oleh para amaf.

8. Tob (To Ana) artinya rakyat biasa atau rakyat pada umumnya yang mendiami wilayah kerajaan M ollo.

Nama raja-raja yang memerintah Kerajaan M ollo: To Oematan, Tabelak Oematan, Kono Oematan, Raja Tua Sonba’i, Raja Semuel Soleman Henderik Oematan, merupakan anak kedua dari Tabelak Oematan, Raja Edison Richard Ferdinand Oematan.


(7)

3. Tenun dan M aknanya 3.1 Tenun I kat

Dalam wawancara dengan Alfret M akh1, beliau menceritakan bahwa

untuk menghasilkan tenun ikat, prosesnya adalah sebagai berikut: benang dalam bentuk streng (gulungan panjang) terlebih dahulu harus dimasak dengan sabun untuk menghilangkan kotoran dan minyak. Setelah dimasak kurang lebih satu jam, benang diangkat kemudian dibersihkan dan dijemur sampai kering. Penggulungan atau pengelosan benang dilakukan sambil duduk. Benang dibentangkan diantara lutut, sementara ujung benang digulung pada batu kecil sambil terus digulung sampai habis.

Benang yang akan dipergunakan untuk pakaian tetap dibiarkan dalam bentuk streng. Setelah benang digulung atau dikelos selanjutnya di hani

pada pemidang hani. Proses penghanian ini biasanya dilakukan oleh dua orang. Cara menghaninya adalah ujung benang diikat pada satu sisi pemidang kemudian benang ditarik dan dibentangkan di pemidang. Pekerjaan ini dilakukan hingga mencapai jumlah benang yang dibutuhkan.

Proses penghanian dilanjutkan dengan proses pengikatan motif. Benang hasil hanian dibentangkan pada pemidang ikat. Untuk menghemat waktu, benang dirangkap sesuai dengan corak motif yang akan diikat. Sesudah itu benang diikat dengan tali rafiah atau tali daun kelapa. Benang yang telah diikat selanjutnya dilepaskan dari pemidang ikat dan tali rafiah lainnya kemudian dicelup ke air pewarna sesuai yang diinginkan.

Setelah proses pencelupan benang selesai maka benang dicuci bersih kemudian dimasak dengan sabun kurang lebih seperempat jam agar sisa-sisa zat warna yang masih melekat pada permukaan benang dapat larut. Setelah benang dimasak dengan sabun, dicuci bersih, diangin-anginkan di tempat yang teduh. Apabila benang telah benar-benar kering maka dilanjutkan dengan proses pembukaan tali pada benang. Proses pembukaan dilakukan dengan hati-hati agar benang tidak putus (proses pembukaan dilakukan dengan memakai pisau kecil). Benang yang telah dibuka ikatannya selanjutnya dibentangkan kembali pada pemidang dengan tujuan mengatur kembali corak motif atau untuk menambah lajur-lajur benang.

1. Alfred Maak. Beliau memiliki galeri yang menjual hasil-hasil kerajinan masyarakat Timor


(8)

setelah itu dilanjutkan dengan pemasangan Gun. Selanjutnya benang yang telah dilepaskan dari pemidang dipasang pada alat tenun untuk selanjutnya ditenun.

Proses menenunnya sama dengan proses menenun tenun ikat lainnya. Bedanya pada tenun ikat, motif telah dibentuk pada benang lungsi sedangkan untuk tenun buna motif baru terbentuk pada proses menenun. Pada proses menenun buna, motif dibentuk dengan cara pakan tambahan dilingkarkan pada lajur benang lugsi mulai dari arah kiri atau kanan penenun mengikuti lajur benang pakan kemudian dilanjutkan dengan pengetekan benang pakan. Proses ini dilakukan berulang-ulang sesuai dengan motif yang diinginkan dan dilakukan dengan kesabaran, ketelatenan serta memerlukan waktu yang sangat lama.

3.2 Tenun Lotis/Sotis atau Songket

Pada bagian ini Alfret menambahkan bahwa, proses tenun lotis mirip dengan proses tenun buna. Pada tenun lotis motif terbentuk karena persilangan benang lungsi diantara benang pakan sehingga terjadi efek lungsi diatas benang pakan sehingga terjadi efek lungsi, efek lungsi inilah yang disebut motif. Untuk membuat motif pada tenunan lotis, dipergunakan lidi sebagai alat bantu untuk mengungkit benang lungsi tertentu sesuai dengan pola motif, setelah itu baru dimasukkan benang pakan dan di rapatkan dengan menggunakan batu. Pada tenun lotis, selain dipergunakan gun yang fungsinya untuk membuka mulut lungsi, juga dipergunakan lidi sebagai alat bantu untuk membuka mulut lungsi pada benang-benang lungsi tertentu sehingga membentuk motif.


(9)

4.M akna Tenunan M ollo 4.1 Tenunan Pauf

Gambar 14 Tenunan Pauf

Sumber: Data Primer, 2012

Ket: M emiliki simbol lulat kollo dan lulat pohok. Hasil tenunan ini hanya dapat dikenakan oleh raja atau penguasa.

