Meniadakan Negara Alternatif Kajian Etno

Meniadakan Negara: Alternatif Kajian Etnografi Asia Tenggara 1
Oleh Febi Rizki Ramadhan, 1206204720
Pendahuluan
Sebagai mahasiswa Antropologi yang mempelajari Etnografi Asia Tenggara, yang saya
bayangkan dulu ketika akan mengambil matakuliah ini ialah mempelajari sejumlah etnografi
mengenai negara-negara yang berada di wilayah Asia Tenggara serta keterkaitan antara negaranegara tersebut baik secara politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Bayangan seperti itu pula
yang saya dapatkan ketika membaca cepat sejumlah literatur mengenai Asia Tenggara di dunia
maya. Dengan demikian, sebagaimana dituturkan dalam soal, kajian mengenai Asia Tenggara
seringkali merujuk pada agregasi negara-negara ASEAN. Dengan kata lain, melihat Asia
Tenggara sebagai kawasan yang batasannya tegas dan jelas dengan sejumlah negara yang
merupakan bagiannya. Oleh karena itu, kajian Etnografi Asia Tenggara seringkali menempatkan
negara sebagai unit analisis. Hal ini, menurut saya, dapat menjadi problematis karena terdapat
sejumlah permasalahan yang tidak dapat dipecahkan jika kita menggunakan negara sebagai unit
analisis. Persoalan mengenai negara ini akan saya bahas pada bagian selanjutnya.
Pertanyaan yang kemudian muncul ialah: Jika negara tidak dapat digunakan sebagai unit
analisis, maka bagaimana peneliti menganalisis permasalahan mengenai Asia Tenggara? Unit
analisis apa yang dapat digunakan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya akan
menggunakan sejumlah kajian yang dapat menjadi alternatif penjelasan yang dapat
menggantikan posisi negara sebagai unit analisis. Sejumlah kajian yang akan saya bahas ialah
kajian mengenai Zomia yang dikemukakan oleh James Scott dalam The Art of Not Being
Governed (2009) yang membahas mengenai imajinasi wilayah yang dapat menjadi alternatif

penjelasan mengenai interkoneksitas di Asia Tenggara, kajian mengenai pentingnya peran air
dalam interkoneksitas di Asia Tenggara dalam A World of Water (2007), serta melihat
bagaimana interkoneksitas yang terjadi di Asia Tenggara pada masa-masa pra-modern dalam The
Intricacies of Premodern Asian Connections untuk melihat bagaimana interkoneksitas dapat
terjadi bahkan ketika negara tidak ada. Akan tetapi, sebelum membahas ketiga kajian tersebut,
saya akan membahas tulisan Geography of Knowing, Geography of Ignorance (2005) terlebih
dahulu untuk melihat bagaimana suatu kawasan dapat dikonstruksikan. Dalam hal ini, saya akan
melihat bagaimana Asia Tenggara sebagai kawasan yang memiliki batasan yang jelas, tegas, dan
kaku dikonstruksikan. Setelah memahami kajian-kajian terkait alternatif penjelasan mengenai
Asia Tenggara, saya akan memaparkan sejumlah aspek penting yang menunjukkan relevansi
kajian alternatif mengenai Asia Tenggara di atas dengan kajian Antropologi.
Mengonstruksi Kawasan vs Mendekonstruksi Kawasan
Kita seringkali melihat segala sesuatu sebagai hal yang telah ada sejak awal secara
esensial. Gagasan kita mengenai Asia Tenggara sebagai kawasan pun seringkali demikian.
1

Esai ini merupakan esai wajib dalam Ujian Tengah Semester matakuliah Etnografi Asia Tenggara pada program
studi S1 Antropologi Sosial Universitas Indonesia

