Analisis Implementasi Nawa Cita Jokowi Dalam Pembangunan Agraria. (Studi Deskriptif: Konflik Tanah di Desa Padang Halaban)

BAB II
PROFIL DESA PADANG HALABAN DAN TINJAUAN KEBIJAKAN
PEMERINTAH TERHADAP PEMBANGUNAN AGRARIA
Dalam bab ini, peneliti akan menyajikan beberapa data dan informasi yang
berkenaan dengan keadaan desa serta kebijakan pemerintah dalam hal
pembangunan agraria. Adapun sumber data dan informasi yang diakses peneliti
ialah bersumber dari arsip kantor Desa Padang Halaban, Sekretariat Serikat Tani
Padang Halaban (STPHL), serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Data dan
informasi tersebut, selanjutnya akan disajikan secara bertahap dalam sub
pembahasan yang terbagi secara umum dari 4 sub pembahasan yaitu antara lain
profil Desa Padang Halaban, profil Serikat Tani Padang Halaban (STPHL),
tinjauan kebijakan pemerintah terhadap pembangunan agraria, serta tinjauan
konflik tanah di Desa Padang Halaban.
Terkait uraian profil Desa Padang Halaban sendiri, dalam bab ini akan
diuraikan berkaitan dengan kondisi geografis desa, sejarah desa, keadaan
ekonomi, serta keadaan sosial masyarakat desa. Sementara untuk tinjauan
kebijakan pemerintah terhadap pembangunan agraria mengacu kepada Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus
Pertanahan. Terakhir uraian tentang tinjauan konflik tanah di Desa Padang
Halaban, akan disajikan secara deskriptif historis dari perjalanan konflik tanah
terjadi antara masyarakat dibawah naungan Serikat Tani Padang Halaban dengan

PT. SMART di Desa Padang Halaban.

39

Universitas Sumatera Utara

2.1. Profil Desa Padang Halaban
2.1.1. Keadaan Geografis Desa
Desa Padang Halaban berada di kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan
Batu Utara. Secara geografis, Kabupaten Labuhan Batu Utara terletak diantara
99.25.000- 100.05.000 Bujur Timur dan 01058’ – 02050’ Lintang Utara dengan
ketinggian 0 – 700 meter di atas permukaan laut. Kabupaten ini memiliki wilayah
seluas 354.580 Ha dengan batas-batas sebagai berikut44 :
ƒ

Sebelah Utara dengan Kabupaten Asahan dan Selat Malaka.

ƒ

Sebelah Selatan dengan Kabupaten Labuhan batu dan Kabupaten Padang

Lawas Utara.

ƒ

Sebelah Barat dengan Kabupaten Tapanuli Utara; dan Kabupaten Toba
Samosir.

ƒ

Sebelah Timur dengan Kabupaten Labuhan batu.
Adapun peta kecamatan Aek Kuo, dimana desa Padang Halaban terletak

didalamnya, dapat dilihat dibawah ini :

44

Diakses dari http://mantumbahgoogle.blogspot.co.id/2013/10/peta-kabupaten-labuhanbatuutara.html. pada tanggal 25 agustus 2016. Pukul. 19.30.WIB

40


Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Peta Kecamatan Aek Kuo Kabupaten Labuhan Batu
Utara

Sumber : Peta Online Pemkab Labuhan Batu Utara
Kabupaten Labuhan batu Utara adalah kabupaten yang baru dimekarkan
dari Kabupaten Labuhan batu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2008 pada 24 Juni 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Labuhan batu Utara,
semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ibu kota kabupaten
ini terletak di Aek Kanopan. Kabupaten Labuhan batu Utara terbagi ke dalam 8
wilayah kecamatan dan 90 desa/kelurahan. Delapan kecamatan tersebut antara
lain :
1. Kecamatan NA IX-X
2. Kecamatan Merbau
3. Kecamatan Aek Kuo
4. Kecamatan Aek Natas
5. Kecamatan Kualuh Selatan
6. Kecamatan Kualuh Hulu
7. Kecamatan Kualuh Hilir

8. Kecamatan Kualuh Leidong

41

Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Kecamatan Aek Kuo
Khusus untuk kecamatan Aek Kuo mempunyai luas 25.020 ha, dengan ibu
kota kecamatan Aek Korsik. Desa Padang Halaban menjadi lokasi penelitian
merupakan desa yang terdapat di Kecamatan Aek Kuo. Jarak dari ibu kota
kecamatan ke lokasi penelitian sekitar 1.50 km. Jarak dari desa ke ibu kota
kabupaten sekitar 20 km, serta jarak ke Medan sebagai ibu kota provinsi adalah
187 km dan jarak ini bisa ditempuh dengan angkutan umum roda empat sekitar 78 jam perjalanan. Untuk mencapai kecamatan Aek Kuo dari ibu kota kabupaten
bisa ditempuh sekitar 1-2 jam. Dari Aek Kanopan dengan menggunakan angkutan
kota dan angkutan antar kota antar provinsi dengan ongkos Rp. 15.000,-.
Sementara dari ibu kota provinsi medan, ditempuh dengan angkutan antar kota
dalam provinsi (AKDP) melalui jalur jalan lintas timur sumatera menuju kampung
pajak, simpang panigoran dengan ongkos Rp.50.000,-. selain itu, untuk menuju
lokasi ini, dapat juga ditempuh dengan kereta api tujuan Medan - Rantau Parapat
dengan ongkos Rp. 100.000,- dan turun di Stasiun Kereta Api Padang Halaban.

Selanjutnya perjalanan dilanjutkan ke Desa Padang Halaban. Perjalanan ke lokasi
penelitian menggunakan kendaraan dua atau roda empat. Sebagian besar
masyarakat menggunakan roda dua, dikarenakan tidak adanya angkutan umum
menuju lokasi ini. Secara administrative, Desa Padang Halaban, mempunyai batas
batas wilayah sebagai berikut45 :

45

Dokumen Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kecamatan Aek Kuo, Desa Padang Halaban.
2015. Rencana Kegiatan Pembangunan Desa Padang Halaban Tahun Anggaran 2015-2019. Hal 11

42

Universitas Sumatera Utara

ƒ

Sebelah utara berbatasan dengan dusun Perlabean-Desa Aek Korsik, Desa
Bandar Selamet dan Desa Purworejo Kecamatan Aek Kuo


ƒ

Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Padang Maninjau Kecamatan Aek
Kuo dan Desa Pulo Jantan Kecamatan Na IX-X

ƒ

Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Simpang Empat, Desa Lobu
Rampah Kecamatan Marbau

ƒ

Sebelah Timur berbatasan dengan Dusun Parit Minyak Desa Aek Korsik
Kecamatan Aek Kuo, Desa Aek Hitetoras dan Desa Bulungihit Kecamatan
Marbau.
Desa Padang Halaban termasuk dataran rendah dengan sedikit bukit-bukit

kecil serta rawa-rawa. Daerah yang berada di antara dataran tinggi sebelah barat
dan dataran rendah di sebelah Timur provinsi Sumatera Utara. Berada di antara
kabupaten Labuhan Batu Utara dan Labuhan Batu Induk, namun lokasinya lebih

dekat jika ke Labuhan Batu Induk atau ke Kota Rantau Prapat. Sekitar 7 Km ke
sebelah barat dari perkebunan Padang Halaban terdapat jalan besar lintas timur
Sumatera. Sementara itu ditengah-tengah perkebunan terdapat stasiun kereta api
padang halaban yang akan menuju ke Medan atau Rantau Prapat.
2.1.2. Sejarah Desa
2.1.2.1. Periode Pasca Kedudukan Kolonial Belanda
Tahun 1911, pohon kelapa sawit diperkenalkan di Sumatera Timur
(sekarang Sumatera Utara). Tanah Itam Hulu dan Pulau Raja adalah lokasi
pertama kali perkebunan kelapa sawit dibuka oleh perusahaan Oliepalmen Cultuur