Gambar 15 Tenunan Pauf

Sumber: Data Primer, 2012

Ket: Hanya memiliki simbol lulat pohok. Hasil tenunan ini dipakai oleh atoin amaf dan keluarga kerajaan.

Orang-orang di M ollo Utara menyebut motif tenunan pada gambar di atasdengan sebutan Pauf. Pauf dapat ditenun berbentuk selimut dan juga sarung. Namun demikian, lebih sering dibuat dalam bentuk selimut dan dipakai oleh kaum laki-laki. Pauf ini dapat dibuat dari benang yang dipintal secara tradisional atau dari benang sulam dengan teknik sotis atau lotis. Teknik ini berbeda dengan teknik ikat atau futus. Proses pembuatan ragam hias dengan menggunakan teknik sotis atau lotis ini dibuat dengan cara mengungkit benang lungsinya dan menambahkan benang pakan saat proses


(10)

penenunan. W arna dasar dari kain tenun ini adalah merah dan putih ditambahdengan warna kuning, biru, ungu dan hijau. W arna merah dan putih melambangkan bendera kebangsaan dan secara khusus warna putih juga menggambarkan wilayah M ollo Utara, warna kuning menggambarkan orang M ollo, biru menggambarkan kedamaian, ungu melambangkan kebaikan dan warna hijau melambangkan kesuburan.

Teknik pembuatan dari kain atau tenunan ini memiliki keunikan tersendiri. Proses pembuatan tenun ini terdiri dari tiga kali pembuatan. Dengan kata lain selimut ini terdiri dari tiga helai tenunan yang kemudian dijadikan satu kain selimut. Lembaran pertama dan kedua yaitu bagian kiri dan kanan selimut yang proses pembuatan ragam hiasnya menggunakan teknik ikat. Sementara proses pembuatan ragam hias pada lembaran ketiga atau bagian tengah kain menggunakan teknik sulam atau sui. Setelah ketiga helai kain ini ditenun maka disambung dengan jahitan. 2.

Di M ollo utara terdapat delapan (8) atoin amaf dan kedelapan amaf ini digambarkan dalam simbol belah ketupat (bentuk geometris). Kedelapan

atoin amaf tersebut adalah Toto-Tanesip, Nani-Lasa dan Seko-Baun, Tois-Sumbanu, di dalam penyebutannya haruslah terdiri atas empat nama marga yang tentu saja memiliki ikatan kekeluargaan yang erat. M arga-marga tersebut tidak dapat disebut satu persatu atau secara terpisah. Simbol belah ketupat tersebut memiliki dua arti lulat pohok dan lulat kollo. Lulat pohok

(lulat yang berarti raja dan pohok yang berarti membungkus)dapat dipakai oleh keluarga bangsawan atau kerajaan sedangkan lulat kollo

(menggambarkan burung Garuda) hanya boleh dipakai oleh raja atau penguasa.

Arti dari ragam hias tersebut adalah manifestasi atau pencerminan dari hubungan sosial antara rakyat dengan penguasa atau raja. Selain itu juga memberikan arti sikap raja terhadap rakyat dalam hal dukungan atau perlindungan. Selain itu juga mencerminkan sikap bijaksana dari seorang raja terhadap rakyatnya.

2. I bu Sara Ni Reni Oematan. (isrti dari bapak Edison Oematan yang adalah Raja Mollo


(11)

4.2 Tenunan Lotis

Gambar 16 Tenunan Lotis Sumber: Data Primer, 2012

Ket: Dipakai oleh rakyat

Tenunan lotis memiliki makna religi. Pada tenunan lotis terdapat motif belah ketupat yang secara khusus memiliki makna religi. Tenunan

lotis ini lebih sering dipakai oleh kaum perempuan di M ollo Utara dalam bentuk sarung dan selendangdengan warna-warna cerah. Ragam hias yang terdapat pada kain ini didominasi oleh ragam hias belah ketupat yang memenuhi sarung atau selendang. Simbol belah ketupat menggambarkan harapan dan kepercayaan masyarakat akan Tuhan, ikatan kekeluargaan dimana dalam kehidupannya harus saling menghormati dan membantu dan menunjukkan arah mata angin3.

5. Pergeseran M akna

Berbicara mengenai tenun ikat maka akan membahas pula mengenai salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia. Dalam kehidupan komunal manusia menyepakati berbagai aturan, norma, bahasa, akhirnya menyepakati tanda dan lambang sebagai identitas bersama. Tenun ikat bagi masyarakat M ollo Utara memiliki makna yang sangat mendalam dan simbol-simbol yang ada dalam tenun ikat sebagai simbol status sosial sesesorang yang sangat berpengaruh dan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan karena tenun ikat merupakan salah satu unsur yang terpenting di dalam kehidupan orang M ollo Utara. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran makna tenun ikat.


