Analisis Faktor yang Memengaruhi Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Putri di Kecamatan Kualuh Leidong Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2013
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku Seks Pranikah 2.1.1 Pengertian
Menurut Notoatmodjo (2007b), perilaku seksual remaja terdiri dari kata-kata yang memiliki pengertian yang sangat berbeda satu sama lainnya. Perilaku dapat diartikan sebagai respon organisme atau respons seseorang terhadap stimulus (rangsangan) yang ada. Sedangkan seksual adalah rangsangan atau dorongan yang timbul berhubungan dengan seks. Jadi, perilaku seksual adalah tindakan yang dilakukan oleh remaja berhubungan dengan dorongan seksual yang datang baik dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya.
Menurut Sarwono (2012), perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik yang dilakukan dengan lawan jenisnya maupun sesama jenis tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri.
Selain itu menurut Damayanti (2012), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan senggama. Obyek seksual
(2)
dapat berupa orang, baik sejenis maupun lawan jenis, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sebagian tingkah laku ini memang tidak memiliki dampak, terutama bila tidak menimbulkan dampak fisik bagi orang yang bersangkutan atau lingkungan sosial. Tetapi sebagian perilaku seksual (yang dilakukan sebelum waktunya) justru dapat memiliki dampak psikologis yang sangat serius, seperti rasa bersalah, depresi, marah dan agresi.
Sedangkan menurut Tim sahabat remaja Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY (2007), yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah perilaku yang muncul karena adanya dorongan seks sehingga seseorang akan melakukan hubungan seks sebelum adanya ikatan perkawinan yang sah, baik yang berhubungan seks yang penetratif (penis dimasukkan kedalam vagina, anus atau mulut) maupun yang nonpenetratif (penis tidak dimasukkan kedalam vagina, anus atau mulut). Oral dan anal seks termasuk kedalam hubungan seks yang penetratif.
Menurut Soetjiningsih (2007), perilaku seksual remaja adalah segala tingkah laku seksual yang didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenisnya, yang dilakukan remaja sebelum mereka menikah. Bentuk-bentuk prilaku ini umumnya bertahap dimulai dari tingkat yang kurang intim sampai dengan hubungan seksual. Tahap-tahap prilaku seksual remaja dapat dirinci sebagai berikut : (1) berpegangan tangan, (2) memeluk/dipeluk bahu, (3) memeluk/dipeluk pinggang, (4) ciuman bibir, (5) ciuman sambil pelukan, (6) meraba/diraba daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan berpakaian, (7) mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan berpakaian, (8) saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian, (9)
(3)
meraba/diraba daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian, (10) mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian, (11) saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan tanpa berpakaian, (12) hubungan seksual. Hubungan seksual pranikah yang dilakukan remaja mempunyai efek yang beruntun (multiplying effect) antara lain : rasa bersalah atau berdosa, menyesal, self-resfect rendah, emosi negatif kehamilan yang tidak diinginkan, rentan terhadap penyakit menular seksual, HIV/AIDS, dan aborsi.
Menurut L’Engle, dkk (2006) perilaku seksual terbagi atas dua aktivitas yaitu aktivitas seksual ringan dan berat yang dimulai dari menaksir seseorang, sesekali pergi berkencan, pergi ketempat yang bersifat pribadi, berciuman ringan, french kiss, sampai melakukan aktivitas seksual berat seperti, meraba payudara, meraba vagina atau penis, oral seks, dan melakukan hubungan seksual.
Kisney dalam Murti (2008) juga mengatakan bahwa kategori atau tingkatan perilaku seksual dibagi menjadi 2 (dua), yaitu perilaku seksual ringan jika seseorang pernah melakukan berpegangan tangan, berpelukan, sampai berciuman bibir, dan perilaku seksual berat jika seseorang pernah melakukan perilaku seksual meraba dada atau alat kelamin pasangan, saling menggesekkan alat kelamin dengan pasangan, oral seks dan melakukan hubungan seksual (intercourse).
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun agama.
(4)
2.1.2 Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah
Penelitian yang dilakukan oleh BkkbN (2012) dalam Ringkasan Riset Studi Mengenai Perilaku Seksual Kawula Muda di Empat Kota Besar di Indonesia, menunjukkan bahwa perilaku seksual yang banyak muncul dengan pasangan adalah sampai tahap berciuman baik kening, pipi maupun bibir.
DeLamenter dan MacCorquodale dalam Santrock (2007), mengemukakan ada beberapa bentuk perilaku seksual yang biasa muncul, yaitu:
a. Mencium/dicium kening b. Mencium/dicium pipi
c. Necking, yaitu berciuman sampai ke daerah dada
d. Lip kissing, yaitu bentuk tingkah laku seksual yang terjadi dalam bentuk
ciuman bibir antara dua orang.
e. Deep kissing, yaitu berciuman bibir dengan menggunakan lidah. f. Meraba payudara
g. Petting, yaitu bentuk hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan
antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam (alat kelamin tidak bersentuhan secara langsung).
h. Oral sex, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan menggunakan organ
oral (mulut dan lidah) dengan alat kelmain pasangannya.
i. Sexual intercourse (coitus), yaitu hubungan kelamin yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan, dimana penis pria dimasukkan ke dalam vagina wanita hingga terjadi orgasme/ejakulasi
(5)
Gunarsa dan Gunarsa (2000) mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk perilaku seksual pada remaja dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. Masturbasi
Perilaku seksual ini seringkali dianggap sebagai kebiasaan buruk. Perilaku ini dapat menimbulkan goncangan-goncangan pribadi dan emosional. Penyebab dari perilaku seksual ini di antaranya adalah unsur ketidaksengajaan, pengaruh dari teman, dan rangsangan atau stimulus yang timbul melalui gambar atau film.
b. Pacaran
Perilaku seksual ini dapat mengarah pada terjadinya hubungan seksual. Remaja yang berpacaran pada awalnya menunjukkan perilaku seksual yang ringan seperti bersentuhan, berpegangan tangan, sampai pada berciuman. Perilaku seksual yang ringan tersebut secara lebih lanjut dapat menimbulkan dorongan yang lebih besar untuk melakukan perilaku seks yang lebih berat seperti menyentuh organ-organ seks pasangan sampai dengan melakukan hubungan seks.
c. Senggama
Perilaku seksual ini mengarah pada pemuasan dorongan seks. Perilaku ini menunjukkan kegagalan remaja untuk mengendalikan diri atau meredam dorongan seks dan mengalihkannya pada kegiatan-kegiatan lain yang sebenarnya dapat dilakukan. Remaja yang melakukan perilaku seksual ini cenderung kurang stabil kepribadiannya karena terlalu mengikuti dorongan yang hanya mendasarkan pada prinsip kesenangan tanpa memperhitungkan konsekuensinya.
(6)
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual remaja secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu masturbasi, pacaran, dan senggama. Masturbasi sebagai bentuk perilaku seksual dilakukan dengan menyentuh, meraba, dan mempermainkan alat kelaminnya sendiri. Pacaran sebagai bentuk perilaku seksual ringan dilakukan secara berpasangan dengan saling menyentuh, memegang dan mencium. Sementara senggama sebagai bentuk perilaku seksual juga dilakukan secara berpasangan tetapi tergolong perilaku yang berat karena hanya untuk mengejar kesenangan tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Dalam penelitian ini, perilaku seksual pada remaja diukur dengan mengacu pada bentuk-bentuk yang dikemukakan oleh Gunarsa dan Gunarsa (2000) yaitu masturbasi, pacaran, dan senggama.
2.1.3 Akibat Hubungan Seksual Pranikah
Menurut Pinem (2009), hubungan seksual pranikah membawa pengaruh buruk baik bagi remaja maupun keluarga dan masyarakat.
1. Akibat hubungan seksual pranikah bagi remaja sebagai berikut :
a. Gangguan kesehatan reproduksi akibat infeksi penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS.
b. Resiko menderita penyakit menular seksual (PMS), misalnya gonorhoe, sifilis, HIV/ AIDS. Herpes simplek, herpes genitalis dan lain sebagainya. c. Remaja putri berisiko mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Bila ini
terjadi, maka beresiko terhadap tindakan aborsi yang tidak aman dan resiko infeksi atau kematian perdarahan, dan keracunan kehamilan.
(7)
d. Trauma kejiwaan (depresi, rasa rendah diri, hilang masa depan dan rasa berdosa karena berzina).
e. Remaja putri yang hamil berisiko kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan.dan kesempatan kerja.
f. Melahirkan bayi yang kurang atau tidak sehat.
2. Akibat hubungan seksual pranikah bagi keluarga yaitu menimbulkan aib keluarga, beban ekonomi keluarga bertambah, pengeruh kejiwaan bagi anak yang dilahirkan (ejekan masyarakat sekitarnya)
3. Akibat hubungan seksual pranikah bagi masyarakat yaitu meningkatkan remaja putus sekolah, sehingga kualitas masyarakat menurun, meningkatnya angka kematian ibu dan bayi, sehingga derajat kesehatan reproduksi menurun, menambah beban ekonomi masyarakat sehingga derajat kesehatan masyarakat menurun.
Menurut Sarwono (2012), akibat dari segala dampak yang muncul seperti kehamilan di luar nikah, kawin muda, anak-anak lahir diluar nikah, aborsi, penyakit menular seksual, depresi pada wanita yang terlanjur berhubungan seks dan lain sebagainya. Sarwono (2012) yang mengutip pendapat Simkins (1984), mengatakan sebagian dari tingkah laku itu memang tidak berdampak apa-apa, terutama jika tidak ada dampak fisik atau sosial yang dapat ditimbulkannya. Tetapi pada sebagian perilaku seksual yang lain, dampaknya bisa cukup serius seperti perasaan bersalah, depresi, marah, misalnya pada gadis-gadis yang terpaksa menggugurkan kandungannya.
(8)
Sarwono (2012) juga mengutip pendapat Sanderowitz dan Paxman (1985), bahwa akibat psikososial lainnya adalah ketegangan mental, dan kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah jika seorang gadis tiba-tiba hamil dan juga akan terjadi cemoohan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya. Akibat lainnya adalah terganggunya kesehatan dan risiko kehamilan serta kematian bayi yang tinggi dan berkembangnya penyakit menular seksual. Selain itu ada juga akibat-akibat ekonomis karena diperlukan ongkos perawatan dan lain-lain.
2.1.4 Faktor yang Memengaruhi Perilaku Seks Pranikah
Menurut Imran (2009), menyatakan bahwa perilaku hubungan seksual pada remaja dipengaruhi dua faktor, yaitu: faktor internal dan eksternal. Faktor internal terkait dengan aspek biologis, yakni perubahan yang terjadi pada masa pubertas dan aktifnya hormon yang mendorong melakukan hubungan seksual, sedangkan faktor eksternal berhubungan dengan masalah komunikasi di seputar seksualitas, misalnya berkaitan dengan pengaruh teman sebaya yang tidak jarang mendorong seseorang untuk melakukan hubungan seksual.
Menurut Muss dalam Kusmiran (2011), faktor-faktor yang memengaruhi perilaku seksual remaja antara lain :
1. Perubahan biologis, perubahan yang terjadi pada masa pubertas dan pengaktifan hormonal dapat menimbulkan perilaku seksual.
2. Pengaruh orangtua, kurangnya komunikasi secara terbuka antara orangtua dan remaja seputar masalah seksual memperkuat munculnya penyimpangan perilaku seksual.
(9)
3. Pengaruh teman sebaya, pengaruh teman sebaya sangat kuat sehingga munculnya penyimpangan perilaku seksual dikaitkan dengan norma kelompok sebaya.
4. Prespektif akademik, remaja dengan prestasi rendah dan tahap aspirasi yang rendah cenderung lebih sering memunculkan aktivitas seksual dibandingkan remaja dengan prestasi yang baik di sekolah.
5. Prespektif sosial kognitif, diasosiasiakan dengan pengambilan keputusan yang menyediakan pemahaman perilaku seksual kalangan remaja.
Menurut Koentjoro (2007) beberapa faktor penyebab perilaku seksual remaja yaitu faktor internal, eksternal dan campuran keduanya. Faktor internal atau yang berasal dari dalam individu adalah faktor asupan gizi yang makin membaik. Gizi yang semakin baik mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan memacu percepatan kemasakan hormon. Faktor eksternal yang diduga memengaruhi perilaku seksual adalah dampak globalisasi dan budaya materialisme. Kemajuan telekomunikasi (dalam hal ini media) akan berpengaruh pada pola hidup materialisme.
Santrock (2007) juga mengutip pendapat Bandura menyatakan bahwa perilaku, lingkungan dan personal/kognisi merupakan faktor yang penting dalam perkembangan. Hal ini juga sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suryoputro (2007) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah faktor internal meliputi pengetahuan, aspek-aspek kesehatan reproduksi, sikap terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi, perilaku, kerentanan yang dirasakan terhadap resiko, kesehatan reproduksi, gaya hidup, pengendalian diri, aktifitas sosial, rasa percaya diri, usia, agama, dan status perkawinan), kemudian faktor eksternal
(10)
yang meliputi kontak dengan sumber-sumber informasi, keluarga, sosial-budaya, nilai dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu.
Menurut Notoatmodjo (2007b), secara garis besar, ada dua tekanan pokok yang berhubungan dengan kehidupan remaja, yaitu internal pressure dan external pressure. Dalam hal ini, internal pressure yaitu tekanan dari dalam diri remaja berupa tekanan psikologis dan emosional, sedangkan external pressure yaitu tekanan dari luar diri remaja seperti teman sebaya, orang tua, guru dan masyarakat. Menurut Widyarini (2007), yang mengutip pendapat Lewin (1951), dalam sejarah psikologi, beredar luas konsep dasar mengenai terbentuknya perilaku, bahwa perilaku merupakan fungsi dari faktor personal dan faktor lingkungan.
1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan salah satu bentuk dari perkembangan kognitif. Santrock (2007) yang mengutip pendapat Piaget menyebutkan perkembangan kognitif remaja ke dalam tahap formal operasional yaitu saat pemikirannya menjadi semakin rasional. Pada tahap ini remaja mulai mengembangkan pemikiran yang bersifat abstrak, hipotesis serta mampu melihat berbagai kemungkinan dalam pemecahan masalah yang dihadapi serta mulai memikirkan bagaimana pandangan orang lain terhadap dirinya.
Notoadmodjo (2007b) bahwa pengetahuan yang diperoleh subjek selanjutnya akan menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap terhadap objek yang telah diketahuinya. Pengetahuan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, umur, pengalaman, pekerjaan, pendapatan, budaya, dan pergaulan. Pengetahuan yang tidak tepat,
(11)
pengharapan yang tidak realistis, harga diri yang rendah, takut tidak berhasil atau pesimis, menunjukan bahwa remaja memiliki kepribadian yang belum matang dan emosi yang labil, sehingga mudah terpengaruh melakukan hal-hal negatif, seperti melakukan hubungan seks pranikah.
Pengetahuan seksualitas yang baik dapat menjadikan remaja memiliki tingkah laku seksual yang sehat dan bertanggung jawab. Pemahaman yang keliru mengenai seksualitas pada remaja menjadikan mereka mencoba untuk bereksperimen mengenai masalah seks tanpa menyadari bahaya yang timbul dari perbuatannya, dan ketika permasalahan yang ditimbulkan oleh perilaku seksnya mulai bermunculan, remaja takut untuk mengutarakan permasalahan tersebut kepada orang tua.
2. Sikap
Sikap memiliki arti penting dalam kehidupan manusia, karena sikap yang terbentuk dalam diri manusia dapat menentukan perilaku dalam menghadapi suatu objek sikap atau masalah yang muncul. Thurstone (dalam Nuranti, 2009) menyatakan bahwa sikap adalah tingkat kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan objek psikologi. Objek psikologi di sini meliputi simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya. Orang dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek psikologi apabila ia suka atau memiliki sikap yang
favorable. Sebaliknya, orang yang dikatakan memiliki sikap negatif terhadap objek psikologi bila ia tidak suka atau sikapnya unfavorable terhadap objek psikologi.