43

Universitas Sumatera Utara

dan Huileries de Sumatera. Perkebunan kelapa sawit semakin diperluas oleh
perusahaan perkebunan sawit lainnya : Seumadam Cultuur Mij, Sungai Liput
Cultuur Mij, Mapoli Tanjung Genteng oleh Palmbomen Cultuur Mij, Medang Ara
Cultuur Mij, Deli Muda oleh Huileries de Deli46.
Hingga tahun 1915 luas perkebunan sawit sudah mencapai 2.715 Ha;
ditandai sebagai babak baru perkebunan sekala luas. Salah satu perusahaan

perkebunan yang berdiri pada waktu itu adalah Perkebunan Padang Halaban
Plantagen AG Zurich. Dalam berproduksi perkebunan memperkerjakan buruhburuh yang di datangkan dari pulau jawa dengan menggunakan program
transmigrasi Kolonial Belanda, sebagaimana di jelaskan dalam keputusan politik
Etis Belanda. Orang orang Jawa yang didatangkan berasal dari beberapa daerah
dari Jawa Tengah, diantaranya : Kebumen, Banyumas, Banjarnegara, dan Klaten.
Kedatangan orang orang Jawa ke tanah Deli akibat propaganda Belanda
tentang kehidupan lebih baik di pulau emas. Dengan menggunakan kapal laut
melalui laut Jawa menuju selat Malaka, masyarakat diturunkan di beberapa
pelabuhan di Sumatera Timur ketika itu. Dari pelabuhan, para pendatang baru
jawa ini di distribusikan ke beberapa perkebunan dengan alat transportasi berupa
trem dan mobil yang disediakan oleh kolonial Belanda. Di perkebunanperkebunan tersebut orang-orang Jawa ditampung dalam satu kamp penampungan

46

STPHL-AGRA. 2014. Sejarah Perkebunan Padang Halaban. Hal 3. Dalam bentuk ebook.

44

Universitas Sumatera Utara


yang segera setelah itu dikomandoi oleh mandor kebun untuk bekerja di setiap
afdeling47.
2.1.2.2. Periode Tahun 1942-1945
Pendudukan Indonesia oleh Jepang, kondisi rakyat pada waktu itu
kekurangan kebutuhan pangan, demikian juga yang terjadi dengan buruh-buruh
perkebunan. Sekitar 1.000 Ha tanah dikelola oleh Jepang untuk menanam
tanaman pangan. Masyarakat yang mendiami Desa Padang Halaban dimobilisasi
untuk menjadi buruh perkebunan tanaman pangan ini. Masyarakat tunduk pada
aturan main tentara jepang yang kejam dan tidak manusiawi, seperti
memperkerjakan masyarakat tanpa jaminan kehidupan yang layak48.
Pada pemerintahan Jepang masyarakat dikonsentrasikan dalam satu barak
penampungan yang dihuni oleh puluhan bahkan ratusan kepala keluarga.
Masyarakat harus menjalankan kerja wajib untuk melakukan replanting tanaman
perkebunan menjadi tanaman pangan dengan waktu dan beban kerja yang tidak
menentu. Diantara para pemuda diwajibkan untuk terlibat dalam tentara bentukan
Jepang, seperti PETA (Pembela Tanah air) dan HEIHO. Sedangkan perempuan
dipaksa untuk menjadi budak seks orang-orang Jepang di perkebunan, yang
dikenal dengan Jugun Ian Fu49.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia membuat tentara Jepang keluar dari
perkebunan. Bekas tanah peninggalan Jepang kemudian diduduki oleh rakyat


47

Ibid. Hal 4.
Ibid. Hal 6
49
Ibid.
48

45

Universitas Sumatera Utara

untuk kebutuhan pangan dan membantu laskar-laskar rakyat. Sementara tanaman
komoditas seperti karet dan sawit yang ditinggalkan dikelola dan dipanen oleh
sebagian masyarakat desa Rembu Rempah. Seperti di wilayah Afdeling karet PT
Plantagen AG Zurich di kelola oleh masyarakat dan dipanen untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
2.1.2.3. Periode Tahun 1945-1954
Tanah yang diduduki oleh masyarakat sebanyak 20% saja yang

dimanfaatkan untuk perkampungan dan ladang pangan, sisanya menjadi semak
belukar. Diatas tanah tersebut dibangun beberapa desa, diantaranya desa :
Sidodadi, Karang Anyar, Purworejo, Sidomulyo, Kertosentono, dan Blungit.
Terdapat beberapa perkampungan di areal perkebunan, diantaranya : Pondok
Roni, Pondok Lawas, dan Sidomukti. Beberapa tahun menduduki tanah,
dikeluarkan Kartu Tanda Pendaftaran Pemakaian Tanah (KTTPT) yang
dikeluarkan oleh Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah (KRPT) Wilayah
Sumatera Timur berdasarkan UU Darurat No 08 Tahun 1954 jo UU Darurat No
01 Tahun 1956 mengenai penyelesaian pemakaian tanah perkebunan oleh
rakyat50.
Menurut data yang dihimpun oleh perkebunan ketika itu di tahun 19671968 masyarakat yang mendapatkan KRPT sebanyak 403 orang yang terdiri dari :
desa Sidodadi (92 orang), desa Karang Anyar (80 orang), desa Sidomulyo (139
orang), desa Kertosentono (12 orang), dan desa Blungit (6 orang). Terjadi

50

Pemerintahan Desa Padang Halaban. Sejarah Desa Padang Halaban. 2015. Hal 10.

46

Universitas Sumatera Utara

Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, di Kopenhagen, Denmark.
Beberapa tahun setelah perundingan tersebut, pengusaha Belanda yang
meninggalkan perkebunan setelah diusir oleh Jepang dan Revolusi Agustus 1945,
kembali masuk ke areal perkebunan. Kedatangan mereka bermaksud untuk
merencanakan pembangunan perkebunan kembali. Hal ini bisa dibuktikan dengan
usaha dari pemilik perusahaan menanyakan kepada penduduk di Panigoran,
Karanganyar dan Sidomulyo tentang kesediaannya kembali bekerja di kebun
seperti sebelum pengusaha Belanda pergi atau jika tidak bisa terlibat dalam
pekerjaan kebun kembali bisa mengolah tanah yang sudah diduduki dan dimiliki
oleh masyarakat51.
2.1.2.4. Periode Tahun 1954-1965
Di areal Perkebunan Padang Halaban tidak hanya berdiri PT. Plantagen
AG, tapi juga beroprasi NV. Sumcama dan PT. Sarikat Putra. Perusahaan
perusahaan perkebunan ini beroprasi dengan memperkerjakan buruh yang berasal
dari penduduk sekitar. Kondisi ekonomi, hidup masyarakat di perkebunan Padang
Halaban sangat bergantung dengan kegiatan produksi mengelolah tanah. Setelah
pengusiran Jepang dari tanah Indonesia dan ditandainya kemerdekaan Indonesia,
masyarakat mulai bisa mengusahai tanah bekas perkebunan asing secara bebas.
Tanah-tanah negara bebas mulai dikerjakan oleh masyarakat secara berkelompok
untuk membuka lahan-lahan baru dan dibagi secara merata melalui kegiatan
pemancengan. Rata-rata kesanggupan masyarakat ketika itu untuk mengerjakan

