ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA GORONTALO DALAM PERIZINAN PERKARA POLIGAMI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) TANPA SURAT IZIN ATASAN.

Analisis Yuridis Terhadap Pertimbangan Hakim
Pengadilan Agama Gorontalo Dalam Perizinan Perkara
Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa Surat Izin
Atasan
SKRIPSI
Oleh
Nurul Mahmudah
NIM. C51211151

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga Islam Ahwal Al-Syakhsiyah
Surabaya
2015

ABSTRAK
Skripsi yang berjudul ‚Analisis Yuridis terhadap Pertimbangan Hakim Pengadilan
Agama Gorontalo dalam Perizinan Perkara Poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Tanpa Surat Izin Atasan‛ ini merupakan hasil penelitian lapangan (field research) yang
bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana pertimbangan hakim

Pengadilan Agama Kota Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi PNS tanpa
surat izin atasan? Dan bagaimana analisis yuridis terhadap pertimbangan hakim
Pengadilan Agama Kota Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi PNS tanpa
surat izin atasan?
Untuk menjawab permasalahan diatas, penulis melakukan penelitian dengan
menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Selanjutnya data yang telah dihimpun
dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif.
Pelaksanaan poligami oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu boleh mempunyai
istri lebih dari satu jika mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai persyaratan
yang diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang diubah dan disempurnakan beberapa
pasalnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hakim melakukan hal ini sebagai salah satu
cara hakim untuk merealisasikan prinsip kemandirian/kebebasan hakim yang telah
ditentukan dalam kekuasaan hakim yang ada dalam Undang-undang no 48 tahun 2009.
Salah satu syarat dalam kekokohan Negara hukum yaitu kekuataan kehakiman yang
merdeka. Namun menurut beberapa hakim lainnya, Meski Pengadilan memiliki otoritas
dalam memberikan toleransi hukum, perlunya hakim mengetahui maslahat bagi termohon
yang notabene PNS, Perlunya mendukung pemerintah untuk menegakkan Peraturan
pemerintah yang telah diatur untuk PNS adalah salah satu cara menegakkan hukum, jika

terus berpijak pada sisi toleransi hukum hakim yang mengeyampingkan Peraturan
Pemerintah tersebut, maka Peraturan pemerintah ini pastinya akan selalu dilanggar oleh
PNS. Karena dalam prakteknya, Tidak semua PNS yang melanggar Peraturan Pemerintah
mendapat sanksi yang ditetapkan
Dari kesimpulan diatas disarankan Peraturan Pemerintah tentang syarat
berpoligami yang dibuat seharusnya tidak bertolak belakang dengan peraturan dalam
pengadilan agama yang ada. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan karena
keremehan pegawai negeri sipil atas disiplin yang telah dibuat, Dan proses persidangan
dalam Pengadilan agama tidak perlu ditunda-tunda karena adanya alasan yang berkaitan
dengan perbedaan standart peraturan dilegalkannya poligami antara standart peraturan
pemerintah dan standart peraturan pengadilan agama

ii

DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DALAM ..............................................................................

i


SURAT PERNYATAAN.....................................................................

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................

iii

PENGESAHAN ...................................................................................

iv

MOTTO...............................................................................................

v

ABSTRAK ..........................................................................................

vi


KATA PENGANTAR .........................................................................

viii

DAFTAR ISI .......................................................................................

xi

TRANSLITERASI ..............................................................................

xii

BAB I

BAB II

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...............................................


1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ................................

9

C. Batasan Masalah ...........................................................

10

D. Rumusan Masalah .........................................................

10

E. Kajian Pustaka ..............................................................

11

F. Tujuan Penelitian ..........................................................


12

G. Kegunaan Hasil Penelitian ..........................................

13

H. Definisi Operasional .....................................................

13

I.

Metode Penelitian .........................................................

14

J.

Sistematika Pembahasan ..............................................


19

KONSEP POLIGAMI
A. Konsep Poligami ...........................................................

22

1. Pengertian Poligami .................................................

22

2. Sejarah Poligami ......................................................

23

B. Poligami Di Indonesia ..................................................

25

xi


1. Perundang-Undangan ...............................................

25

a. UU No. 1 Tahun 1974 .........................................

25

b. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 jo
Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun 1990 .....
BAB III

28

POLIGAMI BAGI PNS TANPA IZIN ATASAN
DI PENGADILAN AGAMA GORONTALO ....................

39


A. Gambaran Umum Dan Lokasi Penelitian .......................

39

1. Profil Pengadilan Agama Gorontalo ..........................

39

2. Visi Dan Misi Badan Peradilan Indonesia .................

40

3. Visi Dan Misi Pengadilan Agama Gorontalo ..................

46

4. Yuridiksi (Wilayah Hukum Pengadilan Agama Gorontalo)47
5. Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pengadilan Agama
Gorontalo .................................................................


50

B. Poligami PNS tanpa izin atasan......................................

53

1. Dasar Pertimbangan Hukum dan Dalil Hakim
Pengadilan Agama Gorontalo Dalam perizinan poligami
bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa surat izin atasan 58
2. Hasil Wawancara Sesuai Pertimbangan Hakim atas
Putusan Poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
tanpa Izin Atasan dalam putusan hakim ...................

BAB IV

66

POLIGAMI BAGI PNS GORONTALO TANPA IZIN
ATASAN DALAM PERSPEKTIF YURIDIS
A. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam

memberikan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Tanpa Izin Atasan dalam perpektif Yuridis ..................

71

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .....................................................................

