MANAJEMEN GURU DALAM PENUNTASAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR.

(1)

PERNYATAAN ... i

PERSETUJUAN ... ii

ABSTRAK ... iv

PENGANTAR ... vi

PENGHARGAAN ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Hasil Penelitian ... 17

E. Premis ... 18

F. Kerangka Fikir Penelitian ... 19

G. Metode Penelitian ... 21

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Manajemen Tenaga Pendidik dalam Kajian Administrasi Pendidikan ... 24

B. Konsep Manajemen SDM Tenaga Pendidik ... 28

1. Manajemen SDM dan Peranannya dalam Organisasi ... 28

2. Fungsi, Tujuan dan Aktivitas Manajemen SDM ... 31

C. Posisi Guru Pendidikan Dasar dalam Kategorisasi Tenaga Kependidikan ... 42

1. Kategori Tenaga Kependidikan ... 42

2. Status Kepegawaian Guru ... 47

D. Wajib Belajar Pendidikan Dasar ... 52

1. Pemerataan Kesempatan Pendidikan ... 56

2. Urgensi Penuntasan Wajar Dikdas ... 62

3. Penyelenggaraan Wajar Dikdas dalam Kerangka Kebijakan Otonomi Daerah ... 65

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Wajar Dikdas ... 69

5. Mutu Pendidikan Dasar ... 72

6. Manajemen Guru dalam Kerangka Penuntasan Wajib Belajar ... 76

E. Penelitian Terdahulu ... 84

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan ... 114


(2)

E. Pengecekan Kesahihan Data ... 121

F. Analisis Data ... 124

BAB IV HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 127

1. Rencana Strategik Pendidikan Kabupaten Kuningan ... 127

2. Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar ... 142

3. Manajemen Guru Pendidikan Dasar ... 147

4. Dampak Manajemen Guru Pendidikan Dasar Terhadap Penuntsan Wajib Belajar Pendidikan Dasar ... 172

B. Pembahasan ... 186

1. Kebermaknaan Rencana Strategik Pendidikan ... 186

2. Manajemen Guru Dikdas dan Dampaknya ... 190

BAB V STRATEGI MANAJEMEN GURU YANG BERORIENTASI PEMERATAAN AKSES DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DASAR A. Asumsi Strategi ... 199

B. Komponen dan Prasyarat Strategi ... 205

C. Validasi Konsep ... 211

BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 224

B. Implikasi ... 228

C. Rekomendasi ... 229

DAFTAR PUSTAKA ... 231

LAMPIRAN ... 241


(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasonal No. 20 Tahun 2003

menegaskan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara.

Penegasan itu mengamanatkan agar pendidikan diperankan

sebagai aktivitas pembentukan manusia-manusia yang cerdas secara

intelektual, sosial, emosional dan spiritual, terampil, berkepribadian dan

berakhlak mulia. Oleh karena itu, segenap upaya pendidikan harus

berproses menuju perwujudan manusia yang baik dalam seluruh

dimensinya sehingga mampu mengisi kehidupannya secara produktif

bagi kepentingan dirinya dan masyarakat.

Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dalam kurun 50 tahun

terakhir telah mengalami kemajuan pesat. Partisipasi pendidikan

(enrolment ratio) misalnya, dari waktu ke waktu mengalami

peningkatan. Pemerintah bersama masyarakat telah berhasil mengatasi


(4)

serta meningkatkan angka melek huruf (literacy rate). Makin hari makin

banyak gedung sekolah dibangun, begitu pula program-program

pendidikan yang diselenggarakan.

Meskipun demikian, keberhasilan tersebut ternyata belum optimal,

terlebih apabila dibandingkan dengan keberhasilan pendidikan

bangsa-bangsa lain. Pemeringkatan kualitas pendidikan yang dilakukan oleh

Politicical Economic Review Center menunjukkan masih rendahnya

kualitas pendidikan Indonesia dibanding negara-negara lain.

Tabel 1.1

PERINGKAT KUALITAS PENDIDIKAN

Peringkat Negara Nilai

1 Korea Selatan 3,09

2 Singapura 3,19

3 Jepang 3,50

4 Taiwan 3,96

5 India 4,24

6 Cina 4,27

7 Malaysia 4,41

8 Hongkong 4,72

9 Filipina 5,47

10 Thailand 5,96

11 Vietnam 6,21

12 Indonesia 6,56

Sumber: Suyanto (2006:3)

Pendidikan harus dapat mentransformasi bangsa menjadi bangsa

yang siap dan mampu bersaing di kancah internasional sehingga dapat

memberikan sumbangan signifikan bagi pembangunan umat manusia.

Apabila tuntutan tersebut dikaitkan dengan peringkat kualitas

pendidikan Indonesia sebagaimana disajikan dalam tabel di atas,


(5)

dan membangun pendidikan agar lebih berkualitas dan dapat dinikmati

oleh seluruh rakyat Indonesia dari berbagai kelompok dan status sosial.

Dengan demikian, dapat dibentuk sumberdaya manusia Indonesia yang

mampu bersaing dalam era global.

Tabel 1.2

PERINGKAT INDONESIA BERDASARKAN HDI DIBANDINGKAN BEBERAPA NEGARA TAHUN 1995-2006

Negara

Tahun

1995 2000 2003 2004 2005 2006 Thailand Malaysia Philipina Indonesia Cina Vietnam 58 59 100 104 111 120 76 61 77 109 99 108 74 58 85 112 104 109 76 59 83 111 94 112 73 61 84 110 85 108 74 61 84 108 81 109 Sumber: Depdiknas (2007,59); Laporan UNDP (2006)

Dilihat dari Human Development Index (HDI), posisi Indonesia

berada di bawah negara Malayasia, Thailand, China dan Vietnam

meskipun untuk tahun 2006 peringkat Indonesia berada di atas

peringkat Vietnam. HDI yang rendah memberikan gambaran kualitas

sumber daya manusia yang rendah pula. Kondisi ini akan berdampak

pada kemampuan dan daya saing sumber daya manusia dalam

menghadapi persaingan di era global.

Pendidikan berperan dalam meningkatkan HDI tersebut. Oleh

karena itu, upaya mempertinggi tingkat pendidikan masyarakat menjadi

suatu keharusan dalam upaya meningkatkan HDI. Dalam


(6)

seluruh bangsa. Adapun kebijakan pembangunan pendidikan di

Indonesia terangkum dalam tiga strategi dasar, yaitu: (1) perluasan

akses dan pemerataan pendidikan; (2) peningkatan mutu, relevansi,

dan daya saing; (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan

publik (Depdiknas, 2005.5).

Setiap strategi dijabarkan dan difokuskan secara operasional dan

disusun ke dalam skala prioritas sesuai dengan kemampuan dana

pemerintah, yang selanjutnya dijadikan program pembangunan pendidikan. Prioritas pertama pembangunan pendidikan diarahkan pada pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan dasar, melalui

pembangunan sarana prasana dan pengadaan tenaga kependidikan.

Pada tahun 1984 dicanangkan wajib belajar sekolah dasar (Wajar

SD) enam tahun, dan sejak tahun 1994 ditingkatkan menjadi Wajar

Dikdas Sembilan Tahun. Tetapi sejak terjadinya krisis nasional semua

program yang telah dirancang, termasuk implementasi Wajar Dikdas

Sembilan Tahun, menghadapi hambatan dan penundaan.

Provinsi Jawa Barat yang memiliki wilayah 25 kabupaten dan kota,

pada awal tahun 2005 melanjutkan kembali pelaksanaan Wajar Dikdas

Sembilan Tahun dengan mencanangkan tema percepatan penuntasan

Wajar Dikdas Sembilan Tahun. Upaya tersebut terkait dengan tiga


(7)

Pertama, aspek pemerataan kesempatan untuk memperoleh

pendidikan dasar sembilan tahun. Pemerataan pendidikan dan segenap

permasalahannya telah lama mendapat perhatian, terutama di

negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak terlepas dari meningkatnya

kesadaran atas pentingnya peran pendidikan dalam pembangunan

bangsa di satu pihak dan berkembangnya demokratisasi pendidikan di

pihak lain.

Pemerataan pendidikan mencakup makna equality dan equity.

Equality mengandung arti persamaan kesempatan untuk memperoleh

pendidikan, sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh

kesempatan pendidikan yang sama di antara berbagai kelompok

masyarakat.

Bagi dunia pendidikan di negara-negara maju, kesempatan

memperoleh pendidikan secara merata mungkin tidak lagi menjadi

masalah utama. Sebaliknya, bagi negara berkembang hal itu masih

menghadapi banyak masalah yang harus ditangani secara serius, agar

terbuka kemungkinan yang lebih luas bagi masyarakat untuk

berpartisipasi dalam pendidikan.

Memeratakan pendidikan pada dasarnya berkaitan dengan upaya

peningkatan kualitas sumber daya manusia. Wajar Dikdas (compulsory

education) Sembilan Tahun harus dipahami dari dua perspektif: (1)


(8)

dan (2) outward yaitu persiapan menghadapi globalisasi yang makin

kompetitif. Perspektif ganda tersebut dipresentasi dalam visi Depdiknas,

yaitu pada tahun 2025 menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan

kompetitif.

Lebih lanjut, outward perspective mensyaratkan suatu

kemampuan adopsi dan adaptasi terhadap berbagai perubahan dan

perkembangan teknologi yang sangat cepat. Hal ini memerlukan

kemampuan anggaran yang cukup besar baik dari pemerintah sebagai

pelaksana kewajiban konstitusi maupun masyarakat sebagai konsumen

primer pendidikan persekolahan.

Inward perspective menuntut perlunya perhatian terhadap variasi

kemampuan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini penting agar

pelaksanaan Wajar Dikdas Sembilan Tahun tidak terhenti sebatas keinginan (wishful thinking) melainkan sesuatu yang obyektif, feasible,

dan applicable. Keberhasilan outward perspective akan sangat

ditentukan oleh penataan program wajib belajar dalam inward

perspective, dan itu hanya mungkin terlaksana dengan baik apabila

setiap kebijakan yang ditempuh didasari oleh temuan-temuan faktual

yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pada tahun 2004 diketahui bahwa Angka Partisipasi Sekolah

secara nasional untuk penduduk usia 7-12 tahun mencapai 96,8%; dan


(9)

sekolah untuk anak berusia 15 tahun adalah 7,2 tahun, artinya mereka

hanya lebih 1,2 tahun dari pendidikan Sekolah Dasar (Depdiknas, 2004,

17).

Data tersebut menunjukkan bahwa peningkatan Angka Partisipasi

Sekolah merupakan sesuatu yang harus terus menerus diupayakan,

mengingat UUD 1945 dengan tegas menempatkan pendidikan dasar

sebagai sesuatu yang wajib.

