Sejarah PT. Perkebunan IX (Persero) di Sumatera Utara 1974-1996

BAB II
AWAL BERDIRINYA PT. PERKEBUNAN IX (PERSERO)

2.1 Kondisi Geografis
Perkebunan-perkebunan yang menjadi bagian dari PT. Perkebunan IX
(Persero) terbentang di dataran rendah Pantai Timur Sumatera. 11Pantai Timur
Sumatera terletak antara garis khatulistiwa dan garis lintang utara 4˚C.

Wilayah ini

mempunyai iklim pantai tropik yang sifat iklim mikronya dipengaruhi oleh topografi
seperti daerah-daerah tanah tinggi “Tumor Batak”, antara lain; Dataran Tinggi Karo,
Pegunungan Simalungun, dan Pegunungan Habinsaran. 12
PT. Perkebunan IX (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara bidang
pertanian dan perkebunan (agro-industri) yang berkantor di Jalan Tembakau Deli No.
4, Medan, Sumatera Utara. 13 PT. Perkebunan IX (Persero) merupakan perusahaan
yang dulunya milik Belanda bernama NV. Deli Maatschappij. Perusahaan tersebut
memproduksi tembakau sebagai komoditas utama, walaupun terdapat juga komoditas
lainnya yang diproduksi seperti kelapa sawit, kakao, dan tebu.
Sesuai dengan karakteristik wilayah yang beriklim tropis menyebabkan
wilayah tersebut memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau.Pada

saat musim hujan dimulai pada bulan Oktober dan memasuki bulan selanjutnya
intensitas hujan semakin lebat, sedangkan pada saat musim kemarau biasanya terjadi
11

Untuk melihat peta perkebunan-perkebunan PT. Perkebunan IX (Persero) lihat lampiran I.
Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria,
Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hal. 44.
13
Untuk melihat gambar Kantor PT. Perkebunan IX (Persero) lihat lampiran II.
12

11

Universitas Sumatera Utara

antara bulan Februari sampai Agustus. 14 Intensitas hujan dan suhu yang panas dan
kering setiap tahun terjadi dengan tidak menentu. Suhu dan kelembaban antara
dataran rendah dan dataran tinggi juga berbeda. Di dataran rendah suhu berkisar
antara 22 ˚C sampai 32 ˚C dan bisa mencapai 36 ˚C sampai 40 ˚C pada musim panas.
Di dataran tinggi suhu berkisar antara 19,5˚C sampai 25 ˚C dan pada musim hujan

dapat mencapai suhu 15 ˚C. 15
Suatu ciri iklim yang penting di Pantai Timur Sumatera adalah angin yang
bertiup sangat kencang. Iklim yang diakibatkan oleh angin ini menyebabkan
kelembaban tinggi di daerah dataran tinggi. Angin ini dinamakan Angin Bahorok 16,
yang biasanya bertiup antara bulan Juni hingga Agustus. Angin ini turun dari dataran
tinggi Bukit Barisan menuju dataran rendah di Pantai Timur Sumatera dan
menyebabkan kekeringan dan kerusakan tanaman tembakau. 17
Dalam melihat perkembangan produksi perkebunan, faktor penting yang
menentukan adalah kualitas lahan dan tanah. Pada masa awal perkembangan
perkebunan, komoditi utamanya adalah tembakau. Setelah dilakukan penelitian,
wilayah Pantai Timur Sumatera yang memiliki kualitas tanah paling baik adalah
tanah yang terletak antara Sungai Wampu dan Sungai Ular. Kualitas tanah yang

14

Ibid, hal. 44-45.
Roestam Thaib, Lima Puluh Tahun Kotapraja Medan, Medan: Djawatan Penerangan,
1959, hal. 72.
16
Angin Bahorok berasal dari nama yang diambil dari lembah Sungai Bahorok yang

merupakan anak Sungai Wampu. Angin ini menggantikan angin laut yang berhembus ke pedalaman
selama siang hari. Lihat Iyos Rosidah, “Eksploitasi Pekerja Perempuan di Perkebunan Tembakau Deli
Sumatera Timur 1870-1930”, Tesis S-2 belum diterbitkan, Semarang: Universitas Diponegoro, 2012,
hal. 33.
17
Karl J. Pelzer, op.cit, hal. 47.
15