(12)

5.1 Status Sosial

M enurut Linton dalam Kuntowijoyo (2006:45) status sosial merupakan sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang dalam masyarakat. Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status sosialnya rendah. Dalam kehidupan masyarakat di M ollo Utara pada zaman dahulu simbol-simbol yang ada pada tenun ikat mempunyai makna yang sangat kuat. Simbol lulat kollo misalnya hanya boleh dipakai oleh raja dan keturunan raja atau bangsawan sedangkan masyarakat biasa tidak diperbolehkan memakai simbol tersebut. Status sosial merupakan kedudukan, peran dan tanggung jawab seseorang dalam masyarakatnya.

5.2 Budaya orang M ollo Utara

Budaya merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi kegenerasi (Stewart dan Sylvia 2005:337). Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, pakaian, bangunan dan karya seni. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas. Unsur-unsur sosial budaya ini besar dan meliputi banyak kegiatan sosial masyarakat.

W ujud kebudayaan menurut Hoed dalam Hoed (2010:27) dibedakan menjadi tiga yaitu gagasan, aktivitas dan artefak. Gagasan wujud (ideal) kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebaginya yang bersifat abstrak, tidak dapat disentuh. Pada masyarakat di M ollo Utara simbol-simbol yang ada pada tenun ikat memiliki makna yang sangat mendalam. Di dalam pemakaian simbol-simbol pada tenun ikat bukanlah dipakai secara sembarangan karena simbol-simbol tersebut memiliki nilai-nilai dan makna tersendiri di dalam simbol tersebut. M isalnya simbol yang dimiliki oleh orang M ollo Utara adalah simbol lulat kollo.

W ujud kebudayaan ini terletak dalam alam pemikiran masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut atau orang dari daerah tersebut.


(13)

1. Aktivitas atau tindakan adalah wujud kebudayaan sebagai tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. W ujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang sering berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Dalam kehidupan masyarakat di M ollo Utara simbol atau makna yang terdapat didalam tenun ikat sangat mempengaruhi kepercayaan dan kehidupan mereka sehari-hari.

2. Artefak (karya) adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkrit diantara ketiga wujud kebudayan. Tenun ikat merupakan karya seni yang tidak ternilai harganya bagi masyarakat dan para leluhur orang M ollo. Tenun juga memiliki makna yang sangat mendalam walau seiringnya waktu mengalami pergeseran makna. Namun demikian tenun ikat tetaplah sebuah karya seni yang memiliki makna dan keindahan sendiri.

Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat antara wujud kebudayaan yang satu tidak dapat dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia (Koenjoroningrat 2009:150-151)

5.3 Pendidikan

M enurut Donald dan Langeveld (dalam (Koentjaraningrat, 2009:153-154), pendidikan adalah proses atau kegiatan yang diarahkan untuk mengubah kebiasaan (behavior) manusia. Behavior adalah tanggapan atau perbuatan seseorang dan sesuatu yang dilakukan seseorang. Faktor yang mempengaruhi pergeseran makna tenun ikat di M ollo Utara salah satunya adalah pendidikan. Dengan banyaknya orang M ollo Utara berpendidikan formal menjadi alasan untuk tidak memiliki waktu atau kesempatan belajar serta membuat tenun ikat lagi. M ereka juga cenderung beranggapan bahwa proses belajar dan menenun hanya dilakukan oleh ibu-ibu atau anak perempuan yang tinggal di kampung atau desa dan sekarang ini tenun ikat


(14)

serta simbol-simbol yang terdapat di dalamnya hanya dianggap sebagai simbol keindahan atau karya seni untuk memperindah penampilan semata.

5.4 Ekonomi

Pergeseran makna tenun ikat di M ollo Utara juga dipengaruhi oleh segi ekonomi. Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi dan pertukaran. Apabila kita sekarang melihat tenun ikat mengalami banyak perubahan yaitu adanya pengambilan simbol atau motif tenunan dari daerah lain kemudian digabungkan dengan tenunan dari M ollo Utara. Dengan adanya pencampuran motif dari daerah lain tersebut juga turut mempengaruhi warna benang yang digunakan dalam pembuatan tenun ikat. Tanpa melihat lagi unsur makna dari simbol yang diambil atau yang dipergunakan maka hal tersebut mengakibatkan makna simbol yang telah dipertahankan oleh nenek moyang dulu telah mulai memudar. Hal tersebut dilakukan dengan alasan untuk memenuhi permintaan dari konsumen semata sehingga untuk sekarang ini apabila kita ingin mendapatkan langsung motif atau simbol tenunan M ollo Utara maka kita harus memesannya terlebih dahulu untuk dibuatkan.

5.5 Budaya Luar (moderen)

Derasnya arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah kecenderungan yang mengarah pada memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya. Perkembangan 3T (transportasi, telekomunikasi dan teknologi) mengakibatkan berkurangnya keinginan untuk melestarikan budaya daerah sendiri. Salah satu faktor yang mempengaruhi pergeseran makna tenun ikat di M ollo Utara yang sangat berpengaruh adalah budaya dari luar. Karena proses interaksi dengan orang dari daerah lain maka tanpa disadari mempengaruhi mereka secara langsung. Contohnya simbol Lulat Pohok yang seharusnya hanya di pakai oleh raja, kini telah dijumpai pada hasil tenunan yang dipakai oleh mereka yang bukan turunan raja ataupun raja.


