Analisis Kadar Glial Fibrillary Acidic Protein Dengan Tingkat Keparahan Cedera Kepala Di RSUP. H. Adam Malik

(1)

Tesis

Program Pendidikan Magister Bedah

Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utar

a

ANALISIS KADAR GLIAL FIBRILLARY ACIDIC

PROTEIN DENGAN TINGKAT KEPARAHAN CEDERA

KEPALA

DI RSUP. H. ADAM MALIK

OLEH :

R. DISFAHAN YONANDA SINULINGGA NIM. 097116004

DEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN


(2)

(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan dari semua pihak, tesis ini tidak mungkin dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Rasa hormat, penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar - besarnya penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. dr. Iskandar Japardi, SpBS (K) selaku Ketua Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan serta senantiasa membimbing, memberi dorongan dan kemudahan selama penulis menjalani pendidikan.

2. Prof. dr. Abdul Gofar Sastrodiningrat, SpBS (K) selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Saraf FK USU yang telah dengan sungguh - sungguh membantu, membimbing, dan memberi dorongan kepada penulis,

3. Pembimbing penulisan tesis ini, Prof. Dr. dr. Iskandar Japardi, SpBS (K) dan Prof. dr. Abdul Gofar Sastrodiningrat, SpBS (K) yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran - saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini

4. Staf Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU/ RSUPHAM, Prof. dr. Adril A Hakim, Sp.S, Sp.BS(K), Dr. dr. Rr. Suzy Indharty, M.Kes, SpBS dan Dr. dr. Ridha Dharmajaya, SpBS yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama penulisan tesis ini.


(5)

5. Jajaran direksi RSUP H. Adam Malik yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian

6. Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes sebagai pembimbing statistik dalam penulisan tesis ini

7. Seluruh staf Laboratorium Patologi Klinik RSUP HAM yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini

8. Rekan-rekan PPDS Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU

9. Rekan-rekan PPDS Departemen Anestesi dan Terapi Intensif FK USU

10. Perawat di ruang rawat inap RA-4 Bedah Saraf dan Unit Perawatan Intensif RSUP HAM

11. Serta seluruh pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu.

Rasa terima kasih yang tiada terhingga saya haturkan kepada istriku tercinta, dr. Nita Andrini serta anakku Dianindya Hasanah Sinulingga yang telah memberi semangat dalam pelaksanaan studi ini, Kepada orang tua saya, Alm. Ir. R.N. Sinulingga dan Ir. Rosaini Lubis saya haturkan terima kasih sebesar-besarnya atas doa, pengorbanan, nasihat, dan dukungan kepada saya selama ini. Kepada kakak-kakak saya, terima kasih atas dukungannya selama ini.

Semoga tulisan ini berguna untuk kita semua.


(6)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR SINGKATAN ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pertanyaan penelitian ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

1. Tujuan Umum ... 6

2. Tujuan Khusus ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Prinsip Dasar Cedera Kepala ... 8

1. Mekanisme Biologis Dasar ... 9

2. Peranan Astrogliosis Reaktif setelah Cedera SSP ... 12

a. Perlindungan Neuron ... 12

b. Astrositosis Reaktif dan Sawar Darah Otak ... 13

c. Astrgliosis Reaktif Menghambat Regenerasi Akson ... 14

d. Astrositosis Reaktif Potensial untuk Toksisitas Saraf ... 14

B. Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) ... 15

1. Fisiologi GFAP ... 15

2. Patofisiologi GFAP ... 15

C. Peran GFAP pada Cedera Kepala ... 18

1. Prognostik Cedera Kepala ... 18

2. GFAP sebagai Alat Diagnostik Cedera Kepala………..22

BAB III : KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ………...24

A. Kerangka Teori ... 24

B. Kerangka Konsep ... 24


(7)

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Fungsi astrosit 11

Tabel 2 Penelitian sebelumnya mengenai GFAP pada 18 trauma kepala

Tabel 3 Penelitian GFAP 20

Tabel 4 Indikasi operasi pada perdarahan intrakranial 34

Tabel 5 Perhitungan konsentrasi sampel 36

Tabel 6 Glasgow coma scale 40

Tabel 7 Skor Marshall 41

Tabel 8 Skor Rotterdam 42

Tabel 9 Interpretasi Barthell indeks 44

Taberl 10 Data subjek penelitian 46

Tabel 11 Karakteristik radiologis subjek penelitian 48 Tabel 12 Perbedaan kadar GFAP kelompok cedera kepala 48

sedang dan berat

Tabel 13 Korelasi kadar GFAP dengan tingkat keparahan 49 cedera kepala

Tabel 14 Gambaran kadar GFAP pada kelompok subjek 51 penelitian yang hidup dan meninggal


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Jaras utama yang terjadi saat cedera sekunder 10 setelah cedera kepala

Gambar 2 Kurva standar GFAP 45

Gambar 3 Korelasi kadar GFAP dengan GCS setelah 50 resusitasi

Gambar 4 Korelasi kadar GFAP dengan GOS tiga puluh hari 52 pertama


(10)

DAFTAR SINGKATAN

AMPA Amino Methyl Phosponic Acid APTT Activated Partial Prothrombin Time ASEAN Association of South East Asian Nations ATLS Advance Traumatic Life Support

BDNF Brain Derived Neurotropic Factor BMR Basal Metabolic Rate

BTF Brain Traumatic Foundation CKB Cedera Kepala Berat

CKS Cedera Kepala Sedang CPP Cerebral Perfusion Pressure CSF Cerebro Spinal Fluid

CT Computed Tomography

EIA Enzyme Immuno Assay

ELISA Enzyme Linked Immune-sorbent Assay GCS Glasgow Coma Scale

GDNF Glial-cell Derived Neurotropic Factor GFAP Glial Fibrillary Acidic Protein

GOS Glasgow Outcome Scale

Hb Hemoglobin

Ht Haematocryte

HIV Human Immunodeficiency Virus ICU Intensive Care Unit

IGD Instalasi Gawat Darurat

INR International Normalized Ratio LMWH Low Molecular Weight Heparin MAP Mean Arterial Pressure

MRI Magnetic Resonance Imaging NMDA N-Methyl D- Aspartate NPV Negative Predictive Value


(11)

NSE Neuron Specific Enolase

NSAID Non Steroid Anti Inflammatory Drug PPI Proton Pump Inhibitor

PPV Positive Predictive Value

PT Prothrombin Time

ROC Range Over Curve rpm rotation per minute

SGOT Serum Glutamic – Oxaloacetic Transaminase SGPT Serum Glutamic- Pyruvic Transaminase SSP Susunan Saraf Pusat

TIK Tekanan Intra Kranial TNF-a Tissue Necrotizing Factor –a


(12)

ANALISIS KADAR GLIAL FIBRILLARY ACIDIC

PROTEIN DENGAN TINGKAT KEPARAHAN CEDERA

KEPALA DI RSUP H ADAM MALIK

R. Disfahan Yonanda Sinulingga, Iskandar Japardi, Abdul Gofar Sastrodiningrat

Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Abstract

Tujuan: Studi ini

Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik yang menggunakan metode cross sectional. Penelitian ini berlangsung dari Juni 2013 sampai Maret 2014 di Rumah Sakit Umum Adam Malik. Pasien cedera kepala berat dan sedang dilibatkan dalam penelitian ini jika onset kurang dari 48 jam. Pasien yang dipilih dievaluasi berdasarkan pada temuan CT scan kepala. Pasien diambil dengan cara concecutive sampling, kemudian dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan GFAP dan dilakukan pemeriksaan GFAP serum kumulatif.

untuk mengetahui hubungan kadar GFAP serum dengan tingkat keparahan penderita cedera kepala.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar GFAP berhubungan signifikan dengan GCS setelah resusitasi (r=-0,631, p=0,0001). Korelasi yang terjadi merupakan korelasi negatif(r=-0,631, p=0,0001). Jika GCS setelah resusitasi semakin tinggi, kadar GFAP serum akan semakin rendah.

Kesimpulan: Kadar GFAP penderita cedera kepala berat (11,9±10,52) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan penderita cedera kepala sedang (1,82±1,60, p=0,0001). Terdapat korelasi yang signifikan antara kadar GFAP serum dengan GCS awal setelah resusitasi (r=-0,631; p=0,0001).

Kata kunci : Cedera kepala, GFAP, Astrogliosis, Barthel Index, Glasgow Outcome Scale, Skor Marshall, Skor Rotterdam


(13)

GLIAL FIBRILLARY ACIDIC PROTEIN CONTENT

ANALYSIS IN HEAD INJURY SEVERITY IN RSUP H

ADAM MALIK

R. Disfahan Yonanda Sinulingga, Iskandar Japardi, Abdul Gofar Sastrodiningrat

Department ofNeurosurgery, Facultyof MedicineUniversity ofNorth Sumatra

Abstract

Objective: This study was to determine the relationship of serum GFAP levels with severity of head injury patients.

Methods: This study is an analytical study using cross-sectional methods. The study lasted from June 2013 until March 2014 in Adam Malik General Hospital. And severe head injury patients were included in the study if the onset is less than 48 hours. Selected patients were evaluated based on the findings of the CT scan of the head. The patient was taken to the sampling concecutive way, then blood samples were taken for examination and inspection GFAP serum GFAP cumulative.

Results: The results showed that GFAP levels associated significantly with GCS after resuscitation (r = 0.631, p = 0.0001). The correlation is a negative correlation (r = -0.631, p = 0.0001). If the higher GCS after resuscitation, serum GFAP levels will be even lower.

Conclusions: Levels of GFAP severe head injury patients (11.9 ± 10.52) was significantly higher compared to patients with moderate head injury (1.82 ± 1.60, p = 0.0001). There is a significant correlation between serum GFAP levels with initial GCS after resuscitation (r = -0.631, p = 0.0001).

Keywords : Head injury, GFAP, Astrogliosis, Barthel Index, Glasgow Outcome Scale, Marshall CT Score, Rotterdam CT Score


(14)

ANALISIS KADAR GLIAL FIBRILLARY ACIDIC

PROTEIN DENGAN TINGKAT KEPARAHAN CEDERA

KEPALA DI RSUP H ADAM MALIK

R. Disfahan Yonanda Sinulingga, Iskandar Japardi, Abdul Gofar Sastrodiningrat

Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Abstract

Tujuan: Studi ini

Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik yang menggunakan metode cross sectional. Penelitian ini berlangsung dari Juni 2013 sampai Maret 2014 di Rumah Sakit Umum Adam Malik. Pasien cedera kepala berat dan sedang dilibatkan dalam penelitian ini jika onset kurang dari 48 jam. Pasien yang dipilih dievaluasi berdasarkan pada temuan CT scan kepala. Pasien diambil dengan cara concecutive sampling, kemudian dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan GFAP dan dilakukan pemeriksaan GFAP serum kumulatif.

untuk mengetahui hubungan kadar GFAP serum dengan tingkat keparahan penderita cedera kepala.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar GFAP berhubungan signifikan dengan GCS setelah resusitasi (r=-0,631, p=0,0001). Korelasi yang terjadi merupakan korelasi negatif(r=-0,631, p=0,0001). Jika GCS setelah resusitasi semakin tinggi, kadar GFAP serum akan semakin rendah.

Kesimpulan: Kadar GFAP penderita cedera kepala berat (11,9±10,52) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan penderita cedera kepala sedang (1,82±1,60, p=0,0001). Terdapat korelasi yang signifikan antara kadar GFAP serum dengan GCS awal setelah resusitasi (r=-0,631; p=0,0001).

