Analisis Kadar Serum Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) pada penderita Spontaneus Intracerebral Hemorrhage non-lesional

7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Perdarahan Intraserebral

2.1.1 Definisi Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi secara
langsung pada bagian atau substansi otak (Caplan,2009).

2.1.2 Epidemiologi
Perdarahan intraserebral diperkirakan sebanyak 10 – 15% dari seluruh
kejadian stroke di negara Barat, nyeri kepala hebat yang terjadi secara tiba –
tiba, gangguan tingkat kesadaran, defisit neurologi fokal sehubungan
berkumpulnya darah secara fokal di dalam parenkim otak yang ditemukan
pada pemeriksaan neuroimejing dan otopsi otak (Carhuapoma,2010).
Sedangkan di Asia Tenggara (ASEAN), menurut penelitian stroke
menunjukkan stroke perdarahan sebanyak 26%, terdiri dari lobus 10%,
ganglionik 9%, serebellar 1%, brainstem 2% dan perdarahan subarakhnoid

4% (Misbach,1999).
Insidensi perdarahan intraserebral didefinisikan sebagai persentasi dari
populasi yang pertama sekali mengalami perdarahan intraserebral, biasanya
dalam periode waktu tertentu (pertahun). Risiko untuk terjadinya perdarahan
intraserebral dijumpai lebih banyak pada pria dibandingkan dengan wanita. Di
United States, suku berkulit hitam dan Hispanic secara signifikan angka
kejadian perdarahan intraserebral lebih tinggi dibandingkan suku berkulit
putih. Pada suku berkulit hitam dan Hispanic perdarahan intraserebral

Universitas sumatera utara

8
cenderung terjadi pada usia muda dan terutama usia separuh baya
(Carhuapoma, 2010).
Lokasi predominan dari perdarahan intraserebral di dalam otak
bervariasi pada suatu populasi. Di United States, Australia, dan Eropa,deep
cerebral

intracerebral


hemorrhage

(perdarahan

yang

berasal

dari

periventrikular, white matter, nukleus kaudatus, kapsula interna, putamen,
globus pallidus dan thalamus) sering ditemukan, diikuti dengan perdarahan
lobar yang berasal dari gray matter atau subcortical white matter. Pada
populasi yang lebih luas di Jepang, perdarahan lobar diperkirakan sebanyak
15% dari keseluruhan kasus perdarahan intraserebral.Pada kebanyakan
populasi, perdarahan serebellar sebanyak 10% dari keseluruhan perdarahan
intraserebral dan perdarahan brainstem sebanyak 5 - 10 % dari keseluruhan
perdarahan intraserebral. Pada tabel 1 dapat dilihat proporsi distribusi
perdarahan intraserebral pada beberapa studi (Carhuapoma,2010).


Tabel 1. Proporsi Distribusi Perdarahan Intraserebral
Total ICH

Lobar (%)

Deep (%)

Brainstem (%)

Cerebellum (%)

Greater Cincinnati [11]

1038

359 (35)

512 (49)

65 (6)


102 (10)

Izumo City, Japan [13]

350

53 (15)

242 (69)

30 (9)

25 (7)

Southern Sweden [148]

341

176 (52)


121 (36)

15 (4)

29 (9)

158†

53 (34)

77 (49)

11 (7)

17 (11)

87

16 (18)


58 (67)

5 (6)

8 (9)

60*

19 (32)

31 (52)

4 (7)

6 (10)

Jyvaskyla region, Finland [9]
Dijon, France [149]
Perth, Australia [150]


Notes : † includes 9 intraventricular hemorrhages, here included in the deep group.
* Includes 13 ‘massive cortical’ hemorrhages, here included in the deep group.
Source from [11].

Dikutip dari : Carhuapoma, J.R.; Mayer, S.A.; Hanley, D.F. 2010. Intracerebral Hemorrhage.Cambridge
University Press. New York.

Universitas sumatera utara

9
2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko
A. Usia
Usia merupakan faktor risiko terbanyak daripada perdarahan
intraserebral. Insidensinya meningkat secara dramatis pada penderita usia
lebih daripada 60 tahun (Carhuapoma, 2010).

B. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko yang paling penting dan
merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada perdarahan

intraserebral.Penderita hipertensi yang tidak mendapatkan terapi lebih
berat dibandingkan penderita hipertensi yang mendapatkan terapi.
Diantara faktor risiko perdarahan intraserebral, hipertensi diperkirakan
sebagai faktor risiko perdarahan pada daerah deep hemisfer dan
brainstem (Carhuapoma, 2010).

C. Cerebral Amyloid Angiopati (CAA)
Cerebral Amyloid Angiopati merupakan faktor risiko yang jarang
terjadi dari perdarahan intraserebral, akan tetapi sekarang menjadi
pertimbangan faktor risiko dari perdarahan intraserebral khususnya
perdarahan lobar pada penderita usia lanjut. Gambaran patologi yang
utama adalah deposit protein amiloid pada media dan adventitia dari arteri
leptomeningeal, arteriol, kapiler dan paling sedikit pada vena. Patogenesis
CAA pada perdarahan intraserebral adalah destruksi pada struktur
vaskular yang normal melalui deposisi amiloid pada media dan adventitia
dan rangkaian formasi aneurisma. Pembuluh darah yang rapuh dan

Universitas sumatera utara

10

mikroaneurisma menjadi pemicu rupturnya pembuluh darah (Carhuapoma,
2010).