(15)

6. Perempuan Dalam Kehidupannya

M enurut pandangan budaya orang M ollo kedudukan perempuan dan laki-laki adalah saling melengkapi. Pandangan ini tercermin dalam struktur desain rumah tradisionalnya.

Rumah menempati posisi sentral dalam tata dunia dan tata sosial orang Timor. M enurut Cunningham (dalam Nuban Timo 2006:56) rumah adalah pusat pelaksanaan ritus doa, korban persembahan dan pesta. Ritus yang berhubungan dengan siklus kehidupan biasanya dilaksanakan di rumah mereka yang terlibat langsung dan berhala keluarga disimpan di situ. Rumah dengan benda-benda keramatnya harus dilindungi. Para pewaris harus menjaga benda-benda pusaka dan mendiami rumah tersebut. Doa-doa dapat dinaikkan kepada Uis Neno (Allah), roh-roh, dan leluhur dari rumah.

Bagi daerah-daerah di NTT, termasuk M ollo Utara rumah bukan semata-mata tempat tinggal melainkan simbol tata dunia dan tata sosial. Penataan rumah tidak ditentukan oleh pertimbangan seni atau fungsi akan tetapi oleh makna yang hendak diungkapkan. Jumlah rumah orang Timor, yang berarti juga orang M ollo ada dua. Rumah yang pertama merupakan rumah tempat tinggal (ume kbubu) dan kedua adalah rumah tamu (lopo).

7. Perempuan dan Adat

Budaya di NTT, khususnya suku M eto (termasuk M ollo Utara) terdapat budaya “lasi nak atoni”. Secara harafiah ungkapan ini berarti laki-laki adalah kepala semua urusan. Ungkapan ini semakin memperkuat budaya patriarkal di dalam kehidupan masyarakat. Di dalam budaya masyarakat M ollo ada dua benda yang dapat menjelaskan tentang peran dari perempuan dan laki-laki. Dua benda itu adalah ike-suti dan suni-auli. Benda-benda ini sekaligus banyak bercerita tentang gagasan, pandangan dan keyakinan iman serta relasi perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat.

Ike-suti adalah benda kembar yang berguna bagi setiap perempuan dewasa dalam proses pembuatan tenun. Dua perkakas ini masing-masing adalah alat pemintal benang. Ike berupa tongkat kecil bulat, berukuran kira-kira 15 cm. Pada bagian ujung atas berdiameter kurang lebih 0,5 cm


(16)

dan ada kaitan seperti yang ada pada gasing. Sementara ujung bawah diameternya lebih besar, kurang lebih 4 cm dibuat runcing ujungnya agar dapat berputar. Suti berupa sebuah tempurung atau kulit kerang yang berfungsi sebagai mangkuk dimana ike diputar untuk membuat atau memintal benang.

Suni-auli merupakan dua buah benda yang berguna bagi setiap laki-laki dewasa untuk mempermudah tugas-tugasnya seperti berburu, berkebun, membangun rumah dan berperang melawan musuh. Sini adalah kata untuk pedang, sedangkan auni adalah tombak. Kedua benda ini sering juga disebut bersama-sama dengan benas (parang) dan pali (linggis).

Ike-suti dan suni-auli bagi perempuan dan laki-laki orang M ollo merupakan atribut yang sangat membanggakan. Pemilik dari benda-benda tersebut akan diakui masyarakat sebagai manusia dewasa dan karena itu mereka boleh mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Perempuan dan laki-laki yang dahulunya hidup dari bakti orang tua, sekarang telah boleh berbakti kepada orang tua dengan mempersembahkan kepada mereka kain tenun dan hasil kebun yang diperoleh dari pekerjaannya menggunakan ike-suti dan suni-auli. Semakin sering seorang perempuan dan laki-laki menunjukkan baktinya kepada kedua orang tuanya, akan terus dibicarakan kebaikannya itu di dalam keluarga dan masyarakat.

Setiap perempuan dan laki-laki M ollo akan merasa bangga dan terhormat bila keluarga dan masyarakat menyebut dia sebagai pemilik ike-suti yang bercahaya atau suni-auli yang tajam (ike-suti na aik, suni-auli na aik). Karena perempuan dan laki-laki telah dapat mempergunakan ike-suti

dan suni-auli dengan benar dan bermanfaat maka mereka telah dapat menikah dan membentuk rumah tangganya sendiri.

8. Perempuan dan Tenun

Sekitar tahun 50-an silam masyarakat M ollo Utara tidak saja menjadikan tenun sebagai pakaian adat, tetapi lebih dari itu sebagai sumber kehidupan. Sejumlah perempuan berkumpul saling bantu merajut kapas menjadi benang, memintal benang, dan kemudian menenunnya menjadi kain tenunan yang indah. Tenun adalah sebuah ikatan cinta, kasih dan


(17)

kekeluargaan. Di M ollo Utara, sebelumnya perempuan yang akan menikah ditentukan kepandaiannya dalam menenun. Semakin halus tenunannya, semakin perempuan itu dianggap baik. Hasil tenunan yang dihasilkan mencerminkan ketelitian, kesabaran, dan rasa keindahan pembuatnya sehingga betapa pentingnya makna tenun bagi masyarakat.

