Alternatif kebijakan sektor pertanian dalam menghadapi otonomi desa.

(1)

1 ALTERNATIF KEBIJAKAN SEKTOR PERTANIAN DALAM

MENGHADAPI OTONOMI DESA

Pendahuluan

Bangsa ini dianugerahi oleh tanah yang subur karena banyak terdapat pegunungan dan iklim tropis. Nenek moyang kita terkenal juga sebagai bangsa petani selain pelaut handal, hal ini terbukti dengan hidup mengandalkan ladang berpindah-pindah (nomaden). Perilaku ini berlanjut terus hingga zaman kerajaan dan perdagangan mulai masuk ke Indonesia, namun tidak lagi berpindah-pindah tetapi lebih bercocok tanam menggunakan alat-alat yang lebih modern. Kemudian bangsa-bangsa eropa mencari rempah-rempah di negara ini yang mulai tersohor ke pelosok dunia. Maka di mulai penjajahan oleh bangsa-bangsa eropa untuk memperoleh kekayaaan alam dan sumber daya alam lainnya. Masuknya VOC memberikan dampak yang signifikan terhadap perdagangan terutama komoditas perkebunan tetapi kemudian VOC ingin melakukan monopoli perdagangan dengan menaklukan kerajaaan-kerajaan di Indonesia.

Jika melihat sejarah masuknya kolonialisme dan imperalisme di Indonesia di bawah kekuasaan belanda membawa dampak kepada nasib pertanian. Sejak takluknya kerajaan mataram ke tangan VOC kemudian Belanda pun masuk mengusasi negara ini termasuk dari segi pertanian. Menurut khudori (2004) periode ini diawali dengan kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda yang itu yaitu :

 Culture stelsel (Tanam Paksa) untuk memproduksi tanaman-tanaman ekspor. Metode ini merupakan bentuk penghisapan surplus pertanian yang efektif. Tetapi merugikan petani karena harus kerja keras mengolah lahan pertanian yang nantinya juga sebagian besar di ambil oleh belanda. Namun karena pelbagai kritik akhirnya kebijakan ini dicabut.


(2)

2

 Agrarische Wet dibuat sebagai landasan hukum bagi investasi di bidang perkebunan yang membolehkan orang-orang asing untuk menyewa tanah.

Agrarische Wet inilah yang menjadi cika-bakal Hak Guna Usaha (HGU) yang hingga saat ini masih berlaku. Contohnya pada waktu itu setelah 50 tahun kebijakan ini berlangsung, gula yang menjadi komoditas utama di jawa dengan ekspor terbesar kedua di dunia setelah Kuba.

Setelah Indonesia merdeka serta berlangsungnya orde lama presiden soekarno pernah berkata bahwa pertanian adalah hidup matinya bangsa ini. Maka pada awal kebijakan pemerintah orde lama berusaha menghidupkan kembali pertanian menjadi pilar pelaksanaan ekonomi yang berdikari. Pertanian di Indonesia sebenarnya bisa menjadi urat nadi pertumbuhan perekonomian tetapi pada kenyataannya pertanian bagai dilupakan begitu saja. Hal ini terbukti dengan data temuan BPS (2009) sebagian besar penduduk miskin (65 persen pada tahun 2009) bekerja di sektor pertanian. Pernyataan diatas membuktikan bahwa ada permasalahan disana yaitu dilihat dari sektor kebijakan. Dimana masyarakat desa terutama petani mengalami kemiskinan.

Pertanian kita mulai terpuruk ketika krisis menghantam pada tahun 1997-1998. Indonesia terpaksa atau dipaksa menandatangani perjanjian utang dengan IMF untuk BLBI penstabilan perekonomiaan saat itu. Lewat LoI Oktober 1997 dan MEFP 11 September 1998, IMF menuntut diberlakukannya tariff impor beras sebesar 0%. Ini juga berlaku bagi jagung, kedele, tepung terigu dan gula. Selain itu LoI juga mengatur agar BULOG tidak lagi mengurus kestabilan harga pangan dan agar melepaskannya ke mekanisme pasar.1 Akhirnya masuklah beras impor saat itu belum lagi bahan pangan lainnya yang menguasai pasar pangan Indonesia. Jeritan dan tangis petani tidak lagi didengar, hanya suara unholy trinity yang masuk ke pikiran pemerintah saat itu. Melaluli WTO dan IMF mengurangi subsidi bagi input-input pertanian seperti pupuk, pestisida dan bibit. Dengan harga produksi yang mahal dan

1 “At The End Of Globalisation, We Are All Dead”

, Bonnie Setiawan. (www.globaljust.org, igj@globaljust.org )


(3)

3 harga gabah keirng giling yang jatuh di pasar, bagaimana nasib petani saat itu seperti dipaksa masuk lubang kemiskinan.

Perkembangan globalisasi memang tidak bisa dipisahkan terhadap nasib pertanian kita atau negara yang tergabung dalam WTO karena WTO menjadi mesin penggerak dengan paham neoliberalisme penciptaan pasar bebas. Hal ini di pertegas dengan pernyataan Michel Petit (10, 2008):

“The main flow of causal relationships runs from trade liberalisation to agricultural policy reform to changes in land use. Since 1992 CAP reform has been driven by WTO negotiations. The MacSharry Reform in 1992 was in contrast to what the Commission says a consequence of the Uruguay Round. In 1999, the Agenda 2000 reform was not solely driven by WTO, but nevertheless the dispute about multi-functionality among WTO partners did influence the reform in a substantial way”

Dalam melakukan perjanjian dengan WTO nantinya akan dihadapkan pada ketentuan perjanjian pertanian (agreement on agriculture) AOA. Perjanjian inilah yang mengikