Full Paper P00196

MODEL SOLUSI STRATEGIK
ANALISIS DAMPAK KEPENDUDUKAN
UNTUK MENGATASI PERNIKAHAN
USIA DINI

Oleh:
Drs. Daru Purnomo, M.Si
Dr. Ir. Sri Suwartiningsih, M.Si
Seto Herwandito S.Pd.,M.M.M.Ikom

RI N GK ASAN
Perkawinan usia dini atau perkawinan dini banyak sekali terjadi di wilayah-wilayah di
Jawa tengah. Tidak ter-ekspose nya perkawinan dini dikarenakan hal tersebut masih dianggap
sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan atau bahkan merupakan aib yang harus ditanggung.
Kota Salatiga yang dikenal dengan sebutan sebagai titik JOGLOSEMAR (Jogja, Solo dan
Semarang) merupakan kota kecil yang menjadi area bertemunya 3 kota besar, dimana banyak
anak muda yang mengenyam pendidikan di kota ini. Kerawanan yang timbul adalah
banyaknya pernikahan usia dini khususnya dikalangan remaja dan mahasiswa.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari solusi atau model kebijakan yang bisa
dilakukan berdasarkan penelitian sebelumnya tentang “Dampak perkawinan usia muda
terhadap kondisi sosio ekonomi keluarga di Kota Salatiga”.

Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis
penelitian diskriptif dengan unit amatan adalah para pihak yang terkait dengan permasalahan
penelitian, pihak yang terkait dengan kebijakan, keluarga atau individu yang melakukan
perkawinan usia dini, orang tua dari individu yang melakukan perkawinan usia dini, para
pihak terkait dengan kependudukan seperti, Bapermas kota Salatiga, pengurus PKBI, Ikatan
Bidan Salatiga, Pemerintah, Akademisi dan Tokoh-tokoh masyarakat. Sedangkan unit
analisanya adalah model solusi strategik analisis dampak kependudukan untuk mengatasi
pernikahan dini.
Hasil penelitian menunjukkan paling tidak ada beberapa solusi kebijakan terkait
dengan penelitian sebelumnya, yaitu: (1) Sosialisasi dan advokasi melalui saluran/jaringan
formal maupun informal (memaksimalkan peran TOGA dan Tomas), (2) Internalisasi
Kependudukan dan Keluarga Berencana melalui pendidikan sexualitas, kesehatan reproduksi,
dan perilaku menyimpang harus dikenalkan sejak dini. (3) Peningkatan kapasitas orang tua
dalam mengenalkan sejak dini terkait dengan pendidikan sexualitas kepada anak-anaknya,
dan bagaimana membangun kepedulian terhadap kepentingan masa depan anaknya dengan
menyediakan lingkungan yang kondusif dan sehat. (4) Perlu adanya media yang cocok yang
bisa menjembatani atau menjangkau gap yang terjadi khususnya anak-anak muda dan remaja.
(5) Perlunya pengkaderan terhadap kader-kader muda supaya dapat menjangkau anak-anak
muda maupun remaja. (6) Penguatan terhadap PIK (Pusat Informasi dan Konseling) dirasa
perlu, karena masalah mengenai pernikahan dini ini banyak sekali timbul pada anak mudamudi. (7) Adanya reward atau imbalan sama seperti pada saat zaman ORBA akan lebih

memudahkan BKKBN atau PLKB dalam melakukan sosialisasi. Karena sosialisasi tersebut
dapat dilakukan oleh masyarakat yang peduli terhadap KB
Keywords: Pernikahan usia dini, faktor-faktor nikah muda, model solusi kebijakan.

ii

MODEL SOLUSI STRATEGIK ANALISIS DAMPAK
KEPENDUDUKAN UNTUK MENGATASI PERNIKAHAN USIA DINI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN

............................................................................................. 5

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 5
B. Rumusan Masalah

.............................................................................................. 8

C. Tujuan Penelitian


.............................................................................................. 8

D. Manfaat Penelitian

.............................................................................................. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

...................................................................................... 9

A. Definisi Kebijakan ........................................................................................................ 9
B. Kebijakan Publik/ Public Policy ................................................................................... 10
C. Urgensi Kebijakan Publik .............................................................................................. 12
D. Implementasi Kebijakan Publik

.................................................................................. 13

E. Komunikasi ................................................................................................................... 14
Definisi Komunikasi .............................................................................................. 14
Konsep Komunikasi .............................................................................................. 14

F. Proses Komunikasi

.............................................................................................. 16

G. Komunikasi Interpersonal .............................................................................................. 17
Komponen-komponen Komunikasi Interpersonal .................................................18
H. Media

......................................................................................................................... 19

I. Peran Aktor dan Jejaring Aktor Dalam Implementasi Model ........................................ 20
Kerangka Pikir Penelitian......................................................................................... 21
Bagan Implementasi Model Solusi Strategik ......................................................... 22
1. Sosialisasi dan advokasi melalui saluran/jaringan formal maupun informal
(memaksimalkan peran TOGA dan Tomas) ................................................................. 22
2. Internalisasi Kependudukan dan Keluarga Berencana melalui pendidikan
sexualitas, kesehatan reproduksi, dan perilaku menyimpang sejak dini ...................... 22
3. Peningkatan kapasitas orang tua mengenai pendidikan sex ........................................ 23
4. Perlu adanya media yang sesuai untuk menjangkau gap pada anak-anak muda .......... 24


iii

5. Perlunya pengkaderan terhadap kader-kader muda supaya dapat menjangkau
anak-anak muda maupun remaja ................................................................................. 25

BAB III. METODE PENELITIAN

............................................................................... 25

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

............................................................................. 25

B. Unit Amatan dan Unit Analisa

................................................................................ 25

C. Teknik Pengumpulan Data

................................................................................ 25


D. Teknik Analisa Data

............................................................................................ 26

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................... . 28
Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Usia Dini ................................................................. 28
1. Faktor Pendidikan (Anak dan Orang Tua) ................................................................ 29
2. Rasa Ingin Tahu dan Pergaulan ................................................................................. 30
3. Lingkungan Keluarga

............................................................................................ 32

4. Pendidikan (Pendidikan Sexualitas) .......................................................................... 36
Dampak Perkawinan Usia Dini ........................................................................... 37


Solusi Yang Pernah Ditawarkan dalam Menangani Pernikahan
di Usia Dini




......................................................................................................... 39

