Penatalaksanaan Hipertensi Pada Usia Lanjut

PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA USIA LANJUT
Bistok Sihombing, Dina Aprilia, Arianto Purba, Faisal Sinurat
Divisi Geriatri – Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK USU / RSUP Haji Adam Malik Medan

PENDAHULUAN
Seiring dengan meningkatnya usia maka penyakit kronis juga semakin meningkat,
sehingga usia lanjut lebih banyak membutuhkan terapi dengan obat untuk
penatalaksanaan berbagai penyakit yang diderita. Hipertensi merupakan suatu penyakit
yang prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia. Sekitar 90% usia dewasa
dengan tekanan darah normal akan berkembang menjadi hipertensi pada usia lanjut.1
Hipertensi pada usia lanjut mempunyai beberapa kekhususan, umumnya disertai
dengan faktor resiko yang lebih berat, sering disertai penyakit – penyakit lain yang
mempengaruhi penanganan hipertensi seperti dosis obat, pemilihan obat, efek samping
atau komplikasi karena pengobatan lebih sering terjadi, terdapat komplikasi organ target,
kepatuhan berobat yang kurang sering tidak mencapai target pengobatan dan lain – lain.
Kesemua ini menjadikan hipertensi usia lanjut tergolong dalam risiko kardiovaskular
yang tinggi atau sangat tinggi. Oleh karena itu penanganan hipertensi pada usia lanjut
membutuhkan perhatian yang jauh lebih besar. 2
Banyak dokter tidak mengobati hipertensi pada usia lanjut sampai optimal
( mencapai target kurang dari 150/90 mmHg ) mengingat kekuatiran terjadinya efek

samping pengobatan yang lebih besar dibandingkan manfaatnya.Selain itu ada juga
beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan, yaitu faktor yang turut mempengaruhi
respon pasien usia lanjut terhadap terapi anti hipertensi, seperti aterosklerosis, perubahan
kardiovaskular akibat proses degeneratif, penurunan respons baroreflex dan lain- lain.3
Tekanan darah sistolik (TDS) akan terus meningkat seiring dengan pertambahan
usia, akan tetapi peningkatan Tekanan Darah Diastolik (TDD) seiring pertambahan usia
hanya terjadi sampai sekitar usia 55 tahun, yang kemudian menurun oleh karena
terjadinya proses kekakuan arteri akibat aterosklerosis. Pada kelompok usia 60 tahun,

1
Universitas Sumatera Utara

hanya 2/3 pasien hipertensi menderita hipertensi sistolik terisolasi ( HST), sedangkan
pada kelompok 75 tahun lebih dari ¾ pasien menderita HST. 3
Pemberian obat anti hipertensi pada usia lanjut dengan TDS atau TDD yang tinggi
telah menunjukkan keberhasilan dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Dari hasil penelitian yang terakhir, HYVET (2008), pada penderita populasi usia sangat
lanjut yang berusia lebih dari 80 tahun, pengobatan hipertensi berhasil mengurangi
morbiditas dan mortalitas. 3


II. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 1988 – 1991 National Health and Nutrition Examination Survey
menemukan prevalensi hipertensi pada kelompok umur 65-74 tahun sebagai berikut :
prevalensi keseluruhan 49,6 % untuk hipertensi derajat I ( TD 140-159/90-99 mmHg) ;
18,2 % untuk hipertensi derajat II ( TD 160-179/100-109 mmHg), dan 6,5 % untuk
hipertensi derajat III ( TD >180/>110 mmHg mmHg). Prevalensi Hipertensi Sistolik
Terisolasi (HST) adalah sekitar berturut –turut : 7%;11%;18% dan 25% pada kelompok
umur 60-69, 70-79, 80-89, dan diatas 90 tahun. HST lebih sering dijumpai pada
perempuan daripada laki – laki. 4
Pada tahun 2010 populasi penduduk Indonesia yang berusia lebih dari 60 tahun
diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 400 %, jauh lebih besar dibandingkan
dengan prediksi populasi balita (bawah usia lima tahun). Prevalensi hipertensi pada usia
> 60 tahun sangat tinggi, dan bila disertai faktor risiko penyakit kardiovaskular yang lain
( misalnya obesitas, hipertrofi ventrikel kiri, kurang aktivitas fisik / olahraga,
hiperlipidemia, penyakit ginjal kronik, dan diabetes ) akan menyebabkan risiko
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. 3

2
Universitas Sumatera Utara


Gambar 1. Komposisi penduduk usia lanjut di Indonesia tahun 2012
(sumber : Kementrian Kesehatan RI, Profil Kesehatan Indonesia, 2012.

Gambar 1 diatas memperlihatkan komposisi penduduk usia lanjut di Indonesia
tahun 2012. Nampak proporsi penduduk usia lanjut pada tahun 2012 sebesar 7,59 %.
Jumlah penduduk usia lanjut perempuan (10.046.073 jiwa atau 54 %) lebih banyak dari
pada penduduk usia lanjut laki-laki (8.538.832 jiwa atau 46 %).5
Sejak tahun 2000, persentase penduduk usia lanjut melebihi 7 % yang berarti
Indonesia mulai masuk ke dalam kelompok negara berstruktur tua (ageing population).
Adanya struktur ageing population merupakan cerminan dari semakin tingginya Usia
Harapan Hidup (UHH). Tingginya UHH merupakan salah satu indikator keberhasilan
pencapaian pembangunan nasional terutama di bidang kesehatan. 5

Gambar 2. Perkembangan proporsi penduduk usia lanjut di Indonesia tahun 1980-2020
( Sumber : BPS, 2012)

