Penerapan Hukum Islam Di Indonesia : Studi Atas Pemikiran Abdurrahman Wahid

(1)

PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (STUDI ATAS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID)

Disusun Oleh: JUNAEDIH

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H / 2008 M


(2)

PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (STUDI ATAS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam

OLEH: JUNAEDIH NIM:102045225164

Di Bawah Bimbingan

Dr. Rumadi, M.Ag. Muharrom, M.Ag

NIP :150 283 352 NIP : 150 250 003

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H / 2008 M


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (STUDI ATAS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID)” Telah diujikan

dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 27 November 2008. Skripsi ini

telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam pada Jurusan Mu’amalat

Jakarta, 27 November 2008 Mengesahkan

Dekan

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH, MA, MM NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

Ketua : Drs. Asmawi, M.Ag (………...)

NIP. 150 282 394

Sekretaris : Dra Sri Hidayati, M.Ag (………...)

NIP. 150 282 403

Pembimbing I : Dr. Rumadi, M.Ag (………...)

NIP. 150 283 352

Pembimbing II : Muharrom, M.Ag (………..…)

NIP.150 250 003

Penguji I : Drs. Asmawi, M.Ag (………...)

NIP. 150 282 394

Penguji II : Dr.H.Abd.Rahman Dahlan, MA (………...)


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahi Rabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tidak lupa penulis menyampaikan sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad sang pembawa risalah kebenaran dan suri tauladan bagi manusia.

Penulisan skripsi ini tidaklah dapat diselesaikan oleh penulis sendiri, tanpa adanya perhatian, bantuan dan pengorbanan baik doa maupun wujud kongkrit yang penulis terima dari orang-orang yang selalu ada di dalam hati dan fikiran penulis. Didasari hal tersebut, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. H.Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Asmawi, M.Ag. dan Sri Hidayati,M.Ag. Sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah yang tanpa henti memberikan dorongan dan semangat kepada penulis.

3. Dr. Rumadi, M.Ag dan Muharrom, M.Ag selaku Dosen Pembimbing skripsi penulis, yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan dan saran-saran sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga apa yang telah bapak ajarkan mendapat balasan dari Allah SWT.


(5)

4. Teristimewa buat Ayahanda dan Ibunda serta seluruh keluarga tercinta. Terima kasih atas segala doa dan kesabarannya atas jerih payah dan pengorbanan yang tak terhingga serta senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga anaknda dapat menyelesaikan pengkajian. Jasa kalian tetap dalam ingatan tidak ada yang dapat dipersembahkan sebagai balasan melainkan hanya sebuah kejayaan.

5. Kepada teman-teman seperjuangan di jurusan Sillaza Syar’iyyah angkatan 2002 terimaksih atas ide, dukungan, kehangatan dan kebersamaannya selama penulis belajar di UIN Jakarta

6. Terakhir kepada semua teman-teman yang telah memberikan batuan moril maupun materiil kepada penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih semoga teman-teman mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 4

D. Tinjauan Pustaka... 5

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan... 11

BAB II PARADIGMA TENTANG AGAMA DAN NEGARA... 14

A. Pergumulan Relasi Agama dan Negara di Indonesia... 14

1. Paradigma Integralistik... 15

2. Paradigma Simbiotik... 17

3. Paradigma Sekularistik... 20


(7)

BAB III ABDURRAHMAN WAHID SKETSA BIOGRAFI INTELEKTUAL 30

A. Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid ... 30

B. Latar Belakang Pemikiran Abdurrahman Wahid ... 34

1. Tradisi Pesantren ... 34

2. Perkenalan Abdurrahman Wahid dengan dunia modern ... 39

3. Karya-karya dan pembagian pemikiran Abdurrahman Wahid ... 45

C. Abdurrahman Wahid dan Perkembangan NU ... 50

BAB IV ABDURRAHMAN WAHID DAN MODEL PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA ... 59

A. Posisi Ideologis Abdurrahman Wahid ... 59

B. Hukum Islam Sebagai Komplemen Pembangunan ... 65

C. Pribumisasi Islam Sebagi Model ... 75

D. Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid Terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara... 83

BAB V PENUTUP ... 98

A. Kesimpulan ... 98

B. Saran-saran ... 100


(8)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1.1 Jumlah tulisan Abdurrahman Wahid sejak awal tahun 1970-an hingga akhir tahun 1990-an dengan berbagai

Bentuknya 45

2. Tabel 1.2 Tema Pokok Pemikiran Abdurrahman Wahid 45


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bagi setiap muslim syari’ah lebih dari sekedar hukum agama, ia adalah hukum Allah dan dengan demikian secara esensial tidak dapat diubah. Disamping itu, ia menjangkau setiap segi kehidupan dan setiap bidang hukum. Karena itu dalam teori, ia tidak dapat ditandingi oleh hukum mana pun, bahkan ketetapan-ketetapannya sama sekali tidak dapat diganggu gugat. Tetapi bila kita menengok ke dunia Islam—baik yang di pusat maupun pinggiran—kita mendapati perubahan-perubahan besar selama kira-kira satu abad terakhir ini, baik dalam sistem peradilan maupun dalam sistem hukum yang mereka terapkan.1

Dalam konteks Indonesia, hukum Islam telah mengalami proses irelevansi secara berangsur-angsur tapi pasti. Soal-soal perdata telah banyak dipengaruhi, dirubah dan didesak oleh hukum perdata modern. Ketentuan-ketentuan pidananya hampir secara keseluruhan telah diganti oleh hukum pidana modern. Hukum ketatanegaraan dan internasionalnya hampir-hampir tidak diketahui orang lagi. Tinggal soal-soal ibadat yang masih mendapat tempat sepenuhnya dalam kehidupan, itu pun dalam kadar dan intensitas yang semakin berkurang dan

1


(10)

bergantung kepada kemauan perorangan para pemeluk agama Islam yang masih taat.2

Dalam praktek walau tidak lagi berperan secara penuh dan menyeluruh, hukum Islam masih memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan para pemeluknya. Islam setidaknya turut menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan mereka, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan dan larangan agama.

Menurut Abdurrahman Wahid, peranan hukum Islam di Indonesia bersifat statis dan terkesan apologetis. Ia masih berbentuk “pos pertahanan” untuk mempertahankan identitas keislaman dari pengaruh non-Islam, terutama yang bersifat sekular. Justru watak statis inilah yang menjadikan hukum Islam hanya berperan negatif dalam kehidupan hukum di negeri kita dewasa ini.3

Dalam hal demikian, masih dapatkah dipertahankan kebenaran claim hukum Islam sebagai penentu pandangan hidup dan tingkah laku para muslimin, dan dengan demikian merupakan salah satu faktor yang secara sadar harus dibina untuk menjadi salah satu unsur pembinaan hukum nasional?

Persoalann ya akan semakin rumit dan berkelidan ketika dikaitkan dengan realitas bangsa Indonesia yang majemuk dan plural. Sehingga penerapan hukum

2

Abdulahi An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia

dan Hubungan Internasional dalam Islam, (Yogyakarta, Lkis, 2004) Cet, 4. Tentang perubahan hukum

Islam di Negara-negara Muslim dapat dilihat di JND Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern,

(Yogyakarta, Tiara Wacana, 1994)

3


(11)

Islam di Indonesia tidak sedikit juga mengundang kontroversi karena dituding mengancam stabilitas dan integrasi nasional.

Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang penerapan hukum Islam dalam konteks ke Indonesiaan, tentunya menarik untuk dijadikan kajian utama. Hal ini tidak saja karena sosok bernama Abdurrahman Wahid menduduki kelas elit dalam khasanah intelektual di Indonesia. Tetapi juga karena orientasi pemikirannya yang cenderung dianggap sekular, tetapi pada saat yang bersamaan ia dianggap sebagai tokoh sepiritual dan figur mistik. Bahkan hebatnya dia adalah seorang kyai yang pernah memimpin ormas keagamaan terbesar di tanah air yakni Nahdlatul Ulama (NU) selama 15 tahun lamannya.. Posisi demikian menjadikan Abdurrahman Wahid dikatakan orang yang hidup dalam dua dunia sekaligus, dunia langit yang penuh dengan nuansa keagamaan dan dunia bumi yang penuh dengan realitas-realitas.

Dalam kerangka itulah, penulis tertarik mengkaji pemikiran Abdurrahman Wahid lebih jauh dalam sebuah karya tulis skripsi. Tema tersebut penulis kemas dengan sebuah judul “PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (STUDI ATAS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID)”

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana model penerapan hukum Islam di Indonesia dalam pandangan Abdurrahman Wahid. Gagasan-gagasan Abdurrahman Wahid akan memungkinkan untuk dipahami secara cermat, proporsional dan komperhensif bila dikaitkan dengan konteks wacana


(12)

keagamaanmya. Oleh karena itu pemahaman tentang diskursus keagamaan Abdurrahman Wahid sangat signifikan. Begitu pentingnya aspek ini, hingga mustahil dapat memahami dan mengkaji secara objektif tentang model penerapan hukum Islam Abdurrahman Wahid tanpa memahami pemahaman keagamaannya. Dengan demikian fokus kajian ini adalah realita-realita secara mendalam dan kritis tetang pemikiran Abdurrahman Wahid dalam kaitannya dengan penerapan hukum Islam.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas maka penelitian skripsi ini dapat di rumuskan dalam poin-poin berikut ini:

a) Bagaimana konstruksi pemikiran kegamaan Abdurrahman Wahid ditelusuri, dilacak dan dibangun?

b) Bagaimana pemikiran Abdurrahman Wahid tentang penerapan hukum Islam di Indonesia?

c) Bagaimana signifikansi pemikiran tersebut dengan konteks kehidupan berbangsa?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Ditulisnya skripsi ini tidak lain diharapkan untuk dapat mencapai tujuan-tujuan dibawah ini:

a) Menjelaskan konstruksi pemikiran kegamaan Abdurrahman Wahid ditelusuri, dilacak dan dibangun?

b) Mengetahui pemikiran Abdurrahman Wahid tentang penerapan hukum Islam di Indonesia?


(13)

c) Mengetahui signifikansi pemikiran tersebut dengan konteks kehidupan berbangsa?

Melalui penelitian ini juga diharapkan akan membawa beberapa manfaat, diantaranya:

a) Dapat menginventarisir berbagai hal menyangkut pemikiran Abdurrahman Wahid pada umumnya dan khususnya tentang model penerapan hukum Islam yang menjadi bagian penting dalam keseluruhan pemikiran dan aktifitas politiknya.

b) Bermanfaat dalam upaya melakukan evaluasi kritis terhadap pemikiran, aktifitas publik dan orientasi spiritual Abdurrahman Wahid dengan menelusuri aspek yang berkaitan dengan pemunculannya dalam konstelasi intelektual di Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka.