Model Solusi Strategik Yang Bisa Diupayakan Berdasar Hasil
Penelitian Dampak Perkawinan Usia Dini terhadap Kondisi
Sosio-Ekonomi Keluarga di Kota Salatiga, Jawa Tengah ..................................... 42
1. Sosialisasi dan advokasi melalui saluran/jaringan formal
maupun informal (memaksimalkan peran TOGA dan Tomas) ................ 42
2. Internalisasi Kependudukan dan Keluarga Berencana melalui
pendidikan sexualitas, kesehatan reproduksi, dan perilaku
menyimpang sejak dini ............................................................................ 44
3. Peningkatan kapasitas orang tua mengenai pendidikan sex .................... 45
4. Perlu adanya media yang sesuai untuk menjangkau gap
pada anak-anak muda

............................................................................. 46

5. Perlunya pengkaderan terhadap kader-kader muda supaya
dapat menjangkau anak-anak muda maupun remaja ............................... 48


iv

BAB V KESIMPULAN
Daftar Pustaka
Lampiran

............................................................................................ 50

........................................................................................................ 52
.................................................................................................................... 54

v

PENGEMBANGAN MODEL SOLUSI STRATEGIK
ANALISIS DAMPAK KEPENDUDUKAN UNTUK
MENGATASI PERNIKAHAN USIA DINI
Oleh:
Drs.Daru Purnomo, M.Si1, Dr Ir Sri Suwartiningsih, M.Si2 dan Seto Herwandito S.Pd.,M.M.M.Ikom3


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan mengenai perkawinan usia muda memang menjadi masalah bersama,
tak terkecuali negara Indonesia yang masuk ke dalam negara berkembang Perkawinan usia
muda seringkali dikaitkan dengan aborsi yang tidak aman dan kondisi inilah yang memicu
penyebab kematian anak umur 15-19 tahun (Gennari 2013; Gray, Azzopardi, Kennedy,
Willersdorf, and Creati 2013).
Data dari Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) mengindikasikan
bahwa umur spesifik kesuburan atau ASFR ada pada wanita usia 15-19 turun dari 67
kelahiran per 1000 perkawinan di tahun 1991 menjadi 39 kelahiran per 1000 wanita yang
melakukan perkawinan di tahun 2007.
Tingginya angka pernikahan anak di negara miskin dan berkembang adalah masalah
yang serius dan membutuhkan penanganan yang tepat dan komprehensif. Fenomena
pernikahan anak ini terjadi tidak hanya berdasar pada faktor tradisi atau pemahaman agama,
tetapi lebih dilandasi faktor ekonomi, kultural, dan sistem sosial yang berlaku dalam
lingkungan yang mempraktikkan pernikahan anak. Kurangnya pendidikan, keterbukaan
informasi mengenai hak asasi manusia khususnya hak anak, ketidaktahuan akan dampak
buruk yang bisa dialami anak yang menikah di usia muda, serta persepsi bahwa anak

perempuan adalah objek menjadi faktor-faktor pendukung keberlangsungan pernikahan anak.

1
2
3

Dekan Fakult as Ilm u Sosial dan Ilm u Kom unikasi, Universit as Krist en Sat ya Wacana, Salatiga
St aff Pengajar Pada Fakult as Ilm u Sosial dan Ilm u Kom unikasi Universit as Krist en Sat ya Wacana, Salat iga
St aff Pengajar Pada Fakult as Ilm u Sosial dan Ilm u Kom unikasi Universit as Krist en Sat ya Wacana, Salat iga

1

Kota Salatiga yang merupakan kota kecil pertemuan JOGLOSEMAR (Solo, Jogja dan
Semarang) dimana banyak anak muda yang mengenyam pendidikan di kota ini. Kerawanan
yang terjadi dengan banyaknya anak muda adalah terjadi pernikahan usia muda. Penelitian4
yang dilakukan di Salatiga memguatkan bahwa ada beberapa faktor yang menjadikan banyak
terjadinya perkawinan usia muda di kota ini.
Faktor-faktor tersebut adalah, Pertama, faktor pendidikan anak dan orang tua, dimana
faktor ini menjadi salah satu variable terhadap ketidak-tahuan hukum struktural terkait
dengan kebijakan perkawinan dan pentingnya menghindari perkawinan usia dini. Kondisi ini

menyebabkan acuan perkawinan berdasarkan pada adat tradisi yang berlaku atau terjadi di
lingkungannya. Demikian halnya rendahnya pendidikan anak karena ketiadaan biaya
(terutama perempuan) menyebabkan ketidak-berdayaan/ kerentanan perempuan untuk
mampu menolak keinginan orang tua (berumah tangga).
Tabel 1. Banyaknya Penduduk Usia 10 thn Keatas yang Bekerja

Sumber: Salatiga Dalam Angka 2013

4

DAM PAK PERKAWINAN USIA DINI TERHADAP KONDISI SOSIO-EKONOM I KELUARGA DI KOTA SALATIGA JAWA
TENGAH Oleh: Daru Purnomo, Drs.,M .Si dan Set o Herw andit o S.Pd.,M .M .M .Ikom

2

Kedua, faktor mengenai pendidikan sexualitas, dimana faktor ini merupakan
penyebab awal terjadinya perkawinan usia muda. “Kecelakaan” atau hamil di luar nikah pada
usia muda. Minimnya pengetahuan mengenai hal ini menyebabkan anak muda tidak
memperoleh informasi secara benar, sehingga akan memicu rasa ingin tahu anak muda untuk
mencobanya. Selain itu adanya internet serta media lain menyebabkan anak muda atau
remaja secara leluasa dapat mencari dan memperoleh secara mudah. Alhasil informasi
tersebut merupakan stimulus yang kuat, dorongan internal yang menyebabkan banyaknya
hormon yang dihasilkan untuk memberi dorongan siswa/remaja/anak muda untuk mencoba
melakukan hubungan seks.
Tabel 2. Banyaknya Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin 2013

Sumber: Salatiga Dalam Angka 2013

Ketiga, faktor lingkungan keluarga yang semakin longgar. Kesibukan orang tua
karena pekerjaan mereka sedikit banyak juga mempengaruhi terjadinya pernikahan usia
muda. Orang tua terkadang memiliki waktu yang sangat sedikit untuk berkumpul dengan
3

keluarga terutama anak-anak. Selain itu lingkungan pertemanan yang kurang sehat menjadi
variable terjadinya hubungan sex pra-nikah dan menjadi factor potensial terjadinya
perkawinan usia muda.
Ketiga hal diatas merupakan faktor-faktor yang berpotensi terjadinya perkawinan usia
muda. Selain faktor-faktor tersebut yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda, ada
dua dampak dari perkawinan usia muda, yaitu:


Dampak social-psychologis. Dimana dampak ini dirasakan oleh kaum
perempuan yang melakukan perkawinan usia muda, dampak ini meliputi
angka putus sekolah karena “terpaksa”, tertutupnya masa depan (social
climbing jauh dari jangkauan), tingkat stress yang tinggi karena merasa malu,
dan belum siap sebagai ibu rumah tangga.