81

B. Saran ................................................................................

82

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BIODATA

DAFTAR TRANSLITERASI

Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term)
yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan
untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fonem konsonan Arab, yang dalam sistem tulisan Arab seluruhnya dilambangkan dengan
huruf, dalam transliterasinya ke tulisan Latin sebagian dilambangkan dengan lambang huruf,
sebagian dengan tanda, dan sebagian lainnya dengan huruf dan tanda sekaligus sebagai
berikut :
ARAB
Kons.

LATIN
Nama

Kons.

Alif

Nama
Tidak dilambangkan

Ba

B

Be

Ta

T

Te

Sa

s|

Es (dengan titik di atas)

Jim

J

Je

Ha

h}

Ha (dengan titik di bawah)

Kha

Kh

Ka dan Ha

Dal

D

De

Zal

z|

Zet (dengan titik di atas)

Ra

R

Er

Zai

Z

Zet

Sin

S

Es

Syin

Sy

Es dan Ye

Sad

s}

Es (dengan titik di bawah)

Dad

d}

De (dengan titik di bawah)

Ta

t}

Te (dengan titik di bawah)

Za

z}

Zet (dengan titik di bawah)

Ain



Koma terbalik (di atas)

Gain

G

Ge

Fa

F

Ef

Qaf

Q

Ki

Kaf

K

Ka

Lam

L

El

Mim

M

Em

Nun

N

En

Wau

W

We

Ha

H

Ha

Hamzah



Apostrof

Ya

Y

Ya

2. Vokal tunggal atau monoftong bahasa Arab yang lambangnya hanya berupa tanda atau
h}arakat, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf sebagai berikut :
a. Tanda fath}ah dilambangkan dengan huruf a, misalnya mas}lah}ah.
b. Tanda kasrah dilambangkan dengan huruf i, misalnya Tirmiz|i>.
c. Tanda d}ammah dilambangkan dengan huruf u, misalnya Yu>nus.
3. Vokal rangkap atau diftong bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara h}arakat
dengan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan gabungan huruf
sebagai berikut :
a. Vokal rangkap

dilambangkan dengan gabungan huruf aw, misalnya Syawka>niy.

b. Vokal rangkap

dilambangkan dengan gabungan huruf ay, misalnya Zuh}ayliy.

4. Vokal panjang atau maddah yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya
dilambangkan dengan huruf dan tanda macron (coretan horisontal) di atasnya, misalnya
imka>n, z|ari>'ah, dan muru>‘ah.
5. Syaddah atau tasydi>d yang dilambangkan dengan tanda syaddah atau tasydi>d,
transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf
yang bertanda syaddah itu, misalnya h}addun, saddun, t}ayyib.
6. Kata sandang dalam bahasa Arab yang dilambangkan dengan huruf alif-la>m, transliterasinya
dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf yang sesuai dengan bunyinya dan ditulis
terpisah dari kata yang mengikuti dan diberi tanda sempang sebagai penghubung. Misalnya
at-tajribah, al-hila>l.

7. Ta’ marbu>t}ah mati atau yang dibaca seperti berharakah sukun, dalam tulisan Latin
dilambangkan dengan huruf ‚h‛, sedangkan ta’ marbu>t}ah yang hidup dilambangkan dengan
huruf "t", misalnya ru’yah al-hila>l, atau ru’yatul hila>l.
8. Tanda apostrof (') sebagai transliterasi huruf hamzah hanya berlaku untuk yang terletak di
tengah atau di akhir kata, misalnya ru’yah fuqaha>‘. Sedangkan di awal kata, huruf hamzah
tidak dilambangkan dengan sesuatu pun, misalnya Ibra>hi>m.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah
Salah satu masalah rumit pada hubungan suami istri tercatat sepanjang sejarah peradaban
Islam adalah masalah poligami (ta’addud al-zaujat).1 Pada zaman dahulu di antara bangsa-bangsa
yang menjalankan poligami sebelum kedatangan Islam adalah bangsa Ibrani, Arab, Jahiliyah, dan
Cisilia.2 Sehingga saat ini, meski poligami diterima oleh umat Islam secara luas, ketika dipraktikkan
masih saja menjadi isu dan perdebatan hangat di kalangan masyarakat.
Pada saat ini Poligami masih menjadi pro-kontra di masyarakat. Hal ini dikarenakan
perbedaan pertimbangan masyarakat akan poligami itu sendiri. banyak masyarakat yang
menganggap poligami adalah suatu perbuatan yang negatif karena poligami dianggap menyakiti
kaum wanita dan hanya menguntungkan bagi kaum pria saja. Di Indonesia sendiri, masih belum ada
Undang-Undang yang menjelaskan secara rinci boleh tidaknya poligami dilakukan.
Tujuan hidup berkeluarga adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin. Namun
dengan adanya poligami yang dilakukan sang suami, kebahagiaan dan keharmonisan dalam rumah
tangga dapat menjadi hilang Hal ini tentu merugikan bagi istri dan anak-anaknya karena mereka
beranggapan bahwa mereka tidak akan mendapatkan perlakuan yang adil dari sang suami.
Pertimbangan masyarakat terhadap poligami beragam, ada yang setuju namun ada juga yang
menentang. Terlebih lagi bagi kaum hawa yang merasa dirugikan, karena harus berbagi dengan yang
lain. Hal ini diperparah dengan perekonomian keluarga yang tidak memungkinkan poligami.