Dari hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional ( RISKESDAS ) tahun 2007
didapatkan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7 %, yang meningkat semakin
banyak, sehingga diatas 55 tahun melebihi 50%. Di negara maju seperti di Amerika
Serikat prevalensi hipertensi pada usia diatas 65 tahun adalah 72 %. Pada penelitian

Framingham, (Framingham Heart Study) menyebutkan bahwa pada kelompok yang

memiliki tekanan darah optimal ( 65 tahun, (16, 26, dan 50 % masing – masing ). Hal yang
serupa dijumpai kelompok usia yang lebih muda, namun dengan

dengan tingkat

progresifitas yang lebih rendah. Pada kelompok usia 55 sampai 65 tahun dengan tekanan
darah normal, sekitar 90 % akan menjadi hipertensi tahap I (TD 140-159/90-99 mmHg)
dan sekitar 40 % akan menjadi hipertensi tahap II ( TD ≥160/≥100 mmHg). 2,6

Tabel 1. Prevalensi Hipertensi di Indonesia dari RISKESDAS 2007
Kelompok Umur

Prevalensi

18 -24
25 -34
35 -44
45 -54

55 -64
65 - 74
> 75
Rerata

12,2
19,0
29,9
42,4
53,7
63,5
67,3
31,7

Dikutip dari Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam, Edisi VI tahun 2014 2

Tabel 2 dibawah ini memperlihatkan 10 penyakit terbanyak yang diderita oleh
kelompok usia lanjut tahun 2013. Nampak jenis penyakit yang mendominasi adalah
golongan penyakit tidak menular, penyakit kronik dan degeneratif, terutama golongan
penyakit kardiovaskular. 5


4
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2. 10 Penyakit terbanyak pada Lansia Tahun 2013 5

III. DEFINISI
Dalam rekomendasi penatalaksanaan hipertensi yang dikeluarkan

oleh The

Seventh of Joint National Commitee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment
of High Blood Pressure ( JNC VII ) 2003, World Health Organisation / International
Society of Hipertension ( WHO-ISH ) 1999, British Hypertension Society 2006,
European Society of Hypertension / european Society of Cardiology ( ESH/ESC ) 2007,
defenisi hipertensi sama untuk semua golongan umur di atas 18 tahun. Pengobatan juga
bukan berdasarkan penggolongan umur, melainkan berdasarkan tingkat tekanan darah
dan adanya risiko kardiovaskular pada pasien. 3

Tabel 3. Definisi Hipertensi dari JNC - 7

Klasifikasi
Normal
Prehypertension
Stage 1 Hypertension
Stage 2 Hypertension
Isolated Systoloc Hypertension
Dikutip dari : JNC-7, 2003 7

TD Sistolik
(mmHg)

TD Diastolik
(mmHg)

20 mmHg dan / atau tekanan darah diastolik > 10 mmHg setelah berdiri dari
posisi duduk selama tiga menit. Hipotensi orthostatik merupakan faktor risiko untuk
terjadinya jatuh (falls), sinkop (syncope) dan timbulnya kejadian kardiovaskular.
Disregulasi otonom juga dapat menyebabkan hipertensi orthostatik, yaitu peningkatan
tekanan darah sistolik pada saat perubahan posisi postur tubuh menjadi berdiri, dan
merupakan faktor risiko terjadinya hipertrofi ventrikel kiri ( LVH), penyakit arteri

koroner ( CAD), dan penyakit serebrovaskular lainnya yang asimptomatik ( silent
cerebrovascular disease).
mengenai

definisi

Sampai saat ini belum ada konsensus yang menjelakan

hipertensi

menggunakan defenisi

orthostatik,

meskipun

beberapa

penelitian


telah

peningkatan sekitar 20 mmHg tekanan darah sistolik saat

perubahan posisi menjadi berdiri. 8
Komplikasi lain seperti kerusakan mikrovaskular pada ginjal juga menjadi salah
satu penyebab penyakit ginjal kronik (PGK), yang berakibat berkurangnya fungsi tubulus
ginjal dalam mengatur keseimbangan elektrolit natrium dan kalium. Fungsi ginjal yang
menurun secara progresif pada usia lanjut dapat terjadi juga oleh proses glomerulo-

7
Universitas Sumatera Utara

sklerosis dan fibrosis-intestinal yang menyebabkan kenaikan tekanan darah melalui
mekanisme peningkatan natrium intrasel, penurunan pertukaran ion natrium-kalsium, dan
ekspansi volume darah. 2
Peningkatan tekanan darah oleh karena adanya penyebab sekunder perlu
dipertimbangkan, seperti adanya stenosis arteri renalis yang diakibatkan oleh lesi
aterosklerosis, obstructive sleep apnoe (OSA), meningkatnya curah jantung (Cardiac
Output) karena anemia, insufisiensi aorta, fistula arteriovena, aldosteronisme primer,

penyakit Paget dan tirotoksikosis. Penyebab kenaikan tekanan darah yang lain adalah
gaya hidup berlebihan, kebiasaan minum minuman keras, merokok, konsumsi kafein,
obat-obatan AINS ( Anti Inflamasi Non Steroid ), pemakaian steroid, hormon, narkotika,
kurang asupan kalsium, vitamin D dan vitamin C. 2,6

Pengaruh HST terhadap morbiditas dan mortalitas kardiovaskular

Pada usia lanjut, hasil pengobatan tidak hanya diukur oleh keberhasilan
penurunan tekanan darah pada morbiditas dan mortalitas kardiovaskular, tetapi juga oleh
berbagai hal, termasuk efek terhadap stroke, pencegahan demensia atau penurunan fungsi
kognitif, serta pengaruh dari diabetes, dan Indeks Massa Tubuh (IMT) atau obesitas. 3

