Jejak Demokrasi Empiris Di Indonesia
Jejak Demokrasi Empiris Di Indonesia
Hampir semua pihak atau kalangan sepakat mengenai pentingnya
demokrasi diperjuangkan. Namun tidak pernah didapat kesepakatan
dari semua pihak atau kalangan mengenai definisi demokrasi secara
spesifik. Umumnya orang lebih nyaman dengan definisi demokrasi
secara ideal atau juga disebut sebagai definisi populistik tentang
demokrasi, yakni sebuah sistem pemerintahan ”dari, oleh, dan
untuk rakyat”, walaupun dalam sejarah manusia, bisa dikatakan
pengertian demokrasi demikian tidak akan pernah ada. Tidak
pernah ada pemerintahan dijalankan secara langsung oleh semua
rakyat, dan tidak pernah ada pemerintahan sepenuhnya untuk
semua rakyat. Dalam praktiknya, yang menjalankan pemerintahan
tidak pernah rakyat secara langsung, tapi elite yang jumlahnya jauh
lebih sedikit. Juga tidak pernah ada, hasil dari pemerintahan itu
untuk rakyat semuanya secara merata, tapi selalu ada perbedaan
proporsional antara yang mendapat jauh lebih banyak dan yang
mendapat jauh lebih sedikit. Jika mempertimbangkan rangkaian
fakta empiris tersebut, definisi demokrasi dapat disederhanakan
menjadi: sistem pemerintahan yang ditandai antara lain oleh
adanya kebebasan yang diatur dalam undang-undang yang
berkaitan dengan kepentingan publik.
Untuk memahami upaya membangun demokrasi di Indonesia,
diperlukan kilas balik ke hari Sabtu bulan Ramadhan 67 tahun yang
lalu, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, ketika sekelompok elite
terbaik bangsa ini berusaha menyepakati pondasi yang pas bagi
republik yang baru lahir. Pemahaman kelompok elite tersebut akan
konsep negara demokrasi sangat mendalam. Mereka paham akan
pentingnya menjaga cita-cita dalam membangun negara ini dengan
suatu sistem yang berkedaulatan rakyat, dimana kepentingan
rakyat banyak lah yang menjadi satu-satunya prioritas utama.
Pemahaman ini antara lain banyak dipengaruhi oleh literatur
tentang kondisi dunia pada saat itu, yang umumnya terinspirasi
revolusi Perancis dan Rusia, yang gencar mengumandangkan ideide sosialisme serta demokrasi. Namun demikian, para pemikir elite
tersebut juga paham bahwa bangsa ini berbeda dari negara-negara
tempat ide-ide tersebut berasal. Oleh sebab itu, acuan nilai-nilai
sosialistis demokratis yang dituangkan kedalam pasal demi pasal
konstitusi, disesuaikan serta ditekankan kepada sosio diversifikasi
bangsa yang sangat majemuk ini.
Penyesuaian tersebut termasuk mengkonsiderasi kondisi bangsa
pada saat itu, dimana dari total 73,3 juta populasi rakyat hanya 7%
yang mampu baca tulis. Di jaman itu, jangankan memahami konsep
berdemokrasi dan mendapatkan hak suara, ide bernegarapun masih
sulit diterima oleh rakyat umum, yang notabene belum benar-benar
paham akan makna negara yang berdaulat dan merdeka.
Penerimaan rakyat terhadap ide mendirikan Republik Indonesia
yang membawa cita-cita kesejahteraan bersama tersebut, lebih
banyak dipengaruhi kepercayaan mereka yang kental
feudalismenya, terhadap figur-figur pimpinan dari kalangan elitenya,
yang mengerucut kepada figur Dwi Tunggal. Dalam kondisi ini,
konsep negara demokrasi sangat sulit terwujud. Rakyat yang masih
gamang dengan peralihan sistem kemasyarakatan belum siap
berdaulat. Rakyat butuh waktu untuk benar-benar memahami
bagaimana mereka dapat membentuk pemerintahan yang mampu
melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Namun karena elite meyakini bahwa demokrasi adalah mutlak, ide
negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat tetap dianggap
sebagai patron. Segala kondisi yang menjadi prasyarat
terlaksananya demokrasi diprogramkan. Semua upaya yang
diperlukan untuk memangkas kesenjangan wawasan dan
pengetahuan dicanangkan dengan intensif. Suprastruktur seperti UU
No 27 tahun 1948, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun
1949 tentang Pemilu, dan UU Pendidikan Tahun 1950 yang memuat
misi ”membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air”, diterbitkan, sejalan dengan pendirian
partai-partai politik, pembangunan sekolah-sekolah secara masif.
Program pembangunan demokrasi di bidang ekonomi juga tidak
ketinggalan dikejar secara sistematis. Dengan program benteng
yang dimulai pada tahun 1950, pemerintah membina pembentukan
suatu kelas pengusaha "pribumi", yang notabene pada masa itu
tidak mendapat akses yang sama dengan yang non probumi.
Upaya-upaya tersebut mengantar bangsa ini kepada pemilihan
umumnya yang pertama pada tahun 1955, sepuluh tahun sejak
negara ini didirikan. Pada awalnya, UU tentang pemilu
mengamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan
adalah bertingkat, tidak langsung, dengan mengkonsiderasi
mayoritas warganegara Indonesia yang pada waktu itu masih buta
huruf, buta politik dan rendah tingkat kesadaran bernegaranya,
walaupun umumnya nasionalis. Namun pada akhirnya pemilu
pertama tahun 1955 tersebut diselenggarakan secara langsung
dengan merevisi UU Pemilu Tahun 1949 dengan UU No. 7 Tahun
1953. Pemilu ternyata berhasil diselenggarakan dengan aman,
lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Kesuksesan pemilu
1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari
negara-negara asing. Peserta pemilu mencapai lebih dari 30-an
partai politik serta lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon
perorangan. Pemilu diikuti oleh lebih dari 37,8 juta warga, dari total
85,4 juta populasi pada saat itu, kira-kira hampir sesuai dengan
jumlah 50% warga yang telah melek huruf.
Namun walaupun telah berhasil melewati satu tahapan menuju
negara demokratis, pemilu 1955 membawa dampak lain.
Pelaksanaan pemilu yang sukses adalah satu hal, namun hasil dari
pemilu sukses tersebut adalah hal yang lain lagi. Dalam prosesnya,
masa persiapan serta kampanye yang terlalu bebas telah
mengundang emosi politik yang amat tinggi. Waktu kampanya yang
terlalu lama (2,5 tahun) bahkan menimbulkan kecintaan dan
fanatisme yang berlebihan terhadap partai. Akibatnya, pemilu tahun
1955 tidak mampu menciptakan stabilitas politik seperti yang
diharapkan. Berbagai konflik muncul ke permukaan, seperti konflik
ideologis, konflik antar kelompok dan daerah, konflik kepentingan
antarpartai politik, bahkan yang paling krusial adalah munculnya
perpecahan antara pemerintahan pusat dengan beberapa daerah.
Kondisi tersebut diperparah dengan ketidakmampuan anggota
Konstituante yang terpilih dari hasil Pemilu 1955 untuk mencapai
titik temu dalam menyusun UUD baru demi mengatasi kondisi
negara yang kritis. Pekatnya kepentingan partai atau golongan
memicu sering pertentangan yang berujung perselisihan. Namun
terlepas dari segala hal tersebut, upaya penegakkan demokrasi
telah dilakukan dalam periode demokrasi parlementer (1945 -1959)
pasca proklamasi.
Periode berikutnya, yaitu periode demokrasi terpimpin dimulai
tahun 1959 dengan diiringi masalah-masalah seperti tingginya
inflasi, kekurangan infrastruktur, meningkatnya hutang negara,
defisit anggaran, rendahnya investasi, dan lain sebagainya. Periode
ini dimulai dengan pidato manifesto politik yang mencakup
kembalinya UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Manipol USDEK)
pada 17 Agustus 1959. Dalam periode ini kestabilan politik
menguat, konflik-konflik berhasil diredam, namun terjadi
otoriterisme yang membuat banyak potensi konflik baru
bermunculan. Terlihat bahwa konsep demokrasi terpimpin yang
mempunyai tujuan baik, meiliki cara-cara dan langkah-langkah yang
justru menjauhkan dari tujuan baik tersebut. Pada masa ini, militer,
presiden, dan lembaga-lembaga tinggi negara memiliki kekuasaan
absolut yang sangat besar, yang pada sisi lainnya malah
menjauhkan kepentingan rakyat secara sistemik. Pada peringatan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16 pemerintah
menerbitkan kebijakan yang intinya adalah bahwa seluruh unsur
kehidupan berbangsa dan bernegara harus dicapai melalui revolusi,
dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan
nasional (Resopim) yang disebut Panglima Besar Revolusi, yaitu
Presiden Sukarno. Dampak dari sosialisasi Resopim ini maka
kedudukan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara ditetapkan
dibawah presiden. Walaupun kebijakan politik luar negeri yang
muncul pada masa tersebut terbilang fenomenal, namun ujungnya
adalah jatuhnya pemerintahan lewat kudeta militer dan aksi
intelejen pada tahun 1966.
