PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI.

(1)

SKRIPSI

Oleh:

MELATI NOVIANA DEWI NIM. D51211106

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

JUNI 2015


(2)

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

Oleh :

MELATI NOVIANA DEWI NIM. D51211106

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

JUNI 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

viii Pembimbing Dr. H. Achmad Muhibin Zuhri, M.Ag.

Kata Kunci: Pendidikan Islam, Abdurrahman Wahid, Globalisasi.

Pemikiran pendidikan Islam mulai menampakkan eksistensinya dengan memberikan perhatian pada persoalan yang langsung bersentuhan dengan problematika pendidikan Islam. Salah satu tokoh pemikir tersebut adalah Abdurrahman Wahid, maka fokus penelitian ini adalah menelaah pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam dengan konsep pembaruan pendidikan Islam di era globalisasi. Pendidikan Islam dalam pandangan Abdurrahman Wahid haruslah menjadi pangkalan untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang kini sudah mulai lepas dan menjadi tumpuan langkah strategis untuk membalikkan arus yang menggedor pintu pertahanan umat Islam. Maka dari itu penulis tertarik mengadakan penelitian tentang pendidikan Islam di era globalisasi menurut Abdurrahman Wahid,

dengan rumusan masalah sebagai berikut:1) Bagaimana hakikat pendidikan Islam di era

globalisasi menurut Abdurrahman Wahid?, 2) Bagaimana epistemologi pendidikan Islam menghadapi fenomena globalisasi menurut Abdurrahman Wahid?, 3) Bagaimana dialektika nilai pendidikan Islam dan globalisasi menurut Abdurrahman Wahid?.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif, yang bersifat studi pustaka, dan menggunakan pendekatan filosofis. Dan teknik analisisnya bersifat kajian isi (content analysis) yang melalui metode deduksi untuk memperoleh gambaran detail pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam dari kacamata umum, metode induksi untuk memperoleh gambaran yang utuh terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam di era globalisasi dari bagian buku-buku karyanya, metode interpretasi untuk mendalami pandangan Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam di era globalisasi dengan pandangan dari tokoh lain dengan tekanan pada segi yang relevan dengan tema, dan metode komparasi untuk membandingkan antara pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam di era globalisasi dengan buku-buku lain yang terkait.

Dari hasil penelitian ini, menghasilkan kesimpulan bahwa menurut Abdurrahman Wahid pendidikan Islam di era globalisasi adalah sebuah proses yang dilakukan peserta didik untuk mempunyai kemampuan berfikir kritis sepanjang hidupnya dalam konteks keberagaman aspek kemajemukan di Indonesia dengan tanpa adanya keterbatasan kebebasan berpendapat dalam proses tersebut dan juga menghilangkan belenggu tradisionalis dengan pemikiran kritis dari Barat. Dan juga mempertahankan identitas dirinya sebagai penjaga tradisi keilmuan klasik. Dalam arti tidak larut sepenuhnya dengan modernisasi, tetapi mengambil sesuatu yang dipandang manfaat positif untuk perkembangan.


(7)

xi

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

MOTTO ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Penelitian... 9

E. Penelitian Terdahulu ... 10

F. Batasan Masalah... 14

G. Kerangka Teoritik ... 14

H. Metode Penelitian... 25


(8)

xii

BAB II Kajian Tentang Sketsa Intelektual dan Biografi Abdurrahman Wahid

A. Latar belakang keluarga ... 34

B. Latar belakang pendidikan ... 37

C. Aktifitas sosial keagamaan ... 41

D. Karya-karya Intelektual Abdurrahman Wahid ... 48

E. Pemikiran Abdurrahman Wahid ...50

1. Pribumisasi Islam ...50

2. Pluralisme ... 56

3. Demokrasi ... 58

4. Pendidikan Islam ... 63

BAB III Hakikat Pendidikan Islam di Era Globalisasi Menurut Abdurrahman Wahid. A. Hakikat Pendidikan Islam ... 65

B. Hakikat Tujuan Pendidikan Islam ... 75

1. Pendidikan Islam Berbasis Neomodernisme ... 76

2. Pendidikan Islam Berbasis Pembebasan ... 81

3. Pendidikan Islam Berbasis Multikulturalisme ... 85

C. Hakikat Manusia sebagai Subjek Pendidikan Islam ... 87

BAB IV Epistemologi Pendidikan Islam Menghadapi Fenomena Globalisasi Menurut Abdurrahman Wahid. A. Epistemologi Pendidikan Islam... 98


(9)

xiii

C. Kurikulum Pendidikan Islam ... 110

D. Pembaharuan Epistemologi Pendidikan Islam ... 117

E. Pengaruh Pendidikan Barat terhadap Pendidikan Islam ... 122

BAB V Dialektika Nilai Pendidikan Islam dan Globalisasi Menurut Abdurrahman Wahid. A. Nilai Manfaat Pendidikan Islam untuk Masyarakat dalam Konteks Globalisasi ... 127

B.

Strategi Pendidikan Islam Guna Menegakkan Konseptualisasi dan Aktualisasi Nilai Manfaat Pendidikan Islam untuk Masyarakat ... 133

BAB VI PENUTUP A. Simpulan ... 141

B. Saran ... 142

DAFTAR PUSTAKA ... 145

SURAT PERNYATAAN... 151

RIWAYAT HIDUP ... 152


(10)

1

Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna, karena selain anugerah bentuk yang paling bagus juga dilengkapi dengan akal pikiran. Dengan segala potensi tersebut, manusia memilki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara jasmani maupun rohani, yang selaras dengan perkembangan pengetahuan, zaman dan lingkungan yang positif sehingga terbentuk kepribadian yang utuh dan sempurna.

Pendidikan adalah sesuatu yang esensil bagi manusia. Melalui pendidikan, manusia bisa belajar menghadapi alam semesta demi mempertahankan kehidupannya.1 Pendidikan bagi Freire merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan sampai pada ketertingalan. Oleh karenanya manusia sebagai pusat pendidikan, maka manusia harus menjadikan pendidikan sebagai alat pembebasan untuk mangantarkan manusia menjadi makhluk yang bermartabat.2

Pemerintah Indonesia telah menyusun dan merumuskan tujuan pendidikan yang dapat dijadikan sebagai arah dalam proses pendidikan pada setiap lembaga pendidikan di Indonesia. Tujuan ini telah digariskan dalam undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS (Sistem

1

Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 2.

2

Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire Y.B Mangunwijaya (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), h. 1.


(11)

Pendidikan Nasional). Dalam pasal 3 dari undang-undang tersebut di atas, dirumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut:

"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".3

Dari rumusan tujuan pendidikan nasional diatas menunjukkan bahwa agama menempati kedudukan yang sangat penting, dan tak dapat dipisahkan dalam membangun manusia indonesia seutuhnya, hal ini dapat dimengerti bahwa bangsa indonesia sebagai bangsa yang beragama, agama tak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Agama bagi bangsa indonesia merupakan modal dasar yang menjadi tenaga penggerak yang tak ternilai harganya bagi pengisian aspirasi bangsa indonesia. Agama merupakan unsur mutlak bagi indonesia dalam pembangunan bangsa dan watak bangsa. Agama memberi motifasi hidup dan kehidupan serta merupakan alat pengembangan dan pengendalian diri yang amat penting agar mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan dirinya yang dapat menjamin keselarasan, keseimbangan dan keserasian dalam hidup manusia sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Dalam mencapai kehidupan lahiriyah dan kebahagiaan rohaniyah. Oleh karena itu agama perlu diketahui,

3

Departemen Agama RI, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam, 2006), hal. 8-9.


(12)

difahami, diyakini dan diamalkan oleh manusia indonesia agar dapat menjadi dasar kepribadian, sehingga ia dapat menjadi manusia yang utuh.

Ketertarikan umat Islam Indonesia sendiri yang mulai menyadari untuk bangkit, berusaha mengaktualisasikan semua ajaran dalam institusi keagamaannya, termasuk pendidikan, dalam rangka membangun masa depan Indonesia yang lebih baik dengan dilandasi oleh nilai – nilai religius dan moral yang kuat. Oleh karena itu, sekarang pendidikan Islam bukan lagi merupakan second choice, tetapi justru first choice. Pendidikan Islam merupakan konsep yang inklusif mengenai pengembangan potensi manusia dan sangat menghargai serta memahami kebutuhan manusia untuk mandapatkan keterikatan dengan lingkungan sosial maupun dengan Sang pencipta.

Azyumardi Azra mengatakan “pendidikan Islam merupakan pendidikan manusia seutuhnya, akal dan ketrampilan dengan tujuan menyiapkan manusia untuk menjalani hidup dengan lebih baik. Namun hal itu tidak berjalan dengan lurus, karena pendidikan Islam dipengaruhi oleh arus globalisasi yang terjadi saat ini. Globalisasi merupakan ancaman besar bagi pendidikan Islam untuk mempertahankan nilai-nilai agama yang murni.4

Globalisasi secara harfiah berasal dari kata global yang berarti sedunia atau sejagat. Menurut A. Qodry Azizi, menyebut bahwa era globalisasi berarti terjadinya pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama diseluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi, dan informasi yang

4

Azyumardi Azra, Pendidikan, Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995), h. 5.


