Proposal Disertasi sistematika terbaru doc

0

PROPOSAL DISERTASI

TRADISI BERSYAIR ARAB MASYARAKAT MUSLIM PAMEKASAN
(PENDEKATAN RESEPSI ESTETIK)

Oleh:
UMAR BUKHORY
(NIM. 09.31.736/ S3)

PROGRAM PASCASARJANA (S3)
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013

1

A. Latar Belakang
Tradisi bersyair Arab dalam masyarakat Madura tidak dapat dilepaskan dari
sejarah panjang perkembangan tradisi bersyair dalam masyarakat Arab sendiri

sebagai penutur asli (native speaker) sejak era jahiliyyah dan masyarakat Madura
sebagai penutur bilingual, atau bahkan multilingual, dengan berkembangnya
penggunaan berbagai jenis bahasa dalam tradisi Madura, seperti bahasa Arab,
Indonesia dan Jawa.
Dalam konteks al-Adab al-Jâhilî, perkembangan syair Arab telah mencapai
kemajuan yang luar biasa sejak era pra-Islam. 1 Fakta bahwa masyarakat Arab-Islam
telah memiliki tradisi bersyair tampak pada dialog antara Nâfi' bin al-Azraq dan
Najdah ibn 'Umayr di masa awal Islam untuk menguji kemampuan 'Abdullah ibn
'Abbâs di bidang Tafsir al-Qur'an. Keduanya sengaja merancang beberapa
pertanyaan yang meragukan fakta bahwa bahasa al-Qur'an adalah bahasa Arab
Fushâ. 'Abdullah ibn 'Abbâs menjawab pertanyaan keduanya dengan bukti-bukti
yang dikutip dari syair-syair Arab Jahiliyyah guna membuktikan bahwa kata-kata
yang digugat/dipertanyakan benar-benar berasal dari bahasa Arab Fusha. 2 Fakta
sejarah di atas membuktikan bahwa Islam dengan al-Qur'an sebagai kitab sucinya
dapat dipahami dan ditafsirkan secara benar melalui peran syair-syair Arab klasik

1

Bandingkan Adonis, An Introduction to Arab Poetics, Catherine Cobham (English Trans.),
(London: Saqi Book, 1990), p. 13-34; ‘Ali ‘Abdul Wâhid Wâfî, Fiqh al-Lughah, (Mesir: Nahdlah Misr,

2004, cet. iii), h. 89-91; Ramadlân ‘Abd. Al-Tawwâb, Fushûl fî Fiqh al-Lughah, (Kairo: Maktabah alKhânijî, 1999, cet. vi), h. 111; ‘Abd al-Hamîd Mahmûd, Hasan H. Hasan dan ‘Abd al-Mun’im al-Khafâjî,
al-Adab al-‘Arabî Bayn al-Jâhiliyyah wal Islâm, (Kairo: al-Mathba’ah al-Munîriyyah, 1955), h. 126-159.
2
Sumber awal dialog tersebut adalah edisi ke-36 dari al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur'an karya alSuyûthî yang dikutip Ibrâhîm al-Sâmirâî dalam Suâlât Nâfi' ibn al-Azraq ilâ 'Abdillâh ibn 'Abbâs.
Selengkapnya, baca Ramadlân 'Abd. Al-Tawwâb, Fushûl fî Fiqh al-Lughah…, h. 108-115.

2

masa Jahiliyah,3 yang dihasilkan pada 200 tahun sebelum hijrah (SH),4 atau 50 s/d
100 tahun sebelum Islam datang.5
Adapun dalam tradisi masyarakat Madura, tradisi bersyair juga berkembang
sejak lama, yang ditunjukkan dengan kekayaan tradisi lisan berbentuk syair dan
kata-kata mutiara, atau yang dikenal dengan istilah parébasan (peribahasa), saloka
(Tamsil atau perumpamaan), paparéghan (sejenis gurindam), syiiran (syair),
kéjhung (kidung) dan beberapa istilah lainnya. Mien A. Rifa’i menyebutkan bahwa
istilah-istilah tersebut menjadi semacam seni suara yang diperuntukkan bagi anakanak maupun dewasa. Isinya bisa berhubungan dengan permainan, teka-teki, olokolok jenaka, bahkan ada juga yang mengandung nasihat dan sistem nilai tertentu. 6
D. Zawawi Imron juga menyebut genre sastra lisan Madura lama, seperti
Dungngeng (Dongeng), Lo’ Alo’ (Sajak Kerapan Sapi tanpa lawan), puisi mainan
anak-anak dan puisi ritual.7 Ada pula karya sastra tulis bergenre puisi dan terkenal
disukai masyarakat adalah puisi macapat, yang mirip dengan macapat Jawa,8

3

Kathleen Kuiper (Ed.), Islamic Art, Literature and Culture, (New York: Brittanica Educational
Publishing & Rosen Educational Services, 2010), p. 57-61; Thâhâ Husayn, Fî al-Syi’r al-Jâhilî, (Tûnis:
Dâr al-Ma’ârif li al-Thibâ’ah wa al-Nasyr, 1926); Abdullah El-Tayyib, “Pre-Islamic Poetry” dalam AFL.
Beeston et.al. (Eds.), The Cambridge History of Arabic Literature; Arabic Literature to the End of the
Umayyad Period, (New York: Cambridge University Press, 1983), h. 27-36; Muhsin J. Al-Musawi,
Arabic Poetry; Trajectories of Modernity and Tradition, (New York: Routledge, 2006), p. 1-3.
4
Mushthafâ Shâdiq al-Râfi’î, Târîkh Âdâb al-‘Arab; al-Juz al-Tsâlits, (Beirut: Dâr al-Kitâb
al-‘Arabî, 1974), h. 17-21.
5
Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, Naqd al-‘Aql al-‘Arabî (1); Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, (Beirut:
Markaz Dirâsât al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1989, cet. iv), h. 48-49; Muhammad Tawfîq Abû ‘Alî, alAmtsâl al-‘Arabiyyah wa al-‘Ashr al-Jâhilî; Dirâsah Tahlîliyyah, (Beirut: Dâr al-Nafâis, 1988), h. 71;
Ahmad Hasan Zayyât, Târîkh al-Adab al-‘Arabî li al-Madâris al-Tsânawiyyah wa al-‘Âliyah, (Kairo: Dâr
Nahdlah Mishr, t.t.), h. 28-29; Hannâ al-Fâkhûrî, al-Jâmi’ fî Târîkh al-Adab al-‘Arabî; al-Adab al-Qadîm,
(Beirut: Dâr al-Jayl, 1986), h. 129-163; Syawqî Dlayf, Târîkh al-Adab al-‘Arabî I; al-‘Ashr al-Jâhilî,
(Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1960, cet. xxii), h. 183-231; Irfan Shahid, “Arabic Literature” dalam P.M. Holt
et.al. (Eds.), The Cambridge History of Islam; Vol. 2B, Islamic Society and Civilization, (London, New
York, Melbourne: Cambridge University Press, 1977), p. 657-668.