Kata kunci : Cedera kepala, GFAP, Astrogliosis, Barthel Index, Glasgow Outcome Scale, Skor Marshall, Skor Rotterdam


(15)

GLIAL FIBRILLARY ACIDIC PROTEIN CONTENT

ANALYSIS IN HEAD INJURY SEVERITY IN RSUP H

ADAM MALIK

R. Disfahan Yonanda Sinulingga, Iskandar Japardi, Abdul Gofar Sastrodiningrat

Department ofNeurosurgery, Facultyof MedicineUniversity ofNorth Sumatra

Abstract

Objective: This study was to determine the relationship of serum GFAP levels with severity of head injury patients.

Methods: This study is an analytical study using cross-sectional methods. The study lasted from June 2013 until March 2014 in Adam Malik General Hospital. And severe head injury patients were included in the study if the onset is less than 48 hours. Selected patients were evaluated based on the findings of the CT scan of the head. The patient was taken to the sampling concecutive way, then blood samples were taken for examination and inspection GFAP serum GFAP cumulative.

Results: The results showed that GFAP levels associated significantly with GCS after resuscitation (r = 0.631, p = 0.0001). The correlation is a negative correlation (r = -0.631, p = 0.0001). If the higher GCS after resuscitation, serum GFAP levels will be even lower.

Conclusions: Levels of GFAP severe head injury patients (11.9 ± 10.52) was significantly higher compared to patients with moderate head injury (1.82 ± 1.60, p = 0.0001). There is a significant correlation between serum GFAP levels with initial GCS after resuscitation (r = -0.631, p = 0.0001).

Keywords : Head injury, GFAP, Astrogliosis, Barthel Index, Glasgow Outcome Scale, Marshall CT Score, Rotterdam CT Score


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera kepala traumatik merupakan masalah utama kesehatan dan sosial ekonomi di seluruh dunia (Ghajar, 2000; Cole, 2004). Secara global cedera kepala traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan dewasa muda. Di Amerika Serikat diperkirakan lebih dari 1,9 juta orang mengalami cedera kepala traumatik dimana 50.000 orang diantaranya meninggal akibat cedera yang dialaminya. Walaupun cedera kepala traumatik kebanyakan tergolong sebagai cedera kepala ringan, lebih dari 2% dari populasi di Amerika Serikat diperkirakan mengalami kecacatan akibat cedera kepala traumatik.

Pada negara maju dan berkembang, trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi dibawah usia 45 tahun. Mengingat kebanyakan korban berusia muda maka lebih banyak waktu produktif yang hilang yang diakibatkan oleh trauma daripada penyakit jantung dan kardiovaskuler ataupun dari penyakit kanker (Rockett et al., 1987). Walaupun kebanyakan kematian akibat trauma sebelum masuk rumah sakit adalah akibat cedera dada dan multipel, cedera kepala merupakan penyebab mayoritas kematian akibat trauma setelah masuk rumah sakit. (Demetriades et al., 2004).

Di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, trauma merupakan penyebab penting dalam hal kematian dan kecacatan. Diperkirakan beban ekonomi akibat trauma pada 11 negara di kawasan ASEAN adalah US$ 11 milyar per


(17)

tahun. (Asian Development Bank, 2003). Pada negara-negara ini peralihan yang besar dari populasi pedesaan ke perkotaan dan peningkatan yang cepat dalam penggunaan kendaraan bermotor melampaui upaya dari pencegahan cedera dan terbentuknya pusat-pusat trauma (Murray et al., 1997; Sethi et al., 1999).

Di Indonesia sendiri masih belum tersedia data secara nasional tentang cedera kepala, walaupun demikian cedera kepala merupakan kasus yang sering dijumpai di rumah sakit. Dari data pada tahun 2005, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta terdapat 434 pasien dengan cedera kepala ringan, 315 pasien dengan cedera kepala sedang dan 28 pasien dengan cedera kepala berat, sedangkan di RS Swasta Siloam Gleaneagles terdapat 347 pasien cedera kepala secara keseluruhan (Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal, 2006; Wahjoepramono, 2005). Di Rumah Sakit Atma Jaya (RSAJ), pada tahun 2007, jumlah pasien trauma kepala mencapai 125 orang dari 256 orang pasien rawat inap bagian saraf (Irawan et al., 2010).

Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya yaitu sebagai cedera kepala ringan, sedang, dan berat. Masing-masing cedera kepala tersebut memiliki tantangan medis yang unik. Kasus-kasus cedera kepala ringan seringkali tidak terdiagnosis karena tidak terdeteksi pada imejing otak (Powell et al., 2008). Cedera kepala sedang dan berat lebih jarang terjadi dan relatif lebih mudah untuk dideteksi, tetapi prognosis komplikasi sekunder jangka pendek ataupun progresifitas jangka panjang masih menjadi tantangan. Deteksi dini dan penanganan dari cedera kepala dapat memperbaiki hasil akhir (Powell et al., 2008; Ponsford et al., 2001) dan membantu menurunkan defisit kognitif jangka panjang serta terjadinya penyakit neurologis lainnya (DeKosky et al., 2010).


(18)

Modalitas diagnosis cedera kepala yang banyak digunakan saat ini adalah pemeriksaan klinis dan radiologis (Zink, 2001). Interpretasi pemeriksaan fisik dapat terganggu pada beberapa keadaan seperti intoksikasi alkohol, terapi yang diberikan, atau tidak terdeteksi dengan baik pada kasus cedera multipel. Antikonvulsan dan obat-obatan sedatif merupakan obat yang sering digunakan pada penderita cedera kepala yang dapat mengganggu interpretasi pemeriksaan klinis (Mirski et al, 1995). Banyak penderita cedera kepala ringan dengan GSS 14-15 juga mengalami intoksikasi alkohol dan obat-obatan. Ini tentunya juga akan memengaruhi interpretasi pemeriksaan klinis (Kelly, 1995)

Computed Tomography (CT scan) merupakan modalitas radiologi yang paling banyak digunakan, tetapi sangat terbatas dalam mendeteksi cedera difus.Walaupun cedera kepala ringan dapat menyebabkan disabilitas jangka panjang, trauma ringan sering tidak terdeteksi oleh Ct scan, bahkan oleh MRI. Pada pasien yang dirawat di ICU, follow up dengan radiologi akan sulit dilakukan. MRI dan CT scan juga memiliiki kemampuan terbatas dalam memprediksi hasil akhir (Hanlon et al., 1999). Ada banyak kriteria yang digunakan untuk menilai keparahan CT scan, sistem yang paling banyak dilaporkan adalah skor Marshall yang sudah terbukti mampu memprediksi mortalitas, tetapi tidak dapat memprediksi perbaikan fungsi (Wardlaw, 2002). Sistem ini memiliki beberapa kelemahan mendasar, antara lain variasi inter-observer yang besar. Selain itu sistem ini juga tidak dapat menjelaskan gambaran scan normal pada GCS rendah. Peneliti lain juga melaporkan bahwa penambahan beberapa faktor yang spesifik seperti perdarahan intraventrikular atau perdarahan subarahnoid akan memperbaiki akurasi skor Marshall sebagai faktor prognosis. Karena itu dikembangkanlah suatu sistem baru, skor Rotterdam. Beberapa penelitian


(19)

awal menunjukkan superioritas Rotterdam dibandingkan Marshall, tetapi masih diperlukan validasi lebih lanjut (Maas, 2005).

Karena itu, diperlukan modalitas diagnosis tingkat keparahan cedera kepala yang juga dapat memprediksi hasil akhir. Dalam dekade terakhir, biomarker cedera saraf telah banyak diteliti. Dengan menganalogikan biomarker infark miokard akut, luas kerusakan jaringan otak seharusnya dapat diperkirakan dengan biomarker (Dash et al., 2010).

Walaupun demikian sampai saat ini belum ada biomarker yang diterima oleh U.S.Food and Drug Administration (FDA) untuk diagnosis ataupun prognosis dari cedera kepala, dan mekanisme molekuler dari respon cedera kapala masih sedikit dipahami. Kurangnya pemahaman ini mencerminkan kompleksitas dan keadaan yang multifaktorial dari respon seluler sekunder pada cedera kepala. (Feala et al., 2013) Biomarker yang banyak mendapat perhatian saat ini adalah Neuron Spesific Enolase (NSE), Protein S100B (S100B), dan Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP). Setelah cedera kepala, protein-protein ini akan dilepaskan menuju cairan serebrospinal dan darah. Meskipun demikian, NSE dan S100B tidak spesifik pada kelainan SSP. S100B dilaporkan akan meningkat signifikan setelah fraktur femur bilateral (Pelinka et al., 2003), dan setelah iskemi hepar, lambung dan ginjal (Pelinka et al., 2004). NSE juga dilaporkan meningkat pada keganasan paru dan pada keadaan syok (Pelinka et al., 2005).

GFAP merupakan filamen protein intermediet yang terdapat pada sitoskeleton astroglia dan tidak terdapat diluar SSP. Filamen intermediet berperan membentuk jaringan yang menyokong sel. Untuk membentuk jaringan, bentuk dimer GFAP akan bergabung menjadi sebuah tetramer, yang merupakan sub unit dasar suatu intermediet filamen.


(20)

Pada dasarnya, fungsi GFAP masih belum diketahui sepenuhnya. GFAP berperan pada proses mitosis dengan menyesuaikan jaringan filamen pada sel. Selain itu, GFAP juga berperan dalam interaksi astrosit neuron dan komunikasi antar sel. Jika terjadi cedera otak, astroglia akan bereaksi dengan memproduksi GFAP yang lebih banyak, yang pada akhirnya akan dilepaskan menuju cairan SSP dan darah (Zurek, 2012; Fedora, 2012). GFAP secara eksklusif dianggap diproduksi oleh astrosit, sehingga protein ini spesifik dijumpai di otak.

Pengukuran kualitas hidup dapat menggunakan beberapa parameter, antara lain Glasgow outcome scale dan Barthel index. GOS merupakan suatu skala hasil akhir penderita cedera kepala yang dibagi secara hirarkis, mulai kematian sampai perbaikan total. Ini merupakan salah satu sistem penilaian yang paling banyak digunakan untuk menilai hasil akhir cedera otak akut. (Teasdale, 1998).

Skala Barthel merupakan skala untuk mengukur kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sehari-hari, menggambarkan kemampuan seseorang untuk hidup mandiri setelah pulang dari rumah sakit. Skala ini telah mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari skala 0-10 sampai menjadi 0-100. Skala ini banyak digunakan pada penderita kerusakan saraf, terutama setelah kejadian stroke (Mahoney, 1965).

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, diajukan pertanyaan penelitian “Apakah kadar Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) serum berhubungan dengan tingkat keparahan penderita cedera kepala?”


(21)

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kadar GFAP serum dengan tingkat keparahan penderita cedera kepala

2. Tujuan Khusus

• Mengetahui karakteristik penderita cedera kepala di RSUP H. Adam Malik

Medan

• Mengetahui kadar GFAP serum penderita cedera kepala

• Mengetahui hubungan kadar GFAP serum dengan GCS awal setelah

resusitasi (cedera kepala sedang dan berat)

• Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan

gambaran CT scan menurut skor Marshall

• Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan

gambaran CT scan menurut skor Rotterdam

• Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan

lama rawatan

• Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan

Glasgow Outcome Scale tiga puluh hari pertama

• Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan

Barthel Index tiga puluh hari pertama

• Mengetahui perbandingan kadar GFAP berdasarkan kejadian mortalitas


(22)

D. Manfaat Penelitian

1. Dari peneltian ini, akan didapatkan kadar GFAP serum yang akan memberikan tambahan pengetahuan mengenai patologi cedera kepala

2. Dengan didapatkannya kadar tertentu, klinisi dapat melakukan tindakan yang tepat serta terhindar dari terapi yang berlebihan maupun terapi yang tidak optimal 3. Dengan penanganan pasien yang tepat, dari segi ekonomi akan menurunkan biaya

yang dikeluarkan oleh masyarakat khususnya dan menurunkan beban negara pada umumnya.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Prinsip Dasar Cedera Kepala

Ada dua asumsi yang berkembang sehubungan cedera kepala, yaitu ada suatu cedera biologis yang berkembang beberapa waktu setelah cedera awal terjadi (secondary insult); dan intervensi yang ditujukan langsung pada secondary insult dapat menyebabkan terjadinya perbedaan yang bermakna. Dalam beberapa dekade terkahir kita telah lebih banyak memahami faktor-faktor yang memperburuk hasil akhir setelah cedera kepala, seperti hipotensi dan hipoksia. Sampai saat ini terdapat sejumlah besar penelitian mengenai intervensi yang bertujuan memperbaiki fisiologis sistemik dan intrakranial yang mungkin mengurangi secondary insult, antara lain: pemilihan cairan resusitasi, pengaturan tekanan darah, pengaturan suhu tubuh, pengaturan tekanan intrakranial, parameter oksigenasi, dan teknik ventilasi. Sebagai hasil dari semuanya itu, beberapa institusi telah menerbitkan guidline klinis penanganan cedera kepala (Park, 2008).

Selain penelitian yang disebutkan diatas, terdapat penelitian lain yang bertujuan mengurangi cedera sekunder yang terjadi akibat proses subseluler (mis: toksisitas akibat reactive oxygen species, overstimulasi resptor glutamat, influks kalsium yang berlebihan, dan proses inflamasi yang berlebihan), tapi sampai saat ini belum dapat menghasilkan terapi obat spesifik. Ini kemungkinan terjadi akibat kompleksitas mekanisme cedera sekunder (Park, 2008).


(24)

1. Mekanisme Biologis Dasar

Walaupun cedera primer sudah dapat mengakibatkan kerusakan otak yang bermakna, cedera sekunder dapat memperparah cedera primer secara drastis. Cedera sekunder merupakan reaksi biologis yang multipel, paralel, saling berinteraksi, dan saling tergantung (gambar 1). Secara umum, kerusakan sel saraf akan terjadi berkepanjangan akibat kegagalan sel saraf menghasilkan energi, cedera dan disfungsi glia (pembengkakan astrosit, gangguan ambilan kembali neurotransmiter, dan astrositosis reaktif), inflamasi (invasi mikroglia ke tempat cedera dan pelepasan sitokin proinflamasi), destruksi dan stenosis dari pembuluh darah kecil, eksitotoksisitas dan gangguan homeostasis neuron, dan kerusakan white matter yang progresif (Park, 2008).


(25)

Gambar 1. Jaras utama yang terjadi saat cedera sekunder setelah cedera kepala. Gangguan sirkulasi mikro seperti stenosis (1) dan kerusakan sawar darah otak dapat terjadi akibat pembengkakan astrosit (2). Proliferasi astrosit (astrogliosis, 3) terjadi khas pada cedera SSP. Disfungsi ini menyebabkan kembalinya glutamat yang sulit diambil (4) dan depolarisasi saraf melaluli mekanisme eksitotoksik. Pada cedera white dan gray matter, influks kalsium (5) merupakan kunci dari sejumlah jaras molekuler yang menyebabkan kematian sel. Pada neuron, influks kalsium dan zink melalui channel pada reseptor AMPA dan NMDA menyebabkan eksitotoksisitas (6), pembentukan radikal bebas, disfungsi mitokondria, dan modifikasi reseptor post sinap. Influks kalsium pada akson (7) menyebabkan terjadinya degradasi protein yang menyebabkan diskoneksi akson (8). Sel inflamasi juga dapat menyebabkan cedera sekunder melalui pelepasan sitokin proinflamasi (9) yang berkontribusi pada jaras kematian sel atau modifikasi reseptor post sinap.Sumber: Park (2008).

Astrosit, juga dikenal sebagai astroglia, merupakan sel terbanyak pada SSP. Astrosit merupakan sel yang mengekspresikan GFAP sebagai filamen intermediet. Walaupun awalnya astrosit dianggap hanya berfungsi sebagai tambahan pada jaringan saraf, saat ini diketahui astrosit memiliki peran aktif di otak. Banyak penelitian menunjukkan bahwa astrosit mengkespresikan ion channel, baik ligand-gated maupun voltage-gated (Malarkey, 2008), memiliki fungsi membersihkan neurotransmitter dan ion pada sinaps (Bogen, 2008), serta peranan yang langsung dan aktif pada sinaps (Araque, 2008). Selain itu juga terdapat laporan yang menunjukkan


(26)

bahwa astrosit berperan mengatur fungsi oligodendrogliosit (Ishibashi, 2006) dan sel punca saraf (Petros, 2006).

Tabel 1. Fungsi Astrosit (Ransom, 2012)

Hal Fungsi

Homeostasis

Kalium Uptake atau redistribusi kalium

Neurotransmitter Uptake glutamat

Fungsi pernapasan Mendeteksi pH darah dan memodulasi lepasan neuron

Metabolisme

Siklus glutamat glutamin Sintesis dan melepaskan glutamin

Fungsi ammonium Fiksasi ammonium

Metabolisme glikogen Memecahkan glikogen menjadi laktat Detoksifikasi radikal bebas otak Pengikatan radikal bebas

Sinyal

Interaksi neuron-astrosit yang dimediasi transmitter

Melepaskan transmitter

Pengaturan aliran darah Melepaskan produk siklooksigenase yang dimediasi oleh reseptor glutamat

Pengaturan adenosin Menyesuaikan adenosin melalui adenosin kinase untuk mengatur eksitabilitas

Tropik

Sekresi faktor tropik (bFGF, GDNF) Melepaskan faktor tropic

Pengaturan sinaptogenesis Melepaskan faktorsynaptogenesis Pemandu akson Ekspresi molekul yang menarik akson

Pada beberapa kelainan SSP, astrosit akan bereaksi, menyebabkan pengaktifan astroglia, yang dikenal dengan astrogliosis (Eng, 1994). Astrogliosis ditandai dengan peningkatan filamen intermediet yang disertai dengan hipertrofi dan peningkatan jumlah astrosit. Peningkatan filamen intermediet, terutama GFAP dan vimentin,


(27)

merupakan penanda utama astrogliosis. GFAP merupakan filamen intermediet yang paling utama pada astrosit matur dan memegang peranan penting dalam integritas sitoskeleton astrosit. Peningkatan jumlah GFAP saat astrogliosis sudah terbukti pada beberapa penelitian (Guo, 2007). O’Callaghan (1991) menyatakan bahwa GFAP merupakan penanda astrogliosis yang sensitif dan langsung meningkat setelah cedera. Kadar vimentin, filamen intermediet astrosit yang lain, sangat beragam, mulai dari sangat sedikit sampai minimal, bergantung pada subpopulasi astrosit.

Fungsi astrosit yang reaktif belum diketahui sepenuhnya. Dampak astrogliosis sendiri dilaporkan dapat menguntungkan maupun merugikan. Jika berkepanjangan, astrogliosis akan membahayakan dengan membatasi regenerasi akson, memperlambat perbaikan fungsional, serta menyekresikan senyawa neurotoksik dalam jumlah besar (Araque, 2001).

2. Peranan Astrogliosis Reaktif setelah Cedera SSP a. Perlindungan Neuron

Pada keadaan normal, astrosit mempertahankan homeostasis pada SSP untuk menyokong survival dan fungsi pemrosesan informasi neuron. Setelah aktivasi, astrosit mengeluarkan sejumlah besar molekul yang menguntungkan sel saraf yang sudah cedera dengan mengatur berbagai proses biologis. Trauma (Malhotra, 1997), iskemia (Wakasa, 2009), infeksi (Okamoto, 2005), penyakit saraf (Sofroniew, 2009), dan senyawa kimia (El-Fawal, 2008) telah terbukti dapat memacu terjadinya astrogliosis. Aktivasi astrosit lokal ini terjadi pada seluruh kejadian kerusakan SSP, tanpa dipengaruhi regio otak yang terlibat ataupun jenis sel yang rusak. Meskipun pengetahuan astrogliosis ini telah ada dalam abad terakhir, penanda aktivasi glia


(28)

masih didokumentasi dalam waktu dekat ini. Walaupun kegunaan signifikan dari astrogliosis masih belum jelas diketahui, terdapat pendapat bahwa astrogliosis berperan dalam perbaikan karena segera terjadi dengan setelah cedera otak (Norenberg, 2005). Sebagai contoh fungsi tropik dari astrosit, astrosit yang teraktivasi meningkatkan ekspresi faktor neurotopik, seperti glial-cell-derived neurorhophic factors (GDNF) dan BDNF. Penelitian pada tikus transgenik GFAP-GDNF melaporkan bahwa saat terjadi peningkatan GDNF pada astrosit, terjadi peningkatan jumlah subpopulasi motoneuron tertentu dengan mengurangi kematian sel terprogram saat perkembangannya (Oppenheim, 2000). Astrosit juga diketahui memegang peranan penting dalam mengatur glutamat ekstrasel serta membatasi eksitotoksisitas glutamat terhadap neuron dan sel lainnya (Struzynska, 2009). Karena itu, gangguan aktivitas astroglia potensial memperparah disfungsi sel saraf. Ablasi astrosit reaktif setelah cedera SSP pada tikus transgenik meningkatkan kematian neuron dan memperberat degenerasi jaringan secara signifikan (Myer, 2006).

b. Astrositosis Reaktif dan Sawar Darah Otak

Sawar darah otak merupakan struktur dinamis yang dapat berubah bentuk akibat beberapa faktor, seperti sitokin, faktor angiogenik, toksisitas glutamat, dan stres oksidatif (Weiss, 2009). Astrosit memegang peranan penting untuk mempertahankan sawar darah otak setelah cedera SSP. Ablasi astrosit reaktif setelah cedera SSP akan mengganggu sawar darah otak. Sawar darah otak sendiri terdiri dari beberapa struktur yang dikenal sebagai unit neurovaskular, yang terdiri dari sel endotel dan ujung astrosit yang dipisahkan oleh lamina basal pada permukaannya. Astrosit juga menyekresikan beberapa faktor angiogenik, seperti angiopoietin 1 dan


(29)

neurotropin yang diduga berperan dalam pembentukan kapiler otak baru (Igarashi, 1999). Pada tingkat molekuler, peningkatan ekspresi protein tight junction terlihat disertai dengan adanya faktor yang dihasilkan astrosit (Haseloff, 2005).

c. Astrogliosis Reaktif Menghambat Regenerasi Akson

Aktivasi astrosit yang berkepanjangan akan berefek buruk pada pertumbuhan akson. Astrosit yang mengalami hipertrofi akan menyebabkan penumpukan matriks ekstrasel pada tempat cedera, terutama terdiri dari kondroitin sulfat proteoglikan (Cafferty, 2007) Reaksi ini menyebabkan pembentukan struktur padat yang menghambat regenerasi akson. Jaringan parut yang terbentuk akibat astrogliosis reaktif terjadi akibat proses ini. Peningkatan regenerasi akson terjadi pada tikus transgenik yang mengalami defisiensi GFAP dan vimentin (Menet, 2003). Karena itu, membatasi astrogliosis dapat saja memperbaiki regenerasi akson sesudah cedera saraf.

d. Astrositosis Reaktif Potensial untuk Toksisitas Saraf

Astrosit reaktif dapat menghasilkan sitokin proinflamasi dan sitotoksik yang berbahaya untuk neuron atau oligodendrosit pada otak yang cedera, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut (Oleszak, 1998). Ekspresi nitric oxide synthase meningkat pada astrosit pada beberapa kelainan neurologis. Nitrit oksida yang dihasilkan akan merusak sel saraf, oligodendrosit, dan sel jenis lain (Estevez, 1998). TNF-a juga diekskresikan oleh astrosit reaktif setelah cedera otak. Jika astrogliosis dihambat dengan obat-obatan secara in vivo, produksi sitokin akan berkurang dan cedera saraf akan dihambat.