Kedua, aspek manajemen penyelenggaraan pendidikan dalam

kebijakan otonomi daerah. Keragaman kondisi antardaerah menuntut

agar masing-masing daerah menentukan sendiri kebijakan dan

implementasi Wajar Dikdas Sembilan Tahun. Hal ini sejalan dengan

diberlakukakannya desentralisasi, di mana daerah memiliki otonomi

untuk menentukan dan mengembangkan kebijakan masing-masing

sesuai dengan kondisi obyektif daerahnya, namun tetap dalam bingkai

kesatuan sistem pendidikan nasional.

Desentralisasi mengakibatkan perubahan mendasar dalam

manajemen pemerintahan. Melalui itu, daerah memiliki kewenangan

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan itu diatur dalam UU No. 32

Tahun 2004, Pasal 10, bahwa otonomi yang diberikan kepada daerah

Kabupaten dan Kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan


(10)

Daerah diberi kewenangan yang utuh untuk merencanakan,

melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi

kebijakan-kebijakan daerah sesuai kewenangan daerah. Sementara

pemerintah pusat mengurusi masalah-masalah (a) politik luar negeri;

(b) pertahanan; (c) keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal

nasional; dan (f) agama.

Dengan demikian, bidang pendidikan menjadi kewenangan

pemerintah daerah. Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003

memperjelas pembagian garapan pendidikan seperti diatur dalam Pasal

35 bahwa: “Pemerintah pusat mengendalikan penyelenggaraan pendidikan dengan adanya standar nasional pendidikan, yang terdiri

atas: isi, proses, kompetensi, lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan

prasarana pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan”.

Rincian tentang Kewenangan Pemerintah pusat dan pemerintah

provinsi di bidang pendidikan menjadi seperti telah diatur dalam

Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2000 tentang Kewenangan

Pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom hanya

meliputi:

(1) Penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya.

(2) Penetapan standar materi pelajaran pokok.

(3) Penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik.

(4) Penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan


(11)

(5) Penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa.

(6) Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah dan luar sekolah.

(7) Pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh serta pengaturan sekolah internasional.

Pemerintah provinsi sebagai daerah otonom memiliki kewenangan

penetapan kebijakan tentang:

(1) pemerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan/atau tidak mampu;

(2) penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul pendidikan untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan luar sekolah;

(3) Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi; dan

(4) Penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/atau penataran guru.

Pelimpahan kewenangan ini dirasakan sangat cepat sehingga

Menteri Pendidikan Nasional menyatakan ”akibat kebijakan nasional

menempatkan pemerintah daerah dan warga masyarakat di setiap

daerah pada posisi terpaksa „caught by surprise‟ dengan segala keuntungan dan risikonya.” (Jalal dan Supriadi, 2001: xxxii). Meskipun demikian, pelimpahan kewenangan tersebut pada dasarnya merupakan

dorongan agar daerah lebih memahami kondisi daerahnya serta

menentukan strategi yang diperlukan untuk mengatasi masalah yang

dihadapi.

Dalam konteks itu, penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun


(12)

strategik yang diperlukan agar tercapai hasil secara optimal,

berdasarkan kondisi obyektif daerahnya masing masing.

Ketiga, aspek manajemen guru pendidikan dasar dalam kerangka

penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun, yang memerlukan upaya

komprehensif. Upaya ini terkait dengan permasalahan kinerja guru

pendidikan dasar. bahwa “dilihat dari persfektif latar belakang pendidikan kemampuan profesional guru dikdas Indonesia masih

sangat beragam, mulai dari yang tidak berkompeten sampai yang

berkompeten” (Danim 2002,31)

Hasil survei Depdiknas (2005,57) tentang kualifikasi pendidikan

guru menginformasikan bahwa: (1) Guru SD, SDLB dan Ml yang

berpendidikan Diploma-2 ke atas adalah 61,4 %. Hal itu berarti bahwa

guru SD, SDLB dan Ml yang tidak memenuhi kualifikasi sejumlah

38,6%; (2) Guru SMP dan MTs yang berpendidikan Diploma-3 ke atas

adalah 75,1%, artinya guru SMP dan MTs yang tidak memenuhi

kualifikasi pendidikan sebesar 24,9%.

Selanjutnya, hasil uji kompetensi guru oleh Direktorat Jenderal

PMPTK (2006,7) terhadap 29.238 guru SD secara nasional,

menunjukkan bahwa rerata tingkat penguasaan guru atas substansi

materi uji kompetensi profesional masih rendah, yaitu (1) Bahasa

Indonesia 36,67%; (2) IPS 36,47%; (3) IPA 33,87%; (4) Pembelajaran


(13)

Kependidikan mempertelakan pula masih banyaknya guru sekolah

menengah yang mismatch, yaitu: SMP 31.821 guru; SMA 17.663 guru;

dan SMK 10.543 guru.

Dilihat dari segi manajemen guru, upaya komprehensif itu

berkenaan dengan optimalisasi peran guru pendidikan dasar, yang

secara operasional meliputi tiga dimensi. Pertama, pemerataan

pengadaan guru yang menjangkau satuan-satuan pendidikan formal

dan nonformal, mengingat peran mereka berhubungan langsung

dengan peserta didik dan warga belajar Dikdas Sembilan Tahun. Kedua,

pemenuhan tuntutan kualifikasi dan kompetensi guru sesuai UU Guru

dan Dosen serta Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional

Pendidikan. Ketiga, kesepadanan bidang studi, dalam arti meniadakan

atau mengurangi guru missmatch di pendidikan dasar.

Kuningan sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat

tidak luput dari kewajiban menuntaskan program Wajar Dikdas

Sembilan Tahun. Di dalam kerangka kebijakan otonomi daerah dan

otonomi penyelenggaraan pendidikan, penuntasan Wajar Dikdas

Sembilan Tahun di Kabupaten Kuningan pun dihadapkan dengan

permasalahan di atas.

Sampai dengan tahun 2005, program Wajar Dikdas Sembilan

Tahun di Kabupaten Kuningan belum memenuhi target yang maksimal.


(14)

pada tahun tersebut. Dari 64.315 orang penduduk usia 13-15 tahun

hanya terdapat 46.159 orang (71,73%) yang bersekolah, sebanyak

17.716 orang (27,53%) tidak bersekolah lagi. Terdapat 11 kecamatan

yang APK-nya di bawah rata-rata kabupaten, yaitu: Ciniru 66,67%;

Ciwaru 40%; Cibingbin 20,45%; Cidahu 41,18%; Kalimanggis 70,54%;

Ciawigebang 67,91%; Lebakwangi 46,94%, Garawangi 57,20%,

Maleber 40,92%, Sindang Agung 70,54%; dan Cigandamekar 39,79%

(Bapeda dan BPS Kabupaten Kuningan, 2005:174).

Rendahnya mutu guru dan tenaga kependidikan merupakan salah

satu masalah yang menandai kondisi pendidikan di Kabupaten

Kuningan. Dalam dokumen analisis Rencana Pengembangan Pendidikan

Kabupaten Kuningan Tahun 2004, dijelaskan faktor-faktor penyebab

rendahnya mutu guru sebagai berikut: (1) belum adanya penghargaan

(terutama penggajian) tenaga kependidikan berdasarkan tingkat

kemampuan profesionalisme dan pengabdian; (2) kesejahteraan guru

pada umumnya masih di bawah standar minimal untuk memenuhi

kebutuhan hidup sebagai seorang profesional; (3) sistem pembinaan

karir belum tertata dengan baik; (4) distribusi guru yang belum merata,

baik antar-kecamatan maupun antar-mata pelajaran.

Belum meratanya penyebaran guru PNS diakibatkan oleh kendala

geografis Kabupaten Kuningan, sehingga ada 68,02% SD yang


(15)

berlokasi di sekitar pusat kota saja yang memiliki kecukupan guru.

Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya jumlah guru honorer akibat

desakan kebutuhan di setiap sekolah.

Kualifikasi guru pendidikan dasar pun masih rendah. Guru SD

yang belum berpendidikan S1 sebesar 85,05%, sedangkan guru SMP

sebesar 27,44%. Masalah lain adalah masih tingginya jumlah guru yang

mismatch antara pendidikan dengan mata pelajaran yang mereka

ampu, sehingga terdapat kelebihan guru bidang studi Agama, Bahasa

Indonesia, IPS dan mata pelajaran Muatan Lokal.

Dengan kata lain, kondisi umum sebagian guru masih: (1) kurang

memiliki bekal pengetahuan (didaktik, metodik, materi) dan kreativitas

dalam pembelajaran; (2) belum mendapat penghargaan yang berupa

insentif yang layak; (3) belum mendapat perlindungan profesi yang

memadai; dan (4) belum mendapat peluang karir yang mendorong

motivasi berprestasi.

Bidang pendidikan sebagai urusan wajib yang menjadi

kewenangan wajib Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana yang

dimaksud oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan dijabarkan antara lain ke dalam

upaya pemerataan dan perluasan akses serta peningkatan mutu


(16)

jawab terhadap pengelolaan unsur-unsur yang berkaitan langsung

dengan hal-hal tersebut.

Dalam konstelasi permasalahan aktual, tuntutan dan pilihan

kebijakan itulah Pemerintah Kabupaten Kuningan menjalankan

manajemen guru pendidikan dasar.

B. RUMUSAN MASALAH DAN PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas dapat

diringkaskan aspek-aspek manajemen guru berikut ini. Pertama,

manajemen guru pendidikan dasar dijalankan dalam kerangka

kebijakan otonomi daerah. Implikasinya adalah: (1) harus menjangkau

guru di satuan-satuan pendidikan dasar formal dan nonformal; (2)

harus berorientasi kepada pemenuhan kualifikasi dan kompetensi

pendidik sebagaimana dituntut oleh ketentuan Undang-Undang dan

Peraturan Pemerintah; (3) mengupayakan tidak terjadinya mismatch

bidang studi guru.

Kedua, manajemen guru pendidikan dasar diharapkan

berkontribusi positif terhadap program penuntasan Wajar Dikdas

Sembilan Tahun, baik dalam makna pemerataan akses maupun

pemerataan pendidikan yang bermutu bagi penduduk usia pendidikan

dasar.

Apabila dikonfirmasi pada tingkat empirik maka faktor-faktor


(17)

dengan aspek-aspek tersebut meliputi: (1) renstra pendidikan sebagai

rujukan kebijakan penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun dan

manajemen guru pendidikan dasar; (2) manajemen guru pendidikan

dasar dalam kerangka pemerataan pengadaan, kualifikasi dan

kesepadanan latar belakang akademik dengan bidang studi yang

diajarkan oleh guru; dan (3) kontribusi manajemen guru penuntasan

Wajar Dikdas Sembilan Tahun.

Bertolak dari isu dan identifikasi tersebut dapat dirumuskan pokok

masalah penelitian: Bagaimanakah manajemen guru pendidikan dasar

untuk mendukung percepatan Program Penuntasan Wajar Dikdas

Sembilan Tahun di Kabupaten Kuningan? Pokok masalah penelitian ini

lebih lanjut difokuskan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah rencana strategik pendidikan sebagai rujukan

kebijakan penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun dan

manajemen guru pendidikan dasar di Kabupaten Kuningan?