Masa berikutnya adalah periode panjang kekuasaan rezim yang
pada lapis luarnya terlihat seperti meneruskan pola demokrasi
terpimpin, dengan penekanan pada pembangunan ekonomi
terpimpin, yang disebut Orde Baru. Pada substansinya, Orde Baru
memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan
utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur
administratif yang didominasi militer, namun dengan
mengaplikasikan opini ekonom didikan Amerika. Pada era ini DPR
dan MPR tidak berfungsi secara efektif, dan aspirasi rakyat sering
tidak terdengar oleh pusat. Pembagian PAD juga menjadi bahan
keluhan, karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus
disetor ke pusat, sehingga semakin mendorong lebarnya jurang
pembangunan antara pusat dan daerah. Rezim Orde Baru
merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan tujuan ganda, yaitu
bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan
ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan
lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, rezim ini
mampu menciptakan sistem dengan tingkat kestabilan politik yang
tinggi, seperti umumnya pola fasisme. Pada periode sepanjang 32
tahun ini, elite yang dulu membentuk republik ini telah hilang dan
digantikan oleh kelompok elite yang lain. Korupsi, kolusi dan
nepotisme yang diluar kewajaran terjadi di masa ini. Rezim ini
terhambat oleh krisis ekonomi pada tahun 1997, dan digantikan
oleh rezim berikutnya pada 1998, yang walaupun disebut dengan
nama Orde Reformasi, namun masih senada seirama dengan Orde
Baru, dengan tingkat kerusakan yang malah lebih berat lagi.
Pada era Reformasi yang sejatinya diinisiasi oleh sekelompok besar
intelektual organik namun kemudian berhasil ditunggangi oleh
kepentingan “masa lalu” ini, terjadi kombinasi dari apa yang disebut
William Case Semi Democracy dan Pseudo-Democracy. Pada era
reformasi ini perilaku politik lebih berorientasi pada kekuasaan
ketimbang kepentingan golongan. Memang benar pada era ini,
keterbukaan, kemerdekaan informasi, kebebasan berekspresi, serta
akses publik ke bidang-bidang ekonomi semakin terbuka. Namun di
sisi lain berkembang budaya korupsi yang semakin terbuka,
meroketnya biaya politik, melebarnya kesenjangan eknomi dan
pengetahuan. Ditambah dengan peningkatan biaya hidup yang
tidak terkejar oleh pertumbuhan ekonomi, ketidak-pastian hukum,
pemimpin yang tidak membawa aspirasi masyarakat, korupsi di
pemerintahan, membawa kekecewaan rakyat terhadap pemilu
meningkat, dan pada akhirnya membawa ketidak-percayaan kepada
demokrasi itu sendiri.
Pada titik ini, maka konsep demokrasi yang oleh para pendiri bangsa
disesuaikan dengan terminologi “kerakyatan”, yang lebih
menekankan kepada “kepentingan rakyat” ketimbang “suara
rakyat” dengan sistem perwakilan untuk permusyawaratan, harus
lebih dipahami lagi. Kesimpulan yang didapat dari demokrasi
empiris yang berlangsung di Indonesia selama ini adalah: belajar
demokrasi harus diawali dengan kesepahaman mengenai
pengertian model demokrasi yang ideal bagi suatu bangsa terlebih
dahulu. Sehingga tidak menempatkan demokrasi seperti mata pisau
yang harus dicermati lagi efeknya terhadap kemaslahatan rakyat.
Ketersediaan prasyarat bagi terlaksananya demokrasi seperti
kesetaraan wawasan bermasyarakat, akses-akses ekonomi,
kesamaan visi bernegara dan lainnya, harus menjadi fokus
perhatian utama, jika menghendaki terciptanya bangsa yang benarbenar merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Ditulis untuk memperingati 67 tahun peresmian konstitusi Republik
Indonesia, 18 Agustus 1945 – 18 Agustus 2012.
