Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tindak Pidana Narkotika

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejaksaan sebagai salah satu pilar penegak hukum memiliki tugas yang
sangat berat dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia secara komprehensif.
Hal demikian merupakan salah satu alasan Pemerintah Republik Indonesia yang
semakin mempertegas dasar hukum kejaksaan di bidang penuntutan dengan
diundangkannya UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang
menggantikan UU No.5 Tahun 1991. Dalam satu diktum pertimbangan UU No.16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan dinyatakan bahwa menimbang Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 maka
penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai
tujuan nasional. 1
Salah satu pilar Pemerintah yang berfungsi dalam mewujudkan tujuan
nasional adalah Kejaksaan Republik Indonesia yang diberi tugas, fungsi, dan
wewenang sebagai Penuntut Umum. Sebagaimana penegasannya ditentukan dalam
Pasal 1 angka 1 UU No.16 Tahun 2004 ditentukan bahwa “Jaksa adalah pejabat
fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai
penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh


1

Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), hal. 128.

Universitas Sumatera Utara

kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”. UU No.16
Tahun 2004 diundangkan pada tanggal 26 Juli 2004 untuk lebih memantapkan
kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari segala
pengaruh kekuasaan pihak manapun.
Eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia dalam upaya penegakan hukum
tidak bisa diabaikan. Sebab, di samping secara normatif ada yang mengaturnya, juga
dalam tataran faktual, masyarakat menghendaki lembaga atau aparat penegak hukum
di bidang penuntutan benar-benar berperan sehingga terwujud rasa keadilan,
kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. 2 Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagaian
faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan
menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. 3 Kedudukan

kejaksaan bukan sebagai pelaksana kekuasaan dalam penanganan perkara-perkara
yang dituntutnya, keadaan demikian dinilai bernuansa politis. 4
Sejalan dengan peranan Kejaksaan dalam bidang penuntutan, salah satu
prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang
di hadapan hukum (equality before the law) sehingga karenanya, setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta
2

Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen &
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009),
hal. 189.
3
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Rajawali, 1983), hal. 5.
4
Suara Pembaruan, Tanggal 20 Februari 2003, hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

perlakuan yang sama di hadapan hukum. Badan-badan lain yang berperan

melaksanakan prinsip equality before the law sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 38
ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman antara lain
kepolisian, kejaksaan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan.
Penuntutan dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Menegakkan supremasi hukum,
perlindungan kepentingan umum, dan penegakan HAM. 5 Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan dan wewenang lain berdasarkan undang-undang, terbebas dari
pengaruh kekuasaan pihak manapun.
Menjadi pengalaman yang berharga pada kasus yang melibatkan dua orang
Jaksa (Esther Tanak dan Dara Veranita) terlibat menggelapkan 343 butir ekstasi yang
dibebaskan dari penahanan Polda Metro Jakarta, menjadi sorotan publik dan preseden
buruk terhadap citra Kejaksaan Republik Indonesia serta berbagai kasus-kasus lain
yang melibatkan Jaksa hendaknya tidak terulang kembali dalam proses penegakan
hukum. 6
Salah satu bidang hukum dalam pelaksanaan tugas Kejaksaan menurut Pasal
30 ayat (1) huruf b UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, melakukan penuntutan
dan pelaksana (eksekutor) putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

5

6

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 32.
http://m.antikorupsi.org/?q=node/14361, diakses tanggal 16 Nopember 2011.

Universitas Sumatera Utara

terkait dengan tindak pidana Narkotika. UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika 7
meletakkan dasar bagi Kejaksaan untuk berperan dalam melaksanakan tugasnya di
bidang penuntutan yang tidak terlepas dari Sistim Peradilan Pidana atau Criminal
Justice System.
Sebelum dilakukan penuntutan terhadap perkara dimaksud, untuk dapat
kepentingan pembuktiannya, pihak-pihak terkait terlebih dahulu melakukan penyitaan
terhadap barang-barang bukti yang dapat dijadikan dasar penuntutan di sidang
pengadilan. Berdasarkan Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 88 ayat (1) UU No.35 Tahun
2009 diketahui bahwa penyidik dalam perkara narkotika adalah penyidik Kepolisian
dan penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) serta Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) yang berwenang melakukan penyitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. 8
Tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik tersebut, wajib diberitahukan
kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali

dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan
kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan. 9 Pasal ini menegaskan kepada institusi Kejaksaan berperan dalam
melakukan penyitaan terhadap barang bukti Narkotika. Jadi, pihak Kejaksaan