(13)

merupakan hasil modernisasi di bidang teknologi. Proses global ini pada hakikatnya bukan sekedar banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek yang lebih luas, mulai dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, daya hidup, bentuk pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia.5

Pendidikan Islam di zaman ini menghadapi tantangan-tantangan yang serius untuk tetap eksis di dunia pendidikan. Adapun tantangannya adalah sebagai berikut: “Pertama, orientasi dan tujuan pendidikan. Kedua, pengelolaan (manajemen) sistem manajemen ini yang akan mempengaruhi dan mewarnai keputusan dan kebijakan yang diterapkan dalam sebuah lembaga pendidikan. Ketiga, hasil (out put). Bagaimana produk yang dihasilkan dari sebuah lembaga pendidikan bisa dilihat dari kualitas luaran (out putnya).6

Realitas pendidikan Islam saat ini bisa dibilang telah mengalami intellectual deadlock. Di antara indikasinya adalah, pertama, minimnya upaya pembaharuan, dan kalau memang ada, kalah cepat dengan perubahan sosial, politik, dan kemajuan iptek. Ini terbukti dari ketidakberdayaan kurikulum dan silabi yang umumnya dipakai oleh Lembaga Pendidikan Islam (LPI) dalam mengantisipasi perubahan global ,sedemikian hingga begitu seorang murid tamat atau lulus dari jenjang pendidikannya, ia masih saja kebingungan dengan bekal keilmuan yang diperolehnya bila dihadapkan pada

5

Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 47.

6

A. Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 95.


(14)

lapangan kerja yang ada, kondisi masyarakat, kebijakan pendidikan elit politik , bahkan ketinggalan akselerasi ipteks. Tidak jarang pula terjadi salah satu, misplacement, antara keahlian dengan pekerjaan.7

Kedua, praktik pendidikan Islam sejauh ini masih memelihara warisan yang lama, dan tidak banyak melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan kritis terhadap isu-isu aktual. Akibatnya, ilmu-ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu klasik, sementara ilmu-ilmu modern nyaris taktersentuh sama sekali.

Ketiga, model pembelajaran pendidikan Islam terlalu menekankan pada pendekatan intelektualisme-verbalistik dan menegasikan pentingnya interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara guru-murid. Pembelajaranya menjadi bersifat transfer of knowladge atau learning to know dengan perlakuan bahwa guru diidealisasikan sebagai pihak yang lebih tahu, lebih dewasa, lebih berilmu, yang perlu mentransfer berbagai kelebihannya tadi kepada murid yang dipandangnya sebagai pihak yang kurang tahu, kurang dewasa dan kurang berilmu.

Keempat, orientasi pendidikan Islam menitikberatkan pada pembentukan „abd atau hamba Allah dan tidak seimbang dengan pencapaian karakter manusia muslim sebagai khalifah fi al-ardl. Konsekuensinya, pendidikan Islam berjalan ke arah peningkatan daya spiritual atau teo-sentris semata, sedang ilmu-ilmu yang dikembangkannya menjadi sebatas religious sciences, atau menurut al-Faruqi disebutnya sebagai revealed knowladge

7

Imam Machali dan Musthofa (ed.), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Buah Pikiran Seputar; Filsafat, Poitik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), h. 8.


(15)

(ilmu-ilmu yang diwahyukan), seperti tafsir, hadis, fiqh, da‟wah, ushul al -din, syari‟ah, adab beserta semua cabangnya. Sementara itu, ilmu-ilmu modern yang termasuk dalam aquired knowladge (ilmu-ilmu yang diperoleh) seperti ilmu-ilmu kealaman (natural sciences), sosial (social sciences) dan humaniora, dikesampingkan, atau kalau dikembangkan, berakhir dengan dikotomi ilmu, antara agama-umum, iman-ilmu, ilmu-amal, duniawi-ukhrawi, material-spiritual, dan lain-lain. Keempat hal tersebut perlu menjadi perhatian bagi upaya reformasi pendidikan Islam, terutama menghadapi turbulensi arus global.8

Berbagai macam tantangan tersebut menuntut para penglola lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan Islam untuk melakukan nazhar atau perenungan dan penelitian kembali apa yang harus diperbuat dalam mengantisipasi tantangan tersebut, model-model pendidikan Islam seperti apa yang perlu ditawarkan di masa depan, yang sekiranya mampu mencegah dan atau mengatasi tantangan tersebut. Melakukan nazhar dapat berarti at-taammul wa al‟fahsh, yakni melakukan perenungan atau menguji dan memeriksanya secara cermat dan mendalam, dan bisa berarti taqlib al-bashar wa al-bashirah li idrak al-syai‟ wa ru‟yatihi, yakni melakukan perubahan pandangan (cara pandang) dan cara penalaran (kerangka pikir) untuk menangkap dan melihat sesuatu, termasuk di dalamnya adalah berpikir dan berpandangan alternatif serta mengkaji ide-ide dan rencana kerja yang telah

8


(16)

dibuat dari berbagai perspektif guna mengantisipasi masa depan yang lebih baik.9

Jika pendidikan Islam tidak berbuat apa-apa dalam menghadapi perkembangan teknologi canggih dan modern tersebut, dapat dipastikan bahwa umat Islam akan pasif sebagai penonton, bukan pemain, atau sebagai konsumen, bukan produsen. Maka, upaya memformat ulang teori dan praktik Pendidikan Islam, tidak bisa tidak, mestilah segera dilakukan.

Semua pergolakan arus global di atas, hendaknya kita respons dalam perspektif kekinian, karenanya perlu dibangun ulang format pendidikan Islam yang sesuai dengan konteks globalisasi. Jika pendidikan Islam tidak berbuat apa-apa dalam menghadapi perkembangan teknologi canggih dan arus global tersebut, dapat dipastikan bahwa umat Islam akan pasif sebagai penonton, bukan pemain, atau sebagai konsumen, bukan produsen. Maka, upaya memformat ulang teori dan praktik pendidikan Islam, tidak bisa tidak, mestilah segera dilakukan.10

Pemikiran pendidikan Islam mulai menampakkan eksistensinya dengan memberikan perhatian pada persoalan yang langsung bersentuhan dengan problematika pendidikan Islam tersebut. Salah satu tokoh pemikir tersebut adalah Abdurrahman Wahid. K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berasal dari keluarga pesantren, beliau lahir, besar dan berkembang di lingkungan pesantren. Abdurrahman Wahid adalah intelektual bebas dari

9

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam : mengurai benang kusut dunia pendidikan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 86

10

Imam Machali dan Musthofa (ed.), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, h. 16.


(17)

tradisi akademik pesantren sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas.

K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dijuluki sebagai guru bangsa dan bapak pluralisme. Tujuannya adalah agar pemikiran dan gagasannya mampu ditransformasikan pada generasi berikutnya lewat dunia pendidikan sehingga mampu melahirkan nilai-nilai positif bagi perkembangan peserta didik sebagai generasi yang akan melanjutkan perjuangan di negara ini.

Pendidikan Islam dalam pandangan Abdurrahman Wahid haruslah menjadi pangkalan untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang kini sudah mulai lepas. Ia menjadi tumpuan langkah strategis untuk mengembalikan arus yang menggedor pintu pertahanan umat Islam. Sesuatu yang cukup vital adalah membuat sebuah kerangka pemahaman, khususnya dalam pendidikan Islam sehingga mampu menjadi inspirasi dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang sifatnya universal. Pemahaman terhadap nilai-nilai ajaran Islam pun menjadi pemahaman yang utuh dan komprehensif.11 Keunikan pemikirannya ini sangat layak diperbincangkan, yang kemudian dikaitkan dengan perkembangan pendidikan Islam di era globalisasi.

Dari latar belakang tersebut, penulis ingin mengetahui pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam di era globalisasi. Oleh karena itu penulis melakukan sebuah penelitian dengan judul: “Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Islam di Era Globalisasi”.

11

Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam: Upaya Mengembalikan Esensi Pendidikan di Era Global, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 25.


(18)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dikemukakan sebagai berikut:

1. Bagaimana hakikat pendidikan Islam di era globalisasi menurut Abdurrahman Wahid?

2. Bagaimana epistemologi pendidikan Islam menghadapi fenomena globalisasi menurut Abdurrahman Wahid?

3. Bagaimana dialektika nilai pendidikan Islam dan globalisasi menurut Abdurrahman Wahid?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui hakikat pendidikan Islam di era globalisasi menurut Abdurrahman Wahid

2. Untuk mengetahui epistemologi pendidikan Islam menghadapi fenomena globalisasi menurut Abdurrahman Wahid

3. Untuk mengetahui dialektika nilai pendidikan Islam dan globalisasi menurut Abdurrahman Wahid

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

a. Secara akedemis terutama bagi dunia pendidikan adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan landasan pengetahuan tentang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam di


(19)

era globalisasi sebagai landasan awal untuk meneropong moralitas bangsa di masa depan. Moralitas masa depan bangsa menjadi sangat penting untuk diteropong, karena didasarkan pada asumsi awal sebagian pakar yang berpendapat bahwa salah satu faktor penyebab terjadi dan berlangsungnya krisis multidimensional negara Indonesia adalah masalah moralitas bangsa yang sangat kacau balau.

b.