Keberadaan perempuan memegang peranan yang sangat penting. Perempuanlah yang mengatur dan menyediakan makanan dan kebutuhan akan pakaian bagi suami dan anak-anaknya. Keberadaan dan peran perempuan sudah tergambar jelas di dalam keberadaan ume kbubu di dalam kehidupan bermasyarakat. Keberadaan perempuan semakin lengkap lagi dengan adanya ike suti sebagai alat yang diberikan untuk menghasilkan sebuah karya seni yang indah. Karya seni yang tertuang dalam lembaran-lembaran tenunan akan dipersembahkan untuk suami, anak-anak dan keluarga sebagai lambang penghormatan dan cinta kasihnya. Hasil tenunan yang telah dibuat juga akan dijadikan sebagai sarana memperkenalkan dan mengingat tali persaudaraan. Di dalam acara-acara adat dan acara-acara-acara-acara khusus, tenun ikat memengang peranan yang sangat penting.

9. Kesimpulan

Daya tarik tenun tradisional M ollo Utara terletak pada makna religius dan kepercayaan yang terkandung didalamnya yang dipadukan dengan seni merancang motif dalam penempatannya yang akan diakui sebagai miliknya. Kekuatan spiritual dari tenunan dapat dilihat dari bagaimana perpaduan yang serasi antara seni mengikat benang, mewarnai dan menenun yang dijiwai oleh kepercayaan dan pandangan hidup dari sukunya sehingga hasil tenunannya akan dihargai, dicintai dan akan selalu dibanggakan.

Kerajinan tenun M ollo Utara sekarang ini memasuki masa transisi. Pesan religius di dalam motif-motifnya yang telah terpelihara secara turun temurun mulai memudar. M akna dari motif-motif yang dimilikinya dari warisan lelehur kini tidak lagi diketahui oleh mereka. Hanya sebagian kecil perempuan yang masih mengetahui makna dari motif-motif tersebut. Berdasarkan alasan ekonomi maka motif-motif spiritual yang berdasarkan adat yang khas sudah ditambahkan dengan motif-motif dari luar, dengan


(18)

terjadinya hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa tenunan sekarang ini berada dalam keadaan dimana terdapat tarik menarik antara nilai-nilai spiritual dan adat budaya turun temurun.

Perubahan-perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi telah menggeser fungsi peranan perempuan dalam proses penenunan. Kini perempuan-perempuan desa tidak lagi menanam kapas, maka hilanglah ketrampilan dalam mengelola kapas dan hilang pula peralatan pemintal benang tradisional. Kebutuhan akan benang tenunan diperoleh dari benang-benang hasil pabrik, demikian juga dengan pewarna benang yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan. Hal serupa juga terjadi pada proses pembuatan tenunan. Perempuan yang dulunya dapat menenun sekarang ini ada yang tidak lagi menenun. M ereka lebih cenderung membeli hasil tenunan orang lain dan hasil tekstil untuk dipakai. Anak-anak perempuan sekarang ini hanyalah sebagian kecil yang masih memiliki keinginan untuk belajar dan menenun. Dengan berbagai alasan mereka mengungkapkan mengapa sampai terjadi hal demikian. Alasan membantu suami di kebun, mengurus anak, bersekolah dan sudah bertempat tinggal di kota menyebabkan mereka tidak dapat lagi menenun.

Perubahan-perubahan juga terjadi dimana peran sosial perempuan dalam masyarakat disaat ini mulai berkurang. Hal ini dibuktikan dengan berkurangnya fungsi sosial dari hasil tenunan karya perempuan itu sendiri. Sebagai contoh fungsinya dalam membayar maskawin, ucapan terimakasih, denda adat yang mengharuskan pemberian tenunan yang memiliki arti atau makna tertentu telah diganti dengan uang atau barang berharga lainnya. Dengan terjadinya pergeseran kedudukan tenunan di dalam masyarakat maka berdampak juga bagi keberadaan perempuan di dalam masyarakat.

Referensi

Arby, Aurora; Alexander, Bell, & Soleman, Bessie. 1995. Album seni budaya Nusa Tenggara Timur. Depertemen Pendididkan dan Kebudayaan. Kupang. Berger, Asa Arthur. 2010. Pengantar SEM IOTIKA Tanda-tanda Dalam


(19)

Boru, M elkianus. 1989. M otif Selimut Adat Kabupaten DATI II TTS. Pemerintah Daerah Tingkat II TTS. Soe.

Bungin, Burhan. 2001, M etodologi Penelitian Sosial. Airlangga University Press. Surabaya.

____________. 2003. M etode Penelitian Kualitatif, PT Raja Grafindo. Jakarta. Foeh, M . 1976. M onographi Daerah Nusa Tenggara Timur (Timor, Rote dan Sabu).