12

Universitas Sumatera Utara

dibutuhkan dalam penanaman tembakau memiliki klasifikasi dan jenis-jenis
tersendiri. Jenis tanah tersebut menentukan tinggi dan rendahnya harga rata-rata
tembakau di pasaran dunia. Secara garis besar jenis dan kualitas tanah di dataran
rendah Sumatera Timur dibedakan menjadi dua yaitu tanah lama dan tanah baru.
Untuk lebih lengkapnya perhatikan tabel berikut ini.
Tabel 1.
Harga Rata-Rata Tembakau Pada 1883-1930 Menurut Jenis Tanah
Harga

Gulden (f.)
per ½ kg

Dollar ($)
AS per
pon 18

A. Tanah-Tanah Lama
Debu dan tanah gembur liparitik

0,90

0,45

Tanah gembur dasitik

1,34

0,67


Liparitik-dasitik

1,51

0,75

Lahar dasitik-andesitik

1,70

0,90

Lahar dasitik

1,99

0,99

B. Tanah-Tanah Baru
Liparitik


1,16

0,58

Dasitik-andesitik

1,81

0,90

Jenis Tanah

Sumber: Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan
Agraria, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hal. 42.
Berdasarkan tabel di atas klasifikasi dan penggolongan tanah sangat penting
bagi perusahaan perkebunan, terutama bagi perkebunan yang mengusahakan
18

1 pon sama dengan ½ kg.


13

Universitas Sumatera Utara

komoditi tembakau, dibandingkan dari kondisi iklim, cuaca dan pengairan di
perkebunan. Hal ini dikarenakan kualitas dan harga tembakau sangat bergantung pada
jenis tanah. Hal tersebut yang membuat harga dan produksi tembakau dari suatu tanah
dapat berbeda dengan tanah lainnya.

2.2 Perkembangan Perkebunan Masa Kolonial
Pembukaan perkebunan secara besar-besaran di Pantai Timur Sumatera
berawal dari Undang-Undang Agraria atau Agrarische Wet 1870 yang mengatur
tentang hak guna suatu tanah untuk dikomersialisasikan oleh modal swasta. Semenjak
bergulirnya undang-undang tersebut berbagai modal asing mulai berlomba-lomba
menanamkan modalnya di wilayah Pantai Timur Sumatera. Hutan belantara yang
menjadi lahan dibuka dan ditanami berbagai tanaman komoditas ekspor di pasaran
dunia seperti tembakau, karet, teh, kelapa sawit dan rami. 19
Perkembangan perkebunan meningkat pesat setelah masa perintisan pada
tahun 1870. Jumlah perkebunan bertambah dari 13 pada 1873 menjadi 23 pada 1874.

Pada 1876 sudah 40 perkebunan yang beroperasi, sementara 15 permohonan konsesi
sedang dipertimbangkan untuk diusahakan. Para pengusaha perkebunan umumnya
terdiri dari orang Eropa. Pada 1872 di Deli ada sekitar 75 orang Eropa dengan
beraneka ragam bangsa. Kebangsaan mereka dapat dilihat dari nama yang diberikan

19

T. Keizerina Devi, Poenale Sanctie: Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan
Hukum di Sumatera Timur (1870-1950), Medan: Program Pasca Sarjana USU, 2004, hal. 9.

14

Universitas Sumatera Utara

kepada perkebunan yang mereka miliki seperti Riverside, Karlsruhe, Helvetia,
Perseverance, Polonia dan Arnhemnia. 20
Pengusaha asing pertama yang datang ke Pantai Timur Sumatera berawal dari
seorang J. Nienhuys yang datang ke Deli pada 1863. J. Nienhuys merupakan pionir
pertama bagi pengusaha-pengusaha asing yang kemudian datang ke Pantai Timur
Sumatera. Nienhuys berhasil memperoleh tanah konsesi dari Sultan Deli selama 99

tahun. Pada 1865 perkebunan yang dibuka oleh Nienhuys telah menghasilkan panen
sebanyak 189 bal 21 tembakau dengan mutu terbaik. Hal tersebut telah membuat nama
Deli semakin dikenal secara luas. Panen tersebut laku pada pelelangan di Rotterdam
dengan harga 149 sen per ½ kilogram. 22
Pada 1867 J. Nienhuys kembali ke Negeri Belanda untuk mencari tambahan
modal bagi usahanya di Deli. Kemudian dia berhasil mengajak koleganya G. C.
Clemen dan P. W. Janssen seorang direksi Nederland Handel Maatschappij (NHM)
untuk mengembangkan usaha bersama dengan modal awal f 10.000. Dalam tahun
1868, keuntungan usaha bersama tersebut mencapai 100 % dan pada tahun berikutnya
mencapai 200 %. Pada 1869, NHM bersedia memberikan kredit dan bersama dengan

20

Jan Bremen, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatra
Timur pada Awal Abad Ke-20, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1997, hal. 26
21
1 bal sama dengan 1 gulung/40 lembar.
22
Muhammad Said, Koeli Kontrak Tempo Doeloe Dengan Derita dan Kemarahannya,
Cetakan ke II, Medan: PT. Harian Waspada, 1990, hal. 30.


15

Universitas Sumatera Utara

ketiga pengusaha tersebut mendirikan sebuah perseroan terbatas yang dikenal sebagai
N.V. Deli Maatschappij 23dan memegang 50 % dari seluruh saham. 24
Perusahaan Deli Maatschappij memiliki modal awal sebesar f 300.000 dan
pada tahun 1875 ditingkatkan menjadi f 500.000. pada tahun 1876 menjadi f 800.000
dan pada 1889 kembali menjadi f 500.000. Pada akhir abad ke XIX, perusahaan Deli
Maatschappij menjadikan komoditas tembakau sebagai produksi utama, tetapi juga
mengusahakan berbagai komoditas tropis lainnya seperti, kelapa, pala, kopi, coklat,
rami dan terakhir karet. Dalam perkembangannya selanjutnya, perusahaan Deli
Maatschappij hanya berkonsentrasi pada dua komoditas utama yakni tembakau dan
karet. Lahan konsesi perkebunan sebelum perang kemerdekaan seluruhnya tidak
kurang dari 180.000 hektar yang tersebar di Langkat, Deli, dan Serdang. 25
Perusahaan ini memperoleh nama yang baik dan selamanya menduduki
tempat terpenting dalam perkembangan perkebunan di seluruh Pantai Timur
Sumatera. Perusahaan ini banyak mengambilalih dan mengakuisi beberapa
perkebunan yang mengalami kesulitan keuangan terutama pada masa depresi

ekonomi 1891. Dalam banyak kejadian selama depresi, banyak pengusaha
perkebunan perorangan menjual tanah konsesi mereka kepada perusahaan Deli
Maatschappij, hal tersebut semakin mengukuhkan kedudukannya sebagai perusahaan
yang memiliki organisasi dan finansial yang kuat di Hindia Belanda.
23

N.V. Deli Maatschappij merupakan perusahaan pertama yang didirikan di Hindia Belanda.
Perusahaan ini memperoleh akta notaris pada tanggal 28 Oktober 1869 dan memperoleh persetujuan
Kerajaan Belanda pada tanggal 16 Desember 1869. Lihat Karl J. Pelzer, op.cit. hal. 58.
24
H. Cremer, Deli Maatschappij 1869-1919, Amsterdam: Vereenigde Drukkerijen
Roeloffzen-Hubner & Van Santen En Gebroeders Binger, 1919, hal. 6-7.
25
Ibid. hal. 7. Lihat juga Karl J. Pelzer, op.cit. hal. 58-59.

16

Universitas Sumatera Utara

Selain J. Nienhuys, tokoh penting lainnya yang mempunyai peranan besar
dalam perkembangan perkebunan adalah J. T. Cremer. Sebelumnya dia adalah
pegawai Nederland Handel Maatschappij di Amsterdam dan pada 1868 pindah ke
cabang Batavia. Dia diangkat sebagai Administrateur Deli Maatschappij pada 1871
setelah pertemuannya dengan J. Nienhuys di Singapura. J. Nienhuys mendapat kesan
yang hebat pada pemuda berusia 24 tahun tersebut yang menampilkan diri sebagai
industriawan tulen yang mempunyai pandangan luas terhadap pengorganisasian dan
manajemen perusahaan. 26
J. T. Cremer adalah orang yang meletakkan dasar-dasar dalam pengelolaan
perusahaan perkebunan. Di bawah kepemimpinannya Deli Maatschappij berkembang
menjadi perusahaan besar yang pada akhir abad XIX sangat menentukan sistem
perkebunan di Pantai Timur Sumatera. Dalam kebijakannya, Deli Maatschappij
menawarkan biaya operasi kepada pengusaha perkebunan tembakau swasta dan
sebagai imbalannya mereka wajib memasarkan produksinya dengan perantaraan Deli
Maatschappij. Di bawah pimpinannya pada 1871 hingga 1883, produksi tembakau
meningkat dari 1.315 pak menjadi 22.000 pak. Modal meningkat dari f 300.000
menjadi f 2.000.000, dan laba tahunan berjumlah rata-rata 73 %. 27
Selain mengembangkan perusahaan Deli Maatschappij J. T. Cremer juga
berkontribusi pada masalah perkembangan perkebunan di Pantai Timur Sumatera.
Dia adalah tokoh terkemuka di kalangan pengusaha perkebunan. Dia memprakarsai

26
27

Jan Bremen, op.cit., hal. 27.
Ibid.

17

Universitas Sumatera Utara

terbentuknya Deli Planters Vereeniging (DPV) atau Persatuan Pengusaha Deli yang
didirikan pada 23 April 1879. Organisasi ini memiliki tujuan mewakili pengusaha
perkebunan tembakau Sumatera Timur dalam hubungan kerja dengan penguasa lokal
maupun dengan pemerintah Hindia Belanda. Urusan utama persatuan ini adalah
masalah agraria, peraturan-peraturan perburuhan, serta pengimporan buruh dari
Malaya, Cina, dan kemudian dari Jawa. 28 Setelah sukses menjadi tokoh perkebunan
dari 1871 sampai 1883 kemudian J. T. Cremer menjadi Menteri Urusan Daerah
Jajahan dan memegang kunci dalam mempertahankan Poenale Sanctie.
Memasuki awal abad XX perkembangan perkebunan di Sumatera Timur
mengalami pasang surut. Sejak mengalami krisis seluruh konsesi tembakau
dikonsolidasikan dan dilebur menjadi empat perusahaan besar yakni Deli
Maatschappij, Senembah Maatschappij, Deli Batavia Maatschappij serta Tabak
“Arendsburg” Maatschappij dan sisanya tinggal 15 buah perusahaan kecil. Jumlah
seluruh perkebunan pada tahun 1889 adalah 153 perkebunan, pada 1891 berjumlah
169 perkebunan, pada 1904 menurun menjadi 114 perkebunan dan memasuki tahun
1914 hanya tinggal 101 perkebunan dan akhirnya hanya tinggal 72 perkebunan pada
tahun 1930. 29 Untuk lebih lengkapnya perhatikan tabel berikut ini.

28

Karl. J. Pelzer, op.cit., hal. 59.
Jaarverslag Deli Planters Vereeniging 1914, Medan: TYP J. Hallermann, hal. 56-71. Lihat
juga Jan Bremen, op.cit., hal. 71.
29

18

Universitas Sumatera Utara

Tahun

Tabel 2.
Jumlah Perkebunan di Sumatera Timur 1864-1904
Jumlah
Jumlah
Tahun
Perkebunan
Perkebunan

1864

1

1887

114

1873

13

1888

141

1874

23

1889

153

1876

40

1891

169

1881

67

1892

135

1883

74

1893

124

1884

76

1894

111

1885

88

1900

139

1886

104

1904

114

Sumber: Jan Bremen, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan
Kuli di Sumatra Timur pada Awal Abad Ke-20, Jakarta: PT. Pustaka
Utama Grafiti, 1997, hal. 71.
Secara garis besar investasi dan modal asing perkebunan Sumatera Timur
dikuasai oleh modal Belanda. Hampir seluruh modal tersebut digerakkan pada
produksi komoditi tembakau. Modal asing dari negara lainnya yakni Inggris dengan
perusahaan Harrison and Crosfield yang didirikan pada tahun 1884. Pada mulanya
perusahaan ini berkonsentrasi pada komoditas kopi dan teh. Namun pada tahun 1907
prospek perkebunan karet sangat menguntungkan, sehingga mendorong ekspansinya

19

Universitas Sumatera Utara

ke Pantai Timur Sumatera. Harrisons and Crosfield menjadi perusahaan untuk lebih
dari 225.000 acres 30lahan karet di Malaya, dan 135.000 acresdi Indonesia.
Selain Inggris, modal asing lainnya dalam industri karet di Sumatera Timur
adalah Amerika Serikat dengan perusahaan Uniroyal. Sekitar tahun 1910 perusahaan
ini telah memiliki 37.000 acres dan bertambah menjadi 76.000 acres pada tahun
1913. Permintaan Amerika akan karet semakin meningkat karena industri mobil yang
sedang berkembang memungkinkan usaha pencarian karet ke wilayah-wilayah
Sumatera Timur. 31

