Sarinah : Ideologi Gerakan Perempuan Soekarno (Studi Analisis Wacana Buku ―Sarinah‖ Karya Soekarno)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Keadaan perempuan yang selalu mengalami penindasan dan kekerasan
oleh pihak laki-laki, akhirnya membangunkan dan membangkitkan suatu
pergerakan yang berusaha meniadakan dan menghapuskan segala ketertindasan.
Sudah suatu hukum alam, bahwa perempuan selalu dinomorduakan dan menjadi
subordinasi dari kaum laki-laki. Namun, penindasan dan kekerasan yang dialami
oleh kaum perempuan itu bukan berarti tidak menimbulkan suatu pergerakan.
Pergerakan perempuan lahir pada dunia Barat. Di Dunia Barat pertama sekali
terdengar semboyan ―Perempuan, Bersatulah!!!‖. Pada Dunia Barat juga
berkembangnya contoh untuk kaum perempuan di belahan dunia lain. Bahkan,
dari mulut dunia Barat juga, yaitu Khatarina Brechkovskaya, pertama-tama
terdengar seruan ―Hai wanita Asia, sadar dan melawanlah‖.1
Tatkala perempuan di Dunia Barat sudah sadar, sudah bergerak, sudah
melawan, maka perempuan di Dunia Timur masih saja diam dan menerima derita
pingitan dan penindasan dengan tiada proses sedikit untuk melakukan suatu
pergerakan. Perempuan di Dunia Timur tidak menyadari bahwa ada kemungkinan

1


Ir. Sukarno. 2013. Wanita bergerak : Materi Kursus Wanita Pada Masa Revolusi . Bantul : Kreasi Wacana.
Hal. 02

menghilangkan suatu penindasan dan pingitan yang dialami. Sebagaimana pahampaham politik yang timbul di Dunia Barat menular ke Dunia Timur, demikian
pula semboyan-semboyan kemerdekaan wanita yang didengung-dengungkan di
Dunia Barat akhirnya mengumandang di Dunia Timur. Pada akhirnya, Dunia
Timur sudah mempunyai ―pergerakan wanita‖ sendiri, bukan hanya sesuatu
pergerakan yang hanya dikhususkan untuk kaum laki-laki.
Awal pergerakan perempuan di Dunia Barat diawali oleh Revolusi
Amerika dan Revolusi Perancis pada abad ke delapan belas silam. Dalam
Revolusi Amerika dan Perancis itu untuk pertama kalinya ada aksi dari pihak
wanita yang tersusun, yang boleh diberi gelar ―gerakan wanita‖. Dalam Revolusi
itulah kaum wanita Barat secara tersusun menuntut hak-haknya sebagai manusia,
sebagai anggota masyarakat, sebagai warga negara, memprotes kezaliman atas diri
mereka.
Sebelum terjadinya Revolusi Amerika dan Perancis tersebut, belum ada
gerakan wanita. Namun, ada suatu perkumpulan di kalangan kaum perempuan
bangsawan dan hartawan yang melakukan kegiatan yang disebut Soekarno adalah
kegiatan ―kerajinan‖, yaitu semacam kegiatan pertemuan antara teman-teman

yang tidak berhubungan dengan massa masyarakat, dan tidak berisi ideologi sosial
dan ideologi politik sama sekali. Kegiatan semacam ini lebih kepada kegiatan
kerumahtanggaan. Ilmu memasak, ilmu menjahit, ilmu memelihara anak, ilmu
bergaul, ilmu kecantikan, ilmu estetika, serta praktiknya, hal-hal yang semacam
itu yang menjadi lapangan usahanya. Perbandingan antara perempuan dan laki-

laki bukan menjadi pembahasan utama pada perkumpulan wanita ini. Dengan kata
lain, nilai-nilai patriarkat tidak ditentang.2
Setelah adanya gerakan ―keperempuanan‖ itu, kemudian muncul suatu
kemajuan dalam ―gerakan‖ perempuan ini. Yaitu suatu gerakan perempuan yang
dengan sadar menuntut persamaan hak, persamaan derajat dengan kaum laki-laki.
Perempuan-perempuan ditingkatan ini sadar, bahwa perempuan dihampir segala
bidang tidak diberi jalan oleh kaum laki-laki, sehingga oleh karena itu hampir
semua hal kemasyarakatan menjadi monopoli laki-laki. Merasa tidak adil, bahwa
perempuan di lapangan masyarakat tidak dibolehkan berlomba-lomba dengan
kaum laki-laki. Tidak diizinkannya beraktifitas di kantor, di dunia politik, tidak
diizinkannya perempuan mengenyam dunia pendidikan tinggi, dan lain
sebagainya. Maka, memberantas ketidakadilan ini, memberantas tidak samanya
hak dan derajat antara perempuan dan laki-laki, menuntut adanya persamaan hak
dan persamaan derajat itu, itulah pokok tujuannya. Pergerakan ini dinamakan

pergerakan emansipasi wanita atau pergerakan

Feminisme. Persamaan hak

dengan kaum laki-laki, dan terutama sekali hak memasuki segala macam
pekerjaan masyarakat, persamaan hak itulah menjadi pokok tuntutannya. Pada
hakikatnya, perubahan dalam masyarakat yang menjadi asal segala perubahanperubahan ideologi. Sebagaimana perubahan dalam proses produksi merubah
anggapan-anggapan di dalam masyarakat itu, merubah moral, merubah adat,

2

Ibid, hal. 6

merubah isme-isme, maka perubahan dalam proses produksi itu juga merubah
ideologi-ideologi perempuan tentang caranya mencari perbaikan nasib.3
Adanya keyakinan pada gerakan Feminisme, kemudian memunculkan
suatu gerakan wanita yang didalam aksi sosialis hendak mendatangkan suatu
dunia baru yang didalamnya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat
kebahagiaan, tidak adanya penindasan. Dalam pergerakan ini, perempuan tidak
beraksi sendiri, tetapi antara perempuan dan laki-laki bersama-sama berjuang,

bersama-sama bergerak, bahu membahu, didalam suatu gelombang. Satu
gelombang perjuangan kelas, yang tidak kenal perbedaan antara manusia dengan
manusia, satu gelombang menuju kemerdekaan, kemerdekaan laki-laki dan
kemerdekaan perempuan. Dengan tercapainya pergerakan pada tingkatan
pergerakan wanita sosialis ini, tercapailah juga tingkatan yang tertinggi daripada
pergerakan Sarinah4 mengejar nasib yang lebih layak. Tingkatan ini masih terus
menggeletar, masih terus menggelombang, tidak akan hilang sebelum tercapainya
masyarakat adil, pengganti masyarakat kapitalistis yang didalamnya ada
penindasan kelas.5
Salah satu impian yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan adalah
bertambahnya pemimpin perempuan. Terbukanya kesempatan perempuan untuk
mengambil bagian dalam pengambilan keputusan. Seperti yang terjadi selama ini,

3

Ibid, hal. 10
Soekarno menggunakan kata ―Sarinah‖ dalam kalimat ini bukan untuk menunjuk wanita pengasuhnya di
masa kecil, melainkan sebutan yang mewakili wanita atau perempuan di Indonesia.
5
Ibid, hal. 24

4

bahwa pemimpin hampir selalu dikaitkan dengan laki-laki atau maskulin yang
menunjukkan laki-laki hampir selalu mengambil keputusan secara dominan.6
Perempuan mempunyai peranan dalam setiap pengambilan keputusan. Namun,
peranan perempuan hanya sebagai orang kedua, subordinasi. Perempuan belum
secara otomatis mendapatkan hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki.
Perempuan

mempunyai

kedudukan

yang

sama

dalam

melaksanakan


pembangunan, namun hak perempuan dalam bidang itu belum sama dengan hak
laki-laki.
Peran perempuan dalam gerakan perubahan sosial tidak bisa dianggap
sebagai hal yang tidak penting untuk dibicarakan. Bahkan di Indonesia, bisa
dikatakan bahwa perempuan sebagai penggerak revolusi. Seperti yang dikatakan
seorang Founding Father, Soekarno dalam buku

―Sarinah‖ karyanya

mengatakan bahwa ― Hai Perempuan-perempuan Indonesia, jadilah revolusioner,
tiada kemenangan revolusioner, jika tanpa perempuan revolusioner, dan tiada
perempuan revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner‖. Sejak awal, Soekarno
menyadari bahwa kedudukan perempuan bukan hanya sebagai pendamping bagi
kaum laki-laki. Lebih dari itu, perempuan harus mendapatkan hak-hak yang sama
dengan kaum laki-laki tanpa meninggalkan kodrat sesungguhnya sebagai
perempuan.

6


A. Nunuk P. Murniati. 2004. Getar Gender : Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Agama, Budaya, Dan
Keluarga. Magelang : IndonesiaTera. Hal. 55

Selanjutnya, dalam buku ―Sarinah‖ karyanya, Soekarno juga menjelaskan
bahwa :
― Soal wanita adalah soal masyarakat. Sayang sekali, jika soal wanita itu belum
dipelajari secara sungguh-sungguh oleh pergerakan kita. Sudah lama Saya
bermaksud untuk menulis buku tentang soal itu, tetapi sering kali maksud Saya
itu terhalang oleh beberapa sebab. Tetapi sesudah Kita memproklamasikan
kemerdekaan, maka menurut pendapat Saya soal wanita itu perlu dengan segera
dijelaskan dan dipopulerkan. Sebab kita tidak dapat menyusun Negara dan tidak
dapat menyusun masyarakat, jika (antara lain soal-soal) kita tidak mengerti soal
wanita. Itulah sebabnya saya, setiba Saya di Yogyakarta, segera mengadakan
kursus-kursus wanita itu.‖

Penyelenggaraan kursus politik untuk kaum perempuan tersebut bukan
semata acara seremonial yang tidak memiliki visi dan misi yang jelas. Soekarno
secara matang mengadakan kursus tersebut agar para perempuan Indonesia
menyadari pentingnya sebuah perjuangan rakyat. Perjuangan yang tidak hanya
dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi juga kaum perempuan. Sebab ketika seorang

berbicara tentang rakyat, maka ia sedang membicarakan masyarakat. Sementara
dalam masyarakat terdapat laki-laki dan perempuan. Prinsip itulah yang menjadi
dasar perjuangan Soekarno.7
Soekarno meyakini bahwa kemerdekaan bangsa dan terbentuknya negara
Indonesia tidak akan sempurna tanpa peran aktif kaum perempuan. Oleh karena
itu, dalam kursus politik yang diselenggarakannya di Jogjakarta tahun 1947,
Soekarno membicarakan persoalan-persoalan perempuan di Indonesia, sejarah
perjuangan kaum perempuan di Eropa dan Amerika, serta kewajiban perempuan
dalam revolusi nasional. Bagi Soekarno, perempuan dan revolusi adalah dua hal
7

Wisnuwardhana, S . 2015. Sarinah : Mata Air Cinta, Humanisme, dan Feminisme Soekarno dalam Pelukan
Cinta Sang Ibu Asuh. Jakarta Selatan : Palapa. Hal.100

yang tidak dapat dipisahkan, bahkan telah melekat dalam dirinya. Menurut
Ahmad Kusuma Djaya mengatakan bahwa Soekarno merupakan sosok yang
menempatkan perempuan sebagai sumber revolusi untuk menciptakan suatu
perubahan.8
Menurut Soekarno, revolusi nasional belum selesai karena Indonesia
belum berhasil menjadi negara nasional. Segenap anak Bangsa seharusnya

bersatu, seharusnya bergerak menjalankan revolusi nasional. Hal ini bukan saja
demi tegaknya negara Nasional yang berkesejahteraan sosial dan berkeadilan
sosial, tapi untuk memungkinkan terbentuknya tata dunia baru yang pula
berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial. Juga untuk memungkinkan
lahirnya budaya-budaya yang merupakan proses kemerdekaan dan pemanusiaan
yang karenanya Indonesia dan dunia memaknai keragaman sebagai berkah.
Perempuan sewajibnya pula ambil bagian dalam gelora Revolusi Nasional yang
merupakan tahap menuju Revolusi Sosial ini. Hal ini karena hanya dalam
masyarakat berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial, perempuan terbebas
dari retak yang dibuat oleh imperialisme dan kapitalisme, juga oleh pergerakan
perempuan tingkat satu dan tingkat dua. Namun, menurut Soekarno, gerakan
perempuan tingkat kedua masih bersifat elitis, masih kuat berbau borjuis yang
berperan melanggengkan penghisapan