Dapat dijadikan bahan perbandingan, bahan evaluasi, dan masukan bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian yang memiliki fokus yang sama untuk selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pembaca: penelitian ini dapat memberikan kontribusi untuk pelaksanaan pendidikan masyarakat dengan menerapkan pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam di era Globalisasi terutama bagi mereka yang peduli terhadap dunia pendidikan Islam di Indonesia.

b. Bagi penulis: hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam maupun menjadi pembelajaran dalam penelitian dikemudian hari.

E. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Choirul Mukti pada tahun 2006 dengan judul


(20)

“Pembaruan pendidikan islam : telaah kritis pemikiran Gus Dur tentang pesantren”. Penelitian tersebut terfokus dalam pemikiran Gus dur tentang pesantren. Pembahasan penelitian juga hanya mengenai pembaruan pendidikan Islam dalam konteks lingkup tradisionalisme pendidikan di pesantren. Choirul Mukti menelaah pemikiran Gus Dur tentang pesantren dan dikaitkan dengan pembaruan pendidikan Islam yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini.

Jauharotul Munawaroh 2012, Konsep Pluralisme Agama dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam Studi Analisis Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid. Skripsi. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian yaitu : 1) Bagaimana pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang pluralisme agama? 2) bagaimana implikasi pemikiran pluralisme agama KH. Abdurrahman Wahid dalam pendidikan islam? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang pluralisme agama dan bagaimana implikasi pemikiran pluralisme KH. Abdurrahman Wahid ke dalam pendidikan Islam. Jenis Penelitian ini yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (Library Reseach). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan mengkaji serta menganalisis karya-karya KH. Abdurrahman Wahid yang meliputi sumber data primer dan sekunder untuk kemudian disimpulkan serta implikasinya dalam pendidikan islam. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historisfilisofis. Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi (content


(21)

analisis) dengan metode tersebut, gagasan-gagasan KH. Abdurrahman Wahid yang terkait dengan pluralisme agama dianalisis secara mendalam dan menyeluruh supaya memperoleh kesimpulan yang valid dan komprehensif.

Kasan As‟ari, (2003) pemikiran abdurrahman wahid tentang pendidikan islam di pondok pesantren. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif dengan studi naskah, dan menggunakan analisis isi (content analysis), sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan filosofis dan historis. Sedangkan dalam pengumpulan data, penulis menggunakan dua cara, yaitu pengumpulan data melalui kajian pustaka (library research) dan berbagai wawancara. Adapun sumber datanya adalah sumber data primer dan sekunder. Setelah melakukan pengumpulan dan menganalisis data, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: Pendidikan Islam yang ideal diterapkan di Pondok adalah pendidikan Islam yang modern tetapi tidak meninggalkan identitasnya, di mana pesantren tidak hanya sekedar mengajarkan ilmu agama akan tetapi juga mengajarkan ilmu non agama.

Nandirotul Umah, 2013. Pendidikan Islam di Indonesia Dalam Perspektif KH. Abdurrahman Wahid. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui Pendidikan Islam di Indonesia serta melihat pendidikan islam dengan perspektif Abdurrahman Wahid. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah 1) bagaimana pendidikan Islam di Indonesia? 2) bagaimana pendidikan Islam perspektif Abdurrahman Wahid?. Analisis ini menggunakan metode analisa isi. Yaitu menghimpun dan menganalisa dokumen-dokumen resmi, buku-buku, kemudian diklarifikasi sesuai dengan


(22)

masalah yang dibahas dan dianalisa isinya. Karya-karya Gus Dur baik berupa buku, koran, majalah dan sebagainya dikumpulkan kemudian diadakan analisis yang terkait denganpembahasan tersebut. Setelah semua data terkumpul, kemudian mendelegasikan pemikiran Gus Dur kepada pendidikan Islam. Berdasarkan hasil analisis dapat dirumuskan bahwa pendidikan Islam di Indonesia sudah banyak mengalami kemajuan, sejalan dengan hal tersebut pendidikan Islam menurut Gus Dur harus dapat mencakup segala aspek geografis, sosiologis dan budaya Indonesia.

Sementara itu pada penelitian yang sedang saya lakukan adalah menelaah pemikiran Abdurrahman Wahid dengan pendekatan filosofis dan menggunakan sumber data kajian pustaka. Posisi penelitian ini adalah sebagai sebuah kombinasi antara pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam dengan konsep pembaruan pendidikan Islam di era globalisasi. Kontribusi penelitian sebelumnya pada penelitian ini adalah pertama, sebagai tolak ukur penulisan pada penelitian ini, kedua kontribusi teoritik yang ada pada penelitian-penelitian sebelumnya untuk bisa mengembangkan penelitian ini, ketiga, yakni kelebihan-kelebihan pada penelitian sebelumnya sebagai acuan pembuatan penelitian ini. dan Sedangkan kontribusi penelitian ini adalah untuk dapat dijadikan sebagai bahan landasan pengetahuan tentang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam di era globalisasi sebagai landasan awal untuk meneropong moralitas bangsa di masa depan. Moralitas masa depan bangsa menjadi sangat penting untuk diteropong, karena didasarkan pada asumsi awal sebagian pakar yang berpendapat bahwa


(23)

salah satu faktor penyebab terjadi dan berlangsungnya krisis multidimensional negara Indonesia adalah masalah moralitas bangsa yang sangat kacau balau.

F. Batasan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini, melihat luasnya ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas, maka dibutuhkan spesifikasi kajian yang dilakukan agar pembahasan masalah yang diteliti tidak menjadi bias. Oleh karena itu penulis membatasi permasalahan pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam di era globalisasi. :

1. Hakikat pendidikan Islam di era globalisasi menurut Abdurrahman Wahid.

2. Epistemologi pendidikan Islam menghadapi fenomena globalisasi menurut Abdurrahman Wahid.

3. Dialektika nilai pendidikan Islam dan globalisasi menurut Abdurrahman Wahid.

G. Kerangka Teoritik 1. Pendidikan Islam

Para ahli berbeda dalam merumuskan pengertian “pendidikan Islam”:12

Muhammad Athiyah al-Abrasyi memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur

12


(24)

pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.

Marimba juga memberikan pengertian bahwa: pendidikan Islam

adalah “bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama

Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.

Menurut beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan studi mengenai sistem dan proses kependidikan yang berasaskan Islam untuk mencapai tujuannya. Pendidikan Islam berstudikan teoritis dan praktis yang digunakan untuk pendidikan iman dan amal yang diprioritaskan bagi individu dan masyarakat.

Pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.13

Setiap pengetahuan atau ilmu mempunyai dasar-dasarnya. Dasar pendidikan Islam adalah Al-Qur‟an dan Al-Hadits (sunah Nabi). Di atas kedua pilar ini dibangun konsep dasar pendidikan Islam.14 Menuntut ilmu adalah instruksi agama, karena ilmu merupakan salah satu bekal manusia di alam kubur agar tidak tersiksa di alam baqa‟. Allah SWT. memerintahkan manusia untuk membaca sesuai firman-Nya :

13

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Bumi Aksara, 1989), h. 24. 14

A. Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h 7.


(25)

(.ق خ ي ّا كب ساب أ قا نإا ق خ )

(.ق ع ن ناس (. كأا كب و أ قا )

ع ي ّا )

(. قّاب (. عي ّ ا ناسنإا ع ) )

Artinya:

“Bacalah engkau (Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang menjadikan (segala makhluk) yang menjadi manusia daripada segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu adalah yang paling Maha Mulia yang mengajar dengan (perantara) kalam. Ia (Allah) yang mengajar manusia apa yang mereka tidak tahu”. (QS. Al-„Alaq : 1-5).

Demikian juga dalam hadits Nabi perintah menuntut ilmu sebagai kewajiban yang harus dilakukan umat Islam, meskipun tempat menuntut ilmu di daerah non Muslim, seperti hadits Nabi:

طا ب .نيصّاب وّو عّا Artinya:

“Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina.” Tujuan dari Pendidikan Islam adalah sebagai berikut:

a. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan aturan-aturan dan kehendak Tuhan.

b. Mengarahkan manusia agar tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Tuhan SWT.

c. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulis, sehingga ia tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.

d. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan ketrampilan untuk mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahanya.


(26)

e. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat”.15

Pendidikan Islam berfungsi membina dan menyiapkan peserta didik yang berilmu, berteknologi, beriman, dan beramal sholeh. Untuk melahirkan manusia yang baik (ahsan) agar bisa menjalankan kekhalifahannya di muka bumi. Semua dilakukan hanya semata-mata untuk beribadah kepada Allah.

Menurut Haidar Putra, “lembaga pendidikan Islam terdiri dari 3 bentuk, pertama lembaga pendidikan informal yaitu yang berlangsung di rumah tangga. Kedua, lembaga pendidikan non formal yang berlangsung di masyarakat. ketiga, lembaga pendidikan formal yang berlangsung di sekolah. Khusus lembaga pendidikan formal ada empat jenis bentuknya, yakni pesantren, sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi”.16

Sedangkan menurut Ungguh Muliawan, “lembaga pendidikan Islam menurut bentuknya dapat dibedakan menjadi 2 yaitu, lembaga pendidikan di luar sekolah dan lembaga pendidikan di dalam sekolah”. Lembaga pendidikan di luar sekolah yang dimaksud yaitu lembaga nonformal seperti keluarga, masyarakat, tempat peribadatan, TPA, pesantren. Sedangkan lembaga pendidikan di dalam sekolah (formal) seperti sekolah Islam madrasah dan perguruan tinggi Islam”.17

15

Ahmad Arifi, (ed), Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 36.