1

Selain poligami masalah krusial tersebut adalah relasi hak milik (perbudakan) dan relasi seksual nikah
kontrak isu tentang perbudakan hilang tanpa ada kejelasan status hukum dalam bentuk yang eksplisit, isu nikah
kontrak ditolak oleh mayoritas ulama sunni dan poligami telah diterima secara luas, namun dengan melibatkan
syarat yang ketat. Lihat: Faqihuddin Abdul Kodir, Memilih Monogami; Pembacaan atas Al-Quran dan Hadist
Nabi (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005),
1 hlm. ix.
2
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 3, Diterjemahkan Oleh Nor Hasanuddin (Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2007), hlm. 9.

Demikian halnya di Indonesia, poligami masih merupakan salah satu persoalan dalam
perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus kontroversial.3 Pada sisi lain, poligami
dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai
salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi. Satu sisi, poligami
ditolak dengan berbagai macam argumentasi, baik yang bersifat normatif, psikologis, bahkan
dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Bahkan penulis Barat, sering mengklaim bahwa poligami
adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap wanita.
Salah satu penyebab, munculnya praktik poligami di satu sisi, dan munculnya keresahan
masyarakat di sisi yang lain, yaitu diakibatkan minimnya pengetahuan, terhadap apa alasan atau
motif yang menjadi dasar poligami. Jika alasan atau motif ini diketahui secara luas, apalagi ketika
alasan tersebut sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, peneliti meyakini
tidak akan ada lagi pemberitaan atau kabar-kabar miring mengenai poligami. Demikian halnya
dengan tata cara poligami. Masyarakat atau bahkan pelaku poligami sendiri, tampaknya belum
sepenuhnya melaksanakan dan mengetahui seluruhnya tentang prosedur poligami. Efek dari masalah
tersebut, pada akhirnya berujung pada ketidaktahuan terhadap implikasi sosial akibat poligami ini.

Di Indonesia sendiri dalam upayanya untuk meminimalisir terjadinya poligami telah
diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
1975 tentang Aturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) terdapat dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Adapun sebagai

3

Amiur Nuruddin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dan Fikih UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: PT. Prenada Media Group, 2006), hlm. 156.

hukum materiil bagi orang Islam, terdapat ketentuan dalam Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan berikut aturan pelaksanaannya, pada prinsipnya selaras dengan
ketentuan dalam hukum Islam. Menurut perundang-undangan tersebut pada prinsipnya
sistem yang dianut oleh hukum perkawinan di Republik Indonesia adalah azas monogami,
yaitu satu suami untuk satu orang isteri.4 Azas tersebut berdasarkan firman Allah Swt dalam
al-Qur'an surat Al-Nisa ayat 3 :5

               

              

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil,6 maka (kawinilah) seorang saja,7 atau budak-budak yang kamu
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. AlNisa Ayat: 3)
Ayat di atas menjelaskan 3 hal sebagai berikut8 :
1. Orang-orang yang khawatir berlaku tidak adil dalam mengurus harta anak wanita yatim tidak
boleh mengawininya agar terjauhkan dari berbuat dzalim terhadap hartanya tersebut.

4

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), hlm 6.
5
Departemen Agama, Al-Qur’an Al-Karim Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Diponegoro, 2004 ), hlm 324.
6
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain
yang bersifat lahiriyah.
7
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada,
dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami
sampai empat orang saja

2. Mereka hendaklah memilih wanita lain sebagai istri di antara wanita- wanita yang disukainya,
boleh 2 orang atau 3 orang, atau 4 orang.
3. Jika seorang lelaki muslim takut tidak dapat berbuat adil dalam berpoligami, ia lebih baik beristri
seorang saja. Jika tidak mampu beristri seorang, lebih baik dia mengambil budak wanitanya untuk
menjadi pasangan hidupnya.

Dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 maka bagi seseorang yang beristri lebih
dari seorang, wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya
(pasal 4 ayat 1) dan pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila:9
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 1990 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 tentang izin
perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam pasal 4 disebutkan:10
1. Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seoarang, wajib memperoleh izin
lebih dahulu dari Atasan.
2. Bagi

Pegawai

Negeri

Sipil

wanita

tidak

diizinkan

untuk

menjadi

isteri

kedua/ketiga/keempat.
3. Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
4. Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat ketiga (3), harus
dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih
dari seorang.

9

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: PT. Citra
Umbara, 2007), hlm. 3
10
Ibid., hlm. 148

