SOSIOLOGI ANAK JALANAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2000 TENTANG PENANGGULANGAN PEKERJA ANAK : STUDI KASUS DI PONOROGO, JAWA TIMUR | Rokamah | PALASTREN Jurnal Studi Gender 998 3567 1 PB

SOSIOLOGI ANAK JALANAN DALAM
PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG
NO. 1 TAHUN 2000 TENTANG
PENANGGULANGAN PEKERJA ANAK:
Studi Kasus Di Ponorogo, Jawa Timur
Ridho Rokamah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo,
Jawa Timur, Indonesia
rokamahridho@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji masalah penyebab terjadinya
pekerja anak, dan implementasi Undang-undang No.
1 tahun 2000 tentang Penanggulangan Pekerja Anak.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan kualitatif. Dari hasil penelitian
dapat ketahui bahwa alasan anak di bawah umur
menjadi pekerja anak adalah karena ekonomi, mengisi
waktu luang, terpaksa, lari dari rumah, dll. Fenomena
ini terjadi karena adanya struktur norma-norma hukum
dalam masyarakat yang tidak bisa berlaku. Sedangkan

implementasi undang-undang ini dilapangan juga
masih belum bisa maksimal karena banyak faktor yang
saling kait mengkait, mulai dari keberadaan hukum
baik secara sosiologis maupun ilosois, budaya/norma
masyarakat yang mulai luntur, sarana atau fasilitas yang
tidak memadai, aparat penegak yang belum tegas, dan
kesadaran dari seluruh masyarakat untuk menghapus
pekerja anak secara integrasi belum terbentuk.
Kata Kunci: Pekerja Anak, UU No.1 Tahun 2000
PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

47

Ridho Rokamah

ABSTRACT
The number of school dropout children in Ponorogo
from year to year is still high despite decreased. This
phenomenon led to the opportunitie for children to
become child laborers. Based on this concern, the

researcher examined the causes of the child labor
problem, and the implementation of Law No. 1 of 2000
on Combating Child Labour. The research approach
used in this study is a qualitative approach. The results
of this research is that the main reason of child labor was
an economic factor, leisure time, being forced, or running
away from home, etc. This phenomenon occurs because
of the structure of legal norms in the society still can not
be applied. While the implementation of this legislation
in the ield still can not be maximized because of many
factors are intertwined, from the existence of laws either
sociological or philosophical, cultural / societal norms
that started to fade, inadequate facilities, non assertive
enforcer and the awareness of the whole society to
eliminate child labor in the integration has not been
formed.
Keywords: Child Labour, Law No.1. Year 2000

A. Pendahuluan
Anak sebagai generasi bangsa perlu dilindungi hakhaknya dan dibina sejak dini agar menjadi anak yang sehat

jasmani maupun rohaninya, sehingga bisa menjadi generasi
yang berakhlak, berkualitas, dan sesuai dengan harapan
bangsa. Salah satu bentuk perlindungan dan pembinaan
yang harus segera dilakukan adalah penanggulangan pekerja
anak.
Kehadiran pekerja anak merupakan sebuah fenomena
sosial di Ponorogo. Pekerja anak sendiri adalah kelompok
anak yang berusia di bawah 18 tahun atau masih berusia
sekolah dasar (SD/SLTP) yang karena alasan tertentu tidak
dapat sekolah, namun mereka harus bekerja mencari nafkah
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
48

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

Sosiologi Anak Jalanan dalam Perspektif Undang-Undang...

Jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan anak di bawah
umur ini sebagian besar
dilakukan oleh perempuan.

Perempuan yang dianggap nilai komersilnya paling murah,
sering dijadikan obyek pekerjaan, perdagangan, dan
perbudakan. Berbagai tindak kejahatan terhadap pekerja
perempuan ini diindikasikan terjadi karena adanya berbagai
faktor, yaitu budaya patriarkhi, rendahnya sumber daya
perempuan/pendidikan, lingkungan yang telah memandang
lemah perempuan, ekonomi rendah, dan lain-lain.
Terkait dengan masalah di atas pemerintah sebenarnya
telah membentuk sebuah Undang-undang No. 1 tahun 2000
tentang Penanggulangan Pekerja Anak. Undang-undang ini
dibentuk karena berdasarkan kebutuhan yang sangat mendesak
melihat realitas anak yang dipekerjakan dalam segala macam
pekerjaan yang sebagian besar membahayakan jiwanya. Selain
UU No. 1 tahun 2000 ini, sebenarnya sudah banyak undangundang yang dibentuk untuk melindungi pekerja anak. Tetapi
UU No. 1 tahun 2000 ini khusus menampung berbagai
macam perlindungan pekerja anak dan pekerjaan-pekerjaan
terburuk yang dilakukan anak. Undang-undang yang secara
umum juga membahas tentang perlindungan, hak-hak anak,
kesejahteraan anak, dan lain-lain di antaranya adalah undangundang dasar 1945, UU No. 4/1979, UU No. 39/1999, UU
No. 1/2000, UU. No. 23/2003, UU. No.13/2003, dan lainlain.Apabila dicermati undang-undang ini sebenarnya berisi

muatan-muatan yang bisa menjadi pelindung pekerja anak
khususnya pekerja perempuan (di bawah umur). Namun
bagaimanakah efektiitas pemberlakuan undang-undang ini
di lapangan masih menjadi tanda tanya besar.
Sebagai bukti lemahnya penegakan hukum terkait
pekerja anak di Kabupaten Ponorogo adalah banyaknya
anak usia sekolah atau anak di bawah umur 18 tahun bekerja
pada pekerjaan yang dapat menyebabkan mereka tidak dapat
menikmati pendidikan. Beberapa bentuk pekerjaan yang
PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

49

Ridho Rokamah

dilakukan anak di bawah umur ini adalah pembantu rumah
tangga, pekerja toko, pedagang kaki lima, penjaga/pembantu
pada warung pinggir jalan, dan lain-lain.
Beberapa bentuk pekerjaan yang dilakukan anak di
Kabupaten Ponorogo di atas, pekerjaan pada warung kopi

lesehan pinggir jalan merupakan fenomena yang menarik
untuk dikaji lebih mendalam. Mempekerjakan anak usia
sekolah pada warung kopi lesehan pinggir jalan di wilayah
Kabupaten Ponorogo pada saat menjadi trend dalam
masyarakat. Di berbagai sudut kota dan kecamatan di
Ponorogo warung kopi lesehan sudah menjadi pemandangan
yang biasa. Tetapi di balik pemandangan yang biasa itu
terdapat pekerja anak perempuan yang tidak disadari oleh
banyak orang.
Hasil observasi yang telah peneliti lakukan, ada lebih
dari 100 warung kopi lesehan pinggir jalan yang beroperasi
dan sebagian besar pelayannya adalah anak perempuan di
bawah umur. Dari data yang peneliti peroleh, ada 53 warung
kopi lesehan di sekitar jalan baru Kecamatan Tonatan yang
10 diantaranya mempunyai pelayan anak perempuan di
bawah umur, di Kecamatan Jetis juga terdapat lebih dari 20
warung kopi lesehan pinggir jalan yang 12 di antaranya dijaga
oleh anak perempuan di bawah umur dan di Kecamatan
Sukorejo ada 20 warung kopi lesehan. Di sudut-sudut kota
tiap kecamatan yang ramai hampir selalu ada warung kopi

lesehan pinggir jalan, seperti Kecamatan Siman, Sambit,
Balong, dan lain-lain. Temuan menarik yang telah peneliti
dapatkan melalui hasil obeservasi adalah: 1) Pelayan yang
bekerja pada warung kopi lesehan pinggir jalan sebagian
besar adalah anak perempuan di bawah umur yang sengaja
dijadikan pelayan agar banyak pengunjung yang datang, 2)
Waktu operasional warung kopi lesehan pinggir jalan ini ada
yang mulai pukul 09.00 Wib s/d. 10.00 Wib dan ada yang
pukul 16.00 Wib s/d 17.00 Wib, sedangkan tutupnya adalah
50

