TUGAS BIOTEKNOLOGI dan id bab 2
TUGAS MATA KULIAH BIOTEKNOLOGI
Nama
: Elya Sumartik
NIM
: 15708259008
Hari/Tgl
: Senin, 04 April 2016
Dosen
: Dr. drh. Heru Nurcahyo, M.Kes.
Soal : Jelaskan tentang Metode Kloning DNA menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tentang : a. Bahan
b. Prosedur
c. Aplikasinya
d.Peran faktor fisik pada proses PCR
Jawab :
PCR adalah reaksi polimerase berantai, yaitu reaksi yang melibatkan enzim polimerase
yang dilakukan secara berulang-ulang. Yang diulang-ulang adalah proses pemisahan untai ganda
DNA menjadi untai tunggal, hibridisasi primer untuk mengawali replikasi DNA dilanjutkan
dengan proses penambahan basa pada cetakan DNA oleh enzim polimerase, untuk melakukan
kegiatan ini dibutuhkan tabung PCR yang bersifat reponsif dengan perubahan suhu dan mesin
thermal cycler, suatu mesin yang mampu menaikkan dan menurunkan suhu dengan cepat, dan
bahan-bahan untuk membuat reaksi PCR.
A. Bahan-bahan :
1) Enzim DNA Polymerase
Dalam sejarahnya, PCR dilakukan dengan menggunakan Klenow fragment DNA
Polimerase I selama reaksi polimerisasinya. Enzime ini ternyata tidak aktif secara termal
selama proses denaturasi, sehingga peneliti harus menambahkan enzim di setiap
siklusnya. Selain itu, enzim ini hanya bisa dipakai untuk perpanjangan 200 bp dan
hasilnya menjadi kurang spesifik. Untuk mengatasi kekurangan tersebut, dalam
perkembangannya kemudian dipakai enzim Taq DNA polymerase yang memiliki
keaktifan pada suhu tinggi. Oleh karenanya, penambahan enzim tidak perlu dilakukan di
setiap siklusnya, dan proses PCR dapat dilakukan dalam satu mesin
2) Primer
Primer merupakan oligonukleotida pendek rantai tunggal yang mempunyai urutan
komplemen dengan DNA templat yang akan diperbanyak. Panjang primer berkisar antara
20-30 basa. Untuk merancang urutan primer, perlu diketahui urutan nukleotida pada awal
dan akhir DNA target. Primer oligonukleotida di sintesis menggunakan suatu alat yang
disebut DNA synthesizer.
3) Reagen lainnya
Selain enzim dan primer, terdapat juga komponen lain yang ikut menentukan
keberhasilan reaksi PCR. Komponen tersebut adalah dNTP untuk reaksi polimerisasi, dan
buffer yang mengandung MgCl2. Konsentrasi ion Mg2+dalam campuran reaksi merupakan
hal yang sangat kritis. Konsentrasi ion Mg2+ ini sangat mempengaruhi proses primer
annealing, denaturasi, spesifisitas produk, aktivitas enzim dan fidelitas reaksi.
B. Prosedur :
1.
Denaturasi
Denaturasi merupakan proses memisahkan DNA menjadi utas tunggal. Tahap
denaturasi DNA biasanya dilakukan pada kisaran suhu 92 – 95 oC. Denaturasi awal
dilakukan selama 1 – 3 menit diperlukan untuk meyakinkan bahwa DNA telah
terdenaturasi menjadi untai tunggal. Denaturasi yang tidak berlangsung secara sempurna
dapat menyebabkan utas DNA terputus.
2. Annealing
Annealing merupakan proses penempelan primer. Tahap annealing primer
merupakan tahap terpenting dalam PCR, karena jika ada sedikit saja kesalahan pada
tahap ini maka akan mempengaruhi kemurnian dan hasil akhir produk DNA yang
diinginkan. Faktor yang mempengaruhi tahap ini antara lain suhu annealing dan primer.
Suhu annealing yang terlalu rendah dapat mengakibatkan timbulnya pita elektroforesis
yang tidak spesifik, sedangkan suhu yang tinggi dapat meningkatkan kespesifikan
amplifikasi.
