Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Kualitas Mahasiswa dengan Rinitis Alergi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hidung dan Sinus Paranasal
2.1.1. Anatomi hidung
Berdasarkan struktur anatominya, hidung dibagi menjadi hidung luar dan hidung
dalam. Hidung luar dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : 1) Kubah tulang,
merupakan bagian yang paling atas yang tak dapat digerakkan, 2) Kubah
kartilago, merupakan bagian dibawah kubah tulang yang dapat digerakkan, 3)
Lobulus hidung, bagian yang paling bawah dan mudah digerakkan. Kubah
kartilago dibentuk oleh kartilago lateralis supperior yang saling berfusi di garis
tengah serta berfusi pula dengan tepi atas kartilago septum kuadrangularis. Bentuk
dari sepertiga lobulus hidung dipertahankan oleh kartilago lateralis inferior.
Lobulus menutupi vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh kolumela,
di lateral ala nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung. Mobilitas lobulus hidung
penting untuk ekspresi wajah, gerakan mengendus, dan bersin.7

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Struktur Dinding Lateral Hidung10
Sedangkan hidung dalam, terbentang dari os internum di anterior hingga

koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum
hidung merupakan garis tengah yang membagi hidung menjadi 2 buah rongga
yang pada bagian lateral masing-masing rongga terdapat konka. Konka memiliki
rongga udara yang tak teratur di antaranya, yaitu meatus superior, media, dan
inferior. Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian inferior.
Sinus frontalis, etmoidalis anterior, dan maksilaris bermuara pada hiatus
semilunaris dari meatus media. Sel – sel sinus etmoidalis posterior bermuara pada
meatus

superior,

sedangkan

sfenoetmoidalis. Ujung -

sinus

sfenoidalis

berakhir


pada

resesus

ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil di

bagian medial dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah
hidung.7

2.1.2. Vaskularisasi dan persarafan rongga hidung

Universitas Sumatera Utara

Suplai darah ke rongga hidung berasal dari cabang arteri maksilaris interna.
Cabang sfenopalatina dari arteri maksilaris interna menyuplai daerah konka,
meatus dan septum. Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika
menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sinus maksilaris
disuplai oleh cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis. Sedangkan
sinus sfenoidalis mendapatkan suplai dari alveolaris dari arteri maksilaris interna

dan cabang faringealis dari arteri maksilaris interna.7
Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosa yang rapat di bawah
membrana mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media dan inferior,
serta bagian bawah septum dimana ia membentuk jaringan erektil. Drainase vena
terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina.7
Salah satu saraf yang berperan dalam rongga hidung adalah N. olfaktorius
yang terdapat pada membrana mukosa. Saraf ini naik ke atas melalui lamina
cribrosa dan mencapai bulbus olfactorius. Saraf – saraf sensasi umum berasal dari
divisi ophtalmica dan maxillaris N. trigeminus. Persarafan bagian anterior rongga
hidung berasal dari n. etmoidalis anterior. Sedangkan bagian posteriornya berasal
dari ramus nasalis, ramus nasopalatinus, dan ramus palatinus ganglion
pterygopalatinum.11
2.1.3. Sistem limfatik
Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang pembuluh
fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian anterior
hidung – vestibulum dan daerah prekonka.7
Jaringan

limfatik


posterior

mengurus

mayoritas

anatomi

hidung,

menghubungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang, yaitu saluran
superior, media, dan inferior.7


Kelompok superior, berasal dari konka media dan superior dan bagian
dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba eustakius dan
bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea.




Kelompok media, berjalan di bawah tuba eustakius, mengurus konka
inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai
kelenjar limfe jugularis.

