this PDF file EMBRIOGENESIS IKAN CUPANG (Betta splendens) | Annur | AGRISAINS 1 SM

J. Agrisains 17 (3) : 137 - 140, Desember 2016

ISSN :1412-3657

EMBRIOGENESIS IKAN CUPANG (Betta splendens)
THE EMBRYOGENESIS OF SIAMESE FIGHTING FISH (Betta splendens)
Annur, Madinawati, Septina F. Mangitung, Rusaini
Program Studi Akuakultur, Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako, Palu
Email: [email protected]

ABSTRACT
Siamese fighting fish (Betta splendens) is a freshwater ornamental fish that has a potential
both in the domestic market and international market (export). Some studies on biological aspects
of the Siamese fighting fish have been conducted. However, information on the embryonic
development of the fighting fish is lack. The study aims to determine the stage of embryonic
development in fighting fish. The experiment was conducted at the Laboratory of Aquaculture,
Faculty of Animal Husbandry and Fisheries, Tadulako University, Palu. The results showed that the
development of fish embryo can be divided into several stages, including cleavage, morula,
blastula, gastrula, and organogenesis. The egg of the fighting fish was hatch in 35 hours after
fertilization.


Key words: Betta splendens, fish egg, embryogenesis, and larvae
ABSTRAK
Ikan cupang merupakan salah satu komoditas ikan hias air tawar yang diminati, baik di
pasar domestik maupun pasar internasional (ekspor). Beberapa aspek biologi ikan cupang telah
diketahui, namun informasi tentang perkembangan embryo (embryogenesis) ikan hias ini masih
sangat kurang. Penelitian dilakukan untuk mengetahui perkembangan embrio ikan cupang (Betta
splendens). Studi ini dilaksanakan di Laboratorium Budidaya Perairan, Universitas Tadulako, Palu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan embrio ikan cupang (B. splendens) dapat
dibagi menjadi beberapa fase yaitu fase pembelahan, morula, blastula, gastrula dan organogenesis.
Telur ikan cupang menetas menjadi larva 35 jam setelah pembuahan.
Kata kunci: Betta splendens, telur ikan, embriogenesis, dan larva

PENDAHULUAN
Ikan cupang merupakan salah
satu komoditas ikan hias air tawar yang
diminati, baik di pasar domestik maupun pasar
internasional (ekspor). Keberadaan pasar
tersebut menjadikan budidaya ikan cupang
(Betta splendens) memiliki prospek yang
menjanjikan.

Penelitian tentang embriogenesis
pada beberapa jenis ikan hias telah
dilakukan untuk mendapatkan informasi
tentang perkembangan awal hidupnya. Fase
perkembangan embrio pada ikan cupang
telah dilaporkan pada spesies Betta imbellis

(Narwati, 2012). Namun perkembangan embrio
pada species B. splendens belum banyak dilaporkan.
Untuk menambah informasi embriogenesis
pada ikan cupang (B. splendens) dibutuhkan
penelitian tentang perkembangan awal hidup
ikan tersebut. Penelitian bertujuan untuk mengetahui
embriogenesis ikan cupang (B. splendens)
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah
wawasan mahasiswa dan pembudidaya tentang
perkembangan embrio ikan cupang.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan
April hingga Mei 2014, di Laboratorium


137

Budidaya Perairan, Fakultas Peternakan dan
Perikanan, Universitas Tadulako, Palu.
Induk betina dan induk jantan ikan
cupang (Betta splendens) dipelihara secara
terpisah dalam botol bekas air mineral. Induk
diberi pakan berupa jentik nyamuk (Culex sp)
dan cacing darah (Chironomus sp). Pakan
diberikan 3 kali sehari secara ad libitum.
Wadah pemijahan induk yang
digunakan terbuat dari plastik berbentuk
silinder dan berdiameter 20 cm. Wadah tersebut
diisi dengan air hingga mencapai ketinggian
±15 cm. Perbandingan antara induk jantan dan
betina yang digunakan dalam pemijahan adalah
1:1. Induk jantan terlebih dahulu dimasukkan
ke dalam wadah pemijahan, selanjutnya induk
betina dimasukkan ke botol bekas air mineral

dan diletakkan di tengah-tengah wadah pemijahan.
Setelah induk jantan membuat gelembung
udara, induk betina dilepaskan ke dalam wadah
pemijahan.
Pengamatan Embrio Ikan Cupang
(Betta splendens). Telur yang telah dibuahi
dipindahkan ke dalam cawan Petri dengan
menggunakan pipet tetes dan diamati dengan
menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran
10 × 10. Pengamatan terhadap embrio dilakukan
sampai embrio tersebut menetas menjadi larva.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Embriogenesis Ikan Cupang. Secara
makroskopis telur (Gambar 1A) ikan cupang
(Betta splendens) yang dibuahi terlihat berwarna
bening namun pada bagian tengah telur tersebut
terlihat butiran kecil yang berwarna putih.
Narwati (2012), yang melakukan pengamatan
embriogenesis pada B. imbellis mengatakan
bahwa telur yang diamati secara langsung akan