dan penindasan, kemiskinan dan

ketidakadilan. Gerakan ini berarti pula memberi tekanan pada penegakan

8


Ibid. Hal. 67

kesejahteraan sosial dan keadilan sosial melalui pembukaan peluang-peluang bagi
perempuan kelas bawah.
Selanjutnya, Soekarno melihat bahwa di Indonesia, gerakan perempuan
masih berada dibawah harapannya. Menurut pandangan Soekarno, gerakan
perempuan seharusnya ditopang oleh teori, kecakapan berorganisasi, dan dinamis.
Dengan demikian gerakan perempuan menjadi ideologis, artikulatif, dan dinamis
melihat situasi demi situasi. Kualitas-kualitas ini harus dimiliki dan dipraktikkan
oleh perempuan-perempuan Indonesia, termasuk perempuan dari kalangan rakyat
jelata. Oleh karena itu, perlu adanya suatu ideologi gerakan perempuan yang tidak
melupakan budaya-budaya dan adat istiadat dari perempuan itu sendiri. Soekarno
menganggap bahwa ideologi gerakan perempuan didunia Barat tidak sesuai
dengan budaya yang ada di Indonesia. Ideologi Feminisme dianggap telah
melewati batas dan kodrat sesungguhnya dari perempuan itu sendiri. Itulah
menagapa sebabnya ―Sarinah‖ dianggap sebagai ideologi gerakan perempuan.
Pemikiran Soekarno tentang perempuan tentu tidak terlepas dari peran
Idayu Nyoman Rai yang tidak lain adalah Ibu kandung Sang proklamator dan
peran dari sosok Sarinah sang ibu asuh. Kehadiran Sarinah dalam hidup Soekarno
yang diyakini telah membawa perubahan dalam hidup Soekarno dan menjadi

sumber inspirasi bagi Soekarno, tepatnya inspirasi untuk mencintai sesama
manusia tanpa memperdulikan kelas sosial. Sarinah dianggap sebagai kemenyan
kesadaran dan kembang tujuh perasaan, menyeruak dari lidah sang proklamator,
Soekarno. Sarinah merupakan sosok perempuan yang tangguh dan sabar.

Ketangguhannya terlihat dalam usahanya menjadi seorang pembantu rumah
tangga yang setia terhadap majikan. Sementara, kesabarannya tampak saat
mengasuh Soekarno. Ketangguhan dan kesabaran Sarinah didukung oleh rasa
cinta dan kasihnya kepada keluarga Soekarno.
Bagi orang biasa, mengidolakan salah satu tokoh besar merupakan suatu
keniscayaan. Begitu pula Soekarno yang sangat mengidolakan sosok perempuan
bernama Sarinah. Terlebih Sarinah telah mengabdikan hidupnya untuk mengasuh
Soekarno dan meninggalkan pesan yang selalu melekat dalam hati dan pikirannya,
yaitu rasa cinta.

Sarinah merupakan tokoh yang mempengaruhi kesadaran

Soekarno terhadap kehidupan rakyat Indonesia. Selain itu, Sarinah juga menjadi
seorang perempuan yang memantik rasa cinta Soekarno kepada bangsa dan tanah
air Indonesia. Sebagai seorang pengasuh, Sarinah selalu berusaha menjadi ibu
yang baik bagi Soekarno. Sarinah mengajarkan budi pekerti yang harus dipahami
oleh Soekarno. Sarinah pun menanamkan rasa cinta dan pengabdian terhadap
rakyat serta tanah air kepada Soekarno. Hingga akhirnya, Soekarno menjadi tokoh
yang memperjuangkan hak perempuan, bangsa dan tanah air Indonesia. Itulah
mengapa Sarinah dianggap sebagai guru budi pekerti Soekarno.
Sarinah menjadi sosok yang menginspirasi Soekarno untuk menegakkan
keadilan bagi kaum perempuan, terlebih dalam hal memperjuangkan kesetaraan.
Meski hanya belajar dari lingkungan dan masyarakat, Sarinah terbukti mampu
menggugah pemikiran Soekarno untuk kemajuan bangsa ini. Sarinah merupakan
perempuan desa yang sangat beruntung karena mendapat kepercayaan penuh dari

keluarga Soekarno. Ketika dewasa, Soekarno tidak pernah merasa ragu untuk
menumpahkan rasa cinta kepada rakyat kecil, begitu pula keyakinannya saat
berjuang meraih kemerdekaan Indonesia. Nasehat Sarinah selalu diingat dan
menjadi semangat dalam setiap langkah perjuangannya. Itulah sebabnya,
Soekarno tidak pernah melupakan Sarinah. Pada umumnya, Sarinah membantu
pekerjaan Idayu, Ibunda Soekarno. Namun kemudian, secara khusus Sarinah
menjadi pengasuh Soekarno. Selama berada dalam asuhannya, Soekarno mengaku
banyak mendapat pelajaran tentang hakikat mencintai orang kecil.
Bukan tanpa alasan Soekarno menulis buku tentang perempuan. Soekarno
menganggap bahwa segala hal tentang perempuan penting untuk dibicarakan,
termasuk tentang bagaimana peran perempuan dalam segala bidang, khususnya
peran perempuan dalam hal pembangunan dan pergerakan. Selain itu, terbitnya
kitab ―Sarinah‖ akan menjadi pedoman bagi perempuan-perempuan di Indonesia
agar mereka sadar betapa pentingnya peran perempuan turut aktif dalam revolusi
agar terciptanya masyarakat yang sosialistis. Alasan lain diterbitkannya kitab
―Sarinah‖ ini merupakan suatu tanda ucapan terimakasih Sang Singa Podium
kepada sosok pengasuhnya dimasa kecil ―Mbok Sarinah‖.9
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik membahas bagaimana
ideologi gerakan perempuan menurut Soekarno dan juga penulis mencoba untuk
menyadarkan kembali khalayak banyak, khususnya perempuan bagaimana peran
dan pentingnya kedudukan perempuan dalam suatu gelombang revolusi seperti
9

Ibid, Hal. 1

yang dicita-citakan oleh Soekarno. Maka penulis mengambil judul : Sarinah :
Ideologi Gerakan Perempuan Soekarno (Studi Analisis Wacana Buku
“Sarinah” Karya Soekarno).
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa
masalah yang dikemukakan dalam penelitian dipandang menarik, penting, dan
perlu diteliti. Rumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan
secara tersurat petanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau
dicarikan pemecahannya. Rumusan masalah merupakan penjabaran dari
identifikasi masalah dan pembatasan.10
Berangkat dari latar belakang tersebut, penulis membuat suatu rumusan
masalah, yaitu : Ideologi gerakan perempuan seperti apa yang dibangun oleh
Soekarno dalam buku ―Sarinah‖ ?
1.3 Batasan Masalah
Dalam suatu penelitian, perlu adanya suatu pembatasan masalah terhadap
masalah yang akan dibahas oleh penulis agar hasil penelitian tidak keluar dari
tujuan yang ingin dicapai. Agar kajian penelitian lebih fokus, maka yang menjadi
batasan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Alasan Soekarno memilih Sarinah menjadi tokoh dalam Buku.

10

Husani Usman dan Purnomo. 2004. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung : Bumi Aksara, hal. 26

2. Ideologi gerakan perempuan yang dibangun oleh Soekarno dalam buku
―Sarinah‖.
1.4 Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian ilmiah, perlu adanya suatu tujuan penelitian.
Tujuan penelitian adalah pertanyaan mengenai hal yang ingin dicapai dalam
penelitian ini. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, adalah :
1. Untuk mengetahui mengapa Soekarno memilih Sarinah menjadi tokoh
dalam Buku.
2. Untuk mengetahui ideologi gerakan perempuan yang dibangun oleh
Soekarno dalam buku ―Sarinah‖.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, antara lain :
1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang
diharapkan

mampu

memberikan

kontribusi

pemikiran

mengenai

pergerakan dan peran perempuan dalam perjuangan Republik Indonesia
menurut pandangan Soekarno.
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pisau analisis
bagi para aktivis sosial, aktivis perempuan, mahasiswa/i dan lain-lain
dalam membedah persoalan masyarakat khusunya persoalan perempuan.
3. Bagi penulis, membantu penulis untuk mengasah kemampuan dan
pengetahuan dalam menulis karya ilmiah di bidang ilmu politik khusunya

dan juga merupakan suatu syarat akhir untuk menyelesaikan studi strata
satu di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara.

1.6 Kerangka Teori
Untuk mempermudah pelaksanaan dalam penelitian ini, maka perlu
dipaparkan sudut pandang dan landasan berfikir mengenai analisis wacana kritis
serta dipertegas dengan teori feminisme untuk menyempurnakan penelitian.
1.6.1

Analisis Wacana

1.6.1.1 Pengertian Analisis Wacana
Istilah wacana (E= discourse, L= discursus = running to and from atau I =
diskursus) memiliki pengertian yang beragam tergantung pada konteks apa yang
tengah digunakan untuk memperbincangkannya. Secara umum wacana dimengerti
sebagai pernyataan-pernyataan. Masyarakat umum memahami wacana sebagai
perbincangan yang terjadi dalam masyarakat ihwal topik tertentu. Dalam ranah
yang lebih ilmiah Michael Stubbs dalam Slemborouck

menyatakan bahwa

wacana memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut, (a) memberi
perhatian terhadap penggunaan bahasa (language use, bukan language system)
yang lebih besar daripada kalimat atau ujaran, (b) memberi perhatian pada
hubungan antara bahasa dengan masyarakat dan (c) memberi perhatian terhadap
perangkat interaktif dialogis dari komunikasi sehari-hari. Slembrouck juga

menekankan bahwa analisis terhadap wacana tidak memandang secara bias antara
bahasa lisan atau tertulis, jadi keduanya dapat dijadikan objek pemeriksaan
analisis wacana.11
Wacana adalah komunikasi verbal, ucapan, percakapan. Wacana adalah
sebuah perlakuan formal dari subjek dalam ucapan atau tulisan. Wacana adalah
sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari
kalimat.12 Selanjutnya, Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang
menghubungkan proporsisi yang satu dengan proporsisi yang lainnya, membentuk
suatu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat–
kalimat.13 Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut saat ini selain
kata demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat sipil, dan lingkungan hidup. Ada
yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Ada
juga yang mengartikan sebagai pembicaraan atau diskursus. Kata wacana juga
dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi,
politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Pemakaian istilah ini sering kali
diikuti dengan beragamnya istilah, definisi, bahkan tiap disiplin ilmu mempunyai
istilah sendiri, banyak ahli memberikan definisi dan batasan yang berbeda
mengenai wacana tersebut. Luasnya makna ini dikarenakan oleh perbedaan
lingkup dan disiplin ilmu yang memakai istilah wacana tersebut.

11

Widyastuti Purbani. 2009. Analisis Wacana Kritis Dan Analisis Wacana Feminis ( Critical Discourse
Analysis And Feminist Discourse Analysis). Diakses melalui
http://staff.uny.ac.id/system/files/pengabdian/dr-widyastuti-purbani-ma/analisis-wacana-kritis.pdf Jurnal
PDF dilihat pada Tanggal 07 Februari 2017 pukul 20.17 wib
12
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LkiS Yogyakarta. Hal. 2
13
Ibid, Hal.2

Perbedaan disiplin ilmu ini dapat digambarkan sebagai berikut. Dalam
lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama pada hubungan antara konteks
sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit
bahasa yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam studi linguistik
merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal yang lebih memperhatikan pada
unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan diantara unsur
tersebut. Analisis wacana dalam lingkungan psikologi sosial, diartikan sebagai
pembicaraan. Wacana yang dimaksud disini agak mirip dengan sruktur dan bentuk
wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik,
analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena
bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subjek, dan lewat bahasa
ideologi terserap didalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis
wacana.14
Seperti yang sudah dikemukakan diatas, istilah analisis wacana adalah
istilah umum yang digunakan dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai
pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar dari berbagai definisi, titik
singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai
bahasa/pemakaian bahasa. Setidaknya, ada tiga pandangan mengenai bahasa
dalam analisis wacana menurut Mohammad A.S. Hakim. Pandangan pertama
diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Oleh penganut aliran ini, bahasa dilihat
sebagai jembatan antara manusia dengan objek diluar dirinya. Pengalaman14

Ibid, Hal. 3

pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui
penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan
memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan
dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan
antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana,
konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui
makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang
penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah
sintaksis dan semantik. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata
atau aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana lantas diukur
dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran.
Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Pandangan ini banyak
dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan
empirisme/positivisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam
pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk
memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai
penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor
sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini,
seperti dikatakan A.S. Hakim, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol
terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam
paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan.
Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni

tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh
karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk
membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu
upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan
suatu pernyataan.
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin
mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensistif pada proses
produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional.
Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis
faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada
gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilakuperilakunya. Hal inilah yang menghasilkan paradigma kritis. Analisis wacana
tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses
penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme.
Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi
kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak
dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai
dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan
sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium
netral yang terletak diluar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis
dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu,
tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi didalamnya. Oleh karena itu,

analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses
bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang
mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Dalam pandangan semacam ini,
wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam
pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam
masyarakat. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori yang
ketiga itu juga disebut sebagai analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis/
CDA).15
1.6.1.2 Analisis Wacana Norman Fairclough
Norman Fairclough mencoba membangun suatu model analisis wacana
yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga
Fairclough mengkombinasikan tradisi analisis tekstual yang selalu melihat bahasa
dalam ruang tertutup, dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian
besar Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat
bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis
yang menyeluruh. Melihat bahasa dalam perspektif ini membawa konsekuensi
tertentu. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan, dalam
hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis harus
dipusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial
dan konteks sosial tertentu. Norman Fairclough membangun suatu model yang
mengintegrasikan secara bersama-sama analsis wacana yang didasarkan pada
15

Ibid, Hal. 4,5,6

linguistik dan pemikiran sosial dan politik, dan secara umum diintegrasikan pada
perubahan sosial. Oleh karena itu, model yang dikemukakan oleh Fairclough ini
sering juga disebut sebagai model perubahan sosial (social change). Fairclough
memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana
menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktik sosial, lebih daripada aktivitas
individu atau untuk merefleksikan sesuatu.
Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi : teks, discourse
practice, dan sociocultural practice. Dalam model analisis Fairclough, teks
dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat.
Selain itu, Fairclough juga memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana
antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian. Semua
elemen yang dianalisis tersebut dipakai untuk melihat tiga masalah berikut.
Pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin
ditampilkan dalam teks, yang umumnya membawa muatan ideologis tertentu.
Analisis ini pada dasarnya ingin melihat bagaimana sesuatu ditampilkan dalam
teks yang bisa jadi membawa muatan ideologis tertentu. Kedua, relasi, merujuk
pada analisis bagaimana konstruksi hubungan di antara wartawan dengan
pembaca, seperti apakah teks disampaikan secara informal atau formal, terbuka
atau tertutup. Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas
wartawan dan pembaca, serta bagaimana personal dan identitas ini hendak

ditampilkan.16 Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan
proses produksi dan konsumsi teks. Sedangkan Sociocultural practice adalah
dimensi yang berhubungan dengan konteks diluar teks. Konteks disini
memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi.
1.6.1.2.1 Teks
Fairclough melihat teks dalam berbagai tingkatan. Sebuah teks bukan hanya
menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana
hubungan antarobjek didefiniskan. Ada tiga elemen dasar dalam model
Fairclough, elemen tersebut yaitu: Representasi, Relasi, Identitas.
Unsur
Representasi

Yang Ingin Dilihat
Bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi,
keadaan atau apa

pun ditampilkan dan

digambarkan dalam teks.
Relasi

Bagaimana

hubungan

antara

wartawan,

khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan
digambarkan dalam teks.
Identitas

Bagaimana Identitas wartawan, khalayak, dan
partisipan berita ditampilkan dan digambarkan
dalam teks.

16

Ibid, Hal. 287

Tabel 1.117 Unsur dasar Model analisis Norman fairclough
Representasi pada dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang,
kelompok, tindakan, kegiatan, ditampilkan dalam teks. Representasi dalam
pengertian Fairclough dilihat dari dua hal, yakni bagaimana seseorang, kelompok,
dan gagasan ditampilkan dalam anak kalimat dan gabungan atau rangkaian antar
anak kalimat.
1. Representasi dalam anak kalimat
Aspek ini berhubungan dengan bagaimana seseorang, kelompok,
peristiwa, dan kegiatan ditampilkan dalam teks, dalam hal ini bahasa
yang dipakai. Menurut Fairclough, ketika sesuatu tersebut ditampilkan,
pada dasarnya pemakai bahasa dihadapkan pada paling tidak dua
pilihan. Pertama, pada tingkat kosakata, kosakata apa yang dipakai
untuk menampilkan dan menggambarkan sesuatu, yang menunjukkan
bagaimana sesuatu tersebut dimasukkan dalam satu set kategori.
Kedua, pilihan yang didasarkan pada tingkat tata bahasa. Pemakai tata
bahasa dapat memilih, apakah seseorang, kelompok, atau kegiatan
tertentu hendak ditampilkan sebagai sebuah tindakan ataukah sebagai
sebuah peristiwa.18
2. Representasi dalam kombinasi anak kalimat
Antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain dapat
digabungkan sehingga membentuk suatu pengertian yang dapat
17

Ibid, Hal. 289

18

Ibid, Hal. 290

dimaknai. Pada dasarnya, realitas terbentuk lewat bahasa dengan
gabungan antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lainnya.
Gabungan antara kalimat akan membentuk suatu koherensi lokal,
yakni pengertian yang didapat dari gabungan anak kalimat satu dengan
yang lain, sehingga suatu kalimat mempunyai arti.
3. Representasi dalam rangkaian antarkalimat
Jika representasi dalam kombinasi anak kalimat menggabungkan
anak kalimat yang satu dengan yang lainnya, maka aspek ini
berhubungan dengan bagaimana dua kalimat atau lebih disusun dan
dirangkai. Representasi ini berhubungan dengan bagian mana dalam
anak kalimat yang lebih menonjol dibandingkan dengan bagian yang
lain.
4. Relasi
Relasi berhubungan dengan bagaimana peristiwa dalam media
berhubungan dan ditampilkan dalam teks. Media disini dipandang
sebagai suatu arena sosial, dimana semua kelompok, golongan, dan
khalayak yang ada dalam masyarakat saling berhubungan dan
menyampaikan versi pendapat dan gagasannya.
5. Identitas
Aspek identitas ini terutama dilihat oleh Fairclough dengan melihat
bagaimana identitas wartawan ditampilkan dan dikonstruksi dalam
teks

pemberitaan.

Menurut

Fairclough,

bagaimana

wartawan

menempatkan dan mengidentifikasi dirinya dengan masalah atau
kelompok sosial yang terlibat.