6
Mien A. Rifai, Manusia Madura; Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan dan
Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya, (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), h. 59-60.
7
D. Zawawi Imron, “Sastra Madura: Yang Hilang Belum Berganti”, dalam Huub de Jonge (Ed.),
Agama, Kebudayaan dan Ekonomi; Studi-studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura, (Jakarta:
Rajawali Press, 1989), h. 181-205.
8
Seperti (Kénanté atau Salangét, Pocong, Kasmaran, Méjil, Maskumambang, Pangkor, Sénom,
Artaté dan Durma). Lihat IC. Sujarwadi, “Seni Macapat Madura” dalam Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Madura IV; Kumpulan Makalah Lokakarya Penelitian Sosial Budaya Madura 1980,
(Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Pendidikan Tinggi, 1980), h. 197; Anis Aminoedin, “Folklore di
Pulau Madura” dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Madura III; Kumpulan Makalah-

3

dengan berbagai jenis dan macamnya. 9 Karya-karya tersebut secara etik (outsider
approach) membentang sejak abad ke-19 s/d sekarang.10
Sebagai penutur multi-lingual, orang Madura telah mengenal bahasa
Madura sebagai bahasa ibu (lingua franca) dan bahasa Arab sebagai bahasa ritus

(bahasa dalam beribadah dan mempelajari Islam), jauh sebelum bahasa Indonesia
ditetapkan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan. Selain itu, bahasa
Jawa juga lebih dahulu dikenal oleh kalangan pesantren tradisional sebagai bahasa
sasaran untuk menterjemahkan kitab-kitab klasik berbahasa Arab,11 karena para
pengajarnya mempelajari metodologi model tersebut di pondok-pondok pesantren
di pulau Jawa. Bahkan, salah satu metodologi pembelajaran yang digunakan di
pondok-pondok pesantren tradisional adalah mengkaji dan menghafal materi-materi
keislaman melalui media bersyair. Beberapa kitab-kitab untuk santri pemula (alMabsûthât), seperti Safînatun Najâ, ‘Aqîdatul ‘Awâm, Hidâyatus Shibyân dan lain
sebagainya disusun dengan menggunakan nadzaman (Syair Arab), agar lebih
mudah dihafal.12 Di dunia pesantren, manifestasi tematik tersebut telah menembus
kesadaran ilmiah umat Islam sejak abad ke-16 M.13
Tradisi pesantren tersebut berlangsung turun temurun dan terus dilestarikan
hingga ke luar ruang lingkup pesantren. Fakta yang tidak dapat ditolak adalah
kendati mayoritas orang Madura memeluk Islam, namun mayoritas di antara
makalah Seminar 1979, (Malang: Proyek Penelitian Madura, 1980), h. 7-38.
9
IC. Sujarwadi, “Seni Macapat Madura”..., h. 196-215.
10
Suripan Sadi Hutomo memetakannya dalam tiga periode, yakni: a) karya sastra s/d tahun 1908,
b) karya sastra dari tahun 1908 s/d 1945 dan c) karya sastra dari tahun 1945 s/d sekarang. Lihat Suripan

Sadi Hutomo, “Wajah Kesusastraan Madura I-II”, Majalah BASIS, Ed. Mei 1991 XL No. 5, h. 195-196.
11
Selain bahasa Jawa, bahasa Melayu juga digunakan sebagai bahasa sasaran untuk
menterjemahkan kitab klasik berbahasa Arab. Lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning; Pesantren dan
Tarekat; Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999, cet. 3), h. 27, 112-114; Bruinessen
juga menyertakan tabel jumlah karya terjemahan kitab klasik berbahasa Arab ke dalam beberapa bahasa
lokal lainnya dalam Ibid., h. 134. Lihat juga Ismail Hamid, Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak
Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), h. 147-149.
12
Data selengkapnya tentang format teknis kitab-kitab tersebut, baca Ibid., h. 141. Lihat pula
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta:
LP3ES, 1994, cet. II), h. 12-13 & 170-171.
13
Fadlil Munawwar Manshur M.S., Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. ix.

4

mereka lebih hafal Barzanji daripada al-Qur’an sebagai kitab suci mereka, karena
syair-syair Arab dalam Barzanji lebih sering dibaca dalam beberapa acara-acara

adat dan dipandang sebagai bagian dari “ibadah”.14
Pada dasarnya, sistem nilai dan ajaran Islam telah menjadi bagian dari
identitas kemaduraan. Selain dibuktikan dengan fakta bahwa mayoritas orang
Madura adalah muslim, sistem nilai dan ajaran Islam juga menjadi jiwa dalam
kehidupan orang Madura, meresap ke dalam akar budayanya dan menjadi pedoman
hidup sehari-hari. Salah satu buktinya tampak dalam falsafah Buppa’ Babu’ Guru
Rato dalam tradisi Madura yang mencerminkan hirarki penghormatan yang dimulai
dari Ibu, Bapak, Guru (‘Ulama) 15 dan Raja (Pemerintah),16 atau tampak juga dalam
filosofi abhantal syahadat, asapo’ iman, apajung Allah, yang berarti berbantalkan
syahadat, berselimut iman dan berpayung Allah.17 Kedua falsafah tersebut menjadi
cermin dari penjiwaan orang Madura terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam
ajaran Islam. Maka, adalah aneh, jika di Madura terdapat seseorang yang memeluk
agama selain Islam, kecuali jika yang bersangkutan adalah keturunan (peranakan)
Cina yang notabene memeluk agama katholik, kristen, hindu atau budha.
Karena itu, keberislaman bisa dikatakan menjadi bagian dari identitas orang
Madura dan bahkan, bisa sampai pada tingkatan fanatik. 18 Fanatisme tersebut
tampak dalam planologi tradisional tempat tinggal orang Madura, yang terkenal
dengan filosofi taneyan lanjhang (secara harfiyah, bermakna halaman panjang),
yang menempatkan kobhung (semacam musholla pribadi)19 sebagai salah satu
bangunan wajib di bagian barat halaman, kendati tidak jauh dari tempat tinggal

14

Kitab karya Ja’far al-Barzinji ini lebih sering dibaca, karena berisi cerita kelahiran nabi dan
perjalanan mi’rajnya ke langit. Seleengkapnya, baca Karel A. Steenbrink, Pesantren…h. 168.
15
Sunyoto Usman, “Citra Status Sosial Kiyai; Studi Kasus di Palenga’an, Madura” dalam
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Madura V; Kumpulan Makalah Lokakarya Penelitian
Sosial Budaya Madura, (Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Pendidikan Tinggi, 1980), h. 232-242.
16
Mien Ahmad Rifai, Lintasan Sejarah Madura, (Surabaya: Y. Lebbur Legga, 1993), h. 26.
17
Mohammad Tidjani Jauhari, Membangun Madura, (Jakarta: Taj Publishing, 2008), h. 83-88.
18
Muh. Syamsuddin, “Seksualitas dalam Kehidupan Kaum Blater”, Jurnal Penelitian Agama, Vol.
xvi, No. 3, September-Desember 2007.
19
Yang dikenal dengan Meunasah di Aceh, Surau di tanah Minang atau langgar di Jawa.

