HUKUM TATA NEGARA PARTAI POLITIK

HUKUM TATA NEGARA
PARTAI POLITIK

Oleh:
Dionisius Andhika Diandra
130 511 266

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
2015

A. PENGERTIAN PARTAI POLITIK
Untuk mengetahui apa arti partai politik, sebelumnya mari Kita lihat
beberapa pengertian dari beberapa ahli politik mengenai partai politik, sebagai
berikut:
1. Prof. Dr. Miriam Budiardjo (1998: 16)
Partai politik adalah organisasi atau golongan yang berusaha untuk
memperoleh dan menggunakan kekuasaan.
2. Sigmund Neuman (dalam Harry Eckstein dan David E. Apter (1963:
352)

Partai politik adalah organisasi tempat kegiatan politik yang berusaha
untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat
atas dasar persaingan melawan suatu golongan atau golongan-golongan
lain yang tidak sepaham.
3. Carl J. Friedrich (dalam Budiardjo, 1998: 16)
Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil
dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap
pemerintah bagi pimpinan partainya sehingga penguasaan itu
memberikan manfaat kepada anggota partainya baik yang bersifat ideal
maupun material.
Bertolak dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
partai politik merupakan saluran utama untuk memperjuangkan kehendak rakyat,
bangsa, dan negara sekaligus sebagai sarana kondensasi dan rekrutmen
kepemimpinan nasional. Oleh karena itu, peserta pemilu presiden dan wakil
presiden adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik yang penentuannya dilaksanakan secara demokratis dan terbuka
sesuai dengan mekanisme internal partai politik atau kesepakatan antarpartai
politik yang bergabung.

B. TUJUAN & FUNGSI


Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Partai Politik memiliki tujuan dan fungsi yang telah diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah
diubah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, yaitu ;
1. Tujuan umum Partai Politik pasal 10 (1) UU nomor 2 tahun 2008
adalah:
a. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
b.

Republik Indonesia Tahun 1945
Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik

c.


Indonesia;
Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila
dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara

d.

Kesatuan Republik Indonesia; dan
Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Tujuan khusus Partai Politik pasal 10 (2) UU nomor 2 tahun 2008
adalah:
a. Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam
rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;
b. Memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
c. Membangun etika dan budaya politik dalam

kehidupan


bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3. Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada pasal 10 ayat (1) dan
(2) UU nomor 2 tahun 2008 diwujudkan secara konstitusional. Adapun
fungsi Partai Politik adalah sebagai sarana : pasal 11 UU nomor 2
tahun 2008

a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi
warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat
dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d. Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan
keadilan gender.
f. Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud diatas harus
diwujudkan secara konstitusional.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana

telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, pada pasal 12 dan
pasal 13 telah menggariskan hak dan kewajiban Partai Politik, sebagai berikut ;
1. Partai Politik berhak:
a. Memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara;
b. Mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri;
c. Memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar
Partai Politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
d. Ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden
dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
e. Membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
f. Mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
g. Mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya di Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan;

h. Mengusulkan pemberhentian anggotanya di Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
i. Mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, calon
Gubernur dan Wakil Gubernur, calon Bupati dan Wakil Bupati,
serta calon Walikota dan Wakil Walikota sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
j. Membentuk dan memiliki organisasi sayap Partai Politik; dan
k. Memperoleh bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
2. Partai Politik berkewajiban:
a. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang undangan;
b. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
c. Berpartisipasi dalam pembangunan nasional;
d. Menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi

manusia;
e. Melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik
anggotanya;
f. Menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum;
g. Melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban data anggota;
h. Membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah
sumbangan yang diterima, serta terbuka kepada masyarakat;
i. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan
pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana bantuan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah secara berkala 1 (satu) tahun sekali kepada
Pemerintah setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
j. Memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum; dan
k. Menyosialisasikan program Partai Politik kepada masyarakat.

C. SISTEM MULTIPARTAI
Pengertian Multipartai dan penerapan kembali Sistem Multipartai
Sistem multipartai adalah sistem kepartaian suatu negara yang memiliki
banyak partai dan tidak hanya satu partai saja yang dominan.
Runtuhnya orde baru sungguh sangat mencengangkan banyak pihak. Di

tambah lagi dengan munculnya kembali fenomena multi partai yang selama ini
dianggap telah terkubur setelah runtunya orde lama. Persoalan utama yang
menyebabkan kegagalan sistem multipartai pada periode 50-an adalah ketidak
mampuan mereka menyadari arti penting koalisi. Koalisi yang mereka bentuk
pada waktu itu hanya sekedar mencari rekan partai untuk mempertahankan
kekuasaan kabinet. Oleh karena itu mereka banyak yang mengalami kegagalan
berkoalisi. Dan kegagalan itu mengundang ketidaksabaran militer untuk
melakukan intervensi. Campur tangan militer tersebut meruntuhkan semua sendi
sistem multipartai yang dibngun pada era demokrasi liberal.
Ketika Soeharto lengser, maka Habibie mencanangkan diberlakukannya
kembali sistem multipartai. Setelah diberlakukannya kembali sistem multipartai
tersebut, muncullah banyak harapan bahwa sistem tersebut akan membantu
menemukan jati diri partai politik. Perubahan yang sangat mendadak tersebut
menumbuhkan kegairahan politik yang luar biasa. Selain itu, mendorong kembali
semangat berpolitik yang nyaris padam akibat otoriterisme orde baru. Munculnya

partai politik yang baru dalam jumlah yang banyak adalah wujud protes keras dari
masyarakat politik yang tertekan selama puluhan tahun.

Dampak dari Penerapan Kembali Sistem Multi Partai

Sebagian masyarakat menyambut gembira dan penuh antusias untuk
menyalurkan kembali naluri politik yang selama ini tersumbat oleh sistem politik
orde baru yang sangat represif. Sebagian masyarakat justru khawatir akan
kemunculan partai-partai baru yang jumlahnya lebih dari 100 hanya dalam
beberapa bulan. Hal ini tentu bukannya memperlancar proses reformasi, tetapi
justru sebaliknya, mengganggu kelancaran reformasi.
Sungguh sulit membayangkan mengelola sistem partai dengan jumlah yang
sangat banyak. Tetapi pada saat yang bersamaan, melarang masyarakat
membentuk partai berarti sama dengan melawan reformasi. Dampak positif dari
pertumbuhan partai yang sedemikian luar biasa akan memberikan suasana
keterbukaan yang sungguh-sungguh, yang berarti bahwa masyarakat benar-benar
menikmatu keterbukaan ini dan memanfaatkannya lewat pembentukan partaipartai politik.
Sementara dampak negatifnya menjadi hal yang kurang menarik bagi
khalayak umum. Terutama bagi mereka yang memiliki mimpi untuk membangun
partai politik. Tidak sedikit para aktifis partai secara mendadak berubah dari
warga negara biasa menjadi politisi dalam waktu yang sangat singkat. Dimana hal
tersebut bisa menimbulkan dampak negatif dari sistem multi partai yang baru
tumbuh. Karena tingkat keawaman mereka dalam berpolitik masih terlalu tebal
sehingga mereka tidak bisa mengelola partai politik tersebut.
Membuat


dan

mengelola

partai

boleh

saja

dilakukan

asalkan

memperhatikan latarbelakang pendidikan, pengalaman, memahami makna koalisi,
memiliki naluri kerjasama, dan mampu memahami posisinya sebagai lembaga
wakil rakyat. sehingga kedepannya akan terbentuk sistem partai yang rasional

dan meninggalkan irasionalitas sistem multipartai yang ditandai dengan jumlah

partai yang luar biasa dengan kualitas partai yang patut dipertanyakan.

Kedudukan Presiden Dalam Sistem Multipartai
Salah satu persoalan yang paling fundamental dalam sistem multipartai
yang baru di tumbuhkan sejak pertengahan tahun 1998 yang lalu adalah
kedudukan presiden dalam sistem partai tersebut.
Kedudukan presiden dalam konteks multipartai ternyata kurang mendapat
tanggapan cukup serius dari kalangan partai poltik, tokoh-tokoh informal ,
maupun politisi yang sedang memerintah.1
Terpusatnya kekuasaan ketangang presiden, maka pemilihan presiden
dilakukan secara langsung oleh rakyat. hal tersebut memberi kesempatan sebesarbesarnya bagi rakyat untuk menentukan sendiri presiden mereka tanpa terhalang
oleh birokrasi partai politik.
Pola pemilihan ini membuat presiden tunduk pada keinginan rakyat.
Artinya, jika rakyat sudah tidak menghendaki maka presiden tidak dapat dipilih
kembali setelah menyelesaikan masa jabatan yang bersifat periodik dan tetap.
Masa jabatan sekali pun bersifat tetap (dalam jangka waktu tertentu) dapat
dibatasi hingga dua kali.

D. PEMBATASAN JUMLAH PARPOL
Pembatasan partai politik lebih mampu menciptakan kestabilan di
dalam pemerintahan. Jumlah partai politik yang berkembang saat ini
terkesan sebagai tokoh figuran dalam momen – momen akbar, misal
pemilu. Banyak partai – partai baru tampil hanya sebagai wujud ikut
memeriahkan pesta demokrasi tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan tidak
banyaknya kemanfaatan yang bisa diperoleh dari kehadiran partai – partai
tersebut selain malah menciptakan ketidakteraturan dalam pemerintahan.
Misal, koalisi. Hal ini disebabkan tidak adanya konsentrasi pada partai
tertentu sehingga suara dalam pemilu cenderung tidak sebagaimana yang
ditentukan dalam undang – undang, khusus untuk pemilu presiden. Di
samping itu, koalisi juga menjadi tempat berbaurnya kepentingan –
kepentingan politik di parlemen yang menyebabkan terhambatnya kinerja
parlemen dalam melakukan fungsinya. Akibatnya, ketidakefektifan
parlemen menjadikan lembaga legislatif tersebut tidak lagi mengakomodir
kepentingan masyarakat sehingga pemerintahan menjadi tidak stabil dan
cenderung terabaikan. Hal ini yang menjadi alasan bagi kami yang
menyetujui rencana tersebut.
Di sisi lain, pihak yang menolak juga dapat didukung dengan
beberapa alasan. Pertama, kaitannya dengan HAM dan demokrasi.
Indonesia dalam konstitusi tertulisnya menjamin warga negaranya untuk
berkumpul dan berserikat, termasuk di dalamnya mendirikan partai politik.

Dengan adanya pembatasan partai tersebut, maka negara dalam hal ini
telah melanggar aturannya sendiri dan hal ini jelas tidak dapat dibenarkan.
HAM menjadi terlanggar dan demokrasi tidak lagi sebagaimana
diisyarakatkan. Kedua, pembatasan partai politik sebagai suatu upaya
mengembalikan Indonesia ke rezim keterkekangan Orde baru . Orde Baru
dengan segala kekuasaannya berhasil mempertahankan sistem tripartai,
yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan
Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Akibatnya, demokrasi macet dan HAM
menjadi terbelenggu. Masyarakat menjadi terbatasi aktivitas politiknya
yang pada akhirnya menyebabkan partisipasi politik masyarakat menjadi
sangat rendah. Hal ini yang menjadi kekhawatiran beberapa alasan bagi
pihak yang menolak upaya pembatasan partai politik tersebut.
Dari sisi ekonomi, pembatasan partai politik menjadi wajib
dilakukan melihat inefisiensi pemerintah dalam menyelenggarakan pemilu
setiap lima tahunnya. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilihan
umum, baik legislatif maupun eksekutif, diberi kewenangan menyiapkan
pesta rakyat lima tahunan tersebut. Dana yang dikeluarkan untuk momen
akbar tersebut tidak bisa dikatakan murah. Hal ini yang harus ditekankan
dalam pembatasan partai politik.
Secara sederhana, inefisiensi dapat dilihat dari kertas suara untuk
pemilihan umum anggota legislatif. Semakin banyak jumlah partai politik,
logikanya semakin banyak calon anggota legislatif yang dapat dicalonkan.
Semakin banyak anggota legislatif yang dicalonkan menyebabkan kertas
yang digunakan semakin besar dari sisi ukuran. Untuk produksi kertas
suara bagi sekian ratus juta pemilih dibutuhkan bermilyar – milyar dana
APBN. Ditambah dengan tenaga pelipat kertas suara. Secara kasar, untuk
persoalan teknis kertas suara sudah dibutuhkan begitu banyak biaya.
Selain itu, pertanyaan besar timbul: sudahkah partai politik saat ini
menjalankan fungsi – fungsi tersebut? Karena selama ini, keberadaan
partai politik tidak berdampak langsung ke masyarakat. Mereka lebih
sibuk

terhadap

kepentingan

politiknya

tersendiri

dengan

mengatasnamakan kepentingan masyarakat. Sehingga citra partai politik
saat ini masih tergolong buruk di mata masyarakat.
E. Kesimpulan
Kami menyimpulkan secara umum bahwa pembatasan partai politik
merupakan sebuah kebutuhan pokok bagi bangsa kita. Alasannya tidak lain
sebagai berikut :
1. Sesuai dengan aturan dalam pasal 3 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
yang menerangkan mengenai syarat – syarat pendirian partai politik,
dirumuskan bahwa untuk membentuk partai politik membutuhkan syaratsyarat tertentu yang harus dipenuhi. Maka dari itu, hal ini mewujudkan
bahwa adanya upaya untuk membatasi jumlah partai politik.
2. Sistem multipartai tidak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial
dan acapkali menimbulkan efek buruk terhadap pemerintahan.
3. Inefisiensi dalam penyelenggaraan pesta demokrasi (pemilihan umum)
yang digelar setiap lima tahun sekali
4. Malfungsi yang dialami partai – partai politik saat ini dengan sistem
kepartaian multipartai

F. DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Mainwaring, Scott, Presidensialism, Multy Party Systems, and Democracy : The
Difficult Equation, September 1990.
Mellaz, August, Keserentakan Pemilu dan Penyederhanaan Kepartaian,
Amal,Ichlasul.“Teori-Teori
Mutakhir
Partai
Politik”.PT

Tiara

Wacana,Yogyakarta. 1996
Sexio Yuni Noor Sidqi, Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek
Politik Parlementarian, Jurnal Hukum, Nomor 3, Volume 15, Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta 2008, hal. 32 – 59
Joeniarto, Cetakan Kedua 1984, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia,
P.T. Bina Aksara, Jakarta