Universitas Sumatera Utara



Kelompok inferior, berasal dari septum dan sebagian dasar hidung,
berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna.7

2.1.4. Anatomi sinus paranasal
Sinus paranasal merupakan rongga-rongga udara yang terdapat di dalam os
maxilla, os frontale, os sphenoidale, dan os ethmoidale. Sinus memiliki fungsi
sebagai resonator suara, juga untuk mengurangi berat tengkorak. Bila muara sinus
tersumbat atau sinus terisi cairan kualitas suara akan berubah.11
Sinus maksilaris terdapat dalam korpus maksilaris yang berbentuk piramid
dengan basis membentuk dinding lateral hidung dan apeks di dalam prosesus
zigomatikus maksila. Membran mukosa sinus maksilaris dipersarafi oleh n.
alveolaris superior dan n. infraorbitalis.11

Sinus frontalis ada 2 buah yang dipisahkan oleh septum tulang yang sering
menyimpang dari bidang median. Setiap sinus berbentuk segitiga dan meluas ke
atas. Membran mukosanya dipersarafi oleh n. supraorbitalis.11
Sinus sfenoidalis, juga terdiri atas 2 buah rongga di dalam corpus ossis
sphenoidalis. Membran mukosanya dipersarafi oleh n. etmoidalis posterior.11
Sinus etmoidalis yang terdapat di antara hidung dan mata. Sinus ini dibagi
menjadi kelompok anterior, media, dan posterior. Kelompok anterior bermuara ke
dalam infundibulum, kelompok media bermuara ke dalam meatus media, dan
kelompok posterior bermuara ke dalam meatus superior. Membran mukosanya
dipersarafi oleh n. etmoidalis anterior dan posterior.11

2.1.5. Fisiologi hidung
Hidung sebagai organ penting dalam jalur pernafasan manusia memiliki beberapa
fungsi penting yaitu: 1) sebagai organ penghidu, 2) sebagai tahanan jalan nafas, 3)
sebagai penyesuai udara,

4) sebagai purifikasi udara, dan 5) sebagai fungsi

mukosiliar.7
Teori struktural, teori revolusioner, dan teori fungsional menjelaskan fungsi

fisiologis hidung dan sinus paranasal, antara lain12:

Universitas Sumatera Utara

1. Fungsi respirasi, mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal
2. Fungsi penghidu, karena terdapatnya mukosa olfaktorius (penciuman),
dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik, berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. Fungsi statistik dan mekanik, untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
5. Refleks nasal

2.1.6. Sistem transpor mukosiliar
Transpor mukosiliar atau pembersihan mukosiliar adalah mekanisme pertahanan
terhadap setiap zat / mikroorganisme asing yang masuk ke dalam hidung. Silia
dan lapisan mukus merupakan komponen yang berperan penting dalam hal ini.
Silia memiliki panjang sekitar 6 mikron dengan diameter 250 nm, jumlah silia

bervariasi antara 50 – 100 setiap sel saluran nafas, dipengaruhi oleh usia dan
posisinya di saluran nafas. Jumlahnya dalam saluran nafas diperkirakan sekitar
109 silia per cm2.13Strukturnya terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal
yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus, semuanya terbungkus dalam
membran sel berlapis tiga yang tipis dan rapuh.7 Silia memiliki gerakan yang
metakronis yang berfungsi mendorong mukus untuk bergerak ke arah nasofaring,
kemudian ke orofaring dan hipofaring, yang selanjutnya sekretnya akan ditelan.13
Kerja silia dapat terganggu oleh adanya udara yang sangat kering, yang sering
terjadi di rumah pada bulan – bulan musim dingin dengan pemanasan. Polusi
udara (nitrogen dioksida dan sulfur dioksida) mengganggu efektivitas silia dalam
berbagai cara.7
Lapisan mukus merupakan sawar terhadap alergen, virus, dan bakteri.
Beberapa molekul yang terlibat adalah defensin, lisozim, dan IgA. Mukus
memiliki viskositas yang rendah, sehingga mempermudah laju gerak silia, dan
juga mencegah glycoprotein dari lapisan mukus menempel pada glycocalyx dari

Universitas Sumatera Utara

membran apikal epitel. Pada individu sehat, mukus dari saluran nafas
mengandung 97% air dan hanya 3% zat padat yang 30% terdiri dari musin.13

Arah gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang dikarenakan silia lebih
aktif pada meatus media dan inferior yang terlindung, maka cenderung menarik
lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah – celah ini. Pada septum arah
gerakannya ke belakang dan ke bawah menuju dasar. Pada dasar hidung, arahnya
ke belakang dan cenderung bergerak di bawah konka inferior ke dalam meatus
inferior. Sedangkan sisi medial konka, arah gerakan ke belakang dan ke bawah,
lewat di bawah tepi inferior meatus yang bersangkutan. Kecepatan gerakan mukus
dipengaruhi oleh kerja silia yang berbeda di berbagai bagian hidung. Kecepatan
pada segmen hidung anterior mungkin hanya seperenam dari segmen posterior,
yaitu sekitar 1 – 20 mm/menit.7
Ada dua penyebab gangguan pada pembersihan mukosiliar, yaitu: 1) gerak
silia yang dihambat secara langsung, seperti pada kasus defek genetik pada
protein sentral aksonem, atau 2) disfungsi sementara yang disebabkan oleh infeksi
dan pengaruh lingkungan. Beberapa kasus yang sering mengganggu proses
pembersihan mukosiliar adalah diskinesia silia primer dan sekunder, kistik
fibrosis, PPOK, asma, dan gangguan rinologi lain ya.13

2.2. Rinitis Alergi
2.2.1. Definisi rinitis alergi
Rinitis alergi adalah suatu penyakit respon inflamasi yang diperantarai oleh IgE

pada membran mukosa hidung setelah terpajan oleh alergen inhalan. Gejalanya
meliputi rinore (anterior atau posterior), hidung tersumbat, hidung gatal, dan
bersin.14

2.2.2. Klasifikasi rinitis alergi
Rinitis alergi dahulu diklasifikasikan berdasarkan waktu serangannya, dibagi
menjadi seasonal (musiman), parennial (menahun), dan occupational (terkait
pekerjaan). Rinitis alergi parennial sering disebabkan oleh alergen yang berasal
dari dalam rumah seperti debu, tungau, jamur, dan insekta. Sedangkan rinitis

Universitas Sumatera Utara

alergi seasonal berkaitan dengan variasi alergen di luar lingkungan rumah seperti
polen (serbuk sari) ataupun jamur. Namun klasifikasi ini masih belum
memuaskan,

sehingga

ARIA




WHO

melakukan

revisi

dan

mengklasifikasikannya berdasarkan lamanya serangan dan derajat keparahan.2
Tabel 2.1 Klasifikasi Rinitis Alergi2
Klasifikasi
Intermittent

Persistent

Gejala
Gejala berlangsung kurang dari 4 hari/minggu
atau kurang dari 4 minggu
Gejala berlangsung lebih dari 4 hari/minggu
dan lebih dari 4 minggu
Tidak ditemukan gangguan tidur, aktivitas

Mild

harian, olahraga, bersantai, aktivitas sekolah
dan bekerja
Ditemukan adanya gangguan tidur, gangguan

Moderate – Severe

terhadap aktivitas harian, olahraga, bersantai,
aktivitas sekolah dan bekerja

Berdasarkan tabel di atas, maka rinitis alergi diklasifikasikan menjadi:


Rinitis alergi dengan gejala intermittent – mild



Rinitis alergi dengan gejala intermittent – moderate-severe



Rinitis alergi dengan gejala persistent – mild



Rinitis alergi dengan gejala persistent – moderate-severe

2.2.3. Faktor resiko rinitis alergi
Gejala dari rinitis alergi berkembang sebelum usia 20 tahun pada 80% kasus.
Pada anak yang memiliki riwayat rinitis alergi pada kedua orang tuanya, akan
mendapatkan rinitis alergi pada usia yang lebih muda dibanding dengan anak
yang memiliki riwayat rinitis alergi pada salah satu orang tuanya. Rinitis alergi
berkembang pada 1 dari 5 orang anak pada usia 2-3 tahun dan kurang lebih 40%

Universitas Sumatera Utara

pada usia 6 tahun. Sekitar 30% berkembang pada usia remaja.15 Pada anak-anak
rinitis alergi lebih dominan terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan. Tetapi
pada orang dewasa prevalensinya lebih sering terjadi pada perempuan.16
Beberapa faktor resiko lainnya yang berpengaruh adalah :


Riwayat atopi dari keluarga. Ada peranan genetik yang turut menentukan
kondisi

ini.

Beberapa

polimorfisme

penelitian

pada

(1,2,3,5,6,7,9,11,12,13,14,16,17,19,dll)

menemukan

adanya

beberapa
dan

juga

bentuk

kromosom
dijumpai

adanya

perbedaan distribusi allel yang berkaitan alergi (IL-4 dan gen IL-4R)
pada beberapa ras.17


Serum IgE > 100 IU/ml pada anak sebelum usia 6 tahun.



Hasil positif pada uji cukit kulit / Skin Prick Test (SPT).16



Terpapar alergen. Alergen inhalan merupakan faktor utama. Alergen
inhalan yang paling sering terlibat adalah debu, tungau rumah
(Dermatophagoides pteronyssinus & Euroglypus maynei), polen, jamur,
bulu binatang, polusi (NO, Sulfur dioksida, CO, ozon) . Makanan jarang
menyebabkan terjadinya rinitis alergi.2

2.2.4. Patofisiologi rinitis alergi
Rinitis alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I yang dimediasi oleh IgE.
Reaksi terdiri atas 2 fase yaitu: 1) reaksi fase cepat, yang terjadi segera setelah
paparan dengan alergen, 2) reaksi fase lambat, yang terjadi setelah 4-8 jam setelah
paparan alergen.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2. Mekanisme Rinitis Alergi18

Reaksi alergi tipe I diawali dengan adanya sensitisasi. Pada fase ini, setiap
alergen / antigen yang masuk ke mukosa akan diangkut oleh antigen presenting
cell (APC) melalui MHC Class II ke sel CD+4 T limfosit (T cell). T cell akan
berdiferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2. Selanjutnya sel Th2 akan melepaskan
berbagai sitokin seperti IL-4 dan IL-13. Sitokin tersebut akan berikatan dengan
reseptor di permukaan sel B dan mengaktifkan sel B untuk memproduksi IgE
spesifik antigen yang akan berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada
reseptor Fc.19
Jika suatu saat alergen yang sama terpapar kembali pada mukosa hidung yang
telah tersensitisasi, maka alergen tersebut akan berikatan dengan kompleks IgE
dan akan menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast dan basofil yang akan
mengeluarkan mediator – mediator neuroaktif dan vasoaktif seperti histamin,
leukotrien, prostaglandin, heparin, kinin, dan protease.19 Mediator seperti histamin
akan langsung mempengaruhi pembuluh darah (meningkatkan permeabilitas
vaskular dan kebocoran plasma) dan ujung saraf sensoris, sedangkan leukotrien

Universitas Sumatera Utara

menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi dari saraf sensoris akan menimbulkan rasa
gatal dan berbagai refleks sentral. Hal tersebut meliputi refleks bersin dan refleks
parasimpatis yang menstimulasi sekresi banyak mukus di hidung dan kejadian
vasodilatasi. Hiperresponsif saraf sensoris merupakan gejala yang paling
menonjol pada rinitis alergi.20
Pada reaksi fase lambat, mediator inflamasi yang paling berperan adalah
eosinofil. Aktivasi dari eosinofil ini akan mengeluarkan beberapa produk granul
yang toksik seperti major basic protein (MBP), eosinophil cationic protein (ECP),
dan eosinophil peroxidase (EPO) yang dapat merusak sel – sel epitel dari rongga
hidung.19