1.6.1.2.2 Discourse Practice
Analisis discourse practice memusatkan perhatian pada bagaimana
produksi dan konsumsi teks. Teks dibentuk lewat suatu praktik diskursus, yang
akan menentukan bagaimana teks tersebut diproduksi. Dalam pandangan Norman
Fairclough, ada dua sisi dari praktik diskursus tersebut. Yakni produksi teks dan
konsumsi teks. Dengan kata lain, kita harus tahu bagaimana teks tersebut
diproduksi dan bagaimana juga teks tersebut dikonsumsi.
1.6.1.2.3 Sociocultural Practice
Analisis sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa konteks
sosial yang ada dapat mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul. Menurut
Norman Fairclough, sosiocultural practice tidak memiliki hubungan langsung
dalam menentukan teks, melainkan melalui mediasi oleh discourse practice.
Mediasi itu meliputi dua hal, yang pertama, bagaimana teks tersebut diproduksi.
Praktik diskursus inilah yang secara langsung akan menentukan bagaimana teks
tersebut diproduksi. Kedua, khalayak juga akan mengkonsumsi dan menerima
teks tersebut dalam pandangan bagaimana teks tersebut diproduksi. Fairclough
membuat tiga level analisis pada sociocultural practice, yaitu : (1) Situasional,
teks diproduksi diantaranya memperhatikan aspek situasional ketika teks tersebut
diproduksi. Teks dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas, unik,

sehingga satu teks bisa jadi berbeda dengan teks yang lain. (2) Institusional, level
institusional melihat bagaimana pengaruh institusi organisasi dalam praktik
produksi wacana. (3) Sosial, faktor sosial sangat berpengaruh terhadap wacana
yang muncul dalam pemberitaan. Bahkan Fairclough menegaskan bahwa wacana
yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Dalam level
sosial, budaya masyarakat, misalnya turut menentukan perkembangan dari
wacana.19
1.6.2

Teori Feminisme

1.6.2.1 Pengertian Feminisme
Teori Feminisme beranjak dari asumsi bahwa gender merupakan
konstruksi yang meskipun bermanfaat, didominasi oleh bias laki-laki dan
cenderung opresif terhadap perempuan. Teori Feminisme berupaya menantang
asumsi-asumsi gender yang hidup dalam masyarakat dan mencapai cara yang
lebih membebaskan kaum perempuan dan laki-laki untuk hidup di dunia.20
Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi
atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme ialah tentang perlawanan
terhadap pembagian kerja di suatu dunia yang menetapkan kaum laki-laki sebagai
yang berkuasa dalam ranah publik, seperti dalam pekerjaan, olahraga, perang,
pemerintahan, sementara kaum perempuan hanya menjadi pekerja tanpa upah

19
20

Ibid, Hal. 316-325
Listiani,dkk. 2002. Gender & Komunitas Perempuan Pedesaan. Medan : Bitra Indonesia. Hal 30

dirumah, dan memikul seluruh beban kehidupan keluarga.21 Feminisme berasal
dari bahasa latin, femina atau perempuan.22 Feminisme yang memiliki artian dari
femina tersebut, memiliki arti sifat keperempuan, sehingga Feminisme diawali
oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibanding laki-laki di
masyarakat. Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab
ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan
hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka
sebagai manusia (human being). Maggie Humm dalam bukunya “Dictionary of
Feminist Theories” menyebutkan Feminisme merupakan ideologi pembebasan
perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan
bahwa perempuan mengalami ketidakadilan disebabkan jenis kelamin yang
dimilikinya.23
Dalam buku Wanita Bergerak karya Soekarno, mengatakan bahwa
Feminisme merupakan pergerakan kaum perempuan yang menuntut adanya
persamaan hak dengan kaum laki-laki, dan pekerjaan dalam masyarakat,
persamaan hak itulah yang menjadi pokok tuntutannya. Dan oleh karena tuntutan
hak memasuki segala macam pekerjaan itu terutama sekali datang dari golongan
wanita atasan dan pertengahan, maka pergerakan Feminisme itu terutama sekali

21

Marisa Rueda, dkk. 2007. Feminisme Untuk Pemula. Yogyakarta : Resist Book. Hal. 3
Pengertian Feminisme diakses melalui
https://googleweblight.com/?lite_url=https://id.m.wikipedia.org/wiki/feminisme.html dilihat pada tanggal 26
November 2016 pukul 20.12 wib
23
Syarif Hidayatullah.. 2010. Teologi Feminisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 5
22

adalah satu pergerakan ―kasta pertengahan‖, satu pergerakan borjuis, dan bukan
satu pergerakan yang pengikutnya kebanyakan dari kalangan rakyat jelata.24
Gerakan Feminisme merupakan gerakan pemberontakan kaum perempuan
yang ditujukkan kepada laki-laki untuk melawan kondisi sosial yang terjadi
dimasyarakat seperti institusi rumah tangga, maupun perjuangan perempuan untuk
mengingkari apa yang disebut dengan kodrat. Karena situasi ini dan keterbatasan
pengetahuan tentang Feminisme bagi sebagian besar masyarakat khususnya
perempuan menolak gerakan dan keberadaannya. Dalam gerakan yang dilakukan
untuk memajukan perempuan, pemikiran Feminisme pada umumnya memusatkan
perhatian

kepada

perempuan

dan

mengasumsikan

bahwa

munculnya

permasalahan kaum perempuan disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya
kaum perempuan disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya kaum
perempuan sendiri. Situasi ini yang mengakibatkan ketidakmampuan perempuan
bersaing dengan laki-laki dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung. 25
Menurut peneliti sendiri, Feminisme adalah paham yang menggerakan
pemahaman dan kesadaran perempuan terhadap kehidupan perempuan agar lebih
mendapatkan kebebasan dan keadilan dalam segala bidang.
Dengan beragamnya arti Feminisme, maka akan sulit mendapatkan
definisi Feminisme dalam semua ruang dan waktu. Hal ini terjadi karena
Feminisme tidak mengusung teori tunggal, akan tetapi menyesuaikan kondisi
sosiokultural yang melatarbelakangi munculnya paham itu serta adanya perbedaan
24
25

Op. Cit, Ir. Soekarno. 2013, Wanita bergerak.. , hal. 16
Op.Cit, Listiani, dkk. Gender & Komunitas... Hal. 31

tingkat kesadaran, presepsi, dan tindakan yang dilakukan oleh para feminis.
Contohnya di Amerika, gerakan Feminisme pada mulanya lebih dipandang
sebagai suatu sudut pandangan yang mencoba membantu melihat adanya
ketimpangan-ketimpangan perilaku terhadap tindakan kaum perempuan, baik
yang bersifat struktural maupun kultural maka pada perkembangannya yang lebih
lanjut nilai yang diperjuangkan gerakan ini dikonsektualisasi sesuai dengan
kepentingan sejarah dan tempat gerakan itu mucul. Yakni dari penolakan perilaku
menjadi upaya pembebasan hak-hak perempuan yang cenderung radikal.
Dengan demikian Feminisme kini bukan lagi sekedar ideologi dan
kepercayaan semata, melainkan suatu ajakan untuk bertindak atau gerakan
pembebasan. Dengan tindakan maka feminisme akan menjadi gerakan
pembebasan perempuan yang nyata dan dapat mengangkat derajat perempuan
pada posisi yang sepantasnya. Jika tidak, maka Feminisme hanya akan menjadi
retorika saja bahkan keberadaan akan ditelan waktu.
1.6.2.2 Aliran Dalam feminisme
Dalam perkembangannya, Feminisme terbagi menjadi beberapa aliran
besar dengan teori yang dimunculkan sebagai landasan bagi upaya pembongkaran
dominasi laki-laki terhadap perempuan. Sebab dominasi laki-laki terhadap
perempuan tidak hanya berupa penindasan secara fisik, melainkan telah menjadi
bagian kesadaran sosial. Paling tidak ada tiga aliran besar yang berkembang,
yakni:

