Analisis Implementasi Nawa Cita Jokowi Dalam Pembangunan Agraria. (Studi Deskriptif: Konflik Tanah di Desa Padang Halaban)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah adalah salah satu alat utama bagi manusia untuk memenuhi
kebutuhan. Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan
manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Manusia hidup di atas
tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah, seperti
bercocok tanam dalam hal faktor produksi dan bisa juga digunakan sebagai modal
dalam kegiatan perekonomian. Indonesia adalah negara agraris dimana mata
pencaharian mayoritas penduduknya dengan bercocok tanam. Secara geografis
Indonesia yang juga merupakan negara kepulauan memiliki potensi alam yang
besar tidak hanya dalam bidang kelautan tapi juga dalam pengolahan pertanian.
Potensi pertanian Indonesia yang tinggi salah satunya disebabkan wilayah
indonesia yang memiliki wilayah daratan sepertiga dari luas keseluruhan, ini
dilewati barisan pengunungan dunia. Hal ini menyebabkan wilayah daratan
Indonesia sangat subur. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sebagian besar
penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani. Itulah mengapa selain
disebut sebagai negara maritim, Indonesia juga disebut sebagai negara agraris.
Oleh karena itulah tanah merupakan salah satu sumber daya penting bagi
masyarakat. Dinamika dalam pembangunan subjek tanah menempati posisi yang
khusus sebagai faktor produksi dan merupakan modal yang tidak dapat

digantikan, tidak dapat dipindahkan dan tidak dapat direproduksi. Tanah juga

1

Universitas Sumatera Utara

merupakan alas tempat tinggal, bahkan bagi masyarakat Indonesia yang
heterogen, tanah memiliki arti perjuangan kebangsaan sebagaimana tercermin
dalam ungkapan “tanah air”. Arti yang beragam dan begitu penting mengenai
tanah mengarah pada satu esensi utama yakni tanah untuk kemakmuran rakyat1.
Dengan demikian, tanah merupakan sarana dan kebutuhan yang amat
penting bagi kehidupan manusia. Tanah tidak lagi dipandang sebagai masalah
agraria semata yang selama ini diidentikkan sebagai pertanian belaka, melainkan
telah berkembang baik manfaat maupun kegunaannya, sehingga terjadi dampak
negatif yang semakin kompleks, bahkan tanah sering menimbulkan guncangan
dalam masyarakat serta sendatan dalam pelaksanaan pembangunan2. Selain dari
faktor produksi tanah juga menyangkut hal-hal lain dalam aspek yang berbeda
yang memiliki arti penting baik itu pada aspek sosial maupun aspek politik. Oleh
sebab itu dapat kita simpulkan bahwa tanah tidak semata-mata merupakan
masalah hubungan antara manusia dengan tanah, tetapi lebih dari itu dimana

secara normatif merupakan hubungan manusia dengan manusia/makhluk sosial.
Tanah dalam sistem sosial-ekonomi-politik apapun, dianggap sebagai
faktor produksi utama, hal yang membedakan antara sistem yang satu dan sistem
lainnya hanyalah bagaimana fungsi, mekanisme pengaturan, dan cara pandang
terhadap tanah itu sendiri. Dalam sistem feodal, fungsi tanah lebih merupakan

1

Noer Fauzi. 1997. Penghargaan Populisme dan Pembangunan Kapitalisme, Dinamika Politik Agraria
Indonesia Pasca Kolonial (Dalam Reforma Agraria). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Hal. 7.
2
Salindeho J. 1987. Masalah Tanah dalam Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 23.

2

Universitas Sumatera Utara

simbol status kekuasaan bangsawan atau kerajaan3. Tanah secara keseluruhan
dimiliki kelas bangsawan, sementara petani hanyalah pihak penggarap. Dalam

sistem kapitalisme, tanah dan faktor produksi lainnya merupakan mesin pencetak
laba, merupakan sesuatu yang dapat mengakumulasikan modal, sementara petani
hanya pekerja. Dalam sistem sosialisme, tanah tidak dimiliki secara pribadi, tetapi
secara kolektif, tanah merupakan alat produksi dan hasilnya digunakan secara
bersama 4. Begitu pula dalam pendekatan (neo) populisme, tanah dianggap sebagai
alat produksi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat petani. Dalam
pandangan ini tanah tidak dimiliki atau dikuasai bangsawan, negara (kolektif),
atau kelas tuan tanah, tetapi tanah dikuasai secara tersebar oleh sejumlah besar
rumah tangga pertanian. Dalam sistem-sistem tersebut, tanah mempunyai nilai
strategis, walaupun memiliki fungsi berbeda-beda.
Akibat dari pentingnya tanah dalam kebutuhan sehari-hari maka kerap
adanya kecenderungan terjadi konflik bahwa orang yang memiliki tanah akan
berupaya mempertahankan tanahnya dengan cara apapun bila hak-haknya
dilanggar. Oleh karena itu tidak heran bila konflik pertanahan mengundang
berbagai bentuk kekerasan, baik individu maupun massal. Adanya konflik sosial
yang berkaitan dengan masalah tanah/lahan sebenarnya sudah ada sejak zaman
feodal, tetapi intensitas permasalahannya tidak seperti yang terjadi pada masa
Orde Baru. Adanya istilah patron client yang mengatur hubungan antara petani
3


Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni. 1998. Petani dan Konflik Agraria. Bandung : Penerbit
Akatiga. Hal. 14
4
Arief Budiman. 1996. Fungsi Tanah dalam Kapitalisme. Dalam jurnal e-book Aanalisis Sosial: Penerbit
Yayasan Akatiga, Edisi 3/Juli. Hal. 14.