2.2.5. Manifestasi klinis rinitis alergi
Beberapa gejala klinis yang mengarah ke rinitis alergi jika dijumpainya 2 atau
lebih gejala yang berlangsung lebih dari 1 jam selama beberapa hari, yaitu2 :


Rinore (hidung berair)



Bersin, yang sering kambuh (> 5 kali/serangan)



Hidung tersumbat



Hidung terasa gatal



± Konjungtivitis

Namun ada beberapa gejala yang tidak berhubungan dengan rinitis alergi dan
dapat menjadi diagnosa banding yaitu2 :


Gejala unilateral



Hidung tersumbat tanpa gejala lain



Rinore yang mukopurulen



Rinore posterior (post nasal drip) disertai lendir kental



Ada nyeri



Epistaksis berulang



Anosmia

2.2.6. Diagnosis rinitis alergi

Universitas Sumatera Utara

2.2.6.1. Anamnesis
Dalam anamnesis perlu ditanyakan gejala-gejala yang dialami pasien. Gejala
rinitis alergi berbeda dengan rinitis infeksiosa. Respon alergi biasa ditandai oleh
bersin, kongesti hidung, dan rinore yang encer dan banyak. Tidak ada demam dan
biasanya sekret tidak mengental atau menjadi purulen. Gejala penyerta seperti
mual, bersendawa, kembung diare, somnolen atau insomnia dapat juga memberi
kesan suatu alergen yang ditelan, serta membedakan pasien-pasien ini dari
penderita rinitis virus. Pola serangan (hilang timbul / menetap), durasi dan derajat
keparahan perlu ditanyakan serta riwayat penyakit alergi dalam keluarga.7

2.2.6.2. Pemeriksaan fisik
Mukosa hidung pada pasien alergi biasanya basah, pucat, dan berwarna merah
jambu keabuan. Konka tampak membengkak. Polip dapat timbul pada antrum
maksilaris dan regio etmoidalis, kemudian meluas ke dalam meatus superior dan
media.7 Selain itu dijumpai juga tanda khas, yaitu: 1) Allergic shiners / DennieMorgan lines, yaitu bayangan gelap di daerah periorbita karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung, 2) Allergic salute, garis yang timbul akibat
hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan, 3) Allergic crease, garis
horizontal pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah.21 Pada pemeriksaan mata
dapat dijumpai adanya injeksi dan pembengkakan pada konjungtiva palpebra
dengan lakrimasi yang berlebihan.22

2.2.6.3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan secara in vivo dapat dilakukan dengan Skin Prick Test. Pemeriksaan
ini merupakan pemeriksaan yang sensitivitas dan spesifisitasnya baik, di atas
80%.14 SPT merupakan pemeriksaan yang cepat untuk menentukan alergen yang
spesifik dikarenakan reaksi akan muncul pada 15-20 menit setelah paparan. Tetapi
respon fase lambat dapat berlangsung dalam waktu 4-8 jam setelah paparan
alergen.23 Beberapa yang menjadi kontraindikasi SPT adalah pasien dengan asma
berat yang tak terkontrol, adanya penyakit kulit seperti ekzema, penyakit

Universitas Sumatera Utara

kardiovaskular yang berat dan tidak stabil, dan pasien dalam pengobatan betablocker.14
Tabel 2.2 Interpretasi Hasil Skin Prick Test23
Ukuran (mm)