7

UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika menggantikan dua undang-undang sebelumnya
yakni UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
Kedua undang-undang tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku lagi atau sudah dicabut melalui Pasal
153 dan 155 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika tertanggal 12 Oktober 2009.
8
Pasal 1 angka 2 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam
undang-undang ini.
9
Pasal 87 ayat (2) UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara


menurut pasal ini hanya bersifat mengetahui telah dilakukannya penyitaan oleh
penyidik.
Penyidikan terhadap kasus Narkotika hanya dapat dilakukan oleh kepolisian,
BNN, dan PPNS kecuali ditentukan lain sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal
73 UU No.35 Tahun 2009 penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap penyalahgunaan Narkotika, peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali
ditentukan lain dalam UU No.35 Tahun 2009.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika sangat merugikan dan
membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Penyalahgunaan
Narkotika tersebut karena di satu sisi Narkotika merupakan obat atau bahan yang
bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan sedangkan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang
sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan
pengawasan yang ketat dan saksama. 10
Mengimpor,

mengekspor,


memproduksi,

menanam,

menyimpan,

mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan
yang ketat dan seksama adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
merupakan tindak pidana Narkotika. 11 UU No.35 Tahun 2009 jelas melarang pelaku
yang menyalahgunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat
10

M. Arief Hakim, Narkoba: Bahaya dan Penanggulangannya, (Bandung: Jember, 2007),

11

Konsideran huruf d UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

hal. 25.


Universitas Sumatera Utara

dan seksama oleh karena peruntukannya hanya diperbolehkan untuk keperluan di
bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Sanksi pidana terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
menurut UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika lebih berat dibandingkan dengan
undang-undang sebelumnya yaitu UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal
ini dimaksud untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan
sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua
puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana
tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah
Narkotika. 12
Sehubungan dengan penuntutan dalam perkara tindak pidana Narkotika
tersebut, salah satu wujud dari pelaksanaan tugas Kejaksaan dalam melakukan
penuntutan perkara tindak pidana Narkotika adalah melakukan penuntutan terhadap
terdakwa atas nama M. Syafii, tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara
dalam jual beli Narkotika golongan I. Menurut Laporan Jaksa Penuntut Umum bahwa
Putusan Nomor 1474/Pid.B/2011/PN-Mdn, atas nama terdakwa M. Syafii dinyatakan
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak

atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli Narkotika golongan I” dan
menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda

12

Paragraf ke-5 Penjelasan Umum UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara

sebesar Rp.1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupisah). 13 Perbuatan
terdakwa melanggar Pasal 114 ayat (2) UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yang ditegaskan sebagai berikut:
Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika
Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman
beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau
dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).


Barang bukti dalam perkara Narkotika ini adalah golongan I yakni 1 (satu)
bungkus plastik klip tembus pandang berisikan Narkotika jenis shabu-shabu berat
bruto 15 (lima belas) gram dan 1 (satu) unit Handphone merek Soni Ericson berwarna
hitam nomor kartu 181375704805. 14 JPU mengenakan Pasal 114 ayat (2) UU No.35
Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana bahwa pasal tersebut merupakan
penambahan 1/3 (sepertiga) dari jumlah sanksi. Pertimbangan memberatkan yang
diajukan JPU dalam tuntutannya bahwa perbuatan terdakwa telah meresahkan
masyarakat dan tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas
penyalahgunaan Narkotika. 15
Kejaksaan berperan penting dalam melakukan penuntutan di sidang
pengadilan dalam kasus Narkotika untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam
13

Laporan Jaksa Penuntut Umum (P-44) Kejaksaan Negeri Medan pada bulan Agustus 2011.
Lihat juga: Kutipan Putusan Daftar Pidana Pengadilan Negeri Medan.
14
Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Nomor Register Perkara: PDM847/N.2.10.3/EP.2/mdn/05/2011 tertanggal 22 Agustus 2011, hal. 2.
15
Ibid, hal. 3.


Universitas Sumatera Utara

persidangan. Apabila terjadi kesalahan dalam menentukan bukti-bukti yang tidak
cukup, dapat mangakibatkan bebasnya terdakwa dari segala tuntutan. Dalam hal
bukti-bukti yang tidak mencakupi menurut Pasal 183 KUHAP, hakim tidak
dibenarkan menjatuhkan putusan terhadap seseorang kecuali dengan sekurangkurangnya ada dua alat bukti yang sah dan ditambah dengan keyakinan hakim bahwa
suatu tindak pidana itu benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Apabila tidak memenuhi unsur yang disebutkan dalam Pasal 183
KUHAP maka pengambilan pengambilan keputusan hakim dalam persidangan
mengakibatkan kekaburan (obscuur) bahan atau barang bukti sehingga dapat
berdampak terhadap penghukuman terdakwa atau bahkan terdakwa dapat dibebaskan
oleh hakim karena tidak terbukti kesalahannya. Keadaan demikian dapat diakibatkan
apabila penuntutan tidak dilaksanakan dengan memenuhi bukti-bukti yang cukup.
Penyidik tindak pidana Narkotika adalah Badan Narkotika Nasional (BNN)
dan pihak Kepolisian yang menurut ketentuan Pasal 87 ayat (2) UU No.35 Tahun
2009 wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada kepala Kejaksaan
Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam
sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada ketua pengadilan
negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan penyitaan terhadap
Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib membuat berita acara penyitaan dan
menyerahkan barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada penyidik BNN
atau penyidik Kepolisian setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua

Universitas Sumatera Utara

puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acaranya
disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat, ketua pengadilan negeri
setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Apabila berpedoman pada Pasal 1 angka 16 KUHAP, maka setelah dilakukan
penyitaan oleh penyidik tindak pidana Narkotika, maka berkas perkaranya
dilimpahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat untuk kepentingan
pembuktian dalam sidang pengadilan. 16 Kepala Kejaksaan Negeri setempat
berkewajiban menetapkan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika
untuk

kepentingan

pembuktian

perkara,

kepentingan

pengembangan

ilmu

pengetahuan dan teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau
dimusnahkan. Apabila Kepala kejaksaan negeri secara melawan hukum tidak
melaksanakan kewajibannya menetapkan status barang sitaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika, menurut Pasal 141 UU No.35 Tahun 2009 dapat dipidana baik
pidana penjara maupun denda.
Sebagai penegak hukum dalam Sistim Peradilan Pidana (SPP), Kejaksaan
merupakan salah satu unsur penting dalam penegakan hukum secara litigasi yang
berarti penegakan hukum dimulai dari proses penangkapan, penahanan, penuntutan,

16

Pasal 1 angka 16 KUHAP menegaskan bahwa penyitaan adalah serangkaian tindakan
penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau
tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan, dan sidang pengadilan.

Universitas Sumatera Utara

dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di
Lembaga Pemasyarakatan. 17
SPP telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam
penegakan hukum dengan menggunakan dasar pendekatan sistim. 18 Peradilan pidana
yang baik memiliki ciri-ciri: 19
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana;
2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen
peradilan pidana;
3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efesiensi
penyelesaian perkara; dan
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan administrasi
peradilan pidana.
Dalam proses peradilan pidana berdasarkan UU No.16 Tahun 2004 tugas
pokok Kejaksaan menyaring kasus-kasus yang layak diajukan ke sidang pengadilan;
mempersiapkan berkas penuntutan; melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan
pengadilan. Tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pidana dalam Pasal 30 ayat
(1) UU No.16 Tahun 2004 meliputi:
1. Melakukan penuntutan;
2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
17

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Putra Bardin, 1996), hal.
33. Lihat juga: Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam Konteks
Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 70.
18
Ibid, hal. 14.
19
Yesmi Anwar dan Adang, Op. cit, hal. 34-35.