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

Sosiologi Anak Jalanan dalam Perspektif Undang-Undang...

pukul 24.00 Wib, tetapi apabila banyak pengunjung bisa
sampai pukul 02.00 Wib, 3) anak-anak perempuan di bawah
umur yang dijadikan pelayan tersebut berpakaian ketat dan
berpenampilan menarik sehingga orang yang lewat akan
tertarik untuk membeli kopi atau sekedar mampir, dan 4) gaji

yang diberikan kepada pelayan warung kopi lesehan pinggir
jalan ini masih sangat minim dan tidak sesuai dengan apa
yang telah mereka lakukan karena rata-rata bekerja di atas 8
jam per-hari.
Melihat realitas di atas, banyak pertanyaan yang
kemudian muncul dalam benak peneliti sehingga termotivasi
untuk menelitinya lebih mendalam. Hal-hal yang mendasar
yang tidak pernah disadari oleh banyak orang khususnya
yang terlibat atau turut andil dalam memproyeksikan anak
di bawah umur menjadi pelayan adalah: 1) Anak tidak bisa
menikmati pendidikan formalnya, 2) Tidak mempunyai
kesempatan untuk bermain secara wajar, 3) Dipaksakan untuk
tampil dewasa, dan 4) Perkembangan psikologis tumbuh
secara tidak wajar.
Fenomena ini merupakan gejala sosial yang perlu
mendapatkan perhatian serius agar mendapatkan solusi
yang efektif dalam menanggulangi pekerja anak. Berangkat
dari permasalahan yang cukup menarik di atas peneliti
termotivasi untuk mengkaji lebih mendalam dalam rangka
mencari akar masalah penyebab munculnya pekerja anak

sebagai pelayan pada warung kopi lesehandan sekaligus
mencari penyebab mengapa UU No. 1 tahun 2000 ini tidak
bisa diimplementasikan.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan kualitatif, yang memiliki karakteristik
alami (natural setting), deskriptif, proses lebih dipentingkan
dari pada hasil, analisisnya cenderung dilakukan secara
analisa induktif, dan makna merupakan hal yang esensial
(Moleong, 2000: 3). Adapun jenis penelitian yang digunakan
PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

51

Ridho Rokamah

adalah studi kasus yaitu suatu deskripsi intensif dan analisis
fenomena tertentu atau satuan sosial seperti individu,
kelompok, institusi atau masyarakat (Bogdan dan Bilken,
1982). Studi kasus dalam penelitian ini berarti menganalisis
fenomena kelompok tertentu dalam masyarakat/pedagang

warung kopi lesehan pinggir jalan yang melakukan praktek
pekerja anak yang berlokasi penelitian ini adalah warung
kopi lesehan pinggir jalan yang ada di seluruh kecamatan
Kabupaten Ponorogo. Untuk menentukan subyek penelitian
terkait dengan warung kopi lesehan pinggir jalan di atas,
peneliti menggunakan teknik purposive sampling dengan
subyek penelitian pelayan warung kopi lesehan pinggir jalan
yang berlokasi di Jalan Baru Kecamatan Tonatan, Kecamatan
Jetis dan Kecamatan Sukorejo. Tiga tempat yang dipilih ini
merupakan tempat yang banyak warung kopi lesehan pinggir
jalannya, dan ada fenomena yang menarik dalam bisnis
warung kopi lesehan di tempat ini.
Berdasarkan paparan di atas, maka fokus penelitian ini
adalah: 1) faktor-faktor yang menyebabkan anak perempuan
di bawah umur menjadi pelayan pada warung pinggir
jalan di Kabupaten Ponorogo, dan 2) implementasi UU
No. 1 tahun 2000 tentang penanggulangan pekerja anak di
Kabupaten Ponorogo.

B. Pembahasan

1. Eksistensi Undang-Undang No. 1 tahun 2000 tentang
Penanggulangan Pekerja Anak
Deinisi anak menurut Pasal 1 ayat 4 Undang-undang
No.1/2000 tentang Penanggulangan Pekerja Anak adalah
semua anak yang berusia di bawah 18 tahun. Setiap anak
dalam Pasal 4, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan

52

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

Sosiologi Anak Jalanan dalam Perspektif Undang-Undang...

martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka seharusnya anak
mendapatkan hak untuk merdeka, pendidikan yang layak,
dan menikmati masa kanak-kanak dengan wajar, tetapi
harapan itu tidak bisa dinikmati oleh semua anak. Banyak
anak yang seharusnya menikmati pendidikan dan masa
tumbuh kembang dengan penuh kemerdekaan malah menjadi
pekerja anak.
Pekerja anak adalah kelompok anak yang berusia
di bawah 18 tahun atau masih berusia sekolah dasar (SD/
SLTP) yang karena alasan tertentu tidak dapat sekolah,
namun mereka harus bekerja mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Bentuk-bentuk pekerjaan
yang dilakukan pekerja anak ada beberapa macam, yaitu:
1) Semua bentuk perbudakan dan praktek sejenis, 2)
Pelacuran, pornograi atau pertunjukan porno, 3) Kegiatan
illegal khususnya produksi dan perdagangan narkoba, dan 4)
Pekerjaan yang apabila dilakukan dapat membahayakan jiwa
anak.Pekerja anak dan anak yang bekerja adalah berbeda,
pekerja anak adalah anak yang bekerja pada pekerjaan
yang bisa membahayakan dirinya, sedangkan anak yang
bekerja adalah anak yang membantu orang tuanya dalam
rangka melatih kemandirinya, dia masih bisa menikmati
masa tumbuh kembang dan pendidikannya, biasanya bentuk
pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan yang ringan atau
tidak membahayakan dirinya (UU No. 1/2000, Keputusan
Mendagri dan Otonomi Daerah tentang Penanggulangan
Pekerja Anak, 2002: 7).
Beberapa pekerjaan yang membahayakan jiwa anak
di atas telah mendapatkan respon dari pemerintah dengan
dibentuknya UU No. 1/2000 tentang penanggulangan pekerja
anak.Penanggulangan pekerja anak yang dimaksud dalam
undang-undang ini adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan
PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

53

Ridho Rokamah

untuk menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja anak
yang berusia 15 tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh
buruk pekerjaan berat dan berbahaya.
Program yang akan dilakukan menurut pasal 5
Undang-undang ini adalah:
a. Pelarangan dan penghapusan
pekerjaan terburuk untuk anak,

bentuk-bentuk

b. Pemberian perlindungan yang sesuai bagi pekerja
anak yang melakukan pekerjaan ringan,
c. Perbaikan pendapatan keluarga agar anak tidak
bekerja dan menciptakan suasana tumbuh kembang
anak dengan wajar,
d. Pelaksanaan sosialisasi program PPA kepada
pejabat birokrasi, pejabat politik, lembaga
kemasyarakatan dan masyarakat (UU No. 1/2000,
Keputusan Mendagri dan Otonomi Daerah tentang
Penanggulangan Pekerja Anak, 2002: 5).
Sedangkan program khusus dari Penanggulangan
Pekerja anak menurut pasal 5 ayat 2 Undang-undang ini
adalah:
a. Mengajak kembali pekerja anak yang putus sekolah
ke bangku sekolah dengan memberikan bantuan
beasiswa,
b. Memberikan pendidikan non-formal,
c. Pelatihan ketrampilan bagi anak (UU No. 1/2000,
Keputusan Mendagri dan Otonomi Daerah tentang
Penanggulangan Pekerja Anak, 2002: 5).
Dalam undang-undang ketenagakerjaan ini juga
dijelaskan tentang pekerjaan yang terburuk bagi anak yaitu:
a. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau
sejenisnya,