Stroke

Hipertensi merupakan faktor risiko stroke utama yang memiliki potensi tinggi
untuk dimodifikasi. Setiap peningkatan 7 mmHg TDD dapat meningkatkan risiko relatif
untuk terkena stroke sebesar 100 %. Terapi preventif untuk meurunkan angka morbiditas
dan mortalitas stroke dengan cara pengendalian hipertensi menunjukkan keberhasilan
yang bermakna. Regimen terapi hipertensi yang dapat mempertahankan penurunan TDD
sebesar 5 – 6 mmHg dalam jangka waktu lama dapat menurunkan faktor risiko sebesar 35

– 40 %. 3

Fungsi Kognitif dan Demensia

Kemunduran kognitif ditandai dengan lupa pada hal yang baru, akan tetapi masih
dapat melakukan aktivitas dasar sehari – hari. Pada dekade terakhir ini, banyak peneliti

8
Universitas Sumatera Utara

yang melakukan observasi terhadap hubungan antara hipertensi dan demensia, termasuk
diantaranya penyakit Alzheimer. 3
Walaupun studi / penelitian Hypertension in the Very Elderly Trial – Cognitive
(HYVET-COG)

tidak menjumpai perbedaan yang bermakna antara kelompok

antihipertensi dan kelompok non-hipertensi pada sisi demensia maupun penurunan fungsi
kognitif, kesimpulan yang seharunya digarisbawahi adalah bahwa pemberian terapi anti
hipertensi Tidak Meningkatkan risiko demensia maupun penurunan fungsi kognitif. Hal
ini lebih penting, karena beberapa pendapat yang beredar percaya bahwa pengobatan
hipertensi akan mengakibatkan penurunan aliran darah otak yang pada gilirannya akan
menyebabkan demensia maupun penurunan fungsi kognitif. 3,9

Diabetes Mellitus (DM)

Pasien dengan DM mempunyai risiko kardiovaskular yang lebih besar
dibandingkan dengan tanpa DM. Berdasarkan penelitian / studi SHEP yang dilaporkan
pertama kali tahun 1996, dan Syst-Eur tahun 1999 pada pasien usia lanjut dengan DM,
didapatkan bahwa pengobatan diuretik atau antagonis kalsium mempunyai efek
penurunan tekanan darah yang sama. Apabila dibandingkan dengan pasien non DM,
pasien dengan DM mempunyai penurunan morbiditas dan mortalitas yang lebih besar.
Hal ini penting mengingat anggapan bahwa hanya ACE Inhibitor atau ARB yang amat
dianjurkan pada pasien DM. Hasil dari dua studi ini lebih menekankan pada pentingnya
pencapaiaan kontrol tekanan darah pada usia lanjut. 3

Pengaruh Indeks Massa Tubuh ( IMT ) pada Prognosis Hipertensi Usia Lanjut

Penelitian SHEP yang menggunakan diuretik, menghasilkan parameter survival
dan kejadian klinik lebih baik pada yang termasuk obesitas, dibandingkan yang
mempunyai IMT normal. Sudah lama diketahui bahwa pasien hipertensi yang gemuk
mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang kurus. Salah satu
penjelasannnya adalah bahwa pada pasien hipertensi yang gemuk, peningkatan tekanan
darah terutama diakibatkan oleh peningkatan volume plasma, sedangkan pada pasien
hipertensi yang tidak gemuk diakibatkan oleh peningkatan sistem simpatis dan sistem
renin angiotensin. Selain itu peningkatan tekanan darah pada usia lanjut dengan obesitas,

9
Universitas Sumatera Utara

juga berkaitan dengan peningkatan aktivitas leptin dan terjadinya resistensi insulin.
Sehingga kontrol berat badan merupakan komponen yang penting dari pengobatan nonfarmakologik. 3

V. DIAGNOSA
Diagnosa hipertensi pada usia lanjut sama dengan mendiagnosa hipertensi lainnya.
Diagnosa hipertensi dilakukan berdasarkan pengukuran tekanan darah yang baik dan
benar dan dilakukan sedikitnya sebanyak 3 (tiga) kali pengukuran tekanan darah yang
berbeda, dan dilakukan pada lebih dari 2 (dua) kali kunjungan. Pengukuran tekanan darah
dilakukan sedikitnya 2 (dua) kali setiap kunjungannya, setelah pasien duduk dengan
nyaman sedikitnya selama 5 (lima) menit dengan sandaran punggung, kaki terletak di
lantai, lengan diletakkan pada sandaran lengan dengan posisi mendatar dan posisi manset
sejajar dengan letak jantung. Pengukuran tekanan darah pada kelimpok usia lanjut
seharusnya juga dilakukan pada posisi berdiri dari posisi duduk setelah 1 sampai dengan
3 menit. Hal ini dilakukan untuk mengevaluasi adanya hipotensi maupun hipertensi
postural. 15
Pengukuran Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah secara tepat sangat diperlukan, baik pada saat
menegakkan diagnosis hipertensi maupun untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
Pengukuran tekanan darah yang akurat dianggap mewakili nilai sebenarnya pada pasien
usia lanjut seringkali merupakan suatu tantangan tersendiri, terutama akibat fisiologi
proses penuaan (degeneratif) yang terjadi. 3, 16
Pengukuran tekanan darah yang tidak akurat juga dapat terjadi akibat faktor
pseudo-hipertensi, yang terjadi bila manset pengukur tekanan darah gagal mengkompresi
arteri brakhialis yang kaku dan mengeras akibat proses kalsifikasi. 3
Penurunan respon barorefkleks sesuai umur dapat mengakibatkan hipotensi
ortostatik. Oleh karena itu sering didapatkan tekanan darah yang menurun secara
berlebihan pada posisi berdiri, sesudah makan atau sesudah beraktivitas. Dengan
demikian pengukuran tekanan darah sebaiknya dilakukan pada posisi duduk dan posisi
berdiri. 3

10
Universitas Sumatera Utara

Rekomendasi Pengukuran Tekanan Darah dari Canadian Hypertension Education
Program (CHEP,2009) 3 :

 Pengukuran sebaiknya dilakukan dengan spigmomanometer

 Gunakan manset yang sesuai, lebar bladder sekitar 40 % lingkar lengan, panjang
bladder sekitar 80 – 100 % lingkar lengan.

 Batas bawah manset sekitar 3 cm diatas lipat siku dan bladder harus diletakkan
sedemikian rupa sehingga arteri brakhialis berada ditengah – tengah bladder.

 Sebelum melakukan pengukuran, pasien harus duduk istirahat dengan nyaman pada
kursi berpunggung selama minimal 5 menit.

 Pengukuran dilakukan pada lengan telanjang. Lengan diletakkan sedemikian rupa
sehingga fossa antekubiti sejajar dengan jantung.

 Saat pemeriksaan dilakukan, pasien tidak boleh berbicara, kaki/tungkai tidak boleh
disilangkan.

 Kembangkan manset hingga 30 mmHg lebih tinggi dari tekanan saat pulsasi arteri
radialis menghilang.

 Kurangi tekanan manset dengan kecepatan 2 mmHg setiap detakan jantung.

 Nilai sistolik  saat suara detak jelas terdengar pertama kali ( fase I Korotkof )

 Nilai Diastolik  saat suara detak tidak terdengar lagi ( fase V Korotkof )
 Lanjutkan auskultasi hingga 10 mmHg di bawah fase V Korotkof

 Bila suara detak fase V Korotkof masih terdengar hingga 0 mmHg, maka yang
dianggap nilai diastolic adalah “Muffling Sound“ ( fase IV Korotkof )

 Bandingkan dengan frekuensi detak jantung

 Pengukuran minimal dilakukan tiga kali pada posisi yang sama. Beri jarak minimal
satu menit tiap pengukuran dilakukan. Pengukuran pertama diabaikan, kemudian
diambil rata – rata dari dua pengukuran selanjutnya.

 Tekanan darah saat berdiri juga harus diukur setelah pasien berdiri dua menit,
demikian pula bila pasien memiliki keluhan hipotensi ortostatik.

 Tekanan darah saat duduk digunakan untuk menetapkan diagnosis dan tatalaksana
hipertensi.

11
Universitas Sumatera Utara

 Tekanan darah saat berdiri digunakan untuk hipotensi postural, yang bila terdeteksi
dapat merubah tatalaksana hipertensi yang dipilih.

 Pengukuran tekanan darah sebaiknya dilakukan pada kedua lengan pada minimal
satu kali kunjungan. Bila salah satu lengan secara konsisten menunjukkan tekanan
darah yang lebih tinggi, maka lengan tersebut sebaiknya digunakan sebagai patokan
untuk pengukuran maupun interpretasi tekanan darah.
Selain mengukur tekanan darah di klinik (office), pengukuran tekanan darah juga
dapat dilakukan di rumah (out office) baik dengan cara Home Blood Pressure
Measurement (HBPM) maupun Ambulatory Blood Pressure Measurement (ABPM).

Keuntungan utama dari pengukuran HBPM dan ABPM adalah pengukuran tekanan darah
dilakukan tidak dalam suasana medis seperti di klinik atau rumah sakit, sehingga suasana
menjadi lebih nyaman dan santi bagi pasien.16
Pemantauan tekanan darah ambulatoris ( ABPM ; Ambulatory Bood Pressure
Monitoring ) dapat berguna dalam dokumentasi “white coat hypertension” dan untuk

memverifikasi gejala hipotensi pada pasien – pasien yang mendapat terapi anti hipertensi.
Sebuah studi menemukan bahwa monitoring tekanan darah ambulatoris merupakan
prediktor yang lebih baik untuk risiko kardiovaskular bila dibandingkan pengukuran
tekanan darah secara konvensional pada populasi usia lanjut dengan Hipertensi Sistolik
Terisolasi (HST ). Pilihan untuk melakukan HBPM atau ABPM didasarkan pada
ketersediaan alat, biaya dan ksediaan pasien. Umumnya HBPM dilakukan pada pusat
layan primer, sedangkan ABPM dilakukan pada pusat layanan spesialis3, 16
Tabel 4. Definisi Hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah di klinik dan
pengukuran tekanan darah di rumah(di luar klinik )16

12
Universitas Sumatera Utara

Tabel 5. Indikasi Klinis untuk HBPM dan ABPM16

Gejala Klinis

Kebanyakan penderita hipertensi pada usia lanjut tidak memiliki gejala
(asimtomatik ). Gejala yang biasanya dijumpai pada hipertensi antara lain : pusing,
palpitasi ( jantung berdebar-debar), atau sakit kepala. Skit kepala pada pagi hari terutama
didaerah oksipital merupakan karakteristik dari hipertensi Stadium II. Kerusakan target
organ seperti stroke, penyakit jantung kongestif, atau gagal ginjal mungkin merupakan
tanda awal. 8

Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit dan perjalanan penyakit pasien harus diarahkan sesuai dengan
kemungkinan dari penyebab hipertensi sekunder, bisa berupa penambahan berat badan,
poliuria, polidipsi, kelemahan otot, riwayat sakit kepala sebelumnya, palpitasi,
diaphoresis ( keringat berlebihan ), kehilangan berat badan, ansietas, dan riwayat tidur
( misalnya : tidur lebih banyak pada siang hari, mengorok yang kuat, nyeri kepala pada
waktu dini hari ). 8

