Analisis Yuridis Izin Poligami Dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

(1)

ANALISIS YURIDIS IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN

PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Disusun Oleh: DANI TIRTANA

NIM: 101044222184

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM (AKI) PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH (SAS)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 2008/1429 H


(2)

ANALISIS YURIDIS IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN

PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Disusun Oleh:

Dani Tirtana NIM: 101044222184

Dibawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Asmawi, M. Ag NIP: 150282394

Ah. Azharuddin lathif, M. Ag NIP: 150318308

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM (AKI) PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH (SAS)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 2008/1429 H


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “

Izin Poligami”

(Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tentang Izin Poligami) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Administrasi Keperdataan Islam.

Jakarta, 2008 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 150 210 422

Panitia Ujian

1. Ketua : Prof. DR. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM ( ………)

NIP. 150 210 422

2. Sekretaris : H. Muhammad Taufiki, M.Ag. ( ………)

NIP. 150 290 159

3. Pembimbing I : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH., MA. ( ………)

NIP: 150 169 102

4. Pembimbing II : DR. Euis Nurlaelawati, MA. ( ………)

NIP: 150 277 992

5. Penguji I : Drs. Noryamin Aini, MA. ( ………)

NIP. 150 247 330

6. Penguji II : Kamarusdiana, S.Ag. MH. ( ………)


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil'alamiin, segala puji hanya diserahkan kepada Allah swt. yang telah mensyariatkan hukum Islam kepada umat manusia. Shalawat dan salam, semoga Allah melimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, sebagai pembawa syari'at Islam untuk diimani, dipelajari, dan dihayati serta diamalkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Penulis bersyukur telah dapat merampungkan penyusunan skripsi ini yang berjudul “ANALISIS YURIDIS IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN ”.

. Sebagai seorang insan sosial, tentunya penulis tidak luput dari pertolongan orang lain. Untuk itu penulis menghaturkan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

• Bapak Prof. DR. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta para jajarannya.

• Bapak Drs. H.A. Basiq Djalil, SH., MA. selaku Ketua Program Studi dan Bapak Kamarusdiana S, Ag, MH. selaku Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

• Bapak Asmawi, M. Ag. dan Bapak Ah. Azharuddin lathif, M. Ag. selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkam waktu dan pikiran selama membimbing skripsi.


(5)

• Segenap Bapak dan Ibu dosen pada lingkungan program studi Ahwal Syakhsiyyah, khususnya pada konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

• Segenap jajaran karyawan akademik fakultas dan universitas, berikut jajaran karyawan perpustakaan fakultas dan universitas.

• Segenap jajaran pimpinan dan staf Pengadilan Agama Jakarta Selatan (bpk Mardani) yang telah membantu dalam proses kelengkapan semua data skripsi.

• Keluarga tercinta; Ayahanda Sahlan dan Ibunda Tuningsih, Nenny, Fera, Wiwin (Bonghe), yang tidak henti-hentinya memberikan motivasi materil dan moril sehingga akhirnya penulis dapat juga menyelesaikan studi di perguruan tinggi.

• Rekan-rekan AKI angkatan 2001 senasib dan seperjuangan. Hari-hari nan indah terkenang selalu bersamamu. Semoga sukses!!.

• Keluarga besar Paduan Suara Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membentukku layaknya alat musik padang yang harmonis dan lantang. Bagiku kaulah keluarga kedua bagiku. Aishiteru!.

• Keluarga besar mahasiswa (KBM UIN Jakarta), keluarga besar perkampungan UKM, dan organ extra kampus yang memberikanku wacana keutuhan mahasiswa. Beserta juga, konco-konco Rt soeboeh Apartemen; Basis, linghapas, zidade, walden, kencru, fikri & semuanya.


(6)

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Amin.

Ciputat, 27 Ramadhan 1429 H


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………... v

DAFTAR ISI……….. viii

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang………. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……….……….. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….………... 7

D. Metode Penelitian …...………... 7

E. Sistematika Pembahasan…….………... 8

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI ………. 10

A. Pengertian Poligami………... 10

B. Tradisi Poligami sepanjang sejarah……….. 14

C. Pengaturan Poligami Dalam Hukum Islam………...…… 16

BAB III MASALAH POLIGAMI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA……… 29

A. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 …..……….... 29

B. Menurut UU No. 3 Tahun 2006………. 36

C. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)…….………. 39

D. Menurut PP No 10 Tahun 1983……….. 44

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI……… 50


(8)

B. Analisis ……….………… 55

BAB V PENUTUP………. 68

Kesimpulan……… ……. 68

Saran-Saran………...… 71


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Oleh karena itu, untuk mewujudkannya suami istri harus saling membantu dan saling melengkapi agar masing-masing dapat berkembang guna mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

Dari pengertian tersebut jelaslah terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki dua aspek yaitu:

1. Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat ‘ikatan lahir bathin’, yang artinya bahwa perkawinan disamping mempunyai nilai ikatan secara lahir tampak, juga mempunyai ikatan lahir bathin yang dirasakan terutama oleh orang yang bersangkutan dan ikatan bathin ini mempunyai inti perkawinan itu;

2. Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya ‘membentuk keluarga’ dan berdasarkan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, artinya perkawinan mempunyai

1


(10)

hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur bathin berperan penting.2

Prinsip perkawinan menurut Undang-undang perkawinan tahun 1974 adalah Monogami, sedangkan poligami merupakan pengecualian. Prinsip hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang mubah. Namun demikian dalam pelaksanaan poligami tersebut harus dibarengi dengan keadilan terhadap isteri dengan penuh tanggung jawab.

Al-Qur’an menerangkan poligami dalam surat An-Nisaa ayat 3:

“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(An Nisaa: 3)

Fenomena poligami dalam masyarakat, kebanyakan dipicu untuk melegalkan hubungan cinta kepada yang lain untuk menjadi pasangan hidup yang kedua. Ketika cinta sudah bersemi dilain hati, maka tak satu aral pun yang mencegal untuk membina hubungan tersebut, namun apa yang terjadi dalam kasus tersebarnya video

2


(11)

porno adegan mesum antara tokoh politik YZ dan penyanyi dangdut ME, seakan memberi ruang introspeksi bahwa peraturan perundang-undangan yang kita punya mungkin terlalu memberatkan untuk melegalkan cinta yang lain.3 Begitu juga peristiwa heboh yang terjadi hampir bersamaan di negeri ini yaitu; keputusan da’i kondang AA Gym untuk berpoligami.

Dari kalangan liberal dan penyeru feminisme seakan dengan poligaminya AA Gym, mereka mendapatkan momentum memobilisasi emosional kaum hawa guna menolak syari’at poligami dengan teriakan sekeras-kerasnya. Lebih-lebih, mereka mendapatkan dukungan media yang lumayan banyak dan kompak. Ironisnya, mereka juga memaknai dalil-dalil Al Quran dan hadits secara serampangan. Mereka memahaminya dari persfektif gender quality yang bersemangat ‘dendam’ terhadap laki-laki. Sehingga, yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang bersemangat pemberontakan terhadap laki-laki dalam segala hal.4

Poligami dalam perundangan dijelaskan pada pasal 3 ayat 2 undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yakni “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Apabila ditelaah, pasal tersebut memberikan implikasi, bahwa poligami dapat dilakukan seorang pria dengan persyaratan undang-undang.

3

Sulaiman Al-Kumayi, Aa Gym Diantara Pro - Kontra Poligami, Pustaka Adnan: Semarang, cet. I, Januari 2007, h. 6

4


(12)

Persyaratan poligami tersebut diatur dalam undang-undang pada UU no. 1 tahun 1974 pada pasal 4 dan 5. Berikut juga mengenai tata cara pelaksanaanya dalam peraturan pemerintah no. 9 tahun 1975 tentang penjelasan undang-undang 1 tahun 1974 bab VIII pasal 40-44. Kemudian juga dalam peraturan pemerintah no. 10 tahun 1983 mengenai pernikahan dan perceraian pegawai negeri sipil pada pasal 4 dan 5. Selain itu diterangkan juga melalui instruksi presiden R.I no. 1 tahun 1991 tentang penyebaran kompilasi hukum Islam bab IX pasal 55-59 yang dikenal dengan KHI.

Dari semua peraturan perundang-undangan yang mengatur poligami diatas adalah latar belakang pengambilan keputusan ketika suami meminta izin poligami di Pengadilan Agama.

Fakta menarik dalam masyarakat mengenai alasan-alasan poligami, cenderung mengedepankan hal-hal materil yang menjadi tolak ukur kemampuan materi berpoligami. Jika tidak mempunyai materi yang banyak, maka diharamkan poligami. Padahal hal tersebut bukan tujuan terpenting yang dimaksud dalam esensi poligami melainkan alasan-alasan itu sudah mendarah daging dalam mencermati poligami, atau disebut dengan material –minded.

