Pengetahuan dan Sikap Perawat Dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Klien dengan Penyakit Gagal Jantung Kongesti di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengetahuan
2.1.1. Pengertian Pengetahuan
Menurut Notoadmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini
terjadi seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
2.1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Wawan (2012), Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan:
1.

Faktor internal
a.

Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang di berikan seseorang terhadap
perkembangan orang lain menuju cita-cita tertentu yang menentukan
manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai
keselamatan dan kebahagiaan.


b.

Pekerjaan
Menurut Thomas dalam Nursalam (2003), pekerjaan adalah
kebutuhan yang harus di lakukan terutama untuk menunjang
kehidupannya dan kehidupan keluarga.

c.

Umur
Menurut Nursalam (2003), usia adalah umur individu yang terhitung
mulai saat lahir sampai berulang tahun.
7
Universitas Sumatera Utara

8

2.


Faktor eksternal
a.

Faktor lingkungan
Menurut Ann Mariner yang di kutip dari nursalam lingkungan
merupakan seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia dan
pengaruhnnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan
perilaku orang atau kelompok.

b.

Sosial budaya
Sistem

sosial

budaya

yang


ada

pada

masyarakat

dapat

mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi.
2.1.3. Kriteria Tingkat Pengetahuan
Menurut Arikunto (2006), pengetahuan seseorang dapat diketahui dan
diintrprestasikan dengan skala yang bersifat kulitatif yaitu:
1.

Baik : hasil presentase 76%-100%

2.

Cukup : hasil presentase 56%-75%


3.

Kurang : hasil presentase > 56 %
Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting

untuk terbentuknya tindakan seseorang dan untuk merubah pengetahuan,
sikap dan perilaku adalah dengan pendidikan dan latihan. Pengetahuan dari
hasil tidak tahu, ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan pada
suatu objek tertentu dan adanya stimulus, Penginderaan pada terjadi melalui
panca indra manusia yakni indera penciuman, penglihatan, pendengaran,
perasaan dan perabaan. Sebagian besar penginderaan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga (Notoadmodjo, 2010).

Universitas Sumatera Utara

9

Menurut Verner Davison yang dikutip oleh Notoadmodjo (2010)
mengatakan bahwa usia mempengaruhi proses belajar, karena dengan
bertambahnya usia, titik dekat penglihatan mulai bergerak makin jauh.

Dengan bertambahnya usia, kemampuan menerima sesuatu makin berkurang
sehingga pembicaraan orang lain terlalu cepat sukar ditangkapnya. Dengan
kata lain, makin bertambahnya usia maka kemampuan menerima stimulus
makin berkurang.
Menurut Notoadmodjo (2010) Pengetahuan yang dicakup dalam domain
kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan menurut teori Blom yaitu: Tahu
(know),

memahami

(Comprehension),

aplikasi

(application),

analisa

(analysis), dan evaluasi (evaluation).
1.


Tahu (know), diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

2.

Memahami (comprehension), diartikan sebagai kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3.

Aplikasi

(application),

diartikan


sebagai

kemampuan

untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real
(sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau
penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya
dalam konteks atau situasi yang lain.

Universitas Sumatera Utara

10

4.

Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur

organisai, dan masih ada kaitannya satu sam lain. Kemampuan ini dapat
dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan,
membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

5.

Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi yang ada.

6.

Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian itu didasarkan pada
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang
ada.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan adalah


pendidikan, umur, pengalaman, status sosial, ekonomi, budaya dan kondisi
kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka tingkat
pengetahuannya akan semakin bertambah, pengalaman seseorang akan
menambah wacana dan meningkatkan pengetahuannya, semakin tinggi status
sosial, ekonomi, budaya dan kondisi kesehatan seseorang maka semakin
tinggi pula tingkat pengetahuannya. (Notoadmodjo, 2010).

Universitas Sumatera Utara

11

2.2. Sikap
2.2.1. Pengertian Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulasi atau obyek, manifestasi sikap itu tidak langsung
dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang
tertutup. Sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan
bukan merupakan pelaksana motif tertentu, dapat diartikan juga sikap adalah
kecenderungan


bertindak,

berfikir,

berpersepsi,

dan

merasa

dalam

menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai, Sikap bukanlah perilaku, tetapi
merupakan kecenderungan untuk berprilaku dengan cara tertentu terhadap
obyek sikap. Sikap relatif menetap atau jarang mengalami perubahan.
Menurut (Notoadmodjo, 2007) , sikap mempunyai 3 komponen pokok,
yakni:
1.


Kepercayaan (keyakinan) ide, dan konsep terhadap suatu objek.

2.

Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek

3.

Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave)
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude).
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.

Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan
responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan
dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat

Universitas Sumatera Utara

12

responden (sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju
(Notoadmodjo, 2010).
Sikap merupakan konsep paling penting dalam psikologi sosial yang
membahas unsur sikap baik sebagai individu maupun kelompok (Wawan,
2012).
Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih
tertutup terhadap stimulus atau objek (Wawan, 2012).
Menurut Wawan (2012), struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang
saling menunjang yaitu:
1.

Komponen kognitif merupakan representasi apa yang di percayai oleh
individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan streotipe
yang di miliki individu mengenai suatu dapat disamakan penanganan
terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang
kontroversial.

2.

Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek
emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam
sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan
terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap
seseorang komponen afektif di smakan dengan perasaan yang dimilki
seseorang terhadap sesuatu.

3.

Komponen konatif merupakan aspek kecendrungan berprilaku tertentu
sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi tendensi
atau kecendrungan untuk bertindak/bereaksi terhadap sesuatu dengan

Universitas Sumatera Utara

13

cara-cara tertentu. Dan berakitan dengan objek yang di hadapinya adalah
logis untuk mengharapakn bahwa sikap seseorang adalah di cerminkan
dalam bentuk tedensi perilaku.
2.2.2. Tingkatan Sikap
Menurut Notoadmodjo (2007), Sikap terdiri dari berbagai tingkatan :
1.

Menerima (receiving)
Diartikan orang atau subjek mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan objek.

2.

Merespon (responding)
Indikasi dari sikap adalah memberikan jawaban kalau ditanya,
menyelesaikan dan mengerjakan tugas yang diberikan.

3.

Menghargai (valuing)
Indikasi dari menghargai adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan
atau

4.

mendiskusikan suatu masalah.

Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala
resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi dalam tingkatan sikap.

2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Menurut Wawan (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi sikap
keluarga terhadap obyek sikap antara lain:
1.

Pengalaman pribadi
Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi
haruslah meninggalkan kesan yang kuat, karena itu, sikap akan lebih

Universitas Sumatera Utara

14

mudah terbentuk apabila pengalman pribadi tersebut terjadi dalam situasi
melibatkan faktor emosional.
2.

Pengaruh orang lain yang di anggap penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk memilih sikap yang konformis
atau searah dengan sikap orang yang di anggap penting. Kecendrungan
ini antara lain di motivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan kenginan
untuk menghindari konflik dengan orang yang di anggap penting
tersebut.

3.

Pengaruh kebudayaan
Tanpa di sadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita
terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota
masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman
individu-individu masyarakat asuhannya.

4.

Media massa
Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi
lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara objektif
cenderung di pengaruhi okeh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh
terhadap sikap konsumennya.

5.

Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama
sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah mengherankan jika kalau
pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.

Universitas Sumatera Utara

15

6.

Faktor emosional
Kadang kala suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang di sadari
emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasiatau
pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.

2.2.4. Skala Sikap
Menurut Riduan (2010), Bentuk-bentuk skala sikap yang perlu di ketahui
dalam melakukan penelitian. Berbagai skala sikap yang sering di gunakan ada
5 macam yaitu :
1.

Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi
seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial. Dalam
penelitian gejala sosial ini telah di tetapkan secara spesifik oleh peneliti,
yang selanjutnya di sebut sebagai variabel penelitian, dengan
menggunakan skla likert maka variabel yang akan di ukur di jabarkan
menjadi dimensi, dimensi dijabarkan menjadi sub variabel dijabarkan
lagi menjadi indikator indiator yang dapat di ukur, akhirya indikatorindikator yang terukur dijadikan titik tolak untuk membuat item
instrumen yang berupa pertanyaan yang perlubdi jawab oleh responden.
Menurut Riduan (2010), setiap jawaban dihubungkan dengan bentuk
pernyataan atau dukungan sikap yang di ungkapkan dengan kata-kata
dalam bentuk pernyataan positif sangat setuju (SS) = 5, setuju (S) = 4,
tidak setuju (TS) = 2, sangat tidak setuju (STS) = 1 dan pernyataan
negatif sangat setuju (SS) = 1 setuju (S), netral (N) = 3, tidak setuju (TS)
= 4, sangat tidak setuju (STS) = 5.

Universitas Sumatera Utara

16

2.

Skala guttman ialah skala yang di gunakan untuk jawaban yang bersifat
jelas dan konsisten misalnya yakin-tidak yakin.

3.

Skala defferensial semantik atau skala perbedaan semnatik berisikan
serangkaian karakteristik bipolar seperti panas-dingin.

4.

Rating scale yaitu data mentah yang didapatkan berupa angka yang
kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif.

5.

Skala Thurstone meminta responden untuk memilih pertanyaan yang
menyajikan pandangan yang berbeda-beda.

2.2.5. Sifat Sikap
Sikap dapat pula bersifat positif dan dapat pula bersifat negative
(Wawan, 2010).
1.

Sikap positif kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi,
mengharapkan obyek.

2.

Sikap negatif terdapat kecendrungan untuk menjauhi, menghindari,
membenci, tidak menyukai obyek tertentu

2.3. Konsep Spiritualitas
2.3.1. Defenisi Spiritualitas
Istilah “spiritualitas” diturunkan dari kata Latin yaitu “spiritus”, yang
berarti “meniup” atau “bernafas”. Spiritualitas mengacu pada bagaimana
menjadi manusia yang mencari makna melalui hubungan intra-, inter-, dan
transpersonal (Kozier, 2010).
Spiritualitas (spirituality) merupakan sesuatu yang dipercayai oleh
seseorang dalam hubungannya dengan kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan),

Universitas Sumatera Utara

17

yang menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan terhadap adanya Tuhan,
dan permohonan maaf atas segala kesalahan yang pernah diperbuat (Asmadi,
2008).
Spiritual adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan
ssesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah :sesuatu yang lebih
besar dari manusia” adalah sesuatu yang diluar diri manusia dan menarik
perasaan akan orang tersebut. Spiritualitas mempunyai dua dimensi, yaitu
dimensi vertical dan dimensi horizontal. Dimensi vertical adalah hubungan
dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang,
dan dimensi horizontal adalah hubungan dengan orang lain, diri sendiri dan
lingkungan (Hamid, 2008).
Konsep yang berhubungan dengan spiritualitas yaitu agama, keyakinan,
harapan, transendensi, pengampunan. Agama merupakan sistem keyakinan
dan praktik yang terorganisasi. Agama memberi suatu cara mengekspresikan
spiritual dan memberikan pedoman kepada yang mempercayainya dalam
berespon

terhadap

pertanyaan

dan

tantangan

hidup.

Perkembangan

keagamaan individu mengacu pada penerimaan keyakinan, nilai, pedoman
pelaksanaan,

dan

ritual

tertentu.

Keyakinan

adalah

meyakini

atau

berkomitmen terhadap sesuatu atau seseorang. Keyakinan memberi makna
bagi kehidupan, memberi kekuatan pada saat individu mengalami kesulitan
dalam kehidupannya. Keyakinan memberi kekuatan dan harapan (Kozier,
2010).

Universitas Sumatera Utara

18

Harapan merupakan konsep yang tergabung dengan spiritualitas. Yaitu
proses antisipasi yang melibatkan interaksi berpikir, bertindak, merasakan,
dan keterkaitan yang diarahkan ke pemenuhan di masa yang akan datang
yang bermakna secara personal. Tanpa harapan, pasien menyerah, kehilangan
semangat,

dan

penyakit

kemungkinan

semakin

cepat

memburuk.