2.3 Masa Nasionalisasi dan Pendirian PT. Perkebunan IX (Persero)
2.3.1

Proses Nasionalisasi
Proses nasionalisasi terhadap aset dan perusahaan Belanda merupakan

keputusan nasional di tengah kondisi ekonomi dan politik yang tidak menentu.
Kondisi ekonomi Indonesia pasca penyerahan kedaulatan tidak sepenuhnya berada
dalam kendali pemerintahan Indonesia, sehingga pemerintah tidak bisa mewujudkan
ekonomi nasional secepatnya. Dominasi Belanda dalam aset, investasi dan modal
sangatlah besar. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian KMB, pemerintah Indonesia
mempunyai kewajiban untuk melindungi aset, investasi dan modal Belanda dalam
kegiatan perusahaan dan usahanya di Indonesia. 32

30

Acres adalah ukuran luas tanah, 1 acres adalah 0,46 hektar.
Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra 1870-1979,
Yogyakarta: KARSA, 2005, hal. 30-31.
32
Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2001, hal. 18.
31

20

Universitas Sumatera Utara

Kewajiban dalam melindungi aset, investasi dan modal asing ternyata
membawa kesulitan dan tantangan yang besar bagi pemerintah Indonesia. Seperti
yang terjadi dalam kasus Perkebunan Tanjung Morawa pada 1952-1953, pemerintah
berusaha menghentikan pendudukan liar yang dilakukan oleh penduduk terhadap
lahan perkebunan-perkebunan tembakau yang pada akhirnya mendapat reaksi keras
dari organisasi militan dan kalangan pers di Sumatera Utara. Mereka menghimbau
kepada pemerintah untuk mengakhiri kebijakan agraria dari zaman kolonial dan
melakukan nasionalisasi tanah-tanah yang dikuasai oleh perkebunan-perkebunan
asing. Kasus Tanjung Morawa kemudian berdampak secara nasional, sehingga
pemerintahan pada waktu itu yakni Kabinet Wilopo terpaksa mengundurkan diri pada
tanggal 2 Juni 1953.33
Salah satu alasan penting diberlakukannya tindakan nasionalisasi adalah
bahwa pengambilalihan ini merupakan bagian dari perjuangan untuk pembebasan
Irian Barat dari Belanda. Dalam ketujuh pasal UU Nasionalisasi Perusahaan Belanda
No. 86 tahun 1958 dan disahkan pada 31 Desember 1958, serta berlaku surut
(retroaktif) mulai 3 Desember 1957, undang-undang ini berusaha untuk
membebaskan negeri ini dari dominasi ekonomi pengusaha asing. Dalam pandangan
pemerintah selanjutnya bahwa nasionalisasi pada akhirnya akan bertumpu pada dua
tujuan yang saling berhubungan, yakni tujuan ekonomi dan keamanan negara. Untuk
yang pertama, negara mempunyai peluang dalam meningkatkan ekonomi rakyat

33

Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1991, hal. 99-103. Lihat juga Bondan Kanumoyoso, op.cit., hal. 35-36.

21

Universitas Sumatera Utara

melalui likuidasi perusahaan Belanda dan sekaligus berpeluang untuk melakukan
konsolidasi menyeluruh aset-aset bangsa. Sementara untuk tujuan yang kedua,
nasionalisasi bertujuan untuk memperkuat keamanan dan pertahanan republik dari
investasi dan modal asing. 34
Proses nasionalisasi dan pengambilalihan aset perusahaan dan perkebunan di
Sumatera Utara dimulai ketika dikeluarkan Pengumuman Penguasa Militer No.
PM/Peng 0010/12/57. Berturut-turut setelah Pengumuman Penguasa Militer tersebut,
dikeluarkan sejumlah peraturan terkait lainnya yakni, Keputusan Penguasa Militer
No. PM/KPTS-0042/12/57 tentang pengawasan langsung semua perusahaanperusahaan milik Belanda; Keputusan Penguasa Militer No. PM/KPTS-0045/12/57
tentang pengambilalihan wewenang kembali pada semua perusahaan-perusahaan
Belanda; dan Peraturan Penguasa Militer No. PM/PR-006/12/57 tentang pembatasan
kebebasan bergerak bagi warga Negara Belanda. 35

