Hubungan Kadar D-dimer Saat Awal Pemeriksaan Pada Pasien Pneumonia Komunitas Terhadap Kematian 30 Hari

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biomarker pada Pneumonia
Pneumonia merupakan kumpulan gejala (demam, nyeri pleuritik, sesak nafas)
dan tanda (infiltrat paru) yang berasal dari sistem pernapasan namun dapat
mempengaruhi penderitanya secara sistemik (Lim WS, 2009). Sebagai penyakit
infeksi, PK dapat menstimulasi proses inflamasi dimana terjadi pelepasan sitokin pro
inflamasi dan mediator lipid ke sistemik serta menyebabkan gangguan sistem
hemostasis yang ditandai dengan keadaan hiperkoagulasi (Kaplan V dkk, 2003).
Selain masalah morbiditas dan mortalitas yang tinggi, seringkali pneumonia
tidak memberi tanda klinik yang jelas. Hal ini menimbulkan hambatan diagnosis yang
akhirnya menyebabkan keterlambatan terapi (Capelastegui A dkk,2006). Dalam suatu
analisis receiving operating characteristic (ROC) yang bertujuan untuk menilai
akurasi diagnostik dari PK, didapatkan kelemahan gambaran klinik (demam, batuk,
produksi sputum, temuan auskultasi yang abnormal) dalam mendiagnosis PK dengan
area under cover (AUC) sebesar 0,79 (Mira JP dkk, 2008).
Hingga saat ini, biomarker belum memiliki definisi yang universal. Akan
tetapi, biomarker dipahami sebagai suatu biomolekul yang timbul akibat suatu proses
fisiologik maupun patologik. Biomarker yang ideal adalah suatu biomarker yang
tidak dapat dideteksi atau yang nilainya sangat rendah dalam keadaan non inflamasi

dan akan meningkat dalam keadaan inflamasi yang selanjutnya akan mengalami
penurunan saat proses inflamasi mereda (Capelastegui A dkk,2006).
Dalam hal membantu tegaknya diagnosis pneumonia, beberapa biomarker
telah dikenal, seperti: CRP, leukosit total, immunoglobulin, PCT dan Triggering

44
Universitas Sumatera Utara

receptor expressed on myeloid cell-1 (TREM-1). Beberapa biomarker lain yang
masih dalam tahap studi untuk penggunaannya pada pneumonia antara lain: copeptin,
kortisol, endotoksin dan proadrenomedullin (Crain MC dkk, 2010; Chalmers JD dkk,
2009). Selain petanda inflamasi, sistem koagulasi juga dikatakan memiliki potensi
dalam menilai risiko kematian penderita PK.

Salah satu biomarker koagulasi

yang paling banyak diteliti adalah D-dimer (Rabello dkk, 2011).
Aktifasi sistem koagulasi dan aktifitas fibrinolisis merupakan gambaran yang
dijumpai pada keadaan sepsis berat (Crain MC dkk, 2010; Milbrandt EB dkk, 2009).
Hal ini didukung oleh studi yang dilakukan oleh Kollef dkk yang melaporkan bahwa

adanya DD yang beredar dalam sirkulasi tidak hanya berkaitan dengan mortalitas
tetapi juga insiden sepsis, ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome), MSOF
(Multy system organ failure) dan trombosis vascular (Shorr AF, 2002).
2.2. D-dimer
D-dimer dikenal sebagai produk degradasi cross linked yang merupakan hasil
akhir dari pemecahan bekuan fibrin oleh plasmin dalam sistem fibrinolitik (Mikaeilli
H, 2009; Shorr AF dkk, 2010). D-dimer (DD) menandakan adanya aktivasi sistem
koagulasi. Kadar DD akan meningkat pada kelainan yang dapat memicu
pembentukan fibrin dan katabolisasinya; kelainan ini antara lain adalah emboli paru,
deep vein thrombosis (DVT), tumor solid, leukemia, infeksi berat, trauma atau postoperatif, disseminated intravascular coagulation (DIC), kehamilan, stroke akut,
sickle-cell anemia, gagal jantung kongestif (Shorr AF dkk, 2010; Arslan S dkk,
2010).
Dalam proses pembentukan bekuan normal, bekuan fibrin terbentuk sebagai
langkah akhir dari proses koagulasi yaitu dari hasil katalisis oleh trombin yang
memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer dengan melepaskan fibrinopeptida A
dan fibrinopeptida B (FPA dan FPB). Fibrin monomer akan mengalami polimerisasi
membentuk fibrin polimer yang selanjutnya oleh pengaruh faktor XIII akan terjadi
ikatan silang, sehingga terbentuk cross-linked fibrin. Kemudian plasmin akan
memecah cross-linked fibrin yang akan menghasilkan D Dimer. Dikenal 3 langkah