Abdurrahman Wahid sebagai intelektual Muslim yang banyak melahirkan pemikiran-pemikiran di berbagai bidang keilmuan, cukup banyak mendapat perhatian berbagai kalangan, apalagi ide-idenya seringkali kontroversial dan berseberangan dengan khalayak pemikir lainnya dan berujung pada polemik.

Abdurrahman Wahid adalah sosok yang tergolong cukup produktif dalam menulis. Menurut catatan INCReS (Institute for Cultur and Relegion Studies)— sebuah komunitas anak muda NU Bandung—yang melakukan studi bibliografis atas tulisan-tulisan wahid sejak awal tahun 1970-an hingga akhir 1990-an, terdapat sekitar 494 buah tulisan, baik yang berbentuk buku, tarjamahan, kata


(14)

pengantar, epilog buku, antologi buku, artikel, kolom maupun makalah. Adapun khusus tulisan yang dibukukan, setidaknya terdapat 12 buku. Di antara buku-buku yang relevan terhadap pembahasan tema ini antara lain adalah: Muslim Di Tengah Pergumulan; buku ini merupakan buku kedua Gus Dur setelah Bungai Rampai Pesantren, banyak bercerita tentang sumbangsih agama dalam pembangunan. 4 Prisma Pemikiran Gus Dur; merupakan buku yang memperkenalkan pemikiran-pemikiran lama Gus Dur mengenai hubungan agama dan ideologi, negara dan gerakan keagamaan, hak asasi manusia, budaya dan integrasi nasional dan juga masalah pesantren.5 Tuhan Tak Perlu Dibela,6 Islam Negara dan Demokrasi; bertutur tentang bagaimana masa membangun dan menegakkan masa depan demokrasi di Indonesia.7 Mengurai Hubungan Agama dan Negara; buku ini banyak membahas bagaimana mencari format hubungan agama dan Negara modern.8 Pergulatan Negara Agama dan Kebudayan; seperti buku lainnya pada buku ini gusdur banyak mengoksentrasikan pada aspek kebudayaan, terutama tarik ulur kebudayaan dalam hubungannya dengan negara dan agama.9 Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi; buku ini

4

Abdurrahman Wahid, Muslim Di Tengah Pergumulan, (Jakarta, Leppenas, 1981).

5

Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta, LkiS, 1999).

6

Abdurrahman Wahid, Tuhan Takperlu Di Bela, (Yogyakarta, LkiS, 1999).

7

Abdurrahman Wahid, Islam, Negara dan Demokrasi, (Jakarta, Erlangga, 1999).

8

Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta, Grasindo, 1999).

9


(15)

merupakan kumpulan beberapa tulisan Gus Dur yang pernah terbit dibeberapa majalah maupun jurnal, banyak berisi tentang masalah Islam dan kaitannya dengan diskursus ideologi, Hak Asasi Manusia, Ekonomi, Sosial Budaya dan juga beberapa masalah tentang terorisme. 10

Sebagai seorang pemikir kontoversial, Abdurrahaman Wahid memiliki pesona tersendiri bagi beberapa kalangan intelektual untuk mendiskusikan gagasan maupun ide-ide liar beliau dalam pembahasan yang komprehensif. Namun demikian, buku-buku yang mengkaji secara khusus pemikiran Abdurrahman Wahid tentang model pemberlakuan hukum Islam boleh dikatakan minim, di tengah banyaknya buku yang membahas Abdurrahman Wahid. Diantara buku-buku yang membahas pemikiran baik yang berhubungan langsung atau tidak dengan Wahid antara lain adalah; buku-buku yang ditulis oleh Ahmad Suedy dan Ulil Absar Abdallah,11 Abdurrahim Ghozali,12 Listiyono Santoso,13 Arif Afandi,14 Ma’mun Murad,15 Greg Barton16 maupun buku yang ditulis oleh Greg Fealy.17

10

Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta, The Wahid Institut, 2006).

11

Ahmad Suedy dan Ulil Absar Abdallah, Gila Gus Dur; Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta, Lkis, 2001).

12

Abdurrahim Ghozali (ed), Gus Dur dalam Sorotan Cendekiawan Muhamadiyah, (Bandung, Mizan, 1999).

13

Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta, Ar-Ruzz, 2004).

14

Arif Afandi, Islam Demokrasi Atas Bawah; Polemik Startegi Perjuangan Model Gus Dur dan Amien Rais, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996).

15

Ma’mun Murad, Menyikap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amien Rais, (Jakarta, Rajawali Pres, 1999).


(16)

Buku yang ditulis oleh Ahmad Suedy maupun Abdurrahim Ghozali merupakan buku yang berisi tentang refleksi pemikiran Wahid yang tersebar dalam beraneka tema. Sementara yang ditulis oleh beberapa penulis selanjutnya lebih mengurai pandangan politik Wahid tentang negara. Kajian tentang model penerapan hukum Islamnya terselip dalam gemerlap pembahasan tema yang lain. Buku Greg Barton yang merupakan biografi paling otoritatif tentang Wahid sangat membantu dalam penulisan tema ini, juga buku yang di editori oleh Greg Fealy dan Barton, membantu dalam melihat potret perkembangan Nahdlatul Ulama—organisasi di mana Wahid dibesarkan dan akhirnya berkiprah dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan darinya.

Dengan mencermati buku-buku tersebut, pemikiran Abdurrahman Wahid tentang model penerapan hukum Islam di Indonesia nampaknya belum dikaji dan ditulis secara khusus dan mendalam, padahal menurut pendapat penulis tema tersebut merupakan tema sentral dalam pemikiran beliau. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis akan menekankan pada hal tersebut.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

16

Greg Barton, Biografi Gus Dur; The Autorized Biography of Abdurrahman Wahid,

(Yogyakarta, LKiS, 2003).

17

Greg Fealy dan Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogyakarta, LKiS, 1997).


(17)

Penulisan skripsi ini adalah penelitian dengan kajian kepustakaan atau kajian

Library Reseach yaitu dengan mengumpulkan, memilih dan mengkaji secara kritis bahan-bahan bacaan dan referensi yang representatif dan relefan dengan obyek studi ini atau literatur lainnya yang berbentuk dokumentasi.18

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Yakni prosedur penelitian yang mencari fakta lewat interpretasi yang tepat dengan maksud membatasi deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta, sifat-sifat serta relasi antar fenomena yang diselidiki.19

3. Sumber Data

Sumber data dalam penulisan ini meliputi data primer dan sekunder dan pendukung. Sumber primer disandarkan pada beberapa tulisan-tulisan Abdurrahman Wahid yang dibukukan dalam beberapa buku seperti Tuhan Tak Perlu Dibela (LkiS;1999), Islam Negara dan Demokrasi (Erlangga;1999), Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Grasindo;1999), Membangun Demokrasi, Pribumisasi Islam; Islam Indonesia Menatap Masa Depan (P3M;1989), Prisma Pemikiran Gus Dur (LkiS;1999), Negara Agama dan Kebudayaan (Desantara;2001), dan Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi (The Wahid Institut;2006). Sementara data sekunder disandarkan pada buku-buku maupun terbitan-terbitan lain yang

18

M Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta, Galia Indonesia,1988), h.112 cet ke 2.

19Ibid.,


(18)

berkenaan dengan Abdurrahman Wahid yang ditulis oleh orang lain, adapun sumber pendukung merupakan data-data lain yang berkaiatan dengan pembahasan penulisan skripsi ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian kualitatif dilandasi strategi berfikir fenomenologis yang selalu lentur dan terbuka dengan menggunakan analisis induktif. Penelitian kualitatif meletakkan data penelitian sebagai model dasar bagi pemahaman. Karena itu proses pengumpulan datanya merupakan kegiatan yang lebih dinamis. Data-datanya berdiri sebagai realita yang merupkan elemen dasar yang membentuk teori.20 Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumenter, yakni cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan katagorisasi dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari sumber dokumen maupun buku-buku, koran, majalah dan lainnya.21

5. Analisis Data

Analisis data yang dugunakan adalah dengan pendekatan deskriptif analitis. Bersifat deskriptif karena penelitian ini lebih menekankan kepada pengumpulan informasi mengenai status suatu gejala yang ada yakni kedaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan.22 Metode analisis yang digunakan adalah dengan analisis isi (content analysis) yakni penguraian data melalui

20

Imam Suprayogi dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung, Rosda Karya, 2001), h.161.

21Ibid.,

h. 95

22


(19)

katagorisasi, perbandingan dan pencarian sebab akibat baik menggunakan analisis induktif (usaha penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil kesimpulan) maupun metode deduktif (berangkat dari ungkapan umum kemudian disempitkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih sempit). Pendekatan pertama bermanfaat untuk menjelaskan pembahasan pada bab-bab awal baik itu bab dua maupun bab tiga. Sementara pendekatan kedua digunakan untuk menguraikan bab ke empat.

Teknik penulisan skripsi ini didasarkan pada pedoman yang berlaku di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN sayarif Hidayatullah Jakarta, yakni buku Pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan dalam skripsi ini, maka penulis membagi penulisan pada lima bab, yang masing masing bab membahas pokok persoalan yang berbeda. Adapun rincian masing bab-bab tersebut adalah:

BAB I PENDAHULUAN

Bagian ini membahas tentang latar belakang penulisan skripsi. Disusul kemudian pembahasan tentang Pembatasan dan Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan ditutup penjelasan tentang Sistematika Penulisan


(20)

BAB II PARADIGMA TENTANG AGAMA DAN NEGARA

Pada bab ini akan dibahas tentang tiga paradigma hubungan agama dan Negara yang selalu mengiringi pembahasan tentang penerapan sebuah hukum Islam disebuah negara, yakni paradigma integralistik, simbiotik dan sekularistik. Ketiga paradigma tersebut berperan penting dalam menentukan seperti apakah Islam dan hukumnya diejawantahkan. Pembahasan tentang pergumulan agama dan negara di Indonesia tak luput untuk diikutsertakan dalam pembahasan bab ini.

BAB III ABDURRAHMAN WAHID SKETSA BIOGRAFI INTELEKTUAL Pada ini akan mencoba mendiskripsikan siapa sebenarnya sosok bernama Abdurrahman Wahid, juga untuk menelusuri lebih dalam tentang bagaimana latar belakang pemikiran beliau terbentuk, apa saja yang mempengaruhi pemikiran beliau serta karya-karya dapa saja yang sudah Wahid tulis. Bab ini juga akan menjelaskan tentang tipologi pemikiran Abdurrahman Wahid yang terceraiberai dalam berbagai tulisan, juga untuk memotret perkembangan NU tempat dimana Wahid dibesarkan dan berkiprah.