13
Universitas Sumatera Utara

Gejala dan tanda yang dicurigai sebagai kelainan pada organ target antara lain :
nyeri kepala, kelemahan ataupun kebutaan sementara, klaudikasio, nyeri dada, dan sesak
nafas. Penyakit komorbid seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, gagal
jantung, penyakit obstruksi paru menahun (PPOM), gout, dan disfungsi seksual
merupakan temuan penting, karena akan dihubungkan dengan stratifikasi faktor risiko
koroner dan pilihan terapi inisial (awal). 8
Riwayat pemakaian obat –obatan, termasuk pemakaian obat anti hipertensi
sebelumnya, obat bebas yang digunakan seperti NSAIDs dan obat flu, dan obat jenis
herbal perlu ditanyakan. Kebiasaan sehari – hari dan gaya hidup selama ini termasuk
kebiasaan merokok, minum alkohol, penggunaan obat-obatan ( narkotika), latihan fisik
yang teratur, dan derajat aktivitas fisik sehari-hari harus dinilai. Riwayat diet makanan
tertentu seperti diet tinggi garam ( yang bisa menaikkan tekanan darah ), konsumsi lemak
( meningkatkan risiko kardiovaskular), dan konsumsi alkohol ( yang bila dikonsumsi
dalam jumlah berlebihan bisa memicu kenaikan tekanan darah ) sangat penting untuk
ditanyakan kepada pasien maupun keluarga pasien saat dilakukan anamnesis. 8

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mengkonfirmasi hipertensi dan untuk
mengidentifikasi kemungkinan penyebab dari hipertensi sekunder. Hasil pemeriksaan
fisik diarahkan kepada kelainan organ target seperti perubahan vaskular optalmologis
pada funduskopi, bruit pada karotis, pelebaran vena di leher, suara bunyi jantung ketiga
dan keempat, ronkhi basah paru, dan melemahnya pulsasi arteri perifer). Pemeriksaan
fungsi kognitif ( seperti Mini Mental State Examination (MMSE), Montreal Cognitive
Assessment, atau St. Louis University Mental Status Examination ) sangat membantu
dalam mendeteksi adanya gangguan fungsi kognitif pada pasien usia lanjut dengan
hipertensi. Penyebab hipertensi sekunder termasuk didalamnya bruit renalis ( stenosis
arteri renalis ); moon face, buffalo hump, dan abdominal striae ( pada sindroma cushing );
tremor, hiperrefleksia, dan takikardi ( pada thyrotoksikosis ) harus di periksa secaa
seksama. 2,3,8

14
Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya

Pemeriksaan laboratorium dimaksudkan untuk menentukan ada tidaknya faktor
risiko tambahan, mecari kemungkinan hipertensi sekunder dan kerusakan target organ.
Pemeriksaan darah rutin lengkap, pemeriksaan fungsi ginjal, asam urat, elektrolit, panel
metabolik, profil lipid, kadar gula darah puasa, tes fungsi tiroid ( thyroid stimulating
hormone ; TSH), urinalisia, EKG dan foto thoraks PA. 8

VI. DIAGNOSA BANDING
Pada umumnya pasien usia lanjut dengan hipertensi mengalami hipertensi primer
atau hipertensi esensial. Hipertensi sekunder merujuk kepada hipertensi yang
penyebabnya dapat diketahui dengan jelas ( teridentifikasi) dan bisa diobati. Hipertensi
renovaskular yang disebabkan oleh stenosis arteri renalis merupakan penyebab tersering
hipertensi sekunder yang bisa diobati pada pasien usia lanjut. Penyebab lainnya seperti
obstructive sleep apnoe (OSA), primary aldosteronism dan penyakit gangguan tiroid
harus dipertimbangkan pada kasus dimana tekanan darah tetap diatas target optimal
meskipun telah mendapatkan terapi dengan menggunakan tiga jenis rejimen obat anti
hipertensi dengan dosis maksimal, dan dimana anamnesis dan pemeriksaan fisik
mengarah kepada kelainan tersebut diatas. 2,3,8
Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan faktor risiko independen dan kuat
untuk progresivitas dan terjadinya hipertensi, terutama hipertensi yang resisten terhadap
pengobatan dan komplikasi ginjal dan kardiovaskular. Overload cairan dan pergantian
/perpindahan cairan, meningkatnya aktivasi saraf simpatis, stress oksidatif, inflamasi, dan
pelepasan substansi vaso aktif pada saat terjadinya hipoksemia intermiten, bisa
berkontribusi terhadap meningkatnya tekanan darah pada pasien yang mengalami
obstructive sleep apne (OSA). 2,3,8
Penggunaan obat – obatan anti inflamasi seperti NSAIDs dapat memicu terjadinya
hipertensi. Selain itu obat –obatan seperti cyclooxygenase-2 inhibitor, gluco corticoid,
erythropoietin analog, disease modifying anti rheumatic drug (DMARD) ( misalnya :
leflunomide), immunesuppressan ( seperti : cyclosoprin dan tacrolimus), dan obat anti
depresan ( seperti : venlaxapine dosis tinggi ) bisa meningkatkan tekanan darah. Narkoba