D. Aneurisma dan Malformasi Vaskular
Meskipun rupture aneurisma Berry menjadi penyebab perdarahan
subarakhnoid, akan tetapi perdarahan secara langsung pada parenkim
otak tanpa ekspansi ke subarakhnoid dapat menyebabkan perdarahan
intraserebral. Malformasi vaskular yang berhubungan dengan perdarahan
intraserebral

termasuk

arterivenousmalformation

(AVM),

malformasi

kavernosus, dural arteriovenous fistula, malformasi vena dan capillary
telengiactesis (Carhuapoma,2010).


E. Antikoagulan dan Antitrombolitik berhubungan dengan Perdarahan
Intraserebral
Pada beberapa percobaan, warfarin sebagai terapi atrial fibrillasi
dan infark miokard merupakan penyebab terbanyak anticoagulant
associated intracerebral hemorrhage (AAICH) (Carhuapoma,2010).

F. Antiplatelet
Obat

antiplatelet

kemungkinan

dapat

meningkatkan

risiko


perdarahan intraserebral. Risiko absolute perdarahan intrakranial pada
penderita usia lanjut yang mengkonsumsi aspirin diperkirakan sebanyak
0.2 – 0.3% per tahunnya (Carhuapoma, 2010).

Universitas sumatera utara

11
G. Cerebral Microbleeds
Dengan menggunakan MRI Gradient Echo untuk mendeteksi lesi
yang

kecil,

perdarahan

(microbleeds).Microbleeds

asimptomatik
berhubungan

pada
dengan

parenkim
stroke

otak
iskemik

(khususnya lakunar) dan perdarahan.Microbleeds sering dijumpai pada
perdarahan intraserebral, hal ini terjadi pada 54 – 71% penderita
perdarahan intraserebral (Carhuapoma, 2010).

H. Prior Cerebral Infarction
Kejadian

stroke

iskemik

sebelumnya

berhubungan

dengan

peningkatan risiko perdarahan intraserebral sebanyak 5 – 22 kali lipat.
Hubungan yang kuat antara stroke iskemik dan perdarahan intraserebral
adalah keduanya memiliki faktor risiko yang sama yaitu hipertensi
(Carhuapoma, 2010).

I. Hipokolesterolemia
Beberapa penjelasan mengenai hubungan kolesterol rendah
dengan perdarahan intraserebral adalah pengurangan agregasi platelet,
peningkatan fragilitas

dan vaskularisasi serebral. Sehingga dari hasil

penemuan ini, muncul teori yang berkembang luas bahwa penggunan
obat

penurun

kolesterol

dapat

meningkatkan

risiko

perdarahan

intraserebral (Carhuapoma, 2010).

Universitas sumatera utara

12
J. Peminum Alkohol Berat
Peminum alkohol yang berat memiliki implikasi terhadap ekspansi
perdarahan, dimana dihubungkan dengan efek samping dari platelet dan
fungsi hati (Carhuapoma,2010).

K. Pengguna Tembakau
Beberapa studi menyatakan penderita yang baru memulai merokok
memiliki

risiko

peningkatan

kejadian

perdarahan

intraserebral

dibandingkan perokok lama dan tidak pernah merokok dihubungan
dengan dosis merokok (Carhuapoma, 2010).

L. Diabetes
Hubungan diabetes dengan perdarahan intraserebral bervariasi
berdasarkan usia dan lokasi perdarahan (Carhuapoma,2010).

2.1.4 Klasifikasi Perdarahan Intraserebral
A. Perdarahan Intraserebral Primer
Perdarahan

yang

disebabkan

oleh

hipertensif

kronik

yang

menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya pembuluh darah
otak (Misbach,1999).

B. Perdarahan Intraserebral Sekunder
Perdarahan sekunder (bukan hipertensif) terjadi antara lain akibat
anomali vaskuler konginetal, koagulopati, tumor otak, vaskulopati non

Universitas sumatera utara

13
hipertensif (amiloid serebral), vaskulitis, moya – moya, post stroke iskemik,
obat anti koagulan (fibrinolitik atau simpatomimetik) (Misbach,1999).

2.1.5. Patofisiologi Perdarahan Intraserebral
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 –
400 micrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah
tersebut berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma
tipe Bouchard. Arteriol – arteriol dari cabang lentikulostriata, cabang
arteriotalamus dan cabang paramedian arteri vertebrobasilar mengalami
perubahan degenerative yang sama. Kenaikan tekanan darah yang terjadi
secara tiba – tiba atau kenaikan dalam jumlah yang secara mencolok dapat
menginduksi pecahnya pembuluh darah terutama pada pagi hari dan sore
hari (Misbach,1999).
Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut
sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besar akan merusak struktur
anatomi otak dan menimbulkan gejala klinis. Jika perdarahan yang timbul
kecil, maka massa darah hanya dapat merusak dan menyela di antara
selaput akson white matter (dissecan splitting) tanpa merusaknya. Pada
keadaan ini absorpsi darah akan diikuti pulihnya fungsi neurologi. Sedangkan
pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan
tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak
pada falks serebri atau lewat foramen magnum (Misbach,1999).
Kematian dapat disebabkan karena kompresi batang otak, hemisfer
otak dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke
batang otak.Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus

Universitas sumatera utara

14
perdarahan otak di nukleus kaudatus, thalamus dan pons. Selain kerusakan
parenkima otak, akibat volume perdarahan yang relative banyak akan
mengakibatkan

peninggian

tekanan

intrakranial

dan

menyebabkan

menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak. Elemen
vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya
tekanan perfusi, menyebabkan neuron di daerah yang terkena darah dan
sekitarnya lebih tertekan lagi.Jumlah darah yang keluar menentukan
prognosis. Bila volume darah lebih dari 60 cc maka risiko kematian sebesar
93% pada perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan lobar. Sedangkan
bila terjadi perdarahan serebellar dengan volume antara 30 – 60 cc
diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75% tetapi volume darah 5 cc
dan terdapat di daerah pons sudah berakibat fatal (Misbach,1999).

2.1.6 Gejala Klinis
Gejala klinis dari perdarahan intraserebral adalah kejadian progresif
yang bertahap (dalam waktu menit sampai dengan hari) atau kejadian yang
terjadi secara tiba – tiba dari defisit neurologi fokal biasanya berhubungan
dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti muntah dan
penurunan kesadaran.Kejadian muntah banyak terjadi pada perdarahan
intraserebral dan perdarahan subarakhnoid dibandingkan dengan stroke
iskemik. Sebanyak 33% kasus perdarahan intraserebral mengeluhkan nyeri
kepala dan penderita koma dijumpai sebanyak 24% kasus dibandingkan
dengan stroke iskemik dengan presentasi 0 – 4% (Carhuapoma, 2010).
Karakteristik yang utama dari perdarahan intraserebral adalah
perkembangannya yang bertahap pada 63% kasus dan sering mengalami

Universitas sumatera utara

15
perburukan dalam waktu 24 jam pertama. Pada tabel 2 dapat dilihat
gambaran klinis dari subtipe stroke (Carhuapoma, 2010). Pada Tabel 3 dapat
dilihat gambaran neurologis berdasarkan lokasi tertentu (Caplan,2009).

Tabel 2. Gambaran Klinis dari Subtipe Stroke
Thrombosis

Lacune

Embolus

ICH

SAH

Maximal at onset

40 %

38 %

79 %

34 %

80 %

Stepwise

34 %

32 %

11 %

3%

3%

Gradual

13 %

20 %

5%

63 %

14 %

Fluctuating

13 %

10 %

5%

0%

3%

Dikutip dari : Carhuapoma, J.R.; Mayer, S.A.; Hanley, D.F. 2010. Intracerebral Hemorrhage.Cambridge
University Press. New York

Universitas sumatera utara

16
Tabel 3. Gambaran Neurologis Pada Penderita Perdarahan Intraserebral dan Lokasi Perdarahan
Table 13-3.
Locale
Caudate

Putamen
Small
Large

Neurologic findings in Patients with Intracerebral Hemorhhage at common sites
Motor
Sensory
Hemianopia
Pupils
Eye movements
weakness
Loss
Hemiparesis
Normal
- normal or
transient
conjugate gaze
palsy
contralateral
Hemiparesis
+
Normal
++
Hemiparesis
++
++
±Ipsilateral
Conjugate palsy
++++
fixed,
contralateral
dilated

Thalamus

Hemiparesis
+

Lobar

Hemiparesis
±

Frontal
Parietal

+++

±

Small,
nonreactive

Eyes down, or
down and in;
vertical gaze
palsy; conjugate
gaze palsy
ipsilateral or
contralateral;
pseudo VI nerve
palsy

Other
Confusion

L: aphasia
R: left-sided
neglect,
constructional
apraxia
Confusion L:
aphasia

Abular
+++

++

Normal
Normal

-

L: aphasia
R: Left-sided
neglect,
constructional
apraxia
L: aphasia,
agitation
Hyperventilation

Temporal

-

-

++

Normal

-

Occipital
Pontine
(medial
basil)
(lateral
tegmental)
Cerebellar

- or transient
Quadriparesis
++++

±

++++
-

Normal
Small
reaction

Bilateral
horizontal
conjugate gaze
palsy, bobbing

-

Ipsilateral
small
reaction
Small
reaction

1-{½} syndrome

Limb ataxia

Ipsilateral sixth
nerve palsy of
ipsilateral
conjugate gaze
palsy

Gait ataxia

- or transient

-

Contralateral
hemisensory
+++
-

-

rd

Dikutip dari : Caplan, L.R. 2000. Caplan’s Stroke : A Clinical Approach. 3 ed. Butterworth-Heinemann. Boston

Universitas sumatera utara

17
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis perdarahan intraserebral antara lain berdasarkan gejala
klinis kemudian didukung dengan pemeriksaan darah dan imaging (CT dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) ). Bila terjadi pada fase akut sulit untuk
menemukan penyebab yang mendasari malformasi vaskular, angiografi
biasanya

dibutuhkan

untuk

diagnostik

selanjutnya.