54

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

Sosiologi Anak Jalanan dalam Perspektif Undang-Undang...

b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan
atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi
pornograi, pertunjukan porno atau perjudian,
c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan
atau melibatkan
anak untuk produksi dan
perdagangan
minuman
keras,
narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya, dan atau,
d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan,
keselamatan atau moral anak (pasal 74 ayat 2).
Berdasarkan pasal 74 ayat 2 di atas, maka kasus
pekerja anak pada warung kopi lesehan termasuk dalam
pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau
moral anak.
Bila dicermati, undang-undang tentang perlindungan
anak, penanggulangan pekerja anak, dan ketenagakerjaan di
atas, maka undang-undang ini sudah memuat aturan yang
cukup memadai untuk mencegah terjadinya pekerja anak/
kekerasan terhadap anak. Namun dalam realitas, undangundang ini masih belum bisa diimplementasikan secara
maksimal, bahkan sosialisasinya juga terlambat.Di Ponorogo
sendiri sosialisasi undang-undang tersebut dilaksanakan bulan
Oktober 2004.
Dalam diskusi yang pernah peneliti lakukan dengan
beberapa lembaga yang pernah menangani masalah
ini,memberikan solusi seperti solusi yang pernah ditawarkan
oleh Kantor Pemas seksi Pemberdayaan Perempuan yang
bekerjasama dengan LSM PUSAR adalah memberikan
pelatihan menjahit dan salon, kemudian Kesbanglinmas juga
pernah melakukan pembinaan, dan terakhir Polsek setempat
bagian Bina Mitra juga pernah melakukan pembinaan, tetapi
semuanya belum berhasil.Maka peneliti menyimpulkan
bahwa ada sesuatu yang harus dipahami secara mendalam
sebelum memberikan tawaran alternatif agar pekerja anak
PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

55

Ridho Rokamah

meninggalkan pekerjaan yang membahayakan jiwa dan
moralnya. Dalam penegakan hukum, ada tiga hal yang harus
diperhatikan agar hukum bisa ditegakkan, yaitu kepastian
hukum, kemanfaatan dan keadilan. Penegakan hukum
merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan.
Proses pewujudan ide-ide tersebut merupakan hakekat dari
penegakan hukum (Rahardjo, tth: 15).
Penegakan hukum sebagai proses sosial tidak bersifat
tertutup, tetapi melibatkan lingkungannya. Penegakan hukum
dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu: 1). Hukumnya sendiri,
2). Penegak hukum, 3). Sarana atau fasilitas, 4). Masyarakat
dan 5). Kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1986: 5).
Pertama, hukumnya sendiri, artinya peraturan
hukum yang semakin baik akan semakin memungkinkan
penegakannya dan begitu pula sebaliknya. Peraturan hukum
yang baik adalah yang berlaku secara yuridis, sosiologis
dan ilosois. Suatu hukum berlaku secara yuridis apabila
peraturan hukum tersebut penentuannya berdasarkan kaidah
yang lebih tinggi tingkatannya. Setiap peraturan hukum yang
berlaku tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum
yang lebih tinggi derajatnya (Moh. Kusnardi dan Harmaily
Ibrahim, 1983: 50).
Suatu peraturan hukum mempunyai kekuatan yang
yuridis, jika peraturan hukum tersebut terbentuk menurut
cara yang telah ditetapkan. Misalnya, undang-undang di
Indonesia dibentuk oleh presiden dengan persetujuan DPR.
Suatu peraturan hukum berlaku secara sosiologis jika
peraturan tersebut diakui dan diterima oleh masyarakat
kepada siapa peraturan hukum tersebut ditujukan. Suatu
peraturan hukum berlaku secara ilosois apabila peraturan
hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai
positif yang tertingi (Kusnardi dan Ibrahim, 1983: 118).

56

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

Sosiologi Anak Jalanan dalam Perspektif Undang-Undang...

Kedua, penegak hukum, artinya pihak-pihak yang
terkait secara langsung dalam proses penegakan hukum
adalah kepolisian, kejaksaan, kehakiman, kepengacaraan dan
pemasyarakatan. Mereka mempunyai peranan yang sangat
menentukan bagi keberhasilan usaha penegakan hukum
(Soekanto, 1986: 13).
Ketiga, sarana atau fasilitas yang mencakup tenaga
manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang
baik, peralatan yang memadahi, keuangan yang cukup
dan seterusnya. Kalau sarana atau fasilitas tersebut tidak
terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan tercapai
(Soekanto, 1986: 27).
Keempat, masyarakat sebagai tempat berlakunya dan
diterapkannya hukum, mempunyai pengaruh kuat terhadap
pelaksanaan penegakan hukum. Penegakan berasal dari
masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam
masyarakat. Yang terpenting dalam penegakan hukum adalah
kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran
masyarakat, maka penegakan hukum akan semakin baik,
begitu juga sebaliknya (BPHN, 1975: 116).
Kelima, kebudayaan yang mencakup nilai-nilai
hukum yang berlaku. Nilai-nilai itu merupakan konsepsikonsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk
(Soekanto, 1986: 45). Kebudayaan Indonesia merupakan
dasar atau mendasari hukum adat yang berlaku. Hukum adat
merupakan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat.
Namun, berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan)
yang dibentuk oleh golongan tertentu dalam masyarakat yang
memiliki kekuasaan dan wewenang.
Perundang-undangan harus dapat mencerminkan
nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat agar hukum
perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif
(Soerjono Soekanto, 1986: 49).Semakin banyak persesuaian

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

57

Ridho Rokamah

antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan
masyarakat, maka akan semakin mudah penegakan hukum.
Apabila dicermati teori penegakan hukum di atas, maka
penyebab implementasi hukum tentang pekerja anak tidak
bisa ditegakkan dalam kasus pelayan warung kopi lesehan
bisa terjadi karena salah satu faktor penegakan hukum itu
sendiri menjadi penghalang hukum itu bisa ditegakkan.
Dalam hal ini bisa karena faktor hukumnya sendiri hanya
bisa ditetapkan secara yuridis, tetapi secara sosiologis tidak
bisa, penegak hukum yang belum bisa menegakkan hukum
secara maksimal, sarana dan fasilitas untuk mensosialisasikan
masih belum memadai, masyarakat yang belum menyadari
akan pentingnya perlindungan anak, dan kebudayaan yang
menganggap pekerja anak adalah hal biasa.
Untuk mengetahui penyebab implementasi undangundang perlindungan pekerja anak mendapatkan hambatan,
maka dalam teori hukum dikenal dengan istilah sosiologi
hukum. Sosiologi hukum ini sangat bermanfaat untuk
mengungkapkan sebab musabab ketimpangan antara
tata tertib masyarakat yang dicita-citakan dengan tertib
masyarakat dalam kenyataannya (Soemitro, 1984: 9). Ilmu
ini memfokuskan diri pada studi analisis yang bersifat empiris
terhadap hubungan timbal balik antara hukum dengan gejalagejala sosial lainnya.
Dalam sosiologi hukum, ada beberapa teori sosiologi
yang bisa dipergunakan untuk menganalisis masalah
hukum dan sosiologi masyarakat. Teori-teori tersebut
adalah: fungsionalisme, strukturalisme, fenomenologi, dan
interaksionisme simbolik. Dari beberapa teori tersebut, maka
peneliti memilih satu teori yaitu teori strukturalisme untuk
menganalisis masalah pekerja anak dalam warung kopi
lesehan di Kabupaten Ponorogo.
Pendekatan strukturalisme merupakan salah satu
pendekatan yang berskala mikro, namun demikian, konsep
58