Skala

Interpretasi

15

4+

Very sensitive

Pemeriksaan secara in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan
Radioallergosorbent Test (RAST). Pemeriksaan ini juga digunakan untuk
menentukan alergen spesifik IgE berdasarkan spesimen serum pasien. RAST
menjadi pilihan jika didapati adanya kelainan kulit seperti dermatographism,
ekzema berat, dermatitis yang meluas, dan pasien anak yang tidak kooperatif.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan tanpa mengkhawatirkan terjadinya efek samping
seperti reaksi anafilaksis. Pemeriksaan lain yang juga digunakan untuk
mengevaluasi pasien suspek rinitis alergi adalah rinometri akustik, rinomanometri,
tes provokasi alergen hidung, dan apusan hidung (mengukur kadar eosinofil di
mukosa hidung).14

Universitas Sumatera Utara

2.2.7. Algoritma tatalaksana rinitis alergi

Gambar 2.3. Algoritma Tatalaksana Rinitis Alergi24

Universitas Sumatera Utara

2.2.8. Komplikasi rinitis alergi
Survei epidemiologi secara retrospektif maupun prospektif memperlihatkan
bahwa rinitis alergi sering berkaitan dan bahkan menjadi faktor penyebab dari
asma, sinusitis, dan otitis media efusi. Pada 70% anak yang menderita alergi dan
rinitis kronis dijumpai adanya gambaran radiologis yang abnormal pada sinusnya.
Begitu juga pada anak-anak yang menderita OME, 40-50% memiliki riwayat
rinitis alergi yang telah dikonfirmasi dengan Skin Prick Test (SPT) dan dijumpai
peningkatan serum antibodi IgE.25

2.3. Kualitas Hidup
Kualitas hidup memiliki banyak arti tergantung dari sudut pandang yang
digunakan. Kualitas hidup menurut WHO (1994), didefinisikan sebagai persepsi
individu sebagai laki-laki, atau wanita dalam hidup, ditinjau dari konteks budaya
dan sistem dimana mereka tinggal, dan berhubungan dengan standar hidup,
harapan, kesenangan, dan perhatian mereka. Hal ini terangkum secara kompleks
mencakup kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial
dan hubungan pada karakteristik lingkungan mereka.
Oleh sebab itu kualitas hidup pada setiap orang akan berbeda hasilnya.
Kualitas hidup memberikan manfaat bagi penyelenggara kesehatan, antara lain: 1)
Sebagai parameter keberhasilan suatu terapi, 2) Indikator diperlukannya terapi
suportif, 3) Indikator prognostik, 4) Membantu dalam membuat keputusan, 5)
Informasi dalam alokasi sumberdaya dan kebijakan kesehatan.26
Untuk dapat menentukan taraf kualitas hidup seseorang diperlukan sebuah
instrumen berupa kuesioner yang mengandung sejumlah pertanyaan yang
berkaitan dengan aspek kulitas hidup. Kuesioner dapat bersifat umum dan dapat
bersifat khusus terhadap suatu penyakit. Kuesioner yang sering dipakai untuk
menentukan kualitas hidup secara umum meliputi WHOQOL dan SF-36.
Sedangkan kuesioner yang lebih khusus (spesifik) digunakan untuk mengevaluasi
pengaruh suatu penyakit terhadap kualitas hidupnya. Rinitis alergi adalah salah
satu penyakit yang berdampak terhadap fungsi fisik pasien, emosional, sosial dan
lingkungan sekolah atau pekerjaan penderita. Gangguan belajar sering ditemukan

Universitas Sumatera Utara

pada anak-anak, sedangkan pada orang dewasa sering didapati adanya penurunan
poduktivitas dan konsentrasi.27 Untuk rinitis alergi, kuesioner yang sudah
tervalidasi adalah kuesioner Rhinitis Quality of Life Questionnaire (RQLQ) yang
terdiri atas 28 pertanyaan, 7 area, dan skala 0-6.9