Dampak secara ekonomi pada pasangan yang melakukan perkawinan usia
muda. Pada dasarnya secara ekonomi pasangan yang melakukan perkawinan
usia muda sama sekali belum siap, karena masih sekolah/ kuliah dan belum
memiliki pekerjaan, sehingga potensi terjadinya disharmonisasi keluarga
sangat kuat yang disebabkan karena tekanan ekonomi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja model/ design kebijakan yang bisa direncanakan terhadap perkawinan usia
muda di kota Salatiga?
2. Kebijakan apa saja yang terkait dengan dampak perkawinan usia muda terhadap
kondisi sosio ekonomi keluarga di Kota Salatiga?

C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan model-model atau design kebijakan-kebijakan yang bisa direncanakan
terhadap perkawinan usia muda di Kota Salatiga.
2. Menjelaskan kebijakan terkait dengan dampak perkawinan usia muda terhadap
kondisi sosio ekonomi keluarga di Kota Salatiga

D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan gambaran mengenai model-model atau design kebijakan-kebijakan yang
bisa direncanakan terhadap perkawinan usia muda di Kota Salatiga.
2. Memberikan penjelasan mengenai kebijakan terkait dengan dampak perkawinan usia
muda terhadap kondisi sosio ekonomi keluarga di Kota Salatiga.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Kebijakan
Jika melihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)5 kata Kebijakan memiliki
arti rangkaian konsep dan asas yg menjadi garis besar dan dasar rencana dl pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tt pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan
cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sbg garis pedoman untuk manajemen dl usaha
mencapai sasaran; garis haluan. Hal ini berarti bawah kebijakan merupakan prinsip-prinsip
yang dibuat untuk mewujudkan tujuan yang dibuat pula. Suharto (2005:7) mengemukakan
bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengerahkan
cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana, dan konsistensi dalam mencapai tujuan
tertentu.
Kebijakan atau membuat kebijakan merupakan suatu alat yang penting dalam dalam
tahapan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan kebijakan, baik pemerintah maupun
non-pemerintah. Oleh sebab itu didalam perumusan kebijakan haruslah matang dan bersifat
adil. Untuk membuat suatu kebijakan diperlukan para ahli yang harus menguasai makna
kebijakan dan bidang yang akan dijadikan suatu kebijakan.
Kebijakan publik mnejadi fungsi yang penting dari pemerintahan. Pembuatan
kebijakan publik diperlukan kemammpuan dan pemahaman yang memadai dari si pembuat
kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Selain itu pembuat kebijakan haruslah
mengerti dan paham mengenai prosedur pembuatan kebijakan. Tak lupa bahwa supaya
kebijakan ublik dapat terwujud secara cepat, tepat, dan memadai perlu diimbangi dengan
pemahaman dari pembuat kebijakan publik terhadap kewenangan yang dimiliki.
Gerston (2002), mengungkapkan bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan
pada semua tingkatan pemerintahan, karenanya tanggung jawab para pembuat kebijakan akan
berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya. Beliau juga nemabhakan hal
yang penting lainnya adalah bagaimana memberikan pemahaman mengenai akuntabilitas dari
semua pembuat kebijakan kepada masyarakat yang dilayaninya (Gerston, 2002: 14). Dapat
dipastikan apabila jika pembuatan kebijakan publik mempertimbangkan berbagai aspek dan
dimensi

yang

terkait,

maka

pada

akhirnya

sebuah

kebijakan

publik

dapat

dipertanggungjawabkan secara utuh.
5

Sum ber: ht t p:/ / kbbi.w eb.id/ bijak

5

Berdasarkan buku Public Policy Making: An Introduction (Anderson, 2006: 122-127)
terdapat 3 teori yang dapat digunakan dalam proses perumusan kebijakan serta kriteria yang
dapat digunakan yaitu:
a. Teori rasional-komprehensif; adalah teori yang intinya mengarahkan agar pembuatan sebuah
kebijakan publik dilakukan secara rasional-komprehensif dengan mempelajari permasalahan
dan alternatif kebijakan secara memadai.
b. Teori incremental; adalah teori yang intinya tidak melakukan perbandingan terhadap
permasalahan dan alternatif serta lebih memberikan deskripsi mengenai cara yang dapat
diambil dalam membuat kebijakan.
c. Teori mixed scanning; adalah teori yang intinya menggabungkan antara teori rasionalkomprehensif dengan teori inkremental.
Selain itu, Anderson juga mengemukakan enam kriteria yang harus dipertimbangkan
dalam memilih kebijakan, yaitu: (1) nilai-nilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi,
individu, kebijakan maupun ideologi; (2) afiliasi partai politik; (3) kepentingan konstituen;
(4)

opini

publik;

(5)

penghormatan

terhadap

pihak

lain;

serta

(6)

aturan

kebijakan (Anderson, 2006:127-137).
B. Kebijakan Publik/ Public Policy
Kebijakan publik merupakan suatu ilmu multidisipliner karena melibatkan banyak
disiplin ilmu seperti ilmu politik, sosial, ekonomi, dan psikologi. Studi kebijakan berkembang
pada awal 1970-an terutama melalui tulisan Harold D. Laswell. Definisi dari kebijakan publik
yang paling awal dikemukakan oleh Harold Laswell dan Abraham Kaplan dalam Howlett dan
Ramesh (1995:2) yang mendefinisikan kebijakan publik/public policy sebagai “suatu
program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan praktik-praktik tertentu (a
projected of goals, values, and practices)”. Senada dengan definisi ini, George C. Edwards III
dan Ira Sharkansky dalam Suwitri (2008: 10) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “suatu
tindakan pemerintah yang berupa program-program pemerintah untuk pencapaian sasaran
atau tujuan”. Dari dua definisi di atas kita bisa melihat bahwa kebijakan publik memiliki kata
kunci “tujuan”, “nilai-nilai”, dan “praktik”. Kebijakan publik selalu memiliki tujuan, seperti
kebijakan pemerintah untuk menggantikan konsumsi minyak tanah dengan LPG adalah untuk
menghemat subsidi negara. Praktik yang dilaksanakan adalah dengan mendistribusikan
kompor gas dan tabung LPG 3 kg secara cuma-cuma kepada masyarakat.
Menurut Thomas R. Dye dalam Howlett dan Ramesh (2005:2), kebijakan publik
adalah adalah “segala yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan
6