3. Elongasi
Elongasi merupakan proses pemanjangan DNA. Dalam tahap extension atau
sintesis DNA, enzim polimerase bergabung bersama dengan nukleotida dan pemanjangan
primer lengkap untuk sintesis sebuah DNA utas ganda. Reaksi ini akan berubah dari satu
siklus ke siklus selanjutnya mengikuti perubahan konsentrasi DNA.
Hasil sintesa DNA dalam satu siklus dapat berperan sebagai cetakan (template)
pada siklus berikutnya sehingga jumlah DNA target menjadi berlipat dua pada setiap
akhir siklus. Dengan kata lain DNA target meningkat secara eksponensial, sehingga
setelah 30 siklus akan menjadi milyaran amplifikasi DNA target.
Ketiga tahap siklus tersebut diulang sesuai dengan jumlah siklus amplifikasi. Pada
siklus pertama dua untai tunggal DNA cetakan akan disalin menjadi 2 DNA untai ganda.
Pada siklus kedua, 2 DNA cetakan untai ganda masing-masing akan bertindak sebagai
cetakan sehingga pada siklus kedua dihasilkan jumlah 4 DNA untai ganda. Pada siklus
berikutnya akan dihasilkan jumlah DNA secara eksponensial, dimana pada siklus ketiga
DNA akan disalin menjadi 8 kali, siklus ke 10 menjadi 1.024 kali, siklus 30 menjadi
1.073.741.824 dan seterusnya. Pada akhir siklus, DNA cetakan akan digandakan secara
eksponensial sehingga dihasilkan DNA dalam jumlah yang berlipat ganda hanya dalam
waktu yang relatif singkat sekitar 3-4 jam.
C. Aplikasinya :
Aplikasi PCR utama dibidang klinis adalah untuk diagnosis, dan kloning. Yang paling
sering dipakai di bidang klinis saat ini adalah untuk diagnosis, yaitu untuk deteksi
patogen infeksius dan identifikasi mutasi pada gen yang berkaitan dengan faktor resiko
penyakit.
Untuk aplikasi PCR dibidang klinis tersebut, telah dikembangkan berbagai macam teknis
berbasis PCR, antara lain :
1. RFLP-PCR (restriction fragment lenght polymorphisms)
Pada prinsipnya, teknik ini dimanfaatkan untuk deteksi polimorfisme. Secara
umum teknik ini menggunakan enzim restriksi untuk mengetahui adanya polimorfisme
(RFLP), dan produk hasil digesti tersebut diamplifikasi dengan PCR (RFLP-PCR).
Teknik PCR yang mirip dengan teknik diatas AFLP-PCR (amplification fragment lenght
polymorphisme) yang digunakan untuk membedakan isolat atau spesies yang berbeda
berdasarkan daerah enzim restriksi (polimorfisme daerah restriksi)
2. VNTR-PCR (variable number of tandem repeat sequence), dan STR-PCR (short
tandem repeats). Teknik ini sering digunakan untuk tujuan forensik. Dengan
menggunakan primer yang tepat, variasi sekuens pengulangan berurutan yang terdapat
pada DNA sampel dapat diketahui.
3. Skreening / deteksi mutasi berbasis PCR
Dahulu, skreening/ deteksi mutasi dapat dilakukan dengan PCR konvensional
(misalnya dengan BESS-T-Scan (Base Excision Sequence Scanning)) untuk mendeteksi
mutasi T/A atau T / A, atau Amplification refractory mutation system (ARMS) untuk
mendeteksi point mutation melalui priming oligonukleotida kompetitif.
4. PCR kuantitatif
Untuk keperluan diagnosis dan penilaian kemajuan tetapi kadang membutuhkan
pemeriksaan yang bersifat kuantitatif.
PCR konvensional dapat digunakan untuk mendapatkan data kuantitatif tersebut dengan
menggunakan kompetitor (internal exogenous standard) atau dengan housekeeping gene
(internal endogenous standard).
5.
Diagnosa Penyakit
Penyakit Influenza A (H1N1) yang sebelumnya disebut flu babi sedang mewabah
saat ini, bahkan satu fase lagi dari fase pandemi. Penyakit berbahaya seperti ini
memerlukan diagnosa yang cepat dan akurat. PCR merupakan teknik yang sering
digunakan. Teknologi saat ini memungkinkan diagnosa dalam hitungan jam dengan hasil
akurat.
6.
DNA Sequencing
Urutan basa suatu DNA dapat ditentukan dengan teknik DNA Sequencing,
metode yang umum digunakan saat ini adalah metode Sanger (chain termination method)
yang sudah dimodifikasi menggunakan dye-dideoxy terminator, dimana proses awalnya
adalah reaksi PCR dengan pereaksi yang agak berbeda, yaitu hanya menggunakan satu
primer (PCR biasa menggunakan 2 primer) dan adanya tambahan dideoxynucleotide
yang dilabel fluorescent. Karena warna fluorescent untuk setiap basa berbeda, maka
urutan basa suatu DNA yang tidak diketahui bisa ditentukan.
7.
Forensik
Identifikasi seseorang yang terlibat kejahatan (baik pelaku maupun korban), atau
korban kecelakaan/bencana kadang sulit dilakukan. Jika identifikasi secara fisik sulit atau
tidak mungkin lagi dilakukan, maka pengujian DNA adalah pilihan yang tepat. DNA
dapat diambil dari bagian tubuh manapun, kemudian dilakukan analisa PCR untuk
mengamplifikasi bagian-bagian tertentu DNA yang disebut fingerprints alias DNA sidik
jari, yaitu bagian yang unik bagi setiap orang. Hasilnya dibandingkan dengan DNA sidik
jari keluarganya yang memiliki pertalian darah, misalnya ibu atau bapak kandung.
D. Peran Faktor Fisik Pada Proses PCR :
Secara umum optimasi proses PCR dapat dilakukan dengan cara memvariasikan kondisi
yang digunakan pada proses PCR tersebut. Optimasi kondisi berkaitan erat dengan
faktor-faktor fisik seperti jenis polimerase DNA; suhu; konsentrasi, dalam hal ini
berkaitan dengan dNTPs, MgCl2 dan DNA polimerase; buffer PCR dan waktu.
1. Jenis polimerase DNA
Kemampuan mengkatalisis reaksi polimerasi DNA pada proses PCR yang terjadi pada
tahap ekstensi untuk DNA rantai panjang akan berbeda dengan untuk DNA rantai pendek.
Penggunaan jenis DNA polimerase tergantung pada panjang DNA target yang akan
diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA lebih besar dari tiga kilobasa akan
memerlukan jenis polimerase dengan aktivitas tinggi.
2. Konsentrasi dNTPs, MgCl2; polimerase DNA
Konsentrasi optimal dNTPs ditentukan oleh panjang target DNA yang diamplifikasi.
Untuk panjang target DNA kurang dari satu kilobasa biasanyadigunakan konsentrasi
dNTPs sebanyak 100 uM, sedangkan untuk panjang target DNA lebih besar dari satu
kilobasa diperlukan konsentrasi dNTPs sebanyak 200 uM. Umumnya konsentrasi optimal
MgC2 berkisar antara 1,0 – 1,5 mM. Konsentrasi MgCl2 yang terlalu rendah akan
menurunkan perolehan PCR. Sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi akan
menyebabkan akumulasi produk non target yang disebabkan oleh terjadinya mispriming.
Jumlah polimerase DNA yang digunakan tergantung pada panjang fragmen DNA yang
akan diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA kurang dari dua kilobasa diperlukan
1,25 – 2 unit per 50 uL campuran reaksi, sedangkan untuk panjang fragmen DNA lebih
besar dari dua kilobasa diperlukan 3 – unit per 50 uL campuran reaksi.