5


mereka terdapat masjid di tingkat desa. Keberadaan kobhung berfungsi sebagai
tempat ibadah sekaligus simbol ketaatan pemiliknya terhadap Islam dan tempat
untuk melakukan transformasi nilai budaya Madura antar generasi.20
Selain itu, secara sosiologis, orang Madura pada umumnya lebih mengenal
pondok pesantren daripada sekolah formal, dan hampir semua anak di Madura
pernah belajar mengaji di langgar (masjid), pesantren atau madrasah. Hal ini
terbukti dengan maraknya orang-orang tua yang mengirimkan anaknya untuk
mondok, walau belum tentu mereka mengenyam pendidikan formal. Akibatnya,
tidak sedikit orang Madura yang fasih membaca huruf Arab, namun tidak dapat
membaca huruf latin. Berdasarkan data yang dikumpulkan LP3ES (1974), M.
Dawan Rahardjo menyebutkan bahwa prosentase melek huruf Arab masyarakat
Madura adalah 60 % dan huruf latin 50 %. Sementara jumlah madrasah dan pondok
pesantren adalah 2271 buah berbanding jumlah sekolah umum adalah 731 buah. 21
Karena itu, masyarakat Madura lebih percaya pada pemimpin informal (baca: kiyai)
dibandingkan pemimpin formal (baca: birokrat).22 Maka, jika seseorang ingin
membangun Madura dari aspek apapun, mau tidak mau, dia harus melibatkan peran
kiyai dan pondok pesantren,23 karena faktor sentralitas fungsi yang mereka miliki di
tengah-tengah masyarakat Madura.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis berkeinginan
untuk meneliti persoalan tersebut dengan judul, “TRADISI BERSYAIR ARAB

MASYARAKAT

MUSLIM

PAMEKASAN

(PENDEKATAN

RESEPSI

ESTETIK).

20

Tentang makna dan fungsi kobhung bagi masyarakat Madura, baca Nor Hasan, Saiful Hadi &
Umar Bukhory, Kobhung dan Transformasi Nilai Budaya Masyarakat Madura, (Pamekasan: X-Press,
2009), h. 77.
21
M. Dawam Rahardjo (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1995, cet.
V), h. 27.

22
Andang Subaharianto et.al., Tantangan Industrialisasi Madura (Membentur Kultur,
Menjunjung Leluhur, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), h. 34 & 75.
23
Mohammad Tidjani Jauhari, Membangun Madura…, h. 101-104.

6

B. Batasan dan Permasalahan Riset
Berdasarkan latar belakang di atas, kajian disertasi ini terfokus untuk
menjawab beberapa pertanyaan berikut: (1) Apa saja syair Arab yang digunakan
masyarakat Pamekasan dalam mengekpresikan keberislaman mereka? (2)
Bagaimana tradisi bersyair Arab masyarakat Muslim Pamekasan tersebut
dipraktekkan dalam konteks keberislaman? (2) Bagaimana pola resepsi masyarakat
Muslim Pamekasan dalam membaca dan menulis syair Arab?

C.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui syair-syair Arab yang digunakan masyarakat Pamekasan dalam
mengekpresikan keberislaman mereka.
2. Mengungkap praktek dari tradisi bersyair Arab masyarakat Muslim Pamekasan
tersebut dalam konteks keberislaman
3. Mengetahui pola resepsi masyarakat Muslim Pamekasan tersebut dalam
membaca dan menulis syair Arab.

D.

Signifikansi atau Manfaat Penelitian
Dengan mengacu pada permasalahan riset dan tujuan penelitian di atas,
maka signifikansi atau manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini antara lain:
1. Menjadi salah satu bentuk revitalisasi dan penggalian khazanah keislaman
pesantren secara lebih mendalam dalam konteks studi kawasan Islam Periphery
(Pinggiran), satu jenis kajian yang masih jarang dilakukan orang. Prinsip alMuhâfadzah ‘alâ al-Qadîm al-Shâlih wa al-Akhdz bi al-Jadîd al-Ashlah
(Melestarikan hal lama yang baik dan mengadopsi hal baru yang lebih baik)
yang menjadi landasan filosofis pesantren diejawantahkan dalam pembelajaran

7

bahasa Arab yang beraksentuasi pada kitab klasik24 dalam disiplin ilmu Alat,
seperti Nahwu, Sharraf dan Balaghah.
2. Untuk memperoleh gambaran yang lebih terperinci tentang tradisi bersyair
Arab dalam konteks keberislaman masyarakat muslim Pamekasan, termasuk
pola dan proses pengembangannya yang dilakukan oleh semua pihak dalam
kerangka motivasi keberislaman. Kendati syair Arab pada mulanya lebih
dipahami sebagai salah satu strategi pembelajaran di internal dunia pesantren,
namun dengan melihat kedekatan hubungan emosional antara kiyai dan
santrinya yang berlangsung hingga periode setelah menempuh pendidikan,
maka pengembangan tradisi bersyair Arab hingga ke luar dunia pesantren
sangat terbuka. Jika di pesantren lebih menekankan pada materi hafalan atas
beberapa kitab yang disusun dalam genre nadhoman, maka di luar pesantren,
penggunaan syair Arab berposisi sebagai bagian integral dari ibadah sehari-hari
dan ekspresi dalam mengamalkan ajaran tasawwuf, seperti sebagai wiridan
sebelum datangnya waktu shalat dan momentum yang lain, sekaligus sebagai
ekspresi seni dan budaya yang berkembang di kalangan masyarakat Madura.
Karena itu, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi
pengembangan penggunaan syair Arab, tidak hanya di kalangan pondok
pesantren saja secara khusus, namun juga para alumninya dan masyarakat
Madura secara umum, sesuai dengan fungsinya sebagai media pembelajaran
ilmu-ilmu keislaman di pesantren, sebagai ungkapan ritual dan tasawwuf
sekaligus media mengekspresikan kesenian secara Islami.

E.

Tinjauan Pustaka (Prior Research)

24

Judul dan pengarang buku-buku dalam disiplin Ilmu alat yang diajarkan di dunia pesantren,
baca Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat..., h. 148-153.

8

Penelitian tentang Madura telah banyak dilakukan orang, baik para
insiders (orang Madura sendiri) dan outsiders (Orang dari luar Madura dan orang
asing). Dari kalangan orang Madura sendiri antara lain:


Mien A. Rifai, Manusia Madura; Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja,
Penampilan dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya,
(Yogyakarta: Pilar Media, 2007).
Sebagaimana judulnya, buku ini menguraikan secara historis-filosofis tentang
bagaimana terpaan lingkungan alam yang kurang bersahabat membentuk
sekelompok manusia yang bermukim di pulau Madura selama kurang lebih 4000
tahun, termasuk pembawaan, watak, sifat perilaku, tindak tanduk, etos kerja,
penampilan, pandangan dunia, perjuangan hidup dan keseluruhan sikap
kepribadiannya. Keseluruhan unsur kemanusiaan tersebut dibahas dengan
menguraikan berbagai peribahasa dan terminologi kebahasaan dan kesusastraan
yang berkembang dalam budaya Madura secara panjang lebar. Peradaban dan
budaya Madura tersebut dipandang ikut serta menggariskan sejarah pulau
Madura sekaligus tipikalitas karakteristik kemaduraan penghuninya.



Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa; Kiprah Kiai dan Blater
Sebagai Rezim Kembar di Madura, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004)
Karya ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulisnya untuk
menyelesaikan studi S2 di Sosiologi UGM. Obyek kajian utama penelitiannya
adalah relasi sosial antara kiyai dan blater (serupa, tapi tidak sama dengan
bandit atau bajingan). Sesuai dengan judulnya, asumsi yang dikemukakan
peneliti adalah bahwa kiyai dan blater merupakan rezim kembar pemegang
otoritas sosial masyarakat Madura secara de facto. Relasi sosial yang dimaksud
merupakan relasi kekuasaan yang secara kultural sudah sangat mengakar dalam
masyarakat Madura, khususnya di daerah Madura barat sebagai wilayah
penelitian. Kiyai membangun relasi kuasa dalam masyarakat Madura melalui

9

proses kultural berlabel Islamisasi, melalui media langghar, masjid, madrasah,
pondok pesantren dan tradisi keberagamaan lainnya, sedangkan blater
membangun relasi kuasanya melalui kriminalisasi, seperti media carok.
Sedangkan dari kalangan outsiders antara lain:


Hélèn Bouvier, Lébur; Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura,
(Jakarta: Forum Jakarta-Paris, Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan & Yayasan Obor
Indonesia, 2002).
Karya ini merupakan hasil penelitian Antropologi Seni dan Musik yang
dilakukan penulisnya pada dekade 1980-an. Di dalamnya, tercakup tema-tema
tentang musik, instrumen dan orkes, genre kesenian, teknik pertunjukan dan
kondisi kegiatan kesenian orang Madura, dengan sampling area penelitian
Madura Timur (Kab. Sumenep). Beberapa bagian babnya menguraikan tentang
bagaimana budaya Arab terserap dalam bentuk musik, bagaimana kesenian
Islam dilakukan oleh para pelakunya serta bagaimana unsur Agama (baca:
Islam) membentuk perilaku masyarakat seni yang mewujud dalam genre seni
yang bersifat sakral (suci dan berbau keagamaan) atau profan.
Dalam membicarakan tentang dialektika antara agama dan seni, Bouvier
menyatakan bahwa penduduk Madura bagian timur cenderung memiliki ketaatan
yang paling longgar pada kaidah agama, jika dibandingkan dengan daerah
Madura yang lain, karena berbagai indikasi pada penelitian sebelumnya, seperti
Jordaan (1985), Niehof (1985) dan Mansurnoor (1990) menegaskan bahwa
bagian Madura agak ke barat (Pamekasan) mencerminkan gambaran yang
cenderung lebih ortodoks.



Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang Perkembangan
Ekonomi dan Islam, (Jakarta: Gramedia, KITLV & LIPI, 1989)
Buku ini dapat dipandang sebagai salah satu hasil penelitian perintis tentang
Madura yang berupaya membedah relasi sosial antara kiyai sebagai otoritas

10

keberagamaan dan pedagang sebagai pelaku ekonomi. Secara spesifik, Jonge
menyebutkan bahwa penelitian ini adalah penelitian Antropologi Ekonomi,
dengan pendekatan historis. Di dalamnya, diuraikan bagaimana pedagang dan
pengusaha (khususnya pebisnis tembakau) mendukung peran sosial kiyai sejak
Madura mulai terbuka pada dunia luar pada paruh kedua abad ke-19. Uraian juga
mencakup bagaimana peran sentral tanaman tembakau dan perikanan sistem
bagan bagi tumbuhkembangnya perekenomian masyarakat Madura secara
historis, khususnya di daerah –yang disebutnya dengan- Parindu.


Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat; Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999, cet. iii)
Buku ini dapat dipandang sebagai salah satu hasil penelitian terbaik tentang
perkembangan pesantren di Indonesia. Dengan melihat dari sistematika
pembahasannya, peneliti berasumsi bahwa dalam perkembangan Islam di
Indonesia, terdapat hubungan eksistensial antara perkembangan pendidikan
tradisional Islam di Indonesia, termasuk kitab kuning di dalamnya, dengan
perkembangan ajaran tarekat dan tasawwuf di Indonesia. Data-data yang
dikumpulkan oleh peneliti tentang kitab kuning sebagai bahan ajar utama di
pesantren disusun secara sistematis berdasarkan kandungan ilmu-ilmu keislaman
dalam masing-masing kitab serta dikombinasikan secara baik dengan data
ketersambungan guru yang menjadi core ajaran tasawwuf. Daftar nama-nama
kitab kuning tersebut, hingga sekarang masih digunakan di hampir seluruh
pesantren tradisional di Jawa ataupun Madura. Pada salah satu babnya, peneliti
juga membahas secara khusus tentang perkembangan tarekat di pulau Madura.
Pada dasarnya, penelitian yang dilakukan penulis berada dalam konteks

Sastra Arab Diaspora (al-Adab al-Mahjar) yang dipraktekkan oleh masyarakat
pembaca non-penutur asli (ghayr al-Nâtiq al-Ashlî). Pendekatan resepsi berusaha
melihat bagaimana orang Madura membaca dan menulis syair Arab dalam konteks

11

keberagamaan mereka, yang secara historis memiliki pemahaman awal tentang
tradisi bersyair dalam bahasa ibu-nya, yakni bahasa Madura. Selain itu, penelitian
ini juga berkeinginan untuk mengungkap lebih jauh tentang peran sosial kiyai
sebagai pemegang otoritas keberagamaan (baca: Keberislaman) yang menggunakan
syair Arab sebagai media pendekatan kultural kepada masyarakat Madura. Di balik
semua itu, relasi sosial yang terjalin antara berbagai kekuatan dalam masyarakat
Madura tidak bersifat dikotomis (kembar), sebagaimana dipaparkan Abdur Rozaki
antara Kiyai dan Blater, namun sebenarnya bersifat trikotomis, karena ada peran
seniman sebagai “penjaga gawang” kebudayaan Madura, yang telah melebur
dengan nilai-nilai keislaman.

F.

Kerangka Teori
a.

Teori Bilingualisme (Kedudukan Bahasa Arab bagi masyarakat Madura)
Sepanjang sejarah perkembangannya, bahasa Arab tidak hanya dikenal sebagai
bahasa komunikasi bagi penuturnya, namun juga dikenal sebagai bahasa kitab
suci (baca: bahasa al-Qur’an) dan bahasa liturgi dalam studi agama. Karena alQur'ân sebagai kitab suci umat muslim diturunkan dalam bahasa Arab. 25 Bahkan,
ada yang menyebutkan bahwa Islam dan bahasa Arab merupakan dua hal yang
menyatu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. 26 Al-Faruqi menyebutkan
bahwa dewasa ini, bahasa Arab telah menjadi bahasa daerah sekitar 150 juta
orang di Asia Barat dan Afrika Utara. Di bawah Islam, ia menyumbang 40-60%
bahasa Persia, Turki, Urdu, Melayu, Hausa dan Swahili, serta kuat pengaruh tata
bahasa dan sastranya, termasuk bagi bahasa Indonesia dan sebagian bahasa
daerahnya. Ia juga merupakan bahasa agama satu milyar umat Islam se-dunia
yang terucap dalam ibadah sehari-hari dan bahasa kebudayaan Islam yang
25

Al-Qur’an menyebutkan bahwa wahyu (data revelata) quranik diturunkan dalam bahasa Arab
dengan cara menyebut kata ‘arabîy sebanyak 14 kali. Lihat Mudjia Rahardjo & Kholil R., Sosiolinguistik
Qurani, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 35-36.
26
‘Abduh al-Râjihî, ‘Ilm al-Lughah al-Thathbîqiyyah wa Ta’lîm al-‘Arabiyyah, (Riyâdl: Jâmi’ah
Muhammad bin Sa’ûd al-Islâmiyyah, 1995), h. 115.