1


Tulisan Schendel yang akan saya bahas berikut berusaha mengkaji bagaimana paham mengenai
kawasan diproyeksikan melalui imajinasi kita serta bagaimana pengetahuan mengenai kawasan
mengonstruksi kawasan tersebut. Ia juga membahas bagaimana sebenarnya kawasan merupakan
sebuah pengetahuan yang dikonstruksi dan bukan hal yang ajeg secara esensial.
Schendel membuka tulisannya dengan memaparkan gagasan mengenai The Scramble for
the Area, yaitu mengenai bagaimana akademisi berusaha mengklasifikasi kawasan melalui
keterlibatannya dalam proses diskursif mengenai kawasan berkelanjutan, pembentukan jaringan
referensi yang baik, dan pembangunan mekanisme yang teratur. Schendel berfokus pada studi
kajian kawasan di Asia Tengah yang banyak dilakukan pada pertengahan abad sembilan belas.
Berkembangnya suatu kawasan dapat dilihat dari proses perkembangan global dan koneksi
keuangannya (menurut saya, ekspansi kapitalnya), migrasi transnasional, serta penyebaran
identitas yang terjadi di kawasan tersebut.
Apabila kita merujuk pada Schendel, maka kita dapat menemukan dua klasifikasi penting
yang ia gagas terkait dengan kawasan. Pertama ialah prinsip dasar yang perlu diketahui dalam
melihat suatu kawasan dan kedua ialah syarat-syarat suatu kawasan dapat disebut sebagai
kawasan. Klasifikasi pertama ialah prinsip dasar yang perlu diketahui dalam melihat suatu
kawasan, yaitu: (1)Kawasan sebagai tempat; (2)Kawasan sebagai situs produksi pengetahuan;
dan (3)Kawasan sebagai alat pengembangan karir. Selain itu, ia juga memiliki klasifikasi tentang
syarat-syarat suatu kawasan dapat disebut sebagai kawasan, yaitu: (1) Physical Space atau

kawasan yang memiliki batas-batas geografis yang didasari oleh kesamaan atau bentuk geografis
kawasan tersebut; (2)Symbolic Space atau situs produksi pengetahuan yang membedakan suatu
kawasan dengan kawasan yang lain; dan (3) Institutional Space atau jaringan institusi yang
dengan jelas membatasi suatu kawasan. Syarat-syarat mengenai kawasan ini tentunya dapat kita
gunakan untuk menganalisis kawasan Asia Tenggara. Menurut Schendel, pada titik inilah Asia
Tenggara menjadi problematis karena tidak memiliki batas-batas geografis yang jelas karena
kesamaan bentuk geografis kawasan (terdapat beragam pola geografis di kawasan Asia
Tenggara) dan tidak memiliki kesamaan aspek simbolis seperti agama atau bahasa di seluruh
kawasannya. Satu-satunya syarat yang mungkin terpenuhi ialah syarat soal institusi. Asia
Tenggara memang secara legal-formal memiliki batasannya, khususnya jika kita melihat negaranegara yang menjadi anggota ASEAN. Menurut saya, pada titik inilah kita dapat melakukan
problematisasi konsep. Apabila satu-satunya aspek yang menunjukkan bahwa Asia Tenggara
merupakan kawasan ialah keterikatannya dengan ASEAN, maka kita dapat melihat bahwa
ASEAN merupakan organisasi yang dapat ditelusuri secara historis. ASEAN sebagai institusi,
dan dengan demikian Asia Tenggara sebagai kawasan, merupakan konstruksi sosial. Oleh karena
itu, Schendel menyatakan bahwa kita memerlukan metafor geografis, yakni suatu bayangan atas
sebuah kawasan yang memiliki batas akhir apabila mendekati batas awal daerah lain. Akan
tetapi, pada kenyataannya, studi kawasan justru melihat persebaran kawasan layaknya sebuah
Mandala.
Dalam tulisannya, Schendel menggunakan Zomia sebagai contoh daerah yang berada di
antara empat wilayah di Asia. Hal ini yang menjadi pertimbangan apakah klasifikasi kawasan

2

merupakan penjelasan yang tepat untuk menganalisis daerah Zomia ini. Schendel menjelaskan
bahwa Zomia tidak dapat dikategorisasikan sebagai kawasan yang ditentukan oleh physical
space, symbolic space, maupun institutional space. Pembahasan lebih lanjut mengenai Zomia
akan saya bahas pada bagian selanjutnya dengan merujuk pada gagasan Scott. Selanjutnya,
Schendel juga menganjurkan bahwa kajian mengenai politik-akademik mengenai skala yang
menciptakan dan mempertahankan studi kawasan perlu ada. Jika kita telah memahami bahwa
kawasan bukanlah konsep yang statis, kekal, dan sejatinya memang ada secara esensial, maka
kita dapat menghasilkan bayangan konfigurasi spasial lain seperti daerah perbatasan,
crosscutting, atau aspek geografis yang terkait dengan arus transnasional.
Pembahasan selanjutnya ialah mengenai perbatasan. Pada saat Schendel menuangkan
gagasannya, daerah perbatasan masih kurang dikenal oleh peneliti secara akademis (belum
menjadi fokus penelitian) karena peneliti terlalu berkonsentrasi dengan permasalahan yang
terdapat di „pusat kekuasaan‟. Hal ini menjadi masalah karena, menurut Schendel, kita dapat
melihat persoalan terkait kekuasaan di perbatasan seperti persoalan transnasionalisme,
kewarganegaraan, etnis, hibriditas, interpretasi skala dan praktik regulasi, hingga konflik
internasional. Secara geografis, daerah perbatasan memiliki peranan penting karena terikat
dengan arus transnasional.
Tulisan Schendel ini, pada dasarnya, melihat bagaimana kawasan merupakan konstruksi