Menurut Krech & Crutchfield (dalam Nuranti, 2009), sikap merupakan keadaan dalam diri manusia yang berhubungan dengan proses motif, emosi, persepsi dan
(12)
kognisi mengenai beberapa aspek dari kehidupan individu. Definisi ini menekankan pada keadaan diri manusia sebagai suatu organisme yang dapat berpikir dan terstruktur secara aktif. Sikap berkaitan erat dengan tindakan atau menjadi dasar dari terbentuknya suatu perilaku. Berdasarkan beberapa definisi sikap, maka dalam penelitian ini sikap didefinisikan sebagai kecenderungan penilaian remaja terhadap beberapa perilaku hubungan seksual pranikah. Perilaku hubungan seksual pranikah tercermin dalam penilaian remaja yang mendukung (favorable) atau tidak mendukung (unfavorable) terhadap objek sikap. Penilaian tersebut merupakan reaksi kognitif, afektif dan konatif terhadap berbagai bentuk perilaku hubungan seksual pranikah. Ciri-ciri sikap
Adapun ciri-ciri sikap menurut Ahmadi (2002) antara lain adalah: 1) Sikap dapat dipelajari (learnability)
Sikap merupakan hasil belajar, bukan merupakan faktor bawaan. Sikap dapat dipelajari secara tidak sengaja dan tanpa kesadaran atau dengan kesadaran.
2) Sikap memiliki kestabilan (stability)
Sikap yang berawal dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap dan stabil, melalui pengalaman.
3) Personal-societal significance
Sikap dalam perwujudannya melibatkan hubungan antara seseorang dan orang lain dan juga antara orang dan barang atau situasi tertentu. Jika seseorang merasa bahwa orang atau objek tertentu menjadi berarti, maka dia akan merasa bebas dan
(13)
4)Memiliki unsur kognisi dan afeksi
Komponen kognisi dari sikap adalah berisi informasi yang faktual, yaitu adanya perasaan senang atau tidak senang terhadap objek tertentu.
5) Approach-avoidance directionality
Seseorang yang memiliki sikap favorable terhadap suatu objek, maka dia akan mendekati objek tersebut, dan sebaliknya.
Berdasarkan penjelasan mengenai ciri-ciri sikap di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan kondisi internal pada seseorang yang terbentuk dari pengalaman, sehingga sikap dapat berubah-ubah dan dapat dipelajari, terutama apabila ada kondisi tertentu yang mempermudah berubahnya sikap seseorang pada objek tertentu. Sikap pada seseorang tidak semata-mata berdiri sendiri, melainkan selalu berhubungan dengan suatu objek. Akibatnya, mampu menimbulkan perasaan tertentu pada objek, yaitu perasaan senang atau tidak senang.
3. Efikasi Diri
Ali dan Asrori (2011), yang mengutip pendapat Bandura (1986), menyatakan bahwa efikasi diri merupakan masalah kemampuan yang dirasakan individu untuk mengatasi situasi khusus sehubungan dengan penilaian atas kemampuan untuk melakukan suatu tindakan yang ada hubungannya dengan tugas khusus atau situasi tertentu. Efikasi diri ini merupakan salah satu faktor personal yang menjadi perantara atau mediator dalam interaksi antara faktor perilaku dan faktor lingkungan. Konsep dasar dari teori efikasi diri ini adalah pada masalah adanya keyakinan bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk mengontrol pikiran, perasaan dan perilakunya.
(14)
Musthofa dan Winarti (2010) menyatakan bahwa efikasi diri juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Efikasi tinggi atau rendah dapat dikombinasikan dengan Iingkungan yang responsif atau tidak responsif, sehingga akan menghasilkan kemungkinan berperilaku. Dalam hubungan antara efikasi diri terhadap perilaku seks terdapat hubungan yang signifikan karena efikasi merupakan upaya penilaian diri, apakah seseorang mampu melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa sesuai yang dipersyaratkan.
Menurut Muadz dan Syaefuddin (2010), jika remaja mampu melakukan penilaian tentang benar dan salah, baik dan buruk suatu perilaku, maka mereka akan memahami mana perilaku yang benar dan mana perilaku yang salah, sehingga remaja putri dapat mengambil keputusan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang timbul dari hati nurani dan bukan paksaan dari luar yang disertai pula oleh rasa tanggungjawab.
Menurut Bandura (1986) dalam Suryoputro,dkk (2007), orang yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam menjalankan tugasnya, cenderung akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Sebaliknya orang yang mempunyai rasa percaya diri yang rendah cenderung tidak dapat mewujudkan perilaku tertentu seperti yang diharapkan. Dalam hal ini, rasa percaya diri berfungsi sebagai pusat mediator melalui mana faktor-faktor kognitif lainnya seperti; pengetahuan, harapan dan perbandingan diri dengan kawan sebaya, akan terintegrasi untuk mempengaruhi perilaku seksual. Artinya, mereka hanya akan melakukan hubungan seksual yang aman, sebatas mereka percaya dapat melindungi dirinya. Oleh karena itu, tingkat rasa
(15)
percaya diri pada remaja menjadi faktor yang sangat penting didalam menentukan bagaimana mereka berperilaku seksual.
4. Dorongan Biologis
Menurut Geldard dan Geldard (2011), peningkatan besar dan sangat berarti dalam produksi hormon seksual terjadi selama pubertas. Hal ini berakibat memicu meningkatkan hasrat seksual, nafsu dan dorongan seksual pada laki-laki maupun perempuan. Bersamaan dengan peningkatan dorongan seksual, mereka berhadapan dengan isu-isu seperti seksualitas personal dan identitas seksual. Isu – isu ini memengaruhi keputusan mereka dalam bergaul dengan teman-temannya. Remaja akan mulai terlibat dalam eksperimen seksual dengan teman-temannya. Dorongan seksual ini pada beberapa remaja sering disalurkan melalui fantasi dan masturbasi.
Menurut Sarwono (2011), faktor-faktor yang dianggap berperan dalam munculnya perilaku seksual pranikah pada remaja yaitu adanya perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Menurut Manuaba (2010), adanya dorongan biiologis untuk melakukan hubungan seksual merupakan insting alamiah dari berfungsinya organ system reproduksi dan kerja hormon. Dorongan ini dapat meningkat karena adanya pengaruh dari luar misalnya film, majalah, dan buku yang menampilkan gambar-gambar yang dapat membangkitkan erotisme.
5. Pandangan tentang Konsep Cinta
Menurut Rosa (2012) yang mengutip pendapat Lesnapurnawan (2009), remaja menyalahartikan atau cenderung kebingungan dalam mengartikan konsep cinta, keintiman dan tingkah laku seksual sehingga remaja awal cenderung berfikir bahwa
(16)
seks adalah cara untuk mendapatkan pasangan, sedangkan pada remaja akhir cenderung melakukan tingkah laku seksual jika telah ada ikatan dan saling pengertian dengan pasangan. Seks sering dijadikan sarana untuk berkomunikasi dengan pasangannya. Menurut Dianawati (2003), adanya tekanan dari pacarnya dan karena kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, seseorang rela melakukan apa saja terhadap pasangannya tanpa memikirkan risiko yang nanti dihadapinya. Dalam hal ini yang berperan bukan hanya saja napsu seksual mereka, melainkan juga karena sikap memberontak terhadap orangtuanya. Remaja lebih membutuhkan suatu bantuk hubungan, penerimaan, rasa aman, dan harga diri sebagai layaknya manusia dewasa 6. Nilai Agama
Agama merupakan hal yang penting dalam kehidupan remaja. Menurut Santrock (2007), salah satu pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah berkaitan dengan aktivitas seksual. Meskipun pengajaran agama yang bervariasi dan berubah-ubah itu dapat mempersulit dalam menyimpulkan doktrin-doktrin religius, namun pada umumnya ajaran agama tidak menganjurkan hubungan seks pranikah. Para remaja yang sering mengunjungi layanan religius cenderung lebih banyak mendengar pesan-pesan agar menjauhkan diri dari seks. Keterlibatan remaja dalam organisai religius juga dapat meningkatkan peluang bahwa mereka akan berteman dengan remaja lain yang memiliki sikap yang tidak menyetujui seks pranikah.
Menurut Santrock (2007) yang mengutip pendapat Gallup dan Benzilla (1992), bahwa dalam sebuah survei, 95% dari para remaja yang berusia antara 13 hingga 18 tahun menyatakan bahwa mereka percaya akan adanya Tuhan atau spirit
(17)
universal. Remaja tersebut menyatakan bahwa mereka berdoa dan mendatangi layanan keagamaan seminggu terakhir. Mereka juga menyatakan bahwa mempelajari iman religius merupakan hal yang penting.