51

Ibid. Hal 11

47

Universitas Sumatera Utara

lahan seluas 2 Ha. Masyarakat bergantung pada kegiatan bertani, mengolah tanah
untuk kebutuhan tanaman pangan berkelanjutan. Untuk mengolah tanah
masyarakat bergantung pada perubahan cuaca dalam perkembangan bulan. Jika
musim penghujan, tanah di kelola untuk tanaman padi. Ketika musim kemarau
tanah digunakan untuk menanam jagung. Dari dua tanaman ini masyarakat di
kawasan perkebunan padang halaban memenuhi kebutuhan pangan harian52.
Masyarakat di kawasan Padang Halaban tidak asing dengan nama-nama
organisasi massa maupun partai yang ada. Karena bagi mereka organisasi maupun
partai tersebut wadah untuk bersosialisasi dan membangun persaudaraan diantara
sesama. Sebelum 1965, setiap orang yang tinggal di areal perkebunan memiliki
organisasinya sendiri-sendiri. Sejak diusirnya kolonial Belanda dan pendudukan
Fasis Jepang di tahun 1945, para laskar-laskar rakyat dan masyarakat disekitar
perkebunan Padang Halaban mengambil alih tanah. Usaha rakyat ini diperkuat
oleh seruan dari Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia pertama.
Dalam seruannya menyampaikan “perintah langsung kepada seluruh rakyat
Indonesia dan para laskar rakyat rakyat agar areal-areal atau tanah bekas
perkebunan asing yang ditinggalkan pengelolanya supaya diberikan atau
dibagikan kepada rakyat Indonesia (termasuk bekas kuli bangsa Jepang) untuk
ditanami dengan tanaman pangan guna membantu keperluan logitik laskar rakyat,
disamping juga sebagai tanda bangsa yang sudah merdeka”.

52

STPHL-AGRA. Op.Cit. Hal 20

48

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan seruan tersebut, pada tahun 1945 hampir seluruh areal lahan
di Desa Padang Halaban seluas 3000 Ha, dibagikan kepada rakyat bekas kuli
bangsa jepang secara bekerjasama dengan para laskar rakyat. Tanah-tanah
tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan padang halaban di
masing-masing tempat. Untuk selanjutnya dikembangkan menjadi perkampungan
rakyat/desa, dengan luas tanah yang berhak diusahai rakyat masing-masing seluas
2 (dua) Ha/KK. Pembagian tanahnya : Tanah di bekas Divisi I yang diduduki
rakyat dinamakan Desa Sidomulyo, Tanah di bekas Divisi Pabrik yang diduduki
rakyat dinamakan Desa Karang Anyar, Tanah di bekas Divisi II yang diduduki
rakyat dinamakan Desa Sidodadi/Aek Korsik, Tanah di bekas Divisi III yang
diduduki rakyat dinamakan Desa Purworejo/Aek Ledong, Tanah di bekas Divisi
IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa Kartosentono/Brussel, dan Tanah di
bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sukadame/Panigoran
Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh
Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan
mengusahai tanah rampasan perang, diberikan KTPPT (Kartu Tanda Pendaftaran
Pendudukan Tanah) yang dikeluarkan oleh KRPT (Kantor Reorganisasi
Pemakaian Tanah) wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan
atau memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA No 5
Tahun 196053.

53

Ibid. Hal 25

49

Universitas Sumatera Utara

Sejak pengesahan tersebut rakyat dibebani kewajiban membayar pajak
atau Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) oleh Pemerintah Kabupaten Labuhan
batu. Demikian pula dengan status tanah yang diduduki oleh rakyat disahkan oleh
pemerintah telah dikeluarkan dari areal Hak Guna Usaha (HGU) Desa Padang
Halaban (saat itu bernama Perusahaan NV. SUMCAMA). Untuk diketahui, bahwa
luas areal desa-desa yang diciptakan oleh rakyat sejak tahun 1945 dan dikeluarkan
dari HGU Perusahaan Perkebunan Padang Halaban, hingga tahun 1969/1970 tidak
pernah mengalami perluasan areal desa (merebaknya penggarap liar). Areal desa
itu tetap luasnya sejak dibentuk menjadi desa hingga terjadi peristiwa
penggusuran.
2.1.3 Keadaan Demografi
2.1.3.1 Jumlah Penduduk Desa
Penduduk Desa Padang Halaban berjumlah ± 1800 jiwa, terdiri dari 890
laki-laki dan 910 perempuan. Jumlah kepala keluarga di Padang Halaban adalah
445 KK54.

54

Dokumen Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kecamatan Aek Kuo, Desa Padang Halaban.
2015. Op.Cit. Hal 15.

50

Universitas Sumatera Utara

2.1.3.2. Suku
Secara umum masyarakat Desa Padang Halaban mayoritas adalah suku
jawa. Sesungguhnya apabila dilihat dari sejarah, seluruh masyarakat desa ini
adalah masyarakat pendatang, karena masyarakat yang ada di desa sebelumnya
merupakan petani penggarap yang lama kelamaan menetap di desa tersebut.
Mayoritas penduduk di kawasan perkebunan Padang Halaban merupakan
masyarakat dari suku jawa bekas kuli kontrak tempo dulu perkebunan Belanda
dan Jepang. Dari informasi yang penulis dapatkan, ada kecenderungan pada setiap
masyarakat desa mengelompokkan dirinya sebagai kelompok pendatang dan
penduduk asli. Program transmigrasi yang merupakan bagian dari politik etis
kolonial pada saat itu juga mempengaruhi jumlah penduduk suku jawa yang
menetap di desa Padang Halaban. Selain suku bangsa jawa terdapat juga suku
bangsa Batak Toba, Mandailing dan Melayu. Suku batak toba dan mandailing
merupakan masyarakat pendatang, dimana mereka bermigrasi dari wilayah utara
dan selatan Labuhan Batu Utara. Kelompok masyarakat ini kemudian menetap di
desa dan mencari penghasilan dari berbagai kegiatan yang ada di desa tersebut55.

Adapun faktor penduduk pendatang di desa ini karena alasan:
1. Faktor Perkawinan
Faktor perkawinan menjadi alasan utama seseorang untuk menetap di
suatu daerah. Dalam hal ini salah satu pihak melakukan perkawinan dengan pihak

55

STPHL-AGRA. Sejarah Perkebunan Padang Halaban. 2014. Op.Cit. Hal.10

51

Universitas Sumatera Utara

lain. Artinya, seseorang penduduk dari desa ini melakukan perkawinan dengan
seseorang dari pihak luar desanya.
2. Faktor Pekerjaan
Selain faktor perkawinan, faktor pekerjaan juga menjadi satu alasan
seseorang untuk tinggal dan menetap di Desa Padang Halaban. Misalnya
masyarakat Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditempatkan pemerintah untuk
melayani masyarakat setempat, seperti guru, bidan dan sebagainya. Walaupun
diantara penduduk Desa Padang Halaban ada perbedaan masyarakat pendatang
dengan masyarakat asli, tidak menjadi halangan untuk berinteraksi dalam
masyarakat. Masyarakat asli dan pendatang saling berbaur dan sangat dekat satu
sama lain. Kedekatan ini lebih didasarkan selain karena hubungan kekerabatan
juga karena factor pekerjaan dan adanya saling membutuhkan antara masyarakat
asli dan pendatang.
2.1.3.3. Agama
Sebagian besar penduduk Desa Padang Halaban Kecamatan Aek Kuo
beragama Islam yaitu sebanyak 73,25 %, sedangkan yang beragama Kristen
Protestan sebanyak 14,86 %,Kristen Katolik sebanyak 9,6 %, Budha sebanyak 1,4
%, dan Hindu 0,9 %56. Adapaun tabulasi penduduk desa Padang Halaban
berdasarkan Agama sebagai berikut:

56

Ibid. Hal 16.

