ANALISIS KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS MAHAS

ANALISIS KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS MAHASISWA
DALAM MENYELESAIKAN MASALAH GENERALISASI
RUMUS BARISAN ARITMATIKA BERTINGKAT
DENGAN OPERASI + + −

F. S. Salama
Pendidikan Matematika Universitas Jember
Jl. Kalimantan 37 Kampus Bumi Tegal Boto Jember
Email : fadilahsafina@gmail.com
2016

Abstrak
Kemampuan berfikir kritis mahasiswa yang kurang sehingga perluya adanya suatu
perubahan dalam proses belajar sehingga bisa meningkatkan kemampuan kritis
mahasiswa yang merupakan bagian dari Higher Order Thinking Skill. Salah satu
kegiatan dalam bidang matematika yang dapat menimbulkan kemampuan berfikir
kritis mahsiswa adalah generalisasi rumus barisan aritmatika dengan pola + + −.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Subjek
dari penelitian ini merupakan mahasiswa pendidikan matematika di Universitas
Jember angkatan 2014. Barisan aritmatika yang dianalisis merupakan barisan
aritmatika dengan tinhkat 3. Rumus yang digunakan untuk mencari rumus

generalisasi barisan aritmatika tersebut adalah �� = + � −
dan �� =
� + � + untuk mencari nilai suku awal yang merupakan aritmatika bertingkat
tingkat 2. Kemampuan berfikir kritis dalam penelitian ini dibutuhkan dalam
mengolah atu mengkonstruksi rumus generalisasi yang sudah ditemukan untuk
menemukan rumus baru.
Kata kunci : Higher Order Thinking Skill, berfikir kritis, aritmatika, generalisai
barisan

Pendahuluan
Salah satu tujuan pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan
kemampuan siswa berpikir kritis, kreatif, logis, dan sistematis, bersifat objektif,
jujur dan disiplin dalam memandang dan menyelesaikan masalah yang berguna
untuk kehidupan dalam masyarakat termasuk dunia kerja. Hal tersebut dapat dilatih
dengan mempelajari matematika yang memerlukan pemikiran kritis, logis, dan
sistematis.

Faktanya kebanyakan guru cenderung melakukan aktifitas pembelajaran
dengan cara konvensional. Cara mengajar konvensional pada dasarnya
pembelajaran berpusat kepada guru bukan siswa. Selain itu, metode yang

digunakan adalah metode ceramah. Hal ini mengakibatkan kurang keterlibatan
siswa dalam pembelajaran. Selain itu, dalam penyelesaian soal matematika hanya
terpatut kepada satu penyelesaian yang mengakibatkan hanya ada dua kemungkinan
yaitu salah atau benar. Hal ini mengakibatkan pembelajaran konvensional kurang
mengembangkan kemampuan berfikir siswa, salah satunya kemapuan berfikir kritis
siswa. Pembelajaran seperti ini akan berdampak pada tingkat berfikir siswa yang
cenderung diatur dan tidak berkembang atau Lower Order Thinking Skill. Oleh
karena itu siswa perlu meningkatkan kemampuan berfikir matematis tingkat tinggi
atau Higher Order Thinking Skill karena pada dasarnya matematika merupakan
ilmu yang sistematis dan terstruktur sehingga dapat mengembangkan sikap berpikir
kritis.
Enhancing thinking skills has been considered as a central goal of
education already for decades (Resnick, 1987). Ahrari (2016 : 1) mengatakan

“Developing critical thinking skills among undergraduates has been set as an aim
in thehigher education for years.” yang artinya mengembangkan keterampilan

berpikir kritis di kalangan mahasiswa telah ditetapkan sebagai tujuan dalam
pendidikan tinggi selama bertahun-tahun. The importance of critical thinking in
education is underpinned by decades of theoretical and practical work (Lai, 2011).

The inclusion of critical thinking in school curriculums has been widely reported
since at least the first half of the 20th Century, influenced by John Dewey (Bean,

2011).

Critical thinking has been regarded as an essential requirement for

responsible human activity (Marques, 2012). It is also considered fundamental if
citizens are to perform their social, professional and ethical duties (Griffin, McGaw

& Care, 2012). Critical thinking skills allow individuals to make autonomous
decisions and to question beliefs when these are not based on solid evidence

(Halpern, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan berfikir kritis sangat
diperlukan di dalam dunia pendidikan. Selain itu, The importance being accorded
to critical thinking is now a worldwide phenomenon. In education reports of
countries such as the United States, United Kingdom and Australia, critical

thinking has been listed as a key area to be cultivated and assessed in higher
education (Association of American Colleges and Universities, 2005; Australian

Council for Educational Research, 2002; Higher Education Quality Council, 1996)

yang artinya pentingnya pemikiran kritis menjadi fenomena di seluruh dunia.
Dalam laporan pendidikan negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia,
berpikir kritis telah terdaftar sebagai hal penting untuk dibudidayakan dan dinilai
dalam pendidikan tinggi.
Pada Taksonomi Bloom Revisi, salah satu tahap yang termasuk ke dalam
kategori Higher Order Thinking Skills adalah Evaluate atau mengevaluasi dengan
salah satu kategorinya adalah berfikir kritis. Menurut Ennis (1989), berpikir kritis
adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan
keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Indikator berpikir
kritis yang diturunkan dari aktivitas kritis menurut Ennis (1996) ada lima yaitu (1)
mampu merumuskan pokok-pokok permasalahan; (2) mampu mengungkap fakta
yang dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu masalah; (3) mampu memilih
argumen logis, relevan, dan akurat; (4) mampu mendeteksi bias berdasarkan sudut
pandang yang berbeda; dan (5) mampu menentukan akibat dari suatu pernyataan
yang diambil sebagai suatu keputusan. Facione mengatakan “Critical thinking is
described as a determined and self-regulatory skill which causes understanding,
analysis, assessment,and implication, in addition to description of the evidential,
theoretical, methodological, and relative thoughts (Facione, 1990 : 7)”, yang