45
Universitas Sumatera Utara

perubahan fibrinogen menjadi fibrin yaitu langkah enzimatik, polimerisasi dan
stabilisasi (Birhasani, 2010), yaitu :
1. Langkah enzimatik, melalui peranan trombin yang merubah fibrinogen
menjadi fibrin yang larut, selanjutnya dipecah menjadi 2 fibrinopeptida A dan
2 fibrinopeptida B.
2. Langkah polimerisasi yang pertama terjadi pelepasan fibrinopeptida A yang
akan menyebabkan agregasi side to side kemudian dilepaskan fibrinopeptida
B yang mengadakan kontak dengan unit-unit monomer dengan lebih kuat
sehingga menghasilkan bekuan yang tidak stabil.
3. Langkah stabilisasi terjadi pembentukan fibrin tidak larut yang stabil yang
membutuhkan trombin, faktor XIIIa dan ion kalsium (Ca2+).
Trombin mengaktifkan faktor XIII yang kemudian berfungsi sebagai
transaminidase sehingga ikatan silang (cross-linked) monomer fibrin yang
berdekatan melalui pembentukan ikatan kovalen yang stabil (fibrin Mesh). Kedua
rantai α dan γ terlibat dalam pembentukan bekuan fibrin yang stabil atau fibrin tidak
larut. Fibrin cenderung menyerap plasminogen yang normal di jumpai dalam plasma.
Sekali berada dalam fibrin, plasminogen berubah menjadi plasmin oleh adanya

aktivator. Plasmin merupakan enzim fibrinolitik utama yang mampu memecah baik
fibrinogen maupun fibrin untuk menghasilkan bermacam macam produk degenerasi
fibrinogen / fibrin FDP. Bila plasmin melisis fibrin yang tidak larut, maka akan
terbentuk produk fibrin stabil yang spesifik yaitu D-Dimer. Dengan kata lain adanya
D-Dimer ini karena ikatan cross link tidak dapat dipecah oleh plasmin. Jadi kalau
terbentuk D-Dimer berarti yang di pecah oleh plasmin adalah cross linked fibrin
yang merupakan hasil kerja thrombin (Gambar 2.2.1) (Bockenstedt P, 2003;
Birhasani, 2010).

46
Universitas Sumatera Utara

Sumber: N Engl J Med, 2003

Gambar 2.2.1 Degradasi bekuan fibrin (Bockenstedt P, 2003).
Hasil pemeriksaan kadar D-dimer secara kuantitatif dinyatakan dalam satuan
μg/L. Nilai cut off D-dimer dengan metode latex agglutination adalah 500 μg/L.
Kadar D-dimer yang lebih dari nilai normal rujukan menunjukkan adanya produk
degradasi fibrin dalam kadar yang tinggi; mempunyai arti adanya pembentukan dan
pemecahan trombus dalam tubuh (Widjaja AC, 2010).

2.3. Hubungan D-dimer (DD) dengan Pneumonia
Peningkatan kadar DD pada pneumonia komunitas (PK) disebabkan oleh
aktivasi dari sistem fibrinolitik dan dari proses katabolisasi fibrin di alveoli. Selain
itu, peningkatan DD juga terjadi akibat aktivasi sistem koagulasi darah yang
disebabkan oleh endotoxin yang di hasilkan oleh bakteri Gram-negatif penyebab
pneumonia (Arslan S dkk, 2010) dan juga oleh nekrosis yang disebabkan oleh
kerusakan pembuluh darah pada pneumonia berat (Karalezli A dkk, 2009; (Guneysel
dkk, 2004).