1. Feminisme Liberal
Feminisme Liberal mulai berkembang pada abad ke 18, di dasari
pada prinsip-prinsip Liberalisme, yaitu semua orang (laki-laki dan
perempuan) dengan kemampuan rasionalitasnya diciptakan dengan hak
yang sama dan setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk
memajukan dirinya. Tokoh-tokoh dalam Feminisme Liberal, yaitu : Alison
Jaggar (Feminist Politics and Human Nature), Mary Wollstonecraft ( A
Vindication of the Rights of Woman), John Stuart Mill and Hariet Taylor
(Early Essays on Marriage and Divorce), John Stuart Mill (The Subjection
of Women), Hariet Taylor (Enfranchisement of Women), Angela Davis
(Women, Race and Class).26
Adapun awal lahirnya aliran Feminisme Liberal adalah tentang
konsepsi nalar, yakni keyakinan bahwa nalar membedakan manusia
dengan makhluk lain tidak memberikan informasi apapun. Sebab
perempuan walau sama-sama manusia yang bernalar, perempuan tidak
memiliki kesadaran untuk bebas dari keterpurukannya. Aliran ini
dinamakan Feminisme Liberal karena memiliki perhatian khusus tentang
pentingnya kebebasan individu tantang hak-hak yang didapat dan
kewajiban yang dilakukan. Yakni setiap individu perempuan atau laki-laki
memiliki hak-hak yang harus dilindungi dari penindasan, sehingga

26

Dean Saputri. 2011. Aliran-Aliran Feminisme, diakses melalui

https://googleweblight.com/?lite_url=https://deansaputri.wordpress.com/2011/12/07/aliran-aliran-feminisme.html dilihat

pada tanggal 27 November 2016 pukul 20.10 wib

perhatian utama dari aliran ini adalah tentang persamaan hak, khususnya
hak-hak perempuan.
Feminisme liberal mengisyaratkan bahwa manusia baik laki-laki
dan perempuan adalah sama, seimbang, dan serasi dihadapan publik. Lakilaki memiliki kekhususan tertentu, begitu pula dengan perempuan.
Namun, tidak boleh dijadikan suatu alasan untuk melakukan penindasan.
Perempuan tidak bisa diletakkan lebih rendah dari laki-laki dalam setiap
bidang, sebab laki-laki dan perempuan memliki kesanggupan dalam
melakukan segala sesuatu diruang khusus dan publik.
Feminisme

liberal

juga

melihat

sumber

penindasan

bagi

perempuan karena belum terpenuhinya hak-hak perempuan, seperti
diskriminasi hak, kesempatan, dan kebebasan hanya karena berjenis
kelamin perempuan. Namun aliran ini tetap menolak persamaan secara
keseluruhan antara laki-laki dan perempuan. dalam beberapa hal, aliran ini
masih tetap memandang perlu adanya pembedaan antara laki-laki dan
perempuan, seperti yang berhubungan dengan fungsi reproduksi. Aliran ini
juga beranggapan bahwa tidak harus dilakukan perubahan struktural secara
menyeluruh namun cukup melibatkan perempuan di dalam berbagai peran.
Selain itu, Feminisme liberal melandaskan Idealisme fundamentalnya pada
pemikiran bahwa manusia bersifat otonomi dan diarahkan oleh penalaran
yang menjadikan manusia mengerti akan prinsip-prinsip moralitas dan
kebebasan individu. Feminisme liberal mengangkat isu-isu yang berkaitan

dengan akses pada pendidikan, kebijakan yang bias gender, hak-hak politis
dan sipil. Rochelle Gatlin (1987 : 121) menerangkan korelasi antara
Feminisme liberal dan perubahannya menjadi Feminisme radikal. Ia
mendefinisikan feminis liberal adalah kaum liberal yang potensial. Akan
tetapi banyak liberalis yang tidak menyadari hal ini dan menyangkal
bahwa Liberalisme yang mereka dukung adalah sebuah ideologi politis
seperti lainnya. Mereka sering tidak sadar bahwa nilai-nilai liberal dari
hak-hak

individual

dan

kesetaraan

kesempatan

sesungguhnya

berkontradiksi dengan pengakuan feminis mereka bahwa perempuan
adalah sebuah kelas seks yang kondisi umumnya ditentukan secara sosial
dan bukan secara individual.27
2. Feminisme Radikal
Femisme radikal berkembang sekitar tahun 1960-an, kata kunci
dari aliran ini adalah radikal yakni mengakar dan menghendaki adanya
perombakan pada suatu sistem. Sumber masalah bagi aliran Feminisme
radikal adalah ideologi patriarki, yakni bentuk organisai rumah tangga di
mana ayah adalah tokoh dominan dalam rumah tangga, menguasai
anggotanya, dan menguasai reproduksi rumah tangga. Feminisme radikal
berpusat pada aspek biologis. mereka berpendapat bahwa ketidakadilan
gender disebabkan dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan.