perbedaan yang dihasilkannya (what government did, why they do it, and what differences it
makes)”. Dalam pemahaman bahwa “keputusan” termasuk juga ketika pemerintah
memutuskan untuk “tidak memutuskan” atau memutuskan untuk “tidak mengurus” suatu isu,
maka pemahaman ini juga merujuk pada definisi Thomas R. Dye dalam Tilaar dan Nugroho
(2008:185) yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan “segala sesuatu yang
dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh pemerintah”.
Kebijakan memiliki banyak pengertian, Suharto (2005:7) mengemukakan bahwa
kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengerahkan cara-cara
bertindak yang dibuat secara terencana, dan konsistensi dalam mencapai tujuan tertentu.
Sedangkan Wahab (2008:32) mengemukakan beberapa bentuk kebijakan publik yang
secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi tiga:
a. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum/mendasar. Sesuai dengan
UU No.10/2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 7,
hirarkinya yaitu; (1) UUD Negara RI Thn 1945; (2) UUD/Peraturan
Pemerintah Pengganti UU; (3) Pereaturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden;
dan (5) Peraturan Daerah.
b. Kebijakan publik yang bersifat meso (menengah) atau penjelas pelaksana,
dimana kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran
Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati. Kebijakannya dapat pula
berbentuk

surat

keputusan

bersama

antar

Menteri,

Gubernur

dan

Bupati/Walikota.
c. Kebijakan publik yang bersifat mikro, adalah kebijakan yang mengatur
pelaksanaan atau implementai dari kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya
adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota.

Untuk menciptakan keadilan,ketertiban dan kesejahteraan dalam kehidupan
bermasyarakat, perlu ada aturan. Aturan tersebut yang secara sederhana kita artikan sebagai
Kebijakan Publik Kebijakan publik secara umum diartikan sebagai “ Segala sesuatu yang
dipilih untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh pemerintah” Whatever government
chooses to do or not to do (Thomas R Dye, 1975). Rumusan lain yang agak mirip dengan
definisi Dye, dikemukakan oleh Edwards dan Sharkansky (1978) yang mengatakan bahwa
kebijakan Publik adalah “Apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh pemerintah atau
apa yang tidak dilakukannya.
7

Pemerintah tidak mengerjakan sesuatu pun termasuk dalam katagori kebijakan, karena
hal itu merupakan sebuah keputusan. Biasanya pertimbangan yg digunakan adalah dampak
yang lebih buruk akan muncul jika keputusan .Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa
kebijakan publik sangat dominan dipengaruhi oleh lingkungan kebijakan ( policy
environment). Kebijakan publik adalah faktor yg meleverage kehidupan bersama.
Dalam teori Pareto dikatakan bahwa kebijakan publik adalah faktor 20% yang
menyebabkan terjadinya yang 80%. Kebijakan publik merupakan faktor kritikal bagi
kemajuan atau kemunduran bangsa. (Nugroho,2002) Sehebat apapun demokrasi jika sistem
politik nya tidak mampu mengembangkan kebijakan publik yang unggul,tidak ada gunanya.
Kebijakan publik adalah output paling nyata dari setiap sistem politik. Kebijakan
publik adalah bentuk riil dari politik. Biasanya publik dikaitkan dengan pemerintah, karena
hanya pemerintahlah yang memiliki wewenang dan kekuasaan untuk mengatur masyarakat
dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum (public service). Kewenangan
untuk mengatur masyarakat hanya dimiliki oleh pemerintah , biasanya diatur dalam hukum
dasar sebuah negara. UUD 45 dalam pembukaannya mengatakan:”… untuk melindungi
segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia maka dibentuk pemerintah
Negara Indonesia”.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan pemerintahan mencakup pengertian yang luas,
baik itu MPR, DPR, BPK, MA, dan Pemda-Pemda. Dalam pengertian ini maka
pemerintahan identik dengan negara. Pada hakekatnya, kebijakan publik merupakan
kewenangan yang dimiliki pemerintah baik di pusat maupun di daerah untuk melakukan
intervensi terhadap kehidupan masyarakat. Agar kehidupan masyarakat teratur, tertib dan
sejahtera.Walaupun mengintervensi tetapi sah karena didasarkan pada aturan yang jelas.
Kewenangan pemerintah meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Tidak ada
satu pun organisasi lain yang kewenangannya seperti itu.Kebijakan publik memiliki
kewenangan yang dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. (memiliki hak Otoritatif).
Kebijakan publik tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan strategis, oleh karena itu
berfungsi sebagai pedoman umum untuk keputusan-keputusan khusus di bawahnya.

C. Urgensi Kebijakan Publik
Dalam masyarakat modern, partisipasi masyarakat dalam politik dan urusan
pemerintahan sudah menjadi bagian kehidupan bermasyarakat. Rakyat telah menyadari
bahwa urusan pemerintahan bukan urusan orang lain tetapi juga urusan mereka, karena
mereka turut memilih para wakil rakyat (untuk legislatif) dan juga memilih kepala daerah
8