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

Sosiologi Anak Jalanan dalam Perspektif Undang-Undang...

strukturalisme sangat potensial dan memiliki kemampuan
yang cukup handal untuk dijadikan sebagai alat memahami
hubungan hukum di antara berbagai kelompok di dalam
masyarakat (Amiruddin dan Zainul Asikin, 2004: 214).
Secara makro, objek yang menjadi sasaran analisis
strukturalisme adalah: pertama, struktur norma-norma hukum.
Setidaknya ada tiga elemen struktur norma-norma hukum. 1)
deskripsi mengenai situasi, misalnya, orang mempekerjakan
anak, maka ada norma-norma tentang pekerjaan untuk
anak, 2) disposisi atau rekomendasi, misalnya, jika seseorang
mempekerjakan anak, maka dia harus mempekerjakan sesuai
dengan pekerjaan yang boleh dilakukan anak, dan 3) elemen
sanksi, misalnya, jika orang yang mempekerjakan anak tidak
sesuai dengan kriteria pekerjaan yang boleh dilakukan anak,
maka sanksi akan dijatuhkan dalam hal ini.
Kedua, yang berhubungan dengan skema normatif
dari sistem hukum, dan kemudian mempertanyakan
mengapa substansi hukum mengambil bentuk seperti yang
ada sekarang. Sistem hukum sebagai suatu keseluruhan
di dalam sistem sosial akan mendorong dan memaksakan
suatu individu yang sesuai dengan harapan dan keinginan
dari sistem sosial tersebut. Dengan demikian, sistem hukum
kemudian dipergunakan sebagai alat untuk menilai perilakuperilaku setiap individu, yaitu sejauhmanakah perilakuperilaku individu itu sesuai dengan norma dan aturan-aturan
yang berlaku dalam sistem sosial tertentu.
Ketiga, analisis strukturalisme adalah penelitian yang
dilakukan bagaimana bekerjanya hukum ketika berada
dalam masyarakat. Ruang lingkup penelitian ini cukup luas,
setidaknya ada lima elemen yang menjadi perhatian dalam
peneliti ini, 1) asumsi-asumsi normatif yang menunjukkan
bagaimana fungsi dari suatu sistem hukum berjalan, 2) terdiri
dari sekumpulan petunjuk yang menerangkan bagaimana
caranya mengimplementasikan nilai-nilai dalam realitas
PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

59

Ridho Rokamah

sosial, 3) dibentuk oleh berbagai sub kultur dari tatanan
hukum, 4) dibentuk oleh ekspektasi masyarakat berkaitan
dengan hukum, misalnya tingkat pengetahuan masyarakat
tentang hukum, dll., dan 5) elemen dari struktur nyata dari
sistem hukum, yang berhubungan dengan bekerjanya normanorma dan institusi-institusi hukum (Amiruddin dan Zainul
Asikin, 2004: 215-217).

2. Kondisi Pekerja Anak pada Warung Kopi Lesehan Pinggir
Jalan di Kabupaten Ponorogo
Jumlah anak putus sekolah di Kabupeten Ponorogo
dari tahun ke tahun masih cukup tinggi, misalnya pada tahun
2004/2005 jumlah anak putus sekolah pada usia anak sampai
dengan 19 tahun ada 157.892 anak dari jumlah anak yang
masih sekolah 118.698 anak dan total keseluruhan anak
276.590 (BPS Kabupaten Ponorogo, 2004). Kemudian pada
tahun 2005/2006 jumlah anak usia sekolah 7-12 tahun ada
79.843 anak yang terdiri atas 38.201 laki-laki dan 41.642
perempuan, usia 13-15 tahun ada 904 anak yang terdiri atas
433 laki-laki dan 471 perempuan, dan usia 15-17 tahun
ada 2.015 anak yang terdiri atas 1.000 laki-laki dan 1.015
perempuan. Dari keseluruhan jumlah anak usia sekolah
tersebut, ada sekitar 1.111 anak putus sekolah yang tersebar
dalam berbagai jenjang pendidikan mereka, pada tingkat SD
misalnya ada sebanyak 45 orang, SMP 712 orang, MTs 158
orang, SMA 67 orang, MA 33 orang, dan SMK 96 orang (PSW
STAIN dan Kantor Pemas. Seksi Pemberdayaan Perempuan
Kab. Ponorogo, Poil Gender tahun 2005).
Pada tahun 2006/2007, Jumlah angka anak putus
sekolah di Kabupaten Ponorogo mengalami penurunan dari
1.111 menjadi 984anak yang terdiri atas 95 anak SD/sederajat,
355 anak SMP/sederajat, dan 534 anak SMA/sederajat.
Jumlah ini menunjukkan bahwa program pemerintah
dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun menunjukkan
60

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

Sosiologi Anak Jalanan dalam Perspektif Undang-Undang...

keberhasilan (PSW STAIN Ponorogo dan Kantor Pemas. Seksi
Pemberdayaan Perempuan Kab.Ponorogo, 2006: 20).
Walaupun jumlah ini mengalami penurunan, tetapi
jumlah ini masih menjadi peluang dan mendorong terjadinya
pekerja anak. Menurut hasil pendataan LSM Pusar pada
tahun 2006 dengan mengambil sampel beberapa kecamatan,
terdapat jumlah yang cukup signiikan dalam masalah pekerja
anak ini. Dari sampel 101 pekerja anak ada 74 anak laki-laki
dan 27 anak perempuan dengan usia yang beragam mulai dari
usia 12 tahun sampai dengan 18 tahun. Di mana usia pekerja
anak ini paling banyak berusia 17 tahun (35.64%), kemudian
18 tahun (23.76%), 16 tahun (22.77%) dan 15 tahun
(14.85%). Data ini menunjukkan bahwa dari 101 sampel
yang diambil, rata-rata anak yang bekerja adalah tamatan
SMP dan SD, bahkan tidak ada yang sampai lulus SMA.
Sedangkan jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan anak
juga beragam mulai dari buruh tani yang jumlahnya ada
28 anak (27.72%), buruh cangkul ada 11 anak (10.89%),
pelayan warung kopi lesehan ada 14 anak (13.86%), buruh
cetak genteng ada 7 anak (6.93%), kuli bangunan ada 6
anak (5.94%), dan beberapa pekerjaan lain seperti pelayan
toko, buruh pabrik sandal, cleaning service, penjual koran,
dan lain-lain, jumlahnya tidak banyak.
Gambaran tentang pekerja anak yang telah dilakukan
LSM Pusar ini menunjukkan bahwa realitas pekerja anak
cukup tinggi. Dari tahun ke tahun jumlah ini tidak mengalami
penurunan bahkan mengalami kenaikan cukup pesat, seperti
jumlah pekerja anak pada warung kopi lesehan pinggir jalan
yang saat ini mencapai lebih dari 100 pekerja anak.
Pendataan yang dilakukan LSM Pusar terhadap
pelayan warung kopi di atas masih terbatas pada warung
kopi Jl. Baru Kelurahan Tonatan yang jumlahnya pada saat
ini mencapai lebih dari 20 anak di bawah umur, padahal di
beberapa kecamatan masih terdapat banyak warung kopi
PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