27

Fajar Apriani. 2013. Berbagai Pandangan Mengenai Gender Dan Feminisme. Jurnal Pdf Hal. 13 Diakses
melalui http://googleweblight.com/?Lite_url=http://www.portal.fisip-unmul.ac.id dilihat pada tangal 27
November 2016 pukul 21.08 wib

Maksudnya adalah perempuan merasa dieksploitasi oleh kaum laki-laki
dalam hal-hal biologis yang dimiliki perempuan, misalnya adalah peran
kehamilan dan keibuan yang selalu diperankan oleh perempuan. Oleh
sebab itu, kaum feminis radikal sering menyerang institusi-institusi
keluarga dan sistem patriarki yang mereka anggap adalah sumber
penindasan.
Kaum feminis radikal menganggap institusi-institusi tersebut
adalah institusi yang melahirkan sistem dominasi pria sehingga wanita
tertindas. Patriarki tidak hanya secara historis menjadi struktur dominasi
dan ketundukkan, namun ia pun terus menjadi model dasar dominasi
ditengah-tengah masyarakat. Kaum feminis radikal sangat menghindari
institusi perkawinan. Mereka mempunyai tujuan yang harus dicapai adalah
mengakhiri tirani keluarga biologis. Apabila lembaga perkawinan tidak
dapat dihindari maka kaum feminis membuat teknologi untuk mengurangi
penindasan terhadap perempuan yaitu dengan membuat kontrasepsi dan
teknologi bayi tabung. Feminisme radikal cenderung membenci pria.
Bahkan mereka menganggap perempuan bisa hidup mandiri tanpa
kehadiran kaum pria. Feminisme radikal memperjuangkan gerakannya
melalui kampanye dan demonstrasi untuk membangun ruang dan
kebudayaan perempuan. Mereka berkonsentrasi pada diakhirnya relasirelasi antara laki-laki dan perempuan yang terpisah, terutama berkampanye

melawan kekerasan laki-laki terhadap perempuan seperti pemerkosaan dan
pornografi.28
3. Feminisme Marxis
Kata kunci dari aliran ini adalah Marxis, yakni berlandaskan pada
teori konfliknya Karl Marx tentang kepemilikan pribadi. Bagi Marx
kepemilikan pribadi akan menimbulkan kehancuran pada sistem keadilan
dan kesamaan kesempatan yang pernah dimiliki masyarakat. Dari
kepemilikan tersebut sejatinya telah menciptakan sistem kelas yang
eksploitatif. Dalam pandangan aliran Feminisme Marxis, bahkan dalam
keluargapun tercermin sistem private property, yakni kepemilikan suami
atas keluarganya. Suami adalah cerminan kaum borjuis yang menguasai
nafkah dan materi dari keluarga, sehingga memiliki kekuasaan dan posisi
yang kuat dalam keluarga dibanding istri dan anak-anak yang ditempatkan
menjadi kaum proletar.
Selain itu, perempuan bagi aliran ini dalam keluarga di tempatkan
hanya dalam sektor domestik untuk mengurus rumah tangga. Perempuan
dalam rumah tanggapun dalam pekerjaannya tidak diperhitungkan dalam
perhitungan ekonomi, sosial, dan politik. Dengan tidak adanya nilai
ekonomis, sosial, dan politik dalam kehidupan berumah tangga maka
perempuan dianggap tidak lebih bernilai dibanding laki-laki. Laki-laki

28

Op. Cit, Marisa Rueda, dkk. 2007. Feminisme... Hal. 121

dianggap lebih bernilai karena memiliki pekerjaan yang ekonomis dan
memberi masukan nafkah kepada keluarga. Oleh karena itu, perjuangan
feminis marxis adalah menuntut agar pekerjaan rumah tangga dihargai dan
bernilai ekonomis. Sebab pekerjaan rumah tangga adalah produktif dan
menciptakan surplus value atau nilai tambah dalam kehidupan berumah
tangga. Dengan cara itu, laki-laki dan perempuan berkedudukan sama
karena secara ekonomis keduanya mempunyai pekerjaan yang sama nilai
ekonomis.
Feminis Marxis percaya bahwa pekerjaan perempuan membentuk
pemikiran perempuan dan karena itu membentuk juga sifat-sifat alamiah
perempuan. Kaum feminis Marxis percaya bahwa kapitalisme adalah suatu
sistem hubungan kekuasaan yang eksploitatif (majikan mempunyai
kekuasaan yang lebih besar, mengkoreksi pekerja untuk bekerja lebih
keras) dan hubungan pertukaran (bekerja untuk upah, hubungan yang
diperjualbelikan). Feminis Marxis menolak hubungan kontraktual antara
pekerja dan majikan.29 Feminisme Marxis lebih menekankan pada
pembangunan aliansi dengan kelompok-kelompok dan kelas-kelas
tertindas

lainnya,

yaitu

dengan

gerakan-gerakan

anti-imperialis,

organisasi-organisasi buruh, partai-partai politik kiri. Mereka terlibat

29

Ariyana. 2007. Teori Feminis Marxis-Sosialis. Diakses melalui
https://googleweblight.com/?lite_url=https://ariyana.wordpress.com/2007/06/04/teori-feminis-marxissosialis.html dilihat pada tanggal 27 November 2016 pukul 21.24

dalam dialog permanen dengan laki-laki progresif dalam organisasiorganisasi ini mengenai makna dan arti penting perjuangan feminis.30
1.7 Metodologi Penelitian
1.7.1

Metode penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode

deskriptif. Metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek
penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat dan lain-lain pada saat
sekarang bardasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.31 Penelitian
deskriptif bertujuan untuk menunjukan ihwal masalah atau objek tertentu secara
rinci. Penelitian deskriptif dilakukan agar dapat menjawab suatu atau beberapa
pertanyaan mengenai keadaan objek yang sedang diteliti oleh penulis secara rinci.
Peneliti menggunakan penelitian deskriptif karena peneliti ingin memberikan
gambaran bagaimana ideologi gerakan perempuan yang dibangun oleh Soekarno
dalam buku karyanya ―Sarinah‖. Hal ini yang kemudian mendasari peneliti untuk
menggunakan metode penelitian deskriptif dalam penelitian.
1.7.2

Jenis Penelitian
Berdasarkan metode yang dipakai maka penelitian ini menggunakan

penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan analisis wacana

30

Loc,Cit. Marisa Rueda,dkk. 2007. Feminisme...
Hadawari Nawawi. 1987. Metodologi Penelitian Ilmu Sosial. Yogjakarta: Gajah Mada University press.
Hal 63

31

ideologi gerakan perempuan Soekarno. Langkah pertama yang dilakukan oleh
peneliti dalam penelitian ini ialah mendeskripsikan pandangan Soekarno
mengenai peran ―Sarinah‖ dalam mempengaruhi pemikiran Soekarno dalam
memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia dan kemudian menganalisis
ideologi gerakan perempuan yang dibangun Soekarno dalam buku ―Sarinah‖
karya Soekarno dengan menggunakan pisau analisis wacana Norman Fairclough.
1.7.3

Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah Buku ―Sarinah‖ karya Soekarno. Dimana buku

ini terdiri dari 6 bab dan berjumlah 329 halaman.
1.7.4

Teknik Pengu