Melihat ketentuan yang ada, dapat diketahui bahwa bagi seorang yang beristri lebih dari
seorang harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU No. 1 Tahun 1974 dan agama yang
dianutnya membolehkan atau tidak. Kedua syarat tersebut dapat dipertimbangkan dan diputuskan
oleh Pengadilan apabila syarat tersebut terpenuhi Walaupun UU No. 1 Tahun 1974 telah menentukan
prosedur dan syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang beristri lebih dari seorang. Ada pula syaratsyarat yang harus dipenuhi bagi golongan tertentu untuk beristri lebih dari seorang yaitu golongan
ABRI dan Pegawai Negeri Sipil yang harus memenuhi peraturan-peraturan khusus (Lex Specialis) di
samping peraturan-peraturan umum (Lex Generalis). Sebagai lex specials, prinsip-prinsip yang
dikandung oleh Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 1990 atas perubahan Peraturan Pemerintah No.
10 Tahun 1983 dengan sendirinya tidak bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 1974. Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1983 hanyalah kelanjutan dari perundangan tersebut di mana sama-sama
menganut asas monogami dan untuk memperketat adanya poligami, hanya saja dalam Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1983 lebih ditekankan pada perizinan dari atasannya.
Dari ketentuan yang ada bahwa seorang yang hendak beristri lebih dari seorang harus
melakukan beberapa ketentuan yaitu: mengajukan permohonan secara tertulis disertai alasanalasannya seperti dimaksud pasal 4 dan pasal 5 UU No.1 Tahun 1974 jo pasal 41. Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 kepada Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya dengan
membawa Kutipan Akta Kawin yang terdahulu dan surat-surat izin yang di perlukan.
Setelah itu Pengadilan Agama memeriksa hal-hal yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk
mengeluarkan penetapan yang berbentuk izin untuk boleh atau tidaknya beristri lebih dari seorang
dan Pengadilan Agama harus memperhatikan juga, apakah agama pemohon memperolehkan untuk
beristri dari seorang, dan apabila pemohon adalah Pegawai Negeri Sipil maka harus memperoleh izin
dari atasan yang berwenang. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 pasal 5 ayat 2
yang berbunyi: “setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil (PNS)
dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian, atau untuk beristri lebih dari seorang,
maupun untuk menjadi istri kedua atau ketiga atau keempat, wajib memberikan pertimbangan dan

meneruskannya kepada atasan melalui saluran hirarki dalam jangka waktu selambat-lambat 3 bulan
terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud”.11
Hal di atas ialah bagi seorang yang hendak beristri lebih dari seorang harus memenuhi
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan (sesuai dengan uraian di atas) dan meminta permohonan izin
untuk beristri lebih dari seorang kepada atasan yang berwenang dengan memberikan alasan-alasan
yang tepat untuk beristri lebih dari seorang. Maka setiap atasan yang menerima permohonan izin
untuk melakukan perceraian atau beristri dari seorang wajib memberikan pertimbangan secara
tertulis dan atasan tersebut harus memuat hal-hal yang digunakan oleh atasan dalam mengambil
keputusan, apakah permintaan itu mempunyai dasar yang kuat atau tidak. Dan sebagai bahan dalam
membuat pertimbangan, atasan yang bersangkutan dapat meminta keterangan dari suami atau istri
yang bersangkutan atau dari pihak lain yang dipandangnya dapat memberikan keterangan yang
meyakinkan.
Meski telah disebutkan bahwasanya seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ingin
melakukan poligami diharuskan mendapat izin poligami dari atasannya, akan tetapi terdapat realitas
putusan tentang poligami yang tidak mencantumkan yaitu surat izin dari atasan bila Pegawai Negeri
Sipil (PNS) untuk melakukan poligami. Salah satu penyebab apabila terjadinya kurangnya salah satu
syarat izin poligami maka seorang hakim harus bisa menolak apabila terjadi seperti itu.
Namun di Pengadilan Agama

Gorontalo mengizinkan adanya poligami bagi Pegawai

Negeri Sipil tanpa surat izin atasan menjadi hal yang baru dan hakim dinilai bersikap contra Legem
(tindakan hakim yang tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku). Hasil jajak pendapat telah
didapatkan adanya hakim yang memperbolehkan poligami PNS tanpa surat izin atasan dan adapula
hakim yang melarangnya.
Dari beberapa alasan tidak adannya surat izin atasan bila Pegawai Negeri Sipil (PNS) maka
pertimbangan hakim di atas yang digunakan sebagai penetapan atas diperbolehkannya untuk
melakukan poligami, kemudian belum lah cukup untuk dijadikan sebagai syarat untuk diterimanya
11

Ibid., hlm. 148-149

Permohonan untuk melakukan poligami. Dalam hal ini lebih lanjut penulis berdasarkan atas
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 dalam pasal 4 ayat 1 yang berbunyi: “Pegawai Negeri Sipil
(PNS) pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Atasan”,
mengangap bahwa Hakim dalam pertimbangannya harus juga memperhatikan adanya perizinan dari
atasan seorang Pemohon yang akan melakukan poligami. Akan tetapi dalam putusan tersebut tidak
menyebutkan keberadaan perizinan atasan seorang akan melakukan poligami dalam pertimbangan
hukumnya.
Dari penjelasan di atas, maka penulis tertarik dan bermaksud untuk melakukan penelitian
yang dituangkan dalam wujud sebuah Skripsi dengan judul: “ Anal isi s Yuri di s t erhadap
Pet im bangan H akim Pengadil an Agam a Gorontal o Dal am Peri zi ni nan Perkara
Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa surat izin atasan”.

B.

Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah yang terdapat dalam penelitian
ini terdiri dari :
a. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa surat izin atasan sebagai wujud realisasi pelaksanaan
Contra Legem serta penjabaran nilai hukum progesif, tidak bertentangan dengan perundangundangan yang berlaku .
b. proses pembuatan putusan hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin
poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
c. analisis yuridis terhadap pertimbangan hakim hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam
memberikan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa surat izin atasan,

2. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah ditentukan, maka penelitian ini hanya akan
meneliti masalah-masalah berikut :
a. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa surat izin atasan.
b. Analisis yuridis terhadap pertimbangan Hakim Pengadilan Agama

Gorontalo dalam

memberikan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa surat izin atasan.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan rumusan
masalah sebagai berikut:
1.

Apa pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa surat izin atasan?

2.

Bagaimana analisis Yuridis terhadap pertimbangan hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam
memberikan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa surat izin atasan?