47
Universitas Sumatera Utara

Shilon dkk, melaporkan bahwa pemeriksaan DD kuantitatif pada saat awal
pasien masuk merupakan suatu marker derajat keparahan dan prognostik pada
penderita PK. Kadar DD memiliki hubungan linier positif terhadap skor Acute
Pgysiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II dengan (r=0,44, p=0002),
skor Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) dengan (r=0,36, p=002),
lamanya perawatan di rumah sakit dengan (r=0,24, p=0,046), hal ini menunjukkan
bahwa kadar DD berhubungan dengan derajat keparahan dan outcome klinis pada
penderita PK. (Shilon Y dkk, 2003; Rabello dkk, 2011)

Ribelles dkk, mencoba menghubungkan kadar plasma D-dimer terhadap
mortalitas pada 302 pasien PK. Hasilnya adalah kematian lebih banyak terjadi pada
pasien dengan D-dimer yang tinggi (3.786 vs 1.609 ng/ml dengan p < 0,00001).
Selain itu, didapatkan juga hubungan linier antara D-dimer dengan skor PSI
(Gambar 2.3.1) (Ribelles JMQ, 2004). Hasil ini membuka peluang untuk penelitian
terhadap petanda koagulasi lainnya seperti prothrombin fragment 1.2 (PF1.2),
thrombin-antithrombin complex dan fibrinogen dalam hubungannya terhadap PK
(Mira JP dkk, 2008; Crain MC, dkk, 2010)
Gambar 2.3.1. Hubungan D-dimer dengan PSI (Ribelles JMQ, 2004)

Sumber: Chest, 2004

48
Universitas Sumatera Utara

Mikaelli dkk, melaporkan bahwa nilai DD lebih tinggi pada pasien yang
memiliki derajat keparahan PK yang berat dengan nilai (p or = 20 mg/dl

1


R

Respiratory rate > or = 30 breaths/ min

1

B

Systolic BP < 90 mm Hg or Diastolic < or = 60 mm Hg

1

65

Age > or 65

1

Total


Mortality

Score

%

Risk Level

Suggested Site-of-Care

53
Universitas Sumatera Utara

0

0,6%

Low

Outpatient


1

2,7%

Low

Outpatient

2

6,8%

Moderate

Short inpatient / supervised outpatient

3

14,0%


Moderate to High

Inpatient

4 or 5

27,8%

High

Inpatient / ICU

Dikutip dari : QJ Med, 2009; 102:379-388.

Baik skor PSI maupun CURB-65 sama-sama memiliki kelemahan yang sama,
yaitu masih bergantung pada

hasil pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini


melahirkan skor CRB-65 yang menghilangkan unsur ureum. Manfaat dari skor CRB65 ini adalah dapat digunakan oleh dokter umum di tingkat layanan primer. Skor ini
dikatakan memiliki peforma yang sama dengan PSI dan CURB-65 dengan AUC: 0,69
– 0,78. Sayangnya, penggunaan skor ini belum teruji dengan jumlah sampel yang
besar seperti pendahulunya sehingga validasinya masih perlu diuji (Singanayagam A
dkk, 2009; Bont J dkk, 2008).
2.7. Sepsis Akibat Pneumonia Komunitas
Di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta penderita PK setiap tahunnya dan 10%
dari penderita harus dirawat di ICU (intensive care unit). Pada PK yang dirawat jalan
mortalitas sebesar diperkirakan < 5%, jika penderita PK dirawat inap maka mortalitas
meningkat hingga 12% dan akan semakin meningkat menjadi 22% jika pasien
dipindahkan ke ICU. Keadaan ini disebabkan perjalanan PK menjadi sepsis berat (PK
berat) yang ditandai dengan adanya disfungsi organ (Nayak SB dkk, 2010).
Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana
lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi
proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan suhu tubuh, perubahan jumlah
leukosit, tachycardia dan tachypnea. Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang
ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi organ. (Purba DB,
2010).
Pada tahun 1992, menurut The American College of Chest Physician (ACCP)
and The Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus Conference on

54
Universitas Sumatera Utara

Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu konsensus dengan
definisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-keadaan yang berkaitan
dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis
berat dan syok sepsis dibawah ini:
- Bakteremia : adanya bakteri dalam darah, yang dibuktikan dengan kultur darah
positif.
- SIRS

: respon tubuh terhadap inflamasi sistemik, ditandai dua atau lebih
keadaan berikut :
1. Suhu > 38ºC atau < 36ºC
2. Takikardia (HR > 90 kali/menit)
3. Takipneu (RR > 20 kali/menit) atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Lekosit darah > 12.000/µL, < 4.000/µL atau netrofil
batang > 10%

-

Sepsis

: SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebabnya kuman.

-

Sepsis berat : Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau
hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran.