2. Bagaimanakah implementasi kebijakan penuntasan Wajar Dikdas

Sembilan Tahun di Kabupaten Kuningan?

3. Bagaimanakah manajemen guru pendidikan dasar di Kabupaten

Kuningan, terutama dari segi pemerataan pengadaan, pemenuhan

kualifikasi, dan kesepadanan latar belakang akademik dengan


(18)

4. Bagaimanakah dampak manajemen guru pendidikan dasar seperti

tercantum pada butir tiga di atas terhadap penuntasan Wajar

Dikdas di Kabupaten Kuningan, terutama dari segi angka efisiensi

edukasi?

5. Bagaimanakah konsep strategi manajemen guru yang

mengakomodasi tuntutan pemerataan pengadaan, pemenuhan

kualifikasi dan kesepadanan latar belakang pendidikan guru

dengan bidang studi yang diajarkan dalam kerangka penuntasan

wajib belajar pendidikan dasar di Kabupaten Kuningan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses,

hasil, dan dampak manajemen guru pendidikan dasar terutama dilihat

dari percepatan Program Penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun

dan mutu pendidikan dasar di Kabupaten Kuningan. Sedangkan secara

khusus, penelitian ini ditujukan untuk:

1. Mengidentifikasi rencana strategik yang dijadikan rujukan

kebijakan penuntasan Wajar Dikdas dan manajemen guru

pendidikan dasar di Kabupaten Kuningan.

2. Mendeskripsikan implementasi kebijakan Penuntasan Wajar Dikdas

di Kabupaten Kuningan.

3. Mendeskripsikan manajemen guru pendidikan dasar di Kabupaten


(19)

kesepadanan latar belakang pendidikan guru dengan bidang studi

yang diajarkan.

4. Menganalisis dampak manajemen guru pendidikan dasar

terhadap penuntasan Wajar Dikdas di Kabupaten Kuningan.

5. Mengajukan konsep strategi manajemen guru yang

mengakomodasi tuntutan pemenuhan kompetensi dan kehendak

mempercepat penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun yang

bermutu dalam kerangka kebijakan otonomi daerah.

D. MANFAAT HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoretik berupa

pengayaan khasanah penelitian empirik bidang administrasi pendidikan,

terutama manajemen guru di jenjang pendidikan dasar. Dari segi

praktik, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para pengambil

kebijakan dan penyelenggara pendidikan dasar di daerah serta para

peneliti.

Bagi pengambil kebijakan dan pelaksana pendidikan, hasil

penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengelolaan

guru pendidikan dasar dan upaya mempercepat penuntasan Wajar

Dikdas Sembilan Tahun. Model hipotetik yang ditawarkan dalam

penelitian ini diharapkan pula menginspirasi peneliti lain, untuk

memperdalam fokus dan memvalidasinya melalui uji coba dalam


(20)

E. PREMIS

Penelitian manajemen guru dalam penuntasan Wajar Dikdas

Sembilan Tahun didasari premis-premis berikut ini. Pertama,

penyelenggaraan pendidikan dalam kerangka kebijakan otonomi daerah

tidak terlepas dari keharusan: (1) menjamin agar setiap penduduk

memperoleh hak mendapatkan pelayanan publik yang bermutu

sekaligus memenuhi rasa keadilan antarwarga; (2) mencegah

kesenjangan mutu pelayanan antardaerah yang disebabkan oleh

konteks lokalitas dan kecenderungan pemunculan kriteria lokal; (3)

perlunya pemberdayaan lembaga-lembaga setempat ke arah efisiensi,

sebagai akibat pembaharuan motivasi kerja dan keluwesan prosedural

birokrasi; (4) menumbuhkan prakarsa, kreativitas, dan peranserta

masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber-sumber dana

pembangunan, sehingga tercapai tujuan peningkatan mutu pelayanan

publik; (5) menyikapi pergeseran dari akuntabilitas yang berorientasi ke

pusat menjadi akuntabilitas berorientasi pada kepentingan masyarakat.

Kedua, kebijakan pembangunan sektor pendidikan di daerah

hendaknya merujuk kepada makna yang tersirat dalam amanat UUD

1945, Pasal 31, ayat (3): “Pemerintah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang

meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam


(21)

undang-undang”. Pasal ini menandaskan: (1) tanggung jawab pemerintah dalam pendidikan; dan (2) bahwa di Indonesia hanya ada satu sistem

pendidikan, yaitu sistem pendidikan nasional Indonesia.

Perlu dimengerti bahwa tidak ada otonomi pendidikan, yang ada

ialah otonomi daerah dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengertian

ini penting demi mencegah “sentralisasi baru” di daerah dan gelagat

yang kontraproduktif bagi dunia pendidikan.

Ketiga, bahwa arah kebijakan dan manajemen guru dimaksudkan

untuk optimalisasi peran guru, dalam arti: (1) harus menjangkau guru

di satuan-satuan pendidikan dasar formal dan nonformal; (2) harus

berorientasi kepada pemenuhan kualifikasi dan kompetensi pendidik

sebagaimana dituntut oleh ketentuan Undang-Undang dan Peraturan

Pemerintah; dan (3) mengupayakan tidak terjadinya mismatch bidang

studi guru. Manajemen guru pendidikan dasar diharapkan berkontribusi

positif terhadap program penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun,

baik dalam makna pemerataan akses maupun pemerataan pendidikan

yang bermutu bagi penduduk usia pendidikan dasar.

F. KERANGKA FIKIR PENELITIAN

Penelitian merupakan proses kegiatan yang sistematik,

menggunakan metode tertentu untuk mendapatkan kebenaran yang

dapat dipertanggungjawabkan. Setiap peneliti harus berorientasi dan


(22)

didukung oleh kekuatan konsep-konsep teoretik dan bukti-bukti

empirik.

Sehubungan dengan itu, penulis menyusun kerangka pikir

penelitian sebagaimana diringkaskan secara skematik dalam gambar

1.1, yang di dalamnya menggambarkan rangkaian berikut ini.

KEBIJAKAN PENDIDIKAN

KO N D IS I ID EAL

KONDISI AKTUAL

GAP P EN ELITIANFO KU S

TELAAH KONSEP TEORETIK KOMPARASI EMPIRIKAL ANALISIS MASALAHRenstra sebagai Rujukan Kebijakan Wajar Dikdas dan Manajemen Guru Dikdas Kebijakan Penuntasan Wajar DikdasManajemen Guru Dikdas Dampak Manajemen Guru terhadap Akses dan Mutu Dikdas

S TR ATEG I ALTER N ATIF M AN AJ EM EN

G U R U D IKD AS

U M P AN B ALIK

VISI PENDIDIKAN NASIONAL KONSEP STRATEGI Gambar 1.1

KERANGKA FIKIR PENELITIAN

Menelaah rencana stategik dan kebijakan pembangunan bidang

pendidikan di daerah penelitian. Penelaahan dititikberatkan kepada

kesenjangan antara kondisi ideal dengan kondisi aktualnya, untuk

kemudian diidentifikasi sebagai fokus masalah penelitian. Selanjutnya,


(23)

aspek-aspek manajemen guru pendidikan dasar sebagaimana dirumuskan

dalam fokus dan pertanyaan penelitian. Hasil analisis evaluatif terhadap

data dan informasi empirik itu diharapkan dapat menunjukkan kinerja

aktual manajemen guru pendidikan dasar di daerah penelitian.

Berdasarkan hasil analisis tersebut, lebih lanjut akan dikemukakan

model hipotetik manajemen guru pendidikan dasar yang

mengakomodasi tuntutan kualifikasi guru, target pembangunan

pendidikan, terutama penuntasan Wajar Dikdas, dan mutu pendidikan

dasar di daerah.

G. METODE PENELITIAN

1. Prosedur dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui dua tahapan, yaitu tahap persiapan

dan tahap pelaksanaan. Pertama, tahap persiapan dengan

kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

(1) Melakukan review terhadap studi terdahulu, menelaah teori-teori

yang relevan, melakukan observasi awal di Bappeda, Dinas

Pendidikan, dan satuan pendidikan dasar formal dan nonformal di

Kabupaten Kuningan. Hasil kegiatan ini berupa proposal disertasi,

yang selanjutnya dikonsultasikan kepada Penasihat Akademik dan

dipresentasikan dalam Sidang Proposal Disertasi di Program Studi.

(2) Memproses perizinan penelitian dan merancang instrumen


(24)

dan penerbitan Surat Keputusan Penetapan Pembimbing Disertasi.

Hasil kegiatan ini berupa surat izin penelitian dan instrumen

pengumpulan data yang telah dikonsultasikan dan mendapat

expert judgement dari Pembimbing Disertasi.

Kedua, tahap pelaksanaan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap

ini adalah: (1) pengumpulan data; (2) pengecekan kesahihan data; (3)

analisis data; dan (4) validasi model konseptual. Adapun strategi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) orientasi teoretik; (2)

pengumpulan data tiga tahap yaitu orientasi, eksplorasi pengumpulan

data, dan penelitian terfokus; (3) wawancara mendalam dan

komprehensif; (4) observasi peranserta; dan (5) dokumentasi.

Berdasarakan fokus masalah, tujuan, subjek, dan karakteristik

datanya, maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.

Pendekatan ini merupakan skema atau program penelitian yang berisi

out line proses dan kerja yang harus dilakukan peneliti, mulai dari

pernyataan sebagai informasi penelitian sampai pada analisis data

finalnya (Lincoln dan Guba, 1984: 147).

2. Lokasi dan Sumber Data Penelitian

Penelitian ini memilih lokasi di Kabupaten Kuningan. Objeknya

adalah manajemen guru di jenjang pendidikan dasar dengan

kategori-kategori sumber data berupa institusi, peristiwa, dokumen, dan


(25)

dinas-dinas Kabupaten Kuningan yang secara langsung dan tidak

langsung berkaitan dengan manajemen guru. Institusi yang dimaksud

adalah Bappeda, Dinas Pendidikan, Dewan Pendidikan, Badan

Kepegawaian Daerah, Badan Akreditasi Sekolah, dan satuan-satuan

pendidikan dasar formal serta nonformal.

Sumber data peristiwa yaitu beragam kejadian dan interaksi sosial

manusia yang berkenaan dan bermakna dalam manajemen guru

pendidikan dasar serta penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun.

Kategori sumber data dokumen adalah beragam catatan, risalah, dan

rekaman yang berkenaan dengan dokumen resmi perundang-undangan

dan peraturan penyelenggaraan pendidikan dan program Wajar Dikdas

Sembilan Tahun.