D. Kajian Pustaka
Ada beberapa karya Ilmiah yang membahas tentang Poligami bagi Pegawai Negeri Sipil
yang dilakukan oleh civitas akademika, diantaranya adalah :
1.

Skripsi yang ditulis oleh Mahasiswa Universitas Indonesia Annisa Nurbaiti dengan judul
Poligami oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan
pemerintah no 10 Tahun 1983 Jucto Peraturan Pemerinta no 45 tahun 1990 (Studi kasus Putusan
nomor 1098/Pdt.G/2011/PA.Mks.Skripsi ini menggunakan metode kualitatif dan penulis
berkesimpulan bahwa Upaya hukum yang dilakukan oleh istri Pegawai Negeri Sipil yang

dipoligami tanpa izinnya tidak sesuai dengan ketentuan hukum perkawinan yang berlaku yaitu
pencegahan perkawinan atau pembatalan perkawinan.12
2.

Skripsi yang ditulis oleh Mahasiswa IAIN Walisongo Nurkhasan yang berjudul Analisis
terhadap pasal 4 PP. No. 10 Tahun 1983 jucto pasal 4 (1) PP.No.45 tahun 1990 tentang
kewajiban mendapatkan izin dari atasan bagi PNS yang akan berpoligami.13
Adapun perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah :

1.

Penelitian ini terfokus pada pertimbangan hakim dalam memberikan izin kepada Pegawai
Negeri Sipil yang berpoligami dengan tanpa surat izin atasan,

2.

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis proses pemberian izin dan pembuatan putusan
hakim untuk Pegawai Negeri Sipil yang berpoligami dengan tanpa surat izin atasan dengan
yuridis formal.
Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa objek dan pendekatan analisis

penelitian dalam skripsi ini berbeda dengan objek dan model penelitian-penelitian sebelumnya.

E.

Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.

Mengetahui pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin
poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa surat izin atasan.

2.

Mengetahui analisis UU no 1 tahun 1974, UU no 10 Tahun 1983 yang diubah dengan peraturan
pemerintah no 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan den perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
terhadap pertimbangan hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin poligami
bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa surat izin atasan.

F.

Kegunaan Hasil Penelitian

12
13

Annisa Nurbaiti, Skripsi, (Fakultas Hukum UI, 2012), hlm 19.
Nurkhasan, Skripsi, IAIN Walisongo, 2004, hlm 9

Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Aspek teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran serta sarana untk menambah
wawasan dan pengetahuan masyarakat tentang pertimbangan Hakim Pengadilan Agama
Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa surat izin
atasan serta proses pembuatan putusan hakim hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam
memberikan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) apakah terdapat kendala yang
menghambat proses pembuatan putusannya.

2. Aspek praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan, baik untuk menjadi pegangan selanjutnya,maupun menjadi referensi dalam
pembuatan karya ilmiah selanjutnya,atau menjadi bahan untuk penyuluhan tentang tata cara
berpoligami bagi Pegawai Negeri Sipil di masyarakat.

G. Definisi Operasional
Demi menghindari kesalah fahaman dalam menginterpretasikan arti dan maksud dalam
judul ini, maka perlu ditegaskan pengertian dari beberapa istilah dalam judul skripsi ini, diantaranya :
1.

Analisis Yuridis : maksudnya disini ialah menganalisa pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa surat izin
atasan dengan UU no 1 tahun 1974, UU no 10 Tahun 1983 yang diubah dengan peraturan
pemerintah no 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan den perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.

2.

Pertimbangan Hakim : maksudnya disini adalah hasil perbuatan hakim dalam memandang dan
melihat suatu masalah yang menjadi pengetahuan untuk dipertimbangkan hakim dalam
menyelesaikan perkara poligami bagi PNS tanpa surat izin atasan. Hakim ini bertugas di

Pengadilan Agama

Gorontalo ,kelas 1b beralamat di Jl.Jenderal Sudirman No 121 provinsi

Gorontalo.

H. Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka data yang dihimpun adalah data tentang
pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa surat izin atasan
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat
diperoleh.14 Dalam arti lain sumber data adalah semua informasi baik yang merupakan benda
nyata, sesuatu yang abstrak, peristiwa/ gejala baik secara kuantitatif ataupun kualitatif,15 dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber, yaitu :
a. Sumber Primer
Sumber primer merupakan sumber yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan
oleh orang yang melakukan penelitian atau orang yang memerlukannya. Data primer disebut
juga data asli atau data baru.

Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara

individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau
kegiatan, dan hasil pengujian yang diperoleh langsung dari objek penelitian.16 Sumber Data
Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber utama yaitu para Hakim Pengadilan
Agama Gorontalo dan salinan putusan Pengadilan Agama tentang izin poligami PNS tanpa
surat izin atasan.
b. Sumber Sekunder

14

Lexy J. Moleong, Op. Cit., hlm 129.
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Penelitian Pemula (Cet. 3; Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2006), hlm 44.
16
Saifuddin Azwar, Tradisi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. Ke-4, 2003),hlm 91.