16

A. Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan, h. 10. 17

Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif: Usaha Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 154.


(27)

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam dapat diperoleh di mana saja dan kapan saja. Dalam pandangan Ungguh Muliawan bahwa pendidikan di luar sekolah secara hierarkis menduduki tempat pertama (paling konkrit) sekaligus terakhir (paling filosofis) dengan beberapa alasan. Alasan pertama, menurut urutan proses, pendidikan di luar sekolah lebih awal dan akhir didapat oleh peserta didik dibandingkan pendidikan di dalam sekolah. Alasan lain secara Akumulatif ruang dan waktu, pendidikan yang didapat oleh peserta didik di dalam lingkungan persekolahan secara umum relatif lebih sedikit dibandingkan di luar sekolah.18

2. Era Globalisasi

Globalisasi kata serapan berasal dari bahasa Inggris globalization yang berakar kata global yang artinya mencakup atau meliputi seluruh dunia globalisasi juga dimaknai penyempitan dunia, sebab dunia seakan menjadi satu kesatuan tanpa batas,yang memendorong manusia untuk berorientasi dan mentransformasi peradapan dunia melalui proses modernisasi, industrialisasi dan revolusi informasi. Secara lebih jauh akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam struktur kehidupan bangsa di dunia termasuk Indonesia.19

Menurut A. Qodry Azizi, menyebut bahwa era globalisasi berarti terjadinya pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama diseluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi, dan informasi

18

Ibid., h. 162. 19

Abudin Nata, Pendidikan Islam di Era Global, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 342.


(28)

yang merupakan hasil modernisasi di bidang teknologi. Proses global ini pada hakikatnya bukan sekedar banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek yang lebih luas, mulai dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, daya hidup, bentuk pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia.20

Istilah globalisasi sering diberi arti yang berbeda antara yang satu dengan yang lainya, sehingga di sini perlu penegasan lebih dulu. Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan memberi batasan bahwa globalisasi

“pada prinsipnya mengacu pada perkembangan-perkembangan yang

cepat di dalam teknologi komunikasi, transformasi, informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi hal-hal yang bisa dijangkau dengan mudah”21

Dalam era globalisasi ini berarti terjadi pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama di seluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi, dan informasi hasil modernisasi teknologi tersebut. Pertemuan dan gesekan ini akan menghasilkan kompetisi liar yang berarti saling dipengaruhi dan mempengaruhi saling bertentangan dan bertabrakan nilai-nilai yang berbeda yang akan menghasilkan kalah atau menang atau saling kerjasama (eclectic) yang akan menghasilkan sintesa dan antitesa baru. Dengan kata lain, sejauh mana posisi, sikap, dan peran Islam di dalam menghadapi era globalisasi tersebut. Dan apa yang harus dikerjakan untuk persiapan peran itu? Sudah barang tentu

20

Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, h. 47. 21

A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 18-19.


(29)

kejadian dalam era globalisasi ini merupakan kelanjutan atau sekaligus akibat dan juga sebab dari pada modernisasi dan postmodernisme yang kita bicarakan di atas. Sehingga, gesekan, tabrakan, atau juga antitesa yang kita singgung di atas setelah melalui proses modernisasi dalam konteks postmodernisme.22

Istilah “globalisasi” yang sangat populer itu, dapat berarti alat dan dapat pula berarti ideologi. Alat, oleh karena merupakan wujud keberhasilan ilmu-teknologi, terutama sekali di bidang komunikasi. Ketika globalisasi berarti alat, maka globalisasi sangat netral. Artinya, ia berarti dan sekaligus mengandung hal-hal positif, ketika dimanfaatkan untuk tujuan yang baik. Sebaliknya, ia dapat berakibat negatif, ketika hanyut ke dalam hal-hal negatif. Dengan demikian, globalisasi, akan tergantung kepada siapa yang menggunakannya dan untuk keperluan apa serta tujuan kemana ia dipergunakan. Jadi, sebagai alat dapat bermanfaat dan dapat pula mudharat. Terobosan teknologi informasi dapat dijadikan alat untuk dakwah; dan dalam waktu bersamaan dapat pula menjadi ancaman dakwah. Sedangkan ketika globalisasi sebagai ideologi, sudah mempunyai arti tersendiri dan netralitasnya sangat berkurang. Oleh karena itu, tidak aneh kalau kemudian tidak sedikit yang menolaknya. Sebab, tidak sedikit akan terjadi benturan nilai, antara nilai yang dianggap sebagai ideologi globalisasi dan nilai agama, termasuk agama Islam. Ketika bermakna ideologi itulah, globalisasi atau juga pergaulan

22


(30)

hidup global harus ada respon dari agama-agama, termasuk Islam. Baik sebagai alat maupun sebagai ideologi, perlu saya uraikan dua hal: (a) sebagai ancaman, dan sekaligus (b) sebagai tantangan.23

3. Pendidikan Islam di Era Globalisasi

Pendidikan Islam di zaman ini menghadapi tantangan-tantangan yang serius untuk tetap eksis di dunia pendidikan. Adapun tantangannya adalah sebagai berikut: “Pertama, orientasi dan tujuan pendidikan. Kedua, pengelolaan (manajemen) sistem manajemen ini yang akan mempengaruhi dan mewarnai keputusan dan kebijakan yang diterapkan dalam sebuah lembaga pendidikan. Ketiga, hasil (out put). Bagaimana produk yang dihasilkan dari sebuah lembaga pendidikan bisa dilihat dari kualitas luaran (out putnya).24

Dalam pandangan Haidar Putra Daulay menjelaskan “tantangan globalisasi bagi pendidikan Islam yaitu masalah kualitas. era global adalah era pesaing bebas. Maka akan terjadi pertukaran antar negara baik resmi maupun tidak. pertukaran manusia, barang, jasa, teknologi dan lain-lain adalah hal yang dipersaingan dalam era global ini. Untuk itu perlu dibentuk manusia yang unggul jadi kualitas SDM sangat penting untuk menentukan kualitas lembaga pendidikan, negara dan agama. Selain tantangan kualitas juga tantangan moral era globalisasi banyak membawa dampak negatif generasi muda sekarang sudah terpengaruh dengan pergaulan yang global. Hal-hal yang tidak semestinya dilakukan

23

Ibid., h. 22-23. 24


(31)

oleh generasi muda seperti minum miras, menggunakan narkoba, melakukan seks bebas malahan menjadi kebiasaan bagi mereka. moral mereka bisa dikatakan seperti moral syaitan. Mereka hanya mengikuti hawa nafsu belaka tanpa memikirkan akibatnya. Berkenaan itu maka pendidikan Islam harus semakin diefektifkan di lingkungan lembaga pendidikan Islam.25

Pada prinsipnya globalisasi mengadu pada perkembangan-perkembangan yang cepat dalam teknologi, komunikasi, transformasi dan informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi mudah untuk dijangkau.26

Dari perkembangan yang cepat di berbagai bidang inilah, pendidikan Islam bisa berpeluang besar untuk menyebarkan ajaran Islam dengan cepat pula. Agar Islam dapat berarti bagi masyarakat global maka Islam diharapkan tampil dengan nuansa sebagai berikut:

a. Menampilkan Islam yang lebih ramah dan sejuk, sekaligus menjadi pelipur lara bagi kegarahan hidup modern.

b. Menghadirkan Islam yang toleran terhadap manusia secara keseluruhan agama apapun yang dianutnya

c. Menampilkan visi Islam yang dinamis, kreatif, dan inovatif.

d. Menampilkan Islam yang mampu mengembangkan etos kerja, etos politik, etos ekonomi, etos ilmu pengetahuan dan etos pembangunan.

25

Ibid., h. 20. 26


(32)

e. Menampilkan revivalitas Islam dalam bentuk intensifikasi keislaman lebih berorientasi ke dalam (in mard ariented) yaitu membangun kesalehan, intrinsik dan esoteris daripada intersifikasi ke luar (out wad oriented) yang lebih bersifat ekstrinsik dan eksoteris, yakni kesalehan formalitas.27

Realitas pendidikan Islam saat ini bisa dibilang telah mengalami intellectual deadlock. Di antara indikasinya adalah, pertama, minimnya upaya pembaharuan, dan kalau memang ada, kalah cepat dengan perubahan sosial, politik, dan kemajuan iptek. Ini terbukti dari ketidakberdayaan kurikulum dan silabi yang umumnya dipakai oleh Lembaga Pendidikan Islam (LPI) dalam mengantisipasi perubahan global ,sedemikian hingga begitu seorang murid tamat atau lulus dari jenjang pendidikannya, ia masih saja kebingungan dengan bekal keilmuan yang diperolehnya bila dihadapkan pada lapangan kerja yang ada, kondisi masyarakat, kebijakan pendidikan elit politik , bahkan ketinggalan akselerasi ipteks. Tidak jarang pula terjadi salah satu, misplacement, antara keahlian dengan pekerjaan.28

Kedua, praktik pendidikan Islam sejauh ini masih memelihara warisan yang lama, dan tidak banyak melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan kritis terhadap isu-isu aktual. Akibatnya, ilmu-ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu klasik, sementara ilmu-ilmu modern nyaris taktersentuh sama sekali.