61

Ridho Rokamah

lesehan ”plus-plus” yang mempekerjakan anak di bawah
umur.

a. Lokasi Warung Kopi dan Kondisi Pekerja Anak
Jumlah warung kopi lesehan pinggir jalan di
Kabupaten Ponorogo cukup banyak karena hampir
di setiap kecamatan ada warung kopinya, dan ratarata pelayannya adalah anak di bawah umur. Dari
keseluruhan kecamatan yang ada warung kopi
lesehannya, beberapa kecamatan mempunyai jumlah
warung kopi yang cukup besar, beberapa kecamatan
tersebut misalnya, kecamatan Siman, Keyang, kecamatan
Jetis, Kecamatan Ponorogo, Kecamatan Sukorejo, dan
kecamatan Jenangan.
Kondisi pekerja anak pada warung kopi lesehan
ini cukup memprihatinkan karena rata-rata mereka
yaitu: 1) Di-eksploitasi dan kerja full timer minimal 8 jam
bahkan sebagian besar lebih dari itu, 2) Berpenampilan
seperti orang dewasa/seksi, dan semua pelayan mengakui
sudah biasa atau tidak risi berpenampilan seperti itu,
3) Tidak punya motivasi ke depan dan tidak ada citacita, hal ini menunjukkan keputusasaan terhadap masa
depan yang akan dihadapi, ini diakui oleh sebagian
besar responden seperti Shanti, menurutnya “dulu ada,
tapi karena mencari kerja itu sulit, jadi ya dijalanin aja
seperti ini”, dan 4) Orang tua membiarkan, memberikan
izin maupun tidak mengetahui pekerjaan yang dilakukan
anak, sehingga mereka terperangkap dalam dunia yang
membahayakan jiwanya, akibatnya seperti ada legalisasi
dari orang tua terkait pekerjaan yang dilakukan oleh
pekerja anak/pelayan.

b. Pendidikan pekerja anak
Alasan yang pasti mengapa anak-anak bekerja
tentu karena mereka tidak lagi sekolah atau mengisi
62

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

Sosiologi Anak Jalanan dalam Perspektif Undang-Undang...

waktu yang luang karena menjadi pengangguran yunior.
Hal ini tentu sangat memprihatinkan bagi kita semua.
Dari hasil penelitian dilapangan diketahui bahwa
rata-rata pendidikan pelayan warung kopi lesehan di
Kabupaten Ponorogo adalah lulusan SMP ada 9 anak,
1 anak lulusan SD, tidak memberikan jawaban 6 anak,
sedangkan yang masih melanjutkan sekolah ada 4
anak.

c. Gaji/Upah pekerja Anak
Jumlah gaji/upah yang diterima pelayan
warung kopi pinggir jalan bervariasi, untuk wilayah
Kecamatan Jetis, seluruh responden yang berjumlah 5
anak mengaku di gaji Rp. 500.000,- dan hanya satu
orang yang tidak mengaku berapa dia digaji. Kemudian
untuk kecamatan Ponorogo dengan lokasi Jl. Baru dari
8 responden mengaku bahwa 6 anak mengaku di gaji
Rp. 300.000,- perbulan dan 2 orang mengaku digaji
Rp. 150.000,- perbulan. Terakhir untuk Kecamatan
Sukorejo, dari 6 anak mengaku bahwa 5 anak digaji
Rp. 250.000,- perbulan dan 1 anak mengaku digaji Rp.
200.000,- per bulan.
Paparan di atas menunjukkan bahwa gaji atau
upah pelayan bervariasi mulai gaji Rp. 150.000,- sampai
dengan Rp. 500.000,-. Jumlah gaji ini masih di bawah
standar karena: 1) Pekerjaan yang mereka lakukan lebih
dari 8 jam, 2) Dilakukan pada waktu mereka seharusnya
menikmati perhatian orang tua dan kebebasan
untuk belajar dan bermain, 3) Telah membahayakan
perkembangan psikologis mereka dan 4) Mereka yang
mendapatkan gaji Rp. 500.000,- tersebut bekerja lebih
dari 10 jam, karena mereka bekerja mulai pukul 09.00
Wib atau pukul 10.00 Wib pagi dan tutupnya pukul
23.00 Wib malam paling cepat.

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

63

Ridho Rokamah

Pada prinsipnya, semua jumlah gaji yang
diterima para pelayan mulai dari Rp. 150.000,- sampai
dengan Rp. 500.000,- itu belum sepadan, karena akibat
yang ditimbulkan tidak sebanding dengan kondisi
perkembangan kejiwaan mereka.

d. Durasi Waktu Anak Bekerja
Hasil penelitian sungguh di luar dugaan, karena
durasi waktu anak yang bekerja melebihi batas waktu
yang seharusnya diperbolehkan anak di bawah umur
bekerja, yaitu: delapan pelayan bekerja selama 8 jam,
sebelas pelayan mengaku bekerja lebih dari 10 jam,
dan satu pelayan mengaku bekerja dengan waktu
tidak menentu. Menurut pengakuan Berti Artiyani dan
seluruh pelayan yang bekerja di warung kopi Jl. Baru
Tonatan, bekerja mulai pukul 19.00 wib s.d. pukul
02.00 wib. Sedangkan menurut Dian, Lia, Endang,
Septiana, Triana, Uut, Lia, Siti, Ani, Dina, dan Mendes,
rata-rata mereka bekerja mulai antara pukul 09.00 wib
– pukul 10.00 wib pagi sampai dengan pukul 23.00 wib
bahkan ada yang sampai dengan pukul 01.00 wib. Dan
yang mengaku bekerja dengan jam tidak menentu hanya
satu pelayan yaitu Niki, Pelayan warung kopi lesehan
Kecamatan Jetis.
Dari paparan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa pelayan warung kopi lesehan bekerja melebihi
batas waktu yang diperbolehkan bagi anak-anak untuk
bekerja yaitu di atas 8 jam per-hari.

3. Penyebab Anak Menjadi Pekerja Anak
a. Alasan anak menjadi pelayan
Persoalan ekonomi memang bukan satu-satunya
yang menyebabkan anak menjadi pekerja, tapi mungkin
bisa dikatakan lebih tepat sebagai faktor yang paling
banyak menyebabkan anak menjadi pekerja anak.
64

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

Sosiologi Anak Jalanan dalam Perspektif Undang-Undang...