3

Universitas Sumatera Utara

pemilik lahan luas dengan petani gurem atau buruh tani yang berfungsi sebagai
peredam gejolak masalah konflik tanah yang muncul5.
Di Indonesia sendiri, dalam pembangunan agraria dari zaman orde lama
hingga paska reformasi memiliki dinamika yang panjang. Dimulai setelah 15
tahun Indonesia merdeka, pada tanggal 24 September 1960, lahirlah “UndangUndang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria” ,yang
kemudian terkenal dengan istilah UUPA. Lahirnya UUPA bukan proses yang
pendek. Karena setelah Indonesia merdeka, sejak awal sebenarnya pemerintah
telah mulai memperhatikan masalah agraria. Lahirnya UUPA-1960, yang diikuti
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, No.56 tahun 1960
(yang dikenal sebagai Undang-Undang “Landreform”) sebenarnya merupakan

hasil dari usaha untuk meletakkan dasar strategi pembangunan seperti yang dianut
juga oleh berbagai Negara Asia pada masa awal sesudah Perang Dunia kedua
(Jepang,Korea,Taiwan,India,Iran,dan lain-lain)6.
Dimasa orde baru, Belum sampai terlaksana sepenuhnya apa yang
diprogramkan dalam Reformasi Agraria pada masa Orde Lama, terjadi tragedi
nasional dalam tahun 1965, yang melahirkan Orde Baru. Penguasa Orde Baru
mewarisi situasi nasional dalam keadaan perekonomiaan Negara yang
menyedihkan dan konstelasi politik yang dinilai sebagai penyimpangan dasar dari
sila-sila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Ciri kebijakan pemerintah
5

Heru Nugroho. 2001. Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Hal. 246.
http://dokumen.tips/documents/sejarah-an-hukum-agraria-di-indonesia.html. Di akses tanggal 3 mei 2016
pukul 16:28 wib
6

4

Universitas Sumatera Utara


Orde Baru ditandai oleh dua hal pokok. Pertama: Secara umum, strategi
pembangunanya mengandalkan kepada bantuan, hutang, dan investasi dari luar
negeri, dan bertumpu kepada “yang besar” (betting on the strong), tidak berbasis
pada potensi rakyat7.
Dimasa reformasi, tampak membawa perombakan yang asasi dalam
kebijakan pembangunan nasional di bidang ekonomi, sebagai yang ditetapkan
dalam kebijakan pembangunan nasional di bidang ekonomi, sebagai yang
ditetapkan dalam TAP MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam
Rangka Demokrasi Ekonomi, yang berbeda benar dengan kebijakan pembangunan
ekonomi Orde Baru. TAP MPR tersebut ditetapkan atas dasar pertimbangan,
bahwa pelaksanaan Demokrasi Ekonomi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 33
UUD 1945 belum terwujud. Dinyatakan dalam TAP MPR tersebut, bahwa politik
ekonomi mencakup kebijaksanaan, strategi dan pelaksanaan pembangunan
ekonomi nasional sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip dasar Demokrasi
Ekonomi, yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak, untuk sebesar
besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana dimaksud dalma pasal 33 UUD 19458.
Politik Ekonomi nasional diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi
nasional, agar terwujud pengusaha menengah yang kuat dan besar jumlahnya,
serta terbentuk keterkaitan dan kemitraan yang saling menguntungkan antar
pelaku ekonomi yang meliputi usaha kecil, menengah dan koperasi, usaha besar

7

Tulus Tambunan. 2006. perekonomian indo sejak orde lama sampai pasca krisis. jakarta. PT Pustaka
Quantum. hal. 21
8
Bagir Manan, 1992. Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: Ind. Hill.Co. Hal. 18

5

Universitas Sumatera Utara

swasta dan Badan Usaha Milik Negara, yang saling memperkuat untuk
mewujudkan Demokrasi Ekonomi dan efisiensi nasional yang berdaya saing
tinggi9.
Fenomena konflik pertanahan menjadi salah satu persoalan utama yang
tidak dapat diabaikan begitu saja. Sebab persoalan ini tentunya berdampak kepada
perjalanan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Terlebih mengingat deretan
konflik agraria di Indonesia begitu panjang dan rumit seakan tak kunjung selesai.
Sehingga upaya penyelesaian konflik tersebut menjadi kebutuhan yang mendesak
bagi pemerintah sendiri agar dapat terselesaikan secara tepat demi pembangunan

masyarakat yang adil dan sejahtera, dilain sisi, penyelesaian konflik agraria di
Indonesia tentu saja merupakan bagian mendasar dari upaya pemerintah dalam
rangka pembangunan agraria itu sendiri. Sebab tentu saja, pembangunan agraria
baru akan dapat memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat ketika
kepentingan masyarakat itu sendiri telah terselesaikan dari persengketaan dan
konflik. Untuk menggambarkan kondisi agraria di Indonesia yang sarat akan
konflik dan persengketaan10.
Berdasarkan data Menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA),
bahwa setelah mencuatnya kasus Mesuji berturut-turut

konflik agraria

bermunculan kepermukaan seperti konflik agraria di Pulau Padang, pembakaran

9

Doddy Rudianto. 1996. Pembangunan Ekonomi dan Perkembangan Bisnis di Indonesia. Jakarta : PT.

Golden Trayon Press. Hal 53.
10


Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni. Op. Cit. Hal. 16

6

Universitas Sumatera Utara

rumah-rumah masyarakat adat di Sumbawa dalam konflik dengan Dinas
Kehutanan. Selama ini, belum ada penyelesaian menyeluruh mengenai konflikkonflik agraria ini. Data yang dihimpun Perkumpulan untuk pembaharuan Hukum
dan Masyarakat (HuMa) menyebutkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir
terdapat 108 konflik agraria di 10 provinsi di Indonesia yang didominasi oleh
konflik teritorial dikawasan hutan (69 kasus) dan konflik perkebunan (23 kasus).
Badan Pertanahan Nasional (BPN) bahkan mencatat 8000 konflik agraria di
Indonesia. Sementara Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan kelapa
sawit mencapai 663 diseluruh Indonesia. Konflik agraria ini melibatkan
perusahaan-perusahaan

perkebunan

swasta


dan

BUMN,

perusahaan

pertambangan, Taman Nasional, dan Perhutani. HuMa juga mengamati bahwa
hampir disetiap konflik, terdapat keterlibatan aparat keamanan seperti kepolisian
dan militer. Selain itu juga keterlibatan preman atau pamswakarsa11.
Begitu juga yang terjadi di daerah Sumatera Utara banyak konflik yang
terjadi. Perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia berada di Sumatera Utara
dengan luas areal 1.018.580 Ha, dikelola swasta, BUMN maupun perkebunan
rakyat. Dengan produksi CPO rata-rata 3,5 Juta ton per tahun, perkebunan
tersebar di beberapa wilayah dataran rendah seperti Sumatera bagian Timur dan
Sumatera bagian Tenggara. Hampir semua perusahaan berkonflik dengan petani,
rakyat dan masyarakat adat yang berada di sekitar perkebunan. Konflik karena
persoalan lahan sering terjadi di Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang
11


http://www.kpa.or.id?p=636, data ini diunduh pada 20 februari 2016, jam 02:30 wib.

7

Universitas Sumatera Utara

Bedagai, Asahan, Simalungun, Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu
Selatan, Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal. Konflik itu biasanya terjadi
antara perusahaan perkebunan swasta. Konflik yang mencuat berupa perusakan,
pembakaran fasilitas perusahaan dan rumah, serta pembunuhan. Menurut data dari
Polda Sumut dalam kurun 2006-2012 terjadi 2.833 kasus lahan atau yang kerap
disebut konflik agraria12.
Di Sumatera Utara, dalam semester pertama tahun 2013, Kasus konflik
lahan antar petani, rakyat dan masyarakat adat dengan korporasi (pemerintah dan
swasta) semakin meningkat. Menurut majalah Burta bahwa sampai saat ini ada
delapan kelompok petani yang berkonflik dengan perusahaan, kasus tersebut
terdiri dari kasus baru juga kasus lama yang kembali mencuat. Dari konflik yang
terjadi, rakyat selalu menjadi korban dari tindakan pihak perusahaan yang di back
up oleh aparat keamanan maupun pengaman swakarsa yang disewa perusahaan13.
Mengacu kepada kondisi konflik pertanahan diatas, maka tentu tanggung
jawab dan peran pemerintahlah yang sangat menentukan penyelesaian persoalan
tersebut. Pemerintah Indonesia dalam hal ini yakni Pemerintah dibawah
kepemimpinan Jokowi – JK yang mengemban tugas atas sederetan persoalan
Negara sejak memenangkan Pemilihan Presiden 2014 lalu.

12

Harian Kompas. Pergolakan Konflik Agraria di Sumatera Utara. Tanggal 28 mei 2013. Hal 12
Majalah Burta. 2012. Semangat Perjuangan Buruh dan Tani, Bom waktu Konflik Lahan. ( Edisi 1 TahunI/2012). Lentera Rakyat. Hal. 4.
13

8

Universitas Sumatera Utara

Diawal pertarungan politik pada 2014 lalu, Jokowi – JK dan rivalnya yaitu
Prabowo – Hatta memiliki komitmen politik atas pencalonannya masing-masing.
Di pihak Jokowi – JK sendiri, komitmen tersebut dijabarkan dalam Sembilan
program prioritas pembangunan Indonesia yang lebih maju. Sembilan program
tersebut dikemas dengan nama Nawa Cita. Adapun program yang berkenaan
dengan pembangunan agraria dalam Nawa Cita tersebut yaitu antara lain14 :
1. Pada program keempat, kami akan menolak Negara lemah dengan
melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermartabat dan terpercaya. Kami akan memprioritaskan pemberantas
korupsi dengan konsisten dan terpercaya; pemberantasan mafia peradilan
dan penindakan tegas terhadap korupsi di lingkungan Peradilan;
pemberantasan tindakan penebangan liar, perikanan liar dan penambangan
liar, pemberantasan tindak kejahatan perbankan dan kejahatan pencucian
uang; Penegakan hukum lingkungan; Pemberantasan narkoba dan
psikotropika,; Menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah,
penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan
kembali hak tanah masyarakat,; Perlindungan anak, perempuan dan
kelompok masyarakat termarginal, serta penghormatan HAM dan
penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM
pada masa lalu.

14

http://www.opajappy.com. Data diunduh 20 Februari 2016 pukul 20.31 wib.

9

Universitas Sumatera Utara

2. Pada program kelima, kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan
program "Indonesia Pintar" dengan wajib belajar 12 Tahun bebas
pungutan; peningkatan layanan kesehatan masyarakat dengan menginisiasi
kartu "Indonesia Sehat"; Serta peningkatan kesejahteraan masyarakat
dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan
mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9
Juta Hektar; program rumah kampung deret atau rumah susun murah
yang disubsidi serta Jaminan Sosial untuk seluruh rakyat di tahun 2019.
Berdasarkan dari kedua program tersebut, tersurat bahwa Pemerintahan
dibawah kepemimpinan Jokowi – JK berkomitmen menyelesaikan sederetan
sengketa atau konflik tanah yang bergulir selama ini di Indonesia. Pada
pelaksanaanya,

komitmen

tersebut

diwujudkan

dengan

pembentukkan

kementerian baru di dalam Kabinet Kerja Jokowi – JK yaitu Kementerian Agraria
dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan selaku Menteri, selain merupakan
kementerian yang berwenang atas pertanahan dan tata ruang di Indonesia, juga
tentu saja memiliki tugas yaitu dalam menyelesaikan berbagai konflik agraria
yang terjadi di Indonesia15.
Dengan demikian, keberadaan Kementerian tersebut menjadi pihak sangat
diharapkan agar berperan aktif dalam penyelesaian konflik pertanahan yang ada

15

Dikutip dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2015 Pasal 28

10

Universitas Sumatera Utara

saat ini. Terutama di Provinsi Sumatera Utara sendiri, sebagai Provinsi dengan
jumlah kasus konflik tanah tertinggi di Indonesia pada tahun 2013 silam.
Berkaitan dengan hal tersebut, dimana terdapat satu daerah di Kabupaten Labuhan
Batu Utara, tepatnya di daerah Padang Halaban yang hingga saat ini terus bergulir
konflik tersebut antara pihak perkebunan swasta dengan masyarakat petani.
Lokasi perkebunan sawit yang dikuasai PT. Smart berada di areal seluas
3000 Ha. Daerah ini jika dilihat dari jejak-jejak peninggalan sejarah,
menggambarkan daerah yang subur dengan kontur tanah bebukitan dan juga
terdapat lembah-lembah yang cocok untuk lahan pertanian. Apalagi lokasinya
berada tidak jauh dari stasiun padang halaban dan juga jalan lintas sumatera yang
menghubungkan kawasan labuhan batu ke kota medan maupun kota-kota besar
lainnya. Padang halaban dikelilingi desa-desa yang diantaranya, desa Sidomulyo,
Karanganyar, Aek Korsik, Kertosentono, Panigoran serta beberapa desa lainnya.
Terdapat dua suku, diantaranya suku Jawa dan suku Batak. Keberadaan desa-desa
ini sebagai bukti adanya kehidupan manusia sebelum penggusuran yang dilakukan
rezim orde baru. Hal lain yang membuktikkan adanya kehidupan masyarakat di
atas lahan yang dikuasai PT. Smart adalah pemakaman massal yang sudah ada
sejak masa demokrasi terpimpin. Pada tahun 1969 sampai tahun 1970 proses
penggusuran berlangsung. Penggusuran dilakukan di beberapa kampung,
kampung pertama yang digusur Sukodamai/Panigoran dengan menggunakan alat
berat D8. Kampung kedua digusur adalah Sidomulyo dengan memakai tenaga
TPU (Tahanan Umum) dibantu karyawan perusahaan dan dikawal oleh aparat.

11

Universitas Sumatera Utara

Tindakan sewenang-wenang pengambilan tanah rakyat di area perkebunan Padang
halaban telah memicu perjuangan rakyat setempat. Usaha-usaha perjuangan sudah
dimulai sejak tahun 1970 dengan mendesak pihak perkebunan mengembalikan
tanah rakyat. Usaha perjuangan pertama dilakukan pada tahun 1975 dengan
mendesak pihak perusahaan untuk mengembalikan tanha rakyat, namun usaha
tersebut tidak mendapatkan tanggapan sama sekali. Sementara tanah seluas 3000
Ha adalah tanah rakyat, karena sejak awal tanah ini dibuka, digarap dan dibangun
oleh rakyat, namun keberadaan perusahaan-perusahaan silih berganti menduduki
lahan sejak masa penjajahan Belanda–Jepang – sampai perkebunaan swasta (PT.
Smart). Melalui berbagai kebijakan, dari Agrarische Wet sampai ke UU
Penanaman Modal, rakyat dibuat seolah-olah tidak punya hak atas tanah yang
telah lama diduduki16.
Dari situasi tersebut, tentu peran pemerintah sangat berarti dalam
penyelesaian konflik di daerah Padang Halaban Kabupaten Labuhan Batu Utara.
Oleh sebab itu, berdasarkan alasan-alasan diatas, maka peneliti tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan judul : Analisis Implementasi Nawa Cita Jokowi
Dalam Pembangunan Agraria. Judul ini nantinya akan didasarkan kepada satu
lokasi di Provinsi Sumatera Utara yang dianggap memiliki konflik pertanahan
yang telah lama bergulir dan menelan banyak kerugian.

16

Data ini di tinjau langsung dari kesaksian warga Padang Halaban yang dihimpun oleh Team Serve the
People (Pelayanan Rakyat) Anggota Front Mahasiswa Nasional Cabang Medan.

12

Universitas Sumatera Utara

1.2 Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang:
Bagaimana pelaksanaan Nawa Cita Jokowi terhadap penyelesaian konflik tanah
dalam rangka pembangunan agraria di Indonesia ?
1.3 Batasan Masalah
Dalam pembatasan masalah di penelitian ini, penulis akan membatasi
beberapa masalah yang nantinya akan diteliti. Sehingga nantinya hasil penelitian
mampu mengurai beberapa masalah tersebut secara sistematis dan mendasar.
Adapun batasan masalah dalam penelitian ini, yaitu antara lain :
1. Apa kebijakan pemerintahan Jokowi–Jusuf Kalla dalam pembangunan
Agraria?
2. Bagaimana pelaksanaan penyelesaian konflik Tanah di Padang
Halaban Kec. Aek Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara ?

1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu antara lain :
1. Untuk mengetahui bagaimana upaya pemerintahan Jokowi – Jusuf
Kalla dalam Pembangunan Agraria.

13

Universitas Sumatera Utara

2. Untuk menganalisis pelaksanaan penyelesaian konflik tanah di Padang
Halaban Kec. Aek Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara.

1.5 Manfaat Penelitian
1.

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menerapkan
beberapa teori yang digunakan penulis sebagai pisau analisisnya,
diantaranya teori kebijakan publik, teori konflik, politik agraria
serta teori pembangunan politik.

2.

Secara kelembagaan, penelitian ini diharapkan dapat menambah
perbendaharaan referensi penelitian sosial bagi Departemen Ilmu
Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, serta Universitas
Sumatera Utara.

3.

Secara masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah
khasanah pengetahuan masyarakat luas tentang penyelesaian
konflik agraria yang terjadi di Padang Halaban Kec. Aek Kuo,
Kab. Labuhan Batu Utara.

14

Universitas Sumatera Utara

1.6 Kerangka Teori
1.6.1. Teori Kebijakan Publik
1.6.1.1. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya
pemerintah,

sebagai

strategi untuk

merealisasikan tujuan

negara

yang

bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantarkan masyarakat
pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada
masyarakat yang dicita – citakan17.
Carl Frederich memandang kebijakan publik adalah suatu arah
tindakan yang diusulkan oleh seseorang kelompok atau pemerintah dalam
suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan – hambatan dan
kesempatan – kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk
menggunakan dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan atau
suatu maksud tertentu18. Secara umum, saat ini kebijakan lebih dikenal sebagai
keputusan yang dibuat oleh lembaga pemerintah, yang bertujuan untuk
menyelesaikan permasalahan – permasalahan yang terjadi di masyarakat
dalam sebuah negara.
Maka dalam kaitannya, istilah kebijakan atau policy dipergunakan
untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu
kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam
suatu bidang kegiatan tertentu, keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan
17
18

Riant Nugroho. 2008. Public Policy. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal.55
Budi Winarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Jogjakarta: Media Presindo. Hal.16