Alasan-alasan poligami yang terjadi di Pengadilan Agama, pada umumnya sesuai dengan apa yang telah diungkapkan dalam undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 4 ayat 2 yakni diantaranya:

1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;


(13)

3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Namun pada faktanya, terdapat salah satu putusan yang dianggap di luar ketentuan syarat diatas seperti alasan yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memberikan putusan izin poligami. Diantaranya alasan-alasan tersebut sesuai dengan pasal 4 ayat 2 UU.no.1 tahun 1974 tentang perkawinan diatas, namun terdapat juga alasan-alasan diluar ketentuan undang undang yang tertulis secara formil.

Melihat dari esensi UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 4 ayat 2 dan pasal 5 juga diterangkan dalam PP no. 9 tahun 1975 tentang penjelasan dari UU no. 1 tahun 1974 adalah meskipun syarat-syarat kumulatif telah terpenuhi, tidak menjadi kebolehan secara langsung mengabulkan permohonan termohon karena alasan yang dimaksud dalam izin poligami juga ada syarat-syarat alternatif. Begitupun ketika alasan syarat-syarat alternatif telah terpenuhi sedangkan suami tidah memenuhi persyaratan kumulatif, maka menjadi ketidakbolehan mengabulkan permohonan termohon untuk berpoligami.

Karena syarat yang tertulis pada pasal 4 ayat 2 adalah bentuk dasar aktualisasi hukum tetap dan juga sebagai asas untuk meminimalisir terjadinya poligami yang tidak disertakan dengan alasan yang tepat. Maka timbul persepsi ketidakkonsistenan Peradilan Agama dalam memberikan izin poligami karena secara


(14)

fakta mengizinkan pemohon berpoligami meskipun tidak sesuai dengan ketentuan alasan perundang-undangan diatas.

Melihat kenyataan diatas, melalui pengamatan sementara penulis bahwa adanya indikasi ketidakkonsistenan hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memberikan izin poligami melalui putusan-putusan yang ada. Karena kondisi obyektif putusan perkara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, terdapat putusan yang diantaranya tidak disertakan alasan yang jelas sehingga perlu diteliti dengan akurat.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang izin poligami yang ada di Pengadilan Agama. Dalam hal ini penyusun beri judul:

“ANALISIS YURIDIS IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, melihat adanya putusan yang tidak disertai alasan yang tepat pada putusan hakim dengan nomor perkara 851/Pdt.G/2004/PAJS, Sehingga timbul persepsi ketidakkonsistenan hakim dalam memberikan izin poligami, maka penelitian ini terbatas pada alasan-alasan apa yang menjadi


(15)

pertimbangan majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam mengabulkan izin poligami.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pengaturan poligami dalam hukum Islam? b. Bagaimana undang-undang mengatur poligami?

c. Apakah hasil keputusan Pengadilan Agama telah konsisten dengan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk memberikan gambaran yang utuh tentang pengaturan poligami dalam Islam dan hukum perkawinan di Indonesia.

b. Untuk memberikan gambaran yang utuh dalam menganalisa putusan izin poligami. 2. Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Hakim untuk meninjau lagi alasan-alasan pemberian izin poligami.

b. Menjadi bahan kajian pemerintah agar meninjau kembali undang-undang perkawinan yang dianggap kurang tegas dalam memberikan acuan izin poligami.

D. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif. yaitu, penelitian tehadap asas-asas hukum yang tercantum dalam undang-undang dengan pendekatan case


(16)

approach. Hal ini karena pendekatan kajiannya adalah perundang-undangan. Kemudian metode yang digunakan adalah metode deskriptif-analisis dimana peneliti akan mendeskripsikan masalah, setelah itu menganalisanya.

1. Data Penelitian

Data dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua jenis. Yaitu:

a. Data Primer. Yaitu didapat dari putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan wawancara dengan juru bicara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan

b. Data Sekunder. Yaitu data-data kepustakaan atau dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Dokumen-dokumen yang dimaksud antara lain: Al Qur’an, Al Hadits, buku-buku karangan ilmiah, perundang-undangan, dan peraturan pemerintah yang lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.

3. Tehnik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tehnik analisis kualitatif. Ini karena mempergunakan analisis isi berupa data dokumen, naskah, dan literatur lainnya.

Adapun tehnik penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cet. I, Januari 2007.

E. Sistematika Pembahasan

Agar lebih terarah dalam pembahasan skripsi ini, penulis membuat sistematika sesuai dengan kebutuhan masing-masing bab dan membaginya menjadi


(17)

lima bab. Masing-masing bab dimungkinkan terdiri dari beberapa sub bab yang merupakan penjelasan dari bab tersebut. Adapun sistematika penyusunannya yaitu:

BAB KESATU Bab ini berisi pembahasan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, methode penelitian, dan sistematika pembahasan.

BAB KEDUA Bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang poligami. Pembahasan ini dimaksudkan untuk memperoleh konsep dasar yang berkenaan dengan pokok masalah penelitian beserta tinjauan dari berbagai hukum yang berlaku.

BAB KETIGA Berbicara mengenai izin poligami, Pembahasan ini dimaksudkan untuk memperoleh konsep dasar dalam mempertajam analisis. Bab ini mencakup poligami dalam UU No. 1 Tahun 1974, UU No. 3 Tahun 2006, dan Kompilasi Hukum Islam. berikut juga PP No 10 Tahun 1983 tentang perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil..

BAB KEEMPAT Berisi tentang analisis terhadap putusan Hakim di Pengadilan Agama tentang perizinan poligami. Bab ini merupakan inti pembahasan dalam skripsi ini, yang dimaksudkan untuk memperoleh jawaban yang konkrit dari pokok masalah serta


(18)

mengantarkan pada bab selanjutnya. Bab ini mencakup tentang deskripsi kasus dan analisis.

BAB KELIMA Merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.


(19)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI

A. Pengertian Poligami

Kata “poligami” berasal dari bahasa Yunani pecahan kata dari “poly” yang artinya banyak, dan “gamein” yang berarti pasangan, kawin atau perkawinan. Secara epistemologis poligami adalah “suatu perkawinan yang banyak” atau dengan kata lain adalah suatu perkawinan yang lebih dari seorang, seorang laki-laki yang memiliki isteri lebih dari satu isteri pada waktu bersamaan.5 Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan berpoligami adalah menjalankan atau melakukan poligami.6

Dalam Islam poligami dikenal dengan istilah ta’adudu zaujah yang artinya adalah bertambahnya jumlah istri.7 Dengan demikian poligami dapat dikatakan perkawinan yang tak terbatas. Term ini sebenarnya punya makna umum, yaitu

5

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka 1998), h. 799

6

W. J. S Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka 1984), h. 693

7

Muhammad Jawad Mughniyah, terjemah al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khomsah, penejemah: Masykur A.B Afif Muhmmad, Idrus al-Kaf terbitan Dar al-Jawal Beirut, (PT Lentera Basritama) cet. V 2005, h. 332


(20)

memilki dua orang atau lebih isteri dalam waktu yang bersamaan. Adapun kebalikan dari bentuk perkawinan seperti ini adalah monogami yaitu perkawinan dimana suami hanya memiliki satu orang isteri.8

Dalam Islam poligami mempunyai arti mempunyai isteri lebih dari satu, dengan batasan umum yang telah ditentukan. Al- Quran memberi penjelasan empat untuk jumlah isteri meskipun ada yang mengatakan lebih dari itu. Perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan penafsiran tentang ayat yang menyatakan diperbolehkannya poligami.

Dasar penetapan hukum poligami sendiri terpengaruh dengan proses sejarah poligami dan juga hal- hal yang berkaitan dengan konsep tujuan berpoligami.

Bangsa Arab dan non-Arab sebelum Islam datang sudah terbiasa berpoligami. Ketika Islam datang, Islam membatasi jumlah isteri yang boleh dinikahi. Islam memberi arahan untuk berpoligami yang berkeadilan sejahtera. Dalam Islam poligami bukan wajib, tapi mubah, berdasar antara lain firman Allah SWTdalam surat An- Nisaa’ ayat 3.9

Sayyid Qutb berpandangan bahwa sering kali terjadi dalam kehidupan hal-hal yang tidak dapat dipungkiri dan dilewatkan keberadaannya, seperti hal-halnya; melihat masa subur laki-laki yang berlangsung sampai umur 70 tahun atau diatasnya, sementara kesuburan seorang perempuan berhenti ketika sudah mencapai umur 50

8

Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami, (Yogyakarta : Al –Kutsar 1999), cet. I h. 71

9

Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Anatara Jodoh, Poligami Dan Perselingkuhan, (Pustaka Al- Kautsar: Jakarta 2007), Cet. I, h. 119


(21)

tahun atau sekitarnya, maka dari itu terdapat jarak waktu 20 tahun masa subur laki-laki dibanding masa subur perempuan.10

Selain itu menyikapi kondisi faktual kemandulan seorang istri, ketika seorang laki-laki mendapatkan perempuan mandul dan pada waktu itu pula ia mengakui kemandulannya, di lain pihak ia mendambakan keluarga sejahtera yang memiliki anak-anak sehat dan lucu, maka, tidak dapat dipungkiri menyadari atas kekurangannya ia akan merelakan suaminya untuk berkeluarga lagi dengan harapan berlanjutnya jalinan kekeluargaan antara dirinya dengan suaminya walaupun ia akan memendam kesesalan dan kesusahan dalam dirinya.

Timbul alasan ini akan meneruskan hubungan persaudaraan dan kehidupan yang sejahtera serta mengontrol masyarakat dari keberpihakan kepada desakan kepentingan dan keinginan yang beragam.11

Opini masyarakat Islam mengenai kebolehan berpoligami yaitu, anggapan jumlah perempuan yang semakin bertambah dibanding jumlah laki-laki yang ada tersebutkan dalam rasio perbandingan 1:3. Dengan alasan tersebut para ulama berpendapat bahwa tujuan ideal Islam dalam perkawinan adalah monogami. Tentang konsep poligami yang jelas-jelas tertulis dalam Al- Qur’an itu, menurut sebagian mereka hanyalah karena tuntutan zaman ketika masa nabi, yang ketika itu banyak anak yatim atau janda, yang ditinggal bapak atau suaminya. Sedang sebagian pendapat yang lain kebolehan poligami hanyalah bersifat darurat atau kondisi

10

Abu Usamah Muhyidin, Abu Hamid, Legalitas Poligami Menurut Sudut Pandang Ajaran Islam, (Yogyakarta, Sketsa: 2006), cet. I, h. 28

11


(22)

terpaksa, sembari mengingatkan, agama adalah kesejahteraan (maslahah) bagi pemeluknya. Sebaliknya, agama mencegah adanya darurat atau kesusahan. Darurat dikerjakan hanya kalau sangat terpaksa. Ditambahkan dari kondisi ini, satu hal yang perlu dicatat, menolak kesusahan atau kemudharatan harus didahulukan daripada mendapatkan kesejahteraan (kemaslahatan).12

Mukti Ali, pada saat menjabat sebagai Menteri Agama menyatakan bahwa, mengibaratkan sebuah pesawat terbang yang telah mempunyai peralatan navigasi yang seba komplit dengan crew-nya yang cukup. Tetapi pesawat itu tidak diperkenankan terbang kalau tidak dilengkapi dengan ‘pintu darurat’. Jadi di samping pintu biasa, pesawat itu harus memiliki pintu darurat. Oleh karena itu, kalau orang hendak keluar/masuk atau naik pesawat terbang harus mempunyai pintu biasa, jangan melalui pintu darurat. Kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa, maka pintu darurat itu dibuka, dan ke sanalah dengan segala persiapan orang baru keluar pesawat terbang. Begitupun dengan poligami itu bukan suatu yang diperintahkan begitu saja, tetapi memiliki hukum dan aturan tertentu.13

Penetapan dasar hukum selain surat An- Nisaa ayat 3 mengenai kebolehan poligami, juga didasari oleh aspek-aspek perundang-undangan yang ada. Dalam pasal 3, 4, dan 5 UU No.1 tahun 1974 sangat mengakomodir semua hal yang bersangkutan mengenai poligami karena jelas tertera alasan-alasan yang dimaksud, berikut juga persyaratan-persyaratannya.

12

Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Anatara Jodoh, Poligami Dan Perselingkuhan, h. 117

13


(23)

B. Tradisi Praktek Poligami Sepanjang Sejarah

Poligami sama tuanya dengan sejarah kehidupan manusia, yaitu sebelum agama Islam datang. Sehingga dapat dikatakan bahwa poligami merupakan hal yang biasa terjadi atau telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat.

Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa yang sekarang kita sebut Russia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa berpoligami. Demikian juga bangsa timur seperti bangsa Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami, sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut Islam, seperti Afrika, India, China, dan Jepang. Tidaklah benar kalau poligami hanya terdapat di negeri-negeri Islam.14

Di India praktek poligami sangat dominan terutama di kalangan kerajaan, pembesar, atau oarang-orang kaya. Bagi mereka poligami merupakan peraturan alternatif jika istrinya mandul atau dianggap pemarah atau emosional. Di kalangan bangsa mesir kuno poligami dianggap hal yang wajar asalkan calon suami berjanji akan membayar sejumlah uang yang cukup banyak kepada istri pertama jika nanti

14

Hasan Aedy, Poligami Syaria’ah Dan Perjuangan Kaum Perempuan, Alfabeta: Bandung, Cet. I, Agustus 2007, H. 60


(24)

suami berpoligami. Apabila nanti dia menikah lagi, dia terkena peraturan yang berlaku.15

Bentuk poligami yang dilakukan, ada dalam bentuk seorang laki-laki mengawini lebih dari seorang wanita, dan ada dengan bentuk seorang laki-laki yang telah mempunyai seorang isteri atau lebih, juga mempunyai seorang atau beberapa gundik. Gundik-gundik ini kadang-kadang mempunyai fungsi sebagai isteri.16

Dalam aturan “Likci” China, poligami dibolehkan sampai 130 (seratus tiga puluh) isteri. Bahkan salah seorang raja China mempunyai 30.000 isteri.17 Begitu juga bangsa Babylonia, India, Syiria, dan Mesir, sebagian bangsa tersebut tidak memiliki batas tertentu dalam jumlah nominal isteri.

Seperti dikatakan sebelumnya, poligami juga tidak hanya ada pada suku bangsa beragama Islam, tetapi juga pada suku bangsa beragama Kristen yang pada dasarnya tidak melarang poligami, karena tidak ada keterangan yang jelas mengenai pelarangan poligami dalam kitab injil.18

Agama Nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami karena tidak ada satu ayat pun dalam Injil yang secara tegas melarang poligami. Apabila orang Kristen di Eropa melaksanakan monogami tidak lain hanyalah karena kebanyakan bangsa Eropa -yang kebanyakan Kristen- pada mulanya seperti orang Yunani dan Romawi

15

Musfir Aj Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi, (Gema Insani Press: Jakarta 1997), cet. 2, h. 35

16

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), cet. I, h. 31

17

Abdullah Nasih ‘Ulwan, Hikmah Poligami Dalam Islam, (Jakarta: Studio Press, 1997), h. 11

18


(25)

sudah lebih dulu melarang poligami, mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka yang melarang poligami. Dengan demikian peraturan tentang monogami atau kawin dengan satu orang isteri bukanlah peraturan dari agama Kristen yang masuk ke negeri mereka, tetapi monogami adalah peraturan lama yang sudah berlaku sejak mereka menganut agama berhala. Gereja hanya meneruskan larangan poligami dan menganggapnya sebagai peraturan dari agama.19

Pelarangan poligami oleh agama Kristen cenderung mengikuti tradisi yang berlaku di wilayah dimana agama Kristen itu berkembang, seperti di Eropa, masyarakat disana cenderung kepada monogami karena menurut mereka monogami lebih menjamin akan terjaganya keutuhan keluarga. Berdasarkan hal tersebut tokoh-tokoh kristen memberikan penafsiran ayat-ayat yang menjelaskan masalah perkawinan, sehingga akhirnya poligami dipandang haram padahal pengharaman poligami di Eropa tersebut menyebabkan terjadinya perzinahan, perselingkuhan, dan pelacuran dimana-mana.

C. Pengaturan Poligami Dalam Hukum Islam

a. Hukum Poligami Dalam Islam

Saat ini sudah merupakan hal yang biasa dan patut disesalkan, bahwa kaum muslimin dewasa ini banyak menentang poligami. Poligami dituduh sebagai pemboros harta atau sebagai pengumbar nafsu yang berlebihan dan tuduhan-tuduhan lain yang menempatkan poligami pada tempat yang buruk. Hal ini membuktikan bahwa orang-orang yang membenci Islam telah berhasil menyebarkan isu bahwa

19


(26)

poligami adalah eksploitasi golongan laki-laki terhadap golongan perempuan yaitu hanya memuaskan hawa nafsu mereka. Padahal poligami merupakan hal yang telah umum dan telah disyari’atkan oleh Islam.20

Secara konkrit Islam tidak membahas hukum poligami dan tidak mensyariatkan praktiknya kepada para pengikutnya. Realitas poligami telah berlangsung dalam kehidupan umat serta masyarakat terdahulu, juga berlangsung di dalam lingkungan pemeluk agama Samawi yang lain, dan tradisi masyarakat Arab Jahiliyah, akan tetapi belum terdapat dalam realitas kehidupan mereka batasan-batasan yang benar serta panduan hukum yang baik terhadap praktik ini.21

Kedatangan Islam tidak ditujukan untuk memberikan legalitas penuh atas praktik poligami akan tetapi tujuannya adalah untuk memberikan batasan-batasan keberadaannya serta membimbing kaum laki-laki berperilaku adil terhadap para istri. Di lain pihak Islam datang dan memasuki ruang dari permasalahan ini dengan perbaikan-perbaikan dan syarat-syarat yang khusus, memberikannya landasan terarah untuk memandu dan membatasi semua keburukan serta bahaya yang senantiasa terjadi pada masyarakat. Merumuskan undang-undang yang terperinci untuk menjaga hak-hak kaum perempuan yang senantiasa terlupakan serta melestarikan kehormatan mereka yang senantiasa tertindas.22

20

Eni Setiani, Editor: Dra. Eni Setiani, Muhammad Hamzah, Hitam Putih Poligami (Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah Fenomena), Cisera Publishing Jakarta: Cet I Januari 2007, h. 27

21

Ibid, h. 28

22

Abu Usamah Muhyidin Abdul Hamid, Legalitas Poligami Menurut Sudut Pandang Islam, h. 2


(27)

Dapat disimpulkan bahwa hukum poligami dalam Islam adalah kebolehan yang bersyarat. Sumbernya terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an itu sendiri pada surat An-nisa ayat 3 yang membolehkan poligami dengan syarat hanya dengan empat orang istri dan bisa berlaku adil.

“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja. (An Nisaa: 3)

M. Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat poligami tidak menganjurkan apalagi mewajibkan poligami. Tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat amat membutuhkan dengan syarat yang tak ringan.23

b. Syarat Poligami Dalam Islam

Berdasarkan ketentuan Al-Qur’an, poligami terbatasi dengan syarat-syarat. syarat tersebut terbagi dalam tiga faktor:

1. Faktor Jumlah

Aturan tentang poligami memang sudah dikenal dan berlaku dalam kabilah-kabilah Arab zaman jahiliyah tanpa batasan tertentu. Telah di katakan juga bahwa ada

23

M. Quraish Shihab, Perempuan: dari cinta sampai seks, dari nikah mut’ah sampai nikah sunnah, dan dari bias lama sampai bias baru, (Jakarta; Lentera Hati, 2005), h. 165-166


(28)

hadist yang mengatakan terdapatnya poligami di kalangan orang-orang arab ketika mereka memeluk agama Islam dan tanpa pembatasan jumlah.24 Namun setelah Islam datang membatasi poligami dengan hanya empat orang istri.

Dalam fiqh lima mazhab, Muhammad Jawad Mughniyah berkomentar tentang poligami yang dibahasakan dengan ‘jumlah istri’. Bahwa semua mazhab sepakat tentang seorang laki-laki boleh beristri empat dalam waktu bersamaan, dan tidak boleh lima berdasarkan keterangan surat an-Nisaa ayat 3.25 Adapun mengenai pembahasan selanjutnya tentang poligami tidak dituangkan dalam komentarnya tersebut. Melainkan tentang perceraian keempat orang istri yang sudah dinikahi melalui uraian pendapat Imamiyah dan Syafi’i.

Sunnah nabi yang sahih telah menguatkan bahwa jumlah maksimal istri adalah empat orang sebagai berikut:

لﺎ

يﺪ ﻷ

ْ

ْ

ثرﺎﺤْا

:

نﺎ ﺛ

ىﺪْ و

ْ ْ أ

ﻚ اذ

تْﺮآﺬﻓ

لﺎ

،ةﻮْ

ا

لﺎ ﻓ

:

ﺎ ْرأ

ﻬْ

ْﺮ ْﺧإ

)

ﺟﺎ

إ

اور

(

Dari Harist bin Qays al Asadi ra. Dia berkata: “Aku masuk Islam sedang aku mempunyai isteri delapan. Lalu diberitahukan kepada nabi SAW. maka nabi bersabda: pilihlah empat orang diantara mereka.” (HR Ibnu Majah).

24

Musfir Aj Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi, h. 52

25

Muhammad Jawad Mughniyah, terjemah al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khomsah, penejemah: Masykur A.B Afif Muhmmad, Idrus al-Kaf terbitan Dar al-Jawal Beirut, (PT Lentera Basritama) cet. V 2005, h. 332-333


(29)

2. Faktor Nafkah

Nafkah mencakup makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan alat-alat rumah tangga yang umum. Laki-laki yang ingin menikah pertama-tama harus mampu menyediakan biaya untuk menafkahi wanita yang akan dinikahinya. Menurut syari’at Islam Jika seorang laki-laki belum memiliki sumber rezeki untuk menafkahi istri, dia belum boleh kawin, sesuai sabda Rasulullah berikut ini:

ْجوﺰ ﻓ

ةءﺎ ا

ﻜْ

عﺎﻄ ا

بﺎ ا

ﺮ ْ

)

اور

(

“Wahai sekalian pemuda.. siapa diantara kamu yang telah mampu memikul beban nafkah hendaklah ia kawin”. (HR. |Muslim)

Berdasarkan syara’ seorang laki-laki belum dibolehkan menikah jika belum mampu memberikan nafkah. Begitu pula, laki-laki yang sudah mempunyai istri satu tetapi belum mampu memberikan nafkah yang layak, maka dia tidak boleh berpoligami. Dengan demikian, tidak ada ikhtilaf diantara fuqoha tentang kewajiban suami terhadap istrinya, baik makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. 26

3. Berbuat Adil Diantara Istri-Istri

Surat An-Nisa ayat 3 merupakan dasar keadilan yang harus ditegakkan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang mampu diwujudkan manusia dalam

26


(30)

kehidupan sehari-harinya, yaitu sandang pangan, rumah tempat tinggal, dan perlakuan yang layak terhadap mereka masing-masing.27

Sementara itu, keadilan yang berkenaan dengan aspek bathiniyah yaitu masalah cinta, kasih sayang dan selera (hasrat seksual) merupakan perkara yang mustahil direalisasikan oleh manusia.

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(An-Nisa: 129)

Dalam hal ini pasti setiap orang memiliki kecenderungan hati atau sikap condong kepihak tertentu. Meskipun begitu adanya tetap harus diupayakan sekuat mungkin usaha adil dalam menggauli istri-istri yang memang di amanatkan Allah SWT.

ﷲا

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al Baqarah: 286)

27


(31)

Abdullah bin Abbas r.a28 menafsirkan surat An-Nisa ayat 129 tentang keadilan dengan pernyataan bahwa adil yang di maksud dalam ayat tersebut adalah adil dalam hubb (cinta) dan jima’ (persetubuhan suami istri). Apabila seorang muslim ingin berpoligami sedangkan ia yakin bahawa dirinya tidak mampu menerapkan keadilan diantara istri-istrinya dalam masalah kebutuhan materi, maka itu adalah dosa di sisi Allah, dan wajib baginya untuk tidak kawin lebih dari seorang istri. Rasulullah bersabda:

إ

اذ

نﺎآ

ﺪْ

ﺟﺮ ا

نﺎ أﺮْ إ

ْ ﻓ

ْلﺪْ

،ﺎ ﻬ ْ

ءﺎﺟ

مْﻮ

ﺔ ﺎ ا

و

ﻂ ﺎ

“Apabila ada seorang laki-laki mempunyai dua orang istri dan dia tidak berlaku adil di antara keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat dengan badan yang miring”.29

Mahmud Syaltut dalam argumennya menerangkan poligami pada intinya adalah keadilan. Bagi seorang Mu’min yang tidak takut akan pertengkaran dan perpecahan dalam rumah tangga diperbolehkan poligami Karena sikap adil selalu dibutuhkan dalam pertengkaran rumah tangga poligami. Sepatutnya untuk menghindari ketakutan keadaan seperti ini seorang Mu’min dianjurkan untuk menikahi seorang perempuan saja.30

28

Musfir Aj Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi, h. 59

29

Ibnu Atsir, Jami’ul Ushul, Juz 11, h. 515

30

Abu Usamah Muhyidin Abdul Hamid, Legalitas Poligami Menurut Sudut Pandang Islam, H. 55-56


(32)

Dalam ranah ahli-ahli fiqh lain, memang ada kondisi pribadi yang membuat poligami menjadi suatu yang mendesak untuk dilakukan. Di antaranya adalah besarnya dorongan seksualitas yang tidak cukup dengan hanya satu istri. Istri mandul, istri menderita sakit yang berkepanjangan yang tidak memungkinkanya bersetubuh, atau karena ketidaksenangan yang tidak dapat diubah. Suami bersangkutan enggan menceraikan istrinya. Ia tidak mau pergaulan yang sudah lama dengan istrinya berakhir dengan perceraian. Ini merupakan perasaan terpuji, sekalipun tidak mendatangkan kebahagiaan bagi istrinya. Tapi perlu digarisbawahi bahwa hal ini tidak boleh di sisi Allah SWT dan merupakan faktor yang meniscayakan perceraian jika istri memintanya.31

Muhammad Abduh yang dianggap ulama kontemporer penolak poligami memberikan alsaan yang riil tentang keadilan bahwa poligami pada dasarnya boleh. Namun yang menjadi persoalan adalah kemampuan seseorang untuk berlaku adil bagi istri-istrinya. Zaman sekarang sangat sulit bahkan tidak ada orang yang dapat berlaku adil bagi istri-istri mereka. Banyak orang yang berpoligami meninggalkan istri pertama dan juga anak-anaknya. Istri muda lebih mereka cintai diatas segalanya. Akibatnya, perhatian dan curahan kasih sayang mereka lebih terfokus kepada istri muda. Sementara itu, karena perhatian kurang dari suami terhadap istri tua, menyebabkan mereka (para istri tua) memilih jalan urban (pindah rumah) ke daerah lain, guna membesarkan dan mendidik anak-anak mereka. Dalam kebutuhan seksual