27

Tim Penyusun, Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2009), h. 236-237.

28


(33)

Ketiga, model pembelajaran pendidikan Islam terlalu menekankan pada pendekatan intelektualisme-verbalistik dan menegasikan pentingnya interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara guru-murid. Pembelajaranya menjadi bersifat transfer of knowladge atau learning to know dengan perlakuan bahwa guru diidealisasikan sebagai pihak yang lebih tahu, lebih dewasa, lebih berilmu, yang perlu mentransfer berbagai kelebihannya tadi kepada murid yang dipandangnya sebagai pihak yang kurang tahu, kurang dewasa dan kurang berilmu.

Keempat, orientasi pendidikan Islam menitikberatkan pada pembentukan „abd atau hamba Allah dan tidak seimbang dengan pencapaian karakter manusia muslim sebagai khalifah fi al-ardl. Konsekuensinya, pendidikan Islam berjalan ke arah peningkatan daya spiritual atau teo-sentris semata, sedang ilmu-ilmu yang dikembangkannya menjadi sebatas religious sciences, atau menurut al-Faruqi disebutnya sebagai revealed knowladge (ilmu-ilmu yang diwahyukan), seperti tafsir, hadis, fiqh, da‟wah, ushul al-din, syari‟ah, adab beserta semua cabangnya. Sementara itu, ilmu-ilmu modern yang termasuk dalam aquired knowladge (ilmu-ilmu yang diperoleh) seperti ilmu-ilmu kealaman (natural sciences), sosial (social sciences) dan humaniora, dikesampingkan, atau kalau dikembangkan, berakhir dengan dikotomi ilmu, antara agama-umum, iman-ilmu, ilmu-amal, duniawi-ukhrawi, material-spiritual, dan lain-lain. Keempat hal tersebut perlu


(34)

menjadi perhatian bagi upaya reformasi pendidikan Islam, terutama menghadapi turbulensi arus global.29

H. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Yang dimaksud penelitian kualitatif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk mengungkapkan gejala secara holistik konstektual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses pemaknaan dalam perspektif subjek lebih dionjolkan. 30

Berdasarkan sumber data, maka penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian kualitatif karena data yang terkumpul dan disajikan dalam bentuk kata verbal bukan dalam bentuk angka.31 Sedang berdasar tempat pelaksanaan penelitian, maka penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research), yakni penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literature (kepustakaan) baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu.32 Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mengumpulkan data atau informasi dengan

29

Ibid., h. 8-9. 30

Tim Penyusun Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Tarbiyah, IAIN, Pedoman Penulisan Skripsi (Surabaya: 2008), h. 8.

31

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1986), h. 29.

32

Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian dengan Statistik (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 5.


(35)

bantuan bermacam-macam materi yang terdapat di ruang perpustakaan seperti buku, majalah, kisah-kisah sejarah, dan lain-lain.

Untuk mendapatkan fakta dan penafsiran yang tepat maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis yakni pendekatan yang dilakukan untuk memahami hakikat suatu permasalahan atau peristiwa melalui pemahan teradap suatu objek kajian. Dengan menggunakan pendekatan filosofis ini diharapkan seseorang dapat memberi makna terhhadap sesuatu yang dijumpainya dan dapat menangkap hikmah serta ajaran yang terkandung di dalamnya.

2. Sumber Data

Yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.33 Ditinjau dari segi sumbernya, maka dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh atau bersumber dari tangan pertama sebagai sumber informasi yang dicari. Dalam penelitian ini, yang termasuk data primer adalah karya-karya yang ditulis Abdurrahman Wahid serta pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan Islam.

Sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh atau bersumber dari tangan kedua yakni karya-karya lain yang mendukung dan melengkapi pembahasan penelitian. Di antara data primer maupun data sekunder dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Data Primer

33


(36)

Sebagai sumber dari data primer ialah buku: 1) PrismaPemikiranGus Dur, LkiS,2010.

2) Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, LkiS, 2010. 3) Tabayun Gus Dur , LkiS, 2010.

4) Islam, Negara, dan Demokrasi: Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur, Erlangga, 1999

5) Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, the Wahid Institute, 2007.

6) Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi,, The Wahid Institute, 2006.

7) Bunga Rampai Pesantren, Dharma Bhakti, 1989, semua buku ini adalah karyaAbdurrahman Wahid.

b. Data Sekunder

Sedangkan, sebagai sumber sekunder dari data yang mendukungdan melengkapi pembahasan ini, antara lain:

1) As‟at Said Ali. Gus Dur Bertutur. 2005. Jakarta. Harian Proaksi. 2) Wasid. Gus Dur Sang Guru Bangsa; Pergolakan Islam,

Kemanusiaan, dan Kebangsaan. 2010. Yogyakarta. Interpena. 3) Ali Masykur Musa. Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur. 2010.

Jakarta. Erlangga.

4)

Arifin, Ahmad. (ed). 2009. Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. Yogyakarta: Teras.


(37)

5) Azra, Azyumardi. 2012. Pendidikan, Islam, Tradisi dan Modernisasi di Tengah Milenium III. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

6) Azizy, A. Qodri. 2003. Melawan Globalisasi: Interpretasi Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pekerjaan pengumpulan data bagi penelitian kualitatif harus langsung diikuti dengan pekerjaan menuliskan, mengedit, mengklasifikasikan, mereduksi, dan menyajikan. Atau dengan sederhana memilih dan meringkaskan dokumen-dokumen yang relevan.34 Adapun teknik-teknik yang digunakan sebagai teknik pengumpulkan data dalam penelitian ini meliputi:

a. Studi pustaka, dimulai dengan mengumpulkan kepustakaan35 yakni mengumpulkan data atau informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat di ruang perpustakaan mengenai tokoh dan topik yang bersangkutan. Dalam penelitian ini terkait dengan pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam di era globalisasi.

b. Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki36 dengan prosedur yang terstandar.37 Dalam penelitian

34

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 30. 35

Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 63.

36


(38)

ini, setelah segala buku mengenai tokoh dan topik yang bersangkutan telah ditemukan maka dapat dikonsultasikan kepustakaan yang umum dan yang khusus. Dimulai dengan karya-karya tokoh itu pribadi sebagai pustaka primer dan monografi dan karangan khusus tentang tokoh dan pemikirannya ataupun dalam buku-buku umum sebagai pustaka sekunder.38

c. Dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel39 dan mengumpulkan data melalui penggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.40

4. Teknik Analisa Data

Analisa data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil studi pustaka, observasi, dan dokumentasi untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain.41 Analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode Content Analisys. Content Analiyis merupakan teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya.42 Artinya analisis isi adalah untuk memahami makna inti yang terkandung dalam

37

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, h. 189. 38

Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, h. 63. 39

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, h. 200. 40

S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 181. 41

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 30. 42

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 173.


(39)

pemikiran Abdurrahman Wahid. Sedangkan untuk merelevansikan antara pemikiran pendidikan Islam Abdurrahman Wahid di era globalisasi dengan sumber-sumber terkait lainnya dalam penelitian ini, menggunakan metode sebagai berikut:

a. Deduksi

Yaitu proses berpikir yang bergerak dari pernyataan umum menuju pernyataan yang khusus dengan penerapan kaidah-kaidah logika atau membuat kesimpulan dengan mengajukan pernyataan-pernyataan yang bersifat umum terlebih dahulu. Dalam kaitan ini, metode deduksi digunakan untuk memperoleh gambaran detail pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam dari kacamata umum.

b. Induksi

Yaitu berangkat dari faktor-faktor yang khusus, peristiwa yang konkrit, kemudian ditarik generalisasinya dari peristiwa-peristiwa tersebut ke hal-hal yang bersifat umum.43 Atau membuat kesimpulan bukan dari pernyataan-penyataan yang umum melainkan dari hal-hal yang khusus.44

Dalam hal ini, metode tersebut digunakan untuk memperoleh gambaran yang utuh terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam di era globalisasi dari bagian buku-buku karyanya.

43

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), h. 47. 44


(40)

c. Interpretasi

Dalam metode interpretasi, masing-masing pandangan atau visi yang dibandingkan dipahami menurut warna dan keunikannya sendiri-sendiri dengan menyelami karya tokoh untuk menangkap setepat mungkin arti dan nuansa yang dimaksudkan tokoh dengan penggunaan konsep yang bersangkutan menurut gaya pribadi itu. Tetapi dari awal diberi tekanan pada segi-segi yang relevan bagi tema dan masalah yang dikomparasikan pada mereka, dan pada asumsi-asumsi yang melandasi pemikiran mereka.45Dalam hal ini, metode tersebut digunakan untuk mendalami pandangan Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam di era globalisasi dengan pandangan dari tokoh lain dengan tekanan pada segi yang relevan dengan tema.

d. Komparasi

Yaitu metode dengan cara memperbandingkan46, teori dengan teori untuk mendapatkan keragaman teori yang masing-masing teori mempunyai persamaan dan perbedaan. Dalam penelitian ini, metode tersebut digunakan untuk membandingkan antara pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam di era globalisasi dengan buku-buku lain yang terkait.