artinya berpikir kritis digambarkan sebagai keterampilan mententukan dan selfregulatory yang menyebabkan pemahaman, analisis, penilaian dan implikasinya,
selain deskripsi bukti, teoritis, metodologis, dan pikiran relative.
Atkinson (1997 : 5) Despite some scholars believing that thinking critically
is the way of the Western cultural thinking and that Asian studentscannot think
critically, other studies refute their claims that Asians are deficient in critical
thinking (e.g., Stapleton, 2001). Currently, critical thinking skills and their
importance have received the consideration of numerousgroups in Malaysia,
ranging from instructors to managers and industries (Eldy & Sulaiman, 2013;

Ismail, 2011; Shah, 2011), yang artinya beberapa sarjana percaya bahwa berpikir

kritis adalah cara berpikir budaya Barat dan siswa Asia tidak bisa berpikir kriti.,
penelitian lain membantah klaim mereka bahwa orang Asia kekurangan berpikir
kritis (misalnya, Stapleton, 2001 ) . Saat ini, keterampilan berpikir kritis dan
pentingnya mereka telah menerima pertimbangan dari berbagai kelompok di
Malaysia, mulai dari instruktur untuk manajer dan industri ( Eldy & Sulaiman,
2013; Ismail, 2011; Shah, 2011 ). Oleh karena itu dalam penelitian ini, dapat
melatih mahasiswa untuk berfikir kritis.
Bissell and Lemons (2006 : 4) consider Bloom's taxonomy the best way to

categorize critical thinking in the classroom. This classification can be used to
evaluate critical thinking using the six levels of cognitive thinking. Students can
progress through the levels of the taxonomy from lowest to highest. Although
critical thinking exists at every level, Paul (1992) found that the higher-order
thinking skills are often experienced at the synthesis, evaluation, and design stages,

yang artinya Bissell dan Lemon mempertimbangkan taksonomi Bloom cara terbaik
untuk mengkategorikan berpikir kritis di dalam kelas. Klasifikasi ini dapat
digunakan untuk mengevaluasi berpikir kritis menggunakan enam tingkat
pemikiran kognitif. Siswa dapat maju melalui tingkat dari taksonomi dari terendah
ke tertinggi. Meskipun berpikir kritis ada pada setiap tingkat, Paul menemukan
bahwa tingkat tinggi kemampuan berpikir yang sering dialami pada sintesis,
evaluasi, dan tahap desain. Salah satu kegiatan dalam bidang matematika yang
dapat menimbulkan kemampuan berfikir kritis siswa adalah generalisasi rumus
barisan aritmatika dengan pola + + −.

Generalisasi barisan aritmatika yang biasa dikerjakan oleh mahasiswa

adalah barisan aritmatika pada level satu atau dua. Pada level satu siswa cukup
subtitusi nilai awal a dan beda b pada rumus �� =


+ �−

dengan setiap suku

memiliki beda yang sama dan hanya berlaku 1 operasi. Sedangkan pada level dua,
siswa cukup memisalkan setiap suku dengan persamaan kuadrat �� = � + � +

, dengan n suku ke-n dan berlaku 2 operasi. Tetapi pada aritmatika bertingkat

dengan operasi + + − merupakan barisan aritmatika 3 tingkatan dengan 3 operasi

campuran yaitu + dan − . Dalam hal ini diharapkan mahasiswa dapat mencari dan

menambah pengetahuan baru dengan berfikir kritis terhadap persoalan yang timbul
selama mencari rumus generalisasi dengan operasi + + - .
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis bermaksud mengadakan
penelitian dengan judul “Analisis Kemampuan Berfikir Kritis Mahasiswa Dalam
Menyelesaikan Masalah Generalisasi Rumus Barisan Aritmatika Bertingkat
Dengan Operasi + + −.


Rumusan masalah dari penelitian ini adalah Bagaimana cara berfikir kritis

mahasiswa dalam menyelesaikan masalah generalisasi rumus Barisan aritmatika
bertingkat dengan operasi + + −.

Adapun manfaat yang diharapkan adalah dapat melatih kemampuan berfikir

kritis mhasiswa sehingga mampu menemukan rumus generalisasi Barisan
aritmatika bertingkat dengan operasi + + −.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Creswell (dalam Herdiansyah, 2010: 8), menyebutkan bahwa Qualitaive research
is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions
of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a
complex, holistic picture, analizes words, report detailed views of information, and
conducts the study in a natural setting.

Penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada kondisi yang
alamiah, sumber data primer, dan teknik penngumpulan data lebih banyak pada

observasi berperan serta dan wawancara mendalam. (Sugiono, 2008:319). Dalam
penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yaitu studi dokumentasi.
Studi dokumentasi sendiri adalah dengan melihat catatan – catatan yang berupa
dokumen penulis selama melakukan penelitian.
Sasaran penelitian ini merupakan penulis sendiri yang merupakan
mahasiswa pendidikan matematika di Universitas Jember angkatan 2014. Adapun
informan atau narasumber dari penelitian ini adalah dosen Pendidikan Matematika

selaku dosen pengampu mata kuliah metode penelitian Prof. Drs. Dafik,
M.Sc.,Ph.D.
Teknik Penelitian
Skema 1. Teknik Penelitian
Membentuk dalam tabel

Menentuka operasi urut

Menentukan beda pola

Terbentuk pola


Membedakan pola berdasarkan pengamatan

Menetukan rumus fungsi

Mengeneralisasi

Teknik Analisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Data reduction: data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak,
untuk itu perlu di catat secara teliti dan rinci
2. Mereduksi data: merangkum, memilih hal-hal yang perlu, memfokuskan
pada hal-hal yang penting dicari dari tema dan polanya dan membuang yang
tidak perlu

3. Data display (penyajian data): setelah data di reduksi maka langkah
selanjutnya adalah mendisplaykan data. Data display data dalam penelitian
kualitatif bias dilakukan dalam bentuk table dan uraian singkat
4. Verification: langkah selanjutnya adalah kegiatan penarikan kesimpulan
dan klarifikasi, kesimpulan awal yang dilakukan masih bersifat sementara
dan akan berupa bila tidak ditemukan bukti yang kuat yang mendukung,
pada pengumpulan tahap berikutnya namun kesimpulan memang telah

didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti melakukan
penelitian ke lapangan mengumpulkan data. Maka kesimpulan yang
dikemukakan merupakan kesimpulan yang dapat dipercaya.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini menggunakan barisa aritmatika tingkat tiga dengan operasi
+ + −. Adapun jumlah barisan yang digunakan adalah sembilan . Masing – masing
kolom pada data tersebut dinamakan iterasi dan dapat disimbolkan dengan i. Pola
yang digunakan dalam memperoleh barisan tersebut diawali dengan menempatkan
angka satu pada bilangan iterasi genap terakhir . Selanjutnya pola barisan berjalan
mundur dan meloncat pada bilangan genap sebelumnya dengan selalu
menambahkannya dengan dua. Barisan ini akan berhenti pada bilangan bulat
terkahir, dimana hasil pada kolom tersebut akan menjadi beda untuk iterasi bilangan
ganjil, sehingga diperoleh barisan sebagai berikut :
Tabel 1. Barisan Aritmatika n = 9
i


1
42

2
7

3
35

4
5

5
28

6
3

7
21

8
1

9
14

Dalam hal ini, mahasiswa dapat berfikir kritis dengan mengamati pola yang
terbentuk sehingga dapat membuat barisan dengan pola yang sama sampai data ke
n dengan n adalah bilangan ganjil. Adapun pola yang terbentuk untuk data ke n
adalah 1.) Menempatkan angka 1 pada i = n – 1. 2.) Menambahkan angka 1 dengan
2 pada i = n – 3. 3.) Melanjutkan langkah kedua sampai i = 2. 4.) Membuat barisan
baru pada i sama dengan n sampai i = 1 dengan nilai beda adalah angka terakhir
yang diperoleh pada i = 2. Barisan baru pada n = 7 dan n = 11 disajikan dalam Tabel
2 dan Tabel 3.

Tabel 2. Barisan Aritmatika n = 7
i

1
25



2
5

3
20

4
3

5
15

6
1

7
10

Tabel 3. Barisan Aritmatika n = 11
i


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
63 9 54 7 45 5 36 3 27 1 18

Adapun tingkatan yang diperoleh dari barisan aritmatika n = 9, n = 7, dan n = 11
disajikan dalam skema 2, skema 3, dan skema 4.

42

7

Skema 2. Operasi + + − Pada barisan aritmatika n = 9
35

49

(+)

42
91

(+)

40
82

-9

(-)

5

28

33
73

-9

3

31
64

-9

21

24
55

-9

1

22
46

15
37

-9

-9

Ganbar 1. Operasi + + - pada barisan aritmatika n = 9

Skema 3. Operasi + + − Pada barisan aritmatika n = 7

25
(+)

5

30

20

25

3

23

15

18

1

16

11

14

10

55

(+)

48

41

-7

(-)

34

-7

-7

27
-7

Skema 4. Operasi + + − Pada barisan aritmatika n = 11
63
(+)
(+)
(-)

9

54

72

63
135

7
61

124

-11

45

-11

52
113
-11

5

36

50
102

41
91

-11

3

27

39
80

-11

30
69

-11

1
28

58
-11

19
47

-11

Pada skema 1, terlihat bahwa untuk n = 9 terbentuk pola aritmatik dengan
beda – 9 pada tingkatan ketiga dengan operasi + + −. Hal ini menunjukkan bahwa
barisan aritmatik untuk n = 9 adalah barisan aritmatik bertingkat tiga. Begitu pula

untuk n = 7 dan n = 11 pada skema 2 dan skema 3 masing – masing merupakan
aritmatik bertingkat tiga dengan beda masing- masing adalah – 7 dan – 11.
Mahasiswa biasanya hanya menghitung

rumus Generalisasi barisan

aritmatika pada level satu atau dua. Pada level satu siswa cukup subtitusi nilai awal
a dan beda b pada rumus �� =

+ �−

dengan setiap suku memiliki beda

yang sama dan hanya berlaku 1 operasi, sedangkan pada level dua, siswa cukup
memisalkan setiap suku dengan persamaan kuadrat �� = � + � + , dengan n
suku ke-n dan berlaku 2 operasi. Namun barisan aritmatika pada n = 7 , n = 9, dan

n = 11 merupakan barisan aritmatika bertingkat tiga dengan tiga operasi. Hal ini
dibutuhkan kemampuan kritis siswa untuk menemukan rumus generalisasi tersebut.
Penulis mengidentifikasi jika pada barisan tersebut dipengaruhi oleh i ganjil
dan i genap. Hal ini dikarenakan pada pembuatan pola barisan, dimulai dari i genap
terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan barisan pada i ganjil. Sehingga dalam
mencari rumus barisan aritmatika tersebut penulis membedakan pola barisan
dengan I ganjil dan pola barisan dengan i genap dalam rumus generalisasi yang
berbeda.
Pada i genap, tabel iterasi yang diperoleh disajikan dalam Tabel 4 berikut :

18

Tabel 4. Iterasi i genap n = 9
i

2
7



4
5

6
3

8
1

Pada n = 9, nilai iterasi bilangan genap berturut – turut adalah 7, 5, 3, dan 1.
Pada tabel tersebut, terlihat bahwa barisan tersebut memiliki beda yang sama yaitu
– 2, sedangkan untuk nilai suku awal atau nilai a pada baris tersebut penulis berfikir
ada hubungan antara nilai n dan a dikarenakan nilai a berlaku untuk semua n ganjil.
Untuk itu penulis melakukan identifikasi yang sama pada n = 7 dan n = 9. Tabel
iterasi yang diperoleh disajikan dalam Tabel 5 dan Tabel 6 berikut :
Tabel 5. Iterasi i genap n = 7
i

2
5



4
3

6
1

Tabel 6. Iterasi i genap n = 11
i


2
9

4
7

6
5

8
3

10
1

Pada saat n = 7, nilai a adalah 5 dan saat n = 11, nilai a adalah 9. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai a = n – 2. Hal ini merupakan salah satu kemampuan kritis
mahasiswa dengan mencari hubungan antara nilai suku awal dan banyak data atau
n. Jadi menurut rumus barisan aritmatika dengan beda – 2 dan suku awal n – 2
adalah sebagai berikut :
=

+ �−

=�−

;

.

;

=�− +

Sehingga diperoleh rumus





;

=�−



+

adalah n – 2i. Hal ini merupakan rumus

yang salah, dikarenakan hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan entri disetiap
kolom iterasi, sehingga penulis perlu mencari hubungan kembali antara n, i dan
.

Pada tabel tersebut i yang disajikan adalah i bilangan genap . Untuk
memudahkan mencari hubungan antara i dan

, penulis diberi saran oleh

mahasiswa lain bernama M.Ali Hasan untuk menambahkan k pada setiap kolom
iterasi, dengan k berjalan mulai dari 1 sampai banyaknya data. Oleh karena itu tabel
iterasi dengan I bilangan genap mengalami perubahan. Tabel iterasi baru disajikan
dalam Tabel :
Tabel 7. Iterasi baru i genap n = 7
k
i

1
2
5



2
4
3

3
6
1

Tabel 8. Iterasi baru i genap n = 9
k
i

1
2
7



2
4
5

3
6
3

4
8
1

Tabel 9. Iterasi baru i genap n = 11
k
i


1
2
9

2
4
7

3
6
5

4
8
3

5
10
1

Sehingga hubungan antara k dan i adalah =

=

atau

itu rumus Un yang baru adalah sebagai berikut :


�−

=

+ �−

− +

=�−

= �−

Sehingga diperoleh nilai

+






=�−






+

, �∈� �

disubtitusikan i = 4 pada n = 11, maka nilai
hasil yang didapatkan sama maka rumus

= �−

=



. Oleh karena

,



∈� �

=
. Jika

= . Dikarenakan

=�− , �∈� �

,

∈� �

adalah benar. Rumus yang diperoleh merupakan kemampuan berfikir kritis siswa
dengan mengidentifikasi hubungan antara k, i , dan
dapat dilihat pada Gambar 2.



. Untuk lebih jelasnya

Gambar 2. Rumus Generalisai � ∈ � �

,

∈� �

Sama halnya dengan iterasi bilangan ganjil, pada iterasi bilangan genap
menggunakan tiga n yang berbeda. Tabel iterasi yang diperoleh disajikan dalam
Tabel 10, Tabel 11, dan Tabel 12 berikut :
Tabel 10. Iterasi i ganjil n = 7
k
i

1
1
25



2
3
20

3
5
15

4
7
10

Tabel 11. Iterasi i ganjil n = 9
k
i

1
1
42



2
3
35

3
5
28

4
7
21

5
9
14

Tabel 12. Iterasi i ganjil n = 11
k
i


1
1
63

2
3
54

3
5
45

4
7
36

5
9
27

6
11
18

Sama halnya pada iterasi genap, untuk memudahkan mencari rumus
generalisasi

menambahkan baris k. Pada iterasi genap, nilai a dicari dengan

mencari hubungan antara n, i = 1 dan

. Pada saat n = 7, nilai a = 25. Pada saat

n = 9, nilai a = 42, pada saat n = 11, nilai a = 63. Karena barisan nilai a tersebut
merupakan aritmatika tingkat 2, dapat mencari nilai , denngan memisalkan
� + � + . Oleh karena itu penulis perlu mencari nilai p , q, dan r.

=

Langkah pertama adalah mensubtitusikan masing – masing nilai a dan n

pada persamaan a, sehingga diperoleh 3 persamaan yaitu 1.)
+

+ =

+

; 3.)

+ =

.

+

+ =

; 2.)

Seperti yang mahasiswa ketahui, ini merupakan persamaan linier 3 variabel.

Untuk mencari niali p , q, r bisa menggunakan cara eliminasi atau matrik. Dengan
menggunakan cara eliminasi, Nilai p, q, dan r berturut adalah , , dan – 3, sehingga

persamaan a diperoleh

= � + �−

disajikan dalam Gambar 3.