Adapun kategori sumber data manusia meliputi stakeholders

internal dan eksternal yang memiliki hubungan langsung dan tidak

langsung dengan manajemen pendidik di Kabupaten Kuningan. Manusia

sebagai sumber data penelitian ini dipilih secara purposif, yang

jumlahnya ditentukan berdasarkan konsep bola salju; artinya

kecukupan sampel diukur berdasarkan kecukupan informasi, data, dan

fakta yang telah diperoleh. Ukuran kecukupan informasi, data, dan

fakta yang dimaksud tercermin dalam intensitas pengulangan


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengkaji permasalahan dan memperoleh makna yang lebih mendalam sesuai dengan kondisi lingkungan. Terdapat beberapa pertimbangan yang mendasari digunakannya pendekatan tersebut.

Pertama, penulis bermaksud mengembangkan konsep pemikiran, pemahaman atas pola yang terkandung di dalam data, melihat secara keseluruhan suatu keadaan, proses, individu dan kelompok tanpa mengurangi variabel, sensitif terhadap orang yang diteliti, dan mendeskripsikannya secara induktif naturalistik.

Kedua, penulis bermaksud untuk menganalisis dan menafsirkan fakta, gejala, dan peristiwa yang berkaitan dengan aspek-aspek manajemen tenaga pendidik jenjang pendidikan dasar dalam konteks ruang, waktu, dan situasi sebagaimana adanya. Ketiga, bidang kajian penelitian ini berkenaan dengan proses dan aktivitas pencapaian tujuan kelembagaan, yang di dalamnya terjadi peristiwa interaktif di antara berbagai komponen pendidikan.

Penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan pula atas pertimbangan agar: (1) lebih mudah menyesuiakan apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; (2) dapat menyajikan langsung


(27)

hakikat hubungan antara peneliti dengan responden; (3) lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.

Sesuai dengan ciri-ciri pendekatan kualitatif, maka dalam proses penelitian ini penulis melaksanakan aktivitas berikut ini. Pertama, memahami kenyataan dan peristiwa manajemen pendidikan yang diteliti sebagai keutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari konteksnya. Untuk itu, dalam penelitian ini penulis melakukan pengamatan dan pemahaman atas keutuhan konteks manajemen tenaga pendidik jenjang pendidikan dasar di Kabupaten Kuningan, dan memaknai keterkaitan antarkonteks itu.

Kedua, melakukan pengumpulan data dan memerankan diri sebagai: (1) alat yang dapat berhubungan dengan responden atau objek penelitian; (2) pemberi makna atas kaitan kenyataan–kenyataan dari peristiwa secara utuh; dan (3) partisipan yang hadir dan melibatkan diri dalam peristiwa yang diteliti tanpa menimbulkan gangguan bagi berlangsungnya kebijakan dan manajemen guru jenjang pendidikan dasar di Kabupaten Kuningan.

Ketiga, menganalisis data secara induktif. Sebagian besar data yang penulis kumpulkan dalam penelitian ini berupa kata-kata, gambar, meskipun terdapat pula data pula angka-angka. Dalam hal ini penulis menganalisis berbagai aspek yang rinci dari beragam data itu, sehingga


(28)

dapat dilihat hubungan-hubungannya dan ditemukan nilai-nilainya secara eksplisit untuk disimpulkan secara umum.

B. LOKASI, OBJEK DAN PROSEDUR PENELITIAN

Penelitian ini memilih lokasi di Kabupaten Kuningan. Objeknya adalah manajemen guru jenjang pendidikan dasar dengan kategori-kategori sumber data berupa institusi, peristiwa, dokumen, dan manusia. Kategori sumber data institusi meliputi badan, lembaga, dan dinas-dinas Kabupaten Kuningan yang secara langsung dan tidak langsung berkaitan dengan manajemen guru. Institusi yang dimaksud adalah Bappeda, Dinas Pendidikan, Dewan Pendidikan, Badan Kepegawaian Daerah, Badan Akreditasi Sekolah, dan satuan-satuan pendidikan dasar formal serta nonformal.

Sumber data peristiwa yaitu beragam kejadian dan interaksi sosial manusia yang berkenaan dan bermakna dalam manajemen guru jenjang pendidikan dasar serta penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun. Kategori sumber data dokumen adalah beragam catatan, risalah, dan rekaman yang berkenaan dengan dokumen resmi perundang-undangan dan peraturan penyelenggaraan pendidikan dan program Wajar Dikdas Sembilan Tahun.

Adapun kategori sumber data manusia meliputi stakeholders internal dan eksternal yang memiliki hubungan langsung dan tidak langsung dengan manajemen guru pendidikan dasar di Kabupaten


(29)

Kuningan. Manusia sebagai sumber data penelitian ini dipilih secara purposif, yang jumlahnya ditentukan berdasarkan konsep bola salju; artinya kecukupan sampel diukur berdasarkan kecukupan informasi, data, dan fakta yang telah diperoleh. Ukuran kecukupan informasi, data, dan fakta yang dimaksud tercermin dalam intensitas pengulangan kesamaan keterangan dari beragam kategori subjek tersebut.

Penelitian ini diawali dengan penjajagan dan observasi lokasi penelitian untuk mengenali secara pasti mengenai tempat dilaksanakannya penelitian. Selain itu ditujukan pula untuk mengenali konsep dasar masalah yang mungkin dapat dikembangkan, dan memahami ketersediaan data yang diperlukan dalam penelitian. Dalam proses observasi awal ini, penulis meninjau instansi-instansi yang akan dijadikan objek penelitian dan melakukan wawancara pendahuluan dengan pihak-pihak terkait.

Observasi awal diarahkan kepada pencarian informasi empirik berkenaan dengan kebijakan pembangunan pendidikan, rencana strategik pengembangan pendidikan, kondisi umum tenaga pendidik dan proses pendidikan di satuan-satuan pendidikan dasar dan menengah di Kabupaten Kuningan.

C. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data penelitian ini menggunakan tiga teknik utama, yaitu observasi, wawancara, dan studi dokumentasi.


(30)

1. Observasi

Observasi penulis lakukan secara berkelanjutan agar diperoleh informasi dari tangan pertama mengenai beragam kondisi yang terkait dengan pokok masalah penelitian. Untuk itu, penulis melakukan pengamatan partisipasi aktif dan pasif secara bergantian dengan memperhatikan sifat situasi dan peristiwa yang diamati serta keterlibatan penulis dengan responden.

Pilihan tingkat partisipasi tersebut dimaksudkan agar penulis dapat melakukan pendekatan terhadap semua responden dalam suasana persahabatan. Sejalan dengan maksud itu, penulis pun berkeinginan agar kehadiran di lokasi penelitian tidak mengganggu atau mempengaruhi kewajaran proses kegiatan yang biasa dilakukan oleh responden.

2. Wawancara

Pelaksanaan wawancara pada prinsipnya dimaksudkan untuk mendapatkan data yang cukup sehubungan dengan pokok masalah penelitian yang telah diidentifikasi. Kegiatan wawancara ini penulis lakukan secara terus menerus dengan responden dalam berbagai situasi, meskipun kadangkala dilakukan pula dalam situasi yang khusus.

Tipe wawancara yang lebih banyak penulis lakukan dalam proses pengumpulan data ini adalah wawancara tak terstruktur, terfokus pada suatu masalah tertentu dan berisi pertanyaan-pertanyaan yang


(31)

berpindah-pindah dari satu pokok ke pokok lain, sepanjang berkaitan dengan masalah yang diteliti serta menjelaskan aspek-aspeknya.

3. Studi Dokumentasi

Selain observasi dan wawancara, penulis menggunakan pula teknik pengumpulan data melalui studi dokumentasi. Data yang diperoleh dari studi dokumentasi, penulis manfaatkan sebagai bahan triangulasi untuk pengecekan kesesuaian data.

Untuk memilih dokumen sebagai sumber data, penulis mendasarkan diri kepada kriteria sebagai berikut: keotentikan isi dokumen, isi dokumen dapat diterima sebagai suatu kenyataan, dan kecocokan atau kesesuaian data untuk menambah pengertian tentang masalah yang diteliti.

D. PROSES PENGUMPULAN DATA

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini penulis tempuh melalui tahap orientasi dan overview, tahap eksplorasi (focused exploration), dan tahap member check.

Tahap pertama, orientasi dan overview. Pada tahap ini penulis mencari dan mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk menetapkan fokus penelitian. Untuk itu penulis mempelajari berbagai dokumen termasuk kajian teoretik, wawancara dan observasi yang bersifat umum. Selanjutnya, menelaah informasi yang diperoleh untuk


(32)

menemukan hal-hal yang menarik dan bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.

Tahap kedua, eksplorasi (focused exploration). Pada tahap ini, penulis mempertajam fokus penelitian agar pengumpulan data lebih terarah dan spesifik. Pada tahap ini, penulis melakukan wawancara untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam mengenai aspek-aspek empirik yang ingin diungkap oleh fokus penelitian. Selanjutnya, mengobservasi hal-hal yang dianggap terkait dengan fokus penelitian, dan memastikan keterkaitan antara hasil penelaahan berbagai dokumen dengan fokus penelitian.

Untuk lebih komprehensifnya keterangan lapangan, penulis pun meminta bantuan informan yang berkemampuan dan memiliki pengetahuan yang luas mengenai aspek-aspek tertentu dari fokus penelitian ini, sehingga didapatkan data dan informasi yang lebih mendalam.

Tahap ketiga, member check. Dimaksudkan untuk mengecek kebenaran data atau informasi yang dikumpulkan. Tahap ini merupakan tahap untuk memperoleh kredibilitas hasil penelitian. Tahap ini cukup penting karena data harus diakui dan diterima kebenarannya oleh sumber informasi, dan oleh sumber atau informan lainnya.


(33)

E. PENGECEKAN KESAHIHAN DATA

Untuk mengecek kesahihan atau keterpercayaan data penelitian

ini, penulis menggunakan kriteria sebagai berikut: (1)

kredibilitas/derajat kepercayaan; (2) transferabilitas/keteralihan; (3) dependabilitas/ketergantungan; dan (4) konfirmabilitas/kepastian.

Kredibilitas atau derajat kepercayaan dipergunakan untuk mengetahui sejauh mana kebenaran hasil penelitian dapat mengungkapkan realitas yang sesungguhnya. Transferabilitas atau keteralihan merupakan kriteria kesahihan hasil penelitan yang menjamin bahwa hasil penelitian yang diperoleh dapat diterapkan dalam konteks lain. Kesahihan data ini menyatakan bahwa generalisasi suatu temuan berlaku pada semua kondisi yang sama atas dasar penemuan yang diperoleh dari sampel yang representatif.

Dependabilitas atau ketergantungan sama dengan reliabilitas dalam penelitian nonkualitatif. Reliabilitas mengacu kepada sejauh mana penelitian dapat direfleksikan. Reliabilitas suatu penelitian adalah suatu teknik yang dipergunakan berulangkali terhadap objek yang sama akan menghasilkan data yang sama pula.