Adie Marzuki
Hampir semua pihak atau kalangan sepakat mengenai pentingnya
demokrasi diperjuangkan. Namun tidak pernah didapat kesepakatan
dari semua pihak atau kalangan mengenai definisi demokrasi secara
spesifik. Umumnya orang lebih nyaman dengan definisi demokrasi
secara ideal atau juga disebut sebagai definisi populistik tentang
demokrasi, yakni sebuah sistem pemerintahan ”dari, oleh, dan
untuk rakyat”, walaupun dalam sejarah manusia, bisa dikatakan
pengertian demokrasi demikian tidak akan pernah ada. Tidak
pernah ada pemerintahan dijalankan secara langsung oleh semua
rakyat, dan tidak pernah ada pemerintahan sepenuhnya untuk
semua rakyat. Dalam praktiknya, yang menjalankan pemerintahan
tidak pernah rakyat secara langsung, tapi elite yang jumlahnya jauh
lebih sedikit. Juga tidak pernah ada, hasil dari pemerintahan itu
untuk rakyat semuanya secara merata, tapi selalu ada perbedaan
proporsional antara yang mendapat jauh lebih banyak dan yang
mendapat jauh lebih sedikit. Jika mempertimbangkan rangkaian
fakta empiris tersebut, definisi demokrasi dapat disederhanakan
menjadi: sistem pemerintahan yang ditandai antara lain oleh
adanya kebebasan yang diatur dalam undang-undang yang
berkaitan dengan kepentingan publik.
Untuk memahami upaya membangun demokrasi di Indonesia,
diperlukan kilas balik ke hari Sabtu bulan Ramadhan 67 tahun yang
lalu, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, ketika sekelompok elite
terbaik bangsa ini berusaha menyepakati pondasi yang pas bagi
republik yang baru lahir. Pemahaman kelompok elite tersebut akan
konsep negara demokrasi sangat mendalam. Mereka paham akan
pentingnya menjaga cita-cita dalam membangun negara ini dengan
suatu sistem yang berkedaulatan rakyat, dimana kepentingan
rakyat banyak lah yang menjadi satu-satunya prioritas utama.
Pemahaman ini antara lain banyak dipengaruhi oleh literatur
tentang kondisi dunia pada saat itu, yang umumnya terinspirasi
revolusi Perancis dan Rusia, yang gencar mengumandangkan ideide sosialisme serta demokrasi. Namun demikian, para pemikir elite
tersebut juga paham bahwa bangsa ini berbeda dari negara-negara
tempat ide-ide tersebut berasal. Oleh sebab itu, acuan nilai-nilai
sosialistis demokratis yang dituangkan kedalam pasal demi pasal
konstitusi, disesuaikan serta ditekankan kepada sosio diversifikasi
bangsa yang sangat majemuk ini.
Penyesuaian tersebut termasuk mengkonsiderasi kondisi bangsa
pada saat itu, dimana dari total 73,3 juta populasi rakyat hanya 7%
yang mampu baca tulis. Di jaman itu, jangankan memahami konsep
berdemokrasi dan mendapatkan hak suara, ide bernegarapun masih
sulit diterima oleh rakyat umum, yang notabene belum benar-benar
paham akan makna negara yang berdaulat dan merdeka.
Penerimaan rakyat terhadap ide mendirikan Republik Indonesia
yang membawa cita-cita kesejahteraan bersama tersebut, lebih
banyak dipengaruhi kepercayaan mereka yang kental
feudalismenya, terhadap figur-figur pimpinan dari kalangan elitenya,
yang mengerucut kepada figur Dwi Tunggal. Dalam kondisi ini,
konsep negara demokrasi sangat sulit terwujud. Rakyat yang masih
gamang dengan peralihan sistem kemasyarakatan belum siap
berdaulat. Rakyat butuh waktu untuk benar-benar memahami
bagaimana mereka dapat membentuk pemerintahan yang mampu
melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Namun karena elite meyakini bahwa demokrasi adalah mutlak, ide
negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat tetap dianggap
sebagai patron. Segala kondisi yang menjadi prasyarat
terlaksananya demokrasi diprogramkan. Semua upaya yang
diperlukan untuk memangkas kesenjangan wawasan dan
pengetahuan dicanangkan dengan intensif. Suprastruktur seperti UU
No 27 tahun 1948, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun
1949 tentang Pemilu, dan UU Pendidikan Tahun 1950 yang memuat
misi ”membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air”, diterbitkan, sejalan dengan pendirian
partai-partai politik, pembangunan sekolah-sekolah secara masif.