Dalam melakukan pengambilalihan tersebut, terdapat beberapa kelompok
yang berperan yaitu, kelompok dan organisasi buruh terutama organisasi buruh yang
berafiliasi pada PKI dan Angkatan Darat. 36Walaupun dilakukan pengambilalihan
secara nasional namun tidak terjadi bentrokan dan pemerintah cenderung hati-hati
dalam prosesnya.
34

Edy Ikhsan, “Nasionalisasi Perkebunan Belanda di Sumatera Utara: Diantara Inkonsistensi
dan Stigmatisasi” dalam Artikel, hal. 1, (diakses dari http://www.academia.edu)
35
Ibid., hal. 3.
36
Syafruddin Kalo, “Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah dan Akibatnya
Terhadap Masyarakat Petani Sumatera Timur, Pada Masa Kolonial yang Berlanjut Pada Masa
Kemerdekaan, Orde Baru dan Reformasi” dalam Laporan Penelitian, Medan: Program Pasca Sarjana
USU, 2004, hal. 34-35.

22

Universitas Sumatera Utara

2.3.2

Proses Pendirian PT. Perkebunan IX (Persero)
Dalam pendirian PT. Perkebunan IX (Persero) telah melalui proses yang

panjang setelah proses nasionalisasi yang dimulai pada tahun 1957. Proses
nasionalisasi dilakukan berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958. Perusahaan-perusahaan
milik Belanda yang dinasionalisasi di Sumatera Utara di antaranya NV. Verenigde
Deli Maatschappij(NV. VDM) 37dan NV. Senembah Maatschappij. Kedua perusahaan
tersebut yang menjadi cikal bakal dari PT. Perkebunan IX (Persero). Dalam masa
nasionalisasi nama perusahaan NV. Verenigde Deli Maatschappij tetap dipakai mulai
pada periode 11 Januari 1958 s/d 11 November 1958. Perusahaan terdiri dari 34
perkebunan, 12 perkebunan merupakan tanaman keras dengan luas areal 42.962 Ha.
dan 22 perkebunan tembakau dengan luas areal 43.766 Ha. sehingga total luas dari 34
perkebunan tersebut adalah 86.728 Ha. 38
Pada 20 November 1958 terjadi perubahan nama perusahaan menjadi Pusat
Perkebunan Negara Baru (PPN Baru). 39 Namun dalam operasional perusahaan
tersebut masih mengatasnamakan NV. Verenigde Deli Maatschappij sehingga nama
perusahaan tersebut adalah PPN Baru q.q. NV. VDM. Hal ini berlangsung hingga 31
Mei 1960. 40

37

Pada awalnya NV. Verenigde Deli Maatschappij (NV. VDM) adalah perusahaan yang
bernama NV. Deli Maatschappij yang diubah namanya pada tahun 1910.
38
Arsip PTP-IX, Sejarah Singkat PTP-IX (PT. Perkebunan-IX Persero), BPTD.
39
Perlu diketahui bahwa pada September 1950 telah dibentuk Pusat Perkebunan Negara (PPN
Lama). Organisasi ini merupakan penjelmaan dari Gouvernement’s Landbouw Bedrijven (GLB) dan
termasuk bekas perkebunan asing selain perkebunan milik Belanda. lihat dalam Sartono Kartodirdjo
dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan Indonesia Kajian Sosial Ekonomi, Jakarta: Aditya Media, 1990,
hal. 175-176.
40
Arsip PTP-IX, op.cit.

23

Universitas Sumatera Utara

Pada 1960 struktur PPN (Lama dan Baru) dilebur menjadi Badan Pimpinan
Umum Perusahaan Perusahaan Negara (BPU-PPN) yang terbagi dalam berbagai unit
kerja perkebunan, di antaranya yaitu Unit Aceh, Unit Sumut (I-X), Unit Sumatera
Selatan (I-II), Unit Jawa Barat (I-VI), Unit Jawa Tengah (I-V), Unit Jawa Timur (IX), dan PPN Perintis, serta Unit Penelitian. Selain itu BPUPPN juga dibagi
berdasarkan jenis usahanya, yaitu BPUPPN Karet, BPUPPN Gula, BPUPPN
Tembakau, dan BPUPPN Aneka Tanaman yang masing-masing berstatus badan
hukum dan memiliki 88 buah PPN. 41
Dalam BPU-PPN nama perusahaan PPN Baru q.q NV. VDM berubah menjadi
PPN Cabang Sumatera Utara Unit Sumut-I sesuai dengan Surat Keputusan P.P.N.
No. 29/1960, yang berlangsung dari 1 Juni 1960 s/d 31 Mei 1961. PPN Cabang
Sumatera Utara Unit Sumut-I terdiri dari 39 perkebunan dengan luas areal 101.633
Ha. 42
Dalam periode 1 Juni 1961 s/d 30 September 1963, PPN Cabang Sumatera
Utara Unit Sumut-I hanya mengelola komoditi tembakau sehingga nama
perusahaannya berubah menjadi PPN Sumut-I (Khusus Tembakau). Perubahan
tersebut berdasarkan PP No. 143 Tahun 1961 Tanggal 26-4-1961 dan Lembaran