45

Anton Bakker, Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, h. 85-86. 46


(41)

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai skripsi dengan judul “Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Islam di Era Globalisasi”. ini, maka penulis mencantumkan sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab I, Pendahuluan. Pada bab ini memberikan gambaran secara umum yang meliputi; Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penelitian Terdahulu, Kerangka Teoritik, Metode Penelitian, Jenis Data, Data Yang Dikumpulkan, Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data, Sistematika Pembahasan.

Bab II, Kajian Tentang Sketsa Intelektual dan Biografi Abdurrahman Wahid. Pada bab ini memberikan gambaran secara umum yang meliputi: Latar belakang keluarga, Latar belakang pendidikan, Aktifitas sosial keagamaan, Karya–karyaIntelektualAbdurrahmanWahid, dan pemikiran Abdurrahman Wahid (PribumisasiIslam , Pluralisme, Demokrasi, Pendidikan Islam).

Bab III, Hakikat Pendidikan Islam Di Era Globalisasi Menurut Abdurrahman Wahid. Pada bab ini memberikan penjelasan yang meliputi: Hakikat Pendidikan Islam, Hakikat Tujuan Pendidikan Islam, Hakikat Manusia sebagai Subjek Pendidikan Islam..

BAB IV, Epistemologi Pendidikan Islam Menghadapi Fenomena Globalisasi Menurut Abdurrahman Wahid. Pada bab ini memberikan penjelasan yang meliputi: Epistemologi Pendidikan Islam, Sistem


(42)

Epistemologi Pendidikan Islam, Kurikulum Pendidikan Islam, Pembaharuan Epistemologi Pendidikan Islam, dan Pengaruh Pendidikan Barat terhadap Pendidikan Islam.

Bab V, Dialektika Nilai Pendidikan Islam dan Globalisasi Menurut Abdurrahman Wahid. Pada bab ini memberikan penjelasan yang meliputi: Nilai Manfaat Pendidikan Islam untuk Masyarakat dalam Konteks Globalisasi, dan Strategi Pendidikan Islam Guna Menegakkan Konseptualisasi dan Aktualisasi Nilai Manfaat Pendidikan Islam untuk Masyarakat.


(43)

34

A. Latar Belakang Keluarga

Abdurrahman "Addakhil", demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol.1 Belakangan kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", menjadi Abdurrahman Wahid. Dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti "abang" atau "mas".2

Abdurrahman wahid adalah putra pertama dari enam bersaudara3 yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Abdurrahman Wahid adalah keturunan "darah biru".4 Abdurrahman Wahid memang di lahirkan pada hari keempat bulan kedelapan. Akan tetapi perlu diketahui bahwa tanggal itu adalah menurut kalender Islam, yakni bahwa Abdurrahman Wahid dilahirkan pada bulan Sya’ban, bulan ke

1

Muhammad Rifai, Gus Dur: Biografi Singkat 1940-2009, (Jogjakarta: Garasi House of Book, 2012), Cet. Ke-3, h. 27.

2

Muhammad Zakki, Gus Dur Presiden Akhirat , (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2010), h. 1.

3

Enam bersaudara itu adalah Abdurrahman Wahid (1940), Aishah (1941), Salahuddin (1942), Ummar (1944), Chodijah (1948), Hasyim (1953).

4


(44)

delapan dalam penanggalan Islam. Sebenarnya tanggal 4 Sya’ban 1940 adalah tanggal 7 September 1940.5 Ayah Abdurrahman Wahid, Wahid Hasyim, Di lahirkan di Tebu Ireng, Jombang pada bulan Juni 1914. Ia adalah putra pertama dan anak kelima dari sepuluh bersaudara dan ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri pondok pesantren Denanyar Jombang.6

Kakek Abdurrahman Wahid dari pihak ayahnya adalah K. H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama' (NU) dan pendiri pesantren Tebuireng Jombang. K. H. Hasyim Asy'ari dilahirkan di Jombang pada bulan Februari 1871 dan wafat di Jombang pada Juli 1947. Ia adalah salah seorang yang mendirikan NU pada tahun 1926 dan sangat dihormati sebagai seorang pemimpin Islam dalam masyarakat pedesaan yang tradisional. Ia juga dikenal sebagai seorang guru yang banyak mamberi inspirasi serta seorang terpelajar. Namun, ia juga seorang nasionalis yang teguh pendirian. Banyak dari teman-temannya merupakan tokoh-tokoh terkemuka gerakan nasionalis pada periode sebelum perang.7

Lalu kakek Abdurrahman Wahid dari pihak Ibu, Kiai Bisri Syansuri. Kiai Bisri Syansuri dilahirkan pada bulan september 1816 di daerah pesisir sebelah utara Jawa Tengah, sebuah daerah yang mempunyai banyak pesantren. Bersama dengan Hasyim Asy'ari, ia dianggap sebagai salah seorang tokoh kunci bagi

5

Greg Barton, Biografi Gusdur The authorized Biography Of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LKis, 2002), h. 25.

6

M. Hamid, Gus Gerr, (Pustaka Marwa: Yogyakarta, 2010), h. 14. 7


(45)

didirikannya NU. Pada tahun 1917, ia memperkenalkan pada dunia pesantren, kelas pertama bagi santri puteri di Pesantrennya yang baru di dirikan di Desa Denanyar, yang terletak diluar Jombang. Bisri Syansuri mengambil sebidang tanah yang luas, dan benar-benar tandus. Setelah beberapa lama tanah itu berubah menjadi komunitas yang makmur dalam pengembangan pertanian, pembelajaran, dan keruhanian. Bisri Syansuri telah membuktikan dirinya bukan sekedar seorang ahli fiqh, atau Yurisprudensi Islam, dan seorang administratur pendidikan yang berbakat, melainkan juga seorang ahli pertanian yang cakap. Pesantrennya di Denanyar terkenal oleh karena pendekatan yang teratur dan berdisiplin terhadap keilmuan dan kehidupan bersama.8

Dengan demikian, Abdurrahman Wahid merupakan cucu dari ulama' NU, yaitu KH. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama' (NU) dan KH. Bisri Syansuri merupakan tokoh NU, yang pernah menjadi Rais 'aam PBNU, dan sekaligus dua tokoh tersebut adalah tokoh bangsa Indonesia.

Abdurrahman Wahid wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Monokusumo, Jakarta, pukul 18.45 WIB akibat komplikasi penyakit yang diderita sejak lama. Sebelum wafat Abdurrahman Wahid menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Abdurrahman Wahid di makamkan di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.9

8

Ibid., h. 28-29.


(46)

B. Latar Belakang Pendidikan

Masa kanak-kanak Abdurrahman Wahid dihabiskan dalam lingkungan pesantren milik kakeknya Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng) dan Kiai Bisri Syansuri (pendiri pondok pesantren Denanyar). Berkat bimbingan ibunya, Abdurrahman Wahid pada usia 4 tahun telah mampu membaca al Qur’an beserta ilmu tajwidnya dan ditambah lagi dengan kehidupan pesantren yang terbiasa dengan kitab-kitab kuning yang berbahasa arab tanpa sakal dan arti Indonesia maupun Jawa. Kemudian di usia 4 tahun, Abdurrahman Wahid tinggal bersama ayahnya di Menteng Jakarta Pusat, ketika itu Wahid Hasyim dipercaya mengepalai Shumubu, semacam kantor ustusan agama atas permintaan pemerintah Jepang.10

Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Abdurrahman Wahid juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.11

10

Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, h. 34. 11


(47)

Walaupun Ayahnya seorang menteri dan terkenal di kalangan pemerintahan Jakarta, Abdurrahman Wahid tidak pernah bersekolah di sekolah-sekolah elit yang biasanya dimasuki oleh anak-anak pejabat pemerintah. Ayahnya pernah menawarinya untuk masuk ke sekolah elit, tetapi Abdurrahman Wahid lebih menyukai sekolah-sekolah biasa. Katanya, sekolah-sekolah elit membuatnya tidak betah. Abdurrahman Wahid memulai pendidikan sekolah dasarnya di sekolah dasar KRIS di Jakarta pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga dan kemudian di kelas empat di sekolah ini tetapi kemudian ia pindah ke sekolah dasar Matraman Perwari, yang terletak dekat dengan rumah keluarga mereka yang baru di Matraman, Jakarta Pusat.