(dalam Pilkada langsung. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap tindakan pemerintah pasti
akan menimbulkan akibat pada masyarakat, baik itu yang bersifat positif maupun negatif.
Di lain pihak tidak semua kebijakan publik dapat memenuhi semua aspirasi dan
kepentingan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam proses perumusan, implementasi, dan
evaluasi kebijakan sangat dibutuhkan agar mereka dapat memperjuangkan aspirasinya dan
menuntut haknya secara proporsional agar tidak dirugikan sesuai dengan aturan yang berlaku,
artinya tidak memaksakan kehendak apalagi bertindak anarkis.
Di banyak negara berkembang partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik
hanya bersifat pasif, namun dalam perkembangannya, terutama di Indonesia masyarakat
mengalami kemajuan pesat, mereka sangat sensitif dan reaktif serta aktif mengkritisi
kebijakan publik.
Partisipasi politik masyarakat dalam proses kebijakan ,tujuannya jelas mempengaruhi
kebijakan pemerintah agar tidak menimbulkan akibat buruk terhadap kehidupan dirinya,
keluarga atau kelompoknya. Partisipasi masyarakat dapat bersifat positif seperti menjadi
konstituen

dalam

pemilu,

mentaati aturan

dan

anjuran

pemerintah,

mendukung

programprogram pemerintah. Bersifat negatif, dengan cara melakukan penolakan atau
pembangkangan terhadap kebijakan yang telah disahkan dengan cara demonstratif
menggalang massa melakukan tindakan pengrusakan dan anarkhis.
Dengan adanya pemahaman tentang arti dan pentingya kebijakan publik bagi
masyarakat, maka diharapkan dapat menghindari dan mengendalikan setiap tindakan yang
menimbulkan kerusakan, artinya reaksi penolakan dapat dilakukan secara konstitusional
dengan melibatkan DPRD, atau berdialog langsung dengan aparat pemerintah. Jika partisipasi
masyarakat terwujud seperti ini, maka menunjukkan bahwa demokasi di Indonesia telah
berjalan dengan baik, setaraf dengan demokrasi negaranegara maju, seperti Amerika Serikat
misalnya ,yang selama ini menilai negatif pelaksanaan demokrasi di Indonesia dan mencap
Indonesia , sebagai negara otoriter.

D. Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu aktivitas dalam proses kebijakan
publik yang menentukan apakah sebuah kebijakan itu bersentuhan dengan kepentingan publik
serta dapat diterima oleh publik. Dalam hal ini, dapat ditekankan bahwa bisa saja dalam
tahapan perencanaan dan formulasi kebijakan dilakukan dengan sebaik-baiknya, tetapi jika
pada tahapan implementasinya tidak diperhatikan optimalisasinya, maka tentu tidak jelas apa
yang diharapkan dari sebuah produk kebijakan itu. Pada akhirnya pun dipastikan bahwa pada
9

tahapan evaluasi kebijakan, akan menghasilkan penilaian bahwa antara formulasi dan
implementasi kebijakan tidak seiring sejalan, bahwa implementasi dari kebijakan itu tidak
sesuai dengan yang diharapkan, bahkan menjadikan produk kebijakan itu sebagai batu
sandungan bagi pembuat kebijakan itu sendiri.
Berkenaan dengan doman implementasi kebijakan tersebut, Edwar III (1980: 1)
menegaskan: “The study of policy implementatation is crusial for the study of public
administration and public policy. Policy implementation, as we have seen, is the stage of
policy-making between the establishment of a policy such as the passage of a legislative act,
the issuing of an executive order, the handling down of a judicial decision, or the
promulgation of a regulatory rule and the consequences of the policy for the people whom it
affects. If a policy is inappropriate, if it cannot alleviate the problem for which it was
designed, it will probably be a failure no matter how well it is implemented. But even a
brilliant policy poorly implemented may fail to achieve the goals of its designers”.

E. Komunikasi
Definisi Komunikasi
Ditinjau dari etimologi, komunikasi berasal dari kata communicare yang berarti
“membuat sama”. Definisi kontemporer menyatakan bahwa komunikasi berarti “mengirim
pesan”. Menurut (Effendy.2003: 9) istilah komunikasi (communication) berasal dari kata
latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini
maksudnya adalah sama makna.Berbicara mengenai definisi komunikasi tidak ada definisi
yang salah dan benar secara absolute.
Namun definisi kontemporer menyarankan bahwa komunikasi merujuk pada kalimat
“mendiskusikan makna”, ”mengirim pesan” dan ”penyampaian pesan lewat media”. Apapun
istilah yang dipakai, secara umum komunikasi mengandung pengertian “memberikan
informasi, pesan, atau gagasan pada orang lain dengan maksud agar orang lain tersebut
memiliki kesamaan informasi, pesan atau gagasan dengan pengirim pesan.
Konsep Komunikasi
Konsep komunikasi menurut John R. Wenburg, William W. Wilmoth dan Kenneth K
Sereno dan Edward M Bodaken terbentuk menjadi 3 tipe: pertama, searah: pemahaman ini
bermula dari pemahaman komunikasi yang berorientasi sumber yaitu semua kegiatan yang
secara sengaja dilakukan seseorang untuk menyampaikan rangsangan untuk membangkitkan
respon penerima. Kedua, interaksi: pandangan ini menganggap komunikasi sebagi proses
sebab-akibat, aksi-reaksi yang arahannya bergantian. Ketiga, transaksi: konsep ini tidak
10

hanya membatasi unsur sengaja atau tidak sengaja, adanya respon teramati atau tidak teramati
namun juga seluruh transaksi perilaku saat berlangsungnya komunikasi yang lebih cenderung
pada komunikasi berorientasi penerima. Saat dosen memberi kuliah, komunikasi bukan saja
berdasarkan fakta bahwa mahasiswa menafsirkan isi kuliah tetapi juga dosen menafsirkan
perilaku anggukan atau kerutan kening mahasiswa.
Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan,
maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa
yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu
menimbulkan kesamaan makna. Dengan lain perkataan, mengerti bahasanya saja belum tentu
mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Jelas bahwa percakapan antara kedua orang
tadi dapat dikatakan komunikatif apabila kedua-duanya, selain mengerti bahasa yang
dipergunakan juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan.
Akan tetapi pengertian komunikasi yang dipaparkan di atas sifatnya sangat
fundamental, dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan
makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komunikasi tidak
hanya informative, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasive, yaitu agar
orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan melakukan suatu perbuatan atau
kegiatan dan lain-lain.
Pentingnya komunikasi bagi kehidupan sosial, budaya, pendid ikan dan politik sudah
disadari oleh para cendikiawan sejak Aristoteles hanya sekedar berkisar pada retorika dalam
lingkungan kecil. Baru pada pertengahan abad ke-20 ketika dunia dirasakan semakin kecil
akibat revolusi industri dan revolusi teknoligi elektronik, maka para cedikiawan pada abad
sekarang menyadari pentingnya komunikasi ditingkatkan dari pengetahuan (knowledge)
menjadi ilmu (science).
Menurut Carl I. Hovland, 1953) ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk
merumuskan secara tegar asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan
sikap. Definisi ini menunjukkan bahwa yang dijadikan obyek studi ilmu komunikasi bukan
saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion)
dan sikap public (public attitude) yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik
memainkan peranan yang amat penting. Bahkan dalam definisinya secara khusus mengenai
pengertian komunikasinya sendiri, Hovland mengatakan bahwa komunikasi adalah proses
mengubah perilaku orang lain (communication is the process to modify the behavior of other
individuals), akan tetapi seseorang akan dapat mengubah sikap pendapat atau perilaku orang
lain apabila komuniksinya itu memang komunikatif seperti diuraikan di atas.
11

Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat dilancarkan secara efektif,
para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang dikutip oleh Harold Lasswell
mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komuniksi adalah menjawab
pertanyaan sebagai berikut: What says what in which channel to whom with what effect?
(Lasswell. 1972).Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima
unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni:
- Komunikator (communicator, source, sender)
- Pesan (message)
- Media (channel, media)
- Komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient)
- Efek (effect, impact, influence)

Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut komunikasi adalah proses penyampaian
pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.
Lasswell menghendaki agar komunikasi dijadikan objek studi ilmiah, bahkan setiap unsur
diteliti secara khusus. Studi mengenai komunikator dinamakan control analysis; penelitian
mengenai pers, radio, televisi, film dan media lainnya disebut media analysis; penyelidikan
mengenai pesan dinamai content analysis, audience analysis adalah studi khusus tentang
komunikan, sedangkan effect analysis merupakan penelitian mengenai efek atau dampak
yang ditimbulkan oleh komunikasi.
Demikian kelengkapan unsur komunikasi menurut Harold Lasswell yang mutlak
harus ada dalam setiap prosesnya.

F. Proses Komunikasi
Proses komunikasiPhilip Kotler dalam bukunya, Marketing Management, berdasarkan
paradigma Harold Lasswell menampilkan model proses komunikasi. Model ini secara lebih
jelas bisa dilihat dalam gambar berikut:

Unsur-unsur dalam proses komunikasi ini melipuiti:
- Sender: Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang.
- Encoding: Penyandaian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang.
- Message: Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh
komunikator.
- Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan.
12

- Decoding: Penguraian sandi, yakni proses di mana komunikan menetapkan makna pada
lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.
- Receiver: Komunikan yang menerima pesan dari komunikator.
- Response: Tanggapan, seperangkat reaksi dari komunikan setelah diterpa pesan.
- Feedback: Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau
disampaikan kepada komunikator.
- Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat
diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh
komunikator kepadanya.
Model komunikasi di atas menegaskan faktor-faktor kunci dalam komunikasi efektif.
Komunikator harus tahu khalayak mana yang akan dijadikannya sasaran dan tanggapan apa
yang diinginkannya. Ia harus terampil menyandi pesan dengan memperhitungkan bagaimana
komunikan biasanya mengurai sandi pesan. Komunikator harus mengirimkan pesan melalui
media yang efisien dalam mencapai khlayak sasaran.
Proses komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan
oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan
gagasan, informasi, opini dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa berupa
keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian dan sebagainya
yang timbul dari lubuk hati. Adakalanya seseorang menyampaikan buah pikirannya kepada
orang lain tanpa menampakkan perasaan tertentu. Pada saat lain seseorang menyampaikan
perasaannya kepada orang lain tanpa pemikiran. Tidak jarang pula seseorang menyampaikan
pikirannya disertai perasaan tertentu disadari atau tidak disadari. Komunikasi akan berhasil
apabila pikiran disampaikan dengan menggunakan perasaan yang disadari, sebaiknya
komunikasi akan gagal jika sewaktu menyampaikan pikiran, perasaan tidak terkontrol.
G. Komunikasi Interpersonal6
Secara konstektual, komunikasi interpersonal digambarkan sebagai suatu komunikasi
antara dua individu atau sedikit individu, yang mana saling berinteraksi, saling memberikan
umpan balik satu sama lain. Namun, memberikan definisi konstektual saja tidak cukup untuk
menggambarkan komunikasi interpersonal karena setiapinteraksi antara satu individu dengan
individu lain berbeda-beda.
Arni Muhammad (2005:159) menyatakan bahwa “komunikasi interpersonal adalah
proses pertukaran informasi diantara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau
6

Saduran dari ht t p:/ / eprint s.uny.ac.id/ 8975/ 3/ bab%202%20-08402244041.pdf

13

biasanya di antara dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya”. Mulyana (2000: 73)
menyatakan bahwa “komunikasi interpersonal ini adalah komunikasi yang hanya dua orang,
seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya”. Dapat
disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal merupakan proses penyampaian informasi,
pikiran dan sikap tertentu antara dua orang atau lebih yang terjadi pergantian pesan baik
sebagai komunikan maupun komunikator dengan tujuan untuk mencapai saling pengertian,
mengenai masalah yang akan dibicarakan yang akhirnya diharapkan terjadi perubahan
perilaku.
Komponen-komponen Komunikasi Interpersonal
Dari pengertian komunikasi interpersonal yang telah diuraikan di atas, dapat diidentifikasikan
beberapa komponen yang harus ada dalam komunikasi interpersonal. Menurut Suranto A. W
(2011: 9) komponen-komponen komunikasi interpersonal yaitu:
1. Sumber/ komunikator
2. Encoding
3. Pesan
4. Saluran
5. Penerima/ Komunikan
6. Decoding
7. Respon
8. Gangguan
9. Konteks Komunikasi

Komunikasi interpersonal merupakan suatu proses pertukaran makna antara orangorang yang saling berkomunikasi. Orang yang saling berkomunikasi tersebut adalah sumber
dan penerima. Sumber melakukan encoding untuk menciptakan dan memformulasikan
menggunakan saluran. Penerima melakukan decoding untuk memahami pesan, dan
selanjutnya menyampaikan respon atau umpan balik. Tidak dapat dihindarkan bahwa proses
komunikasi senantiasa terkait dengan konteks tertentu, misalnya konteks waktu. Hambatan
dapat terjadi pada sumber, encoding, pesan, saluran, decoding, maupun pada diri penerima.
Komunikasi yang efektif7 ditandai dengan hubungan interpersonal yang
Begitupun, komunikasi interpersonal dikatakan efektif apabila

baik.

pertemuan komunikasi

merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan. Komunikasi bukan hanya sekedar
7

Saduran dari ht t p:/ / file.upi.edu/ Direkt ori/ FIP/ JUR._PSIKOLOGI/ 195009011981032RAHAYU_GININTASASI/ Kom unikasi.pdf

14

menyampaikan isi pesan, namun juga menentukan kadar hubungan interpersonal. Memahami
proses

komunikasi interpersonal menuntut pemahaman hubungansimbiotis antara

komunikasi dengan perkembangan relasional. Komunikasi mempengaruhi perkembangan
relasional dan perkembangan relasional mempengaruhi sifat komunikasi antara pihak-pihak
yang terlibat dalam hubungan tersebut.