BAB IV ABDURRAHMAN WAHID TENTANG MODEL PENERAPAN HUKUM ISLAM DALAM KONTEKS KEHIDUPAN BERBANGSA Pada bab ini akan dibahas tentang posisi idoelogis Wahid, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang hukum Islam sebagai komplementer pembangunan, pribumisasi Islam sebagai model penerapan hukum Islam serta relevansi pemikiran Wahid terhadap kehidupan berbangsa.


(21)

BAB V PENUTUP

Pada bagian ini penulis berupaya menyimpulkan dan menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadirkan pada bab-bab sebelumnya, serta tidak lupa memberikan beberapa saran atas permasalahan-permasalahan tersebut.


(22)

BAB II

PARADIGMA TENTANG AGAMA DAN NEGARA A. Pergumulan Relasi Agama dan Negara di Indonesia.

Persoalan antara Islam dan negara dalam masa modern merupakan salah satu subjek penting yang meski telah diperdebatkan oleh para pemikir Islam sejak hampir seabad lalu hingga dewasa ini, tetap belum terpecahkan secara tuntas. Diskusi tentang hal ini bahkan belakangan makin hangat, melanda hampir seluruh dunia Islam. Pengalaman masyarakat muslim di berbagai penjuru dunia, khususnya sejak usai perang dunia II menegaskan terdapat hubungan yang canggung antara Islam (din) dan negara (dawlah) atau bahkan politik pada umumnya. Berbagai eksperimen dilakukan untuk menyelaraskan antara din

dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim; dan eksperimen-eksperimen itu dalam banyak hal sangat beragam.23

Keragaman bentuk dan pengalaman politik “negara-negara Islam” dewasa ini bersumber dari perkembangan pemikiran dan perbedaan pendapat di kalangan

23

Selama periode pasca kemerdekaan hingga sekarang terdapat tiga pola umum sistem kenegaraan di dunia Islam, yakni Sekular, Islam dan Muslim. Model Sekular diadopsi oleh Turki, sementara model Islam diadopsi oleh Arab Saudi, Iran, maupun Pakistan hal ini paling tidak dinilai dari dijadikannya Islam sebagai agama resmi negara. Sementara negara-negara lainnya seperti Mesir, Syria, Yordania, Malaysia dan juga Indonesia—dengan mayoritas muslimnya—tidak sedikit memasukkan warna Islam dalam kehidupan berbangsa meski masih kita jumpai sistem politik, hukum dan lainnya masih berhutang pada Barat. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari

Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernisme, (Jakarta, Paramadina,1999), h.20 Lihat juga

Jhon L Esposito (ed), Dinamika Kebangunan Islam, Watak Proses dan Tantangan, (Jakarta, Rajawali Pres, 1987), h.7


(23)

para pemikir politik muslim tentang hubungan antara din dan dawlah dalam masa modern.24

Menurut Munawir Sjadzali, secara umum pemikiran politik Islam dewasa ini terbagi dalam tiga kelompok besar yakni paradigma holistik, sekularistik dan simbiotik-mutualistik. Hal senada juga diungkapkan oleh Marzuki Wahid dan Rumadi dengan bahasa yang sedikit berbeda yakni: intergalistik, sekularistik dan simbiotik.25

1. Paradigma Integralistik.

Paradigma pertama adalah paradigma integralistik yang memahami Islam sebagai agama holistik. Paradigma ini berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara.26

24

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik…h.1

25

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta, UI Pres, 1993), h.2. Hal senada diungkapkan juga oleh Marzuki Wahid dan Rumadi dalam Fiqih Madzhab Negara; Politik Hukum Islam Masa Orde Baru, (Yogyakarta, LKiS, 2000), h.23. Sementara itu Din Syamsyudin dengan rumusan yang tidak jauh berbeda mengungkapkan tiga paradigma, yakni: paradigma integratif, simbiotis dan Instrumental. Din Syamsyuddin, Islam dan Politik; Masa Orde Baru, (Jakarta, Logos, 2000). Sementara itu bagi sebagian kalangan, pembagian itu terkesan apologetis dan menunjukan stagnannya kajian politik Islam yang berkaitan dengan hal tersebut. Menurut Bahtiar, kajian politik Islam memang sulit beranjak pada tuntutan atau artikulasi yang baru. Kondisi yang tidak jauh berbeda dengan disiplin ilmu filsafat politik Barat, Pemikiran Politik Islam mengalami situasi stagnan, decasy, disartikuklatif bahkan mati. Bahtiar Effendy, Disartikulasi Pemikiran Politik Islam? Kata pengantar dalam buku Olivier Roy, Gagalnya Politik Islam, (Jakarta, Serambi, 1996), h.vi Penggunaan istilah dalam tulisan ini merujuk pada apa yang diungkapkan oleh Marzuki Wahid dan Rumadi.

26


(24)

Paradigma integralistik ini kemudian melahirkan paham negara-agama, dimana kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam Din wa Dawlah (Islam agama dan (sekaligus) negara).27 Paradigma ini beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa syari’ah harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara-bangsa

(nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan.28

Paradigma sebagaimana di ungkap di atas, mempunyai beberapa implikasi. Satu sisi pandangan tersebut telah mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang “literal” yang hanya mementingkan dimensi “luar”nya. Dan kecenderungan seperti ini telah dikembangkan sedemikian jauh sehingga menyebabkan terabaikannya dimensi “kontekstual” dan “dalam” dari prinsip-prinsip Islam.29

Di sisi yang lain, pandangan ini juga akan melahirkan sebuah model negara yang otoriter dan sewenang-wenang, karena rakyat tidak dapat melakukan kontrol terhadap penguasa yang selalu berlindung di balik agama.30 Bahkan beberapa pemikir Islam seperti Ibnu Taimiyah, menegaskan bahwa seorang pemimpin

27

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara…, h. 25

28

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1998), h.12

29Ibid.,

h. 9

30


(25)

muslim yang zalim sekalipun tidak berhak untuk dibrontak. Ini menegaskan betapa kuatnya posisi negara yang bersembunyi di balik slogan-slogan agama.

Absolutisme agama sebagai sistem dunia—sebagaimana disinggung di atas— dimana agama dan simbol-simbolnya melekat pada kekuasaan politis dan memegang monopoli interpretasi atas apa yang wajib dilakukan dan dipikirkan oleh individu untuk keselamatannya di dunia dan di akhirat. Agama itu politis dan politis itu relegius, maka tak satupun gerak gerik individu dapat luput dari kontrol kekuasaan.

Jika agama melebur dalam negara, norma-norma hukumnya disakralisasi, dan negara pun menjadi aparatur yang mengurusi kebenaran dan jalan keselamatan yang dipilih rakyatnya. Kebebasan individu di pasung dan pemakain rasio pun dicurigai sebagai racun bagi iman.31 Akhirnya, atas nama Tuhan, suatu otoritas politis dianggap sah untuk mengawasi fikiran, keinginan, perasaan dan iman individu. Secara amat ganjil, kehawatiran akan keselamatan jiwa-jiwa pun menjelma menjadi teror atas masyarakat, sebab negara merasa berhak meluruskan pikiran dan keyakinan moral-religius warganya.

2. Paradigma Sekularistik

Paradigma ini berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Paradigma ini berpendirian bahwa agama mutlak urusan individu dengan Tuhan. Kehadiran

31

Budi Hardiman, Agama dalam Ruang Publik, Menimbang Kembali Sekularisme, Kompas edisi 5 April 2007, h.42


(26)

Muhammad adalah semata-mata sebagai seorang rasul dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Kehadiran Muhammad tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara.32

Salah satu pemrakarsa gagasan ini adalah Ali Abdul Ar-Raziq (1887-1966), seorang cendekiawan Mesir. Abd. Ar-Raziq berpendapat bahwa Islam hanya sekedar agama dan tidak mencakup urusan negara; Islam tidak mempunyai kaitan agama dengan sistem pemerintahan kehalifahan. Kehalifahan, termasuk kehalifahan al-Khulafa’ ar-Rasyidin, bukanlah suatu sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi.33

Pemikiran jenis kedua ini cenderung menekankan terbentuknya sebuah negara yang sekular, dimana urusan agama dipisahkan dari urusan negara. Namun demikian menurut Yudi Latif, setidaknya terdapat empat karakteristik sekularisasi.34 Pertama, Polity-Separation Secularization, yakni pemisahan jagad politik (polity) dari ideologi dan struktur organisasi keagamaan. Kedua, Polity-Expansion Secularization, yakni perluasan otoritas politik untuk menjalankan fungsi pengaturan dalam wilayah sosial-ekonomi yang sebelumnya berada dalam

32

Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta, UII Press, 2006), h.1

33

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara…, h. 29

34

Yudi latif, Sekularisasi Masyarakat dan Negara Indonesia, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Islam Negara dan Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta, Paramadina,2005), h.120


(27)

yuridiksi agama. Ketiga, Polity-Transvaluation Secularization, yakni demistifikasi budaya politik untuk menekankan sasaran-sasaran temporal non-transedental serta cara-cara yang rasional dan pragmatis, yaitu nilai-nilai politik sekular. Keempat, Polity-Dominance Secularization, yakni dominasi polity atas keyakinan, praktik serta organisasi keagamaan.

Paradigma ini juga tidak kurang memiliki implikasi yang oleh Budi Hardiman di sebut sebagai Patologi Sekularisme. Yakni dialektika sekularisasi yang sama sekali menolak dan dengan sengit menyingkirkan iman relegius dan alasan relegius dalam kehidupan bersama secara politis. Agama dianggap irasional, maka tidak berhak bersuara dalam ruang publik.35

Di sini sekularisme yang ingin membangun ruang publik yang pro-pluralisme malah berbalik menjadi intoleransi terhadap alasan-alasan relegius. Negara liberal sekular ingin mempertahankan netralitas di hadapan berbagai orientasi nilai yang majemuk dalam masyarakat, tetapi ini dilakukan sering dengan ongkos memblokade alasan-alasan relegius sebagai privat dan mengancam kepentingan keseluruhan, dalam konteks eksesif, negara hukum liberal ingin menjadi semacam mesin legal-politis yang bergerak sendiri lepas dari suber-sumber relegius, tetapi ia lupa bahwa warga negara memiliki motivasi mematuhi hukum lewat orientasi-orientasi nilai yang antara lain bersumber dari nilai-nilai relegius.36

35

Budi Hardiman, Agama dalam Ruang Publik…, h. 42

36Ibid.,


(28)

3. Paradigma Simbiotik

Paradigma Simbiotik ini tidak sependapat bahwa Islam merupakan suatu agama yang serba lengkap yang di dalamnya juga mengatur suatu sistem kenegaraan yang lengkap pula. Namun paradigma ini , tidak sependapat juga bila Islam sama sekali tidak ada hubungan dengan masalah politik dan kenegaraan. Menurut paradigma ini, Islam merupakan ajaran totalitas tetapi dalam bentuk petunjuk-petunjuk pokok saja. Karena itu, kedatipun dalam Islam tidak terdapat sistem ketata negaraan dalam artian teori lengkap, namun di sana terdapat sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.37

Salah seorang pemikir yang mendukung paradigma ini adalah Muhammad Musain Haikal. Pemikir Mesir ini—sebagaimana di kutip oleh Munawir Sjadzali—berpendapat bahwa prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh al-Qur’an dan sunah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Ketentuan-ketentuan dasar tentang tentang kehidupan bermasyarakat, kehidupan ekonomi dan budi pekerti dalam wahyu tidak menyentuh secara rinci dasar-dasar bagi kehidupan bernegara, dan tidak secara langsung menyinggung sistem pemerintahan.