Universitas Sumatera Utara

3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
4. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang;
5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Peranan Jaksa dalam menyita dan menuntut barang bukti perkara tindak
pidana Narkotika dalam rangka pelaksanaan UU No.35 Tahun 2009 tentang
Narkotika pada hakikatnya melaksanakan tujuan UU No.35 Tahun 2009 sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 4 sebagai berikut:
1. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
2. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan Narkotika;
3. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
4. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna
dan pecandu Narkotika.
Peranan Kejaksaan sebagai salah satu unsur penting dalam SPP menempati
peran yang sangat penting dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam
rangka melaksanakan penuntutan dalam perkara tindak pidana Narkotika di sidang
pengadilan, maka dirasa penting untuk dilakukan penelitian tentang: Peranan
Kejaksaan Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tindak Pidana Narkotika Dalam
Rangka Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai judul dalam
penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, ditemukan ada 2
(dua) pokok permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimanakah peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntuan tindak pidana
Narkotika?
2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penuntutan dan apa
upaya yang dilakukan Kejaksaan untuk menghadapi kendala tersebut?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian terhadap Peranan Kejaksaan Dalam Penyitaan
dan Penuntutan Barang Bukti Perkara Tindak Pidana Narkotika Dalam Rangka
Pelaksanaan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini adalah:
1. Untuk mengkaji peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan tindak
pidana Narkotika.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan
penuntutan dan apa upaya yang dilakukan Kejaksaan untuk menghadapi
kendala tersebut?

D. Manfaat Penelitian
Manfaat suatu penelitian yang penting adalah memberikan kontribusi terhadap
pihak-pihak terkait, baik secara teoritis maupun praktis, manfaat penelitian ini adalah:

Universitas Sumatera Utara

1. Secara teoritis dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir bagi kalangan
akademisi terhadap permasalahan hukum terkait dengan peranan kejaksaan
dalam melakukan penyitaan dan penuntutan barang bukti perkara tindak
pidana Narkotika.
2. Secara praktis bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum: Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Badan Narkotika Nasional (BNN), Polisi,
Jaksa, dan Hakim sebagai institusi yang berperan penting dan berkoordinasi
secara terpadu dalam menangani kasus-kasus tindak pidana pada umumnya
dan tindak pidana Narkotika pada khususnya.

E. Keaslian Penulisan
Sebelum melakukan penelitian ini, terlebih dahulu telah dilakukan
penelusuran terhadap judul dan permasalahan di perpustakaan Universitas Sumatera
Utara dan di perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Hasil dari
penelusuran tidak ditemukan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian
ini. Permasalahan dan judul tentang Peranan Kejaksaan Dalam Penyitaan dan
Penuntutan Barang Bukti Perkara Tindak Pidana Narkotika Dalam Rangka
Pelaksanaan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, baru pertama kali dilakukan
penelitian dimaksud. Sehingga dengan demikian, judul dan permasalahan di dalam
penelitian ini adalah asli dan tidak mengandung unsur plagiat terhadap karya tulis
milik orang lain.

Universitas Sumatera Utara

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Kerangka teori sangat penting digunakan dalam setiap penelitian berfungsi
sebagai pisau analisis dalam mengupas dan menganalisa permasalahan. Kerangka
teori tersusun dari berbagai teori-teori dan doktrin berkaitan dengan permasalahan.
Untuk menganalisis peranan Kejaksaan dalam penyitaan dan penuntutan barang bukti
perkara tindak pidana Narkotika diambil dari teori sistim hukum (legal system theory)
dikaitkan dengan Sistim Peradilan Pidana (Criminal Justice System).
Legal system theory membedakan dua sistim hukum yaitu: civil law
(Continental Europe Legal System) yang didominasi hukum perundang-undangan,
dan common law (Anglo-American Legal System) yang didominasi hukum tidak
tertulis dan putusan-putusan pengadilan terdahulu (precedent). Dapat dipahami
definisi sistim hukum menurut para pakar berikut ini:
a. H. Ridwan Syahrani, mengatakan sistim hukum adalah ”Suatu susunan atau
tatanan yang teratur dari keseluruhan elemen yang terdiri atas bagian-bagian
yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil
dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan”. 20
b. Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, mengatakan sistim hukum adalah ”Suatu
kesatuan sistim besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub

20

H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999), hal. 169.

Universitas Sumatera Utara

sistim pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain,
yang hakekatnya merupakan sistim tersendiri”. 21
Definisi di atas menunjukkan sistim hukum sebagai suatu kompleksitas sistem
yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.
Tiga komponen dalam sistim hukum yaitu: struktur hukum, substansi hukum, dan
kultur hukum. 22 Ketiga komponen tersebut merupakan elemen penting dalam
penegakan hukum, jika salah satu elemen dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan
baik, dapat mengganggu sistim hukum, hingga pada gilirannya akan terjadi
kepincangan hukum.
Unsur-unsur tersebut menurut Lawrence M. Friedman sebagai faktor penentu
apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. 23 Soerjono
Soekanto, mengatakan ketiga komponen ini merupakan bagian faktor-faktor
penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan
menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. 24
Hukum merupakan urat nadi dalam aspek kehidupan. 25 Hukum akan mampu
dipakai di tengah masyarakat, jika lembaga pelaksananya dilengkapi dengan tugas
dan kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Pasal 30 ayat (1) UU No.16 Tahun

21

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju,
2003), hal. 151.
22
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana,
2009), hal. 204.
23
Lawrence M. Friedman, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah
Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.
24
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor…….Op. cit, hal. 5.
25
H. Ridwan Syahrani, Op. cit, hal. 169.

Universitas Sumatera Utara

2004 tentang Kejaksaan ditegaskan tugas dan wewenang Jaksa di bidang pidana,
yaitu:
a. Melakukan penuntutan; 26
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap; 27
c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas bersyarat; 28
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Kejaksaan dalam menjalankan tugas atas dasar hukum yang baik dan adil
karena hukum menjadi landasan segenap tindakan lembag-lembaga negara melalui

26

Penjelasan Pasal 30 Ayat (1) Huruf a UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaskaan,
menjelaskan bahwa dalam melakukan penuntutan, Jaksa dapat melakukan prapenuntutan.
Prapenuntutan adalah tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima
pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas
perkara hasil penyidikan yang diterimanya dari penyidik serta memberikan petunjuk guna melengkapi
untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke penuntutan.
27
Penjelasan Pasal 30 Ayat (1) huruf b UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaskaan,
menjelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan
memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan
Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan
pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman
mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya
dijual atau dilelang.
28
Penjelasan Pasal 30 Ayat (1) huruf c UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaskaan,
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan putusan lepas bersyarat adalah putusan yang dikeluarkan
oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemasyarakatan.

Universitas Sumatera Utara

koordinasi antar instansi terkait dan hukum itu sendiri harus benar dan adil.

29

Koordinasi antara Kejaksaan dengan penegak hukum lainnya dalam Pasal 33 UU
No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menegaskan Kejaksaan membina hubungan
kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau
instansi lainnya. 30 Tugas dan wewenang tersebut dilaksanakan secara merdeka
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. 31
Kejaksaan dalam menjalankan tugas nya tunduk dan patuh pada sumpah atau janji,
serta kode etik jaksa sebagai pedoman atau petunjuk dalam menjalankan tugas seharihari yang lazim disebut ”Tri Krama Adhyaksa”. 32 Tri Krama Adhyaksa menurut
Liliana Tedjosaputro landasan jiwa dari setiap warga Jaksa dalam meraih cita-cita
luhurnya, terpatri dalam ”trapsila” meliputi tiga krama yaitu:
a. Stya artinya kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur baik terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama
manusia;
b. Adhy, artinya kesempurnaan dalam bertugas yang berunsur utama pada
kepemilikan rasa tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga
dan sesama manusia; dan

29

Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, tanpa tahun), hal. 295.
30
Penjelasan Pasal 33 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menjelaskan bahwa menjadi
setiap kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan
untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan
keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan terpadu.
31
Supriadi, Op. cit, hal. 127.
32
Ibid, hal. 132.

Universitas Sumatera Utara

c. Wicaksana, artinya bijaksana dalam tutur kata dan perilaku khususnya dalam
penerapan kekuasaan dan kewenangan. 33
Dalam melaksanakan tugas, Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan
kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan
mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib
menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat. 34
Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan
antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan
pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera adil dan
makmur (walfare state) berdasarkan Pancasila, melindungi kepentingan masyarakat,
dan berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah
dalam mendukung tata kelola pemerintahan yang bersih (good governance). 35
Teori legal system dalam kaitannya dengan tugas Kejaksaan dalam proses
peradilan pidana tidak terlepas dari teori peranan (role theory) yang mengatakan
peranan yang berbeda membuat jenis tingkah laku atau tata kerja yang berbeda

33

Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003),

hal. 103.
34

RM. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan
Kedudukannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 35.
35
Sofyan Nasution, “Upaya Mendorong Birokrasi Pemerintah Berlandaskan Prinsip-Prinsip
Good Governance”, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Diseminasi Policy Paper, yang
diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan,
Sumatera Utara, hal 1.

Universitas Sumatera Utara

pula. 36 Setiap orang, lembaga, institusi dan lain-lain mempunyai peran yang berbeda
pada masing-masing kedudukan, lembaga, atau institusinya dalam menciptakan
kondisi negara dalam keadaan tidak kacau sehingga tujuan pembangunan nasional
dapat berjalan dengan baik. 37
1. Landasan Konsepsional
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa istilah sebagai landasan
konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman mengenai definisi
atau pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berkut:
a) Peranan adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu
posisi tertentu dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang.
b) Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara
di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
c) Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus
oleh hakim di sidang pengadilan.
d) Tindak pidana adalah segala perbuatan yang dilarang dan diancam oleh
undang-undang dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.
36

Indria Samego, Peranan Polri Dalam Kerangka Kerja Sistem Keamanan Nasional,
(Jakarta: Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2006), hal. 1.
37
http://indonesia.heartnsouls.com/cerita/d/c370.shtml, diakses tanggal 17 Nopember 2011.

Universitas Sumatera Utara

e) Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU No.35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
f) Penyalahguna Narkotika adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa
hak atau melawan hukum disebut pula dalam penelitian ini sebagai tindak
pidana Narkotika.

G. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan
masalah berdasarkan metode tertentu. Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk
dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang
bersangkutan. 38 Penelitian atau kegiatan ilmiah bertujuan untuk mengungkapkan
kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. 39 Penelitian hukum adalah
suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran

38

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia
Hillco, 1990), hal. 106.
39
Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

tertentu yang bertujuan untuk mempelajari gejala-gejala hukum dengan cara
menganalisisnya. 40
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu
penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan atau disebut juga
sebagai penelitian doktrinal. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu
menggambarkan fakta tentang peranan Kejaksaan dalam penuntutan perkara
Narkotika dan menjelaskan hubungan antara fakta tersebut dengan peraturan
perundang-undangan seperti UU UU Kejaksaan dan UU Narkotika serta peraturan
lainnya yang menyangkut dengan penelitian ini. Selain digunakan yuridis normatif,
dalam penelitian ini juga digunakan penelitian hukum empiris melalui wawancara
mendalam terhadap pihak-pihak terkait gunanya untuk memperkuat argumentasiargumentasi yuridis dalam penelitian ini.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara mendalam terhadap:
Jaksa Penuntut, pelaku tindak pidana Narkotika, dan masyarakat sedangkan
data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer atau pokok: KUHAP, UU No.16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), dan UU No.35 Tahun 2009
40

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

tentang Narkotika (UU Narkotika).
b. Bahan hukum sekunder atau bahan yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer: makalah-makalah seminar, majalah,
jurnal ilmiah, artikel, internet, dan surat kabar yang relevan dengan objek
penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
Besar Bahasa Indonesia (Ensiklopedia) dan Bahasa Inggris yang memiliki
relevansi dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi terhadap dokumendokumen yang relevan melalui pemanfaatan sumber daya perpustakaan dengan
mengidentifikasi data yang yang berhubungan dengan peranan Kejaksaan dalam
melakukan penuntutan perkara tindak pidana Narkotika. Selain itu, pengumpulan data
dilakukan penelitian lapangan dengan memanfaatkan beberapa pihak sebagai
responden. Wawancara dilakukan untuk mendukung dan memperkuat argumentasiargumentasi dalam penelitian ini.
Data yang telah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan dipilah-pilah
guna memperoleh pasal-pasal dalam UU Narkotika dan UU Kejaksaan yang
mengandung kaedah-kaedah dan norma-norma yang relevan dengan permasalahan
yang sedang diteliti. Kemudian dilakukan sistematisasi untuk mendapatkan
klasifikasi yang selaras dan seimbang terhadap permasalahan dimaksud tersebut.

Universitas Sumatera Utara

4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu analisis yang bertolak dari data
yang dikumpulkan dengan memanfaatkan teori yang ada sebagai penjelas dan
berakhir dengan suatu teori. Data yang dianalisis secara kualitatif tersebut kemudian
disistematisasikan sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan
permasalahan. Data yang dianalisis tersebut akan dikemukakan dalam bentuk uraian
secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data,
selanjutnya dinyatakan secara deduktif sehingga selain menggambarkan secara
umum dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap
permasalahan yang dalam melakukan penuntutan oleh Kejaksaan.

Universitas Sumatera Utara