(30)

Astrogliosis dilaporkan berhubungan dengan durasi kerusakan sel saraf pada otak dan diyakini menjadi komponen dasar dari berbagai keadaan patologis sel saraf, termasuk epilepsi (Miyazaki, 2003), multipel sclerosis (Lycke, 1998), amyotrophic lateral sclerosis(Ferri, 2004), infeksi HIV (Sporer, 2005), stroke (Hayazakawa, 1979), dan iskemia otak (Zhu, 2007). Cedera saraf akibat cedera otak akut juga berhubungan erat dengan terjadinya astrogliosis.

B. Glial Fibrillary Acidic protein (GFAP) 1. Fisiologi GFAP

GFAP merupakan protein yang terintegrasi pada sitoskeleton astrosit (Petzold et al., 2004). GFAP secara eksklusif dianggap diproduksi oleh astrosit, sehingga protein ini spesifik dijumpai di otak (Vissers et al., 2006). Pada astrosit normal, GFAP diekspresikan sebagai protein monomer non solubel yang terdiri dari 432 asam amino dengan berat molekul 49,8 kDa-53 kDa. Monomer GFAP dapat bergabung membentuk polimer yang berperan sebagai unit struktural yang penting pada sitoskeleton astrosit (Petzold et al., 2004).

2. Patofisiologi GFAP

Saat astrosit mati, polimer GFAP akan hancur membentuk fragmen larut dengan berat molekul 41 kDa yang akan dilepaskan pada cairan interstisial di sekitarnya (Petzold et al., 2004). Peningkatan kadar GFAP pada cairan serebrospinal terjadi pada beberapa kelainan SSP (Wunderlich et al., 2006), termasuk cedera kepala (Vissers et al., 2006). GFAP juga ditemukan pada darah perifer saat kerusakan otak


(31)

(Korfias et al., 2009). Kadar GFAP serum penderita trauma multipel tanpa cedera kepala ditemukan normal (Hergenroeder et al., 2008). Ini menggambarkan spesifitas GFAP pada otak.

Pada kasus stroke iskemik, GFAP memasuki aliran darah dari cairan serebrospinal melalui peningkatan perbedaan konsentrasi CSF dan darah. Pada kasus stroke iskemik berat, sawar darah otak akan rusak perlahan karena jaringan mati.

Sebaliknya, pada stroke hemoragik, terjadi kerusakan sawar darah otak, sehingga GFAP dalam jumlah besar memasuki sirkulasi (Foerch et al., 2006). Pada trauma kepala mekanisme masuknya GFAP ke dalam aliran darah dan waktu terjadinya peningkatan GFAP masih belum diketahui secara pasti.

Seluruh penelitian menggambarkan bahwa kadar GFAP akan memuncak dalam 1-2 hari setelah cedera kepala berat dan tetap bertahan diatas normal sampai beberapa hari sesudah trauma (tabel 2). Meskipun demikian, Nylen et al. melaporkan bahwa pada pasien yang meninggal kadar GFAP akan memuncak dibawah dua belas jam (Nylen et al., 2010).

Sejumlah penelitian dalam skala kecil telah mencoba menggambarkan peran GFAP sebagai alat untuk mendiagnosis dan mengetahui prognosis cedera kepala. Peneltian- penelitian ini dirangkum dalam tabel 3. Seperti yang terlihat pada tabel 2 hanya 6 uji klinis yang meneliti peran GFAP sebagai penentu prognosis. Seluruh penelitian tersebut memiliki jumlah sampel yang kecil dan terdapat perbedaan signifikan nilai cut off yang digunakan. Meskipun demikian, seluruh penelitian yang ada menggambarkan potensi GFAP sebagai alat penentu prognosis cedera kepala.


(32)

Tabel 2. Penelitian sebelumnya mengenai GFAP pada trauma kepala Penelitian Populasi Waktu pengumpulan

sampel Kadar puncak GFAP Durasi peningkatan kadar GFAP Honda et al., 2010 18 penderita

cedera kepala, 16 non cedera kepala

< 3 jam, hari ke 2 dan 3

Hari 1 Hari 1-3

Lumpkins et al., 2008

51 penderita trauma dalam 24 jam cedera (39 dengan cedera kepala, 12 tanpa cedera kepala)

Hari 1 dan 2 Hari 1 Hari 1-2

Nylen et al., 2006 59 penderita cedera kepala berat, 14 kontrol

Hari 0-14 Hari pertama

pada kebanyakan pasien Penurunan bertahap selama 1-2 minggu dengan perbedaan antarpasien yang signifikan

Pelinka et al., 2004

101 penderita cedera kepala dengan atau tanpa trauma multipel; kontrol : 3 orang penderita trauma multipel dalam 12 jam pertama

< 12 jam; setiap hari selama 22 hari pertama

Penderita yang tidak bertahan hidup; < 12 jam; penderita yang bertahan hidup; 12-36 jam Penderita yang tidak bertahan hidup 85-108 jam setelah cedera; penderita yang bertahan hidup; 61-84 jam sesudah trauma

Wiesmann et al., 2010

38 penderita cedera kepala berat, 12 penderita cedera kepala sedang, 10 penderita cedera kepala ringan

Hari 1 dan 2 Hari 1 Hari 1

Penelitian yang menilai GFAP sebagai alat diagnostik sampai hari ini hanya ada satu, dengan jumlah sampel yang sangat sedikit dan desain penelitian case control retrospective.


(33)

C. Peran GFAP pada cedera kepala 1. Prognostik Cedera Kepala

Pada kebanyakan penelitian yang ada, tingkat keparahan cedera dinilai dengan GCS, Injury Severity Score (ISS), skor Marshall, efek massa dari lesi, tekanan intrakranial (TIK), tekanan perfusi otak (cerebral perfussion pressure, CPP), dan mean arterial pressure (MAP). Hasil akhir dinyatakan dalam GOS dan survival. Nilai cut off GFAP ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya atau menggunakan kurva ROC.

Pelinka et al. (2004), menunjukkan kadar GFAP berhubungan dengan tingkat keparahan cedera kepala dan hasil akhirpasien. Dalam penelitian yang melibatkan 101 penderita cedera kepala (rata-rata GCS 6) penulis menemukan bahwa kadar GFAP akan meningkat pada keadaan klinis berupa : volume massa > 25 cc (p<0,005); TIK > 25 mmHg, CPP < 60 mmHg, MAP <60 mmHg (p<0,0005). Kadar GFAP serum juga meningkat dengan signifikan pada penderita yang tidak bertahan hidup (p<0,005). Pada penderita trauma multipel tanpa cedera kepala, kadar GFAP serum tetap normal.

Nylen et al. (2006), menunjukkan hubungan antara peningkatan kadar GFAP dengan hasil akhirpasien yang jelek pada 59 penderita cedera kepala. Kadar GFAP meningkat pada 98% penderita cedera kepala dengan nilai sampai sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan normal. Kadar GFAP memuncak dalam satu hari sesudah cedera kepala dan kemudian kembali ke normal dalam satu sampai dua minggu. Penderita dengan hasil akhir yang lebih buruk mengalami peningkatan GFAP yang signifikan dibandingkan dengan penderita dengan hasil akhiryang lebih baik. Terdapat lima pasien dengan peningkatan kadar GFAP sampai seratus kali lebih besar yang seluruhnya meninggal.


(34)

Tabel 3. Penelitian GFAP Penelitian Desain

penelitian Subjek penelitian Kelompok kontrol Nilai deteksi minimal Nilai normal

Nilai cut off

GFAP

Sumber nilai cut off

Studi GFAP sebagai marker diagnosis Honda et al., 2010 Retrospektif: studi longitudinal 18 pasien dengan cedera kepala 16 pasien tanpa cedera kepala

0,1 - - -

Studi GFAP sebagai marker prognosis Lumpkins et al., 2008 Prospektif: Studi observasional 39 pasien cedera berat yang terdiagnosa cedera kepala secara radiologis 12 pasien cedera berat tanpa cedera kepala

- - 0,001 Kurva ROC

menggunakan CT scan sebagai

gold standard

diagnosis cedera kepala

Vos et al., 2010

Prospektif, observasional

79 penderita cedera kepala (57 CKB, 22 CKS)

- - 0,04 1,5 Berdasarkan

penelitian sebelumnya Wiesmann et al., 2010 Prospektif, longitudinal 60 penderita cedera kepala (14 orang dengan cedera multipel)

- 0,01 0,006 ±

0,01

- Kadar orang

sehat didapat dari 70 orang sehat Nylen et al., 2006 Prospektif, longitudinal 59 penderita CKB

- 0,0625 0,15 6,96 untuk hasil akhir yang buruk, 15,04 untuk mortalitas Berdasarkan rentang pada GFAP penderita yang meninggal dan penderita dengan hasil akhir yang jelek Pelinka et al., 2004 Prospektif, longitudinal 101 penderita cedera kepala dengan atau tanpa cedera multipel 13 penderita trauma multipel tanpa cedera kepala

0,03 0,3 0,3 Data pabrik

Vos et al., 2004

Prospektif, longitudinal

85 penderita CKB

- - 0,49 1,5

Lumpkins et al. (2008), melaporkan bahwa GFAP merupakan suatu prediktor mortalitas yang kuat pada kasus trauma kepala. Dalam penelitiannya, mereka melakukan pengukuran kadar GFAP pada 39 orang penderita cedera kepala (GCS 6 ±


(35)

3) dan dua belas orang penderita trauma tanpa cedera kepala saat masuk ke IGD dan dua hari setelah kecelakaan. Peningkatan kadar GFAP pada hari kedua merupakan prediktor mortalitas yang signifikan, dengan odds ratio 1,45. Dengan menggunakan nilai cut off sebesar 0,001 μg/L, spesifisitas mencapai 100 % dan sensitifitas sebesar 50-60 %.

Pelinka et al. (2004), membandingkan GFAP dan S100B serum sebagai prediktor mortalitas pada 92 orang penderita cedera kepala berat. Kadar kedua biomarker ini meningkat pada penderita yang tidak bertahan hidup, namun terdapat perbedaan pola peningkatan. Kadar GFAP serum penderita dengan GOS 4-5 lebih rendah dibandingkan dengan penderita GOS 2-3 (p<0,05), sementara kadar S100B kedua kelompok tersebut sama. Kedua biomarker tersebut ditemukan lebih rendah pada pasien dengan GOS 4-5 dibandingkan dengan pasien GOS 1 (p<0,0005). Perbedaan pola peningkatan kedua biomarker tersebut juga terlihat sehubungan dengan klasifikasi CT scan menurut Marshall. Kadar GFAP penderita dengan diffuse injury grade II lebih rendah dibandingkan diffusse injury grade IV (p<0,0005), sementara kadar S100B penderita dengan diffuse injury grade III lebih rendah dibandingkan penderita diffuse injury grade IV (p<0,005). Korelasi antara GFAP dan S100B ditemukan lebih kuat saat 37-108 jam setelah trauma kepala (r=0,75) dibandingkan 12-36 jam setelah trauma (r=0,58) dan < 12 jam (r=0,42). Muncul hipotesis bahwa peningkatan GFAP dan S100B menggambarkan kejadian patologis yang berbeda.