15
Universitas Sumatera Utara

jenis cocain, ecstasy, nikotin dan stimulansia ( seperti methyl phenidate ) penggunaan dan
reaksi putus obatnya juga dapat dihubungkan dengan hipertensi. 2,3,8
Pheochromacytoma adalah tumor yang jarang ditemui, dan bertanggungjawab
terhadap 0,5 % kasus hipertensi sekunder yang biasanya ditemui pada usia pertengahan
antara 30 – 60 tahun. Tumor intra kranial pada daerah yang dekat dengan nervus
glossopharyngeal bisa menyebabkan kegagaan system baroreseptor, yang bisa
menyebakan hipertensi yang labil (peningkatan tekaan darah secara mendadak , yang
berlangsung selama beberapa menit sampai berjam-jam, takikardi dan sakit kepala ) atau
takikardi orthostatik (peningkatan detak jantung ( heart rate ; HR) >30 kali per menit dari
posisi terlentang ke posisi bangkit berdiri). 2,3,6, 8

VII. PENATALAKSANAAN
Sebagian besar pasien usia lanjut yang didiagnosis hipertensi pada akhirnya
menjalani terapi menggunakan obat antihipertensi. Pengobatan hipertensi secara
farmakologi pada usia lanjut sedikit berbeda dengan usia muda, karena adanya perubahan
– perubahan fisiologis akibat proses menua. Perubahan fisiologis yang terjadi pada usia
lanjut menyebabkan konsentrasi obat menjadi lebih besar, waktu eliminasi obat menjadi
lebih panjang, terjadi penurunan fungsi dan respon dari organ, adanya berbagai penyakit
penyerta lainnya (komorbiditas), adanya obat-obatan untuk penyakit penyerta yang
sementara dikonsumsi harus diperhitungkan dalam pemberian obat antihipertensi.
Perubahan sistem biologis pada usia lanjut akan mempengaruhi proses interaksi molekul
obat yang pada akhirnya mempengaruhi manfaat klinik dan keamanan farmakoterapi.
Frekuensi terjadinya efek samping pada kelompok usia lanjut lebih tinggi bila
dibandingkan dengan populasi pada umumnya. Selain itu pasien usia lanjut merupakan
salah satu pasien yang rentan terhadap interaksi obat. 1

16
Universitas Sumatera Utara

Gambar 3 . Algoritme Penatalaksanaan Hipertensi pada Usia Lanjut16

Target pengobatan hipertensi pada usia lanjut

Tujuan umum penatalaksanaan hipertensi adalah untuk mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas dengan diagnosa dini pengobatan dengan prinsip least-invasive
dan metode yang paling cost-effecive. 8
The National Institute for Health and Clinical Excellence ( NICE )

merekomendasikan target penurunan tekanan darah < 140/90 mmHg pada kelompok usia
< 80 tahun, dan pada kelompok usia > 80 tahun target penurunn tekanan darah < 150/90
mmHg. The American Collage of Cardiology Foundation and American Heart

17
Universitas Sumatera Utara

Association ( ACCF/AHA) 2011 merekomendasikan pencapai target tekanan darah

sistolik (TDS) 140-145 mmHg. The Seventh Joint National Commitee (JNC-7)
merekomendasikan target penurunan tekanan darah pada penderita DM dan Hipertensi <
130/80 mmHg tanpa memandang usia, namun target ini dinilai terlalu agresif pada
kebanyakan penderita usia lanjut. 8 Menurut The Eight Joint National Commitee (JNC
8) for Management of High Blood Pressure in Adults tahun 2014, merekomendasikan

pada kelompok usia ≥60 tahun mulai pengobatan dengan anti hipertensi bila tekanan
darah ≥150/90 mmHg dan target penurunan tekanan darah 300 mL/minggu atau 34 gr alkohol/hari)
terbukti secara independen, signifikan, dan kuat berhubungan dengan peningkatan
tekanan darah, dan dapat juga dihubungkan dengan peningkatan risiko kejadian
kardiovaskular, stroke dan semua penyebab kematian lainnya bila dibandingkan
dengan kelompok yang bukan pecandu alkohol ( occasional drinking).
4. Latihan fisik teratur

Melakukan aktivitas fisik yang bersifat aerobik selama 30 – 45 menit selama 4
hari atau lebih dalam seminggu dianggap bermanfaat untuk usia lanjut dengan
hipertensi.

21
Universitas Sumatera Utara

5. Menurunkan berat badan

Kelompok dengan usia lanjut disebut obesitas bila indeks massa tubuh > 30 kg/m2.
Penelian TONE membuktikan bahwa terjadi penurunan tekanan darah dengan

penurunan berat badan baik dengan latihan fisik maupun dengan pembatasan diet.
Namun berdasarkan pengamatan selama 12 tahun terhadap angka kematian, data
dari penelitian TONE gagal membuktikan keuntungan dari segi angka mortalitas
antara kelompok usia lanjut yang menjalani proses penurunan berat badan bila
dibandingkan dengan kelompok usia lanjut yang tidak mengalami intervensi
untuk penurunan berat badan. Data populasi pada kelompok usia lanjut
menyebutkan bahwa pada orang yang mengalami malnutrisi ( under weight)
memiliki resiko yang sama untuk mengalami disabilitas fisik dibandingkan
dengan kelompok usia lanjut yang mengalami kelebihan berat badan
( overweight).
6. Berhenti merokok

Kelompok usia lanjut harus didorong untuk berhenti merokok, hal ini bisa
dilakukan dengan bantuan nikotin patch, nikotin gum, maupun dengan obat –
obatan seperti bupropion dan varenicline namun dengan pengawasan yang ketat
terhadap efek samping yang mungkin terjadi seperti kejang, skizofrenia, psikosis,
gangguan mood, ansietas, skin rash, gangguan kardiovaskular dan gangguan
pencernaan seperti mual dan muntah.
7. Menghindari polifarmasi

Menghindari penggunaan obat – obatan lainnya secara bersamaan yang berpotensi
untuk menaikkan tekanan darah seperti golongan NSAIDs, sebaiknya dihentikan
atau dipertimbangkan pemakaiannya dan dengan membandingkan antara manfaat
yang didapat dengan kerugian yang diperoleh terhadap pasien.
8. Mengkonsumsi “dark chocolate”

Dark Chocolate yang kaya akan kandungan “polyphenol” telah terbukti mampu
menurunkan tekanan darah pada berbagai penelitian. Namun belum tersedia data
klinis yang menunjukkan manfaat penurunan terhadap risiko stroke dan serangan
jantung.