Santrock (2007) juga mengutip pendapat Sax dkk (2004), pada sebuah studi nasional yang melibatkan para mahasiswa tingkat pertama Amerika, diketahui bahwa 79% dari para mahasiswa menyatakan bahwa mereka mempercayai adanya Tuhan dan 69% diantaranya menyatakan bahwa mereka berdoa. Meskipun demikian, terdapat 69% menyatakan bahwa mereka masih mencari tujuan atau makna dan kurang dari 50% menyatakan bahwa mereka tidak merasa aman terhadap pandangan spiritual dan agama serta hidupnya.
Farmer (2008) yang mengutip pendapat Barkan (2006) seperti agama, partisipasi keagamaan telah banyak digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara agama dan perilaku seksual. Sering kehadiran layanan agama terkait dengan pantang seksual yang lebih besar, kurang aktivitas seksual, kurang sering hubungan seksual, pasangan hidup lebih sedikit seksual, dan tertunda usia intercourse
7. Lingkungan Teman Sebaya
pertama.
Kelompok teman sebaya memegang peranan penting dalam kehidupan remaja. Remaja sangat ingin diterima dan dipandang sebagai anggota kelompok teman sebaya, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karenanya, mereka cenderung bertingkah laku seperti tingkah laku teman sebayanya.
Menurut survei yang dilakukan oleh The National Campaign (2012), remaja mengatakan bahwa orangtua paling besar mempengaruhi keputusan mereka tentang
(18)
seks, lebih daripada teman sebaya, budaya, guru dan lain-lain. Bahkan, remaja melaporkan bahwa mereka akan lebih terbuka berbicara tentang seks dengan orang tua mereka dan menghindari kehamilan remaja, diperoleh hasil 4 dari 10 remaja (38%) mengatakan orang tua paling memengaruhi keputusan mereka tentang seks, dibandingkan dengan 22% yang dipengaruhi oleh teman-teman.
Menurut Suwarni (2009), bahwa pengaruh perilaku seksual teman sebaya secara langsung paling besar memengaruhi perilaku seksual remaja. Pengaruh perilaku seksual teman sebaya secara langsung sebesar 20,2%, sedangkan pengaruh perilaku seksual teman sebaya secara tidak langsung melalui niat berperilaku seksual sebesar 14,24%.
Menurut Notoatmodjo (2007), perubahan sosial yang dialami remaja akan membawa remaja menjadi lebih dekat dengan teman sebayanya daripada orang tuanya sendiri. Kurangnya pengetahuan yang didapat dari orang tua dan sekolah mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau lingkungan bermainnya yang bisa saja pengetahuan tersebut salah, Sehingga munculah informasi di seputar seksualitas, sebuah informasi yang belum pasti kebenarannya, namun sudah terlanjur dipercaya oleh remaja, salah satunya adalah infomasi mengenai hubungan seks sekali tidak membuat seseorang hamil.
8. Pengawasan Orangtua
Menurut Santrock, (2007) peran orangtua sangat besar pengaruhnya terhadap remaja. Remaja dalam keluarga yang bercerai lebih menunjukkan penyesuaian dibandingkan dengan keluarga remaja yang utuh dengan kehadiran orang tuanya.
(19)
Orang tua yang sibuk, kualitas pengasuhan yang buruk, dan perceraian orang tua, remaja dapat mengalami depresi, kebingungan, dan ketidakmantapan emosi yang menghambat mereka untuk tanggap terhadap kebutuhan remaja sehingga remaja dapat dengan mudah terjerumus pada perilaku yang menyimpang seperti seks pranikah
Menurut Sarwono (2011), perilaku yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan remaja pada umumnya dapat dipengaruhi orang tua. Bilamana orang tua mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku seks kepada anak-anaknya, maka anak-anaknya cenderung mengontrol perilaku seksnya itu sesuai dengan pemahaman yang diberikan orang tuanya. Hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri, dan dapat pula diwujudkan melalui cara hidup orang tua dalam keluarga sebagai suami-istri yang bersatu dalam perkawinan. Orang tua mentabukan pembicaraan mengenai seks pada anaknya, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak bahkan cenderung membuat jarak dengan anak mengenai masalah ini.
Taufik dan Anganthi (2005), dalam penelitiannya memaparkan bahwa aktivitas seksual subjek sebagian besar dilakukan di rumah sendiri baik pada subjek yang melakukan hubungan seksual maupun subjek yang tidak melakukan hubungan seksual. Ini menunjukkan bahwa longgarnya peraturan ataupun perhatian yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Rumah yang seharusnya menjadi pusat pendidikan yang di dalamnya sarat dengan aturan dan kedisiplinan justru dianggap sebagai tempat yang tepat untuk melakukan aktivitas seksual. Sebagaimana
(20)
dikemukakan oleh subjek perempuan yang telah melakukan hubungan seksual, bahwa alasan pemilihan rumah sendiri sebagai tempat melakukan aktivitas seksual, sebagian besar karena faktor keamanan.
9. Lingkungan Masyarakat
Iklim dalam kehidupan bermasyarakat yang kondusif juga sangat memengaruhi perilaku remaja. Remaja tengah menjalani proses mencari jati diri sehingga faktor keteladanan dan kekonsistenan system nilai dan norma dalam masyarkat juga menjadi suatu hal yang sangat penting. Ali dan Asrori (2011), menyatakan bahwa masa remaja adalah masa untuk menentukan identitas dan menentukan arah, tetapi masa yang sulit ini menjadi bertambah sulit oleh karena adanya kontradiksi dalam masyarakat. Dalam lingkungan ini remaja diatur berdasarkan norma – norma yang ada.
Salah satu masalah yang dialami remaja dalam proses ini adalah bahwa tidak jarang masyarakat bersikap tidak konsisten terhadap remaja. Di satu sisi remaja sudah dianggap dewasa, namun di sisi lain remaja masih dianggap anak kecil sehingga sering menimbulkan kejengkelan dan perlawanan dari remaja. Dalam hal perilaku seksual, masyarakat di sekitar remaja adalah kelompok yang penting untuk mengarahkan remaja ke arah perilaku yang lebih baik. Banyaknya kenakalan remaja terutama pada perilaku seksual di lingkungannya membuat remaja juga akan ikut dalam perilaku tersebut.
(21)
10. Media Informasi
Azwar (2007) menyebutkan bahwa sikap seseorang salah satunya dipengaruhi oleh keberadaan media massa. Pesan- pesan yang disampaikan oleh media masa seringkali berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang, sehingga informasi baru tersebut memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap suatu hal, termasuk sikap tentang seksualitas.
Pada era kehidupan dengan sistem komunikasi global, dengan kemudahan mengakses informasi baik melalui media cetak, TV, internet, komik, media ponsel, dan DVD bajakan yang berkeliaran di masyarakat, tentunya memberi manfaat yang besar bagi kehidupan kita terutama remaja, namun saat ini remaja justru sering sekali salah mempergunakan kecanggihan teknologi tersebut. Mereka menyelewengkan fungsi teknologi yang sebenarnya. Bahkan tayangan televisi, media-media berbau porno (seperti VCD dan DVD porno yang begitu mudah diperoleh serta gampang diakses di internet).
Menurut Yulianto (2010), dalam penelitiannya yang menggambarkan sikap siswa yang dikaitkan dengan sumber informasi tentang seksualitas didapatkan data sebanyak 100 subjek (46,9%) mendapatkan informasi tentang seksualitas dari televisi, 82 subjek (38,5%) mendapatkan informasi tentang seksualitas dari internet, 16 subjek (7,5%) mendapatkan informasi tentang seksualitas dari koran, 13 subjek (6,1%) mendapatkan informasi tentang seksualitas dari majalah serta 2 subjek (0,9%) mendapatkan informasi tentang seksualitas dari film seks. Berdasarkan data diatas, sumber informasi tentang seksualitas yaitu media televisi dan internet menjadi
(22)
sumber yang paling dominan diantara sumber-sumber yang lain. Hal tersebut disebabkan karena saat ini media televisi dan internet menjadi media yang relatif mudah dan murah bagi masyarakat didalam mendapatkan informasi terbaru maupun mendapatkan hiburan.