15

Sumber sekunder yaitu sumber yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang
melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada baik dari perpustakaan atau dari
laporan-laporan peneliti terdahulu. Data sekunder disebut juga data tersedia.17 Dalam
penelitian ini, sumber data sekundernya sumber yang kedua yaitu Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, PP No. 10 Tahun 1983, PP No. 45 Tahun). Data tersebut diatas merupakan data
pelengkap yang nantinya secara tegas dapat dikorelasikan dengan sumber data primer.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pada bagian ini akan dikemukakan persoalan metodologis yang berkaitan dengan teknikteknik pengumpulan data.18 Sesuai dengan objek kajian penelitian ini, maka metode pengumpulan
data yang digunakan sebagai berikut:
a. Wawancara
Peneliti menggunakan teknik wawancara untuk memperoleh informasi-informasi dari
informan secara langsung dengan bertatap muka.19 Untuk jenis wawancara yang digunakan
dalam penelitian ini adalah semi terstruktur.20 Artinya wawancara dengan perencanaan, di
mana peneliti menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan
lengkap untuk mengumpulkan datanya. Wawancara terstruktur ini digunakan untuk
mewawancarai para Hakim Pengadilan Agama Gorontalo.
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data yang terkait topik penelitian yang berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, dan semacamnya. Sedangkan
obyeknya adalah benda mati.21 Dalam proses penelitian mengunakan catatan, rekaman
wawancara dengan informan dan buku-buku yang digunakan untuk mencari data.

17

Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), hlm 94.
Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I (Yogyakarta: Andi Office: 1993), hlm 83
19
Abu Achmadi dan Cholid Narkubo, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), hlm83.
20
M. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm 194.
21
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm 231.

18

Dokumentasi yang digunakan dalam hal ini adalah salinan putusan Pengadilan Agama tentang
poligami PNS tanpa surat izin atasan.

4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data mentah yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis. Data yang diperoleh dalam suatu
penelitian tidak akan ada artinya jika tidak melalui tahap analisis, karena analisis merupakan
bagian yang amat penting dalam penelitian. Data yang telah dikumpulkan dapat diberi arti dan
makna yang berguna untuk memecahkan masalah penelitian melalui analisis.22
Penelitian ini termasuk pada jenis penelitian kualitatif deskriptif Dalam rangka
mempermudah memahami data yang diperoleh agar data terstruktur secara baik, rapi dan
sistematis, maka pengolahan data dengan beberapa tahapan menjadi sangat urgen dan signifikan.
Adapun tahapan-tahapan pengolahan data adalah:
a. Edit
Tahapan pertama edit adalah pemeriksaan ulang dengan tujuan data yang
dihasilkan berkualitas baik. Dan dilakukan untuk meneliti kembali data-data yang
diperoleh terutama dari kelengkapannya, kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya
dengan kelompok data yang lain dengan tujuan apakah data-data tersebut sudah
mencukupi untuk memecahkan permasalahan yang diteliti dan untuk mengurangi
kesalahan dan kekurangan data dalam penelitian serta untuk meningkatkan kualitas data.
b. Klasifikasi
Proses selanjutnya adalah mereduksi data yang ada dengan cara menyusun dan
mengklasifikasikan (pengelompokan), data yang diperoleh ke dalam pola tertentu atau
permasalahan tertentu untuk mempermudah pembacaan dan pembahasan sesuai dengan
kebutuhan penelitian.23 Langkah kedua ini dilakukan dengan cara data-data penelitian

22
23

Moh. Nazir, Tradisi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, cet. Ke-3, 1988), hlm 405
Saifullah, Metode Penelitian (Malang: Fakultas Syariah, 2006), hlm 34

diperiksa kemudian dikelompokkan atau berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dengan
tujuan untuk mempermudah dalam membaca. Dan dalam konteks ini peneliti
mengelompokkan data pada dua hal yaitu temuan saat wawancara dengan para Hakim
Pengadilan Agama

Gorontalo dan para pelaku poligami bagi Pegawai Negeri Sipil

(PNS).

c.

Verifikasi
Verifikasi adalah pembuktian kebenaran data untuk menjamin validitas data yang
telah terkumpul. Verifikasi ini dilakukan dengan cara menemui sumber data (informan)
dan memberikan hasil wawancara dengannya untuk ditanggapi apakah data tersebut
sesuai dengan yang informasikan olehnya atau tidak.

d.

Analisis
Yang dimaksud dengan analisis adalah proses penyederhanaan kata ke dalam
bentuk yang lebih mudah dibaca dan juga mudah untuk di interpretasikan.24 Dalam hal ini
analisa data yang digunakan oleh penulis adalah deskriptif kualitatif, yaitu analisa yang
menggambarkan keadaan atau status fenomena dengan kata-kata atau kalimat, kemudian
dipisahkan menurut kategorinya untuk memperoleh kesimpulan.25 Dalam mengolah data
atau proses analisanya, penulis menyajikan terlebih dahulu data yang diperoleh dari
lapangan atau dari wawancara.

I.

Sistematika Pembahasan

24

Masri Singaribun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm 263.

25

Lexy J. Moleong, Op. Cit., hlm 248

Agar pembahasan dalam tulisan ini mempunyai alur pikiran yang jelas dan terfokus pada
pokok permasalahan, maka diperlukan sistematika pembahasan meliputi:
Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi
masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang poligami yang meliputi pengertian poligami, syarat
poligami, hikmah poligami, sejarah poligami, poligami dalam dalam UU No. 1/1974. Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil,Peraturan Bersama Mahkamah Agung no 02/PB/MA/IX/2012 tentang panduan penegakan
kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Bab ketiga berisi Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama
poligami yang meliputi deskripsi Pengadilan Agama

Gorontalo tentang perizinan

Gorontalo yang berguna untuk mengetahui

kondisi lapangan yang digunakan sebagai lokasi penelitian, Dasar hukum hakim dalam memutuskan
perkara poligami bagi PNS tanpa surat izin atasan serta pertimbangan hakim pengadilan Agama
Gorontalo dalam memutuskan perkara poligami bagi PNS tanpa surat izin atasan terkait. Dari
pembahasan bab ini Peneliti dapat mengumpulkan data yang berkaitan dengan penelitian yang
dilakukan Peneliti.
Bab keempat berisi analisis terhadap pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo
yang meliputi analisis pertimbangan hakim pengadilan agama dalam memberikan izin poligami bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa surat izin atasan,proses pembuatan putusan hakim hakim
Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan
kendala hakim yang menghambat proses pembuatan putusannya.
Bab kelima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan hasil penelitian dan saran sebagai
tindak lanjut dan acuan penelitian.