2.4. Cuci Hidung
Cuci hidung bukanlah merupakan suatu hal yang baru, melainkan sudah ada sejak
kurang lebih 15 abad yang lalu pada masyarakat India kuno. Jalaneti dalam
bahasa India adalah perkembangan awal cuci hidung yang merupakan salah satu
dari enam bagian dari terapi yoga (kriyas). Cuci hidung diyakini dapat
membersihkan pernafasan dan akan mengembalikan kejernihan pikiran. Penelitian
ilmiah mengenai cuci hidung pertama kali muncul dalam British Medical Journal
pada tahun 1895. Tahun 2007, sebuah studi meta-analisis dengan RCT
menunjukkan bahwa penggunaan terapi cuci hidung terhadap perbaikan gejala
inflamasi pada hidung menunjukkan hasil peningkatan yang signifikan dengan
standard mean deviation (SMD) 1,14. Cuci hidung merupakan terapi yang murah,
sederhana, dan dapat ditoleransi dengan efek samping yang minimal.28

2.4.1. Mekanisme kerja
Beberapa teori menjelaskan bagaimana peranan cuci hidung terhadap perbaikan
gejala hidung. Teori tersebut menjelaskan kaitan antara penggunaan cuci hidung
dengan pergerakan silia, pembersihan mukus, dan juga waktu transpor mukosiliar.
Lapisan mukus di rongga hidung merupakan pertahanan lini pertama terhadap
segala jenis invasi dari organisme berbahaya. Cuci hidung dengan larutan salin
dapat meningkatkan pergerakan mukus tersebut ke arah nasofaring. Lapisan
mukus juga mengandung beberapa mediator inflamasi seperti histamin,
prostaglandin, leukotrien, defensins dan protein lain yang akan dibersihkan
melalui bilasan hidung menggunakan larutan salin.29 Parsons. et al dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa cuci hidung dengan larutan salin hipertonik
memperbaiki waktu transpor mukosiliar pada pasien rinosinusitis (akut &
kronis).30

Universitas Sumatera Utara

Sejumlah hipotesa yang menjelaskan peranan cuci hidung terhadap perbaikan
gejala hidung antara lain31 :
1. Perbaikan terhadap pembersihan mukosiliar
2. Mengurangi edema mukosa
3. Mengurangi mediator inflamasi
4. Membersihkan kotoran (kerak) dan lendir kental di rongga hidung.

2.4.2. Indikasi dan kontraindikasi serta efek samping
Cuci hidung diindikasikan pada pasien-pasien dengan gangguan sinonasal, di
antaranya dapat berupa rinosinusitis (akut & kronis), rinitis alergi & non alergi,
ISPA, dan terapi pasca bedah sinus endoskopi.8 Penggunaannya perlu
diperhatikan pada pasien rinitis terkait usia, rinitis alergi, perforasi septum hidung,
dan rinosinusitis yang berkaitan dengan infeksi HIV.32 Namun pada pasien
dengan trauma wajah atau trauma basis cranii, terapi ini dikontraindikasikan.
Cuci hidung dengan larutan salin menghasilkan efek samping yang minimal, di
antaranya berupa iritasi lokal, rasa gatal, rasa terbakar, otalgia, dan cairan yang
tertinggal di rongga sinus.29

2.4.3. Bahan cuci hidung
Larutan yang digunakan untuk membilas rongga hidung dapat berupa larutan
isotonis atau hipertonis, buffer ataupun non-buffer. Penelitian Talbot et al
menunjukkan bahwa penggunaan larutan salin hipertonis 3% menurunkan waktu
transpor mukosiliar lebih baik daripada penggunaan saline 0,9% dengan
perbandingan waktu 3,1 menit banding 0,14 menit.31 Hal ini sejalan dengan
penelitian Immanuel yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan penggunaan
larutan salin hipertonis dan isotonis terhadap penurunan waktu transpor
mukosiliar.33 Larutan salin hipertonis menurunkan kekentalan daripada lendir
mukus, sehingga mempengaruhi waktu transpor mukosiliar. Salin hipertonis juga
mengurangi edema mukosa secara difusi melalui kandungan osmolaritasnya.
Larutan ini dapat mengiritasi membran rongga hidung.

