Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penerapan Gizi Seimbang pada Anak Umur 6-24 Bulan di Kecamatan Kota Lhokseumawe

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Usia anak 6-24 bulan merupakan usia yang sangat penting dalam proses
penyediaan dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan
dan aktivitas. Masa bayi dan anak merupakan masa kritis dalam upaya menciptakan
sumber daya yang berkualitas, masa tersebut dinamakan masa emas (golden ages)
dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang baik.
Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa bayi dan anak memperoleh asupan
gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak
pada masa ini tidak memperoleh gizi seimbang sesuai kebutuhan, maka periode emas
akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi
dan anak (Depkes, 2007).
Pencapaian tumbuh kembang anak yang optimal, dalam Global Strategy for
Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal
penting yang harus dilakukan yaitu: pertama memberikan air susu ibu kepada bayi
segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya air susu ibu
(ASI) saja atau ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berumur 6 bulan, ketiga
memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berumur 6 bulan
sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berumur 24

bulan atau lebih. Rekomendasi tersebut menekankan secara sosial budaya agar

MP-ASI hendaknya dibuat dari bahan pangan yang murah dan mudah diperoleh di
daerah setempat (Depkes, 2007).
Pembuatan MP-ASI yang seimbang merupakan upaya peningkatan status
kesehatan dan gizi, yang dimulai dari perbaikan perilaku ibu. Ketidaktahuan ibu
tentang cara pemberian makanan, dan adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan
bayi dan anak, merupakan masalah terjadinya kurang gizi pada anak, terutama pada
anak umur dibawah 2 tahun. Pada bayi umur 6 bulan ke atas membutuhkan beberapa
elemen nutrisi untuk pertumbuhan seperti karbohidrat, protein, vitamin dan mineral,
yang kebutuhannya tidak lagi dapat dicukupi dari ASI untuk kebutuhan gizi anak.
Maka sejak umur 6 bulan bayi mulai diberikan MP-ASI agar kebutuhan gizi anak
terpenuhi (Depkes, 2004).
Pemberian gizi seimbang melalui MP-ASI untuk anak 6-24 bulan memegang
peranan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Kekurangan
gizi pada anak dibawah 2 tahun akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan, apabila tidak diatasi secara dini gangguan dapat berlanjut hingga
dewasa. Kualitas tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh pemenuhan zat gizi
seimbang sesuai umur anak, dengan demikian ibu perlu mencermati konsumsi
makanan anak yang dibutuhkan berdasarkan pola makan dengan gizi seimbang

(Swinburn BA, et. al, 2004).
Hasil penelitian terdahulu telah dilakukan pada anak usia dibawah 2 tahun, di
Langkat tahun 2008, hasilnya menyatakan bahwa keadaan kurang gizi disebabkan
karena kebiasaan pemberian makanan bergizi yang tidak tepat dan tidak seimbang.

Keadaan ini memerlukan penanganan dan perhatian khusus, tidak hanya pada
penyediaan pangan, akan tetapi perlu juga dilakukan melalui pendekatan yang lebih
komunikatif sesuai dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu tentang makanan
bergizi (Sarah. M., 2008).
Pentingnya memahami dan mempraktikkan pola hidup sehat dengan prinsip
gizi seimbang merupakan salah satu upaya menjaga keadaan gizi setiap kelompok
individu dalam keluarga (Barker DJP., 2001). Masalah gizi dipengaruhi oleh banyak
faktor yang saling mempengaruhi secara kompleks. Pada tingkat rumah tangga,
keadaan gizi dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga menyediakan pangan dalam
jumlah dan jenis yang cukup serta cara menyusun pola gizi seimbang. Kemampuan
rumah tangga memilih dan menyediakan pangan dipengaruhi oleh faktor pendidikan,
perilaku dan keadaan kesehatan rumah tangga. Salah satu penyebab timbulnya kurang
gizi pada anak balita adalah pola asuh yang kurang baik, seperti dalam memenuhi gizi
seimbang dalam keluarga. Ketidakseimbangan gizi akan berdampak buruk bagi anak
terutama pada umur 6-24 bulan, bukan hanya gizi kurang dan buruk bahkan anak

menjadi pendek, dan lebih luas menurunkan kualitas sumber daya manusia
(Soekirman, 2006).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas tahun 2013), masih
banyak terjadinya masalah gizi dimasyarakat, seperti persentase berat bayi lahir
rendah (BBLR) di Indonesia sebesar 10,2 persen. Anak balita pendek 40,5 persen,
anak balita kurus 12,1 persen, anak balita gizi kurang 13,6 persen, anak balita gizi
buruk 5,7 persen dan anak balita gizi lebih 11,9 persen. Dari data ini terlihat bahwa

Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, di satu pihak mengalami kekurangan gizi
di pihak lain mengalami kelebihan gizi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Pemerintah membuat gerakan 1000 hari pertama kehidupan atau disebut juga Global
SUN Movement dengan tujuan menurunkan masalah gizi, dimulai pada 270 hari
selama kehamilan dan 730 hari dari kelahiran sampai usia anak 2 tahun. Indikator
Global SUN Movement adalah penurunan bayi berat lahir rendah (BBLR), anak balita
pendek (stunting), kurus (wasting), gizi kurang (underweight), dan gizi lebih
(overweight). Dalam rangka mendukung gerakan 1000 hari pertama kehidupan perlu
dilakukan perbaikan keadaan gizi secara menyeluruh, yaitu memfokus pada
perubahan perilaku dalam hal penerapan gizi seimbang dalam keluarga.
Hasil penelitian yang dilakukan pada beberapa puskesmas di Jawa Timur
dengan melihat faktor yang berperan terhadap status gizi balita, menyatakan

pemberian informasi akan menambah pengetahuan tentang kesehatan dan gizi
seimbang. Pengetahuan keluarga khususnya ibu rumahtangga sangat berperan dalam
menentukan status gizi keluarga khususnya anak balita, sehingga tidak terjadi
masalah gizi kurang dan gizi buruk (Sarbini dkk, 2009). Pengetahuan gizi bagi ibu
merupakan salah satu unsur untuk meningkatkan status gizi masyarakat dalam jangka
panjang. Pengembangan pedoman tentang gizi seimbang, baik untuk petugas maupun
masyarakat adalah salah satu strategi dalam mencapai perubahan pola konsumsi
makanan yang ada dimasyarakat, dengan tujuan tercapainya status gizi masyarakat
yang lebih baik (Khomsan A., 2004). Faktor lain yang memengaruhi status gizi anak
diantaranya adalah faktor ekonomi keluarga yang berdampak terhadap pola makan

dan kecukupan gizi anak. Faktor pendidikan yang rendah juga memengaruhi pada
pengetahuan ibu yang sangat terbatas mengenai pola hidup sehat dan pentingnya zat
gizi bagi kesehatan dan status gizi anak (Arisman, 2004).
Penerapan pola hidup sehat dan penerapan gizi seimbang dimasyarakat tak
terlepas dari peran petugas kesehatan. Adapun petugas kesehatan yang berperan
dalam masyarakat adalah tenaga dari puskesmas, selain itu tenaga yang ada dari
masyarakat itu sendiri adalah kader (Kamarullah M., 2005). Peran petugas kesehatan
dalam kegiatan pelayanan kesehatan dapat dilakukan dalam bentuk pendidikan,
penyuluhan, dan konseling agar perilaku masyarakat berubah ke arah yang lebih sehat

(Budioro B., 2007). Pendekatan yang terfokus pada perilaku menunjukkan bahwa
program pendidikan gizi terpusat pada perubahan perilaku individu dalam hal
pemilihan makanan, dan bukan hanya pada penyebarluasan informasi tentang
makanan atau gizi secara umum saja (Achterberg dan Miller, 2004).
Robson (1972) dalam Madihah (2002) menyatakan bahwa makanan
merupakan hasil proses pengambilan keputusan yang dikendalikan oleh ibu, dengan
demikian tingkat pendidikan ibu dan pengetahuan ibu sangat berperan dalam
penyusunan pola makan keluarga, mulai dari perencanaan belanja, pemilihan bahan
pangan maupun dalam pengolahan dan hidangan makanan bagi anggota keluarga
(Sariningrum, 1990 dalam Ningsih, 2008). Hasil penelitian Sutrisno (2001) dan
Munadhiroh (2009) menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pendidikan
ibu dengan perilaku keluarga menerapkan gizi seimbang. Pendidikan merupakan
salah satu faktor penting dalam proses tumbuh kembang anak. Ibu yang memiliki

tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi gizi dan
kesehatan anak (Rahmawati, 2006 dalam Gabriel, 2008). Orang tua yang memiliki
pendidikan tinggi akan lebih mengerti tentang pemilihan pengolahan pangan serta
pemberian makan yang sehat dan bergizi bagi keluarga terutama untuk anaknya
(Soetjiningsih, 2004).
Menurut Sanjur (1982) dalam Ningsih (2008) tingkat pendidikan formal orang

tua terutama ibu sering memiliki hubungan dengan perbaikan pola konsumsi pangan
keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka akan terjadi perbaikan
kebiasaan makan, serta perhatian kepada kesehatan dan makanan yang bergizi juga
bertambah. Menurut Madanijah (2003), terdapat hubungan positif antara pendidikan
ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki
pendidikan tinggi cenderung mempunyai pendidikan tinggi.
Salah satu pengasuhan anak adalah pemberian makanan pada anak yang
diperlukan untuk memperoleh kebutuhan zat gizi yang cukup mendukung
pertumbuhan dan perkembangan. Makan untuk seorang anak dapat dijadikan media
mendidik anak, supaya dapat menerima, menyukai dan memilih makanan yang baik.
Pola makan merupakan praktek-praktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu atau
pengasuh kepada anak yang berkaitan dengan pemberian makanan. Di Indonesia pola
makan terhadap anak sangat dipengaruhi oleh budaya. Unsur-unsur budaya mampu
menciptakan suatu kebiasaan makan dalam masyarakat yang diajarkan secara turun
temurun kepada seluruh anggota keluarganya. Aspek budaya dalam kehidupan
masyarakat Indonesia berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan,agama, adat

dan kebiasaan masyarakat. Sampai saat ini aspek budaya sangat memengaruhi
perilaku kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Setiap budaya mempunyai
nilai-nilai tertentu terhadap pangan yang ada. Misalnya bahan-bahan makanan

tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu untuk dikonsumsi karena
alasan-alasan tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai sangat tinggi baik dari
segi sosial karena mempunyai peranan yang penting dalam hidangan makanan pada
suatu perayaan yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan (Suhardjo, 2003).
Kepercayaan terhadap makanan dimasyarakat ditandai dengan adanya
fenomena makanan pantangan atau tabu. Tabu yang demikian tidak rasional, namun
anggapan demikian diwariskan dari generasi-generasi secara turun temurun (Dewi
RK., dkk. 2010). Di Aceh, ASI dianggap kurang mencukupi sebagai makanan bayi
sehingga biasanya bayi diberi makan pisang wak yang telah dilumatkan kemudian
disuapi ke mulut bayi. Setelah berumur tiga bulan, bayi diberi pisang ditambah
dengan nasi yang telah digiling halus diatas piring kemudian disulangkan kepada bayi
sambil bayi dibaringkan diatas lonjoran kaki pengasuh. Setelah umur delapan bulan
bayi diberi makanan yang sama jenisnya dengan makanan orang dewasa (Alfian,
2000).
Masyarakat Aceh banyak mengenal berbagai macam upacara, setiap upacara
identik dengan acara makan-makan yang seringkali berlangsung setelah acara
seremonialnya

atau


dinamakan

dengan

kenduri. Upacara

yang

tetap

berlangsung hingga saat ini masih dilakukan dalam masyarakat Aceh, salah satu
upacara yang masih dilakukan adalah upacara kelahiran bayi. Ada pun upacara di

masa bayi meliputi cuko ok, peucicap, akikah, dan peutroen aneuk manyak, Upacara
peucicap adalah upacara untuk memberi rasa makanan kepada bayi umur 7 hari.
Acara peucicap dilakukan oleh orang-orang alim terpandang dan baik budi
pekertinya. Ini mempunyai tujuan agar bayi kelak akan alim, terpandang, dan baik
budi

pekertinya.