31

Abdul-Ghani Abud, Qadiyath Al-Hurriyah wa Qadhaya ukhra, buku ketujuh dari rangkaian karya ilmiyah dengan tema Al-Islam wa Tahaddiyat Al-Ashri (Islam dan Berbagai tantangan zaman), cet. I, (Daar el-Fikr al-Arabiy, 1978), h. 74-76


(33)

pun, sudah dipastikan tidak bisa adil. Kecenderungan mereka jelas kepada istri muda. Karena sisi pelayanan yang lebih greget dari para istri tua. Hal ini berakibat juga pada kebutuhan materi. Karena memperoleh ‘service’ yang lebih dari istri muda, suami akan selalu memberi sesuatu yang istimewa pula terhadap istri muda. Kalau seperti ini, jelas istri tua yang dirugikan dan tidak bisa tampil keadilan yang diinginkan.32

Lain halnya dengan pandangan Quraish Shihab mengenai keadilan. Ia melihat keadilan dalam surat An-Nisa ayat 129 mengisyaratkan bahwa keadilan yang tidak dapat dicapai itu adalah keadilan dari segi kecenderungan hati yang memang berada diluar kemampuan manusia. Sebelum menutup mati pintu poligami, perlu diketahui bahwa poligami yang mengakibatkan dampak buruk seperti terjadinya pelanggaran ketentuan hukum, bukanlah alasan yang tepat untuk membatalkan ketentuan hukum itu. Apalagi pembatalan tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi masyarakat. Munculnya wanita simpanan serta pernikahan-pernikahan dibawah tangan, mempunyai dampak yang sangat buruk bagi masyarakat, lebih-lebih terhadap perempuan.33 Jika memang poligami dibangun atas itikad baik menurut ketentuan syarat yang berlaku mengapa tidak jika kemaslahatan kedua belah pihak adalah solusinya.

Praktek poligami Rasulullah SAW merupakan praktek poligami perspektif Islam yang senantiasa menjadi panutan harus yang ditiru oleh umatnya. Tidak sedikit

32

Fiqh Realitas, Respon Ma’ahad Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, Editor: Dr. Abu Yasid LI.M., Pustaka Pelajar Yogyakarta, cet: I September 2005, h. 348

33

M. Quraish Shihab, Perempuan: dari cinta sampai seks, dari nikah mut’ah sampai nikah sunnah, dan dari bias lama sampai bias baru. h. 177


(34)

pula orang Islam yang keliru memahami praktek poligami tersebut. Ada anggapan bahwa nabi berpoligami dengan tujuan memuaskan nafsu seksualnya seperti kebanyakan yang dilakukan orang pada umumnya. Padahal dari istri Rasul hanya Aisyah yang masih gadis ketika dinikahi, selainnya adalah para janda tua. Maka dari itu kekeliruan ini harus diluruskan, karena poligami nabi sering dijadikan dalil pembenaran bagi kebolehan poligami dalam masyarakat muslim.34

Menurut Muhammad Al Ghazali pernikahan Rasulullah dengan para istrinya dilandasi beberapa alasan diantaranya karena semata didorong kondisi mereka masing-masing (mereka memelihara anak yatim), karena kebijaksanaan dan kepentingan beliau dalam menghadapi kaum tertentu, untuk amar ma’ruf nahi’ munkar, yang kesemuanya dalam rangka memperkokoh dakwah Islam.35

Terlepas dari alasan apapun, nabi Muhammad SW sendiri adalah manusia mulia yang ma’sum yang dijauhkan Allah dari kesenangan nafsu duniawi. Berbeda dengan manusia-manusia lain. Dalam hal ini Allah menjelaskan kekhususannya dalam Al Qur’an:

34

Hasan Aedy, Poligami Syaria’ah Dan Perjuangan Kaum Perempuan, h. 24

35


(35)

Artinya: “ Hai nabi, Sesungguhnya kami Telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang Telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya kami Telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Azhab: 50).

c. Sekilas Poligami Di Negara Muslim

Salah satu fenomena abad ke-20 didunia Muslim adalah adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (perkawinan, perceraian dan warisan). Sampai tahun 1996 di negara Timur Tengah misalnya hanya tinggal lima negara yang belum


(36)

memperbaharui hukum keluarga, bahkan negara-negara ini pun sedang dalam proses pembuatan draft, yakni Emirat Arab,Saudi Arabia,Qatar, Bahrai, dan Oman36

Di dunia Islam pada umumnya kecenderungannya adalah sama yaitu membatasi terjadinya poligami dan pembatasan itu bervariasi bentuknya dari cara yang paling lunak sampai paling tegas. Di Libanon, berdasarkan hukum keluarga yang diberlakukan kerajaan Turki Usmani pada tahun 1917, poligami tidak dilarang tetapi diharapkan menerapkan prinsip keadilan kepada para isteri. Di Maroko, berdasarkan UU Status Pribadi tahun1958 juga demikian halnya.37

Cara lain bagi pembatasan poligami ialah dengan pembuatan perjanjian. Isteri diberi hak untuk meminta suami ketika melangsungkan perkawinan agar membuat perjanjian bahwa jika ia ternyata nanti nikah lagi dengan wanita lain maka si isteri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau dengan sendirinya jatuh talak satu apabila yang melanggar itu pihak isteri. Hal ini disebutkan misalnya dalam pasal 19 Hukum Keluarga Yordania No. 61 tahun 1976 yang diubah dengan UU 31 Status Pribadi Maroko tahun 1958.38

Di Pakistan Poligami hanya boleh dilakukan setelah mendapat izin dari isteri pertama dan Dewan Hakam (arbitrasi) yang dibentuk untuk menyelidiki hal itu. Bagi

36

Dowound El Alami dan Doreen Hinchcliffe, Islamic Merrige and Divorce Laws of The Arab World (London. the Hague, Boston: Kluwer Law International, 1996), h. 4

37

Atho Muzdhar, Khairuddin Nasution (Editor),Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern

(Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern Dari Kitab-Kitab Fiqh), Ciputat Press 2003, h. 214

38


(37)

pelanggarnya, atas pengaduan, dapat dihukum penjara maksimal satu tahun atau denda 5000 Rupis atau kedua-duanya.39

Di Turki modern, berdasarkan UU Sipil tahun 1926, poligami sama sekali dilarang dan apabila terjadi maka perkawinan itu dinyatakan tidak sah. Di Tunisia, berdasarkan UU tahun 1956 yang telah diubah dengan UU tentang Status pribadi tahun 1981, larangan poligami itu lebih tegas lagi. Pasal 18 UU itu menyatakan bahwa laki-laki yang melakukan poligami dihukum kurungan selama setahun dan denda sebesar 240.000 Frank. Tunisia berpendapat bahwa poligami tidak dikehendaki oleh Al-Qur`an sendiri. Semua aturan pembatasan dan pelarangan poligami yang tidak dikenal dalam kitab-kitab fikih itu diberlakukan untuk melindungi hak-hak wanita.40

39

Atho Muzdhar, Khairuddin Nasution (Editor),Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern

(Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern Dari Kitab-Kitab Fiqh), h. 216

40


(38)

BAB III

MASALAH POLIGAMI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974

Undang –undang no 1 tahun 1974 ini merupakan pengaturan permasalahan perkawinan atau sejenisnya dalam kerangka hukum yang baku. Hal ini bisa menjadi pedoman atau acuan menyelesaikan permasalahan perkawinan. Dalam undang-undang ini poligami diterangkan dalam pasal 3 ayat 2, pasal 4 ayat 1 dan 2, dan pasal 5 ayat 1 dan 2. Kasus poligami yang apabila terjadi, maka pengadilan merujuk undang ini karena semua ketetapan hukum poligami tertera dalam undang-undang ini sebagaimana Dalam pasal 3 menerangkan “pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, dan pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Dan dalam pasal 4 diterangkan syarat-syarat alternatif yang harus dijalani pemohon diantaranya sebagaimana tertera bahwa dalam hal seorang suami akan


(39)

beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Kemudian pengadilan yang dimaksud hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pada pasal 5 diterangkan syarat-syarat kumulatif yang kesemuanya harus dijalani pemohon sebagaimana tertera:

1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila


(40)

tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Dalam penjelasan lebih lanjut, PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksaaan UU no. 1 tahun 1974 menerangkan dalam pasal 40, 41, 42, 43, dan pasal 44. Dalam pasal 40 berbicara mengenai ”apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan”

danpada pasal 41 pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun

tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.

c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak

d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Pasal 42 menerangkan dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan dan pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.


(41)

Pasal 43 menerangkan apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang dan pasal 44 menerangkan bahwa pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.