BAB II
KONSEP POLIGAMI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL DI INDONESIA

A. Konsep Poligami
1. Pengertian Poligami
Menurut bahasa poligami berasal dari bahasa yunani yaitu gabungan kata poli atau

polus yang artinya banyak, dan gamein atau gamous, yang berarti kawin atau perkawinan.
Jika digabungkan berarti suatu perkawinan yang banyak26. Definisi poligami menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Poligami memiliki arti: ‚Sistem perkawinan yang
salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang
bersamaan.27‛
Kata ‚bersamaan‛ didalam penjelasannya bukan menunjukan pada proses upacara
perkawinannya, tetapi menunjuk kepada kehidupan perkawinan dimana bersamaan dalam
arti bukan terjadi pada selang beda waktu, misalkan setelah ditinggal pasangan lawan
jenis meninggal atau cerai kemudian menikah lagi.
Poligami adalah sebagai ikatan perkawinan yang salah satu (suami) mengawini
beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan
bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Selain poligami dikenal juga
istilah poliandri, jika dalam poligami suami yang memiliki beberapa isteri, dalam
poliandri sebaliknya, justru isteri yang mempunyai beberapa suami dalam waktu yang

26
27

bersamaan. Akan tetapi dibandingkan dengan poligami bentuk poliandri tidak banyak
22

Khairuddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka pelakar, 1996), hlm.84.
Sudarsono, Kamus Hukum,(Jakarta: Rineka Cipta,1986), hlm. 169.

dipraktekkan. Poliandri hanya ditemukan pada suku-suku tertentu, seperti pada suku Toda
dan beberapa suku di Tibet.28

2. Sejarah Poligami
Sebelum Islam, bangsa Yahudi memperbolehkan poligami. Nabi Musa tidak
melarang, bahkan tidak membatasi sampai berapa istri seseorang berpoligami itu. Kitab
Ulangan 25/5 mewajibkan saudara laki-laki mengawini janda saudaranya yang meninggal
tanpa anak, meskipun ia telah beristri. Kitab Ulangan 21/10-17 juga mengatakan
kebolehan poligami, seperti Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman. Nabi Ibrahim pun beristri
dua orang, bahkan Nabi Yaqub beristri empat orang29.
Berbeda pula dengan Kristen/Katolik yang tidak memperkenankan adanya poligami.
Dalam Matius 19:1-10 menyatakan bahwa Tuhan dalam ciptaan asalnya: satu lelaki, satu
perempuab Tuhan dan tidak mencipta dua perempuan untuk satu lelaki maupun
sebaliknya. Maka diharamkan bagi penganut Kristen/Katolik untuk melakukan poligami.
Hindu dalam Slokantara Sloka 2 menyatakan bahwa adanya toleransi terhadap
poligami tapi bukan dibenarkan. Disebutkan pula ada tiga jenis Brahmacari, Salah satunya
Krisna atau Trisna Brahmacari yaitu seorang lelaki yang kawin dengan maksimal empat
orang istri. Namun dalam Sloka tersebut dinyatakan bahwa bagi mereka yang berpoligami
ditelorinr maksimal empat istri meniru dewa Siwa dengan empat saktinya yaitu Dewi
Uma, Dewi Gangga, Dewi Gaun, dan Dewi Durga.30

28

Siti Musda Mulia, Pertimbangan Isam Tentang Poligami (Lembaga Kajian Agama dan Gender: Jakarta,
1999), hlm. 2.
29
Musfir Al-Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi (Jakarta: Gema Insani, 1996), hlm. 35
30
I ketut Wiana,M.Ag, “Poligami dan Poliandri” , www.parisada.org “diakses pada tanggal 25 oktober
2014,pukul 19.00 wib”

Ajaran Zoroaster melarang bangsa Persi berpoligami, tetapi memperbolehkan
memelihara gundik sebab sebagai bangsa yang banyak berperang, bangsa Persi
memerlukan banyak keturunan laki-laki yang dapat diperoleh dari istri dan gundik-gundik.
Akhirnya, praktik poligami terjadi juga di kalangan bangsa Persi. Undang-undang yang
melarang poligami atau membatasi banyaknya istri tidak ada31.
Di Indonesia Usai perang kemerdekaan awal tahun 1950-an, banyak organisasi
perempuan yang merasakan perlunya perbaikan perkawinan, khususnya praktek poligami
yang sangat merugikan perempuan. Organisasi-organisasi perempuan seperti Gerwani
(Gerakan Wanita Indonesia). Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia), dan Wanita
Katolik menghendaki dilarangnya poligini itu. Bahkan organisasi perempuan muslim pun
menaruh perhatian pada poligini ini, walaupun tidak begitu leluasa, karena hubungan
mereka dengan sejumlah organisasi agama yang dipimpin laki-laki. Dalam hal ini
perempuan muslim selalu dalam posisi sulit.32
Pada tahun 1950, Fraksi wanita di Parlemen mengusulkan dibentuknya Komisi
Perkawinan dan berhasil membuat sebuah rancangan untuk undang-undang perkawinan
umum bagi semua orang indonesia. Rancangan Undang-Undang itu prinsipnya berbunyi
bahwa perkawinan harus didasarkan atas suka sama suka kedua belah pihak, dan poligami
hanya diizinkan dengan persyaratan yang keras serta hanya dengan persetujuan agama si
perempaun dan laki-laki.33