tampak berwarna putih keruh. Jika diamati
dibawah mikroskop, korion akan terlihat jelas
dan tampak bening, sedang kuning telur terlihat
gelap karena tidak dapat ditembus oleh cahaya.
Perkembangan embrio B. splendens
dapat dibagi menjadi beberapa fase yaitu
fase pembelahan, morula, blastula, gastrula dan
organogenesis. Fase pembelahan dimulai dari
1 sel menjadi 2 sel hingga 64 sel. Fase pembelahan
pertama dari 1 sel menjadi 2 sel terjadi 10 menit
(Gambar 1B) setelah pembuahan. Pembelahan
menjadi 4 sel (Gambar 1C) terjadi 15 menit

setelah pembuahan. Selanjutnya, 8 sel terbentuk
27 menit setelah pembuahan (Gambar 1D). Pada
menit ke-31 setelah pembuahan, sel membelah
menjadi 16 sel (Gambar 1E). Pembelahan
sel menjadi 32 sel (Gambar 1F) terjadi 60 menit
setelah pembuahan. Menurut Duarte dkk.
(2012), pembelahan embrio ikan cupang

(B. splendens) terjadi pada menit ke-90 setelah
pembuahan. Pembelahan menjadi empat sel
berlangsung pada menit ke 120, dan pembelahan
menjadi 8 sel terjadi pada menit ke-150. Sel
membelah menjadi 16 sel, terjadi 180 menit
setelah pembuahan. Pembelahan sel menjadi 32
sel terjadi pada menit ke-210 setelah pembuahan
dan pembelahan menjadi 64 sel terjadi pada
menit ke-240 atau 4 jam setelah fertilisasi.
Lanjut, menurut Narwati (2012), pembelahan
pertama pada B. imbellis terjadi dua menit setelah
pembuahan, dimana blastodisk membelah menjadi
dua sel yang sama. Borcato dkk. (2004) menyatakan
bahwa, tahap pembelahan pertama pada ikan
piau (Leporinus piau) terjadi 35 menit setelah
pembuahan. Pembelahan menjadi empat sel
terjadi 45 menit setelah pembuahan. Delapan
sel terbentuk pada menit ke-60 setelah pembuahan.
Pembelahan menjadi 16 sel terjadi pada menit
ke-70 dan pembelahan menjadi 32 sel terjadi

pada menit ke-80. Pembelahan menjadi 64 sel
terjadi pada menit ke-90 setelah pembuahan.
Menurut Effendie (1997), pembelahan pertama
pada telur homolecithal adalah meridian yang
menyebabkan telur membelah menjadi dua buah
sel yang sama besar, yang dinamakan pembelahan
holoblastik. Setelah selesai pembelahan pertama
diikuti oleh pembelahan kedua yang juga
meridian tetapi arahnya tegak lurus dengan
pembelahan pertama sehingga terbentuk empat
buah sel. Pembelahan ketiga terjadi secara
equatorial, tegak lurus pembelahan pertama dan
kedua sehingga terbentuk delapan sel. Pembelahan
berikutnya sejajar dengan pembelahan ketiga
sehingga apabila selesai akan terbentuk 16
sel. Selanjutnya, pembelahan agak sukar diikuti,
namun dari hasil pembelahan itu akan terbentuk
32, 64 sel dan seterusnya.
Perkembangan embrio B. splendens
selanjutnya adalah fase morula (Gambar 1G),

fase ini terjadi pada menit ke-62 setelah
pembuahan. Fase morula ditandai dengan
pembelahan sel menjadi 64 sel hingga ratusan

138

sel. Sedangkan menurut Duarte dkk. (2012),
fase morula berkembang pada menit ke-270
atau 4,5 jam setelah terjadi pembuahan.
Fase blastula pada B. splendens
(Gambar 1H) terjadi 126 menit setelah telur
dibuahi dan pada tahap ini sel membelah hingga
mencapai ribuan sel. Blastomer pada embrio B.
splendens akan semakin mengecil sehingga
jumlah sel semakin sulit untuk dihitung. Menurut
Narwati (2012), fase morula berlangsung selama
32 menit. Pembelahan sel yang menjadi semakin
banyak dan bertumpuk menyebabkan sel tidak
terlihat jelas.
Fase gastrula merupakan fase

lanjutan dari fase blastula (Gambar 4A). Fase

Y

Y

VP

A

Y
E

bl

ini terjadi pada menit ke-306 setelah pembuahan,
dimana blastomer akan menutupi sebagian
permukaan kuning telur. Menurut Duarte
dkk., (2012), fase gastrula pada B. splendens
berlangsung pada menit ke-420 atau 7 jam

setelah terjadi pembuahan. Sedangkan, Menurut
Narwati (2012), fase gastrula pada B. imbellis
terjadi pada menit ke-404 setelah terbentuknya
blastodisk, dimana blastomer akan menutupi
sebagian (50%) permukaan kuning telur sehingga
terjadi invaginasi dan membentuk rongga
yang disebut gastrocoel. Radael dkk., (2013)
menyatakan bahwa fase gastrula pada embrio
Pterophyllum scalare terjadi 840 menit setelah
pembuahan.