Kepindahan Muhammad dari Makah ke Madinah sebagi awal kehidupan bernegara, nyatanya juga tidak serta merta merubah sedikitpun sistem pemerintahan yang demikian beraneka ragam di Hijaz, dan juga tidak meletakkan dasar-dasar bagi sistem pemerintahan Islam. Apa yang beliau lakukan adalah

37


(29)

mengirim utusan kepada berbagai suku dan kota yang sudah menerima Islam untuk mengajarkan agama dan mengatur pola hidup dengan prinsip-prinsip dasar seperti, keimanan, persamaan, persaudaraan dan kebebasan.38

Agama dan negara, dalam paradigma ini, berhubungan secara simbolik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya, negara juga butuh agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.39

Dengan alur argumentasi semacam ini, pembentukan sebuah negara Islam dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Bagi paradigma ini, yang terpenting adalah bahwa negara—karena posisinya yang bisa menjadi instrumental dalam merealisasikan ajaran-ajaran agama—menjamin tumbuhnya nilai-nilai dasar seperti itu. Jika demikian halnya, maka tidak ada alasan teologis atau relegius untuk menolak gagasan-gagasan politik mengenai kedaulatan rakyat, negara bangsa sebagai unit teritorial yang sah, dan prinsip-prinsip umum teori politik modern. Karena wataknya yang substansialis itu (dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah dan partisipasi, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam), kecenderungan itu

38Ibid.,

h.185

39


(30)

mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat menghubungkan Islam dengan sistem politik modern.40

Namun demikian paradigma ini dapat melahirkan tiga bentuk model negara, tergantung dari perbedaan kualitas keterikatan agama dan negara.41 Pertama,

meski agama dan negara memiliki keterikatan, namun aspek keagamaan yang masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga akan melahirkan sebuah model negara yang lebih dekat dengan “negara sekular”. Kedua, jika determinasi agama yang lebih tinggi, dimana 75% konstitusi negara diisi oleh hukum agama, maka akan melahirkan model negara yang lebih dekat kepada “negara agama”. Ketiga, jika determinasi keduanya berimbang maka akan melahirkan model negara netral. B. Sejarah Pergumulan Agama dan Negara di Indonesia.

Sejarah pemunculan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara disadari telah terjadi berbagai perdebatan panjang tentang negara. Polemik tersebut pada dasarnya bermuara dari bagaimana seharusnya hubungan agama dan negara diletakan dalam konteks ke-Indonesia-an yang akan dan telah terbentuk. Hal semacam ini terus mewarnai dinamika historis perpolitikan Indonesia.

Di Indonesia hubungan Islam dan negara sering memancing konflik, bahkan kearah antagonistik. Salah satu butir penting dalam pergolakan tersebut adalah

40

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara…, h.14

41


(31)

apakah negara Indonesia bercorak Islam atau nasional42 Jika konstruk kenegaraan pertama yang dipilih, maka dengan keholistikannya Islam harus diterima sebagai ideologi negara. Namun bila jatuh pada preferensi kedua, maka sebuah ideologi yang sudah didekonfensionalisasi yakni “Pancasila” harus didukung.43

Asal-usul polemik tersebut, sebenarnya dapat ditelusuri jauh ke tahun-tahun pertama kemunculan pergerakan nasional, di mana elite politik terlibat dalam perdebatan yang melelahkan mengenai peran Islam di negara Indonesia merdeka. Upaya menemukan hubungan politik yang sesuai antara Islam dan negara terus berlanjut pada periode kemerdekaan dan pasca revolusi. Karena tidak kunjung ditemukan, maka diskursus ideologis ini pada gilirannya menyebabkan berkembangnya kesalingcurigaan politik yang lebih besar antara Islam dan negara, terutama sepanjang dua dasawarsa pertama periode Orde Baru. Bahkan polemik tersebut kembali mencuat pada masa-masa reformasi lewat proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

Pada awalnya, benturan antara dua kelompok ini berlangsung di sekitar masalah watak nasionalisme. Seokarno sebagai juru bicara kelompok nasionalis

42

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1998), h.60

43

Dekonfensionalisasi merupakan salah satu pendekatan dalam memahami politik Islam di Indonesia. Teori ini dikembangkan oleh Van Nieuwenhuijze yang mencoba menjelaskan hubungan politik antara Islam dan negara nasional modern Indonesia, terutama untuk melihat peran Islam dalam revolusi nasional dan pembarunan bangsa. Teori ini dipinjam dari kecenderungan akomodasionis kelompok-kelompok sosio-kultural dan politik di negeri Belanda. Lebih jelas lihat di Bahtiar Effendy,

Islam dan Negara…, h.24. Dua paradigma ini pada gilirannya melahirkan dua golongan yang tidak henti-hentinya bersitegang, yaitu kelompok Islam dan kelompok nasionalis.


(32)

memandang pentingnya sebuah nasionalisme bagi landasan Indonesia merdeka. Pandangan ini ditentang oleh Agus salim dan Ahmad Hasan, yang dianggap sebagai representasi kelompok Islam. Baik Salim maupun Hasan menganggap nasionalisme Soekarno adalah nasionalisme yang sempit dan Chauvanistik

padahal seharusnya nasionalisme Indonesia haruslah berdasar pada Islam. Perdebatan religius-ideologis tersebut semakin panas ketika seorang murid Ahmad Hasan yakni Mohamad Natsir—yang berlatar belakang pendidikan Barat—ikut serta dalam perdebatan tersebut.

Polemik Soekarno dan Natsir sebenarnya masih bersifat eksploratif. Ini terlihat bahwa sejak semula keduanya tidak bermaksud untuk merumuskan konsep-konsep yang siap-pakai mengenai hubungan agama dan negara. Namun keduanya juga tidak bermaksud untuk menemukan titik temu diantara mereka. Keduanya hanya ingin menunjukan posisi-posisi ideologis-politis masing-masing. Akibatnya, perdebatan-perdebatan itu hanya menggaris bawahi berbagai perbedaan yang tampaknya tak terjembatani antara kedua kelompok politik yang berseberangan.44 Perdebatan tersebut mereda seiring datangnya penjajahan Jepang.

Perdebatan kembali muncul dalam sebuah badan baru bernama BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam berbagai pertemuan di badan tersebut, perseteruan antara kedua kubu kembali berlangsung. Kelompok Islam, yang saat itu dipelopori oleh Ki Bagus

44


(33)

Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno dan Wahid Hasyim berpandangan bahwa karena posisi Islam di Indonesia begitu mengakar, maka negara harus di dasarkan kepada Islam. Di pihak lain berdiri kelompok nasionalis, yang dipelopori oleh Soekarno, Hatta dan Soepomo yang membela pandangan bahwa untuk mempertahankan kesatuan bangsa, maka watak negara harus di-dekonfessionalisasi.45

Ketegangan terus berlanjut, sehingga untuk mencairkan suasana maka dibentuklah sebuah tim kecil yang berfungsi untuk menjembatani berbagai perbedaan di antara kelompok Islam dan nasionalis. Panitia kecil tersebut terdiri dari; Soekarno, Hatta, Soebarjo, M Yamin, Abikusno, Kahar Muzzakir, Agus Salim, Wahid Hasyim dan A.A Maramis. Panitia kecil ini, lewat perdebatan yang cukup alot, akhirnya menyusun sebuah kesepakatan bersama yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Pada intinya piagam ini mengesahkan pancasila sebagai dasar negara dan penambahan bahwa sila ketuhanannya dilengkapi hingga menjadi

“Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Menurut Bahtiar, bagaimanapun kompromi tersebut pada dasarnya dibangun di atas landasan yang tidak kokoh dan menandai kekalahan pertama kelompok Islam dalam upaya merealisasikan gagasan mereka untuk mengaitkan hubungan

45

Perdebatan dalam badan tersebut masuk kedalam pembahasan-pembahasan yang lebih detail baik berkaiatan ideologi dan konstitusi negara. Apakah presiden harus seorang muslim atau tidak, apakah negara harus memiliki apparatus dan badan yang relefan untuk menerapkan hukum Islam, dan termasuk mengenai pembahasan akan kemungkinan hari Jum’at dijadikan sebagai hari libur. Ibid., h. 85


(34)

antara Islam dan negara secara legalistik formalistik.46 Ini terbukti, satu hari setelah kemerdekaan Piagam Jakarta kembali dipersoalankan. Sebuah kondisi yang memaksa para elit kelompok Islam untuk mengalah dengan menghapus ketentuan menjalankan syariat bagi umat Islam demi mempertahankan dan menjaga kemerdekaan yang baru saja diperoleh.

Kekalahan tersebut, seperti tampak beberapa tahun kemudian, hanya bisa diterima untuk sementara, hingga Majelis Konstituante hasil pemilihan umum terbentuk mulai bekerja menyusun undang-undang baru. Sebagaimana diketahui bahwa pemilu tahun 1955, telah menempatkan kekuatan politik Islam (Mayumi, NU, PSII dan Perti) berada di atas angin dengan mengantongi 43,5% suara atau 114 dari 254 kursi di parlemen. Meski ini bukan suara mayoritas untuk menggolkan pemberlakuan Piagam Jakarta, namun suara tersebut cukup signifikan dalam upaya tawar menawar politik nantinya.