dan bukan hal yang secara esensial telah ajeg. Dengan menggunakan pendekatannya mengenai
kawasan, kita dapat melihat bahwa pengetahuan kita mengenai Asia Tenggara sebagai kawasan
merupakan sebuah konstruksi dan dengan demikian mendekonstruksi pengetahuan tersebut. Asia
Tenggara sendiri gagal memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Schendel untuk dapat disebut
sebagai kawasan. Saya pikir persoalannya sekarang bukan berada di tataran apakah Asia
Tenggara merupakan kawasan atau tidak. Jika persoalan yang kita bicarakan hanya berhenti di
tataran tersebut, maka saya pikir kita telah jatuh dalam jurang perdebatan ilmiah yang tidak
terlalu penting. Persoalannya sekarang, jika Asia Tenggara tidak dapat disebut sebagai kawasan,
dan dengan demikian tidak relevan bagi kajian, maka unit analisis apa yang dapat digunakan
oleh peneliti dalam kajian Etnografi Asia Tenggara. Sebenarnya Schendel telah mengajukan
jawabannya, yaitu menggunakan konsep Zomia. Zomia inilah yang akan saya bahas lebih dalam
pada bagian selanjutnya.
Zomia: Imajinasi Wilayah dan Penjelasan Alternatif
Penjelasan Schendel mengenai Zomia mengantarkan kita pada pembahasan yang lebih
dalam. Pada bagian ini, saya akan merujuk pada gagasan Scott mengenai Zomia. Zomia sendiri,
ketika diajukan oleh Schendel, merujuk pada kawasan di Asia Tenggara yang berbasis di
lowlands dan melampaui kontrol pemerintah. Terdapat beragam pandangan mengenai batasan
Zomia, namun seluruh pandangan ini menyertakan wilayah-wilayah berikut sebagai bagian dari
Zomia: Dataran tinggi Indochina Utara (Vietnam utara dan Laos), Thailand, Myanmar utara, dan
pegunungan di China bagian barat daya. Menurut Scott, Zomia merupakan wilayah yang lebih


3

luas lagi karena berada di sejumlah wilayah Asia, setidaknya Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia
Tenggara.
Scott menjelaskan bahwa Zomia merupakan wilayah terbesar di dunia di mana
penduduknya belum diinkorporasi oleh negara-bangsa. Masyarakat Zomia, secara linguistik,
berbicara dengan bahasa yang berbeda-beda. Bahasa yang digunakan di dataran tinggi berbeda
dengan bahasa yang digunakan di dataran lebih rendah. Struktur kekerabatan pun cukup berbeda
antara upland dan lowland. Terakhir, pembahasan Scott mengenai Zomia menjadi menarik
ketika kita melihat persoalan negara yang mengelilinginya: perbudakan, pajak, epidemi, perang,
hingga perburuhan. Scott juga melihat bagaimana strategi yang digunakan oleh orang-orang
Zomia agar kondisi statelessnya tetap bertahan, di antaranya ialah melakukan praktik swidden
agriculture yang memungkinkan terjadinya mobilitas, identitas etnik yang lentur, hingga
pengembangan kebudayaan lisan yang memungkinkan mereka mereproduksi sejarah mereka dan
genealogi hubungan mereka dengan negara.
Poin penting dari pembahasan Scott ini ialah peneliti perlu menyadari bahwa ketika
bicara soal Asia Tenggara, maka penggunaan negara sebagai unit analisis bukanlah suatu hal
yang mutlak dan ajeg. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Schendel sebelumnya bahwa kawasan
merupakan suatu yang dikonstruksi secara sosial, maka saya pikir negara juga merupakan