-

Syok sepsis : Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan
secara adekuat, bersama dengan disfungsi organ.

-

Hipotensi : tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau berkurang 40 mmHg dari
tekanan darah normal pasien.

-

Multiple Organ Dysfunction Syndrome: Disfungsi dari satu organ atau lebih,
memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostasis (Purba, 2010; Carol
dkk, 2003).
Dremsizov, dkk melakukan studi untuk menilai kemampuan SIRS dalam

memprediksi terjadinya sepsis, sepsis berat dan kematian pada pasien PK. Hasil yang
didapat antara lain bahwa 50 % dari penderita PK yang dirawat akan jatuh ke sepsis.
Selain itu, jika dibanding dengan PSI, kriteria SIRS tidak lebih baik dalam
memprediksi perburukan sepsis pada PK. Implikasi klinis dari studi ini adalah dapat

55
Universitas Sumatera Utara

digunakannya PSI bukan hanya untuk skor prognosis tetapi juga sebagai petunjuk
adanya disfungsi organ (Rosner MH dkk, 2009).
2.8. Gangguan koagulasi pada Sepsis
Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa sistem koagulasi berperan
penting dalam patofisiologi sepsis (Suharto, 2011). Gangguan koagulasi pada sepsis
terjadi melalui tiga mekanisme (Gambar 2.8.1) (Faranita T dkk, 2011).
1. Pembentukan trombin yang diperantarai Tissue Factor (TF)
Tranfer factor diekspresikan pada permukaan sel endotel, monosit, dan
platelet ketika sel-sel ini distimulasi oleh toksin, sitokin atau mediator lain.
Adanya endotoksin menyebabkan peningkatan beberapa sitokin proinflamasi
seperti tumor necrosis factor (TNF)-α dan interleukin (IL)-6. Sitokin IL-6
merupakan sitokin proinflamasi yang paling berhubungan dengan klinis sepsis
dan komplikasi. Pembentukan trombin yang diperantarai oleh TF merupakan
tahap penting dari patogenesis sepsis. Secara fisiologis pembentukan ini
segera dihambat oleh antitrombin, namun dengan pembentukan trombin yang
sangat cepat jalur inhibisi ini bisa fatigue sehingga terjadi trombinemia.
Setelah trombin terbentuk maka fibrinogen dipolimerasi sehingga terbentuk
bekuan fibrin dan terdeposisi di mikrosirkulasi. Deposisi fibrin ini dapat
menyebabkan disfungsi organ.
2. Gangguan mekanisme antikoagulan
Terdapat tiga mekanisme antikoagulan yang terganggu pada sepsis, yakni:
a. Sistem antitrombin
Secara teori antitrombin memiliki peran penting dalam kekacauan koagulasi
pada sepsis, dibuktikan dengan jumlah antitrombin rendah pada sepsis.
Jumlah antitrombin berkurang disebabkan karena antitrombin digunakan
untuk menghambat formasi trombin, didegradasi oleh elastase yang
dilepaskan sel neutrofil serta gangguan sintesis antitrombin akibat gagal hati
pada sepsis.
b. Sistem protein C

56
Universitas Sumatera Utara

Protein C disintesis di hati dan diaktivasi menjadi activated protein (APC)
yang berfungsi dalam menghambat FVIII dan FV. Pada sepsis, terjadi depresi
sistem protein C yang disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan,
gangguan hati, perembesan vascular, dan aktivasi TNF-α.
c. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI)
Tissue factor pathway inhibitor disekresi oleh sel endotel dan berfungsi untuk
menghambat aktivasi FX oleh kompleks TF-FVIIa. Penurunan TFPI dapat
dijumpai pada sepsis.
3. Penghentian sistem fibrinolisis
Pada kondisi bakteremia dan endotoksemia dijumpai peningkatan aktivitas
fibrinolisis yang mungkin disebabkan oleh pelepasan plasminogen activator
oleh sel endotel. Keadaan tersebut diikuti dengan supresi aktivitas fibrinolisis
secara cepat oleh PAI-1. Jumlah PAI-1 yang tinggi dipertahankan sehingga
menghentikan kemampuan fibrinolisis yang mengakibatkan penumpukan
bekuan fibrin pada mikrosirkulasi.