Karena secara substansi, dampak dari krisis ekonomi
terhadap kehidupan anak-anak adalah: Pertama, pilihan
dan kesempatan anak-anak dari keluarga miskin untuk
menikmati masa tumbuh-kembang secara wajar makin
berkurang, khususnya kesempatan untuk meneruskan
sekolah.
Kedua, dengan tidak melanjutkan sekolah,
kemungkinan besar anak akan bekerja. Karena
minimnya pendidikan, seringkali mereka terpuruk
dalam pekerjaan yang mengeksploitasi dirinya sehingga
merugikan masa depannya, seperti pekerjaan pelayan
warung kopi lesehan ini.
Untuk membuktikan apakah faktor ekonomi
merupakan faktor yang dominan atau bukan berikut
peneliti paparkan hasil wawancara dengan para
pelayan.Ada beberapa faktor yang menyebabkan
anak menjadi pelayan warung kopi ini.Faktor-faktor
tersebut adalah; 1) karena adanya tuntutan keluarga
untuk membantu ekonomi orang tua sebagaimana yang
disampaikan Maya Rohiyani, “saya menjadi pelayan
ini karena adanya tuntutan ekonomi keluarga”, hal
serupa juga yang menjadi alasan 6 pelayan lainnya.
2) karena untuk mengisi waktu luang saja, dalam
hal ini ada 2 anak yang memberikan alasan tersebut,
misalnya seperti disampaikan oleh Metty, Mariyati,
yang melakukan pekerjaannya sebagai pelayan karena
hanya untuk mengisi waktu luang saja. 3) karena alasan
suka dipilih oleh 5 anak. Alasan ini cukup mengejutkan
peneliti karena ada yang menikmati pekejaan yang
membahayakan ini. 4) karena alasan terpaksa dipilih
oleh 5 anak seperti yang disampaikan oleh Uut kepada
peneliti. Dia terpaksa melakukan pekerjaan ini pada
awalnya, tapi sekarang ia sudah terbiasa. Dan 5) karena
alasan lari dari rumah disampaikan oleh 1 anak saja yaitu
PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

65

Ridho Rokamah

Siti Jariyah. Menurutnya, semenjak ia meninggalkan
rumah, tak ada pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya ia harus bekerja, dan akhirnya ia terperangkap
dalam pekerjaan ini.
Dari alasan yang disampaikan oleh beberapa
pelayan tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa,
penyebab anak menjadi pekerja anak pada warung kopi
lesehan adalah karena pada prinsipnya mereka tidak
sekolah. Penyebab mereka tidak sekolah ini karena
adanya desakan ekonomi. Dengan menganggur mereka
akhirnya mengisi waktu luang dengan bekerja pada
warung kopi lesehan walaupun pada awalnya mereka
merasa tidak nyaman dan terpaksa, tapi lama kelamaan
mereka suka dan menikmati pekerjaan tersebut.

b. Alasan pedagang mempekerjakan anak di bawah umur
Agak sulit mewawancarai pedagang, karena
mereka takut apabila keberadaan mereka terusik.Namun
dengan pendekatan terus menerus akhirnya mereka mau
diwawancarai.Ada beragam alasan yang disampaikan
oleh pedagang sehingga mereka mempekerjakan anak
di bawah umur, yaitu; 1) Karena suka mempekerjakan
anak yang masih di bawah umur. 2) Karena terpaksa.
3) Agar lebih menarik pelanggan. 4) Karena kebetulan
dapatnya anak-anak dan mereka tidak memaksa. 5) Gaji
lebih murah dan ekonomis. 6) Karena ingin membantu
ekonomi keluarga pelayan,dan 7) Karena kemauan anak
sendiri.
Berbagai alasan yang disampaikan oleh pedagang
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, para pedagang
menyadari potensi yang dimiliki para anak-anak
perempuan ini, sehingga mereka memanfaatkannya.
Walaupun mereka tidak secara tegas mengakui
mempekerjakan anak-anak karena lebih ekonomis
dan ingin menarik pelanggan, tetapi dari alasan yang
66

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

Sosiologi Anak Jalanan dalam Perspektif Undang-Undang...

diberikan sudah mengindikasikan bahwa sebenarnya
mereka memang mengakuinya.
Berdasarkan data yang telah diperoleh di lapangan
tentang alasan yang menyebabkan anak menjadi pekerja,
maka ada beberapa penyebab anak menjadi pekerja
anak yaitu: karena faktor ekonomi, mengisi waktu
luang, karena suka dengan pekerjaan, karena terpaksa,
dan karena melarikan diri dari rumah.
Alasan-alasan yang disampaikan oleh pelayan
di atas apabila dikaji lebih mendalam, maka faktor
yang menyebabkan anak menjadi pekerja anak adalah:
Pertama, faktor anak tidak sekolah lagi atau drop
out, sehingga untuk mengisi waktu luang mereka
mencari kesibukan. Dalam situasi yang terhimpit,
mereka tidak mempunyai pilihan yang banyak, yang
akhirnya alternatif yang dipilih adalah menjadi pelayan
warung kopi lesehan, yang merupakan pekerjaan yang
membahayakan perkembangan psikologis anak.
Walaupun dalam beberapa alasan yang
disampaikan oleh para pekerja anak hanya 6 anak yang
mengakui bahwa karena faktor ekonomi/kemiskinan
yang menyebabkan mereka terperangkap dalam
pekerjaan pelayan warung kopi lesehan. Tetapi setelah
dikaji penyebab anak menjadi pelayan misalkan karena
mengisi waktu luang, karena suka dengan pekerjaan,
karena terpaksa, apabila dianalisis, maka penyebab
utama anak menjadi pekerja anak adalah karena tidak
sekolah/DO dan penyebab mereka DO ini karena faktor
ekonomi/kemiskinan. Jadi penyebab utama tetapi tidak
langsung anak menjadi pelayan karena ekonomi atau
kemiskinan.
Kedua, penyebab utama dan langsung ada
beberapa hal; 1)
Karena tidak adanya kontrol
atau kesadaran dari orang tua terhadap anak,
PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

67

Ridho Rokamah

baik memberikan izin maupun membiarkan saja.
Memberikan izin atau membiarkan saja sudah
termasuk pada kategori kontrol/kesadaran orang tua
lemah. Masalahnya, apabila orang tua memberikan
izin, apakah mereka sadar tentang pekerjaan yang
dilakukan anak?. Apabila sadar terhadap pekerjaan
anak berarti orang tua juga menjadi pelaku kekerasan
secara tidak langsung. Sedangkan membiarkan saja
terhadap apa yang dilakukan anak, berarti orang tua
juga menjadi pelaku kekerasan terhadap anak. Karena
dengan membiarkan, maka kemungkinan anak akan
menjadi korban kekerasan dalam pekerjaan sangat
besar. 2) Karena adanya bujuk rayu dari calo atau
penyalur pekerja pada warung kopi lesehan. 3) Adanya
kesempatan yang luas, atau tidak adanya hambatan
untuk mengajak mereka melakukan pekerjaan sebagai
pelayan.
Beberapa penyebab di atas juga tidak terlepas
dari adanya faktor-faktor dari dalam dan luar keluarga.
1) Faktor dari dalam adalah: (a) Cara hidup keluarga.
Dalam masalah ini, keluarga sangat mempengaruhi
sikap anak untuk melakukan pekerjaan sebagai pelayan.
Misalnya, sikap orang tua yang menuntut anak untuk
membantu ekonomi keluarga dengan meninggalkan
bangku sekolah, tapi tidak diimbangi dengan perhatian/
kontrol terhadap apa yang dilakukan anak. Artinya,
sama sekali tidak ada seleksi terhadap apa yang
akan dilakukan anak. (b)Dalam membesarkan dan
mendidik anak sebagai pribadi; Anak seharusnya tidak
diperlakukan sebagai sebuah barang mati. Ia adalah
individu, subyek, seorang pribadi. Konsep ini tidak
pernah dilakukan, karena kemampuan orang tua akan
hal ini masih sangat lemah. Artinya, ketika masalah
ekonomi muncul, maka masalah yang penting terkait
68

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

Sosiologi Anak Jalanan dalam Perspektif Undang-Undang...