3. Suhu
Pemilihan suhu pada proses PCR sangat penting karena suhu merupakan salah satu faktor
yang menentukan keberhasilan suatu PCR. Dalam hal ini suhu berkaitan dengan proses
denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Suhu denaturasi DNA templat
berkisar antara 93 – 95ºC, ini semua tergantung pada panjang DNA templat yang
digunakan dan juga pada panjang fragmen DNA target. Suhu denaturasi yang terlalu
tinggi akan menurunkan aktivitas polimerase DNA yang akan berdampak pada efisiensi
PCR. Selain itu juga dapat merusak DNA templat, sedangkan suhu yang terlalu rendah
dapat menyebabkan proses denaturasi DNA templat tidak sempurna. Pada umumnya suhu
denaturasi yang digunakan adalah 94ºC. Secara umum suhu annealing yang digunakan
berkisar antara 37 - 60ºC.
4. Buffer PCR
Buffer PCR yang digunakan berkaitan dengan pH dan kapasitas buffernya. Dalam
perdagangan ada dua jenis buffer PCR yaitu “Low-salt buffer”(pH 8,75 dan kapasitas
buffer rendah) dan “High-salt buffer” (pH 9,2 dan kapasitas buffer tinggi). Umumnya
buffer PCR tersedia sesuai dengan jenis polimerase DNA nya. Untuk panjang DNA target
antara 0 – 5 kilobasa biasanya diperlukan “low-salt buffer” sedangkan untuk panjang
DNA target lebih besar dari lima kilobasa digunakan “high-salt buffer”.
5. Waktu
Pemilihan waktu yang digunakan berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat,
Annealing dan ekstensi primer. Untuk denaturasi DNA templat umumnya dilakukan
selama 30 – 90 detik, ini semua tergantung pada DNA templat yang digunakan. Waktu
denaturasi yang terlalu lama akan merusaktemplat DNA dan sekaligus dapat menurunkan
aktivitas polimerase DNA.Sedangkan waktu denaturasi yang terlalu pendek akan
menyebabkan proses denaturasi tidak sempurna. Untuk panjang primer 18 – 22 basa
cukup dengan 30 detik, sedangkan untuk panjang primer lebih besar dari 22 basa
diperlukan waktu annealing 60 detik.
Nama
: Elya Sumartik
NIM
: 15708259008
Hari/Tgl
: Senin, 04 April 2016
Dosen
: Dr. drh. Heru Nurcahyo, M.Kes.
Soal : Jelaskan tentang Metode Kloning DNA menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tentang : a. Bahan
b. Prosedur
c. Aplikasinya
d.Peran faktor fisik pada proses PCR
Jawab :
PCR adalah reaksi polimerase berantai, yaitu reaksi yang melibatkan enzim polimerase
yang dilakukan secara berulang-ulang. Yang diulang-ulang adalah proses pemisahan untai ganda
DNA menjadi untai tunggal, hibridisasi primer untuk mengawali replikasi DNA dilanjutkan
dengan proses penambahan basa pada cetakan DNA oleh enzim polimerase, untuk melakukan
kegiatan ini dibutuhkan tabung PCR yang bersifat reponsif dengan perubahan suhu dan mesin
thermal cycler, suatu mesin yang mampu menaikkan dan menurunkan suhu dengan cepat, dan
bahan-bahan untuk membuat reaksi PCR.
A. Bahan-bahan :
1) Enzim DNA Polymerase
Dalam sejarahnya, PCR dilakukan dengan menggunakan Klenow fragment DNA
Polimerase I selama reaksi polimerisasinya. Enzime ini ternyata tidak aktif secara termal
selama proses denaturasi, sehingga peneliti harus menambahkan enzim di setiap
siklusnya. Selain itu, enzim ini hanya bisa dipakai untuk perpanjangan 200 bp dan
hasilnya menjadi kurang spesifik. Untuk mengatasi kekurangan tersebut, dalam
perkembangannya kemudian dipakai enzim Taq DNA polymerase yang memiliki
keaktifan pada suhu tinggi. Oleh karenanya, penambahan enzim tidak perlu dilakukan di
setiap siklusnya, dan proses PCR dapat dilakukan dalam satu mesin
2) Primer
Primer merupakan oligonukleotida pendek rantai tunggal yang mempunyai urutan
komplemen dengan DNA templat yang akan diperbanyak. Panjang primer berkisar antara
20-30 basa. Untuk merancang urutan primer, perlu diketahui urutan nukleotida pada awal
dan akhir DNA target. Primer oligonukleotida di sintesis menggunakan suatu alat yang
disebut DNA synthesizer.
3) Reagen lainnya
Selain enzim dan primer, terdapat juga komponen lain yang ikut menentukan
keberhasilan reaksi PCR. Komponen tersebut adalah dNTP untuk reaksi polimerisasi, dan
buffer yang mengandung MgCl2. Konsentrasi ion Mg2+dalam campuran reaksi merupakan
hal yang sangat kritis. Konsentrasi ion Mg2+ ini sangat mempengaruhi proses primer
annealing, denaturasi, spesifisitas produk, aktivitas enzim dan fidelitas reaksi.
B. Prosedur :
1.
Denaturasi
Denaturasi merupakan proses memisahkan DNA menjadi utas tunggal. Tahap
denaturasi DNA biasanya dilakukan pada kisaran suhu 92 – 95 oC. Denaturasi awal
dilakukan selama 1 – 3 menit diperlukan untuk meyakinkan bahwa DNA telah
terdenaturasi menjadi untai tunggal. Denaturasi yang tidak berlangsung secara sempurna
dapat menyebabkan utas DNA terputus.
2. Annealing
Annealing merupakan proses penempelan primer. Tahap annealing primer
merupakan tahap terpenting dalam PCR, karena jika ada sedikit saja kesalahan pada
tahap ini maka akan mempengaruhi kemurnian dan hasil akhir produk DNA yang
diinginkan. Faktor yang mempengaruhi tahap ini antara lain suhu annealing dan primer.
Suhu annealing yang terlalu rendah dapat mengakibatkan timbulnya pita elektroforesis
yang tidak spesifik, sedangkan suhu yang tinggi dapat meningkatkan kespesifikan
amplifikasi.
3. Elongasi
Elongasi merupakan proses pemanjangan DNA. Dalam tahap extension atau
sintesis DNA, enzim polimerase bergabung bersama dengan nukleotida dan pemanjangan
primer lengkap untuk sintesis sebuah DNA utas ganda. Reaksi ini akan berubah dari satu
siklus ke siklus selanjutnya mengikuti perubahan konsentrasi DNA.
Hasil sintesa DNA dalam satu siklus dapat berperan sebagai cetakan (template)
pada siklus berikutnya sehingga jumlah DNA target menjadi berlipat dua pada setiap
akhir siklus. Dengan kata lain DNA target meningkat secara eksponensial, sehingga
setelah 30 siklus akan menjadi milyaran amplifikasi DNA target.
Ketiga tahap siklus tersebut diulang sesuai dengan jumlah siklus amplifikasi. Pada
siklus pertama dua untai tunggal DNA cetakan akan disalin menjadi 2 DNA untai ganda.
Pada siklus kedua, 2 DNA cetakan untai ganda masing-masing akan bertindak sebagai
cetakan sehingga pada siklus kedua dihasilkan jumlah 4 DNA untai ganda. Pada siklus
berikutnya akan dihasilkan jumlah DNA secara eksponensial, dimana pada siklus ketiga
DNA akan disalin menjadi 8 kali, siklus ke 10 menjadi 1.024 kali, siklus 30 menjadi
1.073.741.824 dan seterusnya. Pada akhir siklus, DNA cetakan akan digandakan secara
eksponensial sehingga dihasilkan DNA dalam jumlah yang berlipat ganda hanya dalam
waktu yang relatif singkat sekitar 3-4 jam.
C. Aplikasinya :
Aplikasi PCR utama dibidang klinis adalah untuk diagnosis, dan kloning. Yang paling
sering dipakai di bidang klinis saat ini adalah untuk diagnosis, yaitu untuk deteksi
patogen infeksius dan identifikasi mutasi pada gen yang berkaitan dengan faktor resiko
penyakit.