organisasi ekonomi-politik yang dikonstruksi secara sosial dan historis. Dengan demikian,
penggunaan negara sebagai unit analisis bukanlah hal yang mutlak harus dilakukan. Konsep
Zomia merupakan contoh soal bagaimana imajinasi wilayah alternatif dapat diproduksi untuk
menjelaskan permasalahan terkait dengan wilayah tersebut, khususnya dalam konteks kajian
Asia Tenggara.
Air, Air, dan Air: Signifikansi Peran Air dalam Interkoneksitas Asia
Salah satu teori dasar Marxisme mengenai determinasi basis pada suprastruktur
menjelaskan bahwa moda produksi dan sistem ekonomi akan mempengaruhi aspek-aspek
suprastruktur. Jika teori ini dioperasionalisasikan pada persoalan interkoneksitas, dapat kita lihat
bahwa arus komoditas, yang berada di tataran basis, mendeterminasi aspek suprastruktur, dalam
hal ini interkoneksitas antar wilayah dalam distribusi komoditas. Ketika kita bicara soal arus
distribusi komoditas, maka kita harus membicarakan keadaan geografis. Fernand Braudel, dalam
bacaan ini, mengamati keadaan geografis. Dengan memahami aspek geografis, kita dapat
menemukan hal-hal yang belum terungkap di tataran struktural.
Di Asia Tenggara, faktor geografis yang penting dalam perkembangan sejarah ialah laut
dan sungai. Berbicara mengenai laut berarti berbicara mengenai perdagangan yang dilakukan
melalui laut. Lebih dari ratusan tahun, perdagangan telah dilakukan di lautan Asia dan dinamika
sejarah Asia Tenggara dapat kita lihat dalam interaksi antar-masyarakat dalam arus komoditas:
mengarungi sungai, melintasi pantai, menyebrangi laut, dan melayari samudra.
Secara geografis (yang berarti melihat Asia Tenggara sebagai institutional space), Asia

Tenggara berada di antara dua wilayah ekonomi besar Asia, yaitu India dan Cina. Komoditas
utama yang dihasilkan ialah barang-barang manufaktur seperti keramik, tekstik, dan piranti
4

metal. Kedua produsen global ini juga memproduksi makanan, zat pewarna, dan obat-obatan.
Letak Asia Tenggara yang berada di perairan menyebabkan kawasan ini dilalui oleh kapal
dagang dari Cina dan India sehingga menjadi tempat strategis perdagangan. Hal ini
menyebabkan terdapat peran penting sungai dan kanal untuk menjalankan kargo dari laut ke laut.
Pelabuhan awal yang penting dalam arus komoditas ini (yang berada lintas batas antara Vietnam
Selatan, Kamboja, Thailand, dan Myanmar) adalah Delta Mekong, Chao Phraya, Salween, dan
Irrawaddy.
Sebagaimana dijelaskan oleh Kenneth Hall (1985:2-3) terdapat dua jenis sungai yang
memberikan pengaruh pada awal pembentukan negara. Di Asia Tenggara (tepatnya di negaranegaranya, lagi-lagi tanpa sadar kita tetap menggunakan negara sebagai unit analisis), terdapat
banyak sungai yang mengalir dari pegunungan hingga ke laut, di mana masyarakat yang tinggal
di muara sungai dapat melakukan pertukaran barang seperti hasil hutan atau emas dengan barang
impor seperti garam, logam, atau tekstil.
Pada dasarnya, pembahasan mengenai peran air ini melihat bahwa aspek geografis terkait
air, yaitu laut dan sungai, memiliki signifikansi pada interkoneksitas yang terjadi di Asia
Tenggara. Kasus sungai Mekong menunjukkan jelas bagaimana sebuah sungai dapat melalui
sejumlah negara dan dengan demikian mengaburkan logika darat mengenai batas. Selain itu, kita

dapat melihat bagaimana kajian mengenai interkoneksitas berbasis hubungan yang dimediasi laut
dan sungai dapat lebih relevan ketimbang kajian yang menempatkan negara sebagai unit
analisisnya karena interkoneksitas berbasis hubungan yang dimediasi oleh laut dan sungai
didasarkan pada kepentingan-kepentingan yang ada karena ada, bukan ada karena dianggap
harus ada layaknya kepentingan negara.