22
Universitas Sumatera Utara

Tabel 7 . Modifikasi Gaya Hidup pada Penatalaksaan Hipertensi pada Usia Lanjut 15

Pengobatan Inisial pada Hipertensi tanpa komplikasi

Konsensus penatalaksanaan hipertensi pada usia lanjut membagi pengobatan
inisial menjadi hipertensi tanpa komplikasi dan hipertensi dengan komplikasi.
Berdasarkan hasil meta analisis terakhir, rekomendasi terapi inisasi pada usia lanjut yang
tanpa komplikasi adalah golongan diuretik thiazid, Calcium Channel Blocker (CCB ),
Angiotensin Converting Enzyme – Inhibitor (ACE-Inhibitor), Angiotensin Reseptor
Blocker (ARB), penyekat beta (β-blocker). 2,3,8

Rekomendasi dari Kanada (Canadian Hypertension Education Program ; CHEP)
tidak menganjurkan pemakaian penghambat receptor beta (β-blocker) mengingat
banyaknya kasus penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) pada usia lanjut.
Kebanyakan usia lanjut memerlukan dua obat anti hipertensi atau lebih untuk mencapai
target tekanan darah yang diinginkan. Rekomendasi JNC-7, European Society of
Hypertension dan lain- lain, pengobatan dimulai dengan menggunakan dua obat anti
hipertensi apabila tekanan darah sudah melebihi 20/10 mmHg dari target tekanan
darah.2,3,8 Sebelum menambahkan obat antihipertensi yang baru, kemungkinan alasan
tidak adekuatnya pengobatan anti hipertensi sebelumnya harus di evaluasi, termasuk
didalamnya kepatuhan, kelebihan cairan, interaksi obat ( penggunaan OAINs, kafein, anti
depresan, nasal dekongestan yang mengandung simpatomimetik ) dan situasi yang
berhubungan dengan kondisi seperti obesitas, merokok, konsumsi alkohol yang berlebih,

23
Universitas Sumatera Utara

resistensi insulin, dan pseudoresistensi. Pseudoresistensi adalah suatu respon yang
inadekuat terhadap terapi antihipertensi yang disebabkan oleh pengukuran tekanan darah
di klinik adalah positif palsu atau tekanan darahnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan
pengukuran tekanan darah diluar klinik seperti HBPM maupun ABPM. 15,16,17

Pengobatan Inisial Pada Hipertensi dengan Komplikasi

Konsensus yang terakhir menganjurkan pemilihan obat pada pasien usia lanjut
dengan komplikasi, sesuai dengan hasil uji klinik obat pada indikasi atau komplikasi
tertentu, yang didapat dari penelitian jangka panjang atau meta analisis. Pada panduan
JNC -7, indikasi ini disebut sebagai “Compelling indication”.

Tabel 8 . Indikasi Compelling untuk pengobatan Hipertensi pada usia lanjut.
KOMPLIKASI PENYAKIT

PILIHAN OBAT ANTI HIPERTENSI

Gagal Jantung
Tiazid, BB, ACE-I, ARB, CCB, Antagonist Aldosterone
Pasca Infark Jantung
BB, ACE-I, Antagonist Aldosterone, ARB
Penyakit jantung Iskemik, atau
Tiazid, BB, ACE-I,CCB
Risiko tinggi penyakit kardiovaskular
Angina Pektoris
BB, CCB
Aneurisma Aorta
BB, ARB, ACE-I, CCB, Tiazid, BB
DM
ACE-I, ARB, CCB, Tiazid, BB
Penyakit Ginjal Kronik
ACE-I, ARB, CCB, Tiazid, BB
Pencegahan Stroke Berulang
Tiazid, ACE-I, ARB, CCB
Dikutip dari Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam, Edisi VI tahun 20142

 Kombinasi yang
dianjurkan
 Kombinasi yang
bermanfaat ( dengan sedikit
pembatasan )
 Masih memungkinkan namun sedikit penelitian
tentang penggunaannya
 Kombinasi yang tidak
direkomendasikan

Gambar 4 . Kombinasi penggunaan obat anti hipertensi

24
Universitas Sumatera Utara

Tabel 9 . Efek Samping Pengobatan Antihipertensi pada Usia Lanjut16

Berikut ini adalah golongan obat anti hipertensi yang bisa digunakan pada pasien usia
lanjut:2,3,6,8,10,13,15,16
a. Diuretik

Diuretik yang sering dipakai pada usia lanjut terutama golongan tiazid, antagonis
aldosteron. Diuretik loop suatu diuretik yang sangat kuat diberikan apabila ada
gagal jantung atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK). Golongan diuretik non-tiazid
seperti indapamid adalah turunan dari sulfonamid, dapat mengurangi morbiditas
kardiovaskular atau stroke pada usia > 80 tahun. Efek samping yang perlu
diperhatikan adalah kenaikan kadar gula darah.
b. Calcium Channel Blocker ( CCB)