H. Media
Dalam mengkomunikasikan pesan, diperlukan sebuah media yang8 tepat untuk dapat
menyampaikan pesan tersebut. Ini dimaksudakan agar makna dari pesan yang disampaikan
tersebut dapat diterima dengan tepat oleh khalayaknya. Proses penyampaian pesan melalui
media yang tepat merupakan bagian yang tidak kalah pentingnya dengan pesan itu sendiri.
Hal ini diungkapkan oleh Marshall McLuhan (dalam Griffin, 2003: 344). McLuhan
mengungkapkan bahwa dengan pemilihan media yang tepat, maka penyampaian pesan
tersebut dapat menjadi lebih efektif dan makna pesan dapat diterima lebih baik oleh khalayak
(audience). McLuhan juga mengatakan bahwa pemilihan media ini dapat memberikan
persepsi dan penerimaan yang berbeda-beda terhadap pesan yang dibawa oleh komunikator.
Contohnya adalah ajakan untuk dapat mencuci tangan dengan menggunakan sabun.
Apabila pesan ini hanya disampaikan melalui media cetak saja (koran), maka dapat
dipastikan bahwa khalayak yang menjadi sasaran (target-audience) dari pesan tersebut tidak
dapat dicapai mengingat pesan tersebut ditujukan untuk anak-anak hingga orang dewasa.
Oleh sebab itu, pesan tersebut disampaikan melalui media elektronik (televisi).
Sehingga anak-anak dapat menyaksikan iklan tersebut dan mulai membiasakan diri untuk
mencuci tangan dengan menggunakan sabun.
Contoh lain yang berkaitan dengan media adalah pada saat PLKB hendak melakukan
sosialisasi mengenai KB terhadap masyarakat. Di sini pemilihan media haruslah sesuai
dengan karakter masyarakat tersebut. Perlu dipahami dan dimengerti mengenai media apa
yang sesuai dengan kebuituhan dan antusiasme masyarakat. Semisal media video, drama, dan
lain sebagainya bisa dipakai untuk sosialisasi KB kepada masyarakat
Tak hanya itu saja, media juga merupakan sebuah alat yang dapat membantu proses
transmisi pesan kepada komunikan, baik itu dalam proses produksi pesan dengan
menggunakan bantuan media hingga proses distribusi pesan melalui media (Ruben and
Stewart, 2006: 189). Melalui bantuan media, komunikator dapat memproduksi pesan yang
bervariasi.
8

Saduran dari ht t p:/ / direkt ori.um y.ac.id/ uploads/ skripsi2/ 20070530080-Bab-I.pdf

15

I.

Peran Aktor dan Jejaring Aktor Dalam Implementasi Model
Dalam implementasi model solusi peran actor dan jejaring actor sangat menentukan

keberhasilan suatu tindakan (program). Menurut Teori Jaringan Aktor atau Actor Network
Theory yang dikembangkan oleh Bruno Latour, Michael Callon, dan John Law (1992)
berpendapat bahwa masyarakat itu bukan hanya sekedar berisi unsur-unsur individu manusia
serta norma yang mengatur kehidupan mereka, tetapi lebih dari itu dia bergerak dalam sebuah
“jaringan”.
Dalam teori ini dikembangkan konsep mengenai Jaringan-Aktor-Translasi, dan
Intermediari. Konsep jaringan tidak hanya berfokus pada relasi sosial aktor manusia, tetapi
mencakup aktor-aktor nonmanusia--yaitu sebuah jaringan heterogen (beragam). Aktor
didefinisikan sebagai sesuatu yang ikut beraksi, yang bukan hanya manusia, melainkan juga
merupakan obyek teknis. Translasi berarti penjajakan dan penyesuaian aksi-aksi yang
berlangsung antara aktor-aktor sampai tercapai suatu relasi yang stabil sehingga obyek teknis
dapat terus berfungsi. Sedangkan intermediari adalah aktor yang ”bersirkulasi” di antara
aktor-aktor dan yang memelihara relasi di antara mereka.
Aktor adalah pelaku, yang menjadi pertanyaan adalah berapa banyak pelaku dalam
melaksanakan sebuah aksi ? Sebagai contoh adalah BKKBN sebagai salah satu aktor tidak
benar-benar bertindak sendiri dalam upaya pengendalian penduduk, tetapi ia membutuhkan
aktor yang lain. Jaringan (network) adalah jejala atau yang terangkai atau terhubung. Dalam
konteks ini suatu tindakan (program) harus benar-benar mempertimbangkan semua faktorfaktor yang mempengaruhi dan terhubung berkaitan dengan suatu tindakan tersebut. Jaringan
aktor terdiri dari jaringan bersama-sama baik elemen teknis dan non-teknis. Dalam teori
jaringan (ANT) juga mengembangkan suatu konsep yang tidak mengambil perbedaan antara
subyek dan obyek, subjektif dan objektif, ke dalam pertimbangan sebagai aktor. Aktor
mungkin terdaftar sebagai sekutu untuk memberi kekuatan untuk suatu posisi. Sebuah aktor
ada yang berdaya dan ada yang tidak berdaya dalam mengendalikan sistem jaringan. Dalam
teori ini disebutkan terdapat aktor dan jaringan. Aktor adalah semua elemen yang terhubung
dalam sistem yang nantinya akan membentuk jaringan secara alamiah. Aktor yang mampu
mengontrol aktor lain disebut sebagai aktan. Aktan memiliki kemampuan untuk bergerak
masuk dan keluar suatu jaringan berdasarkan kemauan dan kepentingannya. Saat aktan
memasuki suatu jaringan, maka jaringan tersebut akan memberi nama atau julukan, aktifitas,
perhatian, serta peranan dalam jaringan tersebut. Dengan kata lain, aktan inilah elemen utama
dan menjadi penggerak dalam jaringan.