Interkoneksitas Asia Pra-modern dan Wujud Nyata Ketiadaan Negara
Setelah memahami mengenai konstruksi kawasan Asia Tenggara, imajinasi wilayah
Zomia sebagai penjelasan alternatif, dan signifikansi peran air dalam interkoneksitas Asia
Tenggara, saya pikir kita perlu membahas gagasan Tansen Sen mengenai interkoneksitas yang
terjadi di Asia pada masa pra-modern. Tulisannya yang berjudul The Intricacies of Premodern
Asian Connections ini terbagi menjadi tiga bagian.Bagian pertama berbicara mengenai
pertukaran komoditas yang umumnya terjadi melalui jalur maritim. Bagian kedua berbicara
mengenai pentingnya pemahaman mengenai konflik dan perang untuk dapat memahami interaksi
lintas budaya yang terjadi di Asia sebelum masa kolonial. Bagian ketiga berusaha
mengkonseptualisasi seluk beluk atau kerumitan interaksi intra-Asia pada masa pra-modern.
Ketiga bagian ini, pada dasarnya, saling terkait satu sama lain dan mengantarkan kita pada
pemahaman bahwa kita tidak dapat memahami Asia pra-modern tanpa memahami konteks
global yang terjadi saat itu.
Bagian pertama dari tulisan ini berbicara mengenai perdagangan yang terjadi dalam

jaringan Afro-eurasian. Sen memaparkan bagaimana imperium Funan (dulunya berada di daerah
yang kini telah menjadi negara Kamboja dan Vietnam) dan Kushana (berada di Asia Tengah)
memiliki peran penting dalam jaringan Afro-eurasian. Kushana tidak hanya memiliki kekuasaan
5

di kawasan Asia Tengah melainkan memperluas kekuasaan ke Asia Selatan yaitu India bagian
timur. Pada saat inilah, agama Buddha yang sejatinya berasal dari India menyentuh Cina.
Selanjutnya, Cina memiliki hubungan dagang dengan kawasan yang nantinya akan menjadi
Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand. Komoditas yang diperdagangkan ini juga
menghubungkan pulau Sumatra dan Jawa, kawasan darat Asia Tenggara, dan Cina bagian barat
daya. Lebih lanjut, rute dagang ini juga menghubungkan India bagian selatan dengan Roma. Sen
juga membahas bagimana imperium Funan memiliki hubungan dagang dengan Cina, India, dan
Sogdia. Terakhir, Sen menjelaskan bahwa orang-orang Persia dan Arab juga memiliki kontribusi
dalam ekspansi pasar di Asia.
Bagian kedua dari tulisan Sen berbicara mengenai konflik dan perang yang terjadi di
Asia. Ia mengajak kita berangkat dari pemahaman umum yang menyatakan bahwa interaksi
intra-Asia umumnya berlangsung damai, aman, dan tentram. Sen membantah pemahaman umum
tersebut dengan menjelaskan bahwa terdapat konflik dan perang yang tidak hanya terjadi di
tataran suku nomad. Ekspansi jalur perdagangan „jalur sutra‟ membuahkan konfrontasi yang
terjadi antara dinasti Han Barat di Cina dan konfederasi Xiongnu di Asia Tengah. Ekspedisi laut