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kupang.

Hidajad, Z. M . 1976. Masyarakat dan Kebudayaan: Suku-suku Bangsa di Nusa Tenggara Timur. Tarsito. Bandung.

Hoed H. Benny. 2010. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Komunitas Bambu. Jakarta

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Reneka Cipta. Jakarta. Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Panji Pustaka. Jogyakarta

Lahade, John R. 2011. Perempuan, Kuda dan Tenun. Kedudukan Perempuan dalam Keluarga di M asyarakat W ewena, Sumba. W idya Sari Press. Salatiga

Laksono. 1999. Teori Budaya. Pustaka Pelajar

M aga, Djawa & Maria, H. Kalau. 1998. Pengetahuan Lingkungan dan Sosial Budaya Daerah Nusa Tenggara Timur. PT Pabelan. Kupang.

M ansour Fakih. 2007. Analisis gender & Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Jogyakarta

Nuban Timo, Eben. 2006. Pemberitaan Firman Pencinta Budaya. BPK Gunung M ulia. Jakarta

____________. 2007. Sidik Jari ALLAH Dalam Budaya. Ledalero. Maumere NTT. Sugiyono. 2005. M emahami Penelitian Kualitatif. Alvabeta. Bandung.

Suhardini. 2000. Tenun Ikat Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Suhardono, Edy. 1994. Teori Peranan. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. Suparlan, Parsudi. 1971. Kebudayaan Timor: M anusia dan Kebudayaan di


(20)

Spradley P. James. 2006. M etode Etnogravi. PT Tiara W acana. Jogyakarta. Suwondo, Kutut & Titi Susilowati. 2010. Hand out M etodologi Penelitian

Kualitatif. PPS-M SP UKSW , tidak dipublikasikan.

Patton, M ichael Quinn. 2009. M etode Evaluasi Kualitatif. Pustaka Pelajar. Jogyakarta.

Tallo, Erni. 2003. Pesona Tenun Flobamora. Tim Penggerak PKK dan Dekranasda Provinsi NTT. Kupang.

Tallo, Piet Alexander. 1990. Dalam Fakta, Masalah, Harapan. Mustika Adhi Jaya Usahatama. Jakarta.

_________________. 1991. Bingkai Budaya Timor Tengah Selatan. Surindo Utama. Kupang

Therik, Yes & John, V. Inkiriwang. 1997. M osaik Parawisata Nusa Tenggara Timur. PT Pabelan. Kupang.

Therik, Yes. 1989. Tenun Ikat dari Timur. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Usman, Husaini & Akbar Purnomo Setiady. 1996. M etodologi Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Jakarta.


(1)

6. Perempuan Dalam Kehidupannya

M enurut pandangan budaya orang M ollo kedudukan perempuan dan laki-laki adalah saling melengkapi. Pandangan ini tercermin dalam struktur desain rumah tradisionalnya.

Rumah menempati posisi sentral dalam tata dunia dan tata sosial orang Timor. M enurut Cunningham (dalam Nuban Timo 2006:56) rumah adalah pusat pelaksanaan ritus doa, korban persembahan dan pesta. Ritus yang berhubungan dengan siklus kehidupan biasanya dilaksanakan di rumah mereka yang terlibat langsung dan berhala keluarga disimpan di situ. Rumah dengan benda-benda keramatnya harus dilindungi. Para pewaris harus menjaga benda-benda pusaka dan mendiami rumah tersebut. Doa-doa dapat dinaikkan kepada Uis Neno (Allah), roh-roh, dan leluhur dari rumah.

Bagi daerah-daerah di NTT, termasuk M ollo Utara rumah bukan semata-mata tempat tinggal melainkan simbol tata dunia dan tata sosial. Penataan rumah tidak ditentukan oleh pertimbangan seni atau fungsi akan tetapi oleh makna yang hendak diungkapkan. Jumlah rumah orang Timor, yang berarti juga orang M ollo ada dua. Rumah yang pertama merupakan rumah tempat tinggal (ume kbubu) dan kedua adalah rumah tamu (lopo).

7. Perempuan dan Adat

Budaya di NTT, khususnya suku M eto (termasuk M ollo Utara) terdapat budaya “lasi nak atoni”. Secara harafiah ungkapan ini berarti laki-laki adalah kepala semua urusan. Ungkapan ini semakin memperkuat budaya patriarkal di dalam kehidupan masyarakat. Di dalam budaya masyarakat M ollo ada dua benda yang dapat menjelaskan tentang peran dari perempuan dan laki-laki. Dua benda itu adalah ike-suti dan suni-auli. Benda-benda ini sekaligus banyak bercerita tentang gagasan, pandangan dan keyakinan iman serta relasi perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat.

Ike-suti adalah benda kembar yang berguna bagi setiap perempuan dewasa dalam proses pembuatan tenun. Dua perkakas ini masing-masing adalah alat pemintal benang. Ike berupa tongkat kecil bulat, berukuran kira-kira 15 cm. Pada bagian ujung atas berdiameter kurang lebih 0,5 cm


(2)

dan ada kaitan seperti yang ada pada gasing. Sementara ujung bawah diameternya lebih besar, kurang lebih 4 cm dibuat runcing ujungnya agar dapat berputar. Suti berupa sebuah tempurung atau kulit kerang yang berfungsi sebagai mangkuk dimana ike diputar untuk membuat atau memintal benang.