Untuk menjamin dependabilitas penelitian ini penulis melakukan: (a) penentuan langkah-langkah penelitian secara sistematik; dan (b) berupaya memelihara konsistensi penggunaan instrumen. Upaya ini


(34)

dilakukan dengan cara membuat catatan lapangan, hasil wawancara, hasil observasi, dan analisis dokumen.

Konfirmabilitas atau kepastian identik dengan konsep objektivitas dalam penelitian nonkualitatif. Kriteria ini berkaitan dengan masalah kesepakatan antara subjek yang terkait dalam penelitian. Suatu penelitian dikatakan objektif jika disepakati/diakui oleh beberapa orang. Dengan demikian, sesuatu yang objektif ialah yang dapat dipercaya dan dipastikan secara faktual.

Nilai dependabilitas penelitian berkaitan dengan seberapa jauh hasil penelitian bergantung kepada objektivitas untuk dibuktikan kebenarannya. Konsep dependabilitas merupakan hasil penelitian dalam pengumpulan data, pembentukan dan penggunaan konsep-konsep dalam membuat kesimpulan.

Untuk memeriksa kesahihan data hasil penelitian ini penulis menempuh cara-cara berikut ini.

1. Memperdalam Pengamatan

Dalam hal ini penulis berupaya meningkatkan intensitas dan memperdalam pengamatan untuk mendapatkan data yang lengkap, akurat, dan sesuai dengan fokus penelitian. Melalui pengamatan yang tekun, penulis melakukan pengamatan secara terus menerus dalam waktu yang relatif lama dan memusatkan perhatian pada masalah utama. Dengan cara demikian penulis dapat memahami semua kondisi


(35)

sehubungan dengan masalah yang diteliti secara menyeluruh dan mendalam sehingga hasil penelitian dapat dipercaya kebenarannya.

2. Triangulasi

Triangulasi penulis tempuh melalui pengecekan data dari pihak lain sebagai pembanding. Untuk penelitian ini prosedur triangulasi yang penulis lakukan ialah membandingkan hasil observasi dan wawancara dengan berbagai sumber data yang merupakan sampel penelitian.

3. Member Check

Member check dilakukan kepada semua pihak yang terlibat dalam proses pengumpulan data. Untuk itu penulis meminta pendapat responden mengenai hasil penelitian, selanjutnya responden diberi kesempatan untuk menyetujui, menambah, memperkuat, memperbaiki atau membuat kesimpulan menurut persepsinya sendiri terhadap yang sudah terkumpul.

4. Audit Trail

Pemeriksaan terhadap dependabilitas dan konfirmabilitas hasil penelitian ini, penulis lakukan melalui proses audit trail, yaitu mempelajari laporan lapangan secara seksama. Untuk konfirmabilitas, penulis melakukan langkah-langkah sebagai berikut: (a) mencatat selengkap mungkin hasil wawancara, observasi, dan studi dokumentasi sebagai data mentah untuk kepentingan analisis selanjutnya; (b)


(36)

menyusun hasil analisis dengan cara menyeleksi data mentah tadi, kemudian dirangkum dan disusun kembali dalam bentuk deskripsi yang lebih sistematis; (c) membuat penafsiran atau simpulan sebagai sintesis data; dan (d) menyusun laporan yang menggambarkan seluruh proses penelitian sejak prasurvey, penyusunan desain penelitian sampai pengolahan dan penafsiran data.

F. ANALISIS DATA

Analisis data yang penulis lakukan, mengikuti proses sebagaimana yang dianjurkan oleh Moleong (1998: 37), yaitu dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara dan pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya. Adapun prosedur analisis data yang penulis tempuh dalam penelitian ini terdiri atas empat langkah berikut ini.

1. Penelaahan dan Reduksi Data

Reduksi data dilakukan dengan cara memilih data yang sudah disusun dalam laporan, kemudian disusun kembali dalam bentuk uraian terperinci. Selanjutnya laporan yang direduksi dirangkum dan dipilih berdasarkan hal-hal pokok serta difokuskan pada hal-hal yang penting dan relevan dengan fokus penelitian.


(37)

Dengan cara tersebut diharapkan akan memperoleh gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengumpulan data, dan memudahkan penulis mencari kembali data yang masih diperlukan. Dalam tahap ini, penulis melakukan pula penelaahan data hasil observasi, wawancara, dan studi dokumentasi dari berbagai sumber data yang diperoleh secara langsung dari lapangan.

2. Unitisasi Data

Dalam tahap ini penulis membuat batasan untuk setiap satuan data, kemudian mengkodenya sehingga data yang sudah diperoleh ditransformasikan dan diorganisasi ke dalam unit-unit berdasarkan karakteristiknya. Dengan kata lain, penulis menyusun data dalam satu satuan masalah, dan mengubah data mentah secara sistematis menjadi satu satuan yang dapat diuraikan sesuai dengan ciri-cirinya.

3. Kategorisasi Data

Dalam tahap kategorisasi data ini penulis memilah-milah sejumlah unit menjadi satu kategori tertentu berdasarkan kesamaan karakteristiknya. Selanjutnya, terhadap sejumlah unit data yang telah dikategorisasi itu penulis menguraikannya secara tertulis agar semua aspek yang terdapat di dalamnya dapat dipahami.

Melalui proses kategorisasi, tersusun data yang dapat penulis tafsirkan maknanya. Menyusun data ini berarti menggolongkan pola,


(38)

tema, unit atau kategori. Apabila telah memperoleh data yang banyak maka data tersebut diseleksi dan dibandingkan supaya dapat dimasukkan ke dalam satu unit atau kategori.

4. Interpretasi Data

Tahap interpretasi merupakan upaya penulis memaknai data yang telah dikategorisasi dan menggambarkan makna analitik atas unit dan kategori serta keterkaitannya antara satu dengan lainnya. Keseluruhan kegiatan yang penulis lakukan dalam tahap interpretasi data tersebut menghasilkan kumpulan analisis yang berbentuk ihktisar data.


(39)

BAB V

STRATEGI MANAJEMEN GURU YANG BERORIENTASI PEMERATAAN AKSES DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

DASAR

A. Asumsi Strategi

Pengajuan konsep alternatif ini didasarkan pada asumsi-asumsi

berikut ini. Pertama, urgensi kompetensi profesional guru. Pelaksanaan

tugas-tugas profesional guru dikdas harus makin disesuaikan dengan tuntutan normatifnya. Secara normatif, Pasal 20 UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menandaskan, dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berkewajiban:

(a) merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses

pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;

(b) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan

kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan

perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

(c) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar

pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;

(d) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum,


(40)

(e) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Lebih lanjut Pasal 28 PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menjabarkan bahwa:

(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi

sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional;

(2) Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

(3) Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang

pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: (a) Kompetensi pedagogik; (b) Kompetensi kepribadian; (c) Kompetensi profesional; dan (c) Kompetensi sosial;

(4) Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/atau sertifikat

keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan;


(41)

(5) Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Kemampuan profesional guru terkait erat dengan kemampuan-kemampuan sosial dan personal. Kemampuan sosial meliputi kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tujuan kerja dan lingkungan sekitar sewaktu menjalankan tugasnya sebagai pengajar. Kemampuan personal meliputi penampilan sikap positif atas situasi kerja sebagai pengajar dan situasi pendidikan, pemahaman atas nilai-nilai yang seyogianya dianut oleh seorang pengajar dan penampilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan anak didiknya.

Kemampuan profesional meliputi penguasaan materi bahan ajar, konsep-konsep keilmuan bahan ajar tersebut, landasan kependidikan, proses-proses pendidikan dan pembelajaran siswa. Dalam proses belajar mengajar, konsep kemampuan profesional guru direfleksikan dalam pelaksanaan pekerjaan yang terdiri atas tiga tahapan: (1) tahap kesiapan guru untuk melakukan tugas yang ditunjukkan dengan perencanaan pengajaran; (2) tahap pelaksanaan prosedur pengajaran berdasarkan perencanaan yang telah dipersiapkan; dan (3) tahap


(42)

ketiga berkaitan dengan kemampuan guru dalam membina hubungan antar pribadi.

Dari perspektif visi Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan,

pengelolaan tenaga pendidik dikdas mengandung pemikiran

konsepsional agar seluruh tenaga pendidik: (1) memiliki sense of

quality; (2) memahami kebutuhan stakeholders pendidikan; (3) menerapkan wawasan mutu dan wawasan keunggulan; (4) mengembangkan prakarsa, inisiatif, dan kemandirian manajemen; (5)

menganalisis performance satuan pendidikan mulai dari identifikasi

kompetensi, penilaian potensi, kekuatan pendorong dan asumsi pesaing; dan (6) berpikir strategik dengan menerjemahkan semua masukan untuk menyusun strategi yang efektif.

Kedua, nilai strategik pendidikan dasar. Setiap warga negara berhak memperoleh layanan pendidikan. Mereka juga wajib mengikuti pendidikan yang dibiayai oleh Pemerintah. Peran Pemerintah tidak cukup hanya dengan memberikan kapasitas layanan pendidikan untuk memperluas akses saja. Tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah mengelola pola pikir masyarakat tentang pentingnya pendidikan bagi kehidupan di masa mendatang.

Penuntasan Wajar Dikdas terkait dengan aspek tersedianya pendidikan dan cara mengelola masyarakat wajib belajarnya. Kewajiban Pemerintah memberikan kapasitas pendidikan yang mencukupi seperti


(43)

Unit Sekolah Baru (USB), Ruang kelas Baru (RKB), serta Pendidikan Kesetaraan Paket A dan B.

Dalam hal penuntasan Wajar Dikdas, Pemerintah berusaha melakukan berbagai upaya terobosan guna memberikan layanan kepada anak usia 13-15 tahun. Usaha terobosan yang dilakukan dalam waktu singkat adalah mendorong semua siswa kelas VI SD/MI agar setelah lulus melanjutkan ke SMP/MTs/Setara; penyisiran anak usia sekolah; pemanfaatan USB, RKB dan SD-SMP Satu Atap.

Ketiga, pengelolaan pendidikan dasar dalam konteks kebijakan otonomi daerah. Kebijakan pembangunan sektor pendidikan di daerah merujuk kepada makna yang tersirat dalam amanat UUD 1945, Pasal 31, ayat (3): “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Pasal ini menandaskan: (1) tanggung jawab pemerintah dalam pendidikan; dan (2) bahwa di Indonesia hanya ada satu sistem pendidikan, yaitu sistem pendidikan nasional Indonesia.

Pemberdayaan pendidikan dalam bingkai kebijakan otonomi daerah, seyogianya berfokus sekurang-kurangnya pada dua dimensi. Pertama, perbaikan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Kedua,


(44)

pendidikan sebagai investasi peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Dimensi pertama mengharuskan pemberdayaan pendidikan difokuskan kepada peningkatan mutu masukan, proses, dan keluaran pendidikan. Dimensi kedua berkenan dengan kriteria dan arah pembiayaan pendidikan. Pelaksanaan otonomi daerah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sistem alokasi dan manajemen pembiayaan pendidikan.