Program pembangunan demokrasi di bidang ekonomi juga tidak
ketinggalan dikejar secara sistematis. Dengan program benteng
yang dimulai pada tahun 1950, pemerintah membina pembentukan
suatu kelas pengusaha "pribumi", yang notabene pada masa itu
tidak mendapat akses yang sama dengan yang non probumi.
Upaya-upaya tersebut mengantar bangsa ini kepada pemilihan
umumnya yang pertama pada tahun 1955, sepuluh tahun sejak
negara ini didirikan. Pada awalnya, UU tentang pemilu
mengamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan
adalah bertingkat, tidak langsung, dengan mengkonsiderasi
mayoritas warganegara Indonesia yang pada waktu itu masih buta
huruf, buta politik dan rendah tingkat kesadaran bernegaranya,
walaupun umumnya nasionalis. Namun pada akhirnya pemilu
pertama tahun 1955 tersebut diselenggarakan secara langsung
dengan merevisi UU Pemilu Tahun 1949 dengan UU No. 7 Tahun
1953. Pemilu ternyata berhasil diselenggarakan dengan aman,
lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Kesuksesan pemilu
1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari
negara-negara asing. Peserta pemilu mencapai lebih dari 30-an
partai politik serta lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon
perorangan. Pemilu diikuti oleh lebih dari 37,8 juta warga, dari total
85,4 juta populasi pada saat itu, kira-kira hampir sesuai dengan
jumlah 50% warga yang telah melek huruf.
Namun walaupun telah berhasil melewati satu tahapan menuju
negara demokratis, pemilu 1955 membawa dampak lain.
Pelaksanaan pemilu yang sukses adalah satu hal, namun hasil dari
pemilu sukses tersebut adalah hal yang lain lagi. Dalam prosesnya,
masa persiapan serta kampanye yang terlalu bebas telah
mengundang emosi politik yang amat tinggi. Waktu kampanya yang
terlalu lama (2,5 tahun) bahkan menimbulkan kecintaan dan
fanatisme yang berlebihan terhadap partai. Akibatnya, pemilu tahun
1955 tidak mampu menciptakan stabilitas politik seperti yang
diharapkan. Berbagai konflik muncul ke permukaan, seperti konflik
ideologis, konflik antar kelompok dan daerah, konflik kepentingan
antarpartai politik, bahkan yang paling krusial adalah munculnya
perpecahan antara pemerintahan pusat dengan beberapa daerah.
Kondisi tersebut diperparah dengan ketidakmampuan anggota
Konstituante yang terpilih dari hasil Pemilu 1955 untuk mencapai
titik temu dalam menyusun UUD baru demi mengatasi kondisi
negara yang kritis. Pekatnya kepentingan partai atau golongan
memicu sering pertentangan yang berujung perselisihan. Namun
terlepas dari segala hal tersebut, upaya penegakkan demokrasi
telah dilakukan dalam periode demokrasi parlementer (1945 -1959)
pasca proklamasi.
Periode berikutnya, yaitu periode demokrasi terpimpin dimulai
tahun 1959 dengan diiringi masalah-masalah seperti tingginya
inflasi, kekurangan infrastruktur, meningkatnya hutang negara,
defisit anggaran, rendahnya investasi, dan lain sebagainya. Periode
ini dimulai dengan pidato manifesto politik yang mencakup
kembalinya UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Manipol USDEK)
pada 17 Agustus 1959. Dalam periode ini kestabilan politik
menguat, konflik-konflik berhasil diredam, namun terjadi
otoriterisme yang membuat banyak potensi konflik baru
bermunculan. Terlihat bahwa konsep demokrasi terpimpin yang
mempunyai tujuan baik, meiliki cara-cara dan langkah-langkah yang
justru menjauhkan dari tujuan baik tersebut. Pada masa ini, militer,
presiden, dan lembaga-lembaga tinggi negara memiliki kekuasaan
absolut yang sangat besar, yang pada sisi lainnya malah
menjauhkan kepentingan rakyat secara sistemik. Pada peringatan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16 pemerintah
menerbitkan kebijakan yang intinya adalah bahwa seluruh unsur
kehidupan berbangsa dan bernegara harus dicapai melalui revolusi,
dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan
nasional (Resopim) yang disebut Panglima Besar Revolusi, yaitu
Presiden Sukarno. Dampak dari sosialisasi Resopim ini maka
kedudukan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara ditetapkan
dibawah presiden. Walaupun kebijakan politik luar negeri yang
muncul pada masa tersebut terbilang fenomenal, namun ujungnya
adalah jatuhnya pemerintahan lewat kudeta militer dan aksi
intelejen pada tahun 1966.