41

Mustika Agustina, “Perkebunan Tembakau Deli di Kebun Buluh Cina PTP IX Kecamatan
Hamparan Perak (1974-1996)”, dalam Skripsi S-1 belum diterbitkan, Medan: FIB USU, 2013, hal. 2223.
42
Arsip PTP-IX, op.cit.

24

Universitas Sumatera Utara

Negara No. 168/1961 Tanggal 26-4-1961. PPN Sumut-I (Khusus Tembakau) tersebut
mengelola 28 perkebunan dengan luas areal 58.539 Ha. 43
Dalam perkembangan selanjutnya berdasarkan PP No. 30/1963 Tanggal 23-51963 dan dikuatkan dengan Lembaran Negara No. 51/1963 Tanggal 23-5-1963
(Khusus Tembakau) maka PPN Sumut-I (Khusus Tembakau) dibagi menjadi 3 bagian
yakni PPN Tembakau Deli-I yang terdiri dari 8 perkebunan dengan luas areal 22.744
Ha; PPN Tembakau Deli-II yang terdiri dari 7 perkebunan dengan luas areal
16.623,75 Ha; dan PPN Tembakau Deli-III yang terdiri dari 7 perkebunan dengan
luas areal 19.149 Ha. Situasi tersebut berlangsung dari 1 Oktober 1963 s/d 17 April
1968. 44
Pada periode 18 April 1968 s/d 31 Maret 1974 nama perusahaan berubah lagi
menjadi Perusahaan Negara Perkebunan-IX (PNP-IX) berdasarkan PP No. 14 Tahun
1968 Tanggal 13-4-1968 dan Lembaran Negara No. 23/1968 Tanggal 13-4-1968.
Perusahaan ini terdiri dari 22 perkebunan, namun sejak 21 Agustus 1968 menjadi 23
perkebunan. Luas areal perkebunan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut adalah
58.319,75 Ha. 45
Pada tahun 1969, kelembagaan perusahaan perkebunan negara mengalami
perubahan kembali, yaitu melalui pengalihan bentuk dari Perusahaan Negara (PN)
menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan nama badan usahanya Perseroan
Terbatas (PT) berdasarkan UU No. 9/1969 dan PP. No. 12/1969. Proses pengalihan
43

Ibid.
Ibid.
45
Ibid.
44

25

Universitas Sumatera Utara

bentuk PN ke PT itu dilakukan secara bertahap dan melalui penilaian akan
kelayakannya. 46
Sesuai dengan ketentuan di atas maka Perusahaan Negara Perkebunan-IX
(PNP-IX) berubah nama menjadi Perusahaan Perseroan PT. Perkebunan-IX (PTP-IX)
dari tanggal 1 April 1974 s/d 12 April 1986, berdasarkan PP No. 44 Tahun 1973
Tanggal 6 Desember 1973. Perusahaan ini memiliki 20 perkebunan dengan luas areal
58.080,01 Ha. dalam periode 1 April 1974 s/d 12 Januari 1981, setelah itu jumlah
perkebunan milik perusahaan berkurang menjadi 18 perkebunan dengan luas areal
58.000 Ha. sampai tahun 1984. Periode perkembangan selanjutnya nama perusahaan
berubah menjadi PT. Perkebunan IX (Persero) yang beroperasi mulai 12 April 1986
s/d 1996. 47

46

H. Silitonga, Industri Perkebunan Besar di Indonesia Profil dan Petunjuk, Jakarta:
Departemen Pertanian, 1989, hal. 5-6.
47
Arsip PTP-IX, op.cit., untuk lebih jelas dalam melihat perubahan nama perusahaan sejak
nasionalisasi hingga merger lihat lampiran III.

26

Universitas Sumatera Utara