Peranan Daerah menjadi lebih besar dalam menentukan berbagai kebijakan yang berkenaan dengan penggunaan anggaran pendidikan. Dari perspektif ini, peningkatan mutu pendidikan menuntut formulasi pembiayaan pendidikan yang berbasis kebutuhan riil sekolah. Formula pembiayaan tersebut dimaksudkan untuk mengakomodasi filosofi pemerataan dan keadilan yang menjangkau semua peserta didik dari beragam latar belakang sosial-ekonomi.

Persoalan pembiayaan pendidikan sekarang bukan lagi “siapakah yang harus dan tidak harus mendapatkan prioritas dalam pembiayaan pendidikan”, tetapi “dalam jumlah berapa kelompok murid/sekolah tertentu mendapatkan alokasi dana, dalam jumlah berapa pula untuk

kelompok murid yang lain dan apa kriterianya?” (Caldwell, et.al, dalam


(45)

B. Komponen dan Prasyarat Strategi

Keseluruhan faktor kondisi faktual dan asumsi-asumsi di atas meniscayakan suatu konsep strategi manajemen guru, suatu konsep strategis pada organisasi perangkat daerah yang berorientasi pada percepatan, perluasan dan pemerataan akses Wajar Dikdas di satu pihak dan diharapkan meningkatkan mutu pendidikan dasar dipihak lain.

Strategi sebagai alat yang penting untuk mencapai keunggulan bersaing pencapaian tujuan penuntasan Wajar Dikdas di Kabupaten

Kuningan, hendaknya dipahami dengan baik konsep distinctive

competence yaitu kemampuan spesifik suatu organisasi yang berupa (1) keahlian tenaga kerja dan (2) kemampuan sumber daya (Rangkuti, 2002,5) untuk melakukan tindakan yang dilakukan oleh lembaga agar dapat melakukan kegiatan spesifik yang dikembangkan agar lebih unggul (competitive advantange). Menurut Hamel dan Prahaland (dalam Rangkuti,2002:6) strategi itu merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan.

Dua sisi kembar orientasi tersebut lebih lanjut mempersyaratkan dipenuhinya elemen-elemen: (1) Renstra yang didayagunakan sebagai pemandu peran Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan; (2) manajemen


(46)

guru dikdas terutama berkenaan dengan aspek-aspek perencanaan, rekrutmen dan seleksi, serta program dan orientasi pengembangannya; (3) kriteria proses, keluaran dan dampak program pengembangan guru yang mengakomodasi kehendak dan tuntutan percepatan penuntasan wajar dikdas sekaligus peningkatan mutu pendidikan dasar.

Selanjutnya dapat dikonstruksi strategi alternatif manajemen guru pendidikan dasar yang mengakomodasi kebutuhan dan perkembangan masa depan pendidikan Kabupaten Kuningan. Strategi yang dimaksud, penulis sajikan dalam gambar 5.1 berikut:

RENSTRA PENDIDIKAN KABUPATEN KUNINGAN PERAN DINAS PENDIDIKAN •PELAYAN •FASILITATOR •PENDAMPING •MITRA

KRITERIA FUNGSI, PROSES, DAN KELUARAN MANAJEMEN GURU DIKDAS

KRITERIA PERENCANAAN •KOMPREHENSIF •BERORIENTASI MUTU DAN KOMPETENSI REKRUTMEN DAN SELEKSI PENGEMBANGAN KRITERIA PROSES PENGEMBANGAN •SINERGIK INTEGRAL

•ALIANSI STRATEGIK

•MEMBERDAYAKAN KRITERIA KELUARAN GURU KOMPETEN & PROFESIONAL PEMERATAAN AKSES DAN MUTU DIKDAS YANG DIDUKUNG OLEH GURU KOMPETEN & PROFESIONAL KRITERIA PROGRAM PENGEMBANGAN

MURAH, MUDAH, TEPAT WAKTU, TEPAT MUTU TERDUKUNG SUMBERDAYA PENEMPATAN LANDASAN KEBIJAKAN MANAJEMEN GURU DIKDAS Gambar 5.1

STRATEGI ALTERNATIF MANAJEMEN GURU BERORIENTASI PEMERATAAN AKSES DAN PENINGKATAN MUTU DIKDAS DI KABUPATEN KUNINGAN


(47)

Berdasarkan gambar di atas diperinci komponen-komponen dan prasyarat sebagai berikut; Renstra sebagai pemandu peran Dinas Pendidikan terkait dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 bahwa urusan bidang pendidikan merupakan urusan kewenangan wajib Pemerintah Kabupaten/Kota. Dengan demikian, beban berat untuk meningkatan kualitas pendidikan dan sumber daya manusia, berada pada Pemerintah Kabupaten/Kota. Di pihak lain, Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki berbagai keterbatasan terutama dalam hal pendanaan dan sumber daya manusia.

Keterbatasan tersebut mengharuskan Pemerintah Kabupaten/Kota bekerja keras untuk dapat menyelenggarakan pelayanan pendidikan dengan baik. Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam kerangka pelaksanaan pengembangan pendidikan berbasis masyarakat dapat dikelompokkan menjadi empat hal penting, sebagaimana diuraikan berikut ini:

(1) Pelayan Masyarakat: Melayani masyarakat merupakan pilar utama dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan kekuatan dirinya untuk dapat berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua aparat dan jajarannya perlu menampilkan diri sebagai pelayanan yang cepat tanggap, cepat memberi perhatian, tidak berbelit-belit dan bukan minta dilayani. Masyarakat harus diposisikan sebagai fokus pelayanan yang utama.


(48)

(2) Fasilitator: Aparat Pemerintah di bidang pendidikan merupakan fasilitator yang ramah, menyatu dengan masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu menangkap aspirasi masyarakat, mampu membuka jalan, mampu membantu menemukan peluang, mampu memberikan dukungan, mampu meringankan beban pekerjaan masyarakat, mampu menghidupkan komunikasi dan partisipasi masyarakat tanpa masyarakat merasa terbebani.

(3) Pendamping: Aparat pendidikan harus melepaskan perannya sebagai penentu segalanya dalam pengembangan program belajar menjadi pendamping masyarakat yang setiap saat harus melayani dan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat.

(4) Mitra: Aparat pendidikan harus dapat memerankan diri sebagai mitra bagi masyarakat. Sebagai mitra, hubungan dalam pengambilan keputusan bersifat horisontal, sejajar, setara dalam satu jalur yang sama.

Pada proses manajemen guru dikdas, renstra dan peran tersebut perlu diimplementasikan ke dalam perencanaan yang komprehensif dan tepat. Artinya, Dinas Pendidikan menerjemahkannya ke dalam perencanaan pendidikan yang memuat faktor-faktor: (1) identifikasi kinerja guru dengan isu-isu yang berkembang; (2) konsensus bersama tentang maksud, tindakan, tujuan, anggaran dan program pengembangan guru; (3) penilaian terhadap lingkungan internal


(49)

dan eksternal guru; dan (4) kriteria perubahan kuantitatif dan kualitatif guru.

Adapun kriteria program pengembangan meliputi: (1) murah dalam arti tidak memakan biaya yang tinggi; (2) mudah artinya dapat segera dilaksanakan; (3) ketepatan waktu pelaksanaan program; dan (4) tepat mutu disesuaikan dengan rencana, bermutu dalam proses

sehingga menghasilkan out put sesuai yang direncanakan; dan (5)

didukung oleh sumber daya program yang telah tersedia.

Kriteria proses merupakan faktor krusial dalam program pengembangan guru dikdas. Ego sektoral seperti antara Dinas Pendidikan dengan Badan Kepegawaian Daerah, seringkali sulit dihindari, terutama yang berkenaan dengan kebijakan, kriteria, dan

sasaran program pengembangan. Oleh karena itu, proses

pengembangan guru dikdas harus sinergik integral, dalam arti dijadikan komitmen bersama antar dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten.

Berdasarkan komitmen itulah dirumuskan arah dan prioritas programnya. Sedangkan aliansi strategik dimaksudkan bahwa program dan proses pengembangan guru dikdas melibatkan elemen-elemen dan kelembagaan yang berkompeten untuk itu. Kelembagaan tersebut misalnya LPTK setempat dan di daerah terdekat, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan dan Badan Akreditasi Sekolah.


(50)

Adapun kriteria keluaran program pengembangan adalah guru dikdas yang kompeten dan profesional. Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 5.2 profil guru seperti itu terlihat dari derajat penguasaan hakikat bidang ilmu, tujuan pembelajaran bidang ilmu, dan belajar mengajar bidang ilmu.

GURU DIKDAS YANG KOMPETEN DAN PROFESIONAL

TUJUAN PEMBELAJARAN BIDANG ILMU BELAJAR MENGAJAR BIDANG ILMU HAKIKAT BIDANG ILMU PRODUK BIDANG ILMU METJAR BIDANG ILMU KONSEP, PRINSIP, TEORI BIDANG ILMU DALAM KURIKULUM DAN BUKU TEKS METODE BIDANG ILMU PEMAHAMAN GURU ATAS KAITAN FUNGSIONAL TUJAR DAN KEBUTUHAN SISWA PEMAHAMAN GURU ATAS HAKIKAT & TUJAR BIDANG ILMU

PEMAHAMAN GURU ATAS 1. ESENSI BELAJAR MENGAJAR

BID.ILMU (VERSI,MODEL,TEORI BM)

2. FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN

TINDAKAN DAN KEPUTUSAN GURU DALAM

MENGELOLA PROSES PEMBELAJARAN

Gambar 5.2

KRITERIA KAPABILITAS GURU DIKDAS KELUARAN PROGRAM PENGEMBANGAN KOMPETENSI

Tercukupinya jumlah dan kelayakan guru, merupakan prasyarat penting bagi percepatan proses penuntasan wajar dikdas sekaligus pemerataan mutu dikdas. Dalam perspektif kebijakan pendidikan


(51)

tingkat makro, sangat jelas bahwa mutu menjadi faktor kunci dalam memaknai konsep pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.

C. Validasi Konsep

Terdapat sejumlah komponen yang satu sama lain berperan penting dalam dalam strategi alternatif tersebut. Komponen pertama adalah renstra, yang didalamnya mencantumkan visi sebagai sketsa masa depan organisasi yang dapat dilihat sekarang sehingga mendorong setiap orang untuk mulai hidup dan bekerja dalam situasi yang dikehendaki itu (Salusu, 1996:18). Visi merupakan pula representasi dari keyakinan tim manajemen mengenai bagaimanakah seharusnya bentuk organisasi di masa depan di dalam pandangan

pelanggan, karyawan, pemilih, dan stakeholder penting lainnya

(Morrisey, 1996:72).