Vos et al. (2004), mengukur kadar GFAP, S100B, dan NSE pada 85 orang penderita cedera kepala berat dalam 36 jam pertama. Kadar ketiga biomarker tersebut meningkat pada penderita cedera kepala dibandingkan kontrol orang normal. Peningkatan ketiga kadar biomarker tersebut juga ditemukan pada penderita cedera


(36)

kepala dengan hasil akhir buruk (GOS 1-3) dibandingkan penderita dengan hasil akhir yang baik (GOS 4-5) saat enam bulan setelah trauma. Dengan menggunakan nilai cut offsebesar 1,5 μg/L, sensitifitas dan spesifisitas GFAP untuk memprediksi mortalitas mencapai 85% dan 52% dengan possitive predictive value (PPV) sebesar 46 % dan negative predictive value (NPV) sebesar 88 %. Untuk memprediksi hasil akhir yang buruk, sensitifitas dan spesifisitas GFAP ditemukan sebesar 80% dan 59% dengan PPV sebesar 65% dan NPV sebesar 77%. Pada analisis multivariat, GFAP merupakan prediktor yang paling kuat dalam memprediksi hasil akhir.

Vos et al. (2010), mengukur kadar GFAP dan S100B pada 79 orang penderita cedera kepala, 22 orang dengan cedera kepala sedang (GCS 9-12) dan 57 orang penderita cedera kepala berat (GCS 3-8). Kadar kedua biomarker pada penderita yang meninggal lebih tinggi dibandingkan penderita yang bertahan hidup (p<0,001) dengan peningkatan GFAP sebesar 33,4 kali lipat dan S100B sebesar 2,1 kali lipat. Analisis multivariat menunjukkan bahwa prediktor kematian yang baik adalah GFAP, S100B, volume perdarahan, dan refleks pupil.

Weismann et al. (2010), melakukan pengukuran kadar GFAP dan S100B pada 60 orang penderita cedera kepala (sepuluh orang penderita cedera kepala ringan, 12 orang penderita cedera kepala sedang, dan 38 orang penderita cedera kepala berat dalam 24 jam setelah trauma. GFAP memiliki korelasi yang terkuat dengan GOS jika diukur dalam enam jam setelah trauma (r=0,43; p<0,01). Namun, kadar GFAP menurun dengan cepat. Jika pengambilan sampel dilakukan antara tujuh sampai 24 jam setelah trauma, korelasi dengan GOS akan semakin lemah (r=0,29; p=0,20).

Sebagai kesimpulan, seluruh penelitian yang ada menggambarkan GFAP potensial memiliki kegunaan klinis dalam menggambarkan keparahan cedera kepala


(37)

dan hasil akhir pasien, termasuk memprediksi mortalitas meskipun penelitian yang ada terbatas dengan jumlah sampel yang sedikit

2. GFAP Sebagai Alat Diagnostik Cedera Kepala

Seluruh penelitian di atas dilakukan pada penderita yang sudah didiagnosis dengan cedera kepala. Karena itu menentukan peran GFAP dalam mendiagnosis cedera kepala sulit dilakukan. Honda et al. (2010), melakukan pengujian terhadap GFAP, S100B dan NSE dalam peranannya sebagai alat diagnosis pada suatu penelitian retrospektif dalam skala kecil. Dalam penelitiannya, cedera kepala ditegakkan berdasarkan CT scan. Terdapat 34 orang penderita trauma, delepan belas orang didiagnosis dengan cedera kepala dan enam belas orang tanpa cedera kepala. Serum dikumpulkan saat pasien masuk, pada hari kedua serta hari ketiga. Kadar ketiga biomarker tersebut meningkat pada penderita cedera kepala saat pengambilan pada hari kedua (p<0,001 untuk GFAP, p<0,015 untuk S100B, p<0,025 untuk NSE). Pada hari ketiga, peningkatan signifikan hanya ditemukan pada GFAP dan NSE (p<0,001 dan p<0,01), tetapi pada hari pertama, hanya GFAP yang mengalami peningkatan signifikan (p<0,001). Pada hari pertama, sensitifitas ketiga biomarker mencapai 100%, tetapi spesifisitas ketiganya berbeda. Spesifisitas GFAP mencapai 88,9%, S100B 27,8%, dan spesifisitas NSE sebesar 22,2%. Meskipun demikian penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan sampel sedikit, sehingga perlu dilakukan penelitian dalam skala yang lebih besar.


(38)

BAB III

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

PENELITIAN


(39)

B. Kerangka Konsep

C. HIPOTESIS 1. Hipotesis Mayor

Kadar GFAP serum berhubungan dengan tingkat keparahan cedera kepala

2. Hipotesis Minor

a. Kadar GFAP serum berhubungan dengan GCS awal setelah resusitasi b. Kadar GFAP serum berhubungan dengan gambaran CT scan menurut

kriteria Marshall

c. Kadar GFAP serum berhubungan dengan gambaran CT scan menurut kriteria Rotterdam

d. Kadar GFAP serum berhubungan dengan lama rawatan

e. Kadar GFAP serum berhubungan dengan Glasgow Outcome Scale tiga puluh hari setelah cedera

f. Kadar GFAP serum berhubungan dengan Barthel Index tiga puluh hari setelah cedera

g. Terdapat perbedaan kadar GFAP serum berdasarkan kejadian mortalitas.

GFAP Serum

GCS awal setelah resusitasi Lama rawatan

Hasil CT Scan

• Skor Marshal

• Skor Rotterdam

Mortalitas GOS


(40)

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan potong lintang (cross sectional).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dimulai dari Juni 2013 sampai Maret 2014. Tempat penelitian adalah Departemen Ilmu Bedah Saraf RSUP H. Adam Malik Medan

C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Target

Populasi yang dilakukan generalisasi/inferensialnya yaitu seluruh penderita cedera kepala sedang dan berat.

2. Populasi Terjangkau

Kumpulan dari satuan/unit yang dilakukan pengambilan sampel penelitian, yaitu penderita cedera kepala sedang dan berat yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan.

3. Sampel Penelitian

Bagian dari populasi terjangkau yang diambil untuk dilakukan pengukuran, yaitu penderita cedera kepala sedang dan berat yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan. Sampel penelitian diambil dengan cara concecutive sampling dengan penetapan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.


(41)

D. Kriteria Sampel Penelitian 1. Kriteria Inklusi

a. Seluruh penderita cedera kepala sedang dan berat yang diterapi konservatif

b. Usia penderita 17-65 tahun c. Onset kejadian ≤ 48 jam 2. Kriteria Ekslusi

a. Penderita dengan cedera multipel b. Penderita hamil

c. Penderita dengan riwayat kelainan darah sebelumnya

d. Penderita dengan komorbid yang akan mempengaruhi hasil akhir, seperti : diabetes melitus, gagal ginjal kronis, dan gagal hati

E. Besar Sampel Penelitian

Besar sampel dihitung berdasarkan rumus korelasi koefisien menggunakan transformasi z (Lachin, 1981), sebagai berikut:

Zα : 1,64 (α = 5%) Zβ : 0,84 (β = 20%)

P : korelasi berdasarkan literatur sebelumnya = 0,43 (Weismann et al., 2010)


(42)

F. Alur Penelitian

G. Cara Kerja

1. Identifikasi pasien cedera kepala sedang dan berat dengan onset kejadian ≤ 48 jam.

2. Kemudian terhadap pasien diberikan penanganan sesuai dengan strandar Advance Trauma Life Support (ATLS), yaitu dengan memastikan patensi airway, breathing, dan circulation. Setelah itu dilakukan penilaian disability, yaitu dengan menilai tingkat kesadaran pasien (dalam GCS).

3. Kemudian dilakukan secondary survey yang dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologi

Penderita cedera kepala sedang & berat

Penanganan cedera kepala secara komprehensif

Seleksi pasien berdasarkan kriteria inklusi & eksklusi

Informed concent

Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan GFAP

Pemeriksaan GFAP serum kumulatif


(43)

4. Pemeriksaan laboratorium standar yang dilakukan adalah darah rutin, elektolit darah (natrium, kalium, klorida), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati (SGOT, SGPT), fungsi ginjal (ureum, kreatinin), Skrining fungsi pembekuan darah (PT,INR, aPTT, TT), dan analisa gas darah. Pemeriksaan radiologi standar yang dilakukan adalah X-ray servikal lateral, thoraks antero posterior, pelvik antero posterior, dan CT scan kepala. Alat CT scan yang digunakan adalah merk Hitachi seri W 450. Baik pemeriksaan laboratorium maupun radiologis dapat saja bertambah jika diperlukan.

5. Dilakukan penilaian CT Scan kepala menurut kriteria Marshall dan Rotterdam oleh peneliti dan di konfirmasi oleh seorang ahli bedah saraf.

6. Pasien dengan cedera multipel disingkirkan melalui pemeriksaan fisik pada saat melakukan secondary survey dan pemeriksaan penunjang baik laboratorium maupun radiologi.

7. Serum seluruh pasien yang masuk dalam kriteria inklusi diambil dan kemudian dikumpulkan untuk pemeriksaan secara kumulatif.

8. Darah pasien yang diambil sebanyak 6 cc dengan memakai jarum 20 G dari Vena mediana cubiti oleh seorang petugas laboratorium Patologi Klinik RS H. Adam Malik. Darah pasien dibiarkan membeku selama 10-15 menit kemudian disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 2000 putaran tiap menit (Eppendorf 5702). Serum yang terbentuk kemudian dimasukkan ke dalam aliquot. Tabung aliquot kemudian ditandai dengan nama dan kode pasien, kemudian dikumpulkan dalam lemari beku pada suhu -20 oC untuk diperiksa secara kumulatif (Sanyo Biomedical Freezer MDF-U730 Upright Laboratory). Persiapan dan penyimpanan sampel dilakukan di laboratorium klinik RS H. Adam Malik.


(44)

9. Kemudian dilakukan penanganan terhadap cedera kepala sesuai dengan protokol di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU.

a. Cedera Kepala Sedang

1) Pemberian antibiotika intravena golongan sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone) sebagai terapi empiris dan kemudian disesuaikan dengan kultur.

2) Pemberian analgetik Non Steroid Anti Inflammatory Drug (NSAID) intravena. Pada penelitian ini digunakan ketolorac intravena dengan dosis 30 mg setiap 8 jam.

3) Pemberian antipsikotik bila diperlukan sebagai penenang, seperti Haloperidol atau Chlorpromazine intravena

4) Pemberian Mannitol 20% secara bolus dengan dosis 0,5-1 gram dalam 10 menit. Sebelumnya dilakukan pemeriksaan osmolaritas serum dengan batas maksimal 320 mmol/l untuk mencegah gagal ginjal. Osmolaritas dihitung berdasarkan kadar ureum, elektrolit, dan kadar gula darah sewaktu.

5) Pemberian Gastric Mucosal Protector dan Acid Supressor Agent dengan H2 Blocker, PPI (proton Pump Inhibitor) dan gastric mucosal protector. 6) Pemberian Phenytoin intravena sebagai profilaksis kejang. Phenytoin

diberikan dengan dosis 100 mg setiap 8 jam intravena.

7) Nutrisi diberikan sesegera mungkin dengan target 120% dari BMR dengan kebutuhan protein 1,5 gram/kgBB. Diet diberikan dalam bentuk makanan cair melalui selang nasogastrik, empat sampai lima kali sehari.

8) Head up kepala 30

9) Tindakan operasi dilakukan pada pasien yang memenuhi indikasi operasi menurut Brain Traumatic Foundation (BTF, 2007). Pasien tersebut juga


(45)

mendapat perlakukan medikamentosa yang sama dengan pasien yang dirawat konservatif

b. Cedera Kepala Berat

1) Tekanan darah dipertahankan pada keadaan sistol > 90 mmHg serta oksigenasi dipertahankan pada keadaan PaO2 >60 mmHg dan saturasi oksigen > 98 %.

2) Pemberian Mannitol 20% dengan dosis 0,5-1 gr/kgBB secara bolus dalam 10 menit

3) Dilakukan intubasi; diberikan antibiotik profilaksis sesuai pola kuman di Unit Perawatan Intensif RSHAM. Antibiotik empiris yang diberikan adalah Ceftriaxone dengan dosis 1 gram setiap 12 jam. Antibiotik akan diganti jika hasil kultur sensitivitas mengacu pada antibiotik lain.