Dalam sidang majelis konstituante, perdebatan-perdebatan religius-ideologis kembali menyeruak dan berlangsung dengan sengit dan panas. Meski bukan tanpa kesulitan, majelis akhirnya dapat menyelesiakan beberapa tugasnya. Selama dua setengah tahun keberadaannya, majelis berhasil menyelesaikan 90% tugas-tugasnya, termasuk membuat berbagai ketetapan seputar masalah hak asasi manusia, prinsip-prinsip kebijakan negara dan bentuk pemerintahan. Sayangnya perdebatan tentang dasar negara tidak berlangsung selancar perdebatan tentang

46Ibid.,


(35)

masalah-masalah lain di atas. Bahkan perdebatan tentang hal tersebut amat besar andilnya dalam membawa majelis konstituante ke jalan buntu. Kondisi yang kemudian dimanfaatkan sangat baik oleh Soekarno untuk mengeluarkan dekrit yang membekukan mejalis dan memberlakukan kembali UUD 1945. Dekrit Soekarno tersebut menandai kekalahan kedua kelompok Islam dan membawa ke arah peminggiran kekuatan Islam politik di pentas nasional secara simultan.

Harapan kelompok Islam sempat merekah ketika orde lama tumbang dan digantikan oleh orde baru di bawah kepemimpinan jendral Soeharto. Namun harapan tersebut segera pupus, ketika orde baru dengan sedemikian rupa ternyata menolak malakukan rehabilitasi terhadap Mayumi dan tokoh-tokohnya. Lewat ideologi pembangunan, orde baru juga Memperlakukan kekuatan Islam seperti kucing kurap, dicurigai dan di pinggirkan dari pentas politik.47 Bagi orde baru, agama (Islam) dikawatirkan dapat menjadi ancaman dan sumber konflik yang dapat menggangu stabilitas kehidupan politik, sebagaimana yang diperlihatkan pada masa orde lama.48

Dengan program trilogi pembangunan, beberapa kebijakan yang meminggirkan kekuatan Islam dijalankan. Di antaranya adalah, fusi beberapa partai Islam (NU, Perti, PSII dan Parmusi) kedalam satu partai politik yaitu PPP pada tahun 1973 yang kemudian diperkuat dengan UU No.3 tahun 1975. Usaha

47

Pembahasan tentang proses peminggiran Islam politik dari pentas politik nasional dapat dibaca lebih jauh dalam karya M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999).

48

Abdul Munir Mulkan, Perubahan Politik dan Polarisasi Umat Islam Periode 1967-1987,


(36)

ini dipandang sebagai upaya untuk memecah belah kekuatan politik Islam, karena fusi artifisial tidak akan membawa persatuan. Sejarah telah mencatat, bahwa PPP hampir tidak pernah luput dari konflik.49 Usaha ini juga dipandang sebagai penggiringan umat Islam menjauh dari pentas politik dan mencoba mendesain agama untuk ditempatkan pada peranan pengontrol moral etis, yang menjadi bagian dari peran aktif umat beragama dalam pembangunan.50

Secara umum hubungan agama dan negara pada masa orde baru oleh M.Syafi’i Anwar digambarkan dalam tiga periode, yaitu hegemonik, resipokal dan akomodatif.51

Pertama, pola hubungan hegemonik (sejak awal kelahirannya hingga 1970-an). Periode ini ditandai oleh kuatnya negara yang secara ideo-politik menguasai wacana pemikiran sosial politik dikalangan masyarakat, sehingga lahir kebijakan-kebijakan sebagaimana disinggung di atas (fusi partai Islam maupun pemberlakuan asas tunggal pancasila).

Kedua, periode resipokal (tahun 1980-an), yakni suatu hubungan yang mengarah pada tumbuhnya saling pengertian, timbal balik serta pemahaman di antara kedua belah pihak. Negara dalam periode ini mulai menyadari bahwa Islam merupakana denominasi politik yang tak dapat dikesampingkan, juga disadari

49

Din Syamsyuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta, Logos, 2001), h.42, Cet ke 1

50

Abdul Munir Mulkan, Perubahan Politik dan Polarisasi…h. 93

51

M Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentnag Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta, Paramadina, 1995), h. ix-x, Cet ke 1.


(37)

bahwa upaya memarginalisasi peran Islam dalam kebijakan pembangunan merupakan tindakan kontra produktif.

Ketiga, periode akomodatif (akhir dekade 1890-an). Periode ini ditandai dengan semakin responsifnya birokrasi orde baru terhadap Islam, yang antara lain ditandai dengan lahirnya sejumlah kebijakan yang mengakomodir aspirasi umat Islam. Disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN), diberlakukannya Undang-Undang Peradilan Agama dan Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI), diubahnya kebijakan tentang jilbab serta penghapusan SDSB, merupakan bukti kongkrit dari hubungan akomodatif agama dan negara pada akhir masa kekuasaan Soeharto.


(38)

BAB III

ABDURRAHMAN WAHID SKETSA BIOGRAFI INTELEKTUAL A. Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid

Abdurrahman ad-Dakhil bin Wahid Hasyim bin Hasyim Asy’ari. Demikian nama lengkap dari Abdurrahman Wahid yang kemudian dikenal dengan sebutan Gus Dur, adalah sosok yang lahir dan berkembang dari suatu kombinasi kualitas personal yang tidak lazim, sebagian juga karena faktor-faktor lingkungan, setidaknya dari latar belakang keluarganya.52

Sosok yang pernah menjadi presiden Republik Indonesia ini, lahir di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4 Agustus 1940.53 Ia adalah putra dari mantan menteri Agama RI pertama, K.H Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj. Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para kiai besar di Jawa. Kakek dari Ayahnya adalah Kyai Haji Hasyim Asy’ari seorang ulama besar pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan pernah memangku jabatan sebagai Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU).

52

Aris Saefullah, Gus Dur vs Amien Rais; Dakwah Kultural-Struktural, (Yogyakarta, Laelathinkers, 2003), h.65

53

Menurut catatan Barton, bahwa sebenarnya tanggal lahir Abdurrahman Wahid adalah tanggal 4 Sya’ban atau bertepatan dengan tanggal 7 September 1940 bukan tanggal 4 Agustus. Greg Barton, Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta, LKis, 2003), h.25


(39)

Sementara itu, kakek dari pihak ibu, adalah K.H Bisri Syamsuri, juga pengasuh Pondok Pesantren di Denanyar, Jombang dan pernah memangku jabatan Rais Am Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Kedua kakek Abdurrahman Wahid inilah yang merupakan tokoh cikal bakal pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU), di samping K.H.A.Wahab Hasbullah.54

Dalam banyak aspek Abdurrahman Wahid seakan memang telah dipersiapkan sebagai “putra mahkota” yang kelak akan memimpin Nahdlatul Ulama, sebagai pewaris cita-cita ayah dan kakek-kakeknya. Idealisme yang dicita-citakan ayahnya, K.H Wahid Hasyim terhadap putranya ini tergambar jelas dari nama yang diberikan kepadanya; Abdurrahman ad-Dakhil. Secara leksikal ad-Dakhil berarti sang penakluk, sebuah nama yang diambil K.H Wahid Hasyim dari seorang perintis dinasti Bani Umayah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol berabad silam.55

Sejak kecil Abdurrahman Wahid sudah diberi pengetahuan dan pendalaman agama serta perasaan tanggung jawab terhadap Nahdlatul Ulama. Diambang usianya yang masih sangat muda (12 Tahun),56 perasaan tanggung jawab ini

54

Ibid., h. 27. Untuk mengetahui silsilah keluarga Abdurrahman Wahid dapat di lihat di buku

Beyond The Symbols; Jejak Antropologis, Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, (Bandung, Rosdakarya dan INCReS, 2000), h. 29

55

A. Gafar Karim, Metamorfosis Nahdlatul Ulama, Politisasi Islam Indonesia, (Yogyakarta, LKiS, 1998), h.95

56

Angka ini diambil dari pengakuan Abdurrahman Wahid dalam Tabayun Gus Dur; Pribumisasi Islam, Hak Minoritas Reformasi Kultural, (Yogyakarta, LKiS, 1998), h.152. Hal ini berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Barton, yang menyebut usia Wahid saat itu adalah 13 tahun. Greg Fealy dan Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara,


(40)

secara dramatis semakin menguat ketika harus menyaksikan kematian ayahnya dalam sebuah kecelakaan mobil.

Upaya pengenalan terhadap dunia luar atau sejumlah kelompok sosial sudah diterapkan oleh kedua orang tuanya, baik sebelum maupun sesudah kematian ayahnya. Secara periodik, Abdurrahman Wahid kecil dititipkan dalam asuhan seorang warga Jerman, teman baik ayahnya yang telah memeluk agama Islam. Pada waktu itulah, ia pertama kali diperkenalkan dengan musik klasik Eropa yang kemudian menjadi kegemarannya.57

Setamat Sekolah Dasar di Jakarta pada tahun 1953, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta dan lulus pada tahun 1957, sambil sesekali belajar mengaji pada K.H Ali Maksum di Krapyak, walaupun ia sendiri tinggal di rumah pemimpin modernis K.H Junaid, seorang ulama yang merupakan anggota Majlis Tarjih Muhamadiyah.58

Pendidikan keagamaan Abdurrahman Wahid selanjutnya diasah di beberapa Pondok Pesantren Nahdlatul Ulama terkemuka, antara lain di Pesantren Tegalrejo, Magelang dengan menyelesaikan waktu belajar kurang dari separo waktu santri pada umumnya (1957-1959). Dari tahun 1959 hingga 1963, ia belajar di Mu’allima Bahrul Ulum, Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa

57Ibid.,

h. 46

58Ibid.,


(41)

Timur, kepada K.H Wahab Hasbullah. Berikutnya ia kembali ke Yogyakarta untuk mondok di Pesantren Krapyak, dan tinggal di rumah pemimpin Nahdlatul Ulama terkemuka K.H Ali Ma’shum.59 Setelah itu, ia memperdalam ilmu-ilmu Islam dan sastra Arab di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir.60

Abdurrahman Wahid juga dikenal sebagai seorang “pemberontak”,61 ketidakpuasannya dengan sistem pendidikan di Universiatas Al-Azhar Kairo, ia salurkan dengan melakukan kegiatan lain yang lebih mencerahkan. Berbagai kajian ia ikuti, dan waktunya banyak dihabiskan untuk membaca di perpustakaan nasional Mesir Dar al-Kutub, serta perpustakaan di kedutaan Amerika dan Prancis. Ia juga mengadakan kontak dengan Syaikh dan cendekiawan terkemuka Mesir, seperti Zaki Nuqaib Mahmoud, Sohier al-Qalamawi dan Syauqi Deif.62 Selepas dari Kairo ia sempat belajar di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak sampai dengan tahun 1970, saat ia dipanggil pulang ke Jombang dan memulai