15

Universitas Sumatera Utara

kebijakan kemudian inilah menjadi ciri khusus dari kebijakan publik dalam
suatu sistem politik. Namun demikian, satu hal yang harus diingat dalam
mendefenisikan kebijakan adalah bahwa pendefenisian kebijakan tetap harus
mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan dari pada apa
yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu, dan
mencakup pula arah atau apa yang dilakukan dan tidak semata-mata
menyangkut usulan tindakan, hal ini dilakukan karena kebijakan merupakan
suatu proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi19.
1.6.1.2. Tahapan Pembuatan Kebijakan
Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena
melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Kebijakan publik
merupakan suatu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian kebagian lain
secara sinambungan, saling menentukan dan saling membentuk. Kebijakan publik
tidak terlepas dari sebuah proses kegiatan yang melibatkan aktor – aktor yang
akan bermain dalam proses pembuat kebijakan.
Charles

Lindblom

mengutarakan

bahwa

untuk

memahami

siapa

sebenarnya yang merumuskan kebijakan, lebih dahulu harus dipahami sifat – sifat
semua pameran serta bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau
bentuk kekuasaan yang mereka miliki dan bagaimana mereka saling berhubungan
serta saling mengawasi.
19

Ibid. Hal. 20.

16

Universitas Sumatera Utara

Proses perumusan kebijakan merupakan inti dari kebijakan publik, karena
dari sinilah akan dirumuskan batas – batas kebijakan itu sendiri20. Tidak semua isu
yang dianggap masalah oleh masyarakat perlu dipecahkan oleh pemerintah
sebagai pembuat kebijakan, yang akan memasukkannya kedalam agenda
pemerintah yang kemudian diproses menjadi sebuah kebijakan setelah melalui
berbagai

tahapan.

Perumusan

kebijakan

meliputi empat

tahapan

yang

dilaksanakan secara sistematis, yaitu21 :
Tahap pertama, perumusan masalah. Mengenali dan merumuskan masalah
merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk
dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah – masalah publik harus
dikenali dan didefenisikan dengan baik.
Tahap kedua, agenda kebijakan. Tidak semua masalah publik akan masuk
kedalam agenda kebijakan. Masalah – masalah tersebut akan berkompetisi antara
satu dengan yang lain. Hanya masalah – masalah tertentu yang pada akhirnya
akan masuk kedalam agenda kebijakan masalah publik yang masuk kedalam
agenda kebijakan akan dibahas oleh para perumus kebijakan. Masalah – masalah
tersebut dibahas berdasarkan tingkat urgensinya untuk dilaksanakan.
Tahap ketiga, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah.
Pada tahap ini, para perumus kebijakan akan berhadapan dengan berbagai
alternatif pilihan kebijakan yang akan diambil untuk memecahkan masalah. Para
20
21

Riant Nogroho. Op.Cit. Hal. 355
Budi Winarno. Op.Cit. Hal.82

17

Universitas Sumatera Utara

perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antar berbagai
aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Pada kondisi ini, maka pilihan –
pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negoisasi yang terjadi
antar aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.
Tahap keempat, penetapan kebijakan setelah salah satu dari kebijakan
alternatif diputuskan untuk diambil sebagai cara pemecahan masalah, maka tahap
terakhir dalam pembuat kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih
tersebut sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan
yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok
kepentingan yang terlibat dalam pembuatan kebijakan tersebut.
1.6.1.3. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk
mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yaitu langsung
mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan
derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Pelaksanaan atau
implementasi kebijakan dalam konteks manejemen berada dalam kerangka
organizing-leading-controlling, jadi, ketika kebijakan sudah dibuat, tugas
selanjutnya

adalah

mengorganisasikan,

melaksanakan

kepemimpinan

18

Universitas Sumatera Utara

pengendalian pelaksanaan tersebut22. Secara rinci manajemen implementasi
kebijakan dapat disusun sebagai berikut:
Tabel 1.1 Manajemen Implementasi
NO
1

Tahap
Implementasi Strategi

Isu Penting


Menyesuaikan struktur dengan strategi



Melembagakan strategi.



Mengoperasionalkan strategi.



Menggunakan

prosedur

untuk

memudahkan implementasi.
2

Pengorganisasian



(Organizing)

Desain

organisasi

dan

struktur

organisasi.


Pembagian

pekerjaan

dan

desain

pekerjaan.


Integrasi dan koordinasi.



Perekrutan dan penembatan sumber
daya manusia (recruting dan staffing).



Hak, wewenang, dan kewajiban.



Pendelegasian

(sentralisasi

dan

desentralisasi).


22

Pengembangan kapasitas organisasi dan

Riant Nogroho. Op.Cit. Hal. 432

19

Universitas Sumatera Utara

kapasitas sumber daya manusia.

3

Penggerakan
Kepeminpinan

4

Pengendalian

dan



Budaya organisasi.



Efektivitas kepemimpinan.



Motivasi.



Etika.



Mutu.



Kerja sama tim.



Komunikasi organisasi.



Negosiasi.



Desain pengendalian.



Sistem informasi manajemen.



Pengendalian anggaran/keuangan.



Audit.

Matriks diatas memperlihatkan tahapan dan rincian pekerjaan dalam
implementasi kebijakan. Oleh karena itu proses rangkaian kegiatan merupakan
keputusan yang bersifat mendasar dan menyeluruh, disertai penetapan cara
melaksanakannya yang dibuat oleh pimpinan dan di implementasikan oleh
seluruh jajaran didalam suatu organisasi untuk mencapai sebuah tujuan.