Penentuan

faktor

koagulasi diperlukan pada beberapa penderita (Carhuapoma,2010).
Hasil pemeriksaan CT Scanmembuktikan reliable dalam mendeteksi
perdarahan dengan diameter 1 cm atau lebih. Pada saat bersamaan juga
ditemukan hidrosefalus, tumor, pembengkakan otak.Magnetic Resonance
Imaging (MRI) sangat bermanfaat dalam memperlihatkan perdarahan
brainstem dan sisa perdarahan Hemosiderin dan pigmen besi. Pada gambar
1 dan gambar 2 dapat dilihat gambaran CT Scan perdarahan intraserebral
(Ropper,2005).

Gambar 1.Perdarahan Intraserebral pada Ganglia Basalis. Dikutip dari : Ropper, A.H. and Brown,
th
R.H. 2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8 ed. McGraw-Hill.New York

Universitas sumatera utara

18

Gambar 2.Perdarahan Intraserebral pada Thalamus. Dikutip dari : Ropper, A.H. and Brown, R.H.
th
2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8 ed. McGraw-Hill.New York

2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan perdarahan intraserebral yang luas
dan koma antara lain mempertahankan ventilasi yang adekuat, dengan
mengkontrol hiperventilasi mencapai PCO2 25 – 30 mmHg, mengawasi
peningkatan tekanan intrakranial pada beberapa kasus dengan melakukan
pemberian cairan Mannitol (osmolaritas dipertahankan 295 – 305 mosmol/L.
Pengurangan secara cepat tekanan darah dengan harapan dapat mengurangi
perdarahan pada otak tidak dianjurkan, setelah ditemukan adanya risiko
perfusi serebral pada kasus peningkatan tekanan intrakranial (Ropper,2005).
Pada kondisi lain, tekanan darah rata – rata lebih dari 110 mmHg
dapat menimbulkan edema otak dan risiko ekstensi dari penyumbatan.
Diperkirakan pada saat hipertensi akut menggunakan obat beta blocker
(esmolol, labetalol), atau ACE inhibitor dianjurkan. Calcium channel blocking
drugs jarang digunakan dikarenakan laporan efek samping dari tekanan

Universitas sumatera utara

19
intrakranial. Penelitian yang dilakukan oleh Hayashi menunjukkan tekanan
darah yang menurun dengan pemberian nifedipine setelah perdarahan
serebral, akan tekanan intrakranial meningkat. Diuretik sangat membantu
dalam kombinasi dengan obat antihipertensi lainnya (Ropper,2005).
Tindakan pembedahan pada hematoma serebellar secara umum telah
diterima sebagai tindakan perdarahan intraserebral dan hal ini merupakan
masalah yang utama dikarenakan proksimalitas massa pada brainstem dan
risiko progresi yang cepat menuju koma dan gagal nafas. Hidrosefalus yang
berasal dari kompresi ventrikel keempat lebih sering tampak sebagai
komplikasi. Hematoma serebellar dengan diameter kurang dari 2 cm pada
gambaran klinis penderita menunjukkan penderita sadar kemudian jarang
menunjukkan deteorisasi, biasanya tidak memerlukan tindakan pembedahan
(Ropper,2005).
Hematoma dengan diameter 4 cm atau lebih khususnya berlokasi pada
daerah vermis dan beberapa dokter bedah menganjurkan evakuasi lesi
dengan diameter ukuran terserbut tanpa memperdulikan keadaan klinis
penderita. Penentuan untuk diperlukan tindakan pembedahan berdasarkan
status kesadaran penderita, efek massa yang disebabkan adanya clot yang
tampak pada gambaran CT Scan (terutama derajat kompresi pada sisterna
quadrigeminal) dan tampaknya hidrosefalus. Penderita yang hanya dengan
keadaan mengantuk dan hematoma dengan diameter 2 – 4 cm merupakan
kondisi yang sulit untuk dipertimbangkan tindakan pembedahan. Bila tingkat
kesadaran mengalami fluktuasi dan obliterasi dari sisterna perimesenchepalic,
terutama disertai dengan hidrosefalus (Ropper,2005).

Universitas sumatera utara

20
Pada

saat

dilakukan

pertimbangan

untuk

dilakukan

tindakan

pembedahan dan terapi lainnya, dapat dibagi menjadi tiga kelompok antara
lain pada perdarahan yang masif, lesi berkembang dengan sangat cepat yang
mana berisiko menimbulkan kematian sebelum penderita sampai ke rumah
sakit, untuk jenis lesi ini sedikit tindakan yang dapat dilakukan. Sedangkan
hematoma yang kecil, dimana terapi yang dilakukan adalah mengkontrol
faktor risiko seperti hipertensi, untuk mencegah terjadi kekambuhan Pada
perdarahan dengan volume sedang dengan adanya efek massa setelah
penderita sampai di rumah sakit, tindakan pembedahan sangat diperlukan
(Caplan,2009).

2.1.9. Prognosis
Tiga prediktor utama yang menentukan prognosis pada kasus
perdarahan intraserebral adalah ukuran perdarahan, lokasi dari perdarahan
dan

status

kesadaran

dari

penderita.Ekspansi

perdarahan

juga

mengindikasikan prognosis yang buruk dengan hematoma ukuran yang
luas.Ukuran dan lokasi lesi pada gambaran imaging sangat bermanfaat
sebagai informasi prognosis. Pada perdarahan putaminal, lesi lebih dari 140
mm2

pada satu slice menunjukkan outcome yang buruk. Perdarahan

thalamus, lesi lebih dari 3.3 cm dengan diameter yang maksimal juga
menunjukkan prognosis yang buruk, begitu juga dengan lesi serebellar lebih
dari 3 cm. Adanya hidrosefalus pada penderita dengan perdarahan
supratentorial juga sebagai tanda prognosis yang buruk (Caplan,2009).
Pada saat fase akut perdarahan intraserebral, efek massa yang
berasal dari hematoma menunjukkan risiko yang lebih besar untuk terjadinya

Universitas sumatera utara

21
kematian dibandingkan ukuran stroke iskemik. Tidak seperti perdarahan
subarakhnoid, pengulangan perdarahan intraserebral selama penyakit akut
jarang terjadi. Fakta yang sederhana ini memberikan petunjuk untuk
pengobatan

perdarahan

intraserebral

dimana

secara

agresif

untuk

mempertahankan perluasan hematoma untuk mencegah kematian dan
mengurangi morbiditas (Caplan,2009).

2.2.

Glial Fibrilary Acidic Protein (GFAP)

2.2.1. Sel Glia otak
Membicarakan GFAP tidak bisa dilepaskan dari sel-sel Glia otak
karena GFAP adalah salah satu penyusun astrosit yang merupakan salah
satu sel Glia. Sel-sel Glia atau yang umumnya disebut neuroglia adalah selsel non neuronal yang mempunyai fungsi utama sebagai sel pendukung
neuron, fungsi lain adalah mengatur suasana internal dari otak, khususnya
cairan di sekitar neuron dan synap-synapnya, serta menyediakan kecukupan
nutrisi sel-sel saraf (Gambar 3). Sel-sel glia juga mempunyai peran dalam
pertumbuhan

neuron

pertumbuhan,

dan

sebagai

guiding

memproduksi

dari

migrasinya

molekul-molekul

yang

pada

awal

memodifikasi

pertumbuhan axon dan dendrit.

Gambar 3.Neuroglia. Dikutip dari :The Wikipedia Free Encyclopedia. (2011). Glial cell. Adelaide: Wikimedia
Foundation Inc; 16. Available from: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Glial_cell on 12/02/2014

Universitas sumatera utara

22
Tipe-tipe dari sel glia adalah :
2.2.1.1. Microglia
Mempunyai kemampuan spesialisasi sebagai fagosit yang akan
memproteksi neuron pada SSP. Sel ini relatif kecil dibandingkan sel-sel
Macroglia, dan hanya merupakan 35% dari total sel glia dalam SSP. Sel ini
ikut bergerak dengan otak, dan mengalami multiplikasi bila otak mengalami
cedera.
2.2.1.2. Macroglia
Pada SSP :
a. Astrosit atau Astroglia
Merupakan sel glia terbanyak dalam SSP (Gambar 4).Sel ini memfiksir
neuron pada suplai darahnya, meregulasi lingkungan kimia eksternal neuron
dengan mengeliminasi ion-ion yang berlebih, seperti kalium, dan mendaur
ulang pelepasan neurotransmitter pada synap selama aktifitas transmisi pada
synap.Teori terbaru menyatakan bahwa astroglia merupakan bahan utama
pada jaringan Blood Brain Barrier.

Gambar 4. Astrosit, dapat dilihat dengan kultur, karena sel tersebut mengekspresikan GFAP.
Dikutip dari :The Wikipedia Free Encyclopedia. (2011). Glial cell. Adelaide: Wikimedia Foundation Inc;
16. Available from: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Glial_cell

Universitas sumatera utara

23
Signal antar astroglia ditransmisikan dengan kalsium Gap junction
(atau biasa dikenal dengan synap elektrik) antara astrosit yang dilakukan oleh
molekul messenger Inositol Triphosphat (IP3). Astrosit dibagi menjadi 2 yaitu
Astrosit protoplasmik di mana cabang-cabang prosesusnya pendek, tebal,
dan bercabang banyak, letaknya di substansia grisea. Dan yang kedua
Astrosit Fibrous yang mempunyai prosesus panjang, tipis, dan sedikit
bercabang.
b. Oligodendroglia
c. Sel-sel Ependym
d. Radial glia
Pada Susunan saraf tepi :
a. Schwan cell
b. Satellite cell

2.2.2 Definisi GlialFibrillary Acidic Protein (GFAP)
Glial Acidic Fibrillary Protein adalah suatu filament astrosit yang utama,
dan merupakan sekelompok tipe sel yang banyak ditemukan pada susunan
saraf pusat (Mayer,2013).

2.2.3 Biokimia dan Fisiologi GFAP
Glial Acidic Fibrillary Protein merupakan protein yang berperan dalam
komponen integral daripada sitoskeleton astrosit. Pada astrosit yang utuh
atau intak, GFAP diekspresikan sebagai non-soluble, protein monomer 423
dari asam amino dengan massa molekular 49.8 kDa. Monomer dari GFAP
berkombinasi membentuk polimer yang mana berperan sebagai unit struktural

Universitas sumatera utara

24
untuk skeleton dari astrosit (Schiff,2012). Astrosit berada pada lapisan
pertama

dari

neokorteks,

membentuk

membrane

neuroglial

(Kamchatnov,2010).
Glial Acidic Fibrillary Protein termasuk dalam protein intermediate
filament (IF) tipe 3 berukuran 8 – 12 nm pada astrosit yang matang pada
susunan saraf pusat. Seluruh tipe dari IF protein tersusun menjadi 3 domain
utama antara lain amino-terminal head, central helical rod dan carboxy
terminal tail domains dapat dilihat pada gambar 5. Pada gambar ini dapat
dilihat struktur protein dari isoform GFAP menunjukkan perbedaan dari
masing



masing

isoform.

Perbedaan

pola

dan

perbedaan

warna

mengindikasi perbedaan antara masing – masing individual isoform
(Hol,2011).

Gambar 5.Protein Isoform GFAP. Dikutip dari : Hol. J.M.EM. 2011.GFAP in Health and
Disease.Progress in Neurobiology.93 : 421-443

Pada pembentukan IF, perbedaan domain berkontribusi dalam proses
ini.Pada tahap pertama filament membentuk formasi dimer dan tetramer
dengan rod domains. Dimer terbentuk dari dua rangkaian polipeptida yang
saling melingkari satu sama lain disebut coiled-coil structure (Hol,2011).
Intermediate filament merupakan prekursor astrosit yang tidak matang
dan astrosit diperlihatkan terdiri dari nestin dan vimentin.Pada astrosit yang

Universitas sumatera utara

25
matang, lebih tampak jelas GFAP dan ekspresi vimentin mengalami
pengurangan dan beberapa astrosit sulit ditemukan.Intermediate filament
diimplikasikan pada beberapa proses selular di beberapa jaringan yang
berbeda (Pekny, 1999).
Mekanisme regulasi dalam ekspresi GFAP pada astrosit merupakan
hal yang terpenting untuk diteliti lebih lanjut, dikarenakan sangat memberikan
manfaat dalam mengkontrol proses fisiologi dan patofisiologi di susunan saraf
pusat. Ada beberapa penlitian dengan jelas menunjukkan Nitric Oxide (NO)
memegangperanan

penting

dalam

regulasi

ekspresi

GFAP

pada

astrosit.Penjelasan pertama, bakteri lipopolisakarida (LPS) mengekspresikan
GFAP pada astrosit kemudian meningkatkan ekspresi GFAP dimulai setelah
produksi NO. Kemudian LPS dan penginduksi lainnya dari iNOS tidak dapat
meningkatkan ekspresi GFAP pada astrosit, dimana NO telah diambil oleh
PTIO atau telah dihambat oleh l -NIL (Brahmachari,2006).

2.2.4 Patofisiologi GFAP
Pada saat astrosit hancur atau mati, polimer GFAP dipecah dan
kemudian terlepas menjadi fragment GFAP soluble 41 kDa menuju ke daerah
sekitar cairan interstitial. Peningkatan kadar GFAP dapat dinilai melalui cairan
serebrospinal yang mana berhubungan dengan sejumlah penyakit pada
susunan saraf pusat, termasuk trauma kapitis akut. Data terbaru, kadar GFAP
dapat di ukur melalui pemeriksaan darah tepi berdasarkan patologi dari
penyakit yang mendasari pada otak (Schiff,2012).
Pada stroke iskemik, GFAP tampak masuk ke dalam aliran darah
melalui serangkaian proses secara bertahap terjadi pergerakan dari cairan

Universitas sumatera utara

26
serebrospinal ke sirkulasi darah yang kemudian meningkatkan brain-blood
gradient. Pada kasus stroke iskemik yang berat, sawar darah otak secara
lokal menghancurkan jaringan yang telah mati. Sedangkan pada perdarahan
intraserebral, gangguan yang terjadi secara tiba – tiba pada sawar darah otak,
mengaktifkan sejumlah besar dari GFAP secara cepat kedalam sirkulasi
darah (Schiff,2012).
Perbedaan mekanisme daripada proses keluarnya GFAP ke dalam
aliran darah, merupakan implikasi yang penting untuk mengetahui perjalanan
waktu terjadinya peningkatan GFAP pada penderita dan kegunaan secara
klinis dari GFAP dalam membedakan kasus stroke (Schiff,2012).

2.2.5 Fungsi GFAP
Seluruh tipe dari IF III protein termasuk dalam struktur dan fungsi dari
sel sistoskeleton. Diperkirakan fungsi dari IF untuk memberikan bantuan
mekanik terhadap membran plasma dimana dapat terjadi kontak atau
hubungan dengan sel lainnya atau dengan matriks ekstraselular. Fungsi yang
pasti dari GFAP masih belum jelas, meskipun sejumlah studi telah
menggunakan GFAP sebagai penanda astrosit. Pada 20 tahun terakhir telah
berkembang suatu pemikiran bahwa astrosit memiliki fungsi yang sangat
banyak tidak hanya sebagai jaringan pendukung sel saraf otak, juga memiliki
peran dalam menginduksi dan meregulasi sawar darah otak, melindungi
neuron dari pengeluaran neurotransmitter, memulia plasitisitas sinaps,
berkoordinasi dengan aktivitas neuronal melalui komunikasi secara langsung
dengan neuron dan neural stem cell pada otak orang dewasa. Pada gambar 6
dapat dilihat keterlibatan GFAP dalam beberapa proses (Hol,2011).

Universitas sumatera utara

27

Gambar 6.Gambaran Proses Selular di Otak dan Peran GFAP. Dikutip dari : Hol. J.M.EM. 2011.GFAP in
Health and Disease.Progress in Neurobiology.93 : 421-443

Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa GFAP memiliki peranan
penting dalam beberapa proses selular. Secara umum, GFAP memiliki peran
penting dalam regulasi antara astrosit dan neuron.Perubahan pada ekspresi
GFAP

dapat

mempengaruhi

terhadap

fungsi

sinaps,

mengganggu

metabolisme glutamate glutamine, meningkatkan volume astrosit yang mana
dapat meluas ke area permukaan neuron yang kontak dengan membran
astrosit.Sebagai tambahan perubahan rasio isoform GFAP di dalam sel dapat
memodifikasi fungsi dari astrosit dan memungkinkan mempengaruhi neuron
disekitarnya. Selama proses penuaan dan terjadinya suatu penyakit maka
ekspresi GFAP pada astrosit menjadi terganggu termasuk rasio perbandingan
isoform yang mengindikasikan adanya peran aktif dari astrosit (Hol,2011).

Universitas sumatera utara

28
2.2.6 Glial Fibrilary Acidic pada Penyakit Degeneratif
Astrosit memiliki pengaruh pada patologi susunan saraf pusat secara
luas antara lain, trauma, iskemia, neurodegenerasi. Sebagai respon
pentingnya astrosit pada patologi susunan saraf pusat, astrosit mengubah
karakteristiknya dan fenomena ini dikenal dengan gliosis reaktif. Gambaran
reaktif astrosit yang diketahui adalah peningkatan produksi IF sebagai hasil
dari peningkatan ekspresi GFAP, juga termasuk vimentin dan nestin. Suatu
penyakit menunjukkan peningkatan mRNA GFAP dan protein yang dijumpai
pada penyakit Alzheimer (Hol,2011).
Tipe lain dari penyakit pada susunan saraf pusat yang menunjukkan
peningkatan GFAP dapat dilihat pada penyakit serebrovaskular. Ditemukan
juga pada beberapa penyakit yang dapat meningkatkan kadar GFAP yang
merupakan gambaran sekunder dari proses degenerasi, dapat dilihat pada
tabel 4. IF encoding genes secara selektif diekspresikan pada tipe sel tertentu
selama proses diferensiasi. Gambaran ini sesuai dengan hubungan mutasi
pada gen ini dengan sejumlah penyakit (Hol,2011).

Universitas sumatera utara

29
Tabel 4. Ekspresi GFAP pada Penyakit Neurodegeneratif

Dikutip dari : Hol. J.M.EM. 2011.GFAP in Health and Disease.Progress in Neurobiology.93 : 421-443

Universitas sumatera utara

30
2.2.7 Aplikasi GFAP pada Stroke
Tiga studi telah dilakukan dalam mengevaluasi GFAP sebagai salah
satu alat dalam membedakan diagnosis stroke iskemik dan perdarahan
intraserebral. Dan sebagai tambahan tiga studi juga telah dilakukan
mengevaluasi GFAP dalam menilai prognosis penyakit stroke, dapat dilihat
pada tabel 5 (Schiff,2012).

Tabel 5. Ringkasan Hasil Penelitian GFAP pada Stroke

Dikutip dari :Schiff, L.; Hadker, N.; Weiser, S.; Rausch, C. 2012. A Literature Review of The Feasibility of Glial
Fibrillary Acidic Protein as A Biomarker for Stroke and Traumatic Brain Injury. Mol Diagn Ther. 16(2):79-92

Tiga studi telah dilakukan untuk mengevaluasi kemampuan dari peningkatan
kadar serum GFAP dalam membedakan penderita perdarahan intraserebral dari
stroke iskemik pada suatu populasi. Studi dengan 135 penderita stroke yang datang
ke rumah sakit dalam waktu 6 jam setelah onset stroke, Foerch berhasil mendeteksi
kadar serum GFAP sebanyak 81% pada penderita perdarahan intraserebral tetapi

Universitas sumatera utara

31
hanya ditemukan sebanyak 15% pada penderita stroke iskemik. Dengan sensitivitas
79% dan spesifisitas sebnyak 98% untuk identifikasi perdarahan intraserebral pada
fase akut stroke (Schiff,2012). Hipotesa pada studi ini bahwa GFAP dapat dideteksi
segera pada serum penderita perdarahan intraserebral dalam fase hiperakut, akan
tetapi bukan pada penderita stroke iskemik dapat berguna sebagai penanda
diagnostik yang cepat pada penderita perdarahan intraserebral akut (Foerch,2005).
Studi Dvorak, melakukan pengukuran serum GFAP pada 63 penderita yang
datang ke rumah sakit dalam waktu 6 jam sejak terjadinya onset stroke dan
menunjukkan peningkatan kadar GFAP yang dapat membedakan stroke iskemik dan
perdarahan intraserebral dengan akurasi diagnostik ≥ 80% pada jarak waktu antara
2 sampai 6 jam setelah onset kejadian stroke. Sensitivitas meningkat dari 45% pada
saat 2 jam menjadi 71% pada saat 6 jam dengan sensitivitas 100% pada waktu 2
sampai 4 jam dan 95 % pada saat 6 jam (p,0.001). Selanjutnya studi Dvorak juga
menunjukkan 2 jam setelah terjadi perdarahan intraserebral, kadar GFAP
berhubungan dengan volume perdarahan intraserebral (Dvorak, 2009; Schiff,2012).
Studi Unden, melakukan pengukuran kadar S100B, NSE, GFAP, activated
protein C-protein C inhibitor complex (APC-PCI) pada waktu 24 jam sejak onset
stroke pada 97 penderita stroke untuk membedakan stroke iskemik dan perdarahan
intraserebral. Dari hasil studi ini menunjukkan sebanyak 83 penderita (86%)
menderita stroke iskemik dan 14 penderita (14%)

menderita perdarahan

intraserebral. Tidak ada perbedaan pada kadar S100B dan NSE antara penderita
stroke iskemik dan perdarahan intraserebral. Kadar GFAP signifikan dijumpai pada
penderita perdarahan intraserebral (p=0.0057) (Unden, 2009; Schiff,2012).
Penemuan terbaru, protein astroglial GFAP telah diidentifikasi sebagai
penanda darah yang potensial pada penderita perdarahan intraserebral fase

Universitas sumatera utara

32
akut.Glial fibrillary acidic protein (GFAP) dihasilkan secara cepat pada kasus
perluasan dari perdarahan parenkimal di otak yang memicu terjadinya destruksi sel
segera, dimana keadaan ini terdeteksi pada kasus stroke iskemik bukan dalam fase
akut, nekrosis dan disintegrasi selular tidak terjadi sebelum 6 – 12 jam setelah onset
kejadian stroke (Mayer, 2013).

Gambar 7.Peran GFAP pada Stroke. Dikutip dari :Schiff, L.; Hadker, N.; Weiser, S.; Rausch, C. 2012. A
Literature Review of The Feasibility of Glial Fibrillary Acidic Protein as A Biomarker for Stroke and Traumatic
Brain Injury. Mol Diagn Ther. 16(2):79-92.

Penelitian yang sedang berjalan pada saat ini, mengevaluasi kadar GFAP
dan kombinasi kadar GFAP dengan biomarkerlainnya dalam mendiagnosis banding
kasus stroke. Yang terbaru BE FAST! (Biomarker for Rapid Diagnosis of
Hemispheric Stroke) suatu percobaan klinis untuk mengevaluasi akurasi dari
pemeriksaan GFAP dalam membedakan penderita stroke apakah termasuk
perdarahan intraserebral atau stroke iskemik. Penemuan dari hasil studi ini
menunjukkan pada studi populasi 205 penderita menunjukkan gejala yang sesuai

Universitas sumatera utara

33
dengan stroke akut, dimana 39 orang penderita didiagnosis dengan perdarahan
intraserebral, 163 dengan stroke iskemik, 3 penderita yang menyerupai gejala stroke
dan kadar serum GFAP secara signifikan pada penderita perdarahan intraserebral
dibandingkan dengan stroke iskemik. Pada gambar 7 dapat dilihat peran penting
GFAP pada stroke (Schiff,2012).

Universitas sumatera utara