Peucicap dimulai

dengan bismillahirrahmanirrahim diteruskan

dengan ucapan beumamèh lidah, panyang umu, mudah raseuki, di thee lam kawôm
dan taat keu agama (manislah lidah, panjang umur, mudah rezeki, terpandang dalam
keluarga, dan taat dalam agama). Setelah selesai ucapan lalu diolesi madu, air (pati)
buah-buahan pada mulut bayi. Kegiatan upacara adat ini dihadiri seluruh keluarga
suami istri, dan biasanya pelaksanaannya umur bayi 7 hari dan 14 hari. Pelaksanaan
peucicap seluruh anggota keluarga hadir dan mendapat dukungan keluarga dari suami
istri untuk pelaksanaan peucicap (Rusdi S., 2005). Dukungan keluarga merupakan
suatu bentuk perhatian, dorongan yang didapatkan meliputi perhatian, emosional dan
penilaian dalam keluarga. Di Aceh peucicap sebagian besar pelaksanaanya
bersamaan dengan acara aqikah yang mengikuti sunah Rasul yang menganjurkan
menyembelih 2 ekor kambing untuk bayi laki-laki dan 1 ekor kambing bayi
perempuan. Hal tersebut berhubungan dengan adanya dukungan dari keluarga suami
dan istri memberikan dampak baik pada acara peucicap.
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga dalam
upaya memperbaiki derajat kesehatan dan merubah untuk berprilaku hidup sehat yang

dapat diterapkan dalam keluarga. Keluarga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi
anggotanya. Anggota keluarga juga memandang bahwa orang yang bersifat

mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dari
hasil penelitian Fitriani, (2011) bahwa dukungan keluarga merupakan suatu bentuk
perhatian, dorongan yang didapatkan individu dari orang lain melalui hubungan
interpersonal yang meliputi perhatian, emosional dan penilaian. Ikatan kekeluargaan
yang kuat sangat membantu ketika keluarga menghadapi masalah, karena keluarga
adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan anggota keluarga. Keluarga
besar mendorong anggota keluarga lain untuk mengkomunikasikan kesulitan pribadi
secara bebas, sehingga dapat diberi nasehat dan bimbingan pribadi sesuai dengan
nilai-nilai dan tradisi keluarga (Friedman, 2010).
Kota Lhokseumawe merupakan salah satu kota yang terletak sebelah utara di
Provinsi Aceh dan telah dijadikan Kotamadya. Di Kotamadya Lhokseumawe ini
mempunyai masalah kesehatan dan gizi, serta masalah budaya yang lazim di Aceh.
Masalah kesehatan dan gizi yaitu memiliki angka kurang energi protein (KEP)
35,4%, 25,1% gizi kurang, 10,3% gizi buruk. Prevalensi anemia gizi pada anak
menunjukkan 61,3% bayi 6 bulan, 64,8% bayi 6-11 bulan dan 58% anak 12-23 bulan,
dan menderita anemia gizi. Selain itu tingkat pengetahuan tentang kesehatan dan gizi
ibu rumah tangga rendah sebesar 34,3% (Dinkes Aceh Utara, 2012).


1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas terjadinya masalah gizi dalam masyarakat
berkaitan dengan masalah penerapan gizi seimbang, mengenai faktor-faktor
berhubungan dengan ibu rumah tangga yang memiliki anak umur 6-24 bulan dalam

penerapan gizi seimbang tersebut di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe
tahun 2014.

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis faktor-faktor (penerapan gizi
seimbang, tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, sosial
budaya, dukungan keluarga dan peran petugas kesehatan) yang berhubungan dengan
ibu rumah tangga dalam penerapan gizi seimbang pada anak umur 6-24 bulan di
Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.

1.4 Hipotesis
Ada hubungan pendidikan ibu, pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, sosial
budaya, dukungan keluarga dan peran petugas kesehatan dengan penerapan gizi
seimbang pada anak umur 6-24 bulan.

1.5 Manfaat Penelitian
1.

Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dalam
merumuskan kebijakan terhadap penerapan gizi seimbang pada anak umur 6-24
bulan untuk dapat menurunkan masalah kesehatan dan gizi.

2.

Memberikan masukan bagi Kecamatan Banda Sakti dalam meningkatkan status
gizi pada anak-anak dengan cara menerapkan gizi seimbang.