52

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
No

Agama

Jumlah

Presentase

1

Islam

1314

73%

2

Kristen Protestan

252

14%

3

Katholik

144

8%

4

Budha

36

2%

5

Hindu

54

3%

1800

100%

Jumlah

Sumber : Dokumen Pemerintahan Desa Padang Halaban 2015

2.1.3.4. Pendidikan
Desa Padang Halaban mempunyai tingkat pendidikan yang tergolong
rendah. Lebih dari 40 % penduduknya hanyalah tamat SD, dimana sebagian tidak
tamat SD dan ada juga yang masih buta huruf. Kondisi ini dikarenakan karena
fasilitas pendukung pendidikan di desa ini sangat minim. Disamping itu, profesi
sebagai petani tradisional dan sebagian buruh perkebunan tidak cukup mampu
untuk memenuhi kebutuhan di bidang pendidikan mereka57.

57

Diakases dari https://labuhanbatu utara kab. bps. go.id / frontend / Subjek / view / id / 28 # subjek View
Tab3 | accordion – daftar – subjek 1

53

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No

Tingkat Pendidikan

Jumlah

Presentase

1

Tidak Tamat SD

133

7,3 %

2

SD

737

42,6 %

3

SMP

593

32 %

4

SMA

317

17 %

5

Diploma/Sarjana

20

1,1 %

1800

100 %

Jumlah

Sumber : Data Olahan BPS Labuhan Batu Utara
2.1.3.5. Keadaan Ekonomi Desa
Desa Padang Halaban mempunyai mata pencaharian utama yaitu dari
sektor pertanian. Hal ini ditandai dengan mayoritas penduduknya berprofesi
sebagai petani dan sebagiannya lagi buruh perkebunan. Beberapa masyarakat
yang masih dalam usia produktif, selain berprofesi sebagai petani terkadang
mereka juga bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit sembari menunggu
hasil panen tanaman pangan yang mereka olah di lahan yang tidak begitu luas.
Kondisi tidak terlepas dari semakin menyempitnya lahan yang bisa
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sebagian besar petani di desa ini menanami lahannya dengan tanaman pangan
seperti ubi kayu, ubi jalar, pisang, dan kakao. Bekerja sebagai buruh perkebunan

54

Universitas Sumatera Utara

menjadi alternative yang memungkinkan ketika kebutuhan untuk bertahan hidup
mulai menipis. Mereka bekerja pada umumnya sebagai buruh perkebunan yang
bekerja di lahannya para petani yang memiliki luas lahan lebih besar dan di
perkebunan PT SMART anak perusuhaan Sinar Mas Group sebagai buruh harian
lepas (BHL). Di samping itu, penduduk desa Padang Halaban ada juga yang
berprofesi sebagai pedagang, PNS, ABRI/POLRI, medis, buruh, pengerajin, dan
supir58. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan
No

Keterangan

Jumlah

Presentase

1

Petani

1070

59,47 %

2

Buruh

146

8,14%

3

PNS, TNI, POLRI

50

2,80%

4

Lainnya

534

29,59%

1800

100%

Jumlah

Sumber : Data Olahan Potensi Desa/Kelurahan Labuhan Batu Utara
Di tengah kondisi lahan petani Padang Halaban yang semakin sempit
akibat dari perluasan lahan kelapa sawit oleh PT. SMART, secara langsung

58

Dokumen Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kecamatan Aek Kuo, Desa Padang Halaban.
2015 Op.Cit. Hal 18.

55

Universitas Sumatera Utara

mempengaruhi jumlah hasil produksi dari lahan mereka semakin menurun. Dari
kondisi ini memaksa para petani untuk menyewa lahan dari penduduk setempat
yang memiliki luas lahan yang lebih besar. Selain itu, petani padang halaban juga
bekerja sebagai buruh harian lepas, dan bekerja di lahan petani yang memiliki
lahan lebih luas untuk sekedar menambah pendapatan. Proses pendistribusian
hasil pertanian petani padang halaban dijual langsung ke pasar yang terdapat di
Aek Korsik. Sebagian petani bahkan ada yang menjual seluruh hasil panen
pertaniannya kepada agen atau tengkulak.
2.1.3.6. Kondisi Kepemilikan Tanah
Berdasarkan seruan dari Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno
pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 tentang kepemilikan lahan di area
perkebunan Padang Halaban, bahwa tanah seluas 3000 Ha yang terletak di area
perkebunan Padang Halaban yang dulunya dikuasai oleh perusahaan perkebunan
kolonial dibagikan kepada para eks kuli Jepang serta laskar-laskar rakyat agar
digunakan untuk bercocok tanam segala jenis tanaman pangan guna memberikan
penghidupan kepada segenap rakyat. Selain itu, seruan tersebut juga sekaligus
menandakan bahwa rakyat Indonesia telah merdeka dari segala bentuk penjajahan.
Tanah-tanah

tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan padang

halaban di masing-masing tempat. Untuk selanjutnya dikembangkan menjadi
perkampungan rakyat/desa, dengan luas tanah yang berhak diusahai rakyat
masing-masing seluas 2 (dua) Ha/KK. Pembagian tanahnya : Tanah di bekas
Divisi I yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidomulyo, Tanah di bekas Divisi

56

Universitas Sumatera Utara

Pabrik yang diduduki rakyat dinamakan Desa Karang Anyar, Tanah di bekas
Divisi II yang diduduki rakyat dinamakan Desa Padang Halaban/Aek Kuo, Tanah
di bekas Divisi III yang diduduki rakyat dinamakan Desa Purworejo/Aek Ledong,
Tanah di bekas Divisi IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa
Kartosentono/Brussel, dan Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat
dinamakan Desa Sukadame/Panigoran.
Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954
oleh Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan
mengusahai tanah rampasan perang, diberikan KTPPT (Kartu Tanda Pendaftaran
Pendudukan Tanah) yang dikeluarkan oleh KRPT (Kantor Reorganisasi
Pemakaian Tanah) wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan
atau memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA No 5
Tahun 1960. Sejak pengesahan tersebut rakyat dibebani kewajiban membayar
pajak atau Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) oleh Pemerintah Kabupaten
Labuhan batu.
Kemudian tanah dengan luas 3000 Ha yang terbagi ke beberapa desa ini
lah yang hingga saat ini berstatus sengketa dengan perusahaan perkebunan yang
berdiri diatasnya yakni PT. SMART. Sementara hingga ini, masyarakat yang
terdiri dari beberapa desa tersebut terutama dari Desa Padang Halaban sejak tahun
2008, melakukan pendudukan lahan diatas lahan seluas 83 Ha dari 3000 Ha yang
bersengketa dengan perusahaan.

57

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Tinjauan Konflik Tanah Di Desa Padang Halaban
2.1.4.1. Sebelum Adanya Usaha Penggusuran Tahun 1969 - 1970
Sejak diusirnya kolonial Belanda dan pendudukan Fasis Jepang di tahun
1945, para laskar-laskar rakyat dan masyarakat disekitar perkebunan Padang
Halaban mengambil alih tanah. Usaha rakyat ini diperkuat oleh seruan dari Ir.
Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia pertama. Dalam seruannya
menyampaikan “perintah langsung kepada seluruh rakyat Indonesia dan para
laskar rakyat agar areal-areal atau tanah bekas perkebunan asing yang
ditinggalkan pengelolanya supaya diberikan atau dibagikan kepada rakyat
Indonesia (termasuk bekas kuli bangsa Jepang) untuk ditanami dengan tanaman
pangan guna membantu keperluan logistik laskar rakyat, disamping juga sebagai
tanda bangsa yang sudah merdeka”.
Berdasarkan seruan tersebut, pada tahun 1945 hampir seluruh areal lahan
di Perkebunan Padang Halaban seluas 3000 Ha, dibagikan kepada rakyat bekas
kuli bangsa jepang secara bekerjasama dengan para laskar rakyat. Tanah-tanah
tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan padang halaban di
masing-masing tempat. Untuk selanjutnya dikembangkan menjadi perkampungan
rakyat/desa, dengan luas tanah yang berhak diusahai rakyat masing-masing seluas
2 (dua) Ha/KK. Pembagian tanahnya : Tanah di bekas Divisi I yang diduduki
rakyat dinamakan Desa Sidomulyo, Tanah di bekas Divisi Pabrik yang diduduki
rakyat dinamakan Desa Karang Anyar, Tanah di bekas Divisi II yang diduduki
rakyat dinamakan Desa Sidodadi/Aek Korsik, Tanah di bekas Divisi III yang

58

Universitas Sumatera Utara

diduduki rakyat dinamakan Desa Purworejo/Aek Ledong, Tanah di bekas Divisi
IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa Kartosentono/Brussel, dan Tanah di
bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sukadame/Panigoran59.
Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh
Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan
mengusahai tanah rampasan perang, diberikan KTPPT (Kartu Tanda Pendaftaran
Pendudukan Tanah) yang dikeluarkan oleh KRPT (Kantor Reorganisasi
Pemakaian Tanah) wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan
atau memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA No 5
Tahun 1960. Sejak pengesahan tersebut rakyat dibebani kewajiban membayar
pajak atau Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) oleh Pemerintah Kabupaten
Labuhan batu60.
Demikian pula dengan status tanah yang diduduki oleh rakyat disahkan
oleh pemerintah telah dikeluarkan dari areal Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan
Padang Halaban (saat itu bernama Perusahaan NV. SUMCAMA). Untuk
diketahui, bahwa luas areal desa-desa yang diciptakan oleh rakyat sejak tahun
1945 dan dikeluarkan dari HGU Perusahaan Perkebunan Padang Halaban, hingga
tahun 1969/1970 tidak pernah mengalami perluasan areal desa (merebaknya
penggarap liar). Areal desa itu tetap luasnya sejak dibentuk menjadi desa hingga
terjadi peristiwa penggusuran.

59
60

STPHL-AGRA. 2012. Kronologis Konflik Agraria Padang Halaban. Dalam bentuk ebook. Hal 2.
Ibid.

59

Universitas Sumatera Utara

Bahkan pada tahun 1962, setelah sekitar 17 (tujuh belas) tahun
mengembangkan dirinya, Desa Sidomulyo berhasil mendapatkan Penghargaan
dari Gubernur Sumatera Utara saat itu Ulung Sitepu, atas prestasi Desa Sidomulyo
yang berhasil meraih Juara II Desa Terbaik se-Sumatera Utara. Saat itu, Ulung
Sitepu yang langsung turun atau datang ke Desa Sidomulyo untuk menyerahkan
Piagam Penghargaan yang juga langsung diterima oleh Kepala Desa Sidomulyo
saat itu, yaitu bapak (alm) Langkir.
2.1.4.2. Pembantaian Warga di Tahun 1965
Imbas dari pertentangan politik di tingkat nasional sampai juga pada
masyarakat di desa-desa sekitar perkebunan Padang Halaban. Melalui koordinasi
oknum angkatan darat dan Komando Aksi melakukan penyisiran untuk
menangkap orang-orang yang dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia
(PKI). Penangkapan dilakukan hampir setiap malam dari berbagai penjuru tempat,
tidak jarang juga penangkapan disertai dengan tindakan penganiayaan,
pemerkosaan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang tertuduh.
Penangkapan disertai dengan penghilangan orang terjadi di desa
Sidomulyo, Panigoran, Aek Korsik, Sidomukti, dan beberapa daerah di kawasan
perkebunan Padang Halaban. Di Sidomulyo kepala desa beserta pimpinan
organisasi buruh dan organisasi petani menjadi korban, bahkan sampai detik ini
keberadaan jasad korban tidak diketahui oleh sanak keluarga. Mereka di bantai
secara kejam seperti menombak anggota badan, mengikat di kedua ibu jari,
memukul, menendang, menyayat anggota organ tubuh, memenggal kepala korban,

60

Universitas Sumatera Utara

memperkosa korban dan mencampakkan mayat ke sungai. Peristiwa yang hampirhampir tidak bisa terlupakan meskipun para pelaku sejarah sampai dimakan usia.
Seperti yang terjadi di Titi Panjang desa Panigoran menjadi tempat pembantaian
terhadap anggota Pemuda Rakyat, yaitu : Mahmud, Karsan, Saru dan Suroso; di
desa Sidomulyo ada proses penangkapan dan penghilangan kepada Bapak
Langkir, Bapak Mico, Bapak Suyoto, Bapak Saud; di desa Patok Besi ada Bapak
Suzari, dan beberapa korban lainnya yang tempat penguburannya tersebar di areal
perkebunan dan pemakaman umum. Berdasarkan kesaksian kerabat korban di
desa brussel terdapat 7 (tujuh) orang korban pembantaian dalam satu lubang di
dekat simpang, yang kemudian simpang tersebut dikenal warga dengan Simpang
Maut. Di Pamingke Blok Sepuluh terdapat dua lubang penguburan yang berisikan
6 (enam) orang korban pembantaian dari warga yang diambil di desa sekitar
perkebunan Padang Halaban. Dimana dimungkinkan salah satu korban yang
dikubur adalah bapak Suyoto dari Sidomulyo 61.
Situasi mencekam pada tahun 1965 – 1968 dimanfaatkan oleh pihak
perkebunan Plantagen AG untuk mengintimidasi dan menebarkan teror kepada
rakyat. Mengkonsolidasikan seluruh perangkat keamanan di sekitar perkebunan
Padang Halaban, tidak terkecuali militer dan bekas komando aksi serta para
pekerja kebun yang didatangkan dari luar daerah untuk membantu proses-proses
penggusuran.

61

Ibid. Hal 4.

61

Universitas Sumatera Utara

2.1.4.3. Penggusuran Tahun 1969-1970
Tahun 1968, akibat dari peristiwan pembantaian warga di tahun 1965,
masyarakat di desa-desa sekitar Perkebunan Padang Halaban yang mayoritas
bermata pencaharian sebagai petani, mulai diintimidasi oleh Pengusaha
Perkebunan Padang Halaban (bernama PT. Plantagen AG). Terjadi pengumpulan
Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) untuk diperiksa dengan
alasan ada pembaharuan. Pengutipan KTTPT dilakukan oleh kepala desa dari
perusahaan, yaitu bpk Yahman yang dibantu pengawas kebun bapak Aritonang,
dibantu juga oleh aparat kepolisian yang bernama Suwaji. Komandan kepolisian
waktu itu bernama Aiptu Napitupulu62.
Setelah pengumpulan KTTPT, pada tahun 1969 terjadi penggusuran.
Pengusaha perkebunan dengan dibantu

aparat TNI/Polri dan didukung oleh

Pemerintah Kabupaten Labuhan batu saat itu, mulai melakukan intimidasi dan
menuduh masyarakat desa sebagai anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) yang
merupakan underbown-nya PKI. Selanjutnya, dengan todongan senjata laras
panjang milik para aparat, masyarakat desa dipaksa untuk meninggalkan
tanahnya,

dengan

terlebih

dahulu

melucuti/mengambil

bukti-bukti

kependudukan/kepemilikan tanah dari tangan masyarakat desa.
Pada tahun 1969 sampai tahun 1970 proses penggusuran berlangsung.
Penggusuran dilakukan di beberapa kampung, kampung pertama yang digusur
Sukodamai/ Panigoran dengan menggunakan alat berat D8 dikawal oleh polisi

62

Ibid. Hal 5.

62

Universitas Sumatera Utara

militer berbaju hijau dan kuning dengan membawa senjata api laras panjang.
Kampung kedua digusur adalah Sidomulyo dengan memakai tenaga TPU
(Tahanan Umum) dibantu karyawan perusahaan dan dikawal oleh aparat.
Padahal masyarakat di masing-masing desa di sekitar Perkebunan Padang
Halaban tidak pernah mengenal yang namanya BTI ataupun bergabung ke dalam
partai terlarang tersebut. Akan tetapi, tuduhan terhadap masyarakat desa ini
dengan menyebutnya sebagai Anggota BTI, hanya merupakan alat di masa Orde
Baru sebagai dalih untuk mempermudah aksinya melakukan perampasan hak
tanah rakyat yang tidak berdaya karena berhadapan dengan intimidasi dan
todongan senjata laras panjang milik aparat TNI/Polri. Bagi masyarakat desa yang
dituduh sebagai Anggota BTI dan tidak dapat melakukan perlawanan, akhirnya
harus rela untuk ditahan di penjara Korem 021 Pematang Siantar atau disiksa
dihadapan orang banyak63.
2.1.4.4. Masa Orde Baru Hingga Sekarang
Tindakan sewenang-wenang perampasan tanah oleh pemerintah dan
perkebunan menjadi pemantik bagi bangkitnya perjuangan rakyat. Usaha
perjuangan dimulai sejak tahun 1970 dengan mengajukan desakan kepada pihak
perkebunan untuk mengembalikan tanah rakyat. namun desakan tersebut tidak
mendapatkan tanggapan dan justru mendapatkan ancaman dari pihak perkebunan.
Kembali perjuangan dilakukan pada tahun 1975 dipimpin oleh tiga orang, diantara
bapak Simajuntak, bapak Sasi dan Bapak Jono dengan mengajukan dialog, tapi

63

Ibid.

63

Universitas Sumatera Utara

usaha tersebut sia-sia karena pihak perusahaan tidak menanggapi. Ketidak pastian
atas hidup rakyat pasca terjadi penggusuran dan perampasan tanah terus
berlangsung menyebabkan rakyat kehilangan semangatnya lagi untuk berjuang.
Disamping itu seiring derasnya tekanan dari pemerintah reaksioner Soeharto dan
juga semakin senjanya usia para pejuang-pejuang yang hebat ini.
Pada tahun 1998 ketika pecah gerakan reformasi yang dipelopori gerakan
mahasiswa beserta gerakan buruh diberbagai kota memicu bangkitnya perlawanan
di pedesaan. Tumbangnya Soeharto menjadi momentum mengambil kembali hak
rakyat yang telah dirampas selama 32 tahun tanpa prikemanusiaan. Kala itu jutaan
massa tumpah ruah di jalan-jalan ibu kota dan kota-kota provinsi sampai
kabupaten diikuti aktivitas reclaiming tanah di desa-desa. Disinilah kekuatan
massa menjadi guru utama dalam menyelesaikan persoalan rakyat dan telah
menunjukkan bukti kedahsyatannya.
Ketika reformasi 1998 terjadi, di perkebunan Padang Halaban perjuangan
dimulai kembali, kali ini perjuangan dipimpin oleh bapak Samiran, dan bapak
Sumardi Syam. Usaha perjuangan dilakukan dengan menyelenggarakan aksi-aksi
politik dibantu oleh AGRESU dan GERAG serta pelindung hukum oleh
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI) Sumut.
Setelah beberapa kali melakukan aksi ke kantor-kantor pemerintahan baik tingkat
kabupaten maupun tingkat provinsi, pada tahun 1999 Gubernur terpilih Sumatera

64

Universitas Sumatera Utara

Utara , bapak Tengku Rizal Nurdin mengeluarkan surat keputusan untuk bagi
hasil antara petani dan perkebunan64.
Harapan di pelupuk mata sirna dengan janji yang tak kunjung ditepati.
Putusan tersebut tidak memiliki sama sekali kekuatan untuk memberikan hak
kaum tani Padang Halaban sekitarnya, justru malah tidak pernah diungkap
kembali oleh Pemprovsu, Bupati Labuhan Batu Utara, BPN Sumatera Utara, dan
pihak perkebunan. Harapan yang sempat mengemuka di tengah-tengah rakyat
telah di ingkari oleh arogansi Pemprovsu, Bupati Labuhan Batu Utara, BPN
Sumatera Utara, dan pihak perkebunan. Seiring akan hal itu kepercayaan rakyat
semakin sirna kepada pemerintah. Sampai pada akhirnya dengan teguh dan
kembali merapatkan barisan rakyat KTPHS kembali berjuang.
Tanah 3000 Ha adalah tanah rakyat, karena sejak awal tanah ini dibuka,
dibabat dan dibangun oleh rakyat. Keberadaan perusahaan-perusahaan yang silih
berganti sejak masa penjajahan Belanda – Jepang sampai perkebunaan swasta
berdiri diatas perampasan dan penghisapan terhadap buruh dan kaum tani. Melalui
berbagai kebijakan, dari Agrarische Wet sampai ke UU Penanaman Modal rakyat
dibuat seolah-olah tidak punya hak atas tanah yang telah lama ditinggali dan di
usahai. Sampai-sampai perusahaan menjadi penentu atas nasib buruh dan kaum
tani.
Upaya perjuangan dilakukan kembali dengan menyatukan warga yang
sempat tercerai berai. Satu demi satu warga mengikatkan diri dalam persatuan

64

Ibid. Hal 12.

65

Universitas Sumatera Utara

perjuangan, dan secara bertahap membangun kelompok-kelompok kerja tiap desa
disekitar perkebunan Padang Halaban. Terbangun kemudian kelompok kerja atau
disingkat dengan Pokja di 10 desa, diantaranya Pokja Panigoran, Pokja
Sidomulyo, Pokja Karanganyar, Pokja Pulojanten, Pokja Grojokan, Pokja
Kampung Selamet, Pokja Purworejo, Pokja Aek Korsik, Pokja Kartosentono, dan
Pokja Kampung Lalang. Setelah terkumpul barulah diperoleh jumlah anggota
sebanyak 2040 KK atau sekitar 8160 jiwa dengan asumsi tiap KK sebanyak 4
orang anggota keluarga. Selain itu membentuk persatuan Pokja-Pokja menjadi
Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS) yang kemudian
berubah nama menjadi STPHL-AGRA dengan membentuk struktur yang terdiri
dari Ketua, Sekerteris Umum, sampai Pokja-Pokja65.
Tindakan demikian memberi bentuk baru perjuangan dengan ikatan
keanggotaan yang tersusun dengan rapi. Mulailah perjuangan dilakukan kembali,
dengan tahapan pertama melakukan pendudukan lahan HGU PT.Smart di areal
seluas 82 Ha. Pada tahun 2008 kurang lebih sebanyak 700 orang terlibat dalam
aksi pendudukan. Awal-awal pendudukan sempat terjadi pengusiran oleh aparat
keamanan kebun dan pihak kepolisian, namun masyarakat tidak bergeming dan
tetap menduduki lahan. Dengan membentuk gubuk-gubuk darurat tempat berteduh
sekaligus menjadi pos perjuangan. Kegiatan pendudukan lahan terjadi kurang
lebih selama satu bulan dengan pengawalan ketat pihak keamanan. Dampaknya
pihak perkebunan bekerjasama dengan pihak keamanan melakukan proses pidana

65

Ibid. Hal 16.

66

Universitas Sumatera Utara

kepada ketua dan Sekretaris umum dengan alasan menyerobot lahan perkebunan
tanpa izin sesuai dengan putusan UU Perkebunan No 18 Tahun 2004 pasal 21 dan
47.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada kaum tani melakukan menempuh jalur
hukum melalui gugatan perdata kepada pihak perkebunan PT.Smart sebagai upaya
untuk mempertahankan diri karena ancaman hukuman dari pihak perkebunan dan
juga intimidasi yang dilakukan oleh aparat keamanan kebun yang di dukung oleh
pihak kepolisian. Akhirnya tuntutan pidana kepada ketua umum dan sekretaris
ditangguhkan oleh pihak kepolisian.
Apalagi setelah mengikuti beberapa sidang perdata di tingkatan
Pengadilan Negeri Rantau Prapat dan Pengadilan Tinggi Medan dikalahkan oleh
pihak perusahaan, dan memutuskan pihak perkebunan adalah pemilik sah lahan.
Walaupun demikian tetap saja rakyat memasukkan banding ke Mahkamah Agung
karena tidak ada pilihan lain. Ibarat sebuah Kapal terbawa arus dan sedikit
penumpang yang masih bertahan untuk mengayuh perjuangan agar tidak
tenggelam. Seiring proses hukum yang ada rakyat masih saja melakukan
pendudukan lahan dan bertahan sampai detik ini.
2.1.5. Profil Serikat Tani Padang Halaban (STPHL) – Aliansi Gerakan
Reforma Agraria (AGRA)
Sejarah gerakan tani di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru.
Upaya-upaya untuk menyatukan seluruh pandangan perjuangan kaum tani di
Indonesia telah lama dilakukan. Namun, di dalam arus panjang perjuangan kaum

67

Universitas Sumatera Utara

tani di Indonesia belum berhasil menemukan sebuah jawaban fundamental,
sebuah format gerakan tani seperti apa dan strategi apa yang dikehendaki dan
kemudian perjuangan tersebut berhasil meningkatkan kesejahteraan kaum tani di
Indonesia. Untuk menemukan rumusan tatanan masayarakat tani yang dicitacitakan membutuhkan konsentrasi pikiran dan tenaga tersendiri, meskipun
berbagai aksi politik dan konsolidasi telah dilakukan. Kesatuan ide dan tindakan
dalam gerakan tani ternyata belum mampu menyatukan gerakan tani dalam aspek
politik, dan organisasi.
Terkonsolidasikannya elemen gerakan tani di Indonesia yang telah dan
sedang tumbuh tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dalam format dan
strategi yang diinisiasi AGRA merupakan usaha maju untuk kemudian menjadi
alat perjuangan dari kaum tani lebih meningkat untuk mencapai kehidupan yang
damai dan sejahtera. Secara singkat, dapat

diuraikan tentang sejarah

perkembangan AGRA hingga terselenggarakannya Konfrensi Nasional Tani II
AGRA di Subang.
Sejarah perkembangan tersebut diawali pada Hari Tani Nasional 24
September 2002, berbagai kalangan yang serius dan fokus pada masalah-masalah
kaum tani mengadakan konsolidasi guna pelaksanaan aksi bersama/serentak di
hari tani nasional tersebut yang tergabung dalam Panitia Bersama Hari Tani
Nasional, yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan rapat umum di tahun
2003 dengan agenda evaluasi sehingga menghasilkan resolusi pembentukan

68

Universitas Sumatera Utara

Panitia Bersama yang sifatnya diperluas hingga menghasilkan Badan Persiapan
Organisasi Massa Tani tingkat nasional..
Setelah berbagai konsolidasi yang dilakukan, sejak itu seluruh konsolidasi
gerakan tani serta upaya-upaya dan respon terhadap perkembangan situasi objektif
di lapangan termasuk politik agraria berada dalam koordinasi dan kepemimpinan
relatif Badan Persiapan Pembangunan Organisasi Massa Tani tersebut. Badan
persiapan inilah yang kemudian bertanggung jawab hingga terselenggaranya
Konfrensi Nasional I Tani AGRA pada 24 Februari 2004 di Wonosobo, Jawa
Tengah. Dalam Konfrensi Tani Nasional I AGRA ini, mencapai beberapa
kesepakatan yang penting terkait dengan usaha-usaha peningkatan perjuangan
kaum tani dalam upaya meningkatkan kesejahteraan kaum tani dengan mendorong
terwujudnya Pembaruan Agraria (Reforma Agraria) yang sejati di Indonesia66.
Pada awal tahun 2007, AGRA telah berdiri di salah satu provinsi terbesar
di Indonesia yaitu Provinsi Sumatera Utara. Pembagunan organisasi ini dimulai
dari Kabupaten Deli Serdang dengan perkembangannya di 2 kecamatan
kecamatan Pancur Batu,dan kecamatan Kutalimbaru). Untuk saat ini sudah ada 3
desa pengorganisasian antara lain Desa Durin Tonggal, Desa Sei Mencirim, dan
Desa Namo Rube Julu. Pada tahun 2013, daerah pengorganisasian AGRA
bertambah, yaitu berada di Desa Padang Halaban, Kabupaten Labuhan Batu Utara
yang menjadi lokasi penelitian ini67.

66
67

DPP-AGRA. Tentang Sejarah Pendirian AGRA Nasional. Hal 16.
DPD-AGRA Sumut. 2014. Sejarah AGRA Sumatera Utara. Hal 7.