Undang-undang poligami diatas membolehkan untuk beristri lebih dari satu orang dengan ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan. akan tetapi terbatas hanya sampai empat orang. Adapun syarat yang harus dipenuhi diantaranya suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya dalam hal nafkah dan keadilan. Jikalau suami tidak bisa memenuhi, maka suami dilarang beristri lebih dari satu. Disamping itu suami harus terlebih dahulu mendapat izin dari pengadilan agama. Jika tanpa izin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Permasalahan poligami dewasa ini semakin bertambah rumit karena banyak terdapat pertentangan oleh berbagai pihak dalam menyetujui diperbolehkannya dilakukan poligami yang berupa diperketatnya persyaratan pelaksanaan poligami. Kasus-kasus poligami yang kebanyakan terjadi saat ini jika ditinjau dari perspektif keadilan sangat sulit sekali walaupun suami tersebut mampu dalam segi materilnya tetapi belum mampu dalam segi moril dalam pembagian terhadap istri-istrinya.


(42)

Sehingga dalam hal ini masih diperlukan pemikiran lebih dalam lagi serta pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang dalam pengambilan sikap suatu tindakan. Akan tetapi permasalahannya juga sering timbul dan tidak sedikit yang menjadi meruncing, apalagi dari kasus-kasus tersebut timbul perkara dan masalah yang baru.

Perkawinan dimaksudkan agar manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan ridha Ilahi. Ketentuan pasal 1 UU Perkawinan menyatakan, bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa”. Apabila ditelaah, pasal tersebut memberikan implikasi, bahwa perkawinan hanya dapat dilakukan antara seorang pria dan wanita saja. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa senada dengan ketentuan itu, maka pasal 27 BW maupun pasal 2 H. O. C. I.., pasal tersebut mengandung asas monogami, dalam pengertian asas monogami mutlak, meskipun dalam memori penjelasan mengenai pasal-pasal tersebut justru tidak diberi komentar tentang itu.41

Akan tetapi apabila dilihat dari ketentuan pasal 3 ayat 1 UU perkawinan yang menyatakan, bahwa; “Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang

41

Titik Triwulan Tutik dan Trianto, Poligami Persfektif Perikatan Nikah (Telaah Kontekstual Menurut Hukum Islam Dan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974), Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007,H. 120


(43)

suami”. Menunjukan, bahwa dengan istilah ‘pada dasarnya’ berarti boleh diadakan penyimpangan. Hal ini terbukti dengan rumusan pada pasal 3 ayat 2 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan dapat memberi izin kepada suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Hal ini dipertegas dalam penjelasan umum UU No.1 tahun 1974 angka 4 huruf c, yang menyebutkan;

“Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan”.

Paparan diatas menunjukan, bahwa dipergunakan asas monogami dalam perikatan pernikahan, yaitu pada dasarnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut asas monogami didalam perkawinan, artinya seoarang suami hanya boleh memiliki seorang seorang istri dan seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami dalam satu saat. Akan tetapi asas monogami yang dianut dalam UU perkawinan tersebut tidak bersifat mutlak, tetapi hanya bersifat pengarahan kepada pembentukan perkawinan sakinah dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan poligami dan bukan menghapuskannya sama sekali sistem poligami.42

Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat

42


(44)

memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan ini membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami dengan izin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat izin dari pengadilan agama43 dan yang beragama selain Islam harus mendapat izin dari Pengadilan Negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu.

Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri pada sidang pengadillan agama. Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada khabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama. Dapat diambil contoh apabila si istri ada di Luar Negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja

43

Instruksi Presiden R. I. Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Derpartemen Agama R. I. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Tahun 1997/1998, Pasal 51 Ayat 1


(45)

Wanita) selama 2 tahun atau lebih misalnya atau bisa juga karena selama minimal 2 tahun si istri memang tidak ada kabar beritanya.

Persetujuan secara lisan ini nantinya sang istri akan dipanggil oleh pengadilan dan akan didengarkan oleh Majelis Hakim. Tidak hanya istri, tetapi suami juga akan diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan pihak-pihak ini dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan.44

Nasaruddin Umar berkomentar mengenai UU perkawinan yang menyangkut poligami yakni, bahwa praktek poligini dalam undang–undang perkawinan diatur secara ketat, namun praktiknya sulit ditegakan karena semata-mata mengandalkan kesadaran dan kejujuran masyarakat.

Memang ada PP No 10 tahun 1983 dan PP No 45 tahun 1991, yang mengatur praktik poligini bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI dam Polri, serta pegawai BUMN, tetapi sangsi bagi para pelaku poligini diluar ketentuan belum memadai. Oleh karena itu praktisi hukum menilai masih perlu perangkat hukum lain untuk memberikan kekuatan dalam menerapkan UU tersebut.45

B. Menurut UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

44

H.A. Mukti Arto, Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, , Pustaka Pelajar, 2003, h. 2

45


(46)

Peradilan agama dengan nama yang sangat beraneka ragam telah ada dan tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Islam di Indonesia. Tumbuh dan berkembangnya disebabkan karena kebutuhan kesadaran hukum sesuai dengan keyakinan masyarakat Islam pada masa itu. Pada masa penjajahan Belanda keberadaanya telah diakui Belanda, kemudian di lembagakan secara resmi oleh pemerintah Hindia Belanda dengan staats.blad 1882 No. 152.

Setelah Indonesia merdeka pemerintah menyerahkan pembinaan Peradilan Agama kepada Departemen Agama (akan tetapi pada saat ini berdasarkan Keputusan Presiden No. 21 tahun 2004 tanggal 23 Maret 2004 berada dibawah mahkamah agung). Kemudian pada tahun 1970 aturan tentang Pengadilan Agama benar-benar diperkuat melalui UU No. 14 tahun 1970 yang saat ini telah diubah dengan UU No. 4 tahun 2004 selanjutnya pada 1974 lahir UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pasal 63 ayat 1 dari undang undang ini ternyata memberikan kewenangan lebih besar kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan kasus-kasus perkawinan, namun sayang pada periode ini masih terdapat kekurangan, yaitu masih ada pemerintah untuk pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri sekalipun itu hanya bersifat adfministratif.

Berdasarkan diundangkan dan diberlakukannya UU RI No. 3 tahun 2006 tentang perubhan atas UU no. 7 tahun 1989, maka posisi Peradilan Agama semakin mantap dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Jika dilihat dari sisi personalitas, wewenang absolutnya dan hukum acara yang diatur secara khusus dalam


(47)

UU ini menunjukan batasannya sebagai peradilan khusus dalam penyelenggaraan kekuasan kehakiman di Indonesia.46

Undang-undang No. 3 tahun 2006 lebih banyak membahas tentang independensi badan peradilan yang khusus menaungi masalah keagamaan. Kewenangannya sejajar dengan pengadilan dari lingkungan pengadilan lain47. Dalam hal ini adalah perkara-perkara perdata agama Islam yang sepenuhnya diselesaikan di peradilan tersebut. Mengenai perkara perdata non-Islam diserahkan ke dalam wilayah peradilan umum. Didalamnya memuat kekuasaan pengadilan. yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tingkat pertama antara orang-orang Islam. Bidangnya adalah:

a. Perkawinan:

b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf, infaq, zakat, shadaqah dan ekonomi syariah48

Perkawinan yang dimaksud dalam uu no. 3 tahun 2006 adalah salah satunya membahas tentang poligami. Hal ini dijelaskan dalam penjelasan UU no. 3 tahun 2006 itu sendiri.

Secara eksplisit tidak ada aturan yang membahas poligami dalam cakupan yang utuh agar bisa digunakan untuk menjadi pertimbangan keputusan, namun hal tersebut tercover dalam undang-undang lain yakni uu no. 1 tahun 1974 tentang

46

Hotnidah Nasution, Peradilan Agama Sebagai Peradilan Khusus, Ahkam (jurnal syari’ah dan pranata sosial) Vol .8, ISSN 1412-4734, Fak. Syari’ah UIN Jakarta, H. 77-78

47

H. Munawir Sjadzali, Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap RUU Tentang Pengadilan Agama, 14 Desember 1989, Paragraf IV

48

Presiden Republik Indonesia, Undang-undang no. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU no. 7 tahun 1989 mengenai peradilan agama, bab III pasal 49 ayat 1


(48)

masalah perkawinan. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 49 ayat 2 UU no. 7 tahun 1989 yaitu:

“Bidang perkawinan yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur atau berdasarkan undang undang mengenai perkawinan yang berlaku”

Dapat disimpulkan bahwa undang-undang No. 3 tahun 2006 adalah peraturan mengenai kewenangan atau kekuasaan badan peradilan agama sebagai payung hukum undang-undang yang bernafaskan Islam. Peraturan poligami yang akan dijalani dengan melihat UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Kemudian juga hukum acara Pengadilan Agama, yang berlaku sama seperti pengadilan pada umumnya kecuali yang telah diatur khusus dalam undang-undang ini.49

C. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

KHI lahir dari keinginan untuk menyatukan hukum Islam yang tersebar di seluruh nusantara. Tujuan utamanya adalah selain mempositifkan syari’at Islam dalam bidang keperdataan (ahwalusyakhsiyah), juga ingin mengkodifikasi dan menyamakan kitab fiqh yang akan dipakai di pengadilan. Karena pada saat itu terjadi keberagaman putusan pengadilan terhadap perkara yang serupa. Dengan tujuan

49


(49)

tersebut maka timbulah keinginan penyeragaman dan kebonafitan hukum untuk umat islam50.