Suni-auli merupakan dua buah benda yang berguna bagi setiap laki-laki dewasa untuk mempermudah tugas-tugasnya seperti berburu, berkebun, membangun rumah dan berperang melawan musuh. Sini adalah kata untuk pedang, sedangkan auni adalah tombak. Kedua benda ini sering juga disebut bersama-sama dengan benas (parang) dan pali (linggis).

Ike-suti dan suni-auli bagi perempuan dan laki-laki orang M ollo merupakan atribut yang sangat membanggakan. Pemilik dari benda-benda tersebut akan diakui masyarakat sebagai manusia dewasa dan karena itu mereka boleh mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Perempuan dan laki-laki yang dahulunya hidup dari bakti orang tua, sekarang telah boleh berbakti kepada orang tua dengan mempersembahkan kepada mereka kain tenun dan hasil kebun yang diperoleh dari pekerjaannya menggunakan ike-suti dan suni-auli. Semakin sering seorang perempuan dan laki-laki menunjukkan baktinya kepada kedua orang tuanya, akan terus dibicarakan kebaikannya itu di dalam keluarga dan masyarakat.

Setiap perempuan dan laki-laki M ollo akan merasa bangga dan terhormat bila keluarga dan masyarakat menyebut dia sebagai pemilik ike-suti yang bercahaya atau suni-auli yang tajam (ike-suti na aik, suni-auli na aik). Karena perempuan dan laki-laki telah dapat mempergunakan ike-suti

dan suni-auli dengan benar dan bermanfaat maka mereka telah dapat menikah dan membentuk rumah tangganya sendiri.

8. Perempuan dan Tenun

Sekitar tahun 50-an silam masyarakat M ollo Utara tidak saja menjadikan tenun sebagai pakaian adat, tetapi lebih dari itu sebagai sumber kehidupan. Sejumlah perempuan berkumpul saling bantu merajut kapas menjadi benang, memintal benang, dan kemudian menenunnya menjadi kain tenunan yang indah. Tenun adalah sebuah ikatan cinta, kasih dan


(3)

kekeluargaan. Di M ollo Utara, sebelumnya perempuan yang akan menikah ditentukan kepandaiannya dalam menenun. Semakin halus tenunannya, semakin perempuan itu dianggap baik. Hasil tenunan yang dihasilkan mencerminkan ketelitian, kesabaran, dan rasa keindahan pembuatnya sehingga betapa pentingnya makna tenun bagi masyarakat.

Keberadaan perempuan memegang peranan yang sangat penting. Perempuanlah yang mengatur dan menyediakan makanan dan kebutuhan akan pakaian bagi suami dan anak-anaknya. Keberadaan dan peran perempuan sudah tergambar jelas di dalam keberadaan ume kbubu di dalam kehidupan bermasyarakat. Keberadaan perempuan semakin lengkap lagi dengan adanya ike suti sebagai alat yang diberikan untuk menghasilkan sebuah karya seni yang indah. Karya seni yang tertuang dalam lembaran-lembaran tenunan akan dipersembahkan untuk suami, anak-anak dan keluarga sebagai lambang penghormatan dan cinta kasihnya. Hasil tenunan yang telah dibuat juga akan dijadikan sebagai sarana memperkenalkan dan mengingat tali persaudaraan. Di dalam acara-acara adat dan acara-acara-acara-acara khusus, tenun ikat memengang peranan yang sangat penting.

9. Kesimpulan

Daya tarik tenun tradisional M ollo Utara terletak pada makna religius dan kepercayaan yang terkandung didalamnya yang dipadukan dengan seni merancang motif dalam penempatannya yang akan diakui sebagai miliknya. Kekuatan spiritual dari tenunan dapat dilihat dari bagaimana perpaduan yang serasi antara seni mengikat benang, mewarnai dan menenun yang dijiwai oleh kepercayaan dan pandangan hidup dari sukunya sehingga hasil tenunannya akan dihargai, dicintai dan akan selalu dibanggakan.

Kerajinan tenun M ollo Utara sekarang ini memasuki masa transisi. Pesan religius di dalam motif-motifnya yang telah terpelihara secara turun temurun mulai memudar. M akna dari motif-motif yang dimilikinya dari warisan lelehur kini tidak lagi diketahui oleh mereka. Hanya sebagian kecil perempuan yang masih mengetahui makna dari motif-motif tersebut. Berdasarkan alasan ekonomi maka motif-motif spiritual yang berdasarkan adat yang khas sudah ditambahkan dengan motif-motif dari luar, dengan


(4)

terjadinya hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa tenunan sekarang ini berada dalam keadaan dimana terdapat tarik menarik antara nilai-nilai spiritual dan adat budaya turun temurun.