= � �+



. Untuk lebih jelasnya,

Gambar 3. Nilai a pada n ganjil dan i ganjil

Hubungan antara k dan i adalah

=

�+

. Nilai beda atau b berbeda untuk n

berbeda. Pada saat n = 7, niali b = - 5. Pada saat n = 9, nilai b = - 7. Pada saat n =
11, nilai b = - 9. Hal ini membuat mahasiswa berfikir kritis jika nilai b = - (n – 2).
Sehingga rumus



pada iterasi ganjil adalah



=

+ �−

=

� �+

� �

,

− −



∈� �

�−

=

� �+

− −

�+



�−

,� ∈

Uraian diatas membahas tentang bagaimana mencari rumus



untuk n

bilangan ganjil. Sebagai mahasiswa yang kritis muncul pertanyaan bagaimana
mencari rumus



untuk n bilangan genap dengan pola yang sama. Hal ini

menunjukkan bahwa mahasiswa perlu membuat barisan baru untuk n bilangan
genap dengan pola yang sama. Banyak data atau nilai n yang dipilih adalah n = 6,
n = 8, dan n = 10. Barisan aritmatik yang diperoleh untuk n = 6, n = 8, dan n = 10
disajikan dalam Tabel 13, Tabel 14, Tabel 15
Tabel 13. Barisan Aritmatika n = 6
i

1
5



2
20

3
3

4
15

5
1

6
10

6
21

7
1

Tabel 14. Barisan Aritmatika n = 8
i

1
7



2
35

3
5

4
28

5
3

8
14

Tabel 15. Barisan Aritmatika n = 10
i


1
9

2
54

3
7

4
45

5
5

6
36

7
3

8
27

9
1

Adapun tingkatan yang diperoleh dari barisan aritmatika n = 9, n = 7, dan n = 11
disajikan dalam skema 5, skema 6, dan skema 7.
Skema 5. Operasi + + − Pada barisan aritmatika n = 6
5

(+)
(-)
(-)

20

25

3

23
48

15

18
41

-7

1

16
34

-7

10

11
27

-7

Skema 6. Operasi ++- Pada barisan aritmatika n = 8

10
18

7

35

5

42

(+)

28

40

33

82

(+)

73

21

31
64

-9

(-)

3
24
55

-9

1
22

46

-9

14
15

37

-9

-9

Skema 7. Operasi ++- Pada barisan aritmatika n = 10
9
(+)
(-)
(-)

54
63

7

45

61

5

52

50

113

124
-11

36

102
-11

3

41
91

-11

27

39
80

-11

30
69

-11

1
28

58
-11

19
47

-11

Pada skema 4, skema 5, dan skema 6 terlihat bahwa pembeda terakhir sama dengan
pembeda ketika n bilangan ganjil yaitu – 7, – 9 , dan – 11. Dikarenakan terbentuk dari pola
yang sama, sehingga rumus generalisasi aritmatika bertingkat untuk n bilangan genap sama
dengan generalisasi aritmatika bertingkat untuk n bilangan ganjil.
Tabel iterasi i bilangan genap dengan n bilangan genap disajikan dalam Tabel 16, Tabel
17, dan tabel 18

Tabel 16. Iterasi i genap n = 6
k
i

1
2
20



2
4
15

3
6
10

Tabel 17. Iterasi i genap n = 8
k
i

1
2
35



2
4
28

3
6
21

4
8
14

Tabel 18. Iterasi i genap n = 10
k
i


1
2
54

2
4
45

3
6
36

4
8
27

5
10
18

18

Dalam hal ini nilai
dengan



Namun nilai



pada i bilangan genap memiliki ciri yang sama

pada i bilangan pada saat n bilangan ganjil yaitu aritmatika tingkat 2.


berbeda pada setiap iterasi, sehingga tidak bias menggunakan

rumus generalisasi



untuk bilangan ganjil pada n bilangan ganjil. Sama halnya

mencari nilai suku awal atau a pada i bilangan ganjil dan n bilangan genap, mencari
nilai suku awal pada i bilangan genap dan n bilangan genap menggunkan
permisalan

= � + � + . Oleh karena itu penulis perlu mencari nilai u , v,

dan n. Kemampuan berfikir kritis mahasiswa diperlukan kembali dalam hal ini,
yaitu dengan cara mensubtitusikan masing – masing nilai a dan n pada persamaan
a, sehingga diperoleh 3 persamaan yaitu 1.)
=

. 3.)

+

+

=

+

+

=

2.)

+

+

Seperti yang mahasiswa ketahui, ini merupakan persamaan linier 3 variabel.

Untuk mencari niali u , v, w bisa menggunakan cara eliminasi atau matrik. Dengan
menggunakan cara eliminasi, Nilai u, v, dan rwberturut adalah
sehingga persamaan a diperoleh

= � + �− = � �+

Gambar 4. Nilai a pada I genap dan n genap

− .

, , dan – 1,



= . Nilai beda atau b berbeda untuk n

Hubungan antara k dan i adalah

berbeda. Pada saat n = 6, niali b = - 5. Pada saat n = 8, nilai b = - 7. Pada saat n =
10, nilai b = - 9. Hal ini membuat mahasiswa berfikir kritis jika nilai b = - (n – 1).
Sehingga rumus
− −

Genap.