12

diajarkan di ribuan sekolah di luar dunia Arab. Dari Senegal di Afrika hingga
Filipina di Asia Tenggara, bahasa Arab dipakai sebagai pengantar dalam
pengajaran, sastra, pemikiran, sejarah, etika, hukum dan fiqh, teologi dan kajian
kitab.27
Sejarah mencatat bahwa Islam masuk ke Madura pada sekitar abad XIV-XV M
dan dianut oleh mayoritas penduduknya, sehingga karenanya, bahasa Arab
sebagai bahasa ritus dan liturginya juga dipelajari, serta pada gilirannya
memberi sumbangan yang tidak sedikit ke dalam bahasa Madura. Mien A. Rifai
menyebutkan contoh yang membuktikan sejauh mana keterpengaruhan (baca:
penyerapan) bahasa Madura dari kosa kata bahasa Arab, baik yang berkaitan
dengan aspek keagamaan (baca: keislaman), seperti makam, molod, makhlok,
modin, masegit dan sebagainya, maupun aspek yang lebih bersifat umum, seperti
maksod, ma’lum, martabhat, mohal dan lain sebagainya. Keterpengaruhan
bahasa Madura oleh bahasa Arab tersebut juga tampak dalam penyebutan namanama bulan (khususnya bulan Qamariyah), nama orang dan berbagai bidang
lainnya.28 Bahkan, keterpengaruhan tersebut juga tercermin dalam cara
pemanggilan seseorang yang didasarkan pada nama anak sulung, seperti pola
yang digunakan dalam bahasa Arab, misalnya eppa’na Bakar (biasanya
disingkat Pa’en Bakar), kaina Bakar, atau emma’na Bakar (Man Bakar) yang
serupa dengan Abu Bakar dalam bahasa Arab.29
Dari sisi kesenian, Jamal D. Rahman menyebutkan bahwa Islamisasi di Madura
secara kultural cenderung relatif “tuntas”. Lingkungan budaya pesantren di
Madura merupakan tempat bagi berkembangnya beragam jenis kesenian yang
bersumber dari tradisi Islam dengan menggunakan bahasa Arab atau Daerah
(Madura) sebagai bahasa pengantar, seperti syi’ir (sastra), diba’, hadrah,
27

Ismail Raji & Lois Lamya' Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam; Menjelajah Khazanah Peradaban
Gemilang, Ilyas Hasan (terj.), (Bandung: Mizan, 1998), h. 59.
28
Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura..., h. 42-44.
29
Mien Ahmad Rifai, Lintasan Sejarah Madura..., h. 27.

13

gambus, samroh (musik), samman, ruddad, zaf (tari), dan drama al-Badar
(teater). Akarnya tertanam jauh di jantung kebudayaan Islam, baik isi ataupun
bentuknya serta mengalami transmisi ke lingkungan budaya Madura lewat
berbagai jalan, yaitu pendidikan, budaya, dan tasawuf (tarekat). Syi’ir diajarkan
di pesantren-pesantren melalui contoh-contoh puisi karya para ulama terkenal.
Karenanya, bentuk syi’ir Madura terasa lebih akrab dibanding pantun atau puisi
bebas bagi masyarakat di lingkungan budaya pesantren.30
b.

Teori Resepsi Estetik
Karena obyek yang diteliti adalah pembacaan dan penulisan syair Arab
oleh orang Madura, maka peneliti menggunakan pendekatan resepsi estetik
(selanjutnya: disebut teori resepsi), sebuah pendekatan yang mementingkan
peran pembaca dalam pemaknaan teks.31 Dalam sejarah teori sastra modern,
pendekatan resepsi merupakan tahap terakhir dari pergeseran kecenderungan era
kritisisme baru yang berpusat pada teks menuju sisi pembaca. Karena itu,
pendekatan ini bersifat dinamis dan mengandung dimensi yang membangun
karya itu sendiri dari pemahaman pembaca potensialnya, termasuk bayangan
tentang untuk siapa karya itu ditulis. 32 Dalam konteks teori kontemporer, hal
tersebut paling tidak berimplikasi pada dua hal, yakni: a) pembalikan
fundamental dari dimensi legitimasi penulis sebagai pencipta pertama kepada
penerimaan pembaca sebagai pencipta kedua, b) pergeseran pemahaman

30

Jamal D. Rahman, “Islam, Madura dan Kesenian; (Pengalaman dan Kesan Pribadi)”, Makalah
dipresentasikan dalam Kongres Kebudayaan Madura di Sumenep, 9-11 Maret 2007.
31
Sangidu, Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat, (Yogyakarta: Seksi
Penerbitan Sastra Asia Barat FIB UGM, 2007, cet. iii), h. 20-21; Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan
Cultural Studies; Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, cet. ii), h. 203-204.
32
Terry Eagleton, Teori Sastra; Sebuah Pengantar Komprehensif (Edisi Terbaru), Harfiah
Widyawati & Evi Setyarini (terj.), (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2007, cet. ii), h. 105, 109 & 119.
Dalam konteks resepsi sastra Arab sebagai pengaruh kritik sastra Barat, lihat Muhammad Walad
Bû’alîbah, al-Naqd al-Gharbî wa al-Naqd al-‘Arabî, (Kairo: al-Majlis al-A’lâ li al-Tsaqâfah, 2002), h. 5054.

14

(shifting understanding) dari pembaca individual ke pembaca transindividual,
atau dari subyek tunggal ke subyek kolektif (intersubyektif).33
Bersama semiotika dan interteks, estetika resepsi berkembang pada era
post-strukturalisme. Bahkan, ada yang menyebut bahwa teori estetika resepsi
lahir sebagai reaksi terhadap positivisme,34 dengan akar sejarah yang panjang,
karena telah dibicarakan oleh Aristoteles (dalam Poetica) dan Horatius (dalam
Ars Poetica).35 Robert C. Holub menyebutkan lima tradisi yang berpengaruh
besar pada perkembangan teori resepsi, yakni: a) Formalisme Rusia, b)
Strukturalisme Praha (J. Mukarovsky & F. Vodicka), c) Fenomenologi Roman
Ingarden, d) Hermeneutika Hans-Georg Gadamer, dan e) Sosiologi Sastra. Teori
ini dominan sejak tahun 70-an, karena dua pertimbangan, yakni: a) solusi
mengatasi strukturalisme yang hanya memperhatikan unsur-unsur dalam karya
sastra; dan b) lahirnya empat jenis kesadaran, berupa kesadaran revitalisasi nilai
kemanusiaan dalam konteks humanisme universal, kesadaran bahwa nilai karya
sastra hanya dapat dikembangkan dengan kompetensi pembacanya, kesadaran
bahwa keabadian karya seni disebabkan oleh pembaca serta kesadaran bahwa
makna terkandung dalam hubungan ambigu antara karya sastra dan
pembacanya.36
Pendekatan ini mengasumsikan adanya implikasi estetik dalam
hubungan antara pembaca dan teks. Menurut Jauss, implikasi estetik tersebut
dapat berupa penerimaan pembaca berdasarkan bekal pembacaan atas karya33

Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies..., h. 206. Lihat juga Umar Junus, Resepsi
Sastra: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 27-33.
34
Mirriam Leonard, “History and Theory: Moses, Monotheism and Historiography” dalam Lorna
Hardwick and Christopher Stray (Eds.), A Companion to the Classical Reception, (Malden, Oxford &
Victoria: Blackwell Publishing, 2008), p. 208.
35
Robert C. Holub, Nadhariyyah al-Istiqbâl; Muqaddimah Naqdiyyah, Ra’d ‘Abdul Jalîl Jawâd
(terj.), (Suriah: Dâr al-Hiwâr li al-Nasyr wa al-Tawzî’, 1992), h. 25-68; A. Teeuw, Sastra dan Ilmu
Sastra; Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya & Girimukti Pasaka, 1988, cet. ii), h. 120-123 &
183; Jan van Luxemburg et.al., Pengantar Ilmu Sastra, Dick Hartoko (terj.), (Jakarta: Gramedia, 1992,
cet. iv), h. 77-78.
36
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme hingga
Post-Strukturalisme, Perspektif Wacana Naratif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 163-164 & 166.