Kompilasi hukum Islam hadir pada tata hukum nasional Indonesia melalui instrumen hukum dalam bentuk Instruksi Presiden (inpres) No. 1 Tahun 1991 tanggal 22 juli 1991. Terpilihnya instrumen inpres ini menimbulkan dua pandangan. Pandangan pertama melihat inpres tersebut mempunyai kemampuan mandiri untuk berlaku efektif disamping instrument lainya, dan karenanya memiliki daya atur tersendiri dalam sistem hukum positif nasional, sedangkan pandangan lain melihat bahwa inpres yang dimaksud dalam tata hukum Indonesia tidak terlihat dalam tata urutan peraturan perundangan nasional.

Menurut Ismail Sunni, karena sudah jelas keberlakuan hukum dibidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam yang ditetapkan undang-undang bagi umat Islam, maka kompilasi hukum Islam itu memuat hukum materilnya melalui keputusan presiden/instruksi presiden. Pendapat tersebut antara lain didasarkan pada disertasi A. Hamid Attamimi. Selanjutnya Sunni mengatakan bahwa instruksi presiden ini dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yaitu kekuasaan presiden untuk memegang kekuasaan pemerintah Negara. Atas dasar

50

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dalam Peradilan Agama, Cet II, Logos Wacana Ilmu, Jakarta 1999, h. 1-2


(50)

kekuasaan itu (apapun nama produk hukum yang dikeluarkan) apakah itu keputusan presiden atau instruksi presiden, kedudukannya adalah sama.51

Materi pokok poligami dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat dalam buku I tentang perkawinan bab IX pasal 55-59 yang menerangkan cakupan untuk beristri lebih dari seorang.

Secara umum ketentuan-ketentuan yang diatur KHI dalam bidang hukum perkawinan pada intinya merupakan penegasan ulang tentang hal-hal yang telah diatur dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975.52 Mengenai

perihal poligami hal itu bisa dilihat pasal 57, 58 dan 59. Namun esensi yang dibangun KHI mengenai poligami terdapat pada pasal 55 lebih mengedepankan nilai keadilan suami bagi para istri. Berikut poligami dalam KHI tersebut:

Pasal 55 menerangkan bahwa beristri lebih dari seorang pada satu waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri dengan syarat utama dari seorang suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Dan apabila syarat utama yang disebut tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Pasal 56 bahwa suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama dengan melakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Berikut

51

Ismail Sunni, “Tradisi Dan Inovasi Keislaman Di Indonesia Dalam Bidang Hukum”, makalah dalam symposium Islam dan Kebudayaan Indonesia, Dulu, Kini dan Esok, (Jakarta:Oktober 1991), h. 21-24

52

Yahya Harhap, Informasi Materil Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, Dalam Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:1991), h. 81


(51)

juga menerangkan perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Dalam pasal 57 Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58 menerangkan bahwa untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu :

a. Adanya persetujuan isteri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka.

Kemudian mengatur mengenai persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama dan persetujuan dimaksud tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila isteri tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.


(52)

Pasal 59 menerangkan dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, keadilan telah dijelaskan oleh para ulama agar berhati-hati dalam menjalankan keadilan kepada istri-istri yang telah atau akan dinikahi nanti. Karena selain dijelaskan bahwa keadilan yang hakiki itu haya milik Allah AWT, juga sangsi agama berupa api neraka merupakan jaminan bagi orang yang tidak bisa berbuat adil bagi para pelaku poligami.

Permasalahan keadilan berpoligami dalam KHI merupakan concern KHI sendiri melihat permasalahan hukum Islam dalam pandangan fiqh yang ada. Manusia memang terbatas mengenai keadilan, akan tetapi tetap bisa dinilai dengan pola berfikir positif dan realistis dalam kasus poligami.

Hakim yang dipercaya sebagai orang yang dianggap penengah dalam masalah apapun tak luput dari kekurangan mengenai keadilan. Keadilan sesorang hanya bisa dinilai oleh orang lain selain dirinya, maka timbul siapa orang yang dipercaya dalam hal ini?. Jawaban yang kongkrit adalah hakim itu sendirilah yang disepakati publik menilai keadilan seseorang karena mempunyai keahlian yang telah dipelajari secara khusus mengenai masalah-masalah apapun.


(53)

Yahya Harahap mengemukakakan pandangannya mengenai KHI tentang poligami yaitu dalam permasalahan dilibatkan campur tangan Pengadilan Agama. Poligami tidak lagi merupakan tindakan Individual Affairs. Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi kekuasaan negara yakni mesti ada izin Pengadilan Agama. Tanpa izin Pengadilan Agama perkawinan itu dianggap poligami liar. Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan dianggap never existed tanpa izin Pengadilan Agama, meskipun perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat nikah.53

Dari Maksud penjabaran tersebut bertujuan membawa ketentuan-ketentuan undang-undang No. 1 tahun 1974 ke dalam ruang lingkup yang bernafas dan bernilai syari’at Islam. Ketentuan pokok yang bersifat umum dalam undang-undang no. 1 tahun 1974 dijabarkan dan dirumuskan menjadi ketentuan yang bersifat khusus dan sebagai aturan hukum Islam yang diberlakukan khusus bagi mereka yang beragama Islam.

D. Menurut PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil Dan PP No. 45 Tahun 1983 Tentang Perubahan Atas PP No. 10 Tahun 1983

Undang-undang ini diperuntukan bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) agar selalu berdisiplin dalam upaya memberikan contoh publik. Bahkan dalam membina hubungan keluarga sekalipun.

53


(54)

Dalam memori penjelasan PP no.10 tahun 1983 antara lain disebutkan, bahwa pegawai negeri sipil sebagai aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan pada undang-undang yang berlaku. Dengan sedikit perubahan yang ada pada PP no. 45 tahun 1990, maka peraturan ini semakin lengkap untuk menjaga pelanggaran-pelanggaran yang tidak diinginkan. Meskipun, masih ada kekurangan-kekurangan yang perlu dikaji.

Sehubungan dengan contoh dan teladan yang harus diberikan oleh pegawai negeri sipil pria kepada bawahan dan masyarakat, maka kepadanya dibebankan ketentuan disiplin yang tinggi. Untuk melakukan perkawinan dan perceraian, pegawai yang bersangkutan harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat atasannya. Lain halnya pegawai negeri sipil wanita yang tidak diperbolehkan menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat. Hal ini sesuai dengan PP no. 10 tahun 1983 dan perubahannya pada PP no. 45 tahun 1990 diantaranya:

Pasal 4 menerangkan bahwa pegawai negeri sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat dan pegawai negeri sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat dengan meminta izin yang diajukan secara tertulis berikut alasan yang lengkap yang mendasari permintaaan izin untuk beristri lebih dari seorang.

Syarat-syaratnya, yaitu sebagaimana dikemukakan pasal 10 PP no. 10 tahun 1983 adalah sebagai berikut:


(55)

Pasal 10

1. Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurangkurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.

2. Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

3. Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah a. Ada persetujuan tertulis dari isteri;

b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan

c. Ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

4. Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila :

a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;

b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);

c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

Hal mengenai mekanismenya diterangkan dalam pasal 5 dan 10 PP no. 10 tahun 1983 adalah sebagai berikut:

Pasal 5

1. Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diajukan kepada pejabat melalui saluran tertulis.

2. Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau untuk beristeri lebih dari seorang, maupun untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.


(56)

1. Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurangkurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.

2. Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

3. Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah a. ada persetujuan tertulis dari isteri;

b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan

c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

4. Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila :

a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;

b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);

c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

Hal-hal lain mengenai pengaturan PP no. 10 tahun 1983 dan perubahannya pada PP no. 45 tahun 1990 adalah sebagai berikut:

Pasal 9

1. Pejabat yang menerima permintaan izin beristri lebih dari seorang sebgaimana dimaksud dalam pasal (4) ayat 1 wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

2. Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri/suami dari Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin itu atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.

3. Sebelum mengambil keputusan, Pejabat berusaha lebih dahulu merukunkan kembali suami isteri yang bersangkutan dengan cara memanggil mereka secara langsung untuk diberi nasehat.


(57)

Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau akan beristeri lebih dari seorang yang berkedudukan sebagai:

1. Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden.

2. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II termasuk Walikota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Walikota Administratif, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri.

3. Pimpinan Bank milik Negara dan pimpinan Badan Usaha milik Negara, wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden.

2. Pimpinan Bank milik Daerah dan pimpinan Badan Usaha milik Daerah, wajib meminta izin lebih dahulu dari Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 12

Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), atau untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin tersebut.