Enam pertanyaan yang harus diperhatikan agar organisasi mampu mewujudkan kinerjanya di masa depan dengan baik yaitu: (1) apa yang dipandang sebagai kunci bagi masa depan organisasi; (2) kontribusi unik apakah yang dapat diberikan organisasi di masa depan; (3) nilai apakah yang perlu ditekankan; (4) apakah yang seharusnya menjadi core competencies; (5) bagaimana posisi organisasi pada pelanggan, pasar, pertumbuhan, teknologi, kualitas, dan sebagainya; serta (6) apa yang dapat dilihat sebagai kesempatan terbesar organisasi untuk tumbuh dan berkembang di masa depan (Morrisey, 1996:73).


(52)

Sejauh berkenaan dengan keberadaan, fungsi, dan peran Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan, keenam pertanyaan mengenai visi itu harus diekpresikan dalam corporate values Dinas Pendidikan, meliputi: (1) innovation; (2) excellence; (3) participation; (4) ownership; dan (5) leadership; yang secara keseluruhan menjadikan kinerja organisasi lebih baik (Quigley, 1993:76).

Visi menuntut perumusan yang jelas agar: (1) anggota organisasi akan memperoleh gambaran tentang rupa organisasi di masa depan; (2) mampu mencegah timbulnya perdebatan antar subjek pengambil keputusan tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana, mengapa dan sebagainya, sehingga dapat menghemat waktu; dan (3) memberikan petunjuk bagi para perencana dalam menjabarkan rencana-rencana organisasi dan mengendalikannya.

Bryson (2004:67) memerinci indikator visi keberhasilan sebagai berikut: (1) menekankan tujuan, perilaku, kriteria kinerja, aturan keputusan dan standar yang merupakan pelayanan publik dan bukan pelayanan untuk diri sendiri; (2) disebarkan secara luas di kalangan anggota organisasi dan stakeholders kunci lainnya; dan (3) digunakan untuk menyebarluaskan keputusan dan tindakan organisasi yang penting dan minor.

Visi pendidikan dan visi Dinas Pendidikan menuntut dilakukannya dua hal dalam penyelenggaraan dikdas di Kabupaten Kuningan.


(53)

Pertama, menciptakan iklim kondusif secara makro institusional terhadap pengembangan wawasan keunggulan dalam keseluruhan aktivitas pendidikan yang diselenggarakan. Hal yang dapat dilakukan antara lain mendorong motivasi berprestasi kepada semua pihak, kesadaran mengembangkan keahlian dan profesionalisme.

Kedua, menciptakan iklim kompetitif yang positip dalam semua aktivitas pendidikan. Dalam hal ini dibutuhkan sistem yang terbuka dan

adil dalam memberikan reward dan punishment kepada semua pihak

yang terlibat. Sistem yang demikian memungkinkan terciptanya suasana kerja dengan disiplin tinggi, disertai ketekunan dan dedikasi kerja yang tinggi bagi setiap orang.

Pendidikan dasar bernilai strategik, oleh karenanya setiap satuan pendidikan dasar formal yaitu SD/MI, SMP/MTs maupun program Paket A dan Paket B pada jenis pendidikan non formal harus ditingkatkan efektivitasnya. Dilihat dari domain prestasi siswa, efektivitas itu harus tercermin dalam: (1) penguasaan ilmu pengetahuan; (2) aplikasi ilmu pengetahuan atau pemecahanan masalah; (3) keterampilan personal dan sosial; (4) motivasi dan komitmen.

Meskipun dikdas berkategori public goods, tetapi tidak berarti bahwa satuan-satuan dikdas mengabaikan efektivitas dan efisiensi internalnya. Satuan-satuan dikdas harus mampu menghasilkan lulusan


(54)

yang berkualitas dan dengan biaya yang kompetitif (cost effectiveness) seperti halnya jenis pendidikan lainnya.

Komponen kedua adalah perencanaan yang merupakan dimensi sekaligus fungsi yang mendasar dalam manajemen pendidikan. Pendidikan berlangsung di tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak dapat menghindari implikasi dan konsekuensi perkembangan yang berlangsung di masyarakat. Makin tingginya tuntutan masyarakat akan kualitas hasil pendidikan, mengharuskan satuan-satuan pendidikan berbenah diri secara berkelanjutan untuk memberikan kinerja terbaiknya.

Dalam konteks itulah Dinas Pendidikan harus membuat perencanaan yang komprehensif. Urgensi perencanaan pendidikan dilandasi oleh kesadaran bahwa manusia dan masyarakat dalam kenyataannya senantiasa berubah, baik direncanakan maupun yang tidak direncanakan, baik yang dapat diterima atau yang harus ditolak. Pendidikan juga dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi, dan melakukan upaya yang tepat dan normatif sesuai dengan cita-cita masyarakatnya. Dengan demikian pendidikan tidak resisten terhadap perubahan, tetapi mampu mengendalikan arah perubahan, dan mengantisipasinya melalui perencanaan yang tepat.

Proses perencanaan itu sendiri tidak lagi cukup dilakukan dengan cara-cara konvensional, melainkan harus dilakukan secara menyeluruh


(55)

dengan melibatkan banyak pihak. Perencanaan pendidikan sebagai sistem, memuat langkah-langkah prosedural dan seperangkat komponen yang diperlukan selama proses perencanaan. Langkah-langkah perencanaan yang dimaksud, diperinci oleh Hardjodipuro (1979) sebagai berikut: (1) identifikasi dan dokumentasi berbagai kebutuhan; (2) pemilihan kebutuhan-kebutuhan yang mempunyai prioritas untuk pelaksanaan; (3) perincian hasil yang harus dicapai untuk setiap kebutuhan yang telah dipilih; (4) identifikasi syarat-syarat untuk memenuhi setiap kebutuhan termasuk perincian untuk memenuhi kebutuhan dengan cara problem solving; (5) suatu urutan hasil-hasil yang diinginkan untuk memenuhi kebutuhan yang telah diidentifikasi; dan (6) identifikasi alternatif-alternatif metode dan alat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan, termasuk menentukan kebaikan dan keburukan dari setiap set metode dan alatnya.

Adapun komponen-komponen yang diperlukan dalam proses perencanaan antara lain: (1) sistem nilai, yaitu harapan, kebutuhan dan tata nilai yang berkembang di masyarakat di mana pendidikan tersebut diselenggarakan; (2) tujuan yang berfungsi untuk memahami maksud dan sasaran satuan-satuan pendidikan yang bersangkutan; (3) data dan informasi yang mendukung pengetahuan tentang keberadaan satuan-satuan pendidikan; (4) proses perencanaan yang terdiri atas beberapa tahapan; (5) keluaran yang diharapkan terwujud selaras


(56)

dengan tujuan satuan-satuan pendidikan; (6) kriteria yaitu berupa standar mutu yang dapat menjamin keberhasilan pelaksanaan suatu rencana; dan (7) pembatas yang merupakan batasan wilayah perencanaan maupun keterbatasan sumber bagi perencanaan.

Perencanaan sebagai sistem harus senantiasa berorientasi pada hasil sehingga terukur dan jelas penentuan tujuannya. Tujuan yang terukur dicirikan oleh aspek-aspek prosedur yang jelas, hubungan sinergik antar komponen dan adanya evaluasi secara berkelanjutan. Sistem tersebut tidak lain adalah aplikasi logical problem solving yang memungkinkan para penyelenggara pendidikan mampu mengelola pendidikan secara baik melalui perencanaan yang tepat.

Perencanaan yang komprehensif menunjukkan pula luasnya pengaruh perencanaan terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi lainnya dalam organisasi. Artinya, berhasil atau tidaknya fungsi-fungsi pengorganisasian, koordinasi dan evaluasi, sangat ditentukan oleh baik buruknya rencana yang telah dibuat. Selain itu, Perencanaan yang komprehensif harus mengakomodasi banyak aspek organisasional dalam perencanaannya. Kaufman (1988:90) mengungkapkan sifat

komprehensif perencanaan pendidikan itu dengan istilah a holistic

focus. Oleh karenanya, selain berfokus pada peserta didik, perencanaan pendidikan harus pula menjamin terwujudnya cita-cita, kemampuan, potensi masa depan, harapan dan aspirasi semua pihak.


(1)

University. (Online). Tersedia: http://[email protected] (28 Maret 2009).

Jarvis, P. (1997). Profesional Education, London-Canbera: Croom

Helm.

Jauch, L.R., and Glueck, W. F. (1988). Manajemen Strategis dan

Kebijakan Perusahaan, Jakarta: Erlangga.

Jeffrey P. at al, (2007). Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya

Manusia, Yogyakarta: Amara Book.

Jiyono, at al. (1999). School Based Management di Tingkat Pendidikan Dasar, Jakarta: Bapenas.

Johnsen B. (2001). Curricula for the Plurality of Individual Learning Needs, Article in Johnsen B & Skorten M.D.(ed) Education-Special Needs-Education:An Introduction, Oslo:Unipub.

Kasmianto. (1997). Studi tentang Pengelolaan Guru Honor Daerah di Kabupaten Indragiri Hulu, Tesis pada PPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.

Kasmianto. (2002). Pengembangan Sumber Daya Manusia (Tenaga

Kependidikan) Dalam Era Otonomi Daerah, Disertasi Doktor pada PPS UPI Bandung:Tidak diterbitkan.

Kaufman, Roger. (1988). Planning Educational Systems. New Holland

Avenue: Technomic Publishing Company, Inc.

Kydd, L., Crawford, M., dan Riches, C. (Eds), (2004). Professional Development for Educational Management Pengembangan Profesional untuk Manajemen Pendidikan (terjemahan), Jakarta: Grasindo.

Lieberman, M. (2000). Understanding the Teacher Union Contract: A Citizen's Handbook . dalam: CANADIAN Social Studies, 36, (3),

2002 (Online). Tersedia http: // www.quasar.ualberta. ca/css/Css

(20 April 2009).

Lincoln, Y. S. dan Guba, E. G. (1984). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: Sage Publications.

Lunenburg, F. C., & Ornstein, A. C. (2004). Educational administration: Concepts and Practices. (Rev. Ed.). Belmont, CA: Wadsworth /Thomson. [Online] Tersedia: http://www.fetchbook. info [6 September 2005].

Luthans, F. dan Davis, K. (1996). Human Resources and Personnel


(2)

Makmun, A. S. (1999). Pemberdayaan Sistem Perencaraan dan Manajemen Berbasis Sekolah Menuju Kearah Peningkatan Kualitas Kinerja Pendidikan Yang Diharapkan, Pidato Pengukuhan, IKIP Bandung.

Makmun, A.S. (1996). Analisis Posisi Pendidikan. Jakarta: Biro

Perencanaan Depdikbud.

Makmun, A.S. (1996). Pengembangan Profesi dan Kinerja Tenaga

Kependidikan, Bandung : Program Pascasarjana IKIP Bandung.