15

karya sebelumnya, baik berupa pengetahuan maupun pengalaman yang dapat
mengarahkan dan menentukan pembacaan. Selanjutnya, bekal pengetahuan dan
pengalaman tersebut membangun horizon harapan pembaca dalam berhadapan
dengan karya. Karena itu, horizon harapan sangat berbeda, sesuai dengan subyek
pembaca dan periode waktu. Perbedaan tersebut ditentukan oleh –setidaknyatiga kriteria, yaitu: a) norma yang terpancar dari teks yang telah dibaca, b)
pengalaman dan pengetahuan pembaca atas semua teks yang telah dibaca
sebelumnya dan c) pertentangan fiksi dan kenyataan, berupa kemampuan
pemahaman pembaca atas teks baru, baik dalam horizon “sempit” (harapan
susastra) maupun “luas” (pengetahuan pembaca tentang kehidupan). 37
Pendekatan resepsi yang digunakan dalam penelitian ini bersifat
sinkronik, karena berhasrat untuk menggali informasi dengan sengaja tentang
pandangan dan penilaian orang Madura atas sebuah karya dalam satu kurun
waktu tertentu.38 Karenanya, pendekatan resepsi dapat bersifat aktif sekaligus
pasif pada saat yang bersamaan. Resepsi pasif berimplikasi pada produksi tradisi
lisan dan resepsi aktif berimplikasi pada produksi tradisi tulis masyarakat.
Penggunaan pendekatan resepsi perlu menyesuaikan dengan obyek
material (teks sastra) yang diteliti, karena perbedaan horizon harapan tersebut.
Maka, karya yang tercipta di masa lampau dapat dikenali melalui wujudnya
berupa transformasi maupun tanggapan teksnya. Keberagaman jenisnya dapat
menunjukkan seberapa besar sambutan pembaca terhadapnya melalui teks lain.
Ada tiga metode untuk melacak sambutan suatu teks atas teks lain, yakni: a)
metode eksperimental, b) metode kritik teks dan c) metode intertekstual. Metode
eksperimental adalah metode penyajian teks tertentu kepada pembaca, baik
secara individu maupun kelompok untuk meminta tanggapan. Model ini
37

Sangidu, Penelitian Sastra..., h. 20-21.
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies..., h. 204; Umar Junus, Sosiologi Sastera;
Persoalan Teori dan Metode, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran
Malaysia, 1986), h. 18-19.
38

16

dilaksanakan dengan pengajuan daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan
jawabannya dapat dianalisis secara kuantitatif maupun kualitatif. Adapun
metode kritik teks berupaya merunut perkembangan tanggapan pembaca melalui
tulisan, kritik, komentar, analisis maupun hasil-hasil penelitian. Sedangkan
metode intertekstual ialah metode yang melacak sambutan melalui teks lain
yang datang belakangan. Hal ini dapat dilihat melalui penyalinan, penyaduran,
penerjemahan dan lain sebagainya.39
Dalam penelitian resepsi, peneliti dapat melakukan dua hal, yaitu:
menanyakan langsung reaksi pembaca terhadap teks, atau menyelidiki resepsi
pembaca melalui lahirnya teks-teks baru yang sejenis. Kemungkinan pertama
dapat dilakukan melalui penyelidikan eksperimental dan model survey,
sedangkan yang kedua, menarik bidang filologi dan sastra bandingan, karena
mencari transformasi teks sastra dari waktu ke waktu. Proses kerjanya juga
setidaknya melalui dua langkah, yaitu: menyajikan karya sastra kepada pembaca
perorangan maupun kelompok dan meminta pembaca menginterpretasikan karya
sastra. Pada proses pertama, pembaca diberikan pertanyaan lisan atau tertulis
tentang kesan dan penerimaan. Jika jawaban dapat ditabulasikan, maka angket
dapat digunakan (kuantitatif). Jika metode wawancara yang digunakan, maka
jawabannya dapat dianalisis secara kualitatif. Adapun pada proses kedua,
interpretasi pembaca dapat dianalisis secara kualitatif.40
Sedangkan kemungkinan kedua, sambutan pembaca bisa saja melalui
tindakan mengolah, memutarbalikkan, memberontaki dan menulis kembali teks,
di

mana

medianya

dilakukan

dengan

penyalinan,

penyaduran

dan

penerjemahan.41
39

Sangidu, Penelitian Sastra..., h. 22-23; A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori
Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya & Girimukti Pasaka, 1988, cet. ii), h. 208-218; Suroso et.al., Kritik Sastra;
Teori, Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Elamtera Publishing, 2009), h. 112-115.
40
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra..., h. 118-120 & 126.
41
Sangidu, Penelitian Sastra: Pendekatan..., h. 22-23. Terkait dengan sambutan terhadap teks
keagamaan, model intertekstual yang demikian dimungkinkan dan dikenal dengan model al-Tanâssh alDînî (intertekstual religius). Ahmad al-Za’bî menyebutkan:

17

Selain itu, metode resepsi juga dapat dikatakan sebagai penelitian kritik
pragmatik, yaitu penelitian kritik sastra yang menitikberatkan peran pembaca
sebagai penyambut dan penghayat karya sastra, termasuk penerimaan estetik,
interpretasi dan evaluasi pembacanya. Penelitian dengan pendekatan resepsi juga
melihat sebuah karya sebagai obyek estetik yang memiliki keragaman nilai.42
c. Teori Teks sebagai the sacred (Yang Sakral)
Memahami agama dalam pandangan Mircea Eliade tidak boleh bersifat
reduksionis. Karena itu, fenomena agama harus ditangkap berdasarkan tahapantahapan pertumbuhannya dan hanya mungkin dilaksanakan, jika agama
dipahami sebagai sesuatu yang religius. Maka, seluruh unsur agama menjadi
unik dan tidak dapat direduksi, sehingga karenanya, ia dipandang sebagai
dimensi sakralitas agama.43
Sesuatu “yang sakral” senantiasa mewujudkan dirinya sendiri dalam
realitas dan berbeda dengan realitas natural dan “yang profan”. Maka, hal-hal
yang berada di balik pengalaman natural manusia tidaklah mudah dirupakan
dalam wujud bahasa. Hal inilah yang disebut Eliade dengan istilah hierophany
(Wujud realitas sakral), karena sejarah agama-agama sejak era primitif hingga
perkembangan, sebagian besar dipenuhi oleh sejumlah hierophany, berupa
perwujudan dari realitas sakral. Pada masyarakat pra-modern dan primitif,
sakralitas adalah kekuatan (power) sekaligus realitas. Pengertian ini terbawa
hingga era modern dengan memahami kekuatan sakral sebagai keabadian