Obat golongan Antagonis kalsium atau Calcium Channel Blocker (CCB) telah
terbukti keamanan dan efikasinya pada pengobatan hipertensi pada usia lanjut.
25
Universitas Sumatera Utara

CCB dianjurkan terutama apabila terdapat penyakit komorbid kardiovaskular.
Obat yang diberikan adalah yang memilki waktu kerja yang panjang. Penelitian
ACCOMPLISH menunjukkan bahwa penggunaan amlodipin (CCB golongan
dyhidropiridine) lebih efektif dibandingkan dengan tiazid dalam menurunkan
kejadian kardiovaskular pada pasien dengan risiko tinggi, termasuk diabetes dan
merupakan pilihan alternatif yang baik untuk pengobatan hipertensi dengan
diabetes. CCB golongan non dihydropyridine seperti diltiazem dan verapamil
tidak memilki efek inotropik maupun kronotropik terhadap fungsi sistolik
ventrikel kiri jantung bila dibandingkan dengan CCB golongan dihydropyridine
seperti amlodipin atau felodipin. Verapamil dan Diltiazem dapat digunakan
sebagai terapi tambahan pada pasien hipertensi dengan penyakit parenkim ginjal
( renal pharenchymal disease) dan hipertensi yang resisten, namun sebaiknya
dihindari penggunaannya pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.
c. Angiotensin Converting Enzyme – Inhibitor & Receptor Blocker

Angiotensin Converting Enzyme – Inhibitor (ACE-Inhibitor) dan Angiotensin
Receptor Blocker ( ARB ) adalah obat yang bekerja dengan menghambat sistem
renin – angiotensin. Obat ini telah terbukti mempunyai efek diluar efek penurunan
tekanan darahnya. Pada hipertensi dengan risiko kardiovaskular yang tinggi, obat
– obatan golongan ini mampu memperbaiki atau menghambat kelainan organ
target yang terjadi. Penelitian LIFE menunjukkan penurunan angka mortalitas
kardiovaskular dan insidensi stroke pada penderita hipertensi sistolik terisolasi
(HST) dengan pemberian losartan (ARB) dibandingkan dengan atenolol ( Beta
blocker). Dikarenakan memiliki efek renoprotektif dari obat golongan ACEInhibitor dan ARB pada penderita DM tipe 2, maka pedoman penatalaksanaan /
guideline anti hipertensi terbaru menyarankan penggunaan salah satu dari obat ini
sebagai terapi inisial pada hipertensi usia lanjut dengan diabetes mellitus. Efek
samping golongan ACE-Inhibitor yang sering terjadi adalah batuk kering yang
disebabkan oleh bradikinin, bila ini terjadi sebaiknya ACE-Inhibitor dihentikan
dan diganti dengan golongan Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) seperti
valsartan ataupun losartan. JNC -8 melalui rekomendasi 9 tidak memperbolehkan
penggunaan ACE-Inhibitor dan ARB secara bersamaan pada satu paien.

26
Universitas Sumatera Utara

d. Direct Renin Inhibitor ( DRI )

Direct Renin Inhibitor ( DRI ) merupakan golongan obat anti hipertensi yang baru
dengan efektivitas serupa dengan ACE-Inhibitor ataupun ARB. Aliskiren adalah
satu-satunya obat dari golongan DRI yang tersedia ini dapat dikombinasikan
dengan obat lain seperti HCT, ramipril, dan amlodipin. Belum ada data yang
cukup pada pasien dengan eGFR kurang dari 30 ml/mnt.
e. Beta Blocker

Golongan Penyekat beta ( Beta Blocker ) seperti propranolol, bisoprolol, atenolol,
dan lain- lain tidak lagi dianjurkan sebagai terapi inisial pada pengobatan
hipertensi usia lanjut dikarenakan efek sampingnya yang besar terutama pada
saluran pernafasan, kecuali pada gagal jantung, penyakit jantung koroner, migrain
dan tremor senilis. Pada hipertensi obat golongan ini biasanya diberikan sebagai
kombinasi dengan diuretik.
f. Alfa Blocker

Golongan seletif alfa1 adrenergic antagonist seperti terazosin

dan doxazosin

bermanfaat untuk pengobatan hipertensi yang disertai dengan benign prostatic
hypertrophy (BPH). Efek samping utama dari obat golongan alfa bloker ini adalah
hipotensi orthostatik, refleks takikardi dan sakit kepala. Penilitian ALLHAT
menunjukkan adanya efek samping berupa peningkatan risiko stroke, kejadian
kardio vaskular dan peningkatan risiko penyakit jantung kongestif dengan
penggunaan doxazozin bila dibandingkan dengan chlortalidone, hal ini
menunjukan bahwa penggunaan golongan alfa antagonis sebaiknya dihindari
sebagai penggunaan lini pertama obat anti hipertensi.
g. Aldosterone Antagonist

Golongan antagonis aldosteron seperti spironolakton biasanya digunakan pada
hipertensi yang resisten yang disebabkan oleh hiperaldosteronisme primer dan
obstructive sleep apnoe ( OSA).
h. Golongan anti hipertensi lainnnya

Golongan obat yang bekerja di sentral seperti klonidin, tidak dianjurkan dipakai
pada awal terapi mengingat efek sedasi, mengantuk, bradikardi, dan mulut kering.
Selain itu penggunaan obat ini pada usia lanjut dikhawatirkan dapat menyebabkan

27
Universitas Sumatera Utara

terjadinya hipertensi krisis karena penghentian obat secara mendadak (withdrawal
effect). Klonidin dapat diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat – obatan
lain untuk mencapai target tekanan darah yang optimal.

Penatalaksanaan Hipertensi Usia Lanjut pada Keadaan Khusus
Hipertensi dengan diabete