Mangkunegara, A. P. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia

Perusahaan, Bandung: Remaja Rosda Karja.

Mangkuprawira, TB. S. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia

Stategik, Bogor: Ghalia Indonesia.

Marshall. P. L. (1998). Toward Developmental Multicultural Education; Case Study of The Exchange Activity dalam Journal of Teacher Education (Online) .49, (1) 57-65. Tersedia :http//psikologi-online-com (13 Maret 2009).

Mathis, R. L, and- Jachson, J. H. (2006). Human Resource

Management, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Salemba Empat.

Moleong, L.J. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Morrisey, G. L. (1996). Pedoman Pemikiran Strategik: Pembangunan

Landasan Perencanaan Anda, Jakarta: Prenhallindo.

Nandika, D. (2007). Pendidikan di Tengah Gelombang Perubahan, Jakarta: LP3ES.

Nawawi, H. (1992). Admnistrasi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung.

Nawawi, H. (1998). Manajemen strategic dengan Ilustrasi Organisasi

Profit dan Non Profit, Jakarta : Rajawali Perss.

Oklahoma State Departemen of Education. (2002). Teachers Supply

and Demand Study. Oklahoma States Regent of Higher Education.

(Online) Tersedia :

http://www.okhighered.org/studies-reports/teach-supply/study-findings.pdf (20 Maret 2009).

Pidarta, M. (1980). Pengembangan Sikap Keguruan Profesional di IKIP

Surabaya. Disertasi Doktor pada FPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Pidarta, M. (2007). Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: Rineka


(3)

Poster J.B. (2005). Teacher Supply and Demand: How Do Career Changers Preparation Program Realy Work?. Michigan: School Of

Education University of Michigan. (Online) Tersedia

[email protected] (28 Maret 2009).

Preston B. (2002). Teacher Supply and Demand to 2005. A Report

Commisioned by The Australian Council of Dean of Education.

Canbera: Australian Councill of Dean of Education. (Online).

Tersedia http://acde.edu.au/docs/ACDE pdf (1 April 2009).

Purwanto, N. (1998). Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung: Rosdakarya.

Quigley, J. V. (1993). Vision How Leaders Develop It, Share It and Sustain It. New York: Mc Graw Hill Inc.

Rangkuti, F. (2000). Analisis SWOT Tehnik Membedah Kasus Biisnis,

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Republic Of Turkey (2002). Inovation and Development In Education

System. Dalam Jurnal : National Education at The Begining Of 2001. Turkey: Ministery of National Education.

Rice, M. F. (2003). “Organizational Culture, Social Equity and Diversity. Teaching Public Administration in The Post Modern Era”. Texas: A & M University. Dalam Jurnal Of Public Affair Education, 143-154.

Rothborg , M. M. (2006). “Education Free and Compulsory” dalam Ludwig

von Mises Institute. (Online) Tersedia :

http//mises.org/store/education-Free and Compulsory-P94co.aspx. (31-Maret 2009).

Sagala, S. (2007). Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu

Pendidikan, Bandung: Alfabeta.

Said. Y. (1999). The Supply and Demand of Elementary and Secondary

School Teachers In The United State (Online).

http://www.ericdigests.org/2000-3/demand.htm (30 Maret 2009). Salis, E. (1993). Total Quality Management In Education, London: Kogan

Page.

Salusu, J. (1996). Pengambilan Keputusan Strategik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit. Jakarta: Gramedia.

Satori, D. (1989). Pengembangan Model Supervisi Kepala Sekolah

Dasar Studi Efektivitas Sistem Pelayanan Bantuan Profesional bagi Guru-guru Sekolah Dasar di Cianjur. Disertasi Doktor pada FPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Schuler, R. S. dan Jackson. (1997). Personal and Human Resources


(4)

Seagren, A. (2007). Teacher Supply and Demand in Minessota. Minessota: (Online). Departemen Of Education. Tersedia http//education.states mn.us- (30 Maret 2009).

Sergiovanni, T.J. et. al. (1987). Educational Governance and

Administration. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Simamora, H. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta:

STIE YPKN Yogyakarta.

Soetjipto. dan Kosasi, R. (2000). Profesi Keguruan, Jakarta: Depdikbud: Rineka Cipta

Somantri, M. (1999). Pengembangan Model Perencanaan Strategis

Perencanaan Wajib Belajar dan Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar, Disertasi Doktor pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Supriadi, D. (1997). Globalisasi dan Pendidikan: Implikasi pada

Perguruan Swasta Menghadapi Abad ke-21. Bandung: BMPS Jawa Barat.

Supriadi, D. (1998). Mengangkat Citra dan Martabat Guru,

Yogyakarta.: Adicita Karya.

Supriadi, D. (2003). Guru Di Indonesia Pendidikan, Pelatihan dan

Perjuangannya Sejak Zaman Kolonial Hingga Era Reformasi, Jakarta; Direktorat Tenaga Kependidikan Ditjen Dikdasmen Depdiknas.

Surachmad, W. (1982). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito. Surya, M. (2008). Menjadi Guru terus Guru selamanya Guru, Bandung:

Yayasan Bakti Winaya.

Surya, M. (2007). Percikan Perjuangan Guru Menuju Guru Profesional, Sejahtera, dan Terlindungi, Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Surya, M. (1997). “Pergeseran Paradigma Pendidikan Menyongsong

Abad ke 21”. Jurnal Pendidikan IKIP Bandung. Mimbar Pendidikan 4 (XVI), 17-22.

Suryadi A., Tilaar H. A. R. (1993). Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu

Pengantar. Bandung: Rosda Karya.

Suryadi, A. (1999). Pendidikan, Investasi Sumberdaya Manusia dan

Pembangunan, Jakarta: Balai Pustaka.

Sutisna, O. (1993). Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritik untuk

Praktek Profesional, Bandung: Angkasa.

Suwarsono, Alvin, Y.S.O. (1998). Perubahan Sosial dan Pembangunan,


(5)

Suyanto, Djihad, H. (2007). Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia menuju Milinieum III, Yogyakarta: Adicita.

Suyanto. (2006). Dinamika Pendidikan Nasional Dalam Percaturan

Dunia Global, Jakarta: PSAP Muhammadiyah.

Suyanto. (2006). “Membangun Sekolah yang Efektif”. Kompas: Rubrik

Otonomi Daerah. ( 26 Januari 2001).

Suyanto. Abbas. (2001). Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa, Yogyakarta: Adicita.

Terry, G. R. (1986). Azas-Azas Manajemen, Bandung: Alumni.

Tilaar, H. A. R. (2003). Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Tim Studi Wajar Dikdas 9 tahun. (1995). Studi Manajemen Wajib

Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum Ditjen Dikdasmen Depdikbud.

Toha, M. (2007). Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Jakarta: Kecana Prenada Media Group.

Turney C. at al. (1992). The School Manager, North Sidney: Allen & Unwin Pty Ltd.

Umaedi. (2002). Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan

Tahun, Jakarta: Depdiknas.

Undap, Andi. P. P. (1988). Pola Kepemimpinan dan Profesionalisasi

Tenaga Kependidikan di IKIP Manado, Disertasi Doktor pada FPS IKIP Bandung:tidak diterbitkan

Vredenbergt, J. (1984). Pengantar Metodologi untuk Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Gramedia.

Wahjoesumidjo. (1999). Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan

Teoritik dan Permsalahannya, Jakarta: Grafindo Persada.

Wasliman, I. (1999). Studi Pemberdayaan Tim Koordinasi Wajar Dikdas

Dalam Meningkatkan Peranserta Masyarakat pada

Penyelenggaraan Wajar Dikdas di Kotamadya Bandung. Tesis pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Wayne. A. (2000). Teacher Supply and Demand: Surprise From Primary Research. Dalam Educational Poilcy Analysis Archives. (Online) .8 (47). Tersedia: Gene V Glass, Glass-gasu.Edu ( 10 Maret 2009).

Werther, B. W. and Davis, K. (1989). Human Resources and Personal


(6)

Wiest, L. R. (1998). Using Immersion To Shake Up Preservice Teachers & resque; Views About Cultural Differentces. Dalam : Journal Of

Teacher Education (Online) 49,(5). 358-365 tersedia:

http//psikologi-online.com (13 Maret 2009).

Wijaya, C. (2000). Upaya Pembaharuan dalam Bidang Pendidikan dan

Pengajaran, Bandung: Rosdakarya.

Wiliam.K. (1990). In Defence of Compulsory Education. Dalam Journal of Philosopy of Education. (Online), 24, (2). Tersedia: http://bjaesthetics.oxfordjournals.org (20 Maret 2009).

Xu.H. (2000). Preservice Teacher Integrate Understanding of Diversity Into Literacy Instruction : An Adaption Of The ABC & rsque Model.. Dalam: Journal Of Education Teacher (Online), Vol 51 (2) 135-148 Tersedia http//psikologi-online-com ( 13 Maret 2009).

Zamroni. (2001). Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta:


Dokumen yang terkait

EVALUASI DAMPAK BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS) TERHADAP PENUNTASAN PROGRAM WAJIB BELAJAR DI UPT DINAS PENDIDIKAN KECAMATAN KALIWATES KABUPATEN JEMBER

0 3 16

EVALUASI DAMPAK BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS) TERHADAP PENUNTASAN PROGRAM WAJIB BELAJAR DI UPT DINAS PENDIDIKAN KECAMATAN KALIWATES KABUPATEN JEMBER

0 6 16

EVALUASI DAMPAK BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS) TERHADAP PENUNTASAN PROGRAM WAJIB BELAJAR DI UPT DINAS PENDIDIKAN KECAMATAN KALIWATES KABUPATEN JEMBER

0 7 15

Partisipasi Orang Tua dalam Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun

0 16 190

Kajian Tentang Implementasi Pendidikan inklusif Sebagai Alternatif Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Kabupaten Boyolali

0 3 3

HUBUNGAN ANTARA PELAKSANAAN SUPERVISI DAN MOTIVASI KERJA DENGAN KINERJA GURU DALAM RANGKA PENUNTASAN WAJIB BELAJAR BELAJAR 9 (SEMBILAN) TAHUN DI KABUPATEN LANGKAT.

0 2 29

PERENCANAAN STRATEGIK PENINGKATAN ANGKA MELANJUTKAN SEKOLAH LULUSAN SD/MI KE SLTP/MTs DALAM RANGKA PENUNTASAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN : Studi Kasus pada Program Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun di Kabupaten Daerah Tingkat I

0 0 73

Implementasi Kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Di Kabupaten Karawang.

0 0 1

artikelmodel penuntasan wajib belajar 1

0 0 21

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DALAM MEWUJUDKAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR DI WILAYAH BANDUNG RAYA Oleh : Komarudin *) NPM. 119213002 Abstract - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DALAM MEWUJUDKAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR DI WILAYAH BANDUNG RAYA - repo unpas

0 1 34