59Ibid.,

h.164

60

Dalam pendidikannya di luar negeri tersebut, tidak jelas apakah Abdurrahman Wahid selesai dan mempunyai gelar atau tidak. Ada yang mengungkapkan bahwa Abdurrahman Wahid lulus dan memperoleh gelar L.C. dari Universitas Baghdad, dan ada pula yang mengatakan bahwa ia tidak sampai lulus dalam pendidikannya. Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur Diantara Keberhasilan dan Kenestapaan, (Jakarta, Rajawali Pres, 1999), h.67

61

Pembrontakan Wahid terhadap institusi Al-Azhar dimulai ketika, perguruan tersebut memasukkan ia dalam kelas pemula. Sebuah kelas kusus untuk memperbaiki pengetahuan mengenai bahasa Arab. Padahal studinya di Jombang pada tahun 1960-an telah membuatnya mendapat sertifikat yang menunjukan bahwa ia telah lulus studi yurisprudensi Islam, Teologi, dan pokok-pokok pelajaran terkait yang kesemuannya memerlukan pengetahuan bahasa Arab yang tinggi. Pembrotakan terus berlanjut seiring dengan tidak cocoknya Wahid dengan pendekatan pendidikan yang digunakan universitas tersebut yang lebih menekankan pada penghafalan. Greg Barton, Biografi Gus Dur…, h. 84

62


(42)

kehidupan barunya sebagai seorang putra kyai, yaitu dengan mengajar di pesantren Tebuireng yang didirikan oleh kakeknya sendiri.63

B. Latar Belakang Pemikiran Abdurrahman Wahid 1. Tradisi Pesantren

Munculnya Abdurrahman Wahid menjadi presiden ke-4 membuat posisi pesantren naik daun dan kembali diperbincangkan dalam relasinya dengan kekuasaan dan negara. Hal ini mudah dipahami, karena Aburrahman Wahid merupakan produk pesantren. Sebagaimana yang telah kita ketahui pada bab sebelumnya, sebagian waktu Abdurrahman Wahid dihabiskan dibeberapa peantren Nahdalatul Ulama terkemuka.

Pandangan Abdurrahman Wahid tidak bisa dilepaskan dari pandangan dunia pesantren. Dalam seluruh pengembaraan intelektual yang dialami sejak dari pesantren di Tegalrejo hingga kuliah di Baghdad, ia tetap tidak bisa meninggalkan rumah tempat ia tumbuh sejak kecil, yaitu pesantren. Tulisan pertama Abdurrahman Wahid sendiri adalah tentang pesantren sebagai sub kultur, yang merupakan penjelasan sangat canggih bagi nalar pesantren.

Pesantren sebagai basisi utama kekuatan Nahdalatul Ulama (selanjutnya di tulis NU)—dengan fungsinya sebagai lembaga pendidikan bagi kalangan NU— sesungguhnya memainkan peran penting, karena dari sinilah bengkel intelektual warga NU diasah. Dari lembaga ini pulalah lahir pemimpin-pemimpin

63


(43)

masyarakat, baik itu tingkat lokal maupun nasional.64 Dunia pesantren tidak pernah bisa dipisahkan dari tiga hal penting, yakni kyai, pedesaan dan kitab kuning. Tiga hal tersebut akan mewarnai dinamika pesantren nantinya.

Kyai dalam hal ini memegang peran sentral karena berada di pusat aktifitas pesantren, namun demikian para kyai sering dikenal sebagai kelompok yang berpandangan konservatif dan tradisional sehingga dikenal sebagai kelompok tradisional. Disebut tradisonal dan konservatif karena masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran ulama ahli fiqh (hukum Islam), hadis, tasawuf, tafsir dan tauhid, yang hidup antara abad ketujuh hingga abad ketiga belas.65 Pandangan tradisional dan konservatif para kyai, karenanya tidak menghasilakan sistem statis, tetapi justru melahirkan sistem di mana terjadi perubahan-perubahan, kendati dengan cara yang amat sulit diamati. Hal tersebut terkait dengan kehidupan kelompok tradisional. Menyangkut persoalan ajaran, dalam pengertian memperbaharui pemahaman keagamaan yang mengarah pada pelepasan diri dari pengaruh mistik, tarekat, taqlid berlebihan, dan pada gilirannya nanti memberikan perspektif pemahaman keagamaan baru, yaris tidak ada. Dengan demikian keterikatan pada para ulama fiqih abad pertengahan tidak berubah.66

64

Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta, Erlangga, 1992), Cet 1, h. 42

65

Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta, LP3ES, 1982), Cet 1, h.1

66

Fachry Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam; Rekonstruksi Pemikiran


(44)

Ciri lain dari pesantren, meski tidak sepenuhnya mutlak, adalah bahwa pesantren tumbuh dan berkembang di pedesaan. Ciri demikian bukan semata-mata karena antara pesantren dan pedesaan sama-sama bercap komunitas tradisional. Konteks kesejarahannya memang memungkinkan berkembangnya pesantren di pedesaan.67 Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki kaitan erat dengan masyarakat sekitar pedesaan, yang pada kenyataannya telah berfungsi sebagai akar yang memperkuat keberlangsungan pesantren. Sebagai kelompok tradisonal yang mayoritas tinggal di pedesaan, pada mulanya mereka adalah kelompok ekslusif; dalam taraf-taraf tertentu mengabaikan persoalan duniawi— hidup dalam semangat asketisme, sebagai akibat keterlibatan mereka dalam kehidupan sufisme dan tarekat; bertahan tidak saja terhadap pengaruh modernisasi, tapi juga terhadap pengaruh santri kota; serta cenderung mempertahankan apa yang telah dimiliki, di mana kesemuanya itu mereka pusatkan dalam dunia pesantren.68

Adapun secara ideologis, di mana hal itu kemudian mempengaruhi seluruh tingkah laku keagamaan, politik dan kemasyarakatan mereka, adalah keterikatan mereka pada paham Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah yang dipahami secara khusus.

Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah sendiri dalam pengertian yang lebih rinci, sebagaimana dikutip dari K.H Bisri Mustofa, seorang ulama asal rembang, adalah sebagai faham yang berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut: Pertama,

67

Kacung Marijan, Quo Vadis NU..., h.41

68


(45)

dalam bidang-bidang hukum Islam, menganut salah satu ajaran dari empat madzhab. Dalam praktik para kyai merupakan penganut kuat madzhab Syafi’i.

Kedua dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan imam Abu Mansyur al-Maturidi. Ketiga, dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar imam Abu Qosim al-Junaidi.69

Keterikatan mereka pada paham ini menjadi semakin ketat, dan seakan pada gilirannya berfungsi sebagai ideologi tandingan terhadap perkembangan pemikiran kelompok modernis yang berusaha melakukan penyegaran pemikiran Islam dan menganjurkan umat Islam untuk tidak terbelenggu dengan ajaran-ajaran empat madzhab fiqih. Satu hal penting dicatat adalah, bahwa ideologi Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah yang mengenal relativisme internal Islam, berperan penting dalam menyiapkan sikap-sikap yang lebih toleran di banding kelompok-kelompok Islam lainnya, menjadi dasar logika munculnya suatu pandangan kemasyarakatan yang tidak bercorak “hitam putih”.70

Transformasi keilmuan pesantren kemudian dibakukan dalam kitab kuning, yang berperan sebagai penyambung tradisi keilmuan lama yang telah beratus-ratus tahun, yang mengandung ajaran tauhid, fiqih, akhlaq. Kandungan isi kitab

69

Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang…, h.149 lihat juga Abdurrahman Wahid, NU dan Islam Indonesia Dewasa Ini, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 1999), h. 154

70

Yang dimaksud dengan relatifisme internal Islam adalah meski suatu kelompok sudah menganut faham atau aliran madzhab tertentu, namun mereka memiliki fleksibilitas yang cukup untuk menyesuaikan hukum-hukum agama dengan kondisi sosial yang sedang dihadapi. Zamaksyari Dhofier,


(46)

kuning, karenanya bersifat pengulangan dari disiplin ilmu-ilmu keagamaan yang telah lama mapan dan tidak berkembang lagi. Disosialisasikannya kitab kuning di pesantren-pesantren, menurut Fachry Ali, bukan tidak mengandung maksud-maksud ideologis tertentu.71 Ia berperan penting dalam melahirkan ulama-ulama yang setia dan paham pada ideologi tradisionalis juga berperan penting dalam mengontrol perkembangan pemikiran keagamaan kelompok yang disebut tradisionalis tersebut.

Meski tiap hari bergelut dengan kitab-kitab fiqh, dengan ajaran-ajaran tertulis, dalam kenyataannya, para kyai dan santri di pesantren kurang suka diidentikkan dengan skriptualisme. Kalau mereka terbentur semacam dilema, maka mereka biasanya dengan segala cara berusaha mencari alasan untuk lolos dari cengkraman teks. Inilah yang dalam tradisi pesantren disebut dengan hillah, atau siasat untuk lolos dari teks. Yang penting dari hillah ini bukanlah erudisi atau kedalaman dan kecanggihan sebuah argumen, tetapi kebutuhan praktis untuk memecahkan masalah. Pragmatisme keagamaan inilah yang mencirikan pandangan hidup seorang santri Jawa. Dalam beberapa hal, tampak juga instink semacam ini pada diri Abdurrahman Wahid. Oleh sebab itu, segi pragmatisme dalam cara berfikir dan tindak Abdurrahman Wahid ini ditengarai berasal dari tradisi pesantren yang lama ia geluti.72

71

Fachry Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam..., h. 62

72

Ulil Absar Abdallah, Pada Mulanya Gus Dur Seorang Santri. Dalam Mustafa Ismail (ed).

Melawan Melalui Melucon, kumpulan kolom Abdurrahman Wahid di TEMPO (Pusat Data dan


(47)

Selanjutnya K.H Cholil Bisri berpendapat bahwa inti pemikiran Abdurrahman Wahid adalah berangkat dari keinginan untuk menunjukan kepada khalayak ramai bahwa ajaran Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah yang dipertahankan oleh kalangan kyai pesantren, dengan kitab-kitab klasik sebagai obyek kajiannya masih sangat relevan untuk dicerdasi sebagai pijakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata, Abdurrahman Wahid mencoba mengadaptasikan gagasan modern dengan sikap, tindakan dan kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi riil negari ini. Sehingga terkesan Abdurrahman Wahid telah meloncat jauh ke depan, sementara warga NU berlari terpontang-panting. Hanya sebagian kecil saja yang bisa memahami jalan penalaran yang pada dasarnya timbul dari obsesi ingin membumikan syari’ah Islam ahl sunah wal jama’ah. Karena menurutnya, ahlussunah wal jama’ah adalah keislaman yang manusiawi atau humanistik.73

2. Pertemuan Abdurrahman Wahid dengan Dunia Modern.

Sejak kecil Abdurrahman Wahid dididik dan dibesarkan dalam keluarga pesantern, di bawah naungan keluarga ulama. Kakeknya sendiri Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, adalah pendiri NU dan pelopor Pesantren Tebuireng Jawa Timur. Sementara ayahnya, K.H Wahid Hasyim, adalah menteri Agama RI pada tahun 1950.