perkembangan kepribadian anak menjadi diabaikan.
(b) Kemiskinan dalam keluarga; faktor inilah yang
menyebabkan
rendahnya
pendidikan,
sehingga
membawa mereka untuk memilih waktu luang sebagai
pekerja anak.
Sedangkan faktor yang ke 2) Faktor dari luar,
yaitu: (a) Modernisasi dan sistem komunikasi modern;
pada tataran ini seharusnya anak didampingi, tetapi
karena pada tataran ini orang tua juga menjadi korban
modernisasi, maka dampaknya anak menjadi korban
kedua-duanya. (b) Kemiskinan struktural. Artinya,
orang tua pekerja anak bisa jadi merupakan korban
kemiskinan struktural, sehingga masyarakat yang pada
masa lalu masih mempunyai sikap kekeluargaan, menjadi
lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan, sampai
kehilangan orientasi nilai. Dampaknya, sosial kontrol
masyarakat dalam masalah ini rendah. (c) Keluarga dan
sistem nilai. Artinya dalam proses transformasi sosial
yang sedang berlangsung ini, sistem nilai yang baru
belumlah mapan. Sehingga belum ada kejelasan, mana
yang akan digunakan sebagai pegangan untuk tetap
eksis di masyarakat. Apakah karena tingkat pendidikan
atau tingkat ekonomi/kekayaan. Dalam kasus ini orang
tua lebih menganggap ekonomi sebagai pegangan untuk
tetap eksis dalam masyarakat, walaupun dengan itu dia
harus mengorbankan masa depan anak.
Oleh karena itu, untuk menyimpulkan penyebab
anak menjadi pekerja anak menurut teori Strukturalisme
ada beberapa penyebab yaitu: struktur norma-norma
hukum. Setidaknya ada tiga elemen struktur normanorma hukum. 1) Deskripsi mengenai situasi, misalnya,
orang mempekerjakan anak, maka ada norma-norma
tentang pekerjaan untuk anak, tetapi pada tataran ini
norma-norma yang seharunya tidak bisa diterapkan,
PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

69

Ridho Rokamah

karena norma-norma itu telah terkikis oleh kemajuan
zaman dan kebutuhan untuk mengejar ekonomi, 2)
Disposisi atau rekomendasi, misalnya, jika seseorang
mempekerjakan anak, maka dia harus mempekerjakan
sesuai dengan pekerjaan yang boleh dilakukan anak.
Rekomendasi ini tidak pernah dilakukan oleh pedagang
maupun orang tua anak, sehingga pekerjaan apa
yang akan dilakukan anak tidak dapat dikontrol oleh
peraturan yang berlaku, dan 3) Elemen sanksi, misalnya,
jika orang yang mempekerjakan anak tidak sesuai
dengan kriteria pekerjaan yang boleh dilakukan anak,
maka sanksi akan dijatuhkan dalam hal ini. Elemen
sanksi ini tidak bisa atau sulit dilakukan karena aparat
penegak hukum dan juga masyarakat yang mengetahui
sendiri merasa kesulitan menerapkan karena terbentur
oleh kebutuhan masyarakat untuk mencari ekonomi.
Dari paparan di atas, ada beberapa hal
yang harus dirubah dalam masyarakat. Pertama,
faktor sosio-kultural serta kepercayaan tradisional
yang mempengaruhi persepsi pekerjaan anak yang
menganggap anak bekerja adalah kewajiban untuk
membantu orangtua, tanpa memperhatikan hak dan
perlindungan bagi anak. Kedua, sosialisasi UU dan
peraturan tentang hak dan perlindungan anak serta
permasalahan pekerja anak terhadap pihak yang relevan
belum dilakukan.Ketiga, pelaku ekonomi (pengusaha)
yang melibatkan pekerja anak dalam usaha mereka
harus memperhatikan hak dan perlindungan anak
sesuai UU yang berlaku. Keempat, monitoring atas
kegiatan buruh anak di lapangan dan penegakan hukum
bagi pelanggaran hak buruh anak tanpa kompromi
dan pilih-pilih. Kelima, upaya preventif pemerintah
untuk mencegah semakin meningkatnya pekerja anak
dalam bentuk program pemberdayaan keluarga dan
70

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

Sosiologi Anak Jalanan dalam Perspektif Undang-Undang...

pengentasan kemiskinan. Keenam, kerjasama lintas
departemen yang bersentuhan langsung dengan masalah
pekerja anak. Dinas pendidikan sedapat mungkin
mem prioritaskan bantuan pada anak dalam darurat
ekonomi agar mereka tetap dapat bersekolah. Dinas
Kesehatan dan Dinas Sosial dalam upaya pemenuhan
tumbuh kembang anak, baik isik maupun mental secara
optimal.

4. Implementasi Undang-Undang Penanggulangan Pekerja
Anak di Kabupaten Ponorogo
Berdasarkan realitas di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa upaya pencegahan terhadap fenomena pekerja anak
ini terhambat karena upaya pencegahan belum dilaksanakan
secara maksimal oleh semua komponen masyarakat, namun
bagaimana implementasi undang-undang ini bisa dilihat
dari hasil wawancara dengan masyarakat dan pemerintah
berikut. Menurut bapak Junaidi, “sebaiknya undang-undang
perlindungan anak ini disosialisasikan kepada masyarakat
luas, karena masyarakat belum banyak yang tahu”.
Hal yang sama juga diungkapkan bapak Slamet
Hariyono, “kurangnya sosialisasi dari undang-undang ini
dan tindakan yang konkrit”. Berdasarkan pernyataan kedua
tokoh tersebut berarti penyebab masyarakat tidak mentaati
undang-undang ini karena masyarakat belum tahu bahwa
undang-undang penanggulangan anak ini sudah ada.
Berbeda dengan kedua pendapat di atas, bapak
Edi Wiyono menyampaikan, “undang-undang ini sudah
bagus untuk melindungi anak, tapi masalahnya kadang
kita berbenturan dengan masyarakat. Kemarin kami sudah
melakukan koordinasi dengan Bina Mitra untuk melakukan
pembinaan”. Pernyataan Bapak Edi Wiyono ini menunjukkan
dari segi sosialisasi undang-undang beliau sudah mendapatkan,
dan pada tataran praktis sudah dilakukan.
PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

71

Ridho Rokamah

Menyikapi fenomena ini Adi Harianto dari
Disnakertrans menyampaikan bahwa; “undang-undang
ini cukup jelas tetapi kalau diterapkan akan terjadi
benturan dalam masyarakat maka perlu sosialisasi”. Dia
menambahkan, “kendala utama kenapa undang-undang ini
tidak bisa diterapkan dalam masyarakat adalah masyarakat
belum sadar dan tahu manfaat undang-undang ini, serta
kewibawaan hukum kita lemah di mata masyarakat”.
Apa yang disampaikan di atas menunjukkan bahwa
sosialisasi undang-undang ini memang perlu dilakukan
karena sebagian masyarakat masih belum mengetahui
apabila undang-undang ini sudah ada, dan yang terpenting
memberikan kesadaran kepada masyarakat harus menjadi
prioritas utama.
Dalam melakukan sosialisasi dan kesadaran akan
penanggulangan pekerja anak bukan menjadi tugas
satu kelompok saja, tetapi tugas dari semua komponen
masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Adi Harianto,
“kita harus bekerjasama dengan semua elemen masyarakat
untuk mengentaskan masalah ini, dan kita tidak bisa bekerja
sendiri-sendiri”. Terkait masalah ini, bapak Jarwo dari Bina
Mitra juga menyampaikan bahwa dari segi pembinaan sudah
pernah dilakukan. Tapi dari segi lain memang masih belum
bisa dilakukan.
Beberapa pendapat yang sudah disampaikan di atas
menunjukkan bahwa pada prinsipnya dari masing-masing
elemen masyarakat ini sudah ada yang melakukan upaya
sosialisasi dan pembinaan, tetapi karena apa yang mereka
lakukan ini masih terpisah-pisah, maka implementasi undangundang ini belum bisa mendapatkan hasil yang maksimal.
Kasus yang terjadi pada pelayan warung kopi lesehan
pinggir jalan di Kabupaten Ponorogo merupakan realitas
akan lemahnya penegakan hukum. Penegakan hukum
sebagai proses sosial tidak bersifat tertutup, tetapi melibatkan
72