4) Pemasangan kateter vena sentral dan pengukuran tekanan vena sentral dengan target 8-12 cmH2O pada penderita dengan ventilator dan 5-8 cmH20 pada penderita tanpa ventilator

5) Sedasi dilakukan dengan kombinasi fentanyl intravena (0,5-1,5 μg/kg/jam) dengan propofol (1,5-6 mg /kg/jam).

6) Analgetik yang diberikan adalah fentanyl intravena dengan dosis awal 0,3-3,5 mg dilanjutkan dengan 1-2 μg/kg/jam.

7) Relaksan yang diberikan adalah atracurium dengan dosis 0,5-1 mg/kg/jam 8) Pemberian Phenytoin intravena sebagai profilaksis kejang. Phenytoin

diberikan dengan dosis 100 mg setiap 8 jam intravena. 9) PaCO2 dipertahankan pada 35-40 mmHg

10) Pemberian Low-molecular-weight heparin (LMWH) untuk mencegah trombosis vena dalam.


(46)

11) Pada penderita yang sudah terintubasi lebih dari tujuh hari, dilakukan trakeostomi.

12) Nutrisi diberikan sesegera mungkin dengan target 120% dari BMR dengan kebutuhan protein 1,5 gram/kgBB. Diet diberikan dalam bentuk makanan cair melalui selang nasogastrik, empat sampai lima kali sehari. 13) Head up kepala 30

14) Tindakan operasi dilakukan pada pasien yang memenuhi indikasi operasi menurut Brain Traumatic Foundation (BTF, 2007). Pasien tersebut juga mendapat perlakukan medikamentosa yang sama dengan pasien yang dirawat konservatif

0

10. Ada tidaknya indikasi operasi dinilai dengan guidelineBTF (2007) :

Tabel 4. Indikasi Operasi pada Perdarahan Intrakranial (Gteenberg, 2012)

Jenis Perdarahan Indikasi Operasi

Perdarahan Epidural • Volume >30 cc

• GCS < 9 dengan pupil anisokor Perdarahan Subdural • Ketebalan perdarahan >10 mm • Pergeseran garis tengah > 5 mm • Penurunan GCS > 2 point • ICP > 20 mmHg

Perdarahan Intraserebral

• Volume > 50 cc.

• GCS 6-8 dengan volume > 20cc dengan pergeseran garis tengah dan atau penekanan sisterna basal

11.Setelah jumlah sampel terpenuhi, dilakukan pengukuran kadar GFAP secara kumulatif. Analisis dilakukan di laboratorium Patologi Klinik RS H. Adam


(47)

Malik Medan. GFAP serum diukur secara kuantitatif dengan metode Enzyme Linked Immune-Sorbent Assay (ELISA)

12.Hasil akhir yang dinilai antara lain mortalitas, lama rawatan, dan Glasgow outcome scale (GOS) serta Barthel index satu bulan setelah cedera. Penilaian dilakukan dengan teknik wawancara melalui telefon atau saat subjek penelitian datang ke poliklinik.

H. Batasan Operasional 1. Kadar GFAP serum

a. Definisi : kadar GFAP serum pasien cedera kepala yang diambil dalam 48 jam pertama setelah onset cedera

b. Alat ukur : pemeriksaan kuantitatif dengan metode Enzyme Linked Immune-Sorbent Assay (ELISA) menggunakan Chemwell 2910 (Awareness Technology, Inc). Reagensia yang digunakan untuk pemeriksaan adalah Human GFAP Enzyme Immunoassay Kit produksi SPI-Bio (Prancis) dengan nomor katalog 10007621, Lot: 0455415-1, kadaluarsa pada 31 Juni 2014. Minimum detectable dose untuk GFAP pada reagnesia ini adalah kurang dari 0,045 ng/mL dengan coefficient of variation (CV) intra-assay 6,4% dan inter-assay 6,1%.

c. Cara ukur :

Persiapan Sampel

Serum atau plasma diencerkan menggunakan buffer EIA dengan perbandingan 1:3 (mis. 100 µL sampel dengan 200 µL buffer EIA).


(48)

Persiapan reagnesia

Larutan GFAP standar dicampurkan dengan X µL buffer standar, sesuai tabel di bawah. Keduanya dibiarkan larut selama setidaknya 15 menit dengan mengaduknya lembut pada suhu kamar. Konsentrasi yang terbentuk adalah seperti tabel 5.

Larutan GFAP Standar

Tabel 5. Perhitungan konsentrasi sampel

Volume standar (µL) Jumlah buffer standard Konsentrasi 300 µL

SI

450 µL S2 (10

ng/mL) 300 µL

S2

300 µL S3 (5

ng/mL) 300 µL

S3

300 µL S4 (2,5

ng/mL) 300 µL

S4

450 µL S5 (1

ng/mL) 300 µL

S5

300 µL S6 (0,5

ng/mL) 300 µL

S6

300 µL S7 (0,25

ng/mL)

Diluen standar yang terbentuk ditambahkan buffer standar dengan konsentrasi 1:3 sebelum digunakan (mis. 100 µL sampel dengan 200 µL buffer EIA).


(49)

Larutan quality control sebesar X µL dicampurkan dengan aquabides. Volume X tertera pada vial larutan quality control yang ada. Larutan yang terbentuk kemudian juga diencerkan dengan buffer EIA dengan konsentrasi 1:3 (100 µL quality control dengan 200 µL buffer EIA).

Quality Control

Wash buffer sebanyak 100 mL diencerkan sampai 1000 mL menggunakan aquabides.

Wash buffer

Prosedur Pemeriksaan

Seluruh sampel dan reagnesia diperiksa dalam suhu ruangan. Larutan standar GFAP, larutan standar, larutan quality control, dan sampel masing-masing dimasukkan ke dalam sumur piringan sebesar 100 µL.

Mengambil Reagensia

Inkubasi Piringan

- Piring pemeriksaan kemudian ditutup dengan lapisan penutup dan diinkubasi dalam suhu ruangan selama dua jam, diaduk dengan kecepatan 300 rpm.

- Setiap sumur kemudian dibilas tiga kali dengan wash buffer (350 µL/sumur). Piringan kemudian sedikit diaduk selama lima menit dan dikeringkan dengan membalik piringan pada kertas penyerap.

- Kemudian dilakukan penambahan antibodi anti GFAP dengan label biotin sebanyak 100 µL pada setiap sumur


(50)

- Piringan ditutup dengan lapisan penutup dan diinkubasi pada suhu ruangan selama satu jam, diaduk pada kecepatan 300 rpm.

- Setiap sumur kemudian dibilas tiga kali dengan wash buffer (350 µL/sumur). Piringan kemudian sedikit diaduk selama lima menit dan dikeringkan dengan membalik piringan pada kertas penyerap.

- Kemudian ditambahkan 100 µL streptavidin-HRP tracer ke setiap sumur

- Piringan ditutup dengan lapisan penutup dan diinkubasi pada suhu ruangan selama satu jam, diaduk dengan kecepatan 300 rpm

- Setiap sumur kemudian dibilas tiga kali dengan wash buffer (350 µL/sumur). Piringan kemudian sedikit diaduk selama lima menit dan dikeringkan dengan membalik piringan pada kertas penyerap.

Pembacaan Hasil

- 100 µL larutan substrat dimasukkan ke dalam 96 sumur dan diinkubasikan pada kamar gelap dengan suhu ruangan selama 10-15 menit. Paparan langsung terhadap cahaya matahari harus dihindari. Piringan ditutup dengan aluminium foil

- Kemudian dilakukan penambahan 100 µL stop solution ke dalam setiap sumur

- Piring dibaca pada panjang gelombang 450 nm lima menit setelah penambahan stop solution.


(51)

2. GCS awal setelah resusitasi

a. Definisi : merupakan tingkat kesadaran penderita cedera kepala setelah dilakukannya resusitasi (stabilisasi patensi airway, breathing dan circulation) yang dinillai berdasarkan Glasgow Coma Scale (Teasdale et al., 1974).

b. Alat ukur : Glasgow Coma Scale (GCS)

c. Cara ukur : Penilaian dengan GCS memiliki tiga komponen, yaitu respon buka mata, respon mortorik, dan respon verbal. GCS merupakan penjumlahan dari ketiga komponen tersebut (tabel 6).

Tabel 6. Glasgow Coma Scale (Teasdale, 1972)

A Respon buka mata Nilai

Spontan 4

Atas perintah / suara 3

Rangsangan nyeri 2

Tidak ada 1

B Respon motorik Nilai

Menurut perintah 6

Melokalisir nyeri 5

Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4

Fleksi abnormal (dekortikasi) 3

Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2

Tidak ada (flaksid) 1

C Respon bicara Nilai

Berorientasi baik 5

Berbicara meracau / bingung 4

Kata-kata tidak teratur 3

Suara tidak jelas 2


(52)

Berdasarkan GCS, penderita kemudian dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok cedera kepala sedang (GCS 9-13), dan kelompok cedera kepala berat (GCS 3-8)

d. Skala ukur : skala nominal (variabel kategorik).

3. Lama rawatan

a. Definisi : lamanya penderita dirawat, mulai masuk rumah sakit sampai pulang berobat jalan atau meninggal.

b. Alat ukur : kalender Masehi

c. Cara ukur : menghitung secara manual jumlah hari rawatan d. Skala ukur : numerik

4. Hasil CT scan

a. Definisi : gambaran CT scan penderita cedera kepala, b. Alat ukur :

i. Skor Marsall ii. Skor Rotterdam

c. Cara ukur :


(53)

Tabel 7. Skor Marshall (Marshall, 1992)

Kategori Definisi

1 Tidak ada lesi intrakranial

2 Adanya lesi bervolume < 25 cc dengan sisterna basal yang terbuka dan pergeseran garis tengah 0-5 mm

3 Adanya lesi bervolume < 25 cc dengan sisterna basal yang tertekan dan pergeseran garis tengah 0-5 mm

4 Adanya lesi bervolume < 25 cc dengan pergeseran garis tengah > 5 mm

ii. Skor Rotterdam Tabel 8. Skor Rotterdam. (Maas, 2005)

Skor Sisterna basal

Normal 0

Tertekan 1

Tertutup 2

Pergeseran garis tengah

0-5 mm 0

> 5 mm 1

Lesi epidural

Ada 0

Tidak ada 1

Perdarahan intraventrikel atau subarahnoid

Ada 0

Tidak ada 1

Penambahan Skor +1

d. Skala ukur : Numerik 5. Mortalitas tiga puluh hari pertama


(54)

a. Definisi : kematian subjek penelitian dalam tiga puluh hari pertama setelah kecelakaan, termasuk kematian batang otak (brain death)

b. Alat ukur : kalender masehi

c. Cara ukur : kematian ditegakkan setelah terjadi henti nafas dan henti jantung pada subjek penelitian. Kematian batang otak dimasukkan ke dalam batasan operasional kematian yang ditegakkan berdasarkan kriteria American Academy of Neurology (Lampiran 8; 1994)

d. Skala ukur : Skala nominal (variabel kategorik).