‫نعنى بالتناص الديني تداخل نصوص دينية مختارة –عن طريق القتباس أو التضمين من القرآن الكريم أو الحديث‬
‫ مع النص الصلي للرواية بحيث تنسجم هذه النصوص مع السياق الروائى وتؤدى غرضا فكريا أو‬-‫الشريف أو الخطب أو الخبار الدينية‬
.‫فنيا أو كليهما معا‬
Lihat Ahmad Za’bî, Al-Tanâshsh; Nadhariyyan wa Tathbîqiyyan, Muqaddimah Nadhariyyah
Ma’a Dirâsah Tathbîqiyyah li al-Tanâshsh fî Riwâyah “Ru’yâ” li Hâsyim Gharâyibah wa Qashîdah
“Râyah al-Qalb” Li Ibrâhîm Nashrullâh, (‘Ammân: Muassasah Amûn li al-Nasyr wa al-Tawzî’, 2000), h.
37.
42
Suroso, Puji Santosa, Pardi Suratno, Kritik Sastra, Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta:
Elmateri Publishing, 2009), h. 113-115.
43
Daniel L. Pals, Dekonstruksi Kebenaran; Kritik Tujuh Teori Agama, Inyiak Ridwan Muzir &
M. Syukri (terj.), (Yogyakarta: Ircisod, 2001), h. 255. Harvest

18

(enduringness) dan kemakbulan (efficacity).44 Sayangnya, setiap penampakan
hierophany, selalu memunculkan esensi ko-eksistensial yang kontradiktifparadoksal, misalnya: setiap kelahiran sakralitas berdampingan dengan
profanitas, eternalitas dengan non-eternalitas, absolut-relatif dan lain-lain.45
Sebagai bagian dari agama, teks-teks suci tidak hanya terbatas pada kitab
suci yang menjadi sumber biblikal dan liturgis saja, namun juga mencakup teksteks pendukung yang dipandang sebagai tafsir “suci” atas kitab suci agamaagama. Karena itu, Eliade menegaskan bahwa fenomena agama diposisikan
sebagai sesuatu yang konstan dan independen, sedangkan aspek kehidupan yang
lain mesti bergantung kepada agama.46
Sebagai sesuatu yang sakral, teks agama merupakan wilayah
supernatural, extra ordinary, tak mudah terlupakan dan teramat penting.
Keabadiannya terkandung pada kepenuhan substansi dan realitas. Konsep “Yang
Sakral” dipahami sebagai sumber sekaligus pusat dari agama.47
d. Teori Islamologi Terapan [(Dikotomi Ortodoksi Islam (Official Religion) dan
Budaya Lokal (Popular Religion)]
Berdasarkan pemahaman Arkoun yang membedakan pemaknaan Umm
al-Kitâb48 dan al-Kitâb,49, ia membedakan Islam (dengan I besar)50 dengan islam
(dengan i kecil),51 karena kata tersebut telah mengalami berbagai pembatasan,
muatan simbolik, peraturan dan pemaknaan semantis, termasuk juga kenyataan
44

Mircea Eliade, The Sacred and the Profane; the Nature of Religion, (New York: A Harvest
Books, t.t), p. 10-12.
45
Mircea Eliade, Pattern in Comparative Religion, Rosemary Sheed (trans.), (New York: The
University of Nebraska Press, 1996), p. 29.
46
Daniel L. Pals, Dekonstruksi Kebenaran..., h. 256.
47
Ibid., h. 259-260.
48
Kitab Samawi dan model ideal yang mencakup seluruh kalam Tuhan yang tersembunyi dan
tidak mungkin dicapai manusia.
49
Al-Qur’ân, Adz-Dzikr, Al-Furqân, Wujud Kitab secara historis, Kalam Suci yang diturunkan
kepada manusia dan ditulis dengan tangan manusia dalam buku yang disebut Mushaf.
50
Islam yang asli dan Ideal, paling tinggi serta berada di atas Islam Historis, yakni Agama Nabi
Ibrahim.
51
Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Maka, yang dikembangkan oleh para penerusnya
adalah Islam historis, menurut Arkoun.

19

Qur’ani (Le Fait Coranique)52 dan kenyataan Islami (Le Fait Islamique),53 serta
Tradisi (T besar)54 dan tradisi (t kecil).55
Studi Islam (Islamologi) di era klasik biasanya hanya terpusat pada apa
yang ditulis oleh para cendikiawan muslim, terutama pada khazanah Fiqh klasik.
Secara sederhana, studi Islamologi klasik merupakan wacana rasional tentang
Islam yang berasal dari barat. Karena itu, tema-tema yang menjadi fokus kajian
Islamologi klasik terbatas pada persoalan tentang negara, tulisan, tradisi
akademik dan agama resmi (Official Religion). Secara praktis, Islamologi klasik
menurut Arkoun mereduksi lapangan kajiannya pada dimensi logosentris
(teologi, filsafat dan hukum) dari perspektif idealisme sejarah pemikiran saja.56
Berangkat dari studi eksternal Al-Qur’ân, Arkoun mengajukan tiga sudut
pandang. Salah satunya adalah: mengakomodasi hal yang terpikir, yang tak
terpikir

(Impense) dan yang tidak

mungkin terpikirkan

(Impensable/

Unthinkable)57 dalam ilmu-ilmu al-Qur’ân,58 atau dalam bahasa yang sedikit
berbeda, mengakomodasi hal-hal yang dilupakan, yang disamarkan dan yang
tidak terpikirkan pada masa lalu masyarakat secara khusus. 59 Beberapa bagian di
luar teks al-Qur’ân yang terlupakan dan diremehkan (setidaknya hingga dekade
52

Ia bersifat transenden, transhistoris dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan pemaknaan.
Ia bersifat historis dan merupakan pengejawantahan dari salah satu garis makna yang
terkandung dalam kenyataan Qur’ani melalui perantara (baca: Penafsiran) manusia.
54
Lebih umum dan kuno serta terdapat pada seluruh masyarakat manusia sebelum datangnya
agama-agama wahyu, termasuk juga berarti ideal, yakni Tradisi Ilahi yang tak dapat dirubah manusia dan
merupakan kenyataan abadi dan mutlak.
55
Yakni tradisi yang terdapat dalam tiga agama monoteis, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Lihat
Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 46-47.
56
Muhammed Arkoun, Târîkhiyyah al-Fikr al-‘Arabî al-Islâmî, Hâsyim Shâlih (terj.), (Beirut:
Markaz al-Inmâ’ al-Qawmî,1987), h. 53.
57
Selain menekankan pentingnya belajar filsafat untuk merambah bagian ini, Arkoun
mencontohkan yang ia maksudkan, yakni hubungan antara ulama’ dan arsitek. Keduanya sekilas tampak
berbeda, namun sebenarnya sama, yakni menghasilkan pemikiran yang bersumber dari rasio masingmasing, sehingga di sinilah letak pentingnya kerangka pikir historis, di samping juga metodologis. Baca
Mohammed Arkoun, “Menuju Pendekatan Baru Islam”, Jurnal UQ 7, Vol. II 1990, h. 86.
58
Mohammed Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur’ân, Hidayatullah (terj.), (Bandung: Pustaka,
1998), h. 6. Pada unsur ketiga, sangat tampak keterpengaruhannya kepada Derrida.
59
Hal yang terlupakan tidak hanya menunjuk pada karya-karya yang sampai ke tangan kita dan
harus dihormati sejarahwan, namun juga mencakup hal yang tidak dapat diganti karena keadaan cacat
oleh sebab-sebab historis serta tekanan seleksi dan justifikasi yang dilakukan oleh tradisi budaya tertentu
atas dirinya. Muhammed Arkoun, Târîkhiyyah al-Fikr…, h. 60.
53