�−

pada iterasi ganjil adalah



=

� �+

− −



=





�−

+ �−

,� ∈ � �

= � �+


Sama halnya dengan iterasi bilangan genap, pada iterasi bilangan ganjil
menggunakan tiga n yang berbeda. Tabel iterasi yang diperoleh disajikan dalam
Tabel 19, Tabel 20, dan Tabel 21 berikut :
Tabel 19. Iterasi i genap n = 6
k
i

1
1
5



2
3
3

3
5
1

Tabel 20. Iterasi i genap n = 8
k
i

1
1
7



2
3
5

3
5
3

4
7
1

Tabel 21. Iterasi i genap n = 10
k
i

1
1
9



2
3
7

3
5
5

4
7
3

5
9
1

Kebalikan dari iterasi bilangan genap, iterasi bilangan ganjil memiliki ciri
yang sama dengan iterasi bilangan genap untuk n bilangan ganjil. Dikarenakan entri
yang sama dan nilai i pada bilangan ganjil merupakan 1 kurangnya dari bilangan
genap, maka rumus generalisasi aritmatika bertingkat untuk i genap dan n ganjil,
penulis menambahkan i dan n dengan – 1, sehingga rumus yang diperoleh adalah
= �−



adalah sama yaitu



=�−

− +

=�−

. Ternyata rumus

= � − . Ketika mensubtitusikan nilai n dan i secara acak,

mendapatkan hasil yang sesuai dengan tabel iterasi. Hal ini menunjukkan bahwa

= � − benar. Oleh karena itu rumus generalisasi barisan tersebut adalah

= � − ,� ∈ � �

∈� �

. Hal ini menunjukkan adanya kemampuan

berfikir kritis dengan mengidentifikasi rumus yang telah ditemukan dan pola yang
membentuknya. Jika tidak ada proses berfikir tersebut, maka mahasiswa perlu
menemukan rumus generalisasi aritmatik untuk n bilangan genap dan i bilangan
ganjil mulai dari awal seperti mencari rumus generalisasi aritmatik untuk n bilangan
ganjil dan i bilangan genap.
Berdasarkan uraian diatas maka terdapat 4 rumus generalisai aritmatika
bertingkat dengan operasi + + −, yaitu 1.)
� �


2.)

=



� �+

,� ∈ � �

=

� �+

− −

∈� �

.





− −

�−

�+





�−

=�−

,� ∈ � �

, �∈� �

,� ∈ � �

,

∈ Genap. 4.)

∈� �

,



3.)

=�−

Rumus tersebut merupakan rumus barisan pada tingkat pertama. Untuk

mengetahui rumus barisan pada tingkat kedua dapat menggunakan bobot rumus
untuk J = 1 dan J = 2. Dikarenakan operasi pertama adalah penjumlahan, maka
masing – masing nilai iterasi pada masing – masing bobot yang sekolom
dijumlahkan sehingga terbentuk barisan aritmatika baru. Tabel bobot rumus untuk
J = 1 dan J = 2 untuk n ganjil disajikan pada Tabel 22
Tabel 22. Bobot Rumus n = 9
J

i

1
2
jumlah

1
42
7
49

2
7
35
42

3
35
5
40

4
5
28
33

5
28
3
31

6
3
21
24

7
21
1
22

Pada tabel tersebut barisan pada jumlah merupakan barisan aritmatika pada
tingkat kedua dengan operasi +. Sama halnya dengan mencari rumus pada tingkat
pertama, rumus pada tingkat kedua digunakan pembeda iterasi yaitu i untuk
bilangan ganjil dan I untuk bilangan genap.
Pada i bilangan ganjil dan n = 9, tabel iterasi dapat disajikan pada tabel 23.

8
1
14
15

Tabel 23. Iterasi ganjil n = 9
J

i

1
42
7
49

1
2
jumlah

3
35
5
40

5
28
3
31

7
21
1
22

Pada J = 1, barisan 42 , 35, 28, dan 21 merupakan barisan pada i bilangan
ganjil dan n ganjil, sehingga rumus generalisasi pada J = 1 adalah
� �+

− −

�+



�−



=

. Pada J = 2 barisan 7, 5 , 3, dan 1 merupakan

barisan pada i bilangan dan n ganjil. Karena pada J = 2, nilai I adalah bilangan
ganjil, sehingga nilai i pada rumus generalisasi n bilangan ganjil dan i bilanagn
=

genap ditambah 1, sehingga rumus generalisasi pada J = 2 adaalah
�−

= �−

+

+





= �− − −

+

=�− − .

+

Rumus jumlah yang merupakan barisan aritmatik pada tingkat dua adalah
penjumlah rumus pad J = 1 dengan J =2, sehingga nilai
i bilangan ganjil dan n bilangan ganjil
�+



�−



adalah

+�− − .

pada tingkat 2 untuk
= � �+





Pada i bilangan genap pada n = 9, tabel iterasi dapat disajikan pada tabel 24.
Tabel 24. Iterasi genap n = 9
J

i

1
2
Jumlah

2
7
35
42

4
5
28
33

6
3
21
24

8
1
14
15

Pada J = 1 barisan 7, 5 , 3, dan 1 merupakan barisan pada i bilangan dan n
= � − . Pada J = 2,

ganjil, sehingga rumus generalisasi pada J = 1 adalah

barisan 42 , 35, 28, dan 21 merupakan barisan pada i bilangan ganjil dan n ganjil,

Karena pada J = 2, nilai i adalah bilangan genap, sehingga nilai i pada rumus
generalisasi n bilangan ganjil dan i bilanagn genap ditambah 1, sehingga rumus
generalisasi pada J = 2 adalah



=

� �+





�+ +



�−

=

� �+

− −

�+



�−

. Rumus jumlah yang merupakan barisan

aritmatik pada tingkat dua adalah penjumlah rumus pad J = 1 dengan J =2, sehingga
nilai
adalah



pada tingkat 2 untuk i bilangan genap dan n bilangan ganjil adalah
=�− + � �+





�+



�−

.