6. Glasgow Outcome Scale (GOS)

a. Definisi : hasil akhir penderita yang dinilai berdasarkan GOS b. Alat ukur : tabel GOS (Lampiran 7)

c. Cara ukur : penilaian dilakukan dengan wawancara, disesuaikan dengan kriteria menurut GOS

d. Skala ukur :numerik

7. Barthel Index

a. Definisi : kemampuan penderita melakukan aktivitas sehari-hari berdasarkan Barthel Index

b. Alat ukur : tabel Barthel Index (lampiran 6)

c. Cara ukur : penilaian dilakukan dengan wawancara, disesuaikan dengan kriteria menurut Barthel. Barthel Index berkisar antara 0-100, kemudian dikelompokkan menjadi empat kelompok, seperti pada tabel 9.

d. Skala ukur : ordinal


(55)

Skor Interpretasi

0-20 Ketergantungan total

21-60 Ketergantungan Berat

61-90 Ketergantungan Sedang

91-99 Ketergantungan Ringan

100 Mandiri

I. Analisis Data

Variabel kategorik dianalisis dalam bentuk frekuensi dan persentase yang disajikan baik dalam bentuk tabel maupun grafik. Analisis deskriptif variabel numerik dilakukan dalam bentuk ukuran pemusatan (mean, median) dan ukuran penyebaran (standar deviasi, minimum-maksimum). Jika sebaran data normal, digunakan pasangan mean dan standar deviasi. Jika sebaran data tidak normal, digunakan median dengan minimum-maksimum.

Untuk uji normalitas, digunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan batas kemaknaan p<0,05. Untuk Analisis perbedaan rerata dua kelompok dengan sebaran normal digunakan uji t –test . Bila sebaran data tidak normal, digunakan Mann-Whitney U-test.

Korelasi variabel numerik dengan numerikmenggunakan uji korelasi Pearson bila sebaran data normal. Bila sebaran data tidak normal, digunakan uji Spearman.


(56)

BAB V

HASIL PENELITIAN

Sebanyak 36 subjek mengikuti penelitian ini dengan rincian 18 orang penderita CKS dan 18 orang penderita CKB (lampiran 1). Pengambilan serum seluruh subjek penelitain dilakukan dalam waktu 48 jam pertama setelah onset cedera.

Pengukuran kadar GFAP dilakukan di laboratorium patologi klinik RSUP H. Adam Malik dengan menggunakan metode ELISA dengan memplot densitas optik serum subjek penelitian ke dalam kurva standar yang dibuat sebelumnya (gambar 2)


(57)

Dari total 36 subjek penelitian, sepuluh orang meninggal dalam tiga puluh hari pertama, terutama pada kelompok cedera kepala berat sebanyak delapan orang (44,4%). Mortalitas pada kelompok cedera kepala sedang adalah dua orang (11,1%).

A. Karakteristik Subjek Penelitian

Kelompok usia terbanyak dari penderita yang menjadi subjek penelitian adalah kelompok 17-24 tahun, dengan jenis kelamin terbanyak laki-laki (70%, tabel 10).

Tabel 10. Data subjek penelitian

CKS (n=18) CKB (n=18)

Usia (tahun)

• 17-24 8 6

• 25-32 1 2

• 33-40 4 5

• 41-48 2 2

• 49-56 1 2

• 57-64 2 1

Jenis Kelamin

• Laki-laki 9 (50%) 16 (88,9%)

• Perempuan 9 (50%) 2 (11,1%)

Suku

• Aceh 3 (16,7%) 2 (11,1%)

• Melayu 2 (11,1%) 1 (5,6%)

• Batak 7 (38,9%) 7 (38,9%)

• Lain-lain - 2 (11,1%)


(58)

Suku terbanyak yang menjadi subjek penelitian adalah suku Batak (39%), Jawa (33%), dan Aceh (14%). Rentang antara waktu terjadinya trauma sampai tiba di rumah sakit sangat variatif, berkisar antara 3-40 jam (tabel 10).

Tabel 11. Karakteristik radiologis subjek penelitian

CKS (n=18) CKB (n=18)

Marshall

• 1 4 (22,2%) 2 (11,1%)

• 2 8 (44,4%) 6 (33,3%)

• 3 6 (33,3%) 10 (55,6%)

Rotterdam

• 1 8 (44,4%) 2 (11,1%)

• 2 6 (33,3%) 6 (33,3%)

• 3 3 (16,7%) 4 (22,2%)

• 4 1 (5,6%) 6 (33,3%)

Dari tabel diatas, terlihat bahwa subjek penelitian pada kelompok CKS didominasi oleh Marshall 2 dan Rotterdam 1, sedangkan pada kelompok CKB didominasi oleh Marshall 3 serta Rotterdam 2 dan 4.


(59)

B. Korelasi Kadar GFAP dengan Cedera Kepala

1.Kadar GFAP pada cedera kepala sedang dan berat

Tabel 12. Perbedaan kadar GFAP kelompok cedera kepala sedang dan berat (dalam ng/mL)

N Rerata Median SD Rentang p

CKS 18 1,82 0,85 1,60 0,52-4,95

0,0001*

CKB 18 11,99 7,86 10,52 2,48-36,58

*Uji Mann Whitney

Pada kelompok CKS, kadar GFAP adalah 1,82±1,60 ng/mL. Pada kelompok CKB, kadar GFAP adalah 11,99±10,52 ng/mL. Setelah dilakukan uji Mann Whitney, didapati bahwa perbedaan tersebut bermakna (p=0,0001)

2. Korelasi kadar GFAP dengan tingkat keparahan cedera kepala

Tabel. 13 Korelasi kadar GFAP dengan tingkat keparahan cedera kepala

R p

GCS -0,631 0,0001*

Skor Marshall 0.100 0,561

Skor Roterdam 0,275 0,105

Lama rawatan 0,272 0,109

*signifikan. Seluruh uji dilakukan dengan uji Spearman

Kadar GFAP berhubungan signifikan dengan GCS setelah resusitasi (r=-0,631, p=0,0001, tabel 12). Korelasi yang terjadi merupakan korelasi negatif (gambar


(60)

3). Jika GCS setelah resusitasi semakin tinggi, kadar GFAP serum akan semakin rendah.

Gambar 3. Korelasi kadar GFAP dengan GCS setelah resusitasi (r=-0,631; p=0,0001)

Pada penelitian ini tidak ditemukan korelasi signifikan antara kadar GFAP serum dengan gambaran CT scan, baik menurut skor Marshall (r=0,100; p=0,561) maupun skor Rotterdam (r=0,275; p=0,105, tabel 13).

Selain itu, juga tidak ditemukan korelasi GFAP serum dengan lama rawatan (r=0,272; p=0,109, tabel 12).


(61)

3. Korelasi kadar GFAP dengan hasil akhir

a. Kadar GFAP pada kelompok subjek penelitian yang hidup dan meninggal

Tabel 14. Gambaran kadar GFAP pada kelompok subjek penelitian yang hidup dan meninggal

N Rerata Median SD Rentang P

Hidup 26 7,09 2,65 10,32 0,52-36,58

0,097*

Meninggal 10 6,43 4,80 4,62 0,77-17,85

*Uji Mann Whitney

Pada penelitian ini, ditemukan perbedaan kadar GFAP kelompok subjek penelitian yang hidup dan yang meninggal. Setelah dilakukan uji Mann Whitney, perbedaan tersebut tidak signifikan (p=0,097; tabel 13)

b. Korelasi kadar GFAP dengan hasil akhir klinis

Tabel 15. Korelasi kadar GFAP dengan hasil akhir klinis

R P

GOS -0,332 0,048*

Barthel Indeks -0,128 0,532

*signifikan. Seluruh uji dilakukan dengan uji Spearman

Kadar GFAP serum berhubungan signifikan dengan GOS dalam tiga puluh hari pertama (r=-0,332; p=0,048; tabel 15). Korelasi yang terjadi merupakan korelasi negatif (gambar 4). Jika kadar GFAP serum semakin rendah, GOS dalam tiga puluh hari pertama akan semakin tinggi.


(62)

Gambar 4. Korelasi kadar GFAP dengan GOS tiga puluh hari pertama (r=-0,332; p=0,048)

Sementara itu, dalam penelitian ini terlihat korelasi negatif antara GFAP serum dengan Barthel Index (r=-0,128), tetapi korelasi ini tidak signifikan (p=0,532, tabel 15).


(63)

BAB VI

PEMBAHASAN

Cedera kepala merupakan salah satu permasalahan kesehatan utama di dunia. Meskipun dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, cedera kepala paling banyak terjadi pada pria kelompok usia dewasa muda (Burns dan Hauser, 2003). Dalam penelitian ini juga ditemukan hal yang sama. Cedera kepala paling banyak terjadi pada laki-laki (70%) dengan kelompok umur 17-24 tahun.

Penelitian ini dilaksanakan di RSUP H. Adam Malik Medan pusat rujukan Sumatera Utara dan Aceh, karena itu suku yang terbanyak menjadi subjek penelitian adalah suku batak, Jawa, dan Aceh, sesuai dengan demografi.

Kebanyakan pasien datang ke rumah sakit setelah onset yang cukup lama (16,5±10,6 jam). Ini kemungkinan merupakan gambaran dari sistem rujukan yang belum teratur atau disebabkan tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah. Meskipun demikian pada penelitian ini tidak dapat ditentukan penyebab keterlambatan datangnya pasien ke rumah sakit. Untuk itu, diperlukan penelitian yang lebih lanjut, terutama mengingat mortalitas akan lebih rendah secara signifikan jika penanganan dilakukan setelah cedera (Seelig, 1982).

Diagnosis cepat dan penatalaksanaan yang sesuai merupakan kunci utama dalam penatalaksanaan. Prognosis cedera kepala tentu saja akan bergantung pada tingkat kerusakan otak primer dan proses sekunder yang terjadi selanjutnya. Salah satu modalitas yang potensial digunakan untuk memberikan tambahan informasi mengenai luasnya cedera pada SSP adalah biomarker serum.


(64)

Sebelumnya telah banyak penanda cedera saraf yang telah diteliti, termasuk S100B dan NSE. Kegunaan kedua penanda tersebut sebagai indikator prognosis sudah terbukti pada banyak penelitian (Marchi, 2004), tetapi akhir-akhir ini beberapa peneliti menemukaan hasil yang berbeda (Bloomfield, 2007). Karena itu dilakukan penelitian mengenai GFAP sebagai biomarker yang potensial.

GFAP lebih superior dibandingkan S100B karena spesifik hanya ditemukan pada SSP. Seperti S100B, GFAP juga dilepaskan ke darah setelah trauma kepala. Banyak penelitian sebelumnya melaporkan peningkatan kadar GFAP serum setelah trauma. Meskipun pada penelitian ini kelompok orang normal sebagai kontrol tidak ada, ditemukan bahwa kadar GFAP kelompok cedera kepala berat lebih tinggi secara signifikan dibandingkan kelompok cedera kepala sedang (tabel 12). Selain itu ditemukan korelasi negatif yang signifikan antara kadar GFAP serum dengan GCS subjek penelitian (tabel 12). Ini menggambarkan kadar GFAP serum berhubungan erat dengan tingkat kesadaran setelah cedera.

Mekanisme lepasnya GFAP ke aliran darah masih belum diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan berhubungan dengan absorbsi CSF menuju vena atau melalui sawar darah otak yang rusak.

Ngo et al. (2009) menemukan konsentrasi GFAP pada CSF lebih tinggi dibandingkan pada serum. Ini mengggambarkan akumulasi GFAP pada darah mungkin terjadi akibat absorbsi CSF.

Peningkatan GFAP serum dapat juga terjadi akibat kerusakan sawar darah otak setelah cedera. GFAP merupakan sitoskeleton astrosit yang relatif kecil dengan berat molekul 40-50 kDa. Ujung astrosit kaya akan GFAP dan berhubungan langsung


(65)

dengan sel endotel pada pembuluh darah otak. Karena itu kerusakan sawar darah otak dapat memacu ekspresi GFAP dan pelepasannya pada jaringan sekitar.

Terdapat dua pengelompokan keparahan cedera kepala berdasarkan CT scan. Skor Marshall mengklasifikasikan cedera kepala menjadi empat kelompok. Skoring ini banyak digunakan pada banyak pusat neurotrauma dan terbukti mampu memprediksi resiko peningkatan TIK dan hasil akhir pada orang dewasa secara akurat. Skor Rotterdam merupakan sistem klasifikasi yang lebih baru dibandingkan skor Marshall, tapi masih memerlukan validasi yang lebih luas. Pada penelitian ini, tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara skor Marshall serta Rotterdam dengan kadar GFAP. Hal ini mungkin terjadi akibat rendahnya sensitifitas CT scan dalam mendeteksi cedera aksonal difus, sementara sekitar 24% dari penderita cedera kepala berat mengalami hal tersebut (Gradiseck, 2012). Pada banyak penelitian sebelumnya, CT scan awal tetap menjadi prediktor mortalitas. Meskipun demikian kekuatan prognosis karakteristik CT scan lebih rendah dibandingkan konsentrasi S100B dan GFAP inisial (Nylen, 2006).

Dalam penelitian ini ditemukan tendensi korelasi yang lebih besar antara GFAP dan skor Rotterdam dibandingkan dengan skor Marshall (tabel 13), meskipun keduanya tidak signifikan. Skor Rotterdam merupakan klasifikasi CT scan yang lebih baru dibandingkan skor Marshall, dan dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan skor Marshall (Maas, 2005). Penelitian ini mendukung hal tersebut.

Nylen et al. (2006) menemukan nilai cut off kadar GFAP untuk kemungkinan kematian atau hasil akhir yang buruk, yaitu 6,98 µg/L. Bahkan mereka juga menemukan seluruh penderita dengan kadar GFAP >15,04 µg/L akan meninggal. Pada penelitian ini, tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar GFAP


(66)

penderita yang meninggal dengan penderita yang hidup (tabel 14). Ada beberapa kemungkinan penyebab terjadinya hal ini. Pertama, beberapa peneliti menemukan bahwa kadar GFAP akan menurun dengan cepat setelah 24 jam post trauma (Weismann et al., 2010), meskipun beberapa peneliti lain menemukan kadar GFAP akan cepat tinggi dalam empat hari post trauma (Nylen et al., 2006). Kedua, kematian beberapa subjek penelitian disebabkan oleh faktor ekstrakranial yang tidak terkontrol seperti aspirasi pneumonia. GFAP sendiri tidak berhubungan dengan tingkat kerusakan ekstrakranial.

Pada penelitian juga ditemukan korelasi yang signifikan antara GOS dengan kadar GFAP inisial. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Weismann et al. (2009) menemukan kadar GFAP penderita dengan GOS 1-2 lebih tinggi secara signifikan dibandingkan GOS 3-5. Meskipun demikian, tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara GFAP dengan Barthel. Sepanjang studi literatur yang dilakukan penulis, ini merupakan penelitian pertama yang menggunakan indeks Barthel sebagai hasil akhir dalam hubungannya dengan kadar GFAP inisial. Akibatnya, peneliti belum dapat melakukan perbandingan.

Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan terbesar penelitian ini adalah pengukuran kadar GFAP hanya dilakukan satu kali dalam rentang waktu yang luas (0-48 jam), sementara beberapa penelitian menunjukkan kadar GFAP akan berubah dalam 24 jam pertama. Untuk itu, sebaiknya kadar GFAP diukur secara serial dalam tujuh hari pertama.


(67)

Karakteristik populasi yang luas (17-65 tahun) akan mempengaruhi hasil akhir. Seperti yang diketahui banyak orang, usia merupakan faktor prognosis cedera kepala yang independen. Sebaiknya dilakukan penelitian yang spesifik perkelompok usia.

Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran kadar GFAP pada CSF. Korelasi dengan hasil akhir mungkin akan lebih signifikan jika kadar GFAP diukur pada CSF

Selain itu, terdapat keterbatasan dalam mengontrol penatalaksanaan subjek penelitian, terutama sehubungan penggunaan neuroprotector. Pada institusi tempat penelitian dilakukan, terdapat tiga neuroprotektor yang sering digunakan yaitu golongan citicholine, statin, dan ACTH 4-10 Pro8 Gly9 Pro10. Hasil akhir setelah

penggunaan ketiga kelompok neuroprotektor ini berbeda. Dikatakan ACTH 4-10 Pro8

Gly9 Pro10 akan memberikan hasil akhir yang jauh lebih baik dibandingkan dua

kelompok lain. Hal ini mungkin saja mempengaruhi hasil penelitian ini, terutama mengingat pemeriksaan GFAP hanya dilakukan satu kali.


(68)

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Berdasarkan karakteristik penderita, sebagian penderita cedera kepala adalah laki-laki (70%) dengan kelompok usia 17-24 tahun.

2. Kadar GFAP penderita cedera kepala berat (11,9±10,52) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan penderita cedera kepala sedang (1,82±1,60, p=0,0001).

3. Terdapat korelasi yang signifikan antara kadar GFAP serum dengan GCS awal setelah resusitasi (r=-0,631; p=0,0001).

4. Tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara kadar GFAP serum dengan skor Marshall (r=0,100; p=0,561).

5. Tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara kadar GFAP serum dengan skor Rotterdam (r=0,275; p=0,105).

6. Tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara kadar GFAP serum dengan lama rawatan (r=0,272; p=0,109).

7. Ditemukan korelasi yang signifikan antara kadar GFAP serum dengan GOS tiga puluh hari pertama (r=-0,332; p= 0,048).

8. Tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara kadar GFAP serum dengan indeks Barthel dalam tiga puluh hari pertama (r=-0,128; p=0,532).

9. Tidak ditemukan perbedaan kadar GFAP yang bermakna antara penderita yang hidup (7,09±10,32) dengan penderita yang meninggal (6,43±4,62; p=0,097).


(69)

B. Saran

1. Pemeriksaan GFAP sebaiknya dilakukan secara serial dalam jangka waktu yang lebih lama.

2. Pengukuran kadar GFAP sebaiknya juga dilakukan pada CSF untuk perbandingan dengan serum.

3. Karakteristik usia subjek penelitian sebaiknya dipersempit untuk mendapatkan hasil yang lebih sahih.

4. Sebaiknya dilakukan pengontrolan penatalaksanaan pasien yang lebih ketat, untuk kepentingan homogenisitas, terutama sehubungan penggunaan neuroprotector.


(70)

DAFTAR PUSTAKA

Araque A., Carmignoto G., Haydon P.G. (2001) Dynamic signaling between astrocytes and neurons. Annu Rev Physiol 63:795–813

Araque A. (2008) Astrocytes process synaptic information. Neuron Glia Biol 4:3–10

Asian Development Bank. (2002) Report of Asian Development Bank. Manila: Asian Development Ba

Bogen I.L., Risa O., Haug K.H., Sonnewald U., Fonnum F., Walaas S.I. (2008) Distinct changes in neuronal and astrocytic amino acid neurotransmitter metabolism in mice with reduced numbers of synaptic vesicles. J Neurochem

105:2524–34

Bloomfield S.M., Mckinney J., Smith L., et al. (2007) Realibility of S100B in predicting severity of central nervous system injury. Neurocrit Care 6:121-38

Bonni A., Sun Y., Nadal-Vicens M., Bhatt A., Frank D.A., Rozovsky I., Stahl N., Yancopoulos G.D., Greenberg M.E. (1997) Regulation of gliogenesis in the central nervous system by the JAK-STAT signaling pathway. Science 278:477–83.

Brenner M. (1994) Structure and transcriptional regulation of the GFAP gene. Brain Pathol 4:245–57.

Brookes M., Macmillan R., Cully S., et al. (1990) Head injuries in accident and emergency departements. How different are children from adults. J Epidemiol Community Health 44:147-51

Cole T.B. (2004) Global road safety crisis remedy sought, 1.2 million killed, 50 million injured annually. JAMA 291:2531–2532.

Serum ceruloplasmin and copper are early biomarkers for traumatic brain injury associated elevated intracranial pressure. J Neurosci Res 88:1719-26 Dash P.K., Zhao J., Hergenroeder G., Moore A.N. (2010) Biomarkers for the

diagnosis, prognosis, and evaluation of treatment efficacy for traumatic brain injury. Neurotherapeutics 7:100–14.

DeKosky S.T., Ikonomovic M.D., Gandy S. (2010) Traumatic brain injury—football, warfare, and long-term effects. N. Engl. J. Med 363:1293–6.

Demetriades D., Murray J., Charalambides K., et al. (2004) Trauma fatalities: time and location of hospital death. J Am Coll Surg 198:20-6

El-Fawal H.A., O’Callaghan J.P. (2008) Autoantibodies to neurotypic and gliotypic proteins as biomarkers of neurotoxicity: assessment of trimethyltin (TMT).


(71)

Eng L.F., Ghirnikar R.S. (1994) GFAP and astrogliosis. Brain Pathol 4:229–37

Eng L.F., Ghirnikar R.S., Lee Y.L. (2000) Glial fibrillary acidic protein: GFAP-thirtyone years (1969-2000). Neurochem. Res 25:1439–51.

Feala J.D., Diwan M., Hameed., Yu C., Dutta B., Yu X., Schmid K., Dave J., Tortella F., Reifman J. (2013) System biology approaches for discovering biomarkers for traumatic brain injury. Journal of Neurotrauma 30:1101-16

Foerch C., Curdt I., Yan B., Dvorak F., Hermans M., Berkefeld J., et al. (2006) Serum glial fibrillary acidic protein as a biomarker for intracerebral haemorrhage in patients with acute stroke. J Neurol Neurosurg Psychiatry 77:181-4.

Ghajar J. (2000) Traumatic brain injury. Lancet 356:923–29.

Gradiseck P., Osredkar J. (2012) Multiple indicator model of long term mortality in traumatic brain injury. Brain Injury 26:1472-81

Guo Y., Liu Y., Xu L., Wu S., Yang C., Wu D., Wu H., Li C. (2007) Astrocytic

pathology in the immune-mediated motor neuron injury. Amyotroph Lateral

Scler 8:230–34

Hanlon R.E., Demery J.A., Martinovich Z., Kelly J.P. (1999) Effects of acute injury characteristics on neurophysical status and vocational outcome following mild traumatic brain injury. Brain Inj 13:873–87

Haseloff R.F, Blasig I.E., Bauer H.C., Bauer H. (2005) In search of the astrocytic factor(s) modulating blood-brain barrier functions in brain capillary endothelial cells in vitro. Cell Mol Neurobiol 25(1):25–39

Hergenroeder G.W., Redell J.B., Moore A.N., et al. (2008) Biomarkers in the clinical diagnosis and management of traumatic brain injury. Mol Diagn Ther 12:345-58

Herrmann M., Vos P., Wunderlich M.T., Bruijn C.H.M., Lamers K.J.B. (2003) Release of glial tissue-specific proteins after acute stroke, a comparative analysis of serum concentrations of protein S-100B and glial fibrillary acidic protein. Stroke 31:2670-7

Honda M., Tsuruta R., Kaneko T., et al. (2010) Serum glial fibrillary acidic protein is a highly specific biomarker for traumatic brain injury in humans compared with S-100B and neuron-specific enolase. J Trauma 69:104-9

Igarashi Y., Utsumi H., Chiba H., Yamada-Sasamori Y., Tobioka H., Kamimura Y., Furuuchi K., Kokai Y., Nakagawa T., Mori M., Sawada N. (1999) Glial cell line-derived neurotrophic factor induces barrier function of endothelial cells forming the bloodbrain barrier. Biochem Biophys Res Commun 261:108–12

Irawan H., Setiawan F., Dewi., Dewanto. (2010) Perbandingan glasgow coma scale dan revised trauma score dalam memprediksi disabilitas pasien trauma kepala di Rumah Sakit Atma Jaya. Maj Kedokt Indon 60:437-42


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)