Chola melawan kerajaan Sriwijaya terjadi pada 1025 karena terdapat tendensi penguasaan
jaringan perdagangan laut. Ekspedisi ini ialah contoh kasus soal bagaimana perdagangan di Asia
tidak dapat dilepaskan dari kontrol yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan militer.
Bagian terakhir dari tulisan ini mencoba mengkonseptualisasi interaksi pra-modern Asia.
Pertama, interaksi dan pertukaran di Asia seringkali terhubung dengan kawasan lain di luar Asia
itu sendiri, misalnya terhubung dengan Mesir dan Roma sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya. Kedua, paralel dengan jaringan yang luas dan lintas-benua, terdapat pula jaringan
yang lebih kecil dan lebih ekslusif dan hanya menhubungkan beberapa kawasan spesifik seperti
jaringan Teluk Bengal yang menghubungkan Srilanka, India bagian timur, Burma, dan sejumlah
bagian di Asia Tenggara. Ketiga, pentingnya peran India dan Cina dalam konteks interkoneksitas
Asia pra-modern (India dan Cina tidak sekadar melakukan pertukaran komoditas, namun juga
melakukan pertukaran ide dan teknologi). Keempat, konflik dan perang perlu diperhitungkan
dalam studi interaksi Asia pra-modern. Pada akhirnya, Sen mengingatkan kita bahwa ketika kita
berbicara mengenai Asia pada masa pra-modern, kita tidak dapat hanya berbicara mengenai
Asia. Kita juga harus memahami konteks global saat itu, ekspansi pasar dan arus komoditas,
serta pertukaran budaya yang terjadi.
Kajian Tansen Sen ini memang berada di tataran Asia, alih-alih Asia Tenggara. Akan
tetapi, saya pikir pembahasan mengenai kajian Sen ini menjadi penting ketika kita telah
menyadari bahwa batas-batas yang kita ciptakan seringkali menghambat pemahaman kita yang
seharusnya dapat lebih komprehensif mengenai interkoneksitas di Asia Tenggara. Apa yang
terjadi di Asia dan dunia pada masa-masa pra-modern tidak dapat diabaikan untuk dapat
memahami bagaimana kondisi Asia Tenggara saat itu. Apabila kita membaca tulisan Sen dengan
cermat, maka dapat kita lihat bahwa pembahasan Sen mengenai interkoneksitas tidak
menyertakan negara sebagai unit analisisnya (meski beberapa kali Sen menyatakan bahwa
daerah x nantinya akan menjadi negara y untuk mempermudah pembaca membayangkan daerah
6

yang sedang dibahas). Hal ini dapat dipahami karena pada masa pra-modern tersebut belum ada
negara. Hal yang penting untuk dilihat ialah pembahasan Sen mengenai interkoneksitas ini
didasarkan pada unit-unit ekonomi-politik yang tidak berbentuk negara sehingga analisis dapat
dilakukan dengan cair dan komprehensif.
Relevansi Pemikiran Alternatif dan Antropologi
Selepas pembahasan yang panjang mengenai penjelasan-penjelasan alternatif mengenai
kajian Etnografi Asia Tenggara, kita sampai pada pertanyaan kunci: Apa relevansi penjelasanpenjelasan tersebut bagi Antropologi? Saya pikir, terdapat relevansi yang jelas antara penjelasanpenjelasan alternatif di atas dengan Antropologi (dan cabang ilmu sosial lainnya). Satu hal yang
pasti, penjelasan alternatif di atas dapat menjawab permasalahan yang tidak dapat dijawab
apabila kita menggunakan negara sebagai unit analisis, yaitu permasalahan perbatasan dan
permasalahan lintas-batas di Asia Tenggara. Persoalan interkoneksitas yang dimediasi oleh
komoditas seringkali terjadi pada jalur air yang melintasi negara yang berbeda. Selain itu,
sebagaimana dijelaskan di atas, peneliti seringkali lebih memfokuskan diri pada penelitian di
„pusat kekuasaan‟ alih-alih perbatasan.
Pemaparan di atas menjawab pertanyaan mengenai apa relevansi penjelasan alternatif di
atas dengan kajian Antropologi. Akan tetapi, menurut saya, penjelasan-penjelasan di atas dapat
menjadi alternatif bagi kajian Etnografi Asia Tenggara, bukan menggantikan penjelasan berbasis
negara. Meski terdapat sejumlah kekurangan, saya pikir menempatkan negara sebagai unit
analisis bukanlah kesalahan yang fatal. Pembahasan Schendel mengenai Geography of Knowing
melihat bahwa peneliti lebih memfokuskan diri pada pusat kekuasaan alih-alih perbatasan. Saya
pikir persoalan ini tidak berada di tataran ontologis sehingga pengubahan unit analisis tidak perlu
dilakukan. Selain itu, ketika berbicara mengenai persoalan global hari ini, saya pikir penjelasan
yang menggunakan negara sebagai unit analisis tidak dapat diabaikan karena dapat digunakan
pula untuk menjelaskan sejumlah permasalahan. Contohnya ialah Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015. Meski terjadi dalam kerangka ASEAN sebagai institusi, kita tidak dapat mengabaikan
bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan pasar bebas yang akan terjadi di kawasan Asia
Tenggara (setidaknya di kawasan yang kita konstruksikan sebagai Asia Tenggara) dan dapat
menyebabkan arus global yang melibatkan komoditas, kapital, serta tenaga kerja. Hal ini
tentunya dapat menjadi kajian bagi antropolog karena pertukaran komoditas, kapital, serta tenaga
kerja selalu melibatkan pertemuan kebudayaan yang dapat menyebabkan terjadinya inkorporasi,
transformasi, maupun adopsi. Poin penting yang problematis ialah, pertukaran komoditas dan
tenaga kerja serta arus kapital umumnya terjadi antar-negara. Pihak yang terlibat dalam
pertukaran ini ialah negara sebagai organisasi ekonomi-politik. Pertanyaannya sekarang, apakah
kita dapat menempatkan negara sebagai unit analisis dalam persoalan ini ataukah kita tetap harus
menggunakan pemikiran dan penjelasan alternatif sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya?
Saya pikir, kedua penjelasan ini (yang menggunakan negara sebagai unit analisis dan yang tidak
menggunakan negara sebagai unit analisis) dapat digunakan untuk melengkapi satu sama lain.
Apabila terdapat persoalan yang dapat menggunakan dengan negara sebagai unit analisis seperti
7