Proses pekerjaan mahasiswa sendiri dapat dilihat di Gb. 2 sebagai berikut
Gambar 5. Rumus Bobot untuk n bilangan ganjil

Pada n genap Tabel bobot rumus untuk J = 1 dan J = 2 disajikan pada Tabel 25
Tabel 25. Bobot Rumus n = 8
J
i
1
2
Jumlah

1
7
35
42

2
35
5
40

3
5
28
33

4
28
3
31

5
3
21
24

6
21
1
22

7
1
14
15

Sama halnya dengan mencari rumus bobot pada n bialangan ganjil, rumus
pada tingkat kedua pada n bilangan genapdigunakan pembeda iterasi yaitu i untuk
bilangan ganjil dan I untuk bilangan genap.
Pada i bilangan ganjil pada n = 8, tabel iterasi dapat disajikan pada tabel 26.
Tabel 26. Iterasi ganjil n = 8
J

i

1
7
35
42

1
2
Jumlah

3
5
28
33

5
3
21
24

7
1
14
15

Jika mengidentifikasi barisan pada i bilangan ganjil dengan n bilangan
genap, maka barisan yang terbentuk sama dengan barisan dengan i bilangan genap
dan n bilangan ganjil. Pada J = 1 barisan yang terbentuk adalah 7, 5, 3, dan 1,
= � − , dikarenakan hal ini sesuai

sehingga rumus generalisasinya adalah

dengan iterasi bilangan ganjil dan n bilangan genap. Pada J = 2, barisan yang

diperoleh sama dengan iterasi bilangan genap dan n bilangan genap. Namun I
merupakan bilangan ganjil. Oleh karena itu, i pada rumus iterasi bilangan genap
dengan n genap ditambah 1, sehingga rumus generalisasi yang diperoleh adalah


=

� �+

− −

�+



�−

. Rumus jumlah yang merupakan

barisan aritmatik pada tingkat dua adalah penjumlah rumus pad J = 1 dengan J =2,
sehingga nilai
adalah adalah



pada tingkat 2 untuk i bilangan ganjil dan n bilangan genap
= � − +=

� �+





+



�−

.

Pada i bilangan genap pada n = 9, tabel iterasi dapat disajikan pada tabel 27.
Tabel 26. Iterasi genap n = 8
J
1
2
Jumlah

i

2
35
5
40

4
28
3
31

6
21
1
22

Pada J = 1 barisan 35, 28, dan 21 merupakan barisan pada i bilangan genap
dan n genap, Hal ini sesuai dengan iterasi bilangan genap dengan n genap, sehingga
rumus generalisasi pada J = 1 adalah



=

� �+

− −





�−

.

Pada J = 2, barisan 5 , 3, dan 1 merupakan barisan pada i bilangan ganjil dan n
ganjil, Karena pada J = 2, nilai i adalah bilangan genap, sehingga nilai i pada rumus
generalisasi n bilangan ganjil dan i bilanagn genap ditambah 1, sehingga rumus
generalisasi pada J = 2 adalah

= � − . Rumus jumlah yang merupakan



barisan aritmatik pada tingkat dua adalah penjumlah rumus pad J = 1 dengan J =2,
sehingga nilai
adalah adalah





pada tingkat 2 untuk i bilangan genap dan n bilangan genap
= � �+







�−

+�−

Hasil pekerjaan mahasiswa dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 6. Rumus Bobot untuk n bilangan genap

Sehingga rumus bobot yang diperoleh sebagai berikut :
Untuk J = 1
=








� �+





�+



= � − , i ∈ genap, n ∈ ganjil
= � − , i ∈ ganjil, n ∈ genap

=

� �+

− −





�−

�−

, i ∈ ganjil, n ∈ ganjil

, i ∈ genap, n ∈ genap

Untuk J = 2






= � − − , i ∈ ganjil, n ∈ ganjil
= � �+

=

� �+





− −

�+

�+





= � − , i ∈ genap, n ∈ genap
Dalam

pembentukan

�−

�−

barisan

, i ∈ genap, n ∈ ganjil

, i ∈ ganjil n ∈ genap

aritmatik

maupun

mencari

rumus

generalisasinya tidak terlepas dari kemampuan berfikir kritis mahasiswa. Ketika
membuat barisan aritmatik, mahasiswa membuat pola secara bebas dan bisa
diekspan sampai ke n dan tidak diperbolehkan memiliki pola atau barisan sama
pada setiap mahasiswa. Hal ini akan membuat mahasiswa berfikir tingkat tinggi dan
lebih mengeksplore pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga terbentuklah
pola barisan yang disajikan dalam Tabel 1. Setelah menemukan pola barisan,
mahasiswa perlu membuktikan jika barisan tersebut merupakan barisan aritmatika
yang sebaiknya memiliki tingkat lebih dari 2. Pada tingkat kedua, penulis
menggunakan operasi + karena operasi ini akan membuat kemungkinan tingkatan
barisan lebih tinggi Karena akan dihasilkan nilai yang lebih besar dan lebih variatif.
Sama halnya memilih operasi + untuk memperoleh barisan baru pada tingkat ketiga,
penulis menggunakan operasi +. Namun pada operasi ini sudah terbentuk barisan
aritmatika dengan beda – 9.Oleh Karena itu pada tingkat keempat, penulis
menggunakan operasi negative (-) sehingga diperoleh nilai barisan yang sama yaitu
– 9.
Salah satu cara berfikir kritis yang digunakan adalah mengidentifikasi
barisan baru dengan barisan yang sudah ada dan dapat menghubungkan antara
barisan baru dengan barisan yang sudah ada sehingga mahasiswa dapat mencari
rumus barisan baru dengan mengkontruksi rumus yang sudah ada. Misalnya saja
pada penentuan rumus bobot yang berdasarkan rumus