73

M Cholil Bisri, pengantar dalam Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, (Bandung, Rosda Karya, 1999), h.viii-ix


(48)

Ketika menapak usia yang tergolong anak-anak, “Abdurrahman Wahid ad- Dakhil” yang kerap dipanggil Abdurrahman Wahid. Pada saat itu, ia tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, Abdurrahman Wahid tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya. Disaat serumah dengan kakeknya itulah, Abdurrahman Wahid kecil mulai mengenal politik dari orang-orang yang setiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.

Tahun 1950, Abdurrahman Wahid dan saudara-saudaranya pindah ke Jakarta. Saat itu ayah Abdurrahman Wahid dilantik menjadi Menteri Agama, sehingga mereka harus bermukim di Jakarta. Karena kedudukan sang ayah ini pula, untuk kesekian kalinnya, Abdurrahman Wahid kecil bisa akrab dengan dunia politik yang didengar dari rekan-rekan ayahnya yang sering berkunjung di rumahnya. Lagi pula, Abdurrahman Wahid sendiri adalah bocah yang tergolong amat peka mengamati dunia sekelilingnya. Tak heran, menurut pengakuan ibunya, sejak usia lima tahun, dia sudah lancar membaca, adapun gurunya waktu itu adalah ayahnya sendiri.

Abdurrahman Wahid kecil aktif menjadi anggota perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun, segala jenis majalah, buku dan surat kabar, habis dilahapnya. Mulai dari filsafat, sejarah, agama, cerita silat hingga fiksi sastra tak sedikit pun ia lewatkan.

Saat Abdurrahman Wahid masuk SMEP Gowangan sambil mondok di Pesantren Krapyak, kegandrungannya terhadap buku, kian menjadi-jadi. Kala itu, ia bahkan sudah dibantu dengan kemampuannya dalam menguasai bahasa Inggris


(49)

yang dipelajarinya lewat radio voice of America dan BBC London. Tak heran, kalau pada usia 15 tahun, bocah ini sudah melahap Das Kapital-nya Karl Mark, Filsafat Plato, Thales, novel-novel William Booher dan buku-buku lain yang di pinjamkan gurunya di SMEP Yogyakarta.

Abdurrahman Wahid berasal dan tersosialisasikan dalam pemikiran tradisionalis.74 Akan tetapi di masa remajanya, ia pernah magang di rumah tokoh Muhamadiyah Yogyakarta selama beberapa tahun. Sosialisasinya dengan alam pemikiran modernis,75 terutama berasal dari kedudukan ayahnya sebagai tokoh politik nasional. Ketokohan ayahnya, memungkinkan Abdurrahman Wahid untuk melakukan komunikasi intelektual secara lebih luas, dibandingkan dengan pendukung pemikiran tradisionalis lainnya. Lewat kepustakaan yang dimiliki sang ayah, ia berkenalan dengan ide-ide lain. Agaknya, wawasan pandangannya semakin luas ketika ia menempuh pendidikan, baik di universitas Al-Azhar maupun Universitas Baghdad. Pergumulannya dengan dunia intelektual di luar batas-batas tradisionalisme, menyebabkan ia lebih memahami baik alam pemikiran modernis maupun alam pikiran tradisionalis sekaligus, lengkap dengan

74

Tradisi : Kebiasaan turun menurun atau menurut tradisi. Lihat : Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya, Arkola, 1994), h. 756. Dalam konteks bahasan, penulis mempersonifikasikan kata “tradisional” kepada Abdurrahman Wahid dengan makna yang kuat atau dekat kepada adat kebiasaan Kyai pesantren Jawa yang mendasari pendidikan pada lingkup pesantren, dengan kajian kitab-kitab kuning dan jauh dari metode pembaharuan pendidikan.

75

Modern : Cara baru, kreasi baru, pembaharuan corak model kehidupan. Lihat : Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya, Arkola, 1994), h. 477. Dalam konteks bahasan, penulis mempersonifikasikan kata “modern” kepada Abdurrahman Wahid dengan makna yang melekat pada gerakan pembaharuan dalam bidang pendidikan dengan membuka jalan sumber daru dalam keilmuan. Jadi rujukan dan metode lain selain kitab kuning dan metode pesantren salafi yang didapat Abdurrahman Wahid, penulis anggap sebagai salah satu unsur modernisasi yang di dapat beliau.


(50)

kelemahan dan kelebihannya. Pengalaman dan komunikasi intelektual semacam inilah yang menyebabkan ia berusaha muncul dengan pola pemikiran neo-modernis.76

Pada saat berada di Jombang, Abdurrahman Wahid sering terlibat konflik pemikiran dengan pamannya sendiri, K.H Yusuf Hasyim. Sebagai anak muda yang pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah dan telah mempelajari sebagian ilmu-ilmu Barat, Abdurrahman Wahid menunjukkan sikap kritisnya terhadap pemikiran dan perilaku politik K.H Yusuf Hasyim. Ini menunjukan bahwa Abdurrahman Wahid mulai menunjukan pemberontakan dan sikap radikalnya di dalam keluarga darah biru NU itu, dan tak segan-segan ia berhadapan dengan figur yang sebenarnya pewaris NU sendiri.77

76

Fachry Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung, Mizan, 1989), h.176-177. Penggolongan Wahid sebagai bagian dari kelompok neo-modernis, bukan tanpa perdebatan. Beberapa orang dalam tubuh NU, seperti Ahmad Baso maupun Rumadi menolak penggolongan ini. Bagi mereka Wahid masuk dalam kelompok neo-tradisonalis bukan neo-modernis. Menurut Rumadi neo-modernis Islam yang lahir dari tradisi modern Islam bukanlah tradisi pemikiran yang dilalui Wahid. Titik tolak pemikiran Wahid bukan dengan mengagungkan modernisme, tapi mengkritik modernisme yang diuniversalkan dengan menggunakan pisau tradisional. Ia sependapat dengan apa yang di sebut oleh Esposito dan Voll, bahwa Wahid adalah seorang pembaru modern tapi bukan modernis. Hal tersebut menggambarkan afiliasi kultural dan asal usul sosial Wahid, tapi juga menggambarkan corak dan tradisi pemikirannya. Penolakan penggolongan Wahid dalam kelompok noe-modernis dan cenderung pada kelompok neo-tradisionalis, didasarri oleh dua hal. Pertama, dari segi genealogi pemikiran dan pemahaman keagamaan, kalangan NU selalu menekankan pada kontiunitas tradisi, mereka juga mempunyai resistensi yang kuat terhadap gerakan modern karena dianggap mengancam tradisi. Kalau toh pun muncul pemikiran liberal dalam pemikiran mereka, hal tersebut merupakan upaya untuk mentransmisikan tradisinya dengan pemikiran yang lebih progresif, sehingga menjadi pemikiran yang berakar kuat pada tradisi dan mempunyai jangkauan yang luas.

Kedua, dari segi topik dan pemilihan wacana, dimana kaum tradisonal mengalami kegelisahan

terhadap fenomena gerakan simbolisme dan formalisme Islam, sementara kelompok modernis justru mengusung isu formalisme Islam yang dinilai tidak produktif dengan gerakan Islam. Rumadi, Post

Tradisionalime Islam; Wacana Intelektualisme Dalam Komunitas NU, Disertasi Doktoral di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, h.181-182

77

Laode Ida dan A Thantawi Jauhari, Gus Dur Di Antara Keberhasilan dan Kenestapaan,


(51)

Sikap Abdurrahman Wahid ini sempat ditangkap oleh aktivis LSM di Jakarta, utamanya yang tergabung di LP3ES. Salah satu yang tanggap terhadap fenomena Abdurrahman Wahid pada saat itu adalah Dawam Rahardjo. Oleh karena itu, beliau kemudian berusaha menghadirkan Abdurrahman Wahid di Jakarta dan menjadikannya sebagai salah satu fungsionaris di LP3ES dan bergaul luas dengan para aktivis LSM, baik di Jakarta maupun di luar negeri.

Perpindahan Abdurrahman Wahid ke Jakarta pada akhir 1977 merupakan awal fase baru yang membuatnya lebih dikenal, sebab ia semakin produktif. Sebagai konsekwensi kepindahannya di Jakarta dan kiprahnya di dunia LSM sejak akhir 1970-an, ia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh maupun kelompok dengan latar belakang yang berbeda-beda dan terlibat dalam berbagai proyek dan aktivitas sosial. Sejak saat itu juga, ia banyak mengadakan kontak secara teratur dengan kaum intelektual muda progresif dan pembaharu seperti Nurcholis Majid dan Johan Effendy, melalui forum akademik maupun lingkaran kelompok studi.78 Dunia di luar tradisi pesantren yang dia masuki antara lain sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1982-1985. Menjadi dewan juri Festival Film Nasional di tahun 1970-an dan 1980-an, padahal saat itu dunia film masih dianggap tabu di NU. Bergaul akrab dengan para pendeta, bahkan terlibat pada aktifitas semacam pelatihan bulanan kependetaan protestan, hadir dalam sidang

78Ibid.,


(52)

PGI maupun membuka lomba lagu-lagu gerejani.79 Dalam aktivitasnya yang demikian, ia banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan ulama NU sendiri. Namun Wahid tetap berjalan dengan kiprah dan kegiatannya, ia beranggapan bahwa semua itu bukan saja merupakan konsekwensi logis kehidupan kemasyarakatan dan keindonesiaan kita, lebih dari itu merupakan salah satu perwujudan nilai-nilai Islamis. Dengan kata lain, yang ingin diyakinkan oleh Wahid adalah nilai-nilai Islam jauh melampaui batas-batas dunia simbolis yang berlabelkan Islam sebagaimana dipahami oleh sebagian kalangan.80

Wahid termasuk orang yang tidak sedikit bersitegang dengan berbagai kalangan, baik itu negara maupun kalangan Islam sendiri. Lewat Forum Demokrasi (Fordem) yang dibentuk pada tahun 1991 bersama 45 tokoh-tokoh intektual lainnya, melakukan perlawanan terbuka terhadap ICMI yang dibekengi oleh negara. Menurutnya pembentukan ICMI merupakan sebuah contoh eksploitasi politik terhadap agama yang mengutamakan kepentingan kelompok ekslusif yang sempit, di atas kepentingan nasional. Dengan mengedepankan kepentingan Islam, ICMI menurut Wahid telah mengembangkan visi Indonesia

79

Zainal Arifin Toha dan M.Aman Mustofa, Membangun Budaya Kerakyatan; Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU, ( Yogyakarta, Titian Ilahi Pres, 1997), Cet 1, h.10

80


(53)

yang tidak demokratis. Lewat Fordem ia bersuara lantang menentang dan memerangi intoleransi keagamaan dan kesukuan.81

3. Karya-karya dan Pembagian pemikiran Abdurrahman Wahid.

Berbeda dengan ulama-ulama tradisional lainnya yang lebih senang mengungkapkan ide-ide dan pemikiran melalui lisan atau ceramah-ceramah, Abdurrahman Wahid selain mengungkapkan pikirannya melalui media ceramah juga menggiatkan dengan media tulisan. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, dan sebagai seorang pemikir, Abdurrahman wahid telah banyak melahirkan tulisan yang berserakan di berbagai media massa, diskusi maupun pelatihan-pelatihan,

Hasil studi bibliografis yang dilakukan oleh INCReS (Institute for Culture and Relegion Studies), sebuah komunitas kaum muda NU di Bandung, terhadap tulisan Abdurrahman Wahid sampai dengan medio Agustus 2000, ditemukan sekitar 494 buah tulisan karyanya, yang dibuat sejak awal 1970-an hingga akhir 1990-an. Baik yang berbentuk buku, terjemahan, kata pengantar, epilog buku, antologi buku, artikel, kolom maupun makalah.