2.2 Remaja
2.2.1 Pengertian Remaja
Remaja merupakan periode transisi perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang mencakup aspek biologi, kognitif, dan perubahan sosio-emosional (Santrock, 2007). Menurut Sarwono (2011) remaja merupakan masa peralihan seorang anak terlihat adanya perubahan-perubahan pada bentuk tubuh yang disertai dengan perubahan struktur dan fungsi fisiologi. Secara anatomis alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuknya yang sempurna. Secara faali, alat-alat kelamin tersebut sudah berfungsi secara sempurna pula, yang ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki.
2.2.2 Tahapan Masa Remaja Berdasarkan Usia Remaja
Menurut Pinem (2009), masa remaja memiliki 3 (tiga) tahapan proses perkembangan sesuai dengan pembagian usia remaja yaitu :
1. Masa Remaja Awal 10 - 12 Tahun
Pada masa ini remaja memiliki ciri khas yaitu ingin bebas, lebih dekat dengan teman sebaya, mulai berpikir logis, lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mengenal cara untuk berpenampilan lebih menarik.
(23)
2. Masa Remaja Tengah 13 - 15 Tahun
Pada masa ini remaja mulai mencari identitas dirinya, terjadi peningkatan interaksi dengan kelompok, timbulnya keinginan untuk berkencan, berkhayal tentang aktivitas seksual, mempunyai rasa cinta yang mendalam.
3. Masa Remaja Akhir 16 – 19 Tahun
Pada masa ini remaja mulai mampu berpikir abstrak, lebih selektif dalam mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan rasa cinta, pengungkapan kebebasan diri.
Menurut Sarwono (2011), yang dikatakan usia remaja adalah batasan usia antara 11 - 24 dan belum menikah dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Usia 11 tahun adalah usia ketika pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak.
2. Di masyarakat Indonesia usia 11 tahun sudah dianggap akil balig baik menurut adat maupun agama sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan remaja sebagai anak-anak.
3. Pada usia 11 tahun mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa yaitu tercapainya identitas diri, tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual dan tercapainya puncak perkembangan kognitif maupun moral. 4. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal yaitu untuk memberi peluang
bagi remaja yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa secara adat/tradisi, belum bisa memberikan pendapat sendiri dan sebagainya
(24)
Menurut Pinem (2009) masa remaja merupakan masa yang khusus dan penting, karena merupakan periode pematangan organ reproduksi manusia. Masa remaja disebut juga masa transisi yang unik ditandai dengan berbagai perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja disebut juga masa pubertas. Pada masa pubertas terjadi perubahan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam kesehatan reproduksi karena pada masa ini terjadi pertumbuhan fisik yang sangat cepat untuk mencapai kematangan termasuk organ-organ reproduksi. Perubahan yang terjadi yaitu
1. Munculnya tanda-tanda seks primer, yaitu terjadinya haid yang pertama
(menarche) pada remaja perempuan, dan mimpi basah pada remaja laki-laki. 2. Munculnya tanda-tanda seks sekunder, yaitu pada remaja laki-laki tumbuhnya
jakun, penis, dan buah zakar bertambah besar, terjadinya ereksi dan ejakulasi, suara bertambah besar, dada lebih lebar, badan berotot, tumbuh kumis di atas bibir, cambang dan rambut di sekitar kemaluan dan ketiak. Pada remaja perempuan pinggul melebar, pertumbuhan rahim dan vagina, tumbuh rambut di sekitar kemaluan dan ketiak, payudara membesar.
Ciri-ciri perubahan yang terjadi pada masa remaja ini sangat penting untuk diketahui agar penanganan masalah dapat dilakukan dengan baik. Dari segi kesehatan reproduksi, perilaku ingin mencoba-coba hal-hal baru di dorong oleh rangsangan seksual yang jika tidak dibimbing dengan baik dapat membawa remaja khususnya remaja perempuan terjerumus dalam hubungan seks pranikah dengan segala akibatnya.
(25)
2.2.3 Ciri-ciri Masa Remaja
Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Hurlock (2003) mengemukakan berbagai ciri-ciri masa remaja adalah sebagai berikut :
1. Masa Remaja sebagai Periode yang Penting
Yaitu periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Ada beberapa periode yang lebih penting dari pada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat-akibat jangka panjangnya. Pada periode remaja baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting. Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi akibat psikologis. Pada periode remaja kedua-duanya sama-sama penting. 2. Masa Remaja sebagai Periode Peralihan
Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Dalam setiap periode peralihan status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan seorang dewasa. Dilain pihak status remaja yang tidak jelas ini juga menguntungkan karena status memberi
(26)
waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai, dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.
3. Masa Remaja sebagai Periode Masa Perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku, dan sikap juga berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku juga menurun. Ada 4 (empat) perubahan yang sama yang hampir bersifat universal.
Pertama, meningginya emosi, yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Karena perubahan emosi biasanya terjadi lebih cepat selama masa awal remaja, maka meningginya emosi lebih menonjol pada masa awal periode akhir masa remaja.
Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk dipesankan, menimbulkan masalah baru. Bagi remaja muda masalah baru yang timbul tampaknya lebih banyak dan lebih sulit diselesaikan dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya. Remaja akan tetap merasa ditimbuni masalah, sampai ia sendiri menyelesaikannya menurut kepuasannya.
Ketiga, dengan berubahnya minat dari pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Nilai yang ada pada masa anak-anak dianggap penting, pada masa remaja dianggap tidak penting lagi.
(27)
Keempat, sebagian remaja bersifat ambivalen terhadap setiap perubahan. Remaja menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi remaja sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.
4. Masa Remaja sebagai Masa Bermasalah
Setiap periode mempunyai masalahnya sensiri-sendiri. Masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Ada 2 (dua) alasan bagi remaja pada masalah kesulitan, pertama sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena para remaja merasa dirinya mandiri, sehingga mereka ingin mengatai masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru. Karena ketidakmampuan remaja untuk mengatasi sendiri masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja akhirnya menemukan penyelesaian masalahnya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.
5. Masa Remaja sebagai Masa Mencari Identitas
Sepanjang usia pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standar kelompok adalah jauh lebih penting bagi anak yang lebih besar daripada individualitas. Pada tahun-tahun awal masa remaja penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan. Lambat laun remaja mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi bila
(28)
dirinya bersama dengan teman-teman dalam segala hal seperti sebelumnya. Remaja ingin memperlihatkan dirinya sebagai individu sementara pada saat yang sama remaja ingin mempertahankan dirinya terhadap kelompoknya.
Erikson menjelaskan masalah remaja yang mengalami dilema yang menyebabkan krisis identitas atau masalah identitas ego pada remaja. Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat. Cara pencarian identitas diri ini mempengaruhi perilaku remaja. Dalam usaha mencari perasaan kesinambungan dan kesamaan yang baru para remaja harus memperjuangkan kembali perjuangan tahun-tahun yang lalu, meskipun untuk melakukannya mereka harus menunjuk secara artifisial orang-orang yang baik hati untuk berperan sebagai musuh dan mereka selalu siap untuk menempatkan idola dan ideal mereka sebagai pembimbing dalam mencapai identitas akhir. Identitas yang sekarang terjadi dalam bentuk identitas ego adalah lebih dari sekedar penjumlahan identitas masa kanak-kanak.
Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam bentuk mobil, pakaian, dan pemiliki barang-barang lain yang mudah terlihat. Dengan cara ini remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama remaja mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.
(29)
6. Masa Remaja sebagai Usia yang Menimbulkan Ketakutan
Banyak anggapan populer tentang remaja yang mempuyai arti yang bernilai, dan banyak diantaranya yang bersifat negatif. Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cendrung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang tidak normal.
Stereotip populer mempengaruhi konsep diri dan siakp remaja terhadap dirinya sendiri. Anthony menjelaskan stereotip juga berfungsi sebagai cermin yang ditegakkan masyarakat bagi remaja yang menggambarkan citra diri remaja sendiri yang lambat laun dianggap sebagai gambaran yang asli dan remaja membentuk perilakunya sesuai dengan gambaran ini. Menerima stereotip ini akan menimbulkan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit. Hal ini menimbulkan banyak pertentangan dengan orang tua. Orang tua dengan anak terjadi jarak yang menghalangi anak untuk meminta bantuan orang tua untuk mengatasi berbagai masalahnya.