Untuk aplikasi PCR dibidang klinis tersebut, telah dikembangkan berbagai macam teknis
berbasis PCR, antara lain :
1. RFLP-PCR (restriction fragment lenght polymorphisms)
Pada prinsipnya, teknik ini dimanfaatkan untuk deteksi polimorfisme. Secara
umum teknik ini menggunakan enzim restriksi untuk mengetahui adanya polimorfisme
(RFLP), dan produk hasil digesti tersebut diamplifikasi dengan PCR (RFLP-PCR).
Teknik PCR yang mirip dengan teknik diatas AFLP-PCR (amplification fragment lenght
polymorphisme) yang digunakan untuk membedakan isolat atau spesies yang berbeda
berdasarkan daerah enzim restriksi (polimorfisme daerah restriksi)
2. VNTR-PCR (variable number of tandem repeat sequence), dan STR-PCR (short
tandem repeats). Teknik ini sering digunakan untuk tujuan forensik. Dengan
menggunakan primer yang tepat, variasi sekuens pengulangan berurutan yang terdapat
pada DNA sampel dapat diketahui.
3. Skreening / deteksi mutasi berbasis PCR
Dahulu, skreening/ deteksi mutasi dapat dilakukan dengan PCR konvensional
(misalnya dengan BESS-T-Scan (Base Excision Sequence Scanning)) untuk mendeteksi
mutasi T/A atau T / A, atau Amplification refractory mutation system (ARMS) untuk
mendeteksi point mutation melalui priming oligonukleotida kompetitif.
4. PCR kuantitatif
Untuk keperluan diagnosis dan penilaian kemajuan tetapi kadang membutuhkan
pemeriksaan yang bersifat kuantitatif.
PCR konvensional dapat digunakan untuk mendapatkan data kuantitatif tersebut dengan
menggunakan kompetitor (internal exogenous standard) atau dengan housekeeping gene
(internal endogenous standard).
5.
Diagnosa Penyakit
Penyakit Influenza A (H1N1) yang sebelumnya disebut flu babi sedang mewabah
saat ini, bahkan satu fase lagi dari fase pandemi. Penyakit berbahaya seperti ini
memerlukan diagnosa yang cepat dan akurat. PCR merupakan teknik yang sering
digunakan. Teknologi saat ini memungkinkan diagnosa dalam hitungan jam dengan hasil
akurat.
6.
DNA Sequencing
Urutan basa suatu DNA dapat ditentukan dengan teknik DNA Sequencing,
metode yang umum digunakan saat ini adalah metode Sanger (chain termination method)
yang sudah dimodifikasi menggunakan dye-dideoxy terminator, dimana proses awalnya
adalah reaksi PCR dengan pereaksi yang agak berbeda, yaitu hanya menggunakan satu
primer (PCR biasa menggunakan 2 primer) dan adanya tambahan dideoxynucleotide
yang dilabel fluorescent. Karena warna fluorescent untuk setiap basa berbeda, maka
urutan basa suatu DNA yang tidak diketahui bisa ditentukan.
7.
Forensik
Identifikasi seseorang yang terlibat kejahatan (baik pelaku maupun korban), atau
korban kecelakaan/bencana kadang sulit dilakukan. Jika identifikasi secara fisik sulit atau
tidak mungkin lagi dilakukan, maka pengujian DNA adalah pilihan yang tepat. DNA
dapat diambil dari bagian tubuh manapun, kemudian dilakukan analisa PCR untuk
mengamplifikasi bagian-bagian tertentu DNA yang disebut fingerprints alias DNA sidik
jari, yaitu bagian yang unik bagi setiap orang. Hasilnya dibandingkan dengan DNA sidik
jari keluarganya yang memiliki pertalian darah, misalnya ibu atau bapak kandung.
D. Peran Faktor Fisik Pada Proses PCR :
Secara umum optimasi proses PCR dapat dilakukan dengan cara memvariasikan kondisi
yang digunakan pada proses PCR tersebut. Optimasi kondisi berkaitan erat dengan
faktor-faktor fisik seperti jenis polimerase DNA; suhu; konsentrasi, dalam hal ini
berkaitan dengan dNTPs, MgCl2 dan DNA polimerase; buffer PCR dan waktu.