16

Kerangka Pikir Penelitian

SOLUSI

PENYEBAB

Bangun
Kepercayaan

Sosilisasi

Tidak Percaya
Belum percaya
dg Kader KB

Penyuluhan
Bersama

Beri Pengetahun
sex kpd mudamudi

AKIBAT

Buta Hukum
Pengetahuan
Bingung
konsultasi

Perilaku
menyimpang,
pendidikan sex

Buta Pengetahuan
Sex

PERNIKAHAN
DINI

Timbul
Keingintahuan
Peningkatan
kapasitas
Peran Tokoh

Sex mjd Tabu
Org tua Tabu
ttg Pendidikan
sex

Peran PLKB

Isi media
dibuat menarik

Tdk ada
konsultasi ortu
dan anak

M edia yg tdk
pas

Pakai media yg
cocok

PLKB M agang

Anak tdk berminat
Sasaran tdk
tepat

Sex mjd Tabu

Adanya PIK

Kader Sebaya

Buta ttg
Pengetahuan

M uda-mudi
Canggung
bicara sex

Buta ttg
Pengetahuan
Tdk ada
konsultasi

17

Bagan Implementasi Model Solusi Strategik
1. Sosialisasi dan advokasi melalui saluran/jaringan formal maupun informal
(memaksimalkan peran TOGA dan Tomas)

OUT COM E
Percaya

M ETODE

Tahu dan
mengerti
mengenai
pendidikan
sex, perilaku
menimpang
dan KB

Langsung

Tidak
Langsung

Tidak bingung
konsultasi

AKTOR
Opinion Leader,
FAPSEDU, KOALISI
KEPENDUDUKAN

PLKB

2. Internalisasi Kependudukan dan Keluarga Berencana melalui pendidikan sexualitas,
kesehatan reproduksi, dan perilaku menyimpang sejak dini.

OUT COM E
Tahu dan
mengerti
mengenai
pendidikan
sex, perilaku
menimpang
dan KB

M uda-mudi
Bisa menahan
diri

M ETODE
Langsung

Tidak
Langsung

AKTOR
Pemerintah

PLKB

Dokter

18

3. Peningkatan kapasitas orang tua mengenai pendidikan sex

OUT COM E
Pemahaman
Sex tidak tabu
Org tua tahu
dan mengerti
mengenai
pendidikan
sex, perilaku
menimpang
dan KB
Ada
konsultasi
antara org
tua dan anak

M ETODE
Langsung

AKTOR
Opinion Leader,
FAPSEDU,
KOALISI
KEPENDUDUKAN

Tidak
Langsung

PLKB
Pemerintah

4. Perlu adanya media yang sesuai untuk menjangkau gap pada anak-anak muda.

OUT COM E
M uda-mudi
berminat thd
KB/ M enunda
pernikahan
Sasaran
media
menjadi tepat
kepada
muda-mudi
Isi media
menjadi
menarik bagi
muda-mudi

M ETODE
Langsung

AKTOR
Lembaga
pendidikan

Tidak
Langsung

M edia
Pemerintah

19

5. Perlunya pengkaderan terhadap kader-kader muda supaya dapat menjangkau anakanak muda maupun remaja.

OUT COM E
Pemahaman
Sex tidak tabu
Org tua tahu
dan mengerti
mengenai
pendidikan
sex, perilaku
menimpang
dan KB
Ada
konsultasi
antara PLKB,
PIK dan
M uda-mudi

M ETODE
Langsung

AKTOR
Lembaga
pendidikan

Tidak
Langsung

PLKB/ PIK
/ GENRE

Pemerintah

20

BAB 3.
METODE PENELITIAN

A.

Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis

penelitian diskriptif. Pendekatan dan jenis penelitian ini digunakan agar diperoleh suatu
pencandraan terhadap kasus perkawinan usia dini secara lebih mendalam sehingga diperoleh
suatu gambaran yang mendalam terkait dengan substansi permasalahannya.

B. Unit Amatan dan Unit Analisa
Satuan amatan adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh data dalam
rangka menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisis (Ihalauw, 2004:178). Oleh
karena itu, yang menjadi unit amatan dalam penelitian ini adalah para pihak yang terkait
dengan kebijakan, dengan key informan meliputi: keluarga atau individu yang melakukan
perkawinan usia dini, orang tua dari individu yang melakukan perkawinan usia dini, para
pihak terkait dengan kependudukan seperti, Bapermas kota Salatiga, pengurus PKBI, Ikatan
Bidan Salatiga, Pemerintah, Akademisi dan Tokoh-tokoh masyarakat.
Terkait dengan unit analisa, Abell (dalam Ihalauw, 2004:174) menyatakan bahwa
satuan analisis adalah hakekat dari populasi yang tentangnya hasil penelitian berlaku. Unit
Analisis dalam penelitian ini adalah Tokoh-tokoh yang ada di masyarakat, tokoh pemuda,
perempuan, agama, pemuda, akademisi, PLKB, Bapermas

C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi, yaitu teknik yang
mengabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang ada.
Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda
dari sumber data yang sama, atau dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang sama
dari sumber data yang berbeda.
Adapun teknik triangulasi mengabungkan beberapa teknik pengumpulan data seperti :
1. Wawancara mendalam.

21

Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan tanya jawab kepada informan
yang dilakukan untuk memperoleh gambaran dan infromasi yang seluas-luasnya
berkaitan dengan persoalan yang diteliti.

2. Observasi partisipatif.
Observasi partisipatif yaitu teknik pengambilan data dimana peneliti terlibat dalam
kegiatan sehari-hari sumber data. Lebih lanjut Stainback dalam (Sugiyono, 2006:
256), menyatakan bahwa

dalam observasi partisipatif, peneliti mengamati yang

dikerjakan orang yang dileliti, mendengarkan yang diucapkan orang yang diteliti dan
berpartisipasi dalam aktivitas orang yang diteliti.

3. Study Dokumen.
Dalam rangka memperoleh gambaran yang obyektif dan utuh atas fakta – fakta yang
dilapangan maka study dokumen perlu dilakukan. Kajian pustaka. Study dokumen
dilakukan untuk melengkapi hasil wawancara dan observasi dalam penelitian
kualitatif. Studi dokumen yaitu menghimpun data dari berbagai literature yang
berhubungan dengan topik skripsi ini. Dokumen dapat berupa dokumen tertulis dan
tidak tertulis. Dokumen tertulis dapat berupa sejarah kehidupan, peraturan, kebijakan,
karya tulis, sedangkan dokumen dalam bentuk tidak tertulis dapat berupa gam