57
Universitas Sumatera Utara

Su
mber : Thrombosis Journal, 2006

Gambar 2.8.1. Patofisiologi sepsis

Gambaran klinis koagulopati pada sepsis ialah (Faranita T dkk, 2011):
1. Aktivasi koagulasi sistemik fisiologis
Pada kondisi awal tidak tampak klinis koagulopati, namun proses koagulasi
mulai teraktivasi dan terdeteksi melalui pengukuran marker molekular yang
sensitif seperti D-dimer, protrombin fragmen 1+2, atau kompleks trombinantitrombin.
2. Non-overt disseminated intravascular coagulation
Sedangkan

tahap

selanjutnya

ditandai

dengan

pembentukan

fibrin

intravaskular yang menyebabkan gangguan pada mikrosirkulasi. Hasil

58
Universitas Sumatera Utara

laboratorium menunjukkan peningkatan marker aktivasi namun pemeriksaan
lain masih normal.

3. Transient consumption coagulopathy
Jika

rangsangan

prokoagulasi

tetap

terjadi

maka

akan

terjadi

ketidakseimbangan antara penggunaan plasma protein koagulasi dan sintesis
di hati. Apabila rangsangan dihentikan dengan menghilangkan penyebabnya
maka gangguan tersebut dapat teratasi dalam beberapa jam hingga beberapa
hari. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan prothrombine time (PT),
trombosit menurun, jumlah protein C menurun, fibrinogen dapat normal
maupun menurun.
4. Overt DIC
Proses berkelanjutan sampai koagulopati konsumtif berat jarang dijumpai.
Gangguan tersebut ditandai dengan penghentian mekanisme inhibisi sehingga
hemostasis tidak terkontrol dan menyebabkan perdarahan berat. Manifestasi
klinis DIC yang paling sering adalah perdarahan, trombosis atau keduanya
yang dapat menyebabkan disfungsi organ. Pada pemeriksaan laboratorium
dapat dijumpai peningkatan waktu pembekuan darah, peningkatan fibrin
degradation product (FDP), D-dimer, penurunan trombosit dan kadar
fibrinogen, penurunan kadar faktor koagulasi (seperti faktor V dan VIII), dan
penurunan penghambat koagulasi (antitrombin dan protein C). Pemeriksaan
koagulasi serial akan lebih baik dalam mendiagnosis DIC.
2.9. Kultur Sputum
Dalam Infectious Disease Society of American (IDSA) dan American
Thoracic Society Guidlines (ATS, 2007) menunjukkan bahwa penyebab PK
terbanyak disebabkan bakteri Gram positif oleh kuman Streptococcus Pneumonia.
Sedangkan kuman patogen penyebab PK lainnya mencakup Hemophilus Influenza,
Mycoplasma

Pneumoniae,

Chlamydia

Pneumoniae,

Staphylococcus

Aureus,

59
Universitas Sumatera Utara

Streptococcus Pyogenes, Neisseria Meningitides, Moraxella Catarrhalis, Klebsiella
Pneumoniae, Legionella sp dan batang gram negatif lainnya.
Menurut British Thoracic Society Guidlines (BTS, 2009) menyatakan bahwa
kuman patogen penyebab PK yang banyak ditemukan, yaitu Streptococcus
Pneumonia dan diikuti kuman patogen lainnya Mycoplasma Pneumoniae, Chlamydia
Pneumoniae dan kuman gram negatif lainnya. Di Asia Tenggara, Streptococcus
Pneumonia juga paling sering ditemukan kemudian diikuti Chlamydia Pneumoniae
dan bakteri gram negatif (Wattanathum dkk, 2003).
Di Cina kuman patogen Streptococcus Pneumoniae paling banyak ditemukan
lalu kuman-kuman lainnya seperti Mycoplasma Pneumoniae dan H Influenza (Huang
HH dkk, 2006). Begitu juga di Jepang, Streptococcus Pneumonia paling umum
ditemukan dan diikuti oleh H Influenza (Saito A dkk, 2006). Penelitian PK rawat inap
di Asia misalnya Indonesia atau Malaysia mendapatkan patogen yang bukan
Streptococcus Pneumoniae sebagai penyebab tersering PK, antara lain Klebsiella
Pneumoniae (Dahlan Z, 2009)