B. Poligami Di Indonesia
31

Musfir Al-Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi (Jakarta: Gema Insani, 1996), hlm. 45.
Budi Radjab, Meninjau Poligami; Persepektif Antropologis dan Keharusan Mengubahnya, Jurnal Perempuan
Menimbang Poligami, No. 31 (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempaun, 2003), hlm. 77.
33
Ibid., hlm. 77
32

Regulasi praktek poligami di Indonesia sendiri mulai diatur pada masa orde baru yaitu
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, kemudian disusul dengan
Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaa Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan. Kemudian bagi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) izin
perkawinan dan perceraian diberlakukan Peraturan Pemerintah RI No. 10 Tahun 1983 dan
Peraturan Pemerintah RI No. 45 Tahun 1990 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah
No. 10 Tahun 1983. Kemudian masalah poligami juga dibahas dalam Inpres No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
2. Perundang-Undangan
c. UU No. 1 Tahun 1974
Dalam undang-undang ini, perkawinan di Indonesia pada dasarnya menganut asas
monogami, kecuali Perkawinan tersebut membuka kemungkinan suami dapat
melakukan poligami apabila dikehendaki oleh istri pertama dan memenuhi syarat yang
telah ditentukan guna mendapatkan izin dari pengadilan agama.34.
Ketentuan tersebut dengan tegas telah diatur dalam pasal (3) ayat (1) dan (2)
Undang-undang no 1 Tahun 1974 yang berbunyi 35:
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

34
35

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,(Jakarta:tt), hlm.226.
Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam

Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan, suami harus pula memenuhi syarat
tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan Tentang alasan y ang dapat
dibenarkan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang menentukan untuk dapat mengajukan permohonan
kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini,
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut36:
1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka.
3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanak mereka.
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi

seorang

suami

apabila

isteri/isteri-isterinya

tidak

mungkin

dimintai

persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak
ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian hakim37.

d. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun
1990
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi
syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) secara tetap

36
37

Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam
Ibid, Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam,hlm 87

oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan, Demikian
yang disebut dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara 38
Sebenarnya Poligami dikalangan Pegawai Negeri Sipil itu diperbolehkan tetapi
harus memenuhi syarat-syarat yang telah ada dan ditentukan di dalam undang-undang.
Namun, Pegawai Negeri Sipil hanya mempunyai 1 (satu) tunjangan istri dan Negara
hanya mengakui Pewagai Negeri Sipil (PNS) beristri 1 (satu), jika Pegawai Negeri
Sipil (PNS) yang beristri lebih dari satu maka istri kedua, ketiga dan keempat tidak
akan mendapat tunjangan istri, kartu istri (KARIS) seperti yang didapatkan istri
pertama. Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ingin berpoligami hanya memenuhi
persyaratan-persyaratan yang tidak mudah.
di Indonesia, pengaturan poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) diberi
kekhususan, selain ketentuan yang secara umum berlaku bagi masyarakat. Oleh karena
itu, selain harus memenuhi ketentuan umum yang berlaku terhadapnya. Kekhususan
tersebut dilandasi pemikiran bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan abdi
Negara yang diharapkan dapat menjadi teladan dalam masyarakat. Seorang Pegawai
Negeri Sipil (PNS) diharapkan bertindak hati-hati sebelum memutuskan untuk
berpoligami. Dalam pengajuan izin berpilogami diperlukan lebih dahulu izin tertulis
dari pejabat atasanya disertai dasar alasan.39 Untuk itu, harus dipenuhi adanya syarat
alternatif sebagai dasar alasan berpoligami yang harus dibuktikan dengan surat
keterangan dokter pemerintah.

38
39

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, hlm.3.
Ibid., hlm. 36-37.

Misalnya adanya syarat-syarat administrasi yang menyulitkan seperti harus ada
izin pejabat, surat keterangan penghasilan, izin istri pertama, dan sebagainya. Dalam
peraturan pemerintah Republik Indonesia tentang perubahan atas peraturan pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri
sipil.
Dalam pasal 1 Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil yaitu mengubah ketentuan Pasal 3 sehingga seluruhnya berbunyi bahwa pertama,
Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau
surat keterangan lebih dahulu dari pejabat. Kedua, Bagi Pegawai Negeri sipil yang
berkedudukan sebagai penggugat atau bagi pegawai negeri sipil yang berkedudukan
sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud
alam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis yaitu dalam surat
permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan
surat keterangan, harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya.
Kemudian adanya perubahan ketentuan Pasal 4 sehingga seluruhnya berubah
menjadi yang pertama, Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang,
wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat. Kedua, Pegawai Negeri Sipil wanita
tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat. Ketiga, permintaan izin
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis. Keempat, dalam surat
permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang
lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.

Kemudian ketentuan ayat (2) Pasal 5 juga berubah sehingga berbunyi bahwa
setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam
lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristri lebih dari
seorang wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada pejabat melalui
saluran hierarki dalam jangka waktu selambatlambatnya tiga bulan terhitung mulai
tanggal ia