Masa berikutnya adalah periode panjang kekuasaan rezim yang
pada lapis luarnya terlihat seperti meneruskan pola demokrasi
terpimpin, dengan penekanan pada pembangunan ekonomi
terpimpin, yang disebut Orde Baru. Pada substansinya, Orde Baru
memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan
utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur
administratif yang didominasi militer, namun dengan
mengaplikasikan opini ekonom didikan Amerika. Pada era ini DPR
dan MPR tidak berfungsi secara efektif, dan aspirasi rakyat sering
tidak terdengar oleh pusat. Pembagian PAD juga menjadi bahan
keluhan, karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus
disetor ke pusat, sehingga semakin mendorong lebarnya jurang
pembangunan antara pusat dan daerah. Rezim Orde Baru
merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan tujuan ganda, yaitu
bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan
ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan
lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, rezim ini
mampu menciptakan sistem dengan tingkat kestabilan politik yang
tinggi, seperti umumnya pola fasisme. Pada periode sepanjang 32
tahun ini, elite yang dulu membentuk republik ini telah hilang dan
digantikan oleh kelompok elite yang lain. Korupsi, kolusi dan
nepotisme yang diluar kewajaran terjadi di masa ini. Rezim ini
terhambat oleh krisis ekonomi pada tahun 1997, dan digantikan
oleh rezim berikutnya pada 1998, yang walaupun disebut dengan
nama Orde Reformasi, namun masih senada seirama dengan Orde
Baru, dengan tingkat kerusakan yang malah lebih berat lagi.
Pada era Reformasi yang sejatinya diinisiasi oleh sekelompok besar
intelektual organik namun kemudian berhasil ditunggangi oleh
kepentingan “masa lalu” ini, terjadi kombinasi dari apa yang disebut
William Case Semi Democracy dan Pseudo-Democracy. Pada era
reformasi ini perilaku politik lebih berorientasi pada kekuasaan
ketimbang kepentingan golongan. Memang benar pada era ini,
keterbukaan, kemerdekaan informasi, kebebasan berekspresi, serta
akses publik ke bidang-bidang ekonomi semakin terbuka. Namun di
sisi lain berkembang budaya korupsi yang semakin terbuka,
meroketnya biaya politik, melebarnya kesenjangan eknomi dan
pengetahuan. Ditambah dengan peningkatan biaya hidup yang
tidak terkejar oleh pertumbuhan ekonomi, ketidak-pastian hukum,
pemimpin yang tidak membawa aspirasi masyarakat, korupsi di
pemerintahan, membawa kekecewaan rakyat terhadap pemilu
meningkat, dan pada akhirnya membawa ketidak-percayaan kepada
demokrasi itu sendiri.
Pada titik ini, maka konsep demokrasi yang oleh para pendiri bangsa
disesuaikan dengan terminologi “kerakyatan”, yang lebih
menekankan kepada “kepentingan rakyat” ketimbang “suara
rakyat” dengan sistem perwakilan untuk permusyawaratan, harus
lebih dipahami lagi. Kesimpulan yang didapat dari demokrasi
empiris yang berlangsung di Indonesia selama ini adalah: belajar
demokrasi harus diawali dengan kesepahaman mengenai
pengertian model demokrasi yang ideal bagi suatu bangsa terlebih
dahulu. Sehingga tidak menempatkan demokrasi seperti mata pisau
yang harus dicermati lagi efeknya terhadap kemaslahatan rakyat.
Ketersediaan prasyarat bagi terlaksananya demokrasi seperti
kesetaraan wawasan bermasyarakat, akses-akses ekonomi,
kesamaan visi bernegara dan lainnya, harus menjadi fokus
perhatian utama, jika menghendaki terciptanya bangsa yang benarbenar merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Ditulis untuk memperingati 67 tahun peresmian konstitusi Republik
Indonesia, 18 Agustus 1945 – 18 Agustus 2012.
Adie Marzuki