Dalam waktu yang pendek, Abdurrahman Wahid tidak terlihat sebagai siswa yang cemerlang. Pada tahun 1954, setahun setelah ia menamatkan sekolah dasar dan mulai sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP), ia terpaksa mengulang kelas satu karena gagal dalam ujian. Kegagalan ini jelas disebabkan oleh seringnya ia menonton pertandingan sepak bola sehingga ia tak mempunyai cukup waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah.12

Pada tahun 1954 juga sang Ibu berjuang sendirian untuk membesarkan enam anak, sedangkan Abdurrahman Wahid sendiri kurang berhasil dalam pelajaran sekolahnya, ia dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan pelajarannya di SMEP. Ketika di kota ini, ia berdiam di rumah salah seorang teman Ayahnya, Kia Haji Junaidi. Yang menarik adalah bahwa Kiai Junaidi adalah salah seorang

12


(48)

sejumlah kecil ulama' yang terlibat dalam gerakan Muhammadiyah pada periode itu. Ia anggota Majlis Tarjih atau Dewan Penasehat Agama Muhammadiyah.13

Hal ini mungkin biasa-biasa saja, tetapi saat itu, dan bahkan dalam beberapa dasawarasa kemudian, secara relatif hampir tidak terdapat pertautan antara kaum modernis Muhammadiyah dan kaum tradisional NU. Sebagaimana NU dulu dan sekarang, merupakan organisasi Ulama' yang mewakili Islam tradisional di Indonesia, hampir semua kaum Modernis tergabung dalam Muhammadiyah.14

Untuk melengkapi pendidikan Abdurrahman Wahid maka diaturlah agar ia dapat pergi kepesantren Al-Munawwir di Krapyak tiga kali seminggu. Pesantren ini terletak diluar sedikit Kota Yogyakarta. Disini ia belajar bahasa Arab dengan Kiai Haji Ali Maksum. Ketika tamat sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP) di Yogyakarta pada tahun 1957, Abdurrahman Wahid mulai mengikuti pelajaran di Pesantren secara penuh. Ia bergabung dengan pesantren di Tegal Rejo Magelang, yang terletak disebelah utara Yogyakarta, ia tinggal disini hingga pertengahan 1959. disini ia belajar pada Kiai Khudhori, yang merupakan salah satu dari pemuka NU. Pada saat yang sama ia juga belajar paruh waktu di Pesantren Denanyar di Jombang dibawah bimbingan Kakeknya dari pihak Ibu, Kia Bisri Syansuri.15

13

Ibid., h. 49. 14

Ibid., h. 50. 15


(49)

Pada tahun 1959 ia pindah ke Jombang untuk belajar secara penuh di Pesantren Tambakberas dibawah bimbingan Kiai Wahab Chasbullah. Ia belajar disini hingga tahun 1963 dan selama kurun waktu itu ia selalu berhubungan dengan Kiai Bisri Syansuri secara teratur. Selama tahun pertamanya di Tambakberas, ia mendapat dorongan untuk mulai mengajar. Ia kemudian mengajar di Madrasah modern yang didirikan dalam komplek pesantren dan juga menjadi kepala sekolahnya. Selama masa ini ia tetap berkunjung ke Krapyak secara teratur. Disini ia tinggal di rumah Kiai Ali Maksum. Pada masa inilah sejak akhir tahun 1950-an hingga 1963 Abdurrahman Wahid mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra Arab klasik.16

Tahun 1964, Abdurrahman Wahid berangkat ke Kairo untuk belajar di Universitas Al-Azhar. Namun sebagian besar waktunya di Mesir dihabiskan di ruang perpustakaan, terutama American University Library, sebuah perpustakaan terlengkap di kota itu. Dari Mesir ia pindah ke Universitas Bagdhad mengambil fakultas sastra.17 Tidak terlalu jelas, apakah Abdurrahman Wahid menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh gelar kesarjanaannya di Bagdhad. Karena sebagain orang menganggapnya selesai dan memperoleh gelar LC. Namun sebagain yang lain menyatakan "tidak memperoleh gelar" atau "tidak selesai". Namun yang pasti, usai di Bagdhad, Abdurrahman Wahid ingin menguyam dunia pendidikan liberal Eropa.

16

Ibid., h. 53. 17


(50)

Pada tahun1971, ia menjajaki salah satu di Universitas Eropa untuk melanjutkan pendidikannya disana. Akan tetapi, harapannya tidak kesampaian karena kualifikasi- kualifikasi mahasiswa dari Timur Tengah tidak diakui Universitas-Universitas di Eropa. Selanjutnya, yang memotivasi Abdurrahman Wahid untuk pergi ke MC Gill University Kanada untuk mempelajari kajian-kajian ke Islaman secara mendalam. Namun pada akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.18

Sekembalinya di Indonesia, ia kembali ke habitatnya semula yakni dunia pesantren. Dari tahun 1972 hingga 1974, ia di percaya menjadi dosen disamping Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari Jombang. 19 Kemudian tahun 1974 sampai 1980 oleh pamannya, K. H. Yusuf Hasyim, di beri amanat untuk menjadi sekretaris umum Pesantren Tebuireng, Jombang. Selama periode ini ia secara teratur mulai terlibat dalam kepengurusan NU dengan menjabat Katib awal Syuriah PBNU sejak tahun 1979.20

C. Aktifitas Sosial Keagamaan dan Politik

Dengan latar belakang pendidikan, pengalaman dan perkenalannya dengan keilmuan yang cukup kosmopolitan, Abdurrahman Wahid mulai muncul ke permukaan percaturan intelektual Indonesia dengan pemikiran-pemikiran

18

Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia: Studi atas Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 57-58.

19

Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dus dan Amin Rais Tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 9.

20


(51)

briliannya pada tahun 1970-an, ketika ia mulai aktif di beberapa lembaga sosial, LSM dan forum-forum diskusi. Kendati latar belakang pendidikan formalnya tidak ada yang ditempuh di Barat, menurut Greg Barton,21 ia secara intelektual jauh lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran Barat, pendidikan Islam dan masyarakat muslim. Yang kesemuanya ini tentunya menjadi modal awal sehingga tidak ketinggalan jauh dari intelektual muslim yang ada. Studinya di Baghdad telah memberikan dasar-dasar yang baik mengenai pendidikan bercorak liberal dan bergaya Barat serta sekuler.

Dengan gaya pemikiran yang liberal inilah, oleh banyak kalangan Kiai dipandang sesuatu yang riskan. Dalam satu kesempatan Abdurrahman Wahid pernah melontarkan gagasan yang terbilang nyleneh. Katakanlah seperti; mengganti assalamu’alaikum menjadi selamat pagi, sore atau malam; menjadi juri Festifal Film Indonesia (FFI); membuka malam puisi Jesus Kristus di gereja; sebagai Dewan Kesenian Jakarta; menjadi MPR fraksi FKP; kedekatannya dengan kelompok-kelompok minoritas, khususnya Nashrani; menolak bergabung dengan ICMI, dikala sebagian besar umat Islam mendambakan kehadirannya; termasuk keterlibatannya sebagai ketua di Forum Demokrasi (Fordem); dan beberapa jabatan serta aktivitas sosial lain yang ketika itu masih dianggap tabu oleh kaum santri (NU).22

21

Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dus dan Amin Rais Tentang Demokrasi, h. 107. 22


(52)

Bukan hanya itu, dalam konteks pergulatan politik di tingkat elit, Abdurrahman Wahid juga terbilang kontroversi dan vokal. Bahkan tidak jarang ia melakukan mistifikasi dalam setiap kebijakan politik. Sehingga persoalan yang ia bawakan terkesan misterius, adikodrati dan samar-samar.23 Oleh karena itu tidak heran jika dalam perjalanannya ia mendapat banyak tantangan.

Karena loyalitas dan sikap pemikirannya yang progresif dan inklusif, ia dijadikan salah seorang fungsionaris di LP3ES. Dan mulai saat itulah Abdurrahman Wahid tinggal di Jakarta bekerja di LP3ES dan bergaul luas dengan para aktifis LSM, baik dari Jakarta maupun dari luar negeri. Meski demikian kegiatan di dunia pesantren tidak ditinggalkan, yakni dengan mendirikan pesantren Ciganjur, Jakarta selatan.24

Kepindahannya di Jakarta dan kiprahnya di dunia LSM, ia banyak berbaur dan berkenalan dengan tokoh-tokoh maupun kelompok yang berlatar belakang berbeda-beda. Semenjak itu pula ia banyak bertukar pikiran dengan kalangan kader intelektual muda yang progresif seperti Nurcholis Madjid dan Djohan Effendy, melalui forum akademik maupun lingkaran kelompok studi. Dan selanjutnya dari tahun 1980-1990 ia ikut berhidmad di MUI (Majelis Ulama Indonesia).25

Pada 1984, Abdurrahman Wahid dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-‘aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki

23

Khoirul Rosyadi, Mistik Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Jendela, 2004), h. 174. 24

Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, h. 58. 25


(53)

jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak, Yogyakarta (1989) dan muktamar di Cipasung, Jawa Barat (1994).26

Dengan segala kapasitas kemampuannya, serta kegigihan dalam berusaha untuk terus mengembangkan organisasi NU ini baik dalam segi kualitas maupun kuantitas, serta kapabelitas intelektualnya yang memadai, ia kemudian mendapat banyak dukungan dan rasa simpatik dari warga Nahdliyin. Oleh karena itu, Abdurrahman Wahid dapat menduduki jabatan ketua umum PBNU pada Muktamar ke-29 di Cipasung (1994) untuk periode yang ketiga.27 Selanjutnya ia juga sebagai deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Ciganjur, Jakarta selatan, 23 Juli 1998,28 dengan ketua umumnya dipegang ia sendiri. Dan ia pun pernah menjabat Presiden RI selama kurang lebih dua tahun (1999-2001).

Sisi-sisi menarik dari progresivitas dan liberalisme pemikiran Abdurrahman Wahid secara pribadi dan perubahan secara signifikan yang terjadi dalam tubuh NU selama kepemimpinannya sebagai sisi yang lain, kemudian banyak menjadi sorotan dan banyak didiskusikan dan menjadi sumber analisis dan penelitian yang dilakukan oleh pengamat dari dalam maupun luar negeri. Beberapa desertasi, tesis, buku, dan paper telah ditulis untuk keperluan ini.29

26

Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam: Upaya Mengembalikan Esensi Pendidikan di Era Global, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 73.