B

Y
bl
m

blm
C


Y

blm

Y
D

blm

Y

blm

Y

blm

blm

F

H

G

Gambar 1. Perkembangan embrio ikan cupang (Betta splendens) pada tahap pembelahan sel.
Keterangan: A = embrio sebelum terjadi pembelahan, B = pembelahan pertama, C =
pembelahan 4 sel, D = pembelehan 8 sel, E = pembelahan 16 sel, F = pembelahan 32
sel, pembelahan 64 sel (fase morula), G = fase blastula Y = kuning telur (yolk), bl =
blastodisk, blm = blastomer, VP = kutub vegetal (vegetal pole).

be
Y

Y
bm

A

B
v

v
Y
be

Y

be

m
m

C

D

Gambar 2. Perkembangan embrio ikan cupang (Betta splendens) pada tahap segmentasi.
Keterangan: A = fase gastrula, B = fase bintik mata,C = fase bintik mata akhir, D =
larva 0 hari, Y = kuning telur (yolk), be = bakal ekor, m = mata, v = punggung
(ventral).

139

Organogenesis merupakan tahap
kelima dimana organ tubuh mulai terbentuk.
Fase bintik mata pada B. splendens terjadi
21 jam setelah pembuahan. Fase ini ditandai
dengan adanya bakal mata yang terlihat
menyerupai bintik kecil (4B dan 4C). Menurut
Duarte dkk., (2012), tahap organogenesis terjadi
pada menit ke-900 atau 15 jam setelah pembuahan.
Dalam tahap organogenesis ini terjadi proses
diferensiasi pada embrio, organ tubuh yang
mulai terlihat jelas antara lain; bakal ekor,
somit, jantung, mata, kepala, badan, kuning
telur, kristalin, melanofor dan lain-lain. Tahap
organogenesis berlangsung selama 22 jam.
Sedangkan Narwati, 2012 menemukan bahwa
tahap organogenesis pada B. imbellis terjadi
pada menit ke-787 setelah pembuahan dan
ditandai dengan munculnya bakal kepala pada
kutub anima dan bakal ekor pada kutub vegetal
serta epiboli telah menutupi sepenuhnya (100%)
permukaan kuning telur. Menurut Sulistyowati
dkk., (2005), tahap organogenesis pada Corydoras
panda terjadi 11 jam, 58 menit setelah pembuahan

dan berlangsung selama 17 jam 51 menit.
Tahap ini ditandai dengan terbentuknya beberapa
organ tubuh antara lain jantung, ekor, pigmen
warna pada punggung, dan kepala. Sesekali
embrio melakukan gerakan berputar-putar
dan frekuensi putarannya semakin banyak setelah
pigmen pada bagian punggung semakin menghitam
dan menetas 51 jam setelah pembuahan.
Tahap terakhir adalah embrio
menetas menjadi larva (Gambar 4D). Telur
B. splendens menetas 35 jam setelah dibuahi.
Menurut Blaxter (1985 dalam Narwati, 2012),
proses penetasan embrio terjadi jika korion
mengalami pelunakan dan adanya aktifitas
enzim chorionase.
KESIMPULAN
Perkembangan embrio ikan cupang
dapat dibagi menjadi beberapa fase yaitu
fase pembelahan, morula, blastula, gastrula
dan organogenesis. Telur ikan cupang menetas
35 jam setelah terjadi pembuahan.

DAFTAR PUSTAKA
Borcato L.F, Bazzoli, N, Sato, Y., 2004. Embrio and Larval Ontogeny of the Piau Gordura (Fowler) (Pisces,
Anostomidae) after Induced Spawning . Revista de Brasileira Zoologia 21 (1): 117-122.
Duarte, S. C., Vasconcellos, B. F.,Vidal., Júnior, M. V., Ferreira, A. V., Mattos, D.C., Branco, A. T., 2012.
Ontogeny and embryonic description of Betta splendens, Perciformes (Regan , 1910). Rev. Bras.
Saúde Prod. Anim., Salvador, 13 (3): 880-893.
Effendie, M.I., 1997. Biologi Perikanan . Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.
Narwati, D.A., 2012. Efektifitas Metode Transfeksi dalam Penyisipan Gen Red Fluorescent Protein pada
Zigot dan Embriogenesis Ikan Cupang Alam (Betta imbellis). Skripsi. Program Studi Budidaya
Perairan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Radael M. C, Junior M,V, Murgas S. L. D, Mattos D. da C, Cardoso D. L, Motta J. H. S, Abreu M. L. C,
Felizardo V. O, Andrade D. R., 2013. Embryonic Development of Angel Fish (Pterophyllum
scalare). Archivos Latinoamericanos de Producción Animal, 21: 185-191.
Sulistyowati D. T, Sarah dan Arfah H., 2005. Organogenesis dan Perkembangan Awal Ikan Corydoras
panda. Jurnal Akuakultur Indonesia. 4 (2): 67– 66.

140