2.10 Kultur Darah
Kultur darah dianjurkan untuk semua pasien pada PK sedang dan berat,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan sebelum pemberian terapi antibiotik dimulai. Jika
diagnosis PK telah pasti dikonfirmasi dan pasien dengan keparahan PK ringan tanpa
komorbiditas penyakit, kultur darah boleh tidak dianjurkan. Kultur darah dapat
membantu untuk mengidentifikasi bakteremia dan patogen resisten, dimana kuman
Streptococcus Pneumoniae menjadi patogen yang paling umum yang diidentifikasi
(BTS, 2009).
ATS dan IDSA merekomendasikan indikasi kuat untuk kultur darah pada PK
berat. Pasien dengan PK berat lebih mungkin terinfeksi dengan kuman patogen selain
Streptococcus

Pneumoniaee,termasuk

Staphylococcus

Aureus,

PseudomonasAeruginosa, dan gram-negatif lainnya. Kultur darah yang positif pada
Pneumonia hanya pada 5-16% kasus.Dimana kuman patogen yang paling umum
ditemukan adalah Streptococcus Pneumoniae (ATS, 2007).

60
Universitas Sumatera Utara

Christ-Crain M dkk (2006) medapatkan bahwa adanya bakteri patogen di
dalam darah

(bloodstream infection/ BSI) erat kaitannya terhadap tingginya

mortalitas pasien sepsis. Keadaan ini disebabkan terlambatnya pemberian antibiotik
yang seharusnya sudah dapat dimulai saat awal pasien masuk. Umumnya antibiotik
diberikan pada pasien dengan gejala infeksi yang nyata (demam dan leukositosis),
yang sensitifitas dan spesifisitasnya rendah dan jika harus menunggu hasil kultur
akan memperpanjang masa penundaan pemberian antibiotik.
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep
Kadar D-dimer

Penderita
Pneumonia
Komunitas

Derajat Keparahan
Pneumonia Pada Awal
Masuk Rumah Sakit

Hubungan
(?)

Kematian 30 hari
3.2. Definisi Operasional
3.2.1. Pneumonia komunitas adalah infeksi akut pada parenkim paru yang
berhubungan dengan setidaknya beberapa gejala infeksi akut, disertai adanya
gambaran infiltrat akut pada radiologi toraks atau temuan auskultasi yang
sesuai dengan pneumonia (perubahan suara nafas atau ronkhi setempat) pada
orang yang tidak dirawat di rumah sakit atau tidak berada pada fasilitas
perawatan jangka panjang selama ≥ 14 hari sebelum timbulnya gejala ataupun
dalam rawatan rumah sakit ≤ 48 jam (Muller B dkk, 2007).

61
Universitas Sumatera Utara

3.2.2. Penilaian derajat keparahan penyakit adalah suatu alat bantu klinisi untuk
membuat keputusan klinik seperti kebutuhan rawat inap, pemberian terapi
intravena dan rencana monitoring lanjutan yang diperlukan oleh klinisi di
tingkat primer maupun sekunder (Abidin A, 2010).
3.2.3. D-dimer adalah produk akhir degenerasi cross-linked fibrin oleh aktivitas
kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik ( < 500ng/ml) (Milbrandt EB dkk,
2009)
3.2.4. Derajat keparahan pneumonia dinilai berdasarkan skor CURB- 65 menurut
acuan BTS (British Thoracic Society) 2009, seperti yang terlihat pada uraian
di bawah ini (Crain MC dkk, 2010) :
1. Konfusio/Confusion : gangguan kesadaran yang baru terjadi
atau adanya abnormalitas skor mental.
2. Urea : > 7 mmol/l ; > 20 mg/dl.
3. Laju pernapasan/Respiratory rate : ≥ 30x/menit.
4. Tekanan darah/ Blood Pressure: adanya tekanan darah rendah
(sistolik ≤ 90 mmHg dan atau diastolik ≤ 60 mmHg)
5. Umur/Age ≥ 65 tahun.
Rentang nilai pada skor di atas adalah 0- 5 dimana setiap kriteria
bernilai satu.
Untuk penilaian konfusio dapat dibantu dengan skor mental yang telah
disesuaikan dengan pengetahuan di Indonesia.
Skor Mental (disesuaikan)
1. Berapa usia anda?
2. Kapan tanggal lahir anda?
3. Jam berapa saat ini?( tidak perlu menitnya)
4. Tahun berapa saat ini?
5. Apa nama Rumah Sakit yang anda datangi ini ?
6. Mengenal

2 orang ( contoh: dokter, perawat, anggota

keluarga)
62
Universitas Sumatera Utara