27

Zainal Arifin Thoha, Kenyelenehan Gus Dur Gugatan Kaum Muda NU dan Tantangan Kebudayaan, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), h. 84.

28

Asmawi, PKB Jendela politik Gus Dur, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), h. 29 29


(54)

1. Penghargaan yang Diperoleh Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid merupakan satu-satunya pemimpin NU yang diakui dunia, baik wawasan keilmuannya, kepeduliannya kepada masalah demokrasi dan toleransi. Serta besarnya pengaruh politik yang dimilikinya. a. Pada tahun 1993, Abdurrahman Wahid menerima penghargaan Ramon

Magsay Award, sebuah “Nobel Asia” dari pemerintah Filipina. Penghargaan ini diberikan karena Abdurrahman Wahid dinilai berhasil membangun landasan yang kokoh bagi toleransi umat beragama, pembangun ekonomi yang adil, dan tegaknya domokrasi di Indonesia. b. Pada akhir tahun 1994, Abdurrahman Wahid juga terpilih sebagai salah

satu seorang presiden WCRP (Werld Council for Religion and Peace atau Dewan Dunia untuk Agama dan Perdamaian).

c. Pada tahun 1996 dan 1997, majalah Asiaweek memasukkan. Abdurrahman Wahid dalam daftar orang terkuat di Asia. Abdurrahman Wahid menjadi pemimpin besar dan diakui karena pemikirannya dan gerakan sosial yang dibangunnya mempunyai dampak yang kuat terhadap demokrasi, keadilan, dan toleransi keagamaan di Indonesia. d. Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah

yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM di Israel, karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli dalam persoalan HAM.30

30


(55)

e. Ia disebut sebagai “Bapak Pluralisme” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang Di Klenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok pada tanggal 10 Maret 2004.

f. Pada tanggal 11 Agustus 2006, GadisArivia dan Abdurrahman Wahid mendapat tasrif Award-AJI sebagai pejuang kebebasan Pers 2006. Abdurrhman Wahid dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi, persamaan hak, semangat keberagamaan, dan demokrasi di Indonesia.

g. Abdurrahman Wahid memperoleh penghargaan dari Mebel Valor yang berkantor di Los Angeles karena Abdurrahman Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas.

h. Ia juga memperoleh penghargaan dari universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Studies.31

Dari beberapa penghargaan yang diperoleh Abdurrahman Wahid di atas yang diraihnya di dalam maupun di luar negeri menunjukkan bahwa kapasitas beliau sebagai seorang cendekiawan, aktivis kemanusiaan, dan tokoh pro demokrasi tidak dapat diragukan lagi.

2. Gelar yang Diperoleh Abdurrahman Wahid

31


(56)

Selain itu, KH. Abdurrahman Wahid memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Cause) dari beberapa Perguruan Tinggi ternama di berbagai negara antara lain:

a. Doktor Kehormatan bidang hukum dari Netanya University, Israel (2003)

b. Doktor Kehormatan bidang hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)

c. Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)

d. Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002) e. Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University,

Bangkok, Thailand (2000)

f. Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Soeborne University, Paris, Perancis (2000)

g. Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)

h. Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)

i. Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)32

32


(57)

D. Karya-karyaIntelektualAbdurrahmanWahid

Keistimewaan yang luar biasa dalam diri Abdurrahman Wahid yaitu bahwa beliau seorang pengarang dan ahli pikir Islam yang dalam ilmunya dan mempunyai nafas panjang dalam karya-karyanya. Karya-karya tulis yang ditinggalkannya menunjukkan sebagai seorang pengarang yang sangat produktif.

Abdurrahman Wahid secara kelembagaan tidak pernah mendapatkan ijazah kesarjanaan namun Ia seorang yang cerdas, progresif dan cemerlang ide-idenya. Tetapi Ia telah membuktikan bahwa Ia adalah seorang yang cerdas lewat idenya yang cemerlang dan kepiaweannya dalam berbahasa dan retorika serta tulisan-tulusannya di berbagai media massa, majalah, esai, dan kegiatan-kegiatan seminar, sarasehan serta buku-buku33 yang telah diterbitkan antara lain :

1. Bunga Rampai Pesantren (Jakarta: Darma Bhakti, 1978) 2. Muslim di Tengah Pergumulan (Jakarta: Leppenas, 1981)

3. Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi (Jakarta: Fatma Press, 1989)

4. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (Yogyakarta: LkiS, 1997) 5. Tabayyun Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 1998)

6. Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: Lkis, 1999)

7. Islam, Negara, dan Demokrasi: Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur (Jakarta: Erlangga, 1999)

33

Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 126.


(1)

145

A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). A.M. Saefuddin et.al., Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, (Bandung:

Mizan, 1991).

Aat Syafaat, Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Kenakalan Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008).

Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia: Studi atas Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).

Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1989). _________, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi

Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007).

_________, Islam, Negara, dan Demokrasi: Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 1999).

_________, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), cet. Ke-2, h. 223-224. _________, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, (Yogyakarta: LkiS, 2010),

Cet. Ke- 3.

_________, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, (Depok: Desantara, 2001). _________, Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi

Kultural, (Yogyakarta, LkiS, 2010). Cet. Ke-3.

_________, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LkiS, 2010), Cet. Ke-2.

Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005).


(2)

_________, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). _________, Pendidikan Islam di Era Global, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005). Agus Iswanto, dkk, Pendidikan Agama Islam Perspektif Multikulturalisme, (Jakarta:

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama. 2009).

Ahmad Arifi, (ed), Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi, (Yogyakarta: Teras, 2009). Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif,

1989).

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999).

_________, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994).

Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009).

Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996).

Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 2010). Amang Syafruddin, Muslim Visioner, (Jakarta: Gema Insani. 2009).

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012).

Andre’e Feillard, dkk. Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS. 1997). Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat

(Yogyakarta: Kanisius, 1992).

Asmawi, PKB Jendela politik Gus Dur, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999). Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru

(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).


(3)

Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humanoria Relevansinya Bagi Pendidikan, (Yogyakarta: Jalasutra. 2008).

Budy Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994).

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).

Burhanuddin salam, Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta, 1997).

Cholid Narboko, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 1999).

Departemen Agama RI, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam, 2006).

Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam: Upaya Mengembalikan Esensi Pendidikan di Era Global, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011).

Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire Y.B Mangunwijaya (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004).

Fuad Anwar, Melawan Gus Dur, (Yogyakarta: Lkis, 2004).

Greg Barton, Biografi Gusdur The authorized Biography Of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LKis, 2002).

Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antara-Yayasan Paramadina, 1999).

Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 2001). Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: al

Ma’arif, 1980).

Imam Machali dan Musthofa (ed.), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Buah Pikiran Seputar; Filsafat, Poitik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004).


(4)

Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, diterjemahkan oleh Anas Wahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1984).

Jalaluddin Rakhmat, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001).

Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif: Usaha Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).

John L Esposito & John o Voll, Tokoh Kunci Gerakan Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2009).

Jujun S.Sumatriasumatri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1988).

Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzali, Nahdatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010).

Khoirul Rosyadi, Mistik Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Jendela, 2004). Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992). M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Bumi Aksara, 1989). M. Hamid, Gus Gerr, (Pustaka Marwa: Yogyakarta, 2010).

M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010). Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, (Yogyakarta:

LkiS, 2010).

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam : mengurai benang kusut dunia pendidikan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006).

_________, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005). Muhammad Rifai, Gus Dur: Biografi Singkat 1940-2009, (Jogjakarta: Garasi House

of Book, 2012), Cet. Ke-3.

Muhammad Zakki, Gus Dur Presiden Akhirat , (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2010).


(5)

Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam, (Jakarta: Erlangga : 2005).

Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, (Yogyakarta: LKiS, 2010).

Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Sholeh, Islam Indonesia Menatap Masa Depan,

(Jakarta: P3M, 1989).

Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991).

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1986). Nurcholis Majid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:

Paramadina, 1997).

Omar Muhammad al Toumy al Syaibany, Falsafatut Tarbiyah Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, tth).

_________, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).

Paolo Frire, Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, (Yogyakarta: Read. 2007).

_________, The Politic of Education Culture, Power, and Liberalization, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), Cet. Ke-2. _________, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002).

S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1997). Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2006).

Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007). Syed Muhammad al Naquib al Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, terj. Haidar


(6)

Tim Incres, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000).

Tim Penyusun Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Tarbiyah, IAIN, Pedoman Penulisan Skripsi (Surabaya: 2008).

Tim Penyusun, Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2009). Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dus dan Amin Rais Tentang Demokrasi,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).

Wasid, Gus Dur Sang Guru Bangsa: Pergolakan Islam, Kemanusiaan dan Kebangsaan, (Yogyakarta: Interpena, 2010).

Yatim Riyanto, Paradigma Baru dalam Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009). Yusuf al Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna, terj. Bustami

A, Gani et.al, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980).

Zainal Arifin Thoha, Kenyelenehan Gus Dur Gugatan Kaum Muda NU dan Tantangan Kebudayaan, (Yogyakarta: Gama Media, 2001).

Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta, Erlangga, 2005).