Hasil studi bibliografis tersebut memuat suatu klasifikasi jumlah tulisan dari Wahid, sebagai berikut:82

81

Douglas E. Ramage, Demokratisasi, Toleransi, Agama dan Pancasila; Pemikiran Politik

Abdurrahman Wahid, dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed), Tradisionalime Radikal;

Persinggungan NU-Negara, (Yogyakarta, LkiS, 1997), Cet 1, h.210

82

INCReS, Beyond The Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur,


(1)

Di sini Wahid menegaskan pemisahan wewenang fungsional antara agama dan negara. Ajaran-ajaran agama berlaku melalui proses persuasi kepada masyarakat, melalui kesadaran masyarakat sendiri dan bukan melalui perundangan negara. Jika tidak demikian, agama “tertentu” akan menjadi kekuatan pemaksa melalui kekuasaan negara dan aparaturnya. Sehingga negara bukan hanya mengambil satu pendapat, dan memperlakukan pendapat itu seolah-oleh sebagai yang benar, tetapi juga menjadikan agama sebagai pembenaran atas apa yang dimaui negara. Agama lalu berfungsi suplementer terhadap kerangka acuan pemikiran yang dikembangkan oleh negara.

Ketiga, berkaitan dengan hukum Islam. Menurut Wahid, peranan hukum Islam dewasa ini bersifat statis dan apologetis. Kestatisan hukum Islam terlihat dari peran hukum Islam sebagai “pos pertahanan” untuk mempertahankan identitas ke Islaman dari pengaruh non-Islam, terutama yang bersifat sekular. Sebagai alat penahan lajunya proses sekularaisasi, hukum Islam tidak berperan banyak karena dibatasi dan diikat oleh sifat bertahannya itu sendiri. Peran itupun coraknya sebagian besar hanyalah bersifat represif, melarang dan menentang.

Pribumisasi Islam merupakan tawaran alternatif yang dikemukakan oleh Wahid menyikapi hal di atas. Pribumisasi yang pada tataran konseptual merupakan kontekstualisasi ajaran Islam, oleh Wahid ditunjukan sebagai upaya rekonsiliasi antara budaya dan agama, tetapi bukan sebagai Jawanisasi atau singkretisasi Islam. Pribumisasi Islam mengandaikan suatu upaya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam perumusan


(2)

hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum-hukum dasar itu sendiri. Pribumisasi Islam bukanlah upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma tersebut mampu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash.

Sejalan dengan pribumisasi Islam, Wahid juga menyerukan untuk menjadikan Islam sebagai etika sosial. Dalam konteks Islam dan politik maka Islam harus ditilik fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahteraan masyarakat bukan dalam bentuk simbol-simbol dan ajaran-ajaran formal keagamaan. Dengan etika sosial, Islam tidak harus menampilkan dirinya dalam bentuk ekslusif, yakni tidak menampilkan warna keIslamannya, tapi mengintegrasikan kegiatannya dalam kegiatan bangsa secara keseluruhan dan haruslah menghindarkan diri agar tidak diletakkan di bawah wewenang negara melainkan menjadi kesadaran kuat dari warga masyarakat. Dengan etika sosial sebenarnya kita menempatkan Islam sebagai kekuatan transformatif dan sebagai kekuatan kultural.

B. Saran-saran

Beberapa pemikiran Abdurrahman Wahid untuk menjadikan hukum Islam sebagai penunjang atau komplemen pembangunan sebagaimana yang ia tulis dulu, barang kali masih banyak yang bergulat ditataran wacana belum menemukan langkah kongritisasi. Perlunya sebuah lembaga—mendirikan yang baru atau menggunakan yang telah ada—yang bertujuan untuk penyusunan metodologi, penyediaan tenaga ahli, serta berperan sebagai pengawas dalam


(3)

upaya penyegaran yurisprudensi baru Islam Indonesia, sampai saat ini tidak terlihat.

Menggaris bawahi peranan agama sebagai etika politik—Sesuatu yang belum banyak diangkat oleh pemikir Islam lain seperti Nurkholis Madjid, Dawam Rahadjo ataupun Kuntowijoyo. Juga mengalami hal yang, ia tidak mengelaborasi visi sekularisme dan etika sosialnya ini dalam bentuk yang lebih mapan, sehingga melahirkan sebuah tradisi bukan hanya di kalangan NU tapi untuk masyarakat dan bangsa Indonesia pada umumnya.

Yang tak kalah penting adalah perlunya kembali mendengungkan pribumisasi Islam, melalui kajian-kajian akademisi maupun langkah kongrit pengimplementasiannya di tengah-tengah masyarakat. Langkah ini penting bukan karena ide ini mampu menjembatani pluralisme yang menjadi ciri bangsa kita, melainkan juga untuk mengerem gencarnya kembali isu-isu formalisme agama pasca lahirnya kebebasan politik masyarakat, yang tidak jarang mulai mempraktekkan cara-cara pemaksaan dan kekerasan. Barangkali memang diperlukan kerja yang lebih keras lagi untuk mengejawantahkan ide-ide tersebut dalam ranah nyata, sambil terus memupuk semangat pluralisme dan egalitarianisme demi terwujudnya negeri yang gemah ripah loh jinawi, kerta tentrem kerta raharja, negeri yang tentram, sejahtera dan diberkahi Tuhan.


(4)

Anam, Choirul, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdalatul Ulama, Solo : Jatayu, 1985.

Ali,Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam; Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru, Bandung : Mizan, 1986.

Arkanto, Suharsimi, Menejemen Penelitian, Jakarta : Rieneka Cipta, 1995.

Barton, Greg, Biografi Gus Dur; The Autorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta : LKiS, 2003.

Baso, Ahmad, NU Studies Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Noe Liberal, Jakarta : Erlangga, 2006.

Benda, Hary J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta : Pustaka Jaya, 1980.

Bisri, Mustopa (ed), Beyond The Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Bandung : Rosdakarya dan INCReS, 2000.

Dhofier, Zamaksari, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta : LP3ES, 1982.

Esposito. Jhon L (ed), Dinamika Kebanguan Islam; watak Proses dan Tantangan, Jakarta : Rajawali Pers, 1987.

Eickelmen, Dale F dan J Piscatori, Ekspresi Politik Islam, Bandung : Mizan, 1998. Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998.

Fealy, Greg dan Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Yogyakarta : LKiS, 1997.

Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta : LKiS, 2005.

Karim, A. Gafar, Metamorfosis Nahdlatul Ulama, Politisasi Islam Indonesia, Yogyakarta : LKiS, 1998.

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus Af (ed), Passing Over; Melintasi Batas Agama, Jakarta : Paramadina, 1998.


(5)

Ida, Laode dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur Diantara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta : Rajawali Pres, 1999.

Martahan, Einar, NU dan Pancasila, Jakarta : Sinar Harapan, 1989.

Mawardi, Abu Hasan, Al-Ahkam al-Sulthoniah wa al-Wilayat al-Diniyah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1978.

Meleong, Lexy Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Rosda Karya, 1998.

Misrawi, Zuhairi, Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, Jakarta : Kompas dan P3M, 2004.

Murod,Ma’mun, Menyikap Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid dan Amien Rais Tentang Negara, Jakarta : Rajagrafindo, 1999.

Nazir,M, Metode Penelitian, Jakarta : Galia Indonesia,1988.

Pulungan, Sayuti, Fiqih Siyasah; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : Rajawali Pers, 1995.

Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas; Tentang Transformasi Intelektual, Bandung : Pustaka, 1995.

Suprayogi, Imam dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung : Rosda Karya, 2001.

Saefullah, Aris, Gus Dur vs Amien Rais; Dakwah Struktural-Kultural, Yogyakarta : Laelathinkers, 2003.

Santoso, Listiyono, Teologi Politik Gus Dur, Yogyakarta, Ar-Ruzz, 2004.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, 1993.

Siradj, Said Aqiel Ahlusunnah Wal Jama’ah Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : LKPSM-NU, 1997

Suedy, Ahmed dan Ulil Absar Abdalah (ed), Gila Gus Dur; Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, Yogyakarta : LkiS, 2000.

Tibi, Basam Krisis Modern Dalam Peradaban Islam, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987.


(6)

Wahid, Abdurrahman, Muslim Di Tengah Pergumulan,, Jakarta : Pappenas, 1981. ______________, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta : LkiS, 1999.

______________, Peranan Umat dalam Berbagai Pendekatan dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung : Rosdakarya, 1991.

______________, Tuhan Takperlu Di Bela, Yogyakarta : LkiS, 1999.

______________, Negara, Agama dan Kebudayaan, Depok : Desantara, 2001. ______________, Islam, Negara dan Demokrasi, Jakarta : Erlangga, 1999.

______________, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta : Grasindo, 1999.

______________, Membangun Demokrasi, Bandung : Rosdakarya, 1999.

______________, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Jakarta : Kompas, 1999. ______________, Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara

Demokrasi, Jakarta : The Wahid Institut, 2006.

______________, Tabayun Gus Dur; Pribumisasi Islam, Hak Minoritas Reformasi Kultural, Yogyakarta : LKiS, 1998.

Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara; Kritik Atas Politik Islam di Indonesia, Yogyakarta : LKiS, 2001.