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

Sosiologi Anak Jalanan dalam Perspektif Undang-Undang...

lingkungannya. Penegakan hukum dipengaruhi oleh berbagai
faktor yaitu: 1). Hukumnya sendiri, 2). Penegak hukum, 3).
Sarana atau fasilitas, 4). Masyarakat dan 5). Kebudayaan
(Soerjono Soekanto, 1986: 5).
Pertama, hukumnya sendiri, artinya peraturan hukum
yang semakin baik akan semakin memungkinkan penegakannya
dan begitu pula sebaliknya. Secara yuridis, undang-undang
ini ditetapkan melalui prosedur yang seharusnya dan tidak
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi kedudukannya,
misalnya undang-undang ketenagakerjaan. Jadi, secara
yuridis sebenarnya tidak ada masalah.Kemudian secara
sosiologis, artinya jika peraturan tersebut diakui dan diterima
oleh masyarakat. Apabila undang-undang itu diterima dan
diakui oleh masyarakat, maka tidak akan ada masalah dalam
realisasinya. Sebagaimana undang-undang ketenagakerjaan,
undang-undang tentang penghapusan pekerja anak ini
memang masih mengalami kendala dalam pelaksanaannya.
Dalam realisasinya, kalangan pengusaha, pedagang, PJTKI,
dan kelompok tertentu masih belum bisa menerima karena
secara ekonomis mereka dirugikan. Terakhir secara ilosois
apabila peraturan hukum tersebut sesuai dengan cita-cita
hukum sebagai nilai positif yang tertingi. Walapun secara
ilosois peraturan itu sesuai dengan cita-cita hukum, tetapi
karena secara sosiologis berbenturan dengan keinginan
sebagian masyarakat untuk mencari keuntungan dengan cara
mengeksploitasi anak di bawah umur, maka undang-undang
ini tetap tidak bisa direalisasikan.
Kedua, penegak hukum, terkait dengan UU No.1
tahun 2000 ini, peran mereka sangat menentukan, tetapi
peran tersebut belum bisa dilakukan secara maksimal karena
adanya berbagai kendala, seperti kemauan dari stakeholder
yang dalam hal ini selain perintah juga perlu dukungan dana
yang memadai.

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

73

Ridho Rokamah

Ketiga, sarana atau fasilitas.Poin ketiga ini juga sulit
untuk direalisasikan karena sarana atau fasilitas itu masih
sangat minim yang diberikan pemerintah.
Keempat, masyarakat sebagai tempat berlakunya
dan diterapkannya hukum (BPHN, 1975: 116).Kesadaran
masyarakat dalam menghapus pekerja anak masih sangat
rendah, artinya masih hanya pada tataran teori belum
menyentuh aksi secara terintegrasi. Bahkan kenapa undangundang ini sulit ditegakkan karena komponen yang terkait
seperti anak, orang tua, pedagang, dan masyarakat yang
melihat hanya membiarkan saja.
Kelima, kebudayaan yang mencakup nilai-nilai/norma
hukum yang berlaku. Walaupun keberadaan undang-undang
ini tidak bertentangan dengan norma adat yang seharunya
berlaku, tetapi karena undang-undang dan norma ini
berbenturan dengan sebuah kepentingan yaitu kepentingan
ekonomi, maka realisasi undang-undang tetap mengalami
hambatan.
Apabila implementasi undang-undang ini dianalisis
dengan teori strukturalisme, maka menurut teori struktural,
kendala yang terjadi dalam penegakan hukum sangat mungkin
terjadi karena: 1) Tidak adanya juklak yang jelas dan tegas
bagaimana seharusnya undang-undang itu berfungsi dan
berjalan. 2) Segenap komponen terutama stakeholder mulai
tingkatan yang paling atas sampai yang paling bawah tidak
memberikan contoh bagaimana nilai-nilai yang ada dalam
undang-undang itu bisa diadopsi dalam realitas social. 3)
Walaupun sebenarnya undang-undang ini telah mewakili sub
kultur dalam masyarakat, tetapi karena terbentur dengan
keinginan dan kepentingan, maka tidak bisa direalisasikan.
4) Undang-undang ini belum terbentuk oleh ekspektasi/
pengetahuan masyarakat tentang hukum, dan 5) Elemen
dari struktur nyata dari sistem hukum belum bisa berjalan
secara maksimal.
74

PALASTREN, Vol. 7, No.1, Juni 2014

Sosiologi Anak Jalanan dalam Perspektif Undang-Undang...

Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa
penyebab tidak bisa ditegakkannya hukum ini karena banyak
faktor yang saling kait mengkait, mulai dari keberadaan
hukum baik secara sosiologis maupun ilosois, budaya/
norma masyarakat yang mulai luntur, sarana atau fasilitas
yang tidak memadai, aparat penegak yang belum tegas dan
mempunyai kemauan yang kuat, dan kesadaran dari seluruh
masyarakat untuk menghapus pekerja anak secara integrasi
belum terbentuk.
Beberapa penyebab tidak bisa ditegakkannya hukum
apabila dikaji kembali, maka penyebab yang paling dominan
mengapa undang-undang ini tidak bisa ditegakkan adalah
komponen penegak hukum dan sanksi. Artinya, selama
ini dalam berbagai kasus yang menyangkut dengan hukum
seringkali tidak terealisasikan karena penegak hukum tidak
bisa bersikap tegas.

Dokumen yang terkait

Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Melalui Gerakan Pemberdayaan Dan Kesejahteraan Keluarga Ditinjau Dari Prespektif Hukum Administrasi Negara (Studi Di Kabupaten Kutai Timur)

2 168 113

Anak luar nikah dalam undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974: analisis putusan MK tentang status anak luar nikah

0 3 86

ANALISIS UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974 DALAM PERSPEKTIF GENDER.

0 1 26

PERLINDUNGAN PEKERJA ANAK YANG BEKERJA DI MALAM HARI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN JO. UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 0 1

URGENSITAS MANAJEMEN WAKTU DALAM PENDIDIKAN SPIRITUAL ANAK : STUDI KASUS PADA KOMUNITAS PENGAJIAN MUSLIMAT DINOYO, KOTA MALANG, JAWA TIMUR | Hanafi | PALASTREN Jurnal Studi Gender 940 3419 1 PB

0 0 18

ETOS KERJA DAN KUASA PEREMPUAN DALAM KELUARGA : STUDI KASUS KELUARGA NELAYAN, DI BRONDONG, LAMONGAN, JAWA TIMUR | Farihah | PALASTREN Jurnal Studi Gender 938 3411 1 PB

0 0 20

EVALUASI PEMBELAJARAN PERSPEKTIF KESETARAAN GENDER DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL | ismanto | PALASTREN Jurnal Studi Gender 974 3475 1 PB

0 0 20

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG KONVENSI ILO NO. 182 MENGENAI PELARANGAN DAN TINDAKAN SEGERA

0 0 5

Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 Tentang : Perlindungan Varietas Tanaman

0 3 62

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI PEKERJA ANAK A. Pengaturan Eksploitasi Pekerja Anak dalam Peraturan Perundang- undangan di Indonesia 1. Undang-Undang 2.1 Undang-Undang nomor 20 tahun 1999 Undang-Undang tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138

0 1 22