Transendensi melibatkan kesadaran seseorang bahwa ada sesuatu yang lain
atau yang lebih hebat dari diri sendiri dan suatu pencarian dan penilaian
terhadap sesuatu yang lebih hebat tersebut, baik itu adalah mahluk, kekuatan,
atau nilai yang paling hebat (Kozier, 2010).
Kebutuhan akan ampunan merupakan kebutuhan akan ampunan dari
Tuhan, diri sendiri dan orang lain.serta kebebasan individu untuk mencintai
Tuhan, diri sendiri dan orang lain. Bagi banyak pasien, penyakit atau
kecacatan menimbulkan rasa malu atau rasa bersalah. Masalah kesehatan
diinterpretasi sebagai hukuman atau dosa yang dilakukan di masa lalu.
Perawat dapat berperan penting dalam membantu pasien memahami proses
pengampunan (Kozier, 2010).
2.3.2. Dimensi Spiritualitas
Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau
keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan
kekuatan ketika sedang menghadapi stres emosional, penyakit fisik, atau
kematian dan untuk mendapatkan kekuatan yang timbul diluar kekuatan
manusia (Kozier, 1995). Ada beberapa versi cara peneliti mengartikan
dimensi spiritualitas Mickey at all menggambarkan spritualitas merupakan

Universitas Sumatera Utara

19

suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama.
Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti hidup, sedangkan dimensi
agama berfokus pada hubungan seseorang dengan Yang Maha Penguasa.
Spiritualitas menurut teori Moberg dan Brusek (1978) dan Stoll (1989)
dalam Funnel, dkk, (2005), memiliki pengertian yang sama mengenai dimensi
spiritualitas bahwa spiritualitas terdapat dua dimensi, yakni vertikal dan
horizontal. Dimensi vertikal berhubungan dengan cara seseorang mendekati
Tuhan, alam semesta atau sesuatu yang lebih hebat dari dirinya. Dimensi
horizontal merujuk pada cara seseorang mendekati, dan berhubungan dengan
orang lain dan pengertian tujuan dan kepuasan dalam kehidupan yang tidak
dihubungkan dengan pengertian agama. Diantara kedua dimensi vertikal dan
horizontal terdapat sebuah hubungan timbal balik yang berkesinambungan.
2.3.3. Aspek Spiritualitas
Menurut Schreurs (2002), spiritualitas terdiri dari tiga aspek yaitu aspek
eksistensial, aspek kognitif,dan aspek relasional:
1.

Aspek eksistensial, dimana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian
dari dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang
dilakukan seseorang pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati
diri (true self).

2.

Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih
reseptif terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara
menelaah literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual
tertentu, melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga dengan melepas

Universitas Sumatera Utara

20

pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat
mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta
melakukan refleksi atas pengalaman tersebut, disebut aspek kognitif
karena aktivitas yang dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan
pencarian pengetahuan spiritual.
3.

Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa
bersatu dengan Tuhan dan/atau bersatu dengan cintaNya. Pada aspek ini
seseorang membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan
personalnya dengan Tuhan.

2.3.4. Karakteristik Spiritualitas
Menurut (Hamid, 2008), karakteristik spiritual yaitu
1.

Hubungan dengan diri sendiri.
Kekuatan dalam atau/dan self reliance yaitu:
a.

Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya).

b.

Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa
depan, ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri sendiri).

2.

Hubungan dengan alam harmonis
a.

Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, dan iklim.

b.

Berkomunikasi dengan alam (bertanam dan berjalan kaki),
mengabadikan, dan melindungi alam.

3.

Hubungan dengan orang lain harmonis:
a.

Berbagi waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal balik.

b.

Mengasuh anak, orang tua, dan orang sakit.

Universitas Sumatera Utara

21

c.

Meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat dan lainlain). Bila tidak harmonis akan terjadi konflik dengan orang lain,
resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.

4.

Hubungan dengan Ketuhanan
Terdiri yang Agamais dan tidak agamais:
a.

Sembahyang/berdoa/meditasi.

b.

Perlengkapan keagamaan.

c.

Bersatu dengan alam.

Secara ringkas Hamid (2008). menyatakan bahwa seseorang terpenuhi
kebutuhan spiritualitasnya jika mampu:
1.

Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaaannya di
dunia/kehidupan.

2.

Mengembangkan ari penderitaan dan meyakini hikmat dari suatu
kejadian atau penderitaan.

3.

Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya,
dan cinta.

4.

Membina integritas personal dan merasa diri berharga.

5.

Merasakan kehidupan yang terarah

2.3.5. Fungsi Spiritualitas
Spiritualitas mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hidup pada
individu. Spiritualitas berperan sebagai sumber dukungan dan kekuatan bagi
individu. Pada saat stres individu akan mencari dukungan dari keyakinan
agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk menerima keadaan sakit

Universitas Sumatera Utara

22

yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses
penyembuhan yang lama dan hasilnya belum pasti. Melaksanakan ibadah,
berdoa, membaca kitab suci dan praktek keagamaan lainnya sering
membantu memenuhi kebutuhan spiritualitas dan merupakan suatu
perlindungan bagi individu (Taylor 1997).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Haris 1999 dalam Hawari,
2005), pada pasien penyakit jantung yang dirawat di unit perawatan intensif
yang diberikan pemenuhan kebutuhan spiritualitas hanya membutuhkan
sebesar 11% untuk pengobatan lebih lanjut.
Menurut American Psychological Association (1992) dalam Hawari
(2005), bahwa spiritualitas dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam
mengatasi penderitaan jika seseorang sedang sakit dan mempercepat
penyembuhan selain terapi medis yang diberikan. Dalam hal ini bahwa
spiritualitas berperan penting dalam penyembuhan pasien dari penyakit
(Young 2005).
Spiritualitas

dapat

meningkatkan

imunitas,

kesejahteraan,

dan

kemampuan mengatasi peristiwa yang sulit dalam kehidupan (Koenig 2005).
Pada individu yang menderita suatu penyakit, spiritualitas merupakan
sumber koping bagi individu. Spiritualitas membuat individu memiliki
keyakinan dan harapan terhadap kesembuhan penyakitnya, mampu menerima
kondisinya, sumber kekuatan, dan dapat membuat hidup individu menjadi
lebih berarti (Pulchaski, 2004). Pemenuhan kebutuhan spiritualitas dapat
membuat individu menerima kondisinya ketika sakit dan memiliki pandangan

Universitas Sumatera Utara

23

hidup positif (Young, 1993 dalam Young, 2005). Pemenuhan kebutuhan
spiritualitas memberi kekuatan pikiran dan tindakan pada individu.
Pemenuhan kebutuhan spiritualitas memberikan semangat pada individu
dalam menjalani kehidupan dan menjalani hubungan dengan Tuhan, orang
lain, dan lingkungan. Dengan terpenuhinya spiritualitas, individu menemukan
tujuan, makna, kekuatan, dan bimbingan dalam perjalanan hidupnya.

2.4. Perencanaan dan Tindakan Keperawatan
Menurut Aziz Alimul H (2009), Rencana yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah spiritual, antara lain:
1.

Memberikan ketenangan atau privasi sesuai dengan kebutuhan melalui
berdoa dan beribadah secara rutin.

2.

Membantu individu yang mengalami keterbatasan fisik untuk melakukan
ibadah

3.

Menghadirkan pemimpin spiritual untuk menjelaskan berbagai konflik
keyakinan alternative pemecahannya.

4.

Mengurangi atau menghilangkan beberapa tindakan medis yang bertentangan
dengan keyakinan pasien dan mencari alternative pemecahannya.

5.

Mendorong untuk mengambil keputusan dalam melakukan ritual

6.

Membantu pasien untuk memenuhi kewajibannya.

Universitas Sumatera Utara

24

2.5. Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas
Perawat dapat memberikan pemenuhan kebutuhan spiritualitas kepada pasien
yaitu dengan memberikan dukungan emosional, membantu dan mengajarkan doa,
memotivasi dan mengingatkan waktu ibadah sholat, mengajarkan relaksasi dengan
berzikir ketika sedang kesakitan, berdiri di dekat klien, memberikan sentuhan
selama perawatan (Potter & Perry, 2005).
Kebutuhan spiritual pada penyakit akut. Kepercayaan spiritual dan kegitan
religius bisa menjadi lebih penting di saat seseorang menderita penyakit
dibandingkan pada waktu lain dalam kehidupannya. Ketika penyakit menyerang
dan mulai berkembang menjadi akut, bahkan menjadi lebih buruk, pasien pasti
mengalami perubahan hidup tertentu yang signifikan baik secara fisik dan emosi.
Serangan penyakit akut yang mendadak dan tak terantisipasi bisa menyebabkan
masalah emosional dan spiritual serius terkait dengan ketakutan akan kematian
atau cacat tubuh. Pemenuhan spiritual pasienyang sedang menderita penyakit akut
mungkin mencakup penerapan berbagai dasar tentang perawatan spiritual, seperti
mendengarkan, kehadiran, mendoakan dan/atau menghadirkan pemuka agama
atau pemberi layanan pendampingan spiritual yang dibutuhkan pasien (O’Brien,
2009).
Kebutuhan spiritual pada penyakit kronis. Pengalaman penyakit, terutama
pada penyakit kronis yang berlangsung sangat lama, dapat menjadi saat yang tepat
ketika kebutuhan spiritual sebelumnya terabaikan/belum disadari menjadi tampak.
Beberapa kebutuhan yang penting bagi orang dengan penyakit kronis adalah
harapan, kepercayaan, keberanian, iman, kedamaian, kasih (O’Brien, 2009).

Universitas Sumatera Utara

25

2.6. Gagal jantung kongesti
2.6.1

Pengertian

Gagal jantung kongesti adalah suatu kondisi dimana jantung mengalami
kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh
akan nutrien dan oksigen secara adekuat. Hal ini mengakibatkan peregangan
ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih banyak untuk
dipompakan ke seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku dan
menebal. Jantung hanya mampu memompa darah untuk waktu yang singkat
dan dinding otot jantung yang melemah tidak mampu memompa dengan
kuat.(Wajan, 2011).
Sebagai akibatnya, ginjal sering merespons dengan menahan air dan
garam. Hal ini akan mengakibatkan bendungan cairan dalam beberapa organ
tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau organ lainnya sehingga tubuh klien
menjadi bengkak (congestive).
Kondisi-kondisi penyebab gagal jantung secara umum dapat terjadi oleh
mekanisme sebagai berikut.
1.

Penyempitan pembuluh darah koroner
Kelainan fungsi otot jantung disebabkan oleh penyempitan pembuluh
darah koroner. Ini mengakibatkan otot jantung tidak berfungsi karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Ketidakmampuan otot jantung
untuk melakukan gerakan memompa seperti bisanya mengakibatkan isi
cairan darah dan jantung menurun.

Universitas Sumatera Utara

26

2.

Tekanan darah tinggi
Penyebab utama gagal jantung adalah tekanan darah tinggi. Hipertensi
sistemik meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya
mengakibatkan kelainan serabut otot jantung. Perubahan otot jantung
tersebut dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena akan
meningkatkan kontraktilitas jantung. Beban tekanan dari sistol yang
berlebihan di luar kemampuan ventrikel sehingga menyebabkan
hambatan pada pengeluaran aliran darah dari ventrikel yang menurunkan
curah ventrikel.

3.

Volume cairan berlebihan
Jika volume cairan berlebihan maka curah jantung mula-mula akan
meningkat sesuai dengan besarnya regangan otot jantung, tetapi bila
beban terus bertambah hingga melampaui batas maka curah jantung
justru akan menurun. Hal ini terjadi karena otot jantung rusak akibat
tekanan volume yang melebihi batas sehingga tidak mampu memompa
lagi sesuai volume yang ada.

4.

Penyakit penurunan fungsi otot jantung
Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan
gagal jantung. Demikian juga akibat bertambahnya usia, jantung
mengalami degenerasi. Kerusakan serabut otot jantung menyebabkan
penurunan fungsi bahkan mungkin tidak bisa berfungsi sama sekali.

Universitas Sumatera Utara

27

2.6.2. Klasifikasi Gagal Jantung
Ada empat kategori utam yang diklasifikasikan, yaitu sebagai berikut.
1.

Backward versus Forward Failure
Backward failure dikatakan sebagai akibat ventrikel tidak mampu
memompa volume darah keluar, menyebabkan darah terakumulasi dan
meningkatkan tekanan dalam ventrikel, atrium, dan sistem vena baik
untuk jantung sisi kanan maupun jantung sisi kiri.
Forward

failure

adalah

akibat

ketidakmampuan

jantung

mempertahankan curah jantung, yang kemudian menurunkan perfusi
jaringan. Karena jantung merupakan sistem tertutup, maka backward
failure dan forward failure selalu berhubungan satu sama lain.
2.

Low-Output versus High-Output Syndrome
Low output syndrome terjadi bilamana jantung gagal sebagai pompa,
yang mengakibatkan gangguan sirkulasi perifer dan vasokontriksi perifer.
Bila curah jantung tetap normal atau di atas normal namun kebutuhan
metabolik tubuh tidak mencukupi, maka high-output sindrome terjadi.
Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan kebutuhan metabolik,
seperti tampak pada hipertiroidisme, demam dan kehamilan, atau
mungkin dipicu oleh kondisi hiperkinetik seperti fistula arteriovenous,
beri-beri, atau Penyakit Paget’s.

3.

Kegagalan Akut versus Kronik
Manifestasi klinis dari kegagalan jantung akut dan kronis tergantung
pada seberapa cepat sindrom berkembang. Gagal jantung akut merupakan

Universitas Sumatera Utara

28

hasil dari kegagalan ventrikel kiri mungkin karena infark miokard,
disfungsi katup, atau krisis hipertensi. Kejadiannya berlangsung
demikian cepat dimana mekanisme kompensasi menjadi tidak efektif,
kemudian berkembang menjadi edema paru dan kolaps sirkulasi (syok
kardiogenik).
Gagal jantung kronis berkembang dalam waktu yang relatif cukup
lama dan biasanya merupakan hasil akhir dari suatu peningkatan
ketidakmampuan mekanisme kompensasi yang efektif. Biasanya gagal
jantung kronis dapat disebabkan oleh hipertensi, penyakit katup, atau
penyakit paru obstruksi kronis/menahun.
4.

Kegagalan Ventrikel Kanan versus Ventrikel Kiri
Kegagalan ventrikel kiri adalah merupakan frekuensi tersering dari
dua contoh kegagalan jantung dimana hanya satu sisi jantung yang
dipengaruhi. Secara tipikal disebabkan oleh penyakit hipertensi,
Coronary Artery Disease (CAD), dan penyakit katup jantung sisi kiri
(mitral dan aorta). Kongesti pulmoner dan edema paru biasanya
merupakan gejala segera (onset) dari gagal jantung kiri.
Gagal jantung kanan sering disebabkan oleh gagal jantung kiri,
gangguan katup trikuspidalis, atau pulmonal. Hipertensi pulmoner juga
mendukung berkembangnya kegagalan jantung kanan, peningkatan
kongesti atau bendungan vena sistemik, dan edema perifer.(Wajan,
2011).

Universitas Sumatera Utara

29

2.7. Etiologi
Gagal jantung merupakan hasil dari suatu kondisi yang menyebabkan
overload volume, tekanan dan disfungsi miokard, gangguan pengisian, atau
peningkatan kebutuhan metabolik.
Klasifikasi etiologi dikelompokkan berdasarkan faktor etiologi eksterna
maupun interna yaitu:
1.

Faktor eksterna (dari luar jantung): hipertensi renal, hipertiroid, dan
anemia kronis/berat.

2.

Faktor interna (dari dalam jantung).
a.

Disfungsi katup: Ventricular Septum Defect (VSD), Atria Septum
Defect (ASD), stenosis mitral, dan insufisiensi mitral.

b.

Disritmia : atrial fibrilasi, ventrikel fibrilasi, dan heart block.

c.

Kerusakan miokard : kardiomiopati, miokarditis, dan infark miokard.

d.

Infeksi : endokarditis bacterial sub-akut.

Universitas Sumatera Utara