Melihat semua perundang-undangan yang telah disebutkan diatas, timbul sekarang pertanyaan; mampukah PP no. 10 tahun 1983 dan perubahannya pada PP no. 45 tahun 1990 memberantas praktek poligami illegal dengan segala bentuknya?. Merujuk pada penelitian Soetojo Prawirohamidjojo54 yang dijadikan desertasi doktornya, bahwa memang dengan berlakunya UU Perkawinan angka kawin lebih dari satu menunjukkan statistik menurun secara drastis. Namun, praktek poligami dengan segala bentuknya semakin banyak, yang disebabkan oleh :

54

Soetojo Prawirohamidjojo, pluralisme dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press 2002), h. 50


(58)

1. Tidak adanya kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat;

2. Bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu karena kedinasannya dibayangi oleh rasa takut kepada atasan disamping prosedurnya yang terlalu lama dan sulit; 3. Tidak adanya tindakan yang tegas terhadap poligami illegal.

Meskipun masih ada kelengahan dalam sudut apapun, dengan rasa optimis yang tinggi diharapkan PP no. 10 tahun 1983 dan perubahannya pada PP no. 45 tahun 1990 menjadi garda terdepan untuk memberi arahan untuk berpoligami dengan baik dan tepat. Khususnya bagi Pegawai Negeri Sipil yang menjadi figur bagi kalangan masyarakat.


(59)

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI

A. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Mengenal kasus poligami yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, hendaknya dilihat dari beberapa sumber otentik yaitu sebuah putusan pengadilan. Selain mengikuti proses persidangan poligami itu sendiri, hendaknya juga menelusuri dari sumber ahli yang berkaitan terhadap penetapan itu semua.

Kasus poligami yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan sudah ada sejak dahulu. Diperkirakan sejak didirikannya Pengadilan Agama Jakarta Selatan maka kasus poligami itu ada meskipun tidak ada penjelasan atau data akurat yang bisa memaparkan itu semua.55

Mengenai kasus yang ada, penulis meneliti satu putusan poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Berikut deskripsi putusan izin poligami dengan nomor perkara 851/Pdt.G/2004/PAJS yang penulis kemukakan;

1. Ringkasan Kasus

Adalah Rahiman bin Sabirin, umur 36 tahun, wiraswasta berstatus menikah dengan Eni Hastutui binti Sunaryo dengan catatan akta nikah No. 728/76/IX/1996 tanggal 5 September 1996 di KUA Gedong Tatanan Lampung Selatan. Sekarang ini kedua suami istri tersebut bertempat tinggal di daerah Kebagusan Pasar Minggu,

55


(60)

Jakarta Selatan. Dari hasil pernikahan mereka telah lahir 3 orang anak masing-masing bernama: Madania lahir 21 Juli 1997, Ali Muthahari lahir 17 Januari 1999, Prima Nugraha lahir 19 Januari 2003. Kehidupan rumah tangga mereka rukun sebagaimana layaknya suami istri lainnya sampai pada suatu saat Rahiman berkenalan dengan Idah Gusti Rahmawati binti Sugiarto umur 20 tahun beragama Islam dengan status perawan pekerjaannya adalah mahasiswi tinggal di kelurahan Bancong kecamatan Kasui wai Kanan, Lampung. Mereka saling jatuh cinta dan sepakat untuk membina hubungan mereka ke jenjang pernikahan meskipun tahu bahwa Rahiman telah mempuyai istri dan anak.

2. Duduk Perkara

Tersebutkan bahwa Rahiman bin Sabirin sebagai pemohon dan Eni Hastuti binti Sunaryo sebagai termohon serta Idah Goesti Rahmawati binti Sugiarto sebagai calon istri kedua pemohon. Pemohon meminta izin kepada Pengadilan Agama untuk menikah untuk yang ke dua kali dengan cara poligami dengan alasan menjalankan syari’at agama. Berdasarkan hal tersebut Pengadilan Agama mengabulkan izin pemohon untuk menikah lagi secara poligami dengan berbagai pertimbangan.

3. Pertimbangan

Petimbangan-pertimbangan tersebut yakni, bahwa termohon memberikan persetujuan kepada pemohon untuk menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Idah Rahmawati binti Sugiarto didasari atas kerelaan dengan pertimbangan pemohon memiliki kemampuan lahir bathin dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Dan pemohon telah menyatakan kesediaan atas tanggung jawab dalam membina


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abud, Dr. Abdul-Ghani, Qadiyath Al-Hurriyah wa Qadhaya Ukhra, buku ketujuh dari rangkaian karya ilmiyah dengan tema Al-Islam wa Tahaddiyat Al-Ashri (Islam dan Berbagai tantangan zaman), cet. I, (Daar el-Fikr al-Arabiy, 1978). Aedy, H. Hasan. Poligami Syari’ah Dan Perjuangan Kaum Perempuan. Alfabeta:

Bandung, Cet. I, 2007

………., Ahkam (Jurnal Syari’ah Dan Pranata Sosial) Vol .8, ISSN 1412-4734, Fak. Syari’ah UIN Jakarta.

Ahmad Jaiz, Hartono, Wanita Anatara Jodoh, Poligami Dan Perselingkuhan. Pustaka Al- Kautsar: Jakarta, cet. 1, 2007

Aj Jahrani, Musfir, Dr. Poligami Dari Berbagai Persepsi. Gema Insani Press: Jakarta, cet. 2, 1997

Al-Hamdani, H.S.S. Risalatun Nikah (Risalah Nikah). Raja Murah, Pekalongan, 1980.

Al-Kumayi, Sulaiman. Dan Aa Gym Diantara Pro - Kontra Poligami, , Pustaka Adnan: Semarang, . cet. I, Januari 2007.

Al-Quran dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI, 1990.

Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam Dalam Peradilan Agama, Logos Wacana Ilmu: Jakarta, cet. 1, 1999.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, cet. ke-1, 1998.

____________,Fiqh Realitas, Respon Ma’ahad Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, Editor: Dr. Abu Yasid LI.M., Pustaka Pelajar Yogyakarta, cet: I September 2005, h. 348

Instruksi Presiden R. I. Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Derpartemen

Agama R. I. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Tahun


(2)

Jawad, Muhammad, Mughniyah, terjemah al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khomsah,

penejemah: Masykur A.B Afif Muhmmad, Idrus al-Kaf terbitan Dar al-Jawal

Beirut, (PT Lentera Basritama) cet. V 2005.

Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. ………., Mimbar Hukum, No.14 Tahun 1994, Fak. Syari’ah UIN Jakarta.

Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, cet. 1, 1974.

Muhyidin, Abu Usamah. Dan Abu Hamid. Legalitas Poligami Menurut Sudut Pandang Ajaran Islam. Yogyakarta: Sketsa, cet. 1, 2006.

Muktiarto H.A, Drs, S.H. Moh. Idris, SH. MH. Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Pustaka Pelajar, 2003.

Muzdhar, Atho, Nasution, Khairuddin (Editor), Hukum Keluarga Di Dunia Islam

Modern (Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern Dari Kitab-Kitab

Fiqh), Ciputat Press 2003

Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah Dan Tata Kerja Pengadilan Agama Dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam.

Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983, Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil Yayasan Binadhika Jakarta, 1991.

Prawirohamidjojo, Soetojo, pluralisme dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press 2002)

Presiden Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan.

Presiden Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan.

Presiden Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989, Tentang Peradilan Agama.


(3)

Presiden Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989, Tentang Peradilan Agama

Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, Tentang Perubahan Atas PP No. 10 Tahun 1983, Tentang Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

Quraish, M, Shihab, Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut’ah

Sampai Nikah Sunnah, Dan Dari Bias Lama Sampai Bias Baru, (Jakarta;

Lentera Hati, 2005)

Sirin, Khaeron. Artikel Membangun Masyarakat Madani, Al-Burhan:PTIQ, 2007 Siti Musdah Mulia, Synopsis Islam dan Insipirasi dan Kesetaraan Gender, Kibar

Press Yogyakarta: Februari 2007

Setiani, Eni, Dra, Editor : Dra. Eni Setiani, Muhammad Hamzah, Hitam Putih

Poligami (Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah Fenomena), Cisera

Publishing Jakarta: Cet I Januari 2007

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa 2003), Cet ke 3 Suprapto, Bibit. Liku-Liku Poligami. Yogyakarta: Al –Kutsar, ), cet. 1, 1999.

Sunni, Ismail.“Tradisi Dan Inovasi Keislaman Di Indonesia Dalam Bidang Hukum”, makalah dalam symposium Islam dan Kebudayaan Indonesia, Dulu, Kini dan Esok, (Jakarta:Oktober 1991).

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (UI-Press: 1986), Cet ke-3

Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum. Buku Pedoman Penulisan skripsi. Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007.

Triwulan Tutik, Titik, S.H., M.H. dan Trianto, S. PD., M. PD. Poligami Persfektif Perikatan Nikah (Telaah Kontekstual Menurut Hukum Islam Dan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974), Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007


(4)

‘Ulwan, Nasih, Abdullah. Hikmah Poligami Dalam Islam. Jakarta: Studio Press, 1997.

Wawancara Dengan Juru Bicara Hakim Peradilan Agama Jakarta Selatan, Tanggal 22 Februari 2008, Pukul 13.30-14.30 , Ruang Hakim Pengadilan Agama Jakarta selatan.


(5)

LEMBAR PERNYATAAN

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli hasil karya saya, atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Cipondoh, 17 Agustus 2008

Dani Tirtana NIM: 101044222184


(6)