Universitas Sumatera Utara

Efek pH terhadap kecepatan pembersihan mukosiliar juga diteliti. Hasilnya
menunjukkan tidak ada perbedaan kecepatan pembersihan mukosiliar pada
kelompok yang diberikan larutan salin hipertonis buffer (pH 8) dan larutan salin
hipertonis non-buffer.34
Tabel 2.3 Komposisi Larutan untuk Irigasi Rongga Hidung16
Referensi

NaCl (%)

Garam (nonion)

Air Hangat

Soda Kue

Buffer

Wormald, 2009

0,9

1 sendok teh

500 ml

1 sendok teh

+

Tomooka, 2000

1,6

½ sendok teh

250 ml

-

-

Rombago, 2002

2

1 sendok teh

480 ml

½ sendok teh

+

Brown, 2004

2

1,5

950 ml

-

-

Talbot, 1997

3

2-3 sendok teh

950 ml

1 sendok teh

+

Fellows, 2006

0,9

1 sendok teh

480 ml

-

-

Beberapa jenis obat yang juga sering ditambahkan pada penggunaan cuci
hidung

adalah antibiotik dan antifungi. Gentamisin dan Tobramisin adalah

antibiotik yang paling sering digunakan. Salep Bactroban sering dipakai untuk
mengeradikasi infeksi stafilokokus. Amfoterisin B yang dilarutkan dalam air steril
(100µg/ml) dapat memperbaiki gejala sinusitis dan polip hidung. Namun dalam
penelitian lain oleh Gosepath et al, bahwa penggunaan antiseptik dan antifungi
(Betadine, hydrogen peroxide, amphotericin B, itraconazole) dapat menurunkan
pembersihan mukosiliar.29

2.4.4. Metode cuci hidung
1. Persiapkan alat dan bahan berupa spuit 10 cc, larutan salin (NaCl 0,9%
atau NaCl 3%), tisu, dan wadah tampung.
2. Isi wadah tampung dengan larutan salin yang akan digunakan.
3. Lepaskan jarum dari spuit dan isi spuit tersebut dengan larutan salin yang
akan digunakan.
4. Posisikan kepala agar miring 45° ke salah satu sisi sehingga salah satu
lubang hidung berada di atas yang lainnya.

Universitas Sumatera Utara

5. Posisikan spuit lurus terhadap lubang hidung (jangan menekan bagian
tengah dan septum hidung) dan mulut terbuka.
6. Bernafaslah melalui mulut dan semprotkan cairan tersebut ke dalam
rongga hidung bagian atas hingga keluar melewati lubang hidung yang
dibawahnya.
7. Ketika spuit sudah kosong, maka hembuskan udara secara lembut melalui
kedua lubang hidung untuk membersihkan sisa cairan dan mukus yang
tertinggal.
8. Bersihkan hidung dengan menggunakan tisu.35,36

Gambar 2.4. Teknik Melakukan Cuci Hidung35

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Rata-rata Kadar pH Cairan Hidung pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara

1 18 64

Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Rata-rata Kadar pH Cairan Hidung pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara

0 0 14

Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Rata-rata Kadar pH Cairan Hidung pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara

0 0 2

Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Rata-rata Kadar pH Cairan Hidung pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara

0 0 4

Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Kualitas Mahasiswa dengan Rinitis Alergi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

1 2 13

Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Kualitas Mahasiswa dengan Rinitis Alergi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

0 1 2

Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Kualitas Mahasiswa dengan Rinitis Alergi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2 2 4

Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Kualitas Mahasiswa dengan Rinitis Alergi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Chapter III VI

0 2 24

Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Kualitas Mahasiswa dengan Rinitis Alergi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

1 1 4

Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Kualitas Mahasiswa dengan Rinitis Alergi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

1 1 44