20

1980-an) untuk dibahas oleh para Islamolog menurut Arkoun adalah (1)
Kebudayaan Oral (Expression Orale) dan tradisi lisan umat Islam pada bangsa
yang tidak memiliki tradisi tulis, (2) Kehidupan yang tak tertulis dan tak terucap
pada bangsa yang memiliki tradisi tulis,60 (3) Masa lalu dan pengalaman hidup
masyarakat yang tak tertulis, namun tersampaikan (seperti di Maroko dan
Suriah),61 (4) Tulisan tentang Islam yang dianggap tidak representatif (ghayr
mu’tamad) dan tidak mewakili Islam ortodoks-mayoritas (seperti Syi’ah,
Khawarij,62 termasuk Zindiq), serta (5) Karya-karya simbolik (semiotis) nonkebahasaan yang berkaitan dengan wilayah keislaman, seperti mitologi, puisi
(syair), musik, planologi (tata ruang), tata letak kota, arsitektur, seni rupa,
dekorasi, struktur kekerabatan, struktur sosial dan lain sebagainya.
Karena itu, Islam sebagai obyek kajian Islamologi Terapan harus
dipahami sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri atas unsur-unsur psikologis
(individu maupun kolektif), historis (perkembangan masyarakat muslim),
sosiologis (posisi Islam di tengah peran historis masyarakatnya) dan kultural
(yang berhubungan dengan wilayah seni, peradaban dan pemikiran).63 Islamologi
Terapan seyogyanya memperhatikan segala akibat yang timbul dari beberapa hal
berikut: 1) Sebagai agama dan tradisi pemikiran, Islam telah memperoleh
vitalitas yang sepadan dengan percepatan sejarah dalam seluruh masyarakat
Islam,

2)

Perkembangan

Ilmu-ilmu

Kemanusiaan

(Humaniora)

telah

memutarbalikkan syarat-syarat untuk mempraktekkan pemikiran ilmiah di Barat,
3) Fenomena keagamaan melampaui ekspresi-ekspresi dan realisasi-realisasi

60

Hal ini biasa terjadi pada masyarakat modern, karena kekuasaan ideologis atas warganegara,
hegemoni partai politik tunggal dan penyimpangan sejarah yang terkadang memaksa seseorang untuk
mengucapkan dan menulis sesuatu yang tidak terpikirkan, atau sebaliknya, memikirkan sesuatu yang
tidak mungkin diucapkan atau ditulis.
61
Aspek ini bersifat sosiologis dan mencakup dimensi-dimensi Islam yang disampaikan pada
pertemuan harian, pertemuan, mu’tamar atau pengajaran di masjid, sekolah dan universitas.
62
Mohammad Nasir Tamara, Mohammed Arkoun dan Islamologi Terapan, Jurnal UQ 3 Vol. I,
1989.h. 47.
63
Muhammed Arkoun, Târîkhiyyah al-Fikr …, h. 51-54 & 57.

21

yang dipredikasi agama apapun, termasuk di dalamnya Islam, 64 4) Islamologi
Terapan adalah praktek ilmiah yang multi-disipliner, dan 5) Secara
epistemologis, Islamologi Terapan menyadari bahwa tidak ada satupun wacana
atau metode yang tanpa cacat.65
Peremehan

kajian

yang

terfokus

pada

beberapa

hal

di

atas,

mengakibatkan pembelahan cara pikir dikotomis -yang terkadang sampai pada
tingkatan ekstrim- antara ortodoksi Islam di satu sisi dan heterodoksi Islam di
sisi yang lain, sehingga mereka yang tidak memahami dimensi-dimensi
sosiologis-antropologis dalam studi Islam akan selalu memandang budaya lokal
sebagai bagian dari heterodoksi Islam. Ortodoksi Islam dipandang penting,
karena mencakup pemahaman keislaman mayoritas (Sunni), yang menurut
Arkoun, hanya merupakan teoretisasi dogmatis saja.66 Pada gilirannya, studi
Islam hanya mencakup wilayah ortodoks dan cenderung menolak dimensidimensi heterodoks sebagaimana yang disebutkan di atas.
Karena berkaitan dengan tradisi, dikotomi ortodoksi-heterodoksi serupa
dengan pola pikir dikotomis lain, yaitu tradisi besar (great tradition) dan tradisi
kecil (little tradition), sebuah pola pikir yang diperkenalkan oleh Robert
Redfield (1956) dan banyak digunakan dalam studi tentang masyarakat Afrika,
Asia dan Amerika Latin. Tradisi besar (great tradition) digambarkan sebagai
peradaban yang reflektif dengan sejumlah kecil pelaku dan dikembangkan di
sekolah-sekolah, atau kuil-kuil (candi). Sebaliknya, tradisi kecil (little tradition)
tampak pada peradaban non-reflektif dengan sekian banyak pelaku dan bertahan
dalam kehidupan komunitas yang tak berpendidikan di kalangan masyarakat
desa. Tradisi besar dikembangkan dan diwariskan secara sadar, seperti di
kalangan filsuf, teolog dan sastrawan, sedangkan tradisi kecil berupa sesuatu
64

Berbeda dengan Islamologi Klasik, Islamologi Terapan melihat Islam dari dua perspektif yang
saling melengkapi, yakni: a) Kegiatan Ilmiah Internal Pemikiran Islam, dan b) Aktivitas Ilmiah yang
bekerjasama dengan seluruh pemikiran kontemporer.
65
Ibid., 54-58.
66
Islam sunni selalu dikaitkan dengan ideologi resmi negara sejak era dinasti Umayyah (661 M).

22

yang diterima apa adanya (taken for granted), tidak pernah diselidiki secara
kritis, sehingga terkadang dipandang harus diperbaiki dan diperbaharui.67
Kendati dikotomi tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little
tradition) harus dikritik lebih lanjut jika diterapkan dalam konteks Madura,
Bouvier menyebutkan bahwa semua informannya mengaku sebagai muslim
yang saleh dan iman mereka tidak boleh dipertentangkan. Dengan mengutip
Jordaan (1985), Bouvier menegaskan bahwa ada hubungan yang sengkarut
antara Islam ortodoks (aliran lama ahlus sunnah wal jama’ah dan aliran “neoortodoks” Muhammadiyah), Islam mistik (yang masuk ke Indonesia bersamaan
dengan berkembangnya berbagai macam tarekat) dan pengalaman tentang
agama lokal dan “kerakyatan”, di mana dalam masyarakat Madura dikenal
dengan istilah élmo towa (Ilmu Tua). Konkretnya, orang Madura membedakan
dengan tegas antara golongan anak kiyai (bhindhara atau santré), termasuk
golongan yang mendapatkan pelajaran agama (atau seringkali disebut ‘além)
dari golongan masyarakat biasa (katoronan bhungkaladan) untuk menjelaskan
perbedaan tingkah laku yang muncul dalam suatu keluarga.68

G.

Metode Penelitian


Lokasi, Objek dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pamekasan Provinsi Jawa Timur di
mana pola resepsi masyarakat terhadap syair Arab berlangsung dalam konteks
keberislaman. Fokus atau objek penelitian utama adalah tradisi bersyair Arab
dipraktekkan dalam konteks keberislaman sekaligus pola resepsinya, sehingga
masyarakat Pamekasan dalam penelitian ini dihadirkan dalam kerangka setting
penelitian.
67

Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa, (Jakarta: Pustaka Alvabet & INSEP, 2009), h. 13-

16.
68

Hélèn Bouvier, Lébur; Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, (Jakarta:
Forum Jakarta-Paris, Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan & Yayasan Obor Indonesia, 2002), h. 347-348.

23

Subjek penelitian ini terdiri atas dua unsur besar, antara lain: (1)
Beberapa pemangku