arus tenaga kerja transnasional dan arus kapital, maka penjelasan dengan negara sebagai unit
analisis dapat digunakan. Di sisi lain, apabila terdapat persoalan yang dapat menggunakan
penjelasan alternatif seperti persoalan interkoneksitas berbasis komoditas, maka kita dapat
menggunakan penjelasan alternatif dengan menggunakan metafor geografis dan lainnya.
Refleksi
Pada akhirnya, saya pikir perdebatan tentang yang mana yang tepat digunakan sebagai
unit analisis perlu diakhiri. Pembahasan mengenai penjelasan alternatif telah saya paparkan pada
bagian-bagian sebelumnya dan saya tutup dengan pendapat saya bahwa penjelasan yang
menggunakan negara sebagai unit analisis dan penjelasan alternatif sebaiknya dilihat sebagai
pelengkap satu sama lain. Saya pikir dua penjelasan ini bukanlah penjelasan yang harus
dikonstestasi dan dilihat penjelasan mana yang tepat digunakan bagi seluruh permasalahan yang
ada di kajian Etnografi Asia Tenggara.
Menurut saya, terdapat permasalahan apabila kita hanya menggunakan salah satu
penjelasan. Apabila kita menggunakan penjelasan berbasis negara sebagai unit analisis, maka
terdapat sejumlah permasalahan yang tidak dapat kita temukan penjelasannya, misalnya
persoalan Zomia yang stateless atau interkoneksitas berbasis air. Akan tetapi, jika kita
meniadakan penjelasan yang menggunakan negara sebagai unit analisis sama sekali, terdapat
sebuah pertanyaan yang dapat diajukan: Apa tujuan dari kuliah Etnografi Asia Tenggara
sebenarnya? Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, Asia Tenggara sebagai kawasan
dikonstruksi secara sosial dan historis dan dibentuk karena alasan yang sangat politis. Dalam
pembentukannya pun, Asia Tenggara dilihat sebagai agregasi dari negara-negara di Asia
Tenggara, bukan Asia Tenggara sebagai Asia Tenggara. Dengan demikian, jika kita sama sekali
mengabaikan penjelasan berbasis negara, bagaimana mungkin terdapat matakuliah Etnografi
Asia Tenggara dan kajian-kajiannya yang, seringkali, berfokus pada satu negara atau negara
lainnya di kawasan Asia Tenggara.

Referensi
Scott, J.C., 2009, The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland
Southeast Asia, New Haven: Yale University Press, Hlm. 1-39
Scott, J.C., 1998, The State and People Who Move Around: How the valleys make the
Hills in Southeast Asia. Transcript.

8

Sutherland, H., 2007, “Geography as Destiny: The Role of Water in Southeast Asian
History” dalam A World of Water: Rain, Rivers and Seas in Southeast Asian
Histories (Peter Boomgaard, ed.), Singapore: NUS Press, Hlm. 27-70.
Tansen Sen: “The Intricacies of Premodern Asian Connections” dalam “Asia Redux
Conceptualizing a Region for Our Times.” dalam Asia Redux: Conceptualizing a
Region for Our Times. Singapore: ISEAS. pp. 40-51.
Van Schendel, W., 2005, “Geographies of Knowing, Geography of Ignorance, Jumping
Scale in Southeast Asia” dalam Locating Southeast Asia: Geographies of
Knowledge and Politics of Space, Singapore: NUS Press, Hlm. 275-307.

9