1. Jenis polimerase DNA
Kemampuan mengkatalisis reaksi polimerasi DNA pada proses PCR yang terjadi pada
tahap ekstensi untuk DNA rantai panjang akan berbeda dengan untuk DNA rantai pendek.
Penggunaan jenis DNA polimerase tergantung pada panjang DNA target yang akan
diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA lebih besar dari tiga kilobasa akan
memerlukan jenis polimerase dengan aktivitas tinggi.
2. Konsentrasi dNTPs, MgCl2; polimerase DNA
Konsentrasi optimal dNTPs ditentukan oleh panjang target DNA yang diamplifikasi.
Untuk panjang target DNA kurang dari satu kilobasa biasanyadigunakan konsentrasi
dNTPs sebanyak 100 uM, sedangkan untuk panjang target DNA lebih besar dari satu
kilobasa diperlukan konsentrasi dNTPs sebanyak 200 uM. Umumnya konsentrasi optimal
MgC2 berkisar antara 1,0 – 1,5 mM. Konsentrasi MgCl2 yang terlalu rendah akan
menurunkan perolehan PCR. Sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi akan
menyebabkan akumulasi produk non target yang disebabkan oleh terjadinya mispriming.
Jumlah polimerase DNA yang digunakan tergantung pada panjang fragmen DNA yang
akan diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA kurang dari dua kilobasa diperlukan
1,25 – 2 unit per 50 uL campuran reaksi, sedangkan untuk panjang fragmen DNA lebih
besar dari dua kilobasa diperlukan 3 – unit per 50 uL campuran reaksi.
3. Suhu
Pemilihan suhu pada proses PCR sangat penting karena suhu merupakan salah satu faktor
yang menentukan keberhasilan suatu PCR. Dalam hal ini suhu berkaitan dengan proses
denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Suhu denaturasi DNA templat
berkisar antara 93 – 95ºC, ini semua tergantung pada panjang DNA templat yang
digunakan dan juga pada panjang fragmen DNA target. Suhu denaturasi yang terlalu
tinggi akan menurunkan aktivitas polimerase DNA yang akan berdampak pada efisiensi
PCR. Selain itu juga dapat merusak DNA templat, sedangkan suhu yang terlalu rendah
dapat menyebabkan proses denaturasi DNA templat tidak sempurna. Pada umumnya suhu
denaturasi yang digunakan adalah 94ºC. Secara umum suhu annealing yang digunakan
berkisar antara 37 - 60ºC.
4. Buffer PCR
Buffer PCR yang digunakan berkaitan dengan pH dan kapasitas buffernya. Dalam
perdagangan ada dua jenis buffer PCR yaitu “Low-salt buffer”(pH 8,75 dan kapasitas
buffer rendah) dan “High-salt buffer” (pH 9,2 dan kapasitas buffer tinggi). Umumnya
buffer PCR tersedia sesuai dengan jenis polimerase DNA nya. Untuk panjang DNA target
antara 0 – 5 kilobasa biasanya diperlukan “low-salt buffer” sedangkan untuk panjang
DNA target lebih besar dari lima kilobasa digunakan “high-salt buffer”.
5. Waktu
Pemilihan waktu yang digunakan berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat,
Annealing dan ekstensi primer. Untuk denaturasi DNA templat umumnya dilakukan
selama 30 – 90 detik, ini semua tergantung pada DNA templat yang digunakan. Waktu
denaturasi yang terlalu lama akan merusaktemplat DNA dan sekaligus dapat menurunkan
aktivitas polimerase DNA.Sedangkan waktu denaturasi yang terlalu pendek akan
menyebabkan proses denaturasi tidak sempurna. Untuk panjang primer 18 – 22 basa
cukup dengan 30 detik, sedangkan untuk panjang primer lebih besar dari 22 basa
diperlukan waktu annealing 60 detik.