yang diketahui. Jika

mahasiswa tidak berfikir kritis, maka mahasiswa tersebut perlu menghitung ulang.
Namun dalam penentuan rumus bobot J = 1 dan J = 2, tidak semata – mata langsung

menggunakan rumus aritmatika yang sudah ada. Hal ini dikarena terdapat
perbedaan dalam iterasi anatara bilangan genap dan bilangan ganjil.
Banyak sekali kesulitan selama menemukan rumus generalisasi aritmatika
bertingkat dengan operasi + + −. Selain bertingkat, pola aritmatik yang digunakan
adalah pola baru, sehingga mahasiswa perlu mengeksplore pengetahuan dengan
berfikir sekritis mungkin sehingga dapat menemukan rumus tersebut. Misalnya
mahasiswa sulit menemukan nilai suku awal dikarenakan nilai awalnya akan
berbeda dengan nilai n yang berbeda. Berlaku juga untuk perubahan dalam n
bilangan genap menjadi n bilangan ganjil. Selain itu kesulitan yang dialami adalah
cara mengkontruksi rumus yang sudah ada sehingga akan cocok dengan nilai pada
setiap iterasi. Kesulitan lain yang dialami mahasiswa dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 7. Komentar 1

Gambar 9. Komentar 3

Gambar 8. Komentar 2

Gambar 10. Komentar 4

Gambar
11. Komentar 5

Gambar 12. Komentar 6

Gambar 13. Komentar 7

Kesimpulan
Simpulan
Kemampuan berfikir kritis dalam menyelesaikan rumus generalisai
aritmatika bertingkat yaitu dalam menentukan nilai awal yang merupakan
aritmatika bertingkat tingkat 2, mencari rumus barisan baru dengan
mengkontruksi rumus yang sudah ada, memilih operasi barisan sehingga
barisan berbrntuk barisan aritmatika bertingkat dengan tingkat lebih dari 2.
Hambtan yang dilamai adalah mahasiswa sulit menemukan nilai suku awal
dikarenakan nilai awalnya akan berbeda dengan nilai n yang berbeda. Berlaku
juga untuk perubahan dalam n bilangan genap menjadi n bilangan ganjil. Selain
itu kesulitan yang dialami adalah cara mengkontruksi rumus yang sudah ada
sehingga akan cocok dengan nilai pada setiap iterasi.
Saran
Lebih teliti dalam menentukan bilangan pada pola barisan pada setiap
tingkatan dan lebih cermat dalam mengkontruksi rumus generalisasi untuk
perubahan setiap ietrasi dan setiap n ganjil maupun n genap

Daftar Pustaka

Ahrari, Seyedali. 2016 ,Deepening critical thinking skills through civic
engagementin Malaysian higher education. Thinking Skills and Creativity 22
(2016) 121–128
Atkinson, D. (1997). A critical approach to critical thinking in TESOL. TESOL
Quarterly, 31(1), 71–94.
Australian Council for Educational Research. (2002). Graduate skills assessment.
Australia: Commonwealth of Australia.
Bean, J. C. (2011). Engaging ideas: The professor's guide to integrating writing,
critical thinking, and active learning in the classroom. San Francisco: John
Wiley & Sons.
Bissell, A. N. and Lemons, P. P. (2006). A new method for assessing critical
thinking in the classroom. BioScience, 56(1). 66-72.
Eldy, E. F., & Sulaiman, F. (2013). Integrated PBL approach: Preliminary findings
towards

physics

students’

critical

thinking

and

creative-critical

thinking.International Journal of Humanities and Social Science Invention,
2(3), 18–25.
Ennis, R. H. (1989). Critical thinking and subject specificity: Clarification and
needed research. Educational researcher, 18(3), 4-10.
Facione, P. A. (1990). Critical thinking: A statement of expert consensus for
purposes of educational assessment and instruction. Millbrae CA:
California:Academic Press.
Griffin, P., McGaw, B., & Care, E. (2012). Assessment and Teaching of 21st
Century Skills. New York: Springer
Halpern, D. (2003). Thought and knowledge: An introduction to critical thinking
(4th ed.). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates

Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu – Ilmu
Sosial. Jakarta: salemba Humanika

Higher Education Quality Council, Quality Enhancement Group. (1996). What are
graduates? Clarifying the attributes of “graduateness”. London: HEQC.
Lai, E. R. (2011). Critical thinking: A literature review. Pearson's Research Reports,
6, 40-41
Marques, J.F., (2012), Moving from trance to think: why we need to polish our
critical thinking skills, International Journal of Leadership Studies, Vol. 7 Iss.
1, 2012, 87-95.
Paul, R. (1992). Critical thinking: What every person needs to survive in a rapidly
changing world. Center for Critical Thinking: Santa Rosa, CA.
Resnick, L. (1987). Education and learning to think . Washington, DC: National
Academy Press.
Shah, N. Z. (2011). Critical thinking and employability of computer-related
graduates:

The

Malaysian

context.

Dublin,

Ireland:

Dublin

City

University(Unpublished Ph.D. Thesis).
Stapleton, P. (2001). Assessing critical thinking in the writing of Japanese
university students: Insights about assumptions and content familiarity.
WrittenCommunication, 18(4), 506–548.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D .
Bandung: Alfabeta