69

Universitas Sumatera Utara

2.1.5.1. Sejarah Berdirinya STPHL – AGRA
Setelah beberapa tahun masyarakat Desa Padang Halaban mengelola tanah
dengan tenang, keadaan ini terusik dengan penangkapan dan penembakan yang
dilakukan pihak PT Smart (anak perusahaan Sinar Mas Group) dibantu oleh aparat
TNI dan POLRI terhadap masyarakat Desa Padang Halaban pada tahun 2012.
Kronologis kejadian ini sebenarnya dipicu dari masalah yang sudah lama pernah
terjadi, yaitu permasalahan sengketa lahan antara masyarakat Padang Halaban
dengan PT Smart, dimana masyarakat yang secara turun-temurun dari nenek
moyang mereka menempati lahan yang diklaim oleh PT Smart adalah lahan
miliknya. Kejadian ini mencapai puncak ketika, beberapa masyarakat Padang
Halaban mengambil beberapa janjang sawit dari lahan reclaiming, dengan latar
belakang untuk memenuhi kebutuhan hidup dari kondisi kehidupan yang
memprihatinkan68.
Dari kejadian ini, pihak PT Smart menuduh masyarakat mencuri sawit dari
lahannya, dan menahan masyarakat yang mengambil sawit tersebut. Mengetahui
penahanan kawannya ditahan oleh pihak Satpam perkebunan dan TNI, masyarakat
tidak berterima dengan tuduhan tersebut dan sempat terjadi percekcokan dan
beberapa provokasi dari pihak yang tidak bertanggungjawab hingga pada akhirnya
menimbulkan kerusuhan. Pihak perkebunan menurunkan 4 pleton polisi untuk
turun ke lahan dan menyisir dan menangkap beberapa petani yang dianggap
sebagai dalang pemicu kerusuhan tersebut. Kondisi menjadi kacau balau setelah

68

Ibid. Hal 14.

70

Universitas Sumatera Utara

ada penembakan dan seorang anak petani bernama Gusmanto terluka. Sementara
3 orang ditangkap, dan warga bersiaga di beberapa rumah. Setelah tindakan
penangkapan pertama, di ikuti dengan tindakan penangkapan kedua secara brutal
oleh aparat kepolisian terhadap warga di setiap kerumunan massa dan rumahrumah warga. Bahkan 2 (dua) orang penggembala lembu ditangkap juga oleh
aparat. Akhirnya sebanyak 60 orang warga ditangkap dengan alasan akan
diberikan pengarahan.
Para warga diangkut menggunakan 3 (tiga) mobil Dalmas. Kejadian
penangkapan berlangsung sampai 14.00 WIB. Proses penangkapan tersebut, tidak
dibarengi dengan surat perintah penangkapan dan dalam penangkapan, beberapa
petani mengalami tindak kekerasan fisik. Kondisi menjadi kacau balau setelah ada
penembakan dan seorang anak petani bernama Gusmanto terluka. Sementara 3
orang ditangkap, dan warga bersiaga di beberapa rumah. Kejadian ini menjadi
sorotan utama beberapa kalangaan pada saat itu, terutama aktivis-aktivis sosial
dan wartawan, hingga berita ini dimuat dalam media cetak dan elektronik.
Informasi ini langsung direspon cepat oleh beberapa pengurus AGRA Sumatera
Utara dengan berkoordinasi dengan beberapa aktivis NGO Lentera yang pada saat
ini berada di lokasi konflik. Setelah mendapatkan informasi dari lapangan,
beberapa aktivis AGRA langsung turun ke Padang Halaban untuk melakukan
investigasi secara mendalam dan mencoba berinteraksi dengan masyarakat di desa
tersebut.

71

Universitas Sumatera Utara

Setelah sekitar 1 (satu) bulan aktivis AGRA menetap di Padang Halaban,
secara bertahap masyarakat mulai bisa menerima penjelasan dan pemahaman yang
diberikan aktivis AGRA atas kondisi yang sedang mereka hadapi. Dari proses
yang berjalan, beberapa orang aktivis AGRA rutin untuk melakukan diskusi dan
konsoslidasi kepada petani Padang Halaban, hingga tercipatanya kesatuan
pandangan bahwa perjuangan kaum tani haruslah perjuangan yang bersifat
nasional dengan buah pikiran adalah peningkatan kesejahteraan kaum tani di
Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 6 Juni 2013, KTPHS (Kelompok Tani
Padang Halaban Sekitarnya) berubah nama menjadi STPHL (Serikat Petani
Padang Halaban) dan resmi menjadi ranting pengorganisasian AGRA wilayah
Sumatera Utara dengan berbagai program organisasi dan pengangkatan
kepemimpinan kolektif AGRA ranting desa Padang Halaban melalui Rapat
Umum Anggota (RUA) dengan beranggotaka kurang lebih dari 300 orang69.
Sampai saat ini, beberapa aktivis AGRA masih menetap di Padang
Halaban dan berbagai kemajuan telah dirasakan kaum tani di desa ini, melalui
berbagai kegiatan yang terlaksana secara terprogram, khususnya dengan adanya
pendidikan politik dari organisasi yang meningkatkan kesadaran kaum tani.
Sehingga nantinya kaum tani mampu memahami dengan baik tentang sebab
akibat dari persoalan kehidupannya dan pemecahan masalah tersebut secara
perlahan-lahan. Walaupun keinginan bersama atas kembalinya lahan yang

69

Ibid. Hal 17.

72

Universitas Sumatera Utara

dirampas oleh pengusaha masih dalam proses perjuangan, namun akan tetap
diperjuangkan karena lahan tersebut merupakan jaminan atas kehidupan yang
lebih sejahtera bagi masyarakat Padang Halaban.
2.1.5.2. Struktur Organisasi STPHL - AGRA
Berdasarkan data Kelompok Masyarakat Serikat Tani Padang Halaban
bahwa yang memegang kuasa pada daerah wilayah Desa Padang Halaban,
Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara sampai pada saat ini adalah:
Ketua

: Bapak Suratmin

Sekretaris

: Bapak Selamat

Bendahara

: Bapak Naseb

Kadep Organisasi

: Bapak Adi Galang

Kadep Dikprop

: Bapak Aris Jatmiko

2.2 Tinjauan Kebijakan Pemerintah Terhadap Pembangunan Agraria
Mengacu kepada program Nawa Cita Jokowi-JK yang terdiri dari 10
program utama dalam memimpin perjalanan Negara Republik Indonesia selama
periodenya. Dimana di dalam 10 program tersebut terdapat program yang terkait
dengan pembangunan agraria, sebagai program yang dianggap mendesak terhadap
pembangunan negara kearah yang lebih baik. Melalui program pembangunan
agrarianya yang tertuang di dalam Nawa Cita tersebut, maka untuk
menjalankannya diperlukan sederetan kebijakan dan peraturan yang berkenaan
dengan program tersebut.

73

Universitas Sumatera Utara

Dibawah ini akan dipaparkan beberapa deretan kebijakan atau peraturan
pemerintah dibawah kepemimpinan Jokowi-JK, yang berkenaan dengan program
pembangunan agraria semasa periode kepemimpinannya. Adapun peraturan atau
kebijakan ini diambil dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta peraturanperaturan Presiden yang berkenaan dengannya.

2.2.1 Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat
Atas Perpres No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan

ini ditujukan dalam rangka percepatan dan efektivitas

penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Sejumlah prosedur direvisi dalam Peraturan Presiden ini, antara lain gubernur
harus sudah membentuk tim persiapan pengadaan tanah paling lama dua hari,
sebelumya 10 hari, setelah menerima dokumen perencanaan Pengadaan Tanah
dari Instansi yang memerlukan tanah. Kemudian tim yang bertanggung jawab
harus memberitahuan rencana pembangunan kepada masyarakat sekitar paling
lama tiga hari, sebelumnya 20 hari.
Selanjutnya di dalam peraturan ini, Gubernur harus mengatasi keberatan dari
masyarakat paling lama tiga hari, sebelumnya 14 hari. Sementara penetapan lokasi
pembangunan