Perubahan-perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi telah menggeser fungsi peranan perempuan dalam proses penenunan. Kini perempuan-perempuan desa tidak lagi menanam kapas, maka hilanglah ketrampilan dalam mengelola kapas dan hilang pula peralatan pemintal benang tradisional. Kebutuhan akan benang tenunan diperoleh dari benang-benang hasil pabrik, demikian juga dengan pewarna benang yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan. Hal serupa juga terjadi pada proses pembuatan tenunan. Perempuan yang dulunya dapat menenun sekarang ini ada yang tidak lagi menenun. M ereka lebih cenderung membeli hasil tenunan orang lain dan hasil tekstil untuk dipakai. Anak-anak perempuan sekarang ini hanyalah sebagian kecil yang masih memiliki keinginan untuk belajar dan menenun. Dengan berbagai alasan mereka mengungkapkan mengapa sampai terjadi hal demikian. Alasan membantu suami di kebun, mengurus anak, bersekolah dan sudah bertempat tinggal di kota menyebabkan mereka tidak dapat lagi menenun.

Perubahan-perubahan juga terjadi dimana peran sosial perempuan dalam masyarakat disaat ini mulai berkurang. Hal ini dibuktikan dengan berkurangnya fungsi sosial dari hasil tenunan karya perempuan itu sendiri. Sebagai contoh fungsinya dalam membayar maskawin, ucapan terimakasih, denda adat yang mengharuskan pemberian tenunan yang memiliki arti atau makna tertentu telah diganti dengan uang atau barang berharga lainnya. Dengan terjadinya pergeseran kedudukan tenunan di dalam masyarakat maka berdampak juga bagi keberadaan perempuan di dalam masyarakat.

Referensi

Arby, Aurora; Alexander, Bell, & Soleman, Bessie. 1995. Album seni budaya Nusa Tenggara Timur. Depertemen Pendididkan dan Kebudayaan. Kupang. Berger, Asa Arthur. 2010. Pengantar SEM IOTIKA Tanda-tanda Dalam


(5)

Boru, M elkianus. 1989. M otif Selimut Adat Kabupaten DATI II TTS. Pemerintah Daerah Tingkat II TTS. Soe.

Bungin, Burhan. 2001, M etodologi Penelitian Sosial. Airlangga University Press. Surabaya.

____________. 2003. M etode Penelitian Kualitatif, PT Raja Grafindo. Jakarta. Foeh, M . 1976. M onographi Daerah Nusa Tenggara Timur (Timor, Rote dan Sabu).

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kupang.

Hidajad, Z. M . 1976. Masyarakat dan Kebudayaan: Suku-suku Bangsa di Nusa Tenggara Timur. Tarsito. Bandung.

Hoed H. Benny. 2010. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Komunitas Bambu. Jakarta

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Reneka Cipta. Jakarta. Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Panji Pustaka. Jogyakarta

Lahade, John R. 2011. Perempuan, Kuda dan Tenun. Kedudukan Perempuan dalam Keluarga di M asyarakat W ewena, Sumba. W idya Sari Press. Salatiga

Laksono. 1999. Teori Budaya. Pustaka Pelajar

M aga, Djawa & Maria, H. Kalau. 1998. Pengetahuan Lingkungan dan Sosial Budaya Daerah Nusa Tenggara Timur. PT Pabelan. Kupang.

M ansour Fakih. 2007. Analisis gender & Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Jogyakarta

Nuban Timo, Eben. 2006. Pemberitaan Firman Pencinta Budaya. BPK Gunung M ulia. Jakarta

____________. 2007. Sidik Jari ALLAH Dalam Budaya. Ledalero. Maumere NTT. Sugiyono. 2005. M emahami Penelitian Kualitatif. Alvabeta. Bandung.

Suhardini. 2000. Tenun Ikat Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Suhardono, Edy. 1994. Teori Peranan. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. Suparlan, Parsudi. 1971. Kebudayaan Timor: M anusia dan Kebudayaan di


(6)

Spradley P. James. 2006. M etode Etnogravi. PT Tiara W acana. Jogyakarta. Suwondo, Kutut & Titi Susilowati. 2010. Hand out M etodologi Penelitian

Kualitatif. PPS-M SP UKSW , tidak dipublikasikan.

Patton, M ichael Quinn. 2009. M etode Evaluasi Kualitatif. Pustaka Pelajar. Jogyakarta.

Tallo, Erni. 2003. Pesona Tenun Flobamora. Tim Penggerak PKK dan Dekranasda Provinsi NTT. Kupang.

Tallo, Piet Alexander. 1990. Dalam Fakta, Masalah, Harapan. Mustika Adhi Jaya Usahatama. Jakarta.

_________________. 1991. Bingkai Budaya Timor Tengah Selatan. Surindo Utama. Kupang

Therik, Yes & John, V. Inkiriwang. 1997. M osaik Parawisata Nusa Tenggara Timur. PT Pabelan. Kupang.

Therik, Yes. 1989. Tenun Ikat dari Timur. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Usman, Husaini & Akbar Purnomo Setiady. 1996. M etodologi Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Jakarta.