7. Masa Remaja sebagai Masa yang tidak Realistik
Remaja cendrung memandang kehidupan melalui kaca mata sendiri. Remaja melihat dirinya sendiri, dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan
(30)
dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Remaja belum mampu melihat secara apa adanya dan bila ada ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan dengan kenyataannya akan menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.
Dengan bertambahnya pengalaman pribadi dan pengalaman sosial, meningkatnya kemampuan untuk berpikir rasional, remaja lebih besar memandang diri sendiri, keluarga, teman-teman dan kehidupan pada umumnya secara realistik. Dengan demikian remaja tidak terlalu banyak mengalami kekecewaan ketika masih lebih muda. Hal ini merupakan salah satu kondisi yang menimbulkan kebahagiaan yang lebih besar pada remaja yang lebih besar.
8. Masa Remaja sebagai Ambang Masa Dewasa
Dengan semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi semakin gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan,
(31)
dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.
2.3 Analisis Faktor 2.3.1 Pengertian
Analisis faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu kelas prosedur, utamanya dipergunakan untuk mereduksi data atau meringkas dari variabel yang banyak menjadi sedikit variabel, misalnya dari 15 variabel yang lama diubah menjadi 4 atau 5 variabel baru yang disebut faktor dan masih memuat sebagian besar informasi yang terkandung dalam variabel asli (original variable) (Supranto, 2004). Selain itu analisis faktor dapat juga berfungsi sebagai alat uji validasi internal dari alat ukur yang dipergunakan (Riduwan, 2005).
Analisis faktor merupakan salah satu tehnik analisis statistik multivariat, dengan titik berat yang diminati adalah hubungan secara seksama bersama pada semua variabel tanpa membedakan variabel tergantung dan variabel bebas atau disebut sebagai metode antar ketergantungan (interdependence methode) tersebut. Proses analisis faktor mencoba menemukan hubungan antar variabel yang saling interdependen tersebut, sehingga bisa dibuat satu atau beberapa kumpulan varibel yang lebih sedikit jumlah varibel awal sehingga memudahkan analisis statistik selanjutnya (Wibowo, 2006).
Tujuan yang penting dari analisis faktor adalah menyederhanakan hubungan yang beragam dan kompleks pada beberapa variabel yang diamati dengan
(32)
menyatukan faktor atau dimensi yang saling berhubungan pada suatu struktur data baru yang mempunyai beberapa faktor yang lebih kecil (Wibisono, 2003).
Analisis faktor yang dipergunakan di dalam situasi sebagai berikut (Santoso, 2010) : a. Mengenali atau mengidentifikasi dimensi yang mendasari (underlying
dimensions) atau faktor, yang menjelaskan korelasi antara suatu set variabel. b. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak
berkorelasi (independent) yang lebih sedikit jumlahnya untuk menggantikan suatu set variabel asli yang saling berkorelasi di dalam analisis multivariate selanjutnya, misalnya analisis regresi berganda dan analisis diskriminan. c. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set varibel yang penting dari suatu set
variabel yang lebih banyak jumlahnya untuk dipergunakan di dalam analisis multivariate selanjutnya.
2.3.2. Model Analisis Faktor dan Statistik yang Relevan
Secara matematis, analisis faktor agak mirip dengan regresi linier berganda, yaitu setiap variabel dinyatakan sebagai suatu kombinasi linear dari faktor yang mendasari (underlying factors) (Supranto, 2004).
Jumlah varian yang disumbangkan oleh suatu varabel dengan variabel yang lainnya tercakup dalam analisis disebut communality. Hubungan antara variabel yang dinyatakan dalam suatu common factors yang sedikit jumlahnya ditambah dengan faktor yang unik untuk setiap variabel. Faktor yang unik tidak berkorelasi dengan sesama faktor unik dan juga tidak berkorelasi dengan common faktor.
(33)
Common factor dinyatakan sebagai kombinasi linier dari variabel-variabel yang terlihat/ terobservasi (the observed variabels) hasil penelitian lapangan atau hubungan yang tidak berkorelasi dengan faktor unik. Faktor unik biasanya juga dianggap saling tidak berkorelasi, akan tetapi mungkin atau tidak mungkin berkorelasi satu sama lain. Masing-masing faktor dapat diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut :
F
1 = Wi1X1 + Wi2X2 + Wi3X3 + …..+ WikX
Dimana : F
k
1
Wi adalah : timbangan atau koefisien nilai faktor ke i
adalah : perkiraan faktor ke i (didasarkan pada nilai variabel X dengan koefisiennya Wi)
k adalah : banyaknya variabel
Semakin besar bobot Wi suatu variabel terhadap faktor, maka pengaruh variabel terhadap faktor tersebut semakin erat, yang berarti perubahan variabel memberikan kontribusi yang semakin besar pada nilai faktor. Hal ini berlaku untuk keadaan sebaliknya (Supranto, 2010).
Statistik kunci yang relevan dengan analisis dengan analisis faktor adalah : Bartlett’s tes of sphericity yaitu suatu uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis bahwa variabel tidak saling berkorelasi (uncorrelated) dalam populasi.
2.3.3. Model Matematik dalam Analisis Faktor
Di dalam model analisis faktor, komponen hipotesis diturunkan dari hubungan antara variabel terobservasi. Model analisis faktor mensyaratkan bahwa hubungan
(34)
antar variabel terobservasi harus linier dan nilai koefisien korelasi tak boleh nol, artinya benar-benar harus ada hubungan. Komponen hipotesis yang diturunkan harus memiliki sifat sebagai berikut :
a. Komponen hipotesis tersebut diberi nama faktor.
b. Variabel komponen hipotesis yang disebut faktor bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu common faktor dan unique faktor. Dua komponen ini bisa dibedakan kalau dinyatakan dalam timbangan di dalam persamaan linier, yang menurunkan variabel terobservasi dari variabel komponen hipotesis. Common
factor mempunyai lebih dari satu variabel dengan timbangan yang bukan nol
nilainya. Suatu faktor unik hanya mempunyai satu variabel dengan timbangan yang tidak nol terikat dengan faktor. Jadi hanya satu variabel yang tergantung pada satu faktor unik.
c. Common faktor selalu dianggap tidak berkorelasi dengan faktor unik.
Faktor unik biasanya juga dianggap saling tidak berkorelasi satu sama lainnya. Umumnya dianggap bahwa jumlah common factor lebih sedikit dari jumlah variabel asli, akan tetapi banyaknya faktor unik biasanya dianggap sama dengan banyaknya variabel asli (Santoso, 2010).
2.3.4. Langkah-langkah Analisis Faktor
Menurut Supranto (2004), langkah-langkah yang diperlukan dalam analis faktor adalah :
(35)
a. Merumuskan Masalah
Merumuskan masalah faktor analisis dan mengidentifikasi/mengenali variabel-variabel asli yang akan dianalisis faktor.
Merumuskan masalah meliputi beberapa hal : (1). Tujuan analisis faktor harus diidentifikasi.
(2). Variabel yang akan dipergunakn di dalam analisis faktor harus dispesifikasi berdasarkan penelitian sebelumnya, teori dan pertimbangan dari peneliti.
(3). Pengukuran variabel berdasarkan skala interval atau ratio.
(4). Banyaknya elemen sampel (n) harus cukup/ memadai sebagai petunjuk kasar, kalau k sebagai banyaknya jenis variabel (atribut) maka n=4 atau 5 kali k. Artinya kalau variabel 5, banyaknya responden minimal 20 atau 25 orang sebagai sampel acak.
b. Membentuk Matriks Korelasi
Proses analisis di dasarkan pada suatu matriks korelasi agar variabel pendalaman yang berguna bisa diperoleh dari penelitian matriks ini. Agar analisis faktor bisa tepat dipergunakan, varaiabel-variabel yang akan dianalisis harus berkorelasi. Apabila koefisien korelasi antar-variabel terlalu kecil, hubungan lemah, analisis faktor tidak tepat.
Prinsip utama analisis faktor adalah korelasi, maka asumsi-asumsi akan terkait dengan metode statistik korelasi yaitu :
(36)
(1) Besar korelasi atau korelasi independen variabel yang cukup kuat, misalnya > 0,5 atau bila dilihat tingkat signifikansinya adalah < dari 0,5. (2) Besar korelasi partial, korelasi antar dua variabel dengan menganggap
variabel dengan mengganggap variabel lain adalah tetap (konstan) harus kecil. Pada SPSS deteksi korelasi parsial diberikan pada Anti Image Correlation.