20

Universitas Sumatera Utara

1.6.2. Teori Pembangunan Politik
Dalam studi pembangunan politik sebelum menjelaskan definisi-defnisi
pembangunan politik ada beberapa konsep yang perlu di pahami, yaitu,
perubahan, pembangunan dan modernisasi politik. Pembangunan dan modernisasi
politik merupakan perubahan politik, bukan sebaliknya. Perubahan politik dapat
diartikan sebagai terjadinya perbedaan karakteristik dari suatu sistem politik yang
satu ke sistem politik lain. Misalnya dari sistem politik otoriter parlementer ke
sistem politik demokrasi Pancasila. Persoalannya ialah apakah perubahan itu
bersifat progresif yaitu menuju situasi yang lebih baik dari yang sebelumnya
ataukah bersifat regresif yaitu menuju situasi yang lebih buruk dari sebelumnya.
Contohnya adalah Indonesia masa pemerintahan orde baru yang cenderung
otoriter berubah ke masa reformasi yang cenderung lebih demokratis, dimana
kedaulatan rakyat lebih dijunjung tinggi23.
Disamping itu, konsep pembangunan politik dapat dikatakan mempunyai
konotasi secara geografis, derivatif, teologis dan fungsional24 :
1. Pembangunan politik secara geografis berarti proses perubahan politik
pada neggara berkembang dengan menggunakan konsep dan metode yang
pernah digunakan oleh negara maju, seperti konsep mengenai sosialisasi
politik, komunikasi politik, dan sebagainya.

23
24

Juwono Sudarsono. 1982. Pembangunan Politik dan Perubahan. Jakarta. Yayasan Obor. Hal. 19
Sukarna.1990. Pembangunan Politik. Bandung: mandar maju. Hal. 47

21

Universitas Sumatera Utara

2. Pembangunan politik secara derivatif berarti pembangunan politik
merupakan aspek dan konsekuensi politik dari proses perubahan yang
menyeluruh, meliputi modernisasi yang membawa konsekuensi pada
pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, peningkatan pendidikan, media massa,
perubahan status sosial dan aspek-aspek lainnya.
3. Pembangunan politik secara teologis berarti proses perubahan menuju
pada suatu atau beberapa tujuan dari sistem politik. Tujuan tersebut
meliputi stabilitas politik, integrasi politik, demokrasi, partisipasi,
mobilisasi dan sebagainya.
4. Pembangunan politik secara fungsional berarti suatu gerakan perubahan
menuju sistem politik ideal yang dikembangkan suatu negara untuk sistem
politik demokrasi konstitusional.
Kemudian terdapat sepuluh defenisi mengenai pembangunan politik dalam
hal ini yaitu25 :
1. Pembangunan Politik sebagai Prasarat Politik bagi Pembangunan
Ekonomi.
2. Pembangunan Politik sebagai Ciri Khas Kehidupan Politik Masyarakat
Industri.
3. Pembangunan Politik sebagai Modernisasi Politik.
4. Pembangunan Politik sebagai Operasi Negara Bangsa.
5. Pembangunan Politik sebagai Pembangunan Administrasi dan Hukum.

25

Ibid. 54

22

Universitas Sumatera Utara

6. Pembangunan Politik sebagai Mobilisasi dan Partisipasi Massa.
7. Pembangunan Politik sebagai Pembinaan Kehidupan Demokrasi.
8. Pembangunan Politik sebagai Stabilitas dan Perubahan Teratur.
9. Pembangunan Politik sebagai Mobilisasi dan Kekuasaan.
10. Pembangunan Politik sebagai Satu Segi Proses Perubahan Sosial yang
Multi dimensi.

Pembangunan politik dalam ruang lingkup pembangunan agraria sendiri
dipandang sebagai pembangunan politik yang dapat membantu jalannya
pertumbuhan ekonomi. Para ahli ekonomi menunjukkan bahwa kondisi-kondisi
sosial dan politik dapat memainkan peranan penentu yang dapat menghalangi
ataupun membantu peningkatan pandangan per kapita.
Sehingga pantaslah bila pembangunan politik dipandang sebagai keadaan
masyarakat politik yang dapat membantu jalannya pertumbuhan ekonomi. Tapi
secara operasional pandangan tentang pembangunan politik seperti itu pada
dasarnya bersifat negatif, sebab lebih mudah bagi kita untuk dengan teliti
mengetahui prestasi sistem politik yang mungkin menghalangi atau menggagalkan
pembangunan ekonomi dari pada mejelaskan bagaimana sistem politik itu
membantu

pertumbuhan

ekonomi.

Bukti

historis

menunjukkan

bahwa

23

Universitas Sumatera Utara

pertumbuhan ekonomi bisa terjadi dalam berbagai macam sistem politik, dengan
berbagai macam kebijaksanaan umum yang ditempuh26.

1.6.3. Teori Konflik
Teori konflik sebenarnya suatu sikap kritis terhadap Marxisme yang
membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi dan
tentang elit dominan, pengaturan kelas dan manajemen pekerja. Keadaan
permasalahan masyarakat tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis dan
saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan
perubahan

yang

melibatkan

dunia

kelompok-kelompok

terkoordinasi

(imperatively coordinated association) dan mewakili peran-peran organisasi yang
dapat dibedakan27.
Menurut teoritis konflik bahwasanya masyarakat disatukan oleh” ketidak
bebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat
mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Otoritas.
Dahrendorf memusatkan perhatiaanya pada struktur sosial yang lebih luas. Inti
tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi dalam suatu masyarakat
mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Menurut Dahrendorf, tugas pertama
analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas didalam
masyarakat, karena memusatkan perhatian kepada struktur bersekala luas seperti
26

Yahya Muhaimin, dan Colin Mc Andrews.1995. Masalah-masalah Pembangunan Politik.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal 77

27

Bernard Raho. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Hal 87

24

Universitas Sumatera Utara

peran otoritas. Dahrendorf ditentang oleh para peneliti yang memusarkan
perhatiannya tingkat individual.
Dahrendorf, menyatakan bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit
yang ia sebut asosiasi yang dikoordinasikan secara inperatif. Masyarakat terlihat
sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas. Otoritas
dalam setiap asosiasi bersifat dikotomi, karena itu hanya ada dua, kelompok
konflik yang dapat terbentuk didalam setiap asosiasi. Kelompok yang memegang
posisi otoritas dan kelompok subordinat yang memiliki kepentingan tertentu Ada
sebuah konsep kunci lain dalam teori konflik Dahrendorf , yakni kepentingan.
Kelompok yang berada diatas dan yang berada dibawah, Didifinisikan
berdasarkan kepentingan bersama untuk tujuan analisis sosiologis tentang
kelompok konflik konflik kelompok, perlu menganut orientasi structural dari
tindakan pemegang posisi tertentu. Dengan analogi terhadap orientasi kesadaran
(Subjektif) tampaknya dapat dibenarkan untuk mendiskripsikan ini sebagai
kepentingan, asumsi kepentingan objektif yang diasosiasikan dengan posisi social
tidak mengandung rimifikasi atau implikasi psikologis ini adalah termasuk dalam
level analisis Sosiologis dalam setiap asosiasi, orang yang berbeda pada posisi
dominant berupaya mempertahankan Status Qou, sedangkan orang yang berbeda
berada dalam posisi subordinat berupaya bagaimana bisa menciptakan perubahan,
adapun konflik kepentingan akan selalu ada sepanjang waktu28.

28

Ralf Dahrendorf. Class and Class Conflict in Industrial Society. Dalam buku. Ritzer, George & Goodman,
Douglas J. 1997. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal.65

25

Universitas Sumatera Utara

Konflik kepentingan ini tidak perlu selalu disadari oleh pihak subordinat
dan superordinat, karena individu tidak perlu selalu menginternalisasikan harapan
itu atau tidak perlu menyadari dalam rangka bertindak untuk sesuai dengan
harapan itu, karena harapan yang disadari ini menurut Dahrendorf, disebut
kepentingan tersembunyi. Kepentingan nyata adalah kepentingan tersembunyi
yang telah disadari Dahrendorf melihat analisis hubungan antara kepentingan
tersembunyi dan kepentingan nyata, ini sebagai tugas utama teori konflik karena
walau bagaimanapun aktor tidak perlu menyadari kepentingan mereka untuk
bertindak sesuai dengan kepentingan itu29.
Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan
beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang
lainnya. Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan
dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi
legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan (authority), dimana
beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan
yang lain.
Dasar Teori Konflik adalah penolakan dan penerimaan sebagian serta
perumusan kembali teori Karl Marx yang menyatakan bahwa kaum borjuis adalah
pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedangkan para pekerja tergantung pada
sistem tersebut, pendapat yang demikian mengalami perubahan karena pada abad

29

Ibid. Hal. 97

26

Universitas Sumatera Utara

ke-20 telah terjadi pemisahan antara pemilikan dan pengendalian sarana-sarana
produksi. Kecuali itu, pada akhir abad ke-19 telah menunjukkan adanya suatu
pertanda bahwa para pekerja tidak lagi sebagai kelompok yang dianggap sama dan
bersifat tunggal karena pada masa itu telah lahir para pekerja dengan status yang
jelas dan berbeda-beda, dalam arti ada kelompok kerja tingkat atas dan ada pula
kelompok kerja tingkat bawah30.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini, teori konflik merupakan
antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat
mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian
dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat
tidak akan selamanya berada pada keteraturan, buktinya dalam masyarakat
manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan,
kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan
dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang
berbeda-beda, otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan
subordinasi, perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan
konflik karena adanya perbedaan kepentingan31.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu supaya terciptanya
perubahan sosial, ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial
dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, didalamnya teori konflik
30
31

Bernard Raho. Op.Cit. Hal. 54
Margaret. M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal. 120

27

Universitas Sumatera Utara

melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan,
namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan
bersama didalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga
terciptalah suatu konsensus menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan
“paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena
adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan
dominasi, koersi, dan power32.
Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial
mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut
pihak atasan dan bawahan akan menyebabkan timbulnya kelas. Dengan demikian
maka tampaklah bahwa ada pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa
dengan pihak yang dikuasai, keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda
dan bahkan mungkin bertentangan. Selanjutnya, kepentingan kelas objektif dibagi
atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap
sistem sosial yang harus dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent yang
sama, yang disebut kelompok semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai
dan kelompok yang dikuasai.
Teori Konflik yang dikemukakan juga membahas tentang intensitas bagi
individu atau kelompok yang terlibat konflik. Dalam hal ini, intensitas diartikan
sebagai suatu pengeluaran energi dan tingkat keterlibatan dari pihak-pihak atau

32

Ralf Dahrendorf. Op. Cit. Hal. 67

28

Universitas Sumatera Utara

kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik. Ada dua faktor yang dapat
mempengaruhi intensitas konflik, yaitu (1) tingkat keserupaan konflik, dan (2)
tingkat mobilitas. Selain itu juga membicarakan tentang kekerasan dan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Konsep tentang kekerasan, yaitu menunjuk pada
alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang saling bertentangan untuk mengejar
kepentingannya, tingkat kekerasan mempunyai berbagai macam perwujudan,
dalam arti mulai dari cara-cara yang halus sampai pada bentuk-bentuk kekerasan
yang bersifat kejasmanian33.
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam
pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat
menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik
dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya. Seluruh
fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang
sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Di dunia internasional kita
dapat melihat bagaimana, apakah dalam bentuk tindakan militer atau di meja
perundingan mampu menetapkan batas-batas geografis nasional dalam ruang
lingkup yang lebih kecil, oleh karena konflik kelompok-kelompok baru dapat lahir
dan mengembangkan identitas strukturalnya dalam pengukuhan sebagai
kelompok.

33

George & Goodman, Douglas J. Op.Cit. Hal. 94

29

Universitas Sumatera Utara

Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang
intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit
untuk dipertahankan. Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih
sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk
menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan, sedang pada hubunganhubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat
relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubunganhubungan

primer

dimana

keterlibatan

total

para

partisipan

membuat

pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan
tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga
menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.
1.6.4. Politik Agraria
Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu
dengan bahasa lainnya. Istilah agraria berasal dari kata akker (Bahasa Belanda),
agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, agger (Bahasa Latin) berarti tanah
atau sebidang tanah, agraria (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian. Dalam
terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti 1) urusan pertanian atau tanah
pertanian, 2) urusan pemilikan tanah34.
Menurut Andi Hamzah, agraria adalah masalah tanah dan semua yang ada
di dalam dan di atasnya. Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah
urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya. Apa yang ada di
34

Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline 1.3, http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi

30

Universitas Sumatera Utara

dalam tanah misalnya batu, kerikil, tambang, sedangkan yang ada di atas tanah
dapat berupa tanaman, bangunan35.
Selain pengertian agraria dilihat dari segi terminologi bahasa sebagaimana
di atas, pengertian agraria dapat pula diketemukan dalam Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA). Hal ini dapat ditemukan jika membaca konsiderans dan pasalpasal yang terdapat dalam ketentuan UUPA itu sendiri. Oleh karena itu,
pengertian agraria dan hukum agraria mempunyai arti atau makna yang sangat
luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya (Pasal 1 ayat (2).
Pengertian agraria juga sering dikaitkan dengan corak kehidupan suatu
masyarakat atau bangsa, misalnya Indonesia sebagai negara agraris, yaitu suatu
bangsa yang sebagian besar masyarakatnya hidup dari bercocok tanam (bertani)
atau kehidupan masyarakatnya bertumpu pada sektor pertanian. Agraris sebagai
kata sifat dipergunakan untuk membedakan corak kehidupan masyarakat
pedesaan yang bertumpu pada sektor pertanian dengan corak kehidupan
masyarakat perkotaan yang bertumpu pada sektor non-pertanian (perdagangan,
industri, birokrasi)36.
Selain itu, ada beberapa dimensi yang bisa dilihat dalam mempelajari
politik agraria. Menurut Sitorus, dua dimensi tersebut yaitu dimensi subjek dan
objek. Dimensi objek didefinisikan sebagai sumber daya alam (sumber agraria)
yang terdapat di tanah, air, dan lain sebagainya. Di sisi lain, dimensi subjek terdiri
35
36

Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Cet. V (Jakarta: Kencana, 2009). Hal. 12
Ibid. Hal. 14

31

Universitas Sumatera Utara

dari komunitas, swasta, dan pemerintah (berupa aktor). Dari beberapa subjek
tersebut terdapat istilah komunitas. Istilah tersebut muncul bukan tanpa alasan.
Kata tersebut bisa muncul karena pada awalnya (sebelum agraria dikuasai negara),
agraria dimiliki oleh komunitas-komunitas yang tinggal di beberapa wilayah
tertentu yang saat ini sering disebut sebagai tanah ulayat atau tanah adat.
Menariknya, subjek-subjek tersebut bisa saling berkontestasi, bekerjasama,
bahkan saling konflik karena ada ketimpangan (kepemilikan sumber daya yang
berbeda-beda). Selain itu, berangkat dari aktor-aktor yang ada, Sitorus juga
membagi tiga tipe struktur agraria. Ketiga tipe tersebut terdiri dari tipe kapitalis
(sumber agraria dikuasai oleh non penggarap alias perusahaan), sosialis (sumber
agraria dikuasai oleh negara atau kelompok pekerja), dan populis atau neo-populis
(sumber agraria dikuasai oleh keluarga atau rumah tangga pengguna)37.

1.6.4.1. Peraturan Pembangunan Agraria Di Indonesia
Konsep dasar tentang tentang kasus-kasus pertanahan platform dari
filosofis konstitusional tercermin dalam perumusan sila ke lima Pancasila yaitu
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Selanjutnya, kebijakan dan

regulasi di bidang pertanahan ditegakkan pada landasan konstitusi negara yaitu
pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk
37

http://www. kompasiana.com/bastianwidyatama/politik-agraria-dalam-berbagai perspektif. Di unduh pada
20 februari 2016. Jam 02:30 wib.

32

Universitas Sumatera Utara

diperuntukkan

bagi

sebesar-besarnya

kemakmuran

rakyat38.

Peraturan

Pelaksanaan dari ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 104) atau disebut juga Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA), serta dijabarkan dalam berbagai peraturan organik dalam bentuk
Peraturan

Pemerintah

(PP),

Keputusan

Presiden

(Kepres),

Peraturan

Menteri/Pejabat dan lain-lain39.
Hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada subjek hukum diatur
dalam Pasal 16 UUPA yang terdiri dari: 1) Hak Milik, 2) Hak Guna Usaha, 3)
Hak Guna Bangunan, 4) Hak Pakai, 5) Hak Sewa, 6) Hak Membuka Tanah, 7)
Hak Memungut Hasil Hutan, 8) Hak-hak lain serta hak-hak yang sifatnya
sementara. Hak-hak lain misalnya Hak Pengelolaan, sedangkan hak yang sifatnya
sementara adalah Hak Gadai, Hak Guna Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang dan
Hak Sewa Tanah Pertanian.

1.7 Metode Penelitian
Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka
teori di atas, penelitian ini memiliki metode deskriptif (melukiskan), dimana
penelitian deskriptif merupakan suatu cara yang digunakan untuk memecahkan
38

Ediwarman. 2003. Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan. Medan: Pustaka Bangsa
Press. Hal. 35.
39
Elfachri Budiman. 2004. Tinjauan Hukum Terhadap Pengeluaran Areal Hak Guna Usaha Dan Pelepasan
Asset Negara Atas Tanah Yang Dikuasai Oleh PT Perkebuana Nusantara II. Medan. Hal. 1.

33

Universitas Sumatera Utara

masalah yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta dan data-data yang ada.
Penelitian ini memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau
fenomena40. Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi,
gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Jenis penelitian ini
tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada, tidak
dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang
menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial, karenanya pada penelitian
deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan pengujian hipotesa seperti
yang dilakukan pada penelitian eksplanatif berarti tidak dimaksudkan untuk
membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori41.

1.7.1. Jenis Penelitian
Menurut Hadari Nawawi42, metode penelitian deskriptif dapat diartikan
sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan
atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyrakat dan
lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagai
mana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data
dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan

40

Bambang Prasetyo dkk. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Hal 42.
41
Sanafiah Faisal. 1995. Format Penulisan Sosial Dasa-Dasar Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hal. 20.
42
Hadari Nawawi. 1987. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hal. 63.

34

Universitas Sumatera Utara

Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat penggambaran
secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi
atau daerah tertentu. Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan bagaimana
Nawa Cita Jokowi tentang pembangunan agraria terhadap penyelesaian konflik
tanah yang terjadi di Padang Halaban, Kec. Aek Kuo, Kab Labuhan Batu