Statistik formal tersedia untuk menguji ketepatan model faktor yaitu Barlett’s
Test of Sphericity bisa digunakan untuk menguji hipotesis bahwa variabel tak
berkorelasi di dalam populasi. Nilai yang besar untuk uji statistik, berarti hipotesis nol harus ditolak (berarti ada korelasi yang signifikan diantara beberapa variabel). Kalau hipotesis nol terima, ketepatan analisis faktor harus dipertanyakan.
Statistik lainnya yang berguna adalah KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) mengukur kecukupan sampling (sampling adequancy). Indeks ini membandingkan besarnya koefisien korelasi terobservasi dengan besarnya koefisien korelasi parsial. Nilai KMO yang kecil menunjukkan korelasi antar pasangan variabel tidak bisa diterangkan oleh variabel lain dan analisis faktor mungkin tidak tepat.
(1). Harga KMO sebesar 0,9 adalah sangat memuaskan (2). Harga KMO sebesar 0,8 adalah memuaskan (3). Harga KMO sebesar 0,7 adalah harga menengah (4). Harga KMO sebesar 0,6 adalah cukup
(5). Harga KMO sebesar 0,5 adalah kurang memuaskan (6). Harga KMO sebesar 0,4 adalah tidak dapat diterima
(37)
Measure of Sampling Adequacy (MSA) ukuran dihitung untuk seluruh matriks korelasi dan setiap variabel yang layak untuk diaplikasikan pada analisis faktor. Nilai MSA yang rendah merupakan pertimbangan untuk membuang variabel tersebut pada tahap analisis selanjutnya (Wibisono, 2003). Angka MSA berkisar 0-1 menunjukkan apakah sampel bisa dianalisis lebih lanjut (Wibowo, 2006).
(1) MSA = 1, variabel tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel lain.
(2) MSA > 0,5 variabel masih dapat diprediksi dan dapat dianalisis lebih lanjut.
(3) MSA < 0,5 variabel tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dianalisis lebih lanjut.
c. Menentukan Metode Analisis Faktor
Segera setelah ditetapkan bahwa analisis faktor merupakan tekhnik yang tepat untuk menganalisis data yang sudah dikumpulkan, kemudian ditentukan atau dipilih metode yang tepat untuk analisis faktor. Ada dua cara metode yang bisa digunakan dalam analisis faktor, khususnya untuk menghitung timbangan atau koefisien skor faktor, yaitu principal components analysis dan common factor analysis.
Di dalam principal component analysis, jumlah varian dalam data dipertimbangkan. principal component analysis direkomendasikan kalau hal yang pokok ialah menentukan bahwa banyaknya faktor minimum yang harus
(38)
memperhitungkan faktor maksimum tersebut dinamakan principal components.
Di dalam common factor analysis, faktor diestimasi didasarkan pada
common variance, communalities dimasukkan di dalam matriks korelasi.
Metode ini dianggap tidak tepat kalau tujuan utamanya ialah mengenali/ mengidentifikasi dimensi yang mendasari dan common variance yang menarik perhatian. Metode ini juga dikenal sebagai principal axis factoring
(Supranto,2004).
Communalities ialah jumlah varian yang sumbangkan oleh suatu
variabel dengan seluruh variabel lainnya dalam analisis. Bisa juga disebut proporsi atau bagian varian yang dijelaskan common factor , atau besarnya sumbangan suatu faktor terhadap varian seluruh variabel. Semakin besar
communalities sebuah variabel, berarti semakin kuat hubungannya dengan
faktor yang dibentuknya.
Eigenvalue merupakan jumlah varian yang dijelaskan oleh setiap
faktor. Eigenvalue akan menunjukkan kepentingan relatif masing-masing faktor dalam menghitung varian yang dianalisis (Wibowo, 2006).
d. Rotasi Faktor-Faktor
Suatu hasil atau out put yang penting dari analisis faktor ialah apa yang disebut matriks faktor pola (faktor pattern matrix). Matriks faktor berisi koefisien yang dipergunakan untuk mengekspresikan variabel yang dibakukan
(39)
dinyatakan dalam faktor. Koefisien ini disebut muatan faktor, mewakili korelasi antar-variabel dan faktor.
Di dalam melakukan rotasi faktor, kita menginginkan agar setiap faktor mempunyai muatan atau koefisien yang tidak nol atau yang signif ikan untuk beberapa variabel saja. Guna rotasi ini adalah untuk mengontrol/ memeriksa variabel yang belum layak dimasukkan menjadi layak dimasukkan dalam buat penamaan. Demikian halnya kita juga menginginkan agar setiap variabel mempunyai muatan yang tidak nol atau signifikan dengan beberapa saja, kalau mungkin dengan satu faktor saja. Kalau terjadi beberapa faktor mempunyai muatan tinggi dengan variabel yang sama, sangat sulit untuk membuat interpretasi tentang seluruh varian (dari seluruh variabel asli) mengalami perubahan.
e. Interpretasi Faktor
Interpretasi faktor dipermudah dengan mengidentifikasi variabel yang muatannya besar pada faktor yang sama. Faktor tersebut kemudian bisa diinterpretasikan, dinyatakan dalam variabel yang mempunyai muatan tinggi padanya. Variabel yang tidak dengan sumbu salah satu faktor berarti berkorelasi dengan kedua faktor tersebut.
f. Menghitung Skor dan Nilai Faktor
Nilai faktor adalah ukuran yang mengatakan representasi suatu variabel oleh masing masing faktor. Nilai faktor menunjukkan bahwa suatu data mewakili karakteristik khusus yang dipresentasikan oleh faktor. Nilai
(40)
faktor ini selanjutnya digunakan untuk analisis lanjutan. Sebenarnya analisis faktor tidak harus dilanjutkan dengan menghitung skor atau nlai faktor, sebab tanpa menghitungpun hasil analisis faktor sudah bermanfaat yaitu mereduksi variabel yang banyak menjadi variabel baru yang lebih sedikit dari variabel aslinya.
g. Memilih Surrogate Variabels
Surrogate variabel adalah suatu bagian dari variabel asli yang dipilih untuk digunakan di dalam analisis selanjutnya.
h. Proses Analisis Faktor
Secara garis besar tahapan pada analisis faktor adalah sebagai berikut Supranto (2004) dan Santoso (2010) :
(1). Memilih variabel yang layak dimasukkan dalam analisis faktor.
(2). Menguji variabel yang ditentukan, menggunakan metode Barlett Test of Sphericity Sera pengukuran MSA (Measure Sampling Adequacy).
(3). Setelah sejumlah variabel terpilih, maka dilakukan “ekstraksi” variabel tersebut hingga menjadi satu atau beberapa faktor.
(4). Faktor yang terbentuk pada banyak kasus kurang menggambarkan perbedaan diantara faktor-faktor yang ada. Hal tersebut akan mengganggu analisis, karena justru sebuah faktor harus berbeda secara nyata dengan faktor lain.
(41)
(5). Kemudian interpretasikan hasil penemuan (artinya faktor-faktor tersebut mewakili variabel yang mana saja), dan memberi nama atas faktor yang terbentuk.
(6). Validasi atas hasil faktor untuk mengetahui apakah faktor yang terbentuk telah valid. Validitas dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : a. Membagi sampel awal menjadi dua bagian kemudian membandingkan hasil
faktor sampel satu dengan sampel dua. Jika hasil tidak banyak perbedaan, bisa dikatakan faktor yang terbentuk telah valid.
b. Dengan melakukan metode Comfirmatory Faktor Analysis (CFA) dengan cara Structural Equation Modelling (SEM). Proses ini bisa dibantu dengan
Software khusus, seperti Lisrel atau Amos.
2.4Landasan Teori
Teori pada penelitian ini mengacu pada teori Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial) oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menekankan pada hubungan segi tiga antara orang, perilaku dan lingkungan dalam suatu proses. Pada teori ini terjadi 3 (tiga) proses utama yaitu pengalaman langsung, tidak langsung atau pengalaman dari mengamati orang lain (model). Pembentukan perilaku dapat dilakukan dengan adanya proses interaksi antara person dengan lingkungannya dan adanya proses peniruan/proses imitasi perilaku model yang mampu memberikan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan.
(42)
Menurut Bandura (1986) faktor perilaku, lingkungan dan pribadi/kognitif seperti keyakinan, perencanaaan dan bepikir dapat berinteraksi secara timbal balik. Dengan demikian, dalam pandangan Bandura lingkungan dapat mempengaruhi seseorang. Seseorang dapat bertindak untuk mengubah lingkungannya. Faktor pribadi/kognitif dapat mempengaruhi perilaku seseorang dan sebaliknya, faktor-faktor pribadi/kognitif dapat meliputi keyakinan seseorang dapat menguasai suatu situasi dan menghasilkan dampak yang diinginkan, kemampuan merencanakan dan kemampuan berpikir. Berdasarkan teori tersebut, maka landasan teori dapat digambarkan dalam gambar di bawah ini :
Gambar 2.1 Pengaruh Interaksi terhadap Perilaku Menurut Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory)
Orang/Person Lingkungan
(43)
2.5Kerangka Konsep
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan arah dari alur penelitian ini adalah seperti tergambar dalam kerangka konsep di bawah ini :
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Efikasi Diri
4. Dorongan Biologis
5. Pandangan tentang Konsep Cinta 6. Nilai Agama
7. Lingkungan Teman Sebaya 8. Lingkungan Masyarakat 9. Pengawasan Orangtua 10.Media Informasi
Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Putri
(1)
memperhitungkan faktor maksimum tersebut dinamakan principal components.
Di dalam common factor analysis, faktor diestimasi didasarkan pada common variance, communalities dimasukkan di dalam matriks korelasi. Metode ini dianggap tidak tepat kalau tujuan utamanya ialah mengenali/ mengidentifikasi dimensi yang mendasari dan common variance yang menarik perhatian. Metode ini juga dikenal sebagai principal axis factoring (Supranto,2004).
Communalities ialah jumlah varian yang sumbangkan oleh suatu variabel dengan seluruh variabel lainnya dalam analisis. Bisa juga disebut proporsi atau bagian varian yang dijelaskan common factor , atau besarnya sumbangan suatu faktor terhadap varian seluruh variabel. Semakin besar communalities sebuah variabel, berarti semakin kuat hubungannya dengan faktor yang dibentuknya.
Eigenvalue merupakan jumlah varian yang dijelaskan oleh setiap faktor. Eigenvalue akan menunjukkan kepentingan relatif masing-masing faktor dalam menghitung varian yang dianalisis (Wibowo, 2006).
d. Rotasi Faktor-Faktor
Suatu hasil atau out put yang penting dari analisis faktor ialah apa yang disebut matriks faktor pola (faktor pattern matrix). Matriks faktor berisi koefisien yang dipergunakan untuk mengekspresikan variabel yang dibakukan
(2)
dinyatakan dalam faktor. Koefisien ini disebut muatan faktor, mewakili korelasi antar-variabel dan faktor.
Di dalam melakukan rotasi faktor, kita menginginkan agar setiap faktor mempunyai muatan atau koefisien yang tidak nol atau yang signif ikan untuk beberapa variabel saja. Guna rotasi ini adalah untuk mengontrol/ memeriksa variabel yang belum layak dimasukkan menjadi layak dimasukkan dalam buat penamaan. Demikian halnya kita juga menginginkan agar setiap variabel mempunyai muatan yang tidak nol atau signifikan dengan beberapa saja, kalau mungkin dengan satu faktor saja. Kalau terjadi beberapa faktor mempunyai muatan tinggi dengan variabel yang sama, sangat sulit untuk membuat interpretasi tentang seluruh varian (dari seluruh variabel asli) mengalami perubahan.
e. Interpretasi Faktor
Interpretasi faktor dipermudah dengan mengidentifikasi variabel yang muatannya besar pada faktor yang sama. Faktor tersebut kemudian bisa diinterpretasikan, dinyatakan dalam variabel yang mempunyai muatan tinggi padanya. Variabel yang tidak dengan sumbu salah satu faktor berarti berkorelasi dengan kedua faktor tersebut.
f. Menghitung Skor dan Nilai Faktor
Nilai faktor adalah ukuran yang mengatakan representasi suatu variabel oleh masing masing faktor. Nilai faktor menunjukkan bahwa suatu data mewakili karakteristik khusus yang dipresentasikan oleh faktor. Nilai
(3)
faktor ini selanjutnya digunakan untuk analisis lanjutan. Sebenarnya analisis faktor tidak harus dilanjutkan dengan menghitung skor atau nlai faktor, sebab tanpa menghitungpun hasil analisis faktor sudah bermanfaat yaitu mereduksi variabel yang banyak menjadi variabel baru yang lebih sedikit dari variabel aslinya.
g. Memilih Surrogate Variabels
Surrogate variabel adalah suatu bagian dari variabel asli yang dipilih untuk digunakan di dalam analisis selanjutnya.
h. Proses Analisis Faktor
Secara garis besar tahapan pada analisis faktor adalah sebagai berikut Supranto (2004) dan Santoso (2010) :
(1). Memilih variabel yang layak dimasukkan dalam analisis faktor.
(2). Menguji variabel yang ditentukan, menggunakan metode Barlett Test of Sphericity Sera pengukuran MSA (Measure Sampling Adequacy).
(3). Setelah sejumlah variabel terpilih, maka dilakukan “ekstraksi” variabel tersebut hingga menjadi satu atau beberapa faktor.
(4). Faktor yang terbentuk pada banyak kasus kurang menggambarkan perbedaan diantara faktor-faktor yang ada. Hal tersebut akan mengganggu analisis, karena justru sebuah faktor harus berbeda secara nyata dengan faktor lain.
(4)
(5). Kemudian interpretasikan hasil penemuan (artinya faktor-faktor tersebut mewakili variabel yang mana saja), dan memberi nama atas faktor yang terbentuk.
(6). Validasi atas hasil faktor untuk mengetahui apakah faktor yang terbentuk telah valid. Validitas dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : a. Membagi sampel awal menjadi dua bagian kemudian membandingkan hasil
faktor sampel satu dengan sampel dua. Jika hasil tidak banyak perbedaan, bisa dikatakan faktor yang terbentuk telah valid.
b. Dengan melakukan metode Comfirmatory Faktor Analysis (CFA) dengan cara Structural Equation Modelling (SEM). Proses ini bisa dibantu dengan Software khusus, seperti Lisrel atau Amos.
2.4Landasan Teori
Teori pada penelitian ini mengacu pada teori Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial) oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menekankan pada hubungan segi tiga antara orang, perilaku dan lingkungan dalam suatu proses. Pada teori ini terjadi 3 (tiga) proses utama yaitu pengalaman langsung, tidak langsung atau pengalaman dari mengamati orang lain (model). Pembentukan perilaku dapat dilakukan dengan adanya proses interaksi antara person dengan lingkungannya dan adanya proses peniruan/proses imitasi perilaku model yang mampu memberikan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan.
(5)
Menurut Bandura (1986) faktor perilaku, lingkungan dan pribadi/kognitif seperti keyakinan, perencanaaan dan bepikir dapat berinteraksi secara timbal balik. Dengan demikian, dalam pandangan Bandura lingkungan dapat mempengaruhi seseorang. Seseorang dapat bertindak untuk mengubah lingkungannya. Faktor pribadi/kognitif dapat mempengaruhi perilaku seseorang dan sebaliknya, faktor-faktor pribadi/kognitif dapat meliputi keyakinan seseorang dapat menguasai suatu situasi dan menghasilkan dampak yang diinginkan, kemampuan merencanakan dan kemampuan berpikir. Berdasarkan teori tersebut, maka landasan teori dapat digambarkan dalam gambar di bawah ini :
Gambar 2.1 Pengaruh Interaksi terhadap Perilaku Menurut Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory)
Orang/Person Lingkungan
(6)
2.5Kerangka Konsep
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan arah dari alur penelitian ini adalah seperti tergambar dalam kerangka konsep di bawah ini :
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian 1. Pengetahuan
2. Sikap 3. Efikasi Diri
4. Dorongan Biologis
5. Pandangan tentang Konsep Cinta 6. Nilai Agama
7. Lingkungan Teman Sebaya 8. Lingkungan Masyarakat 9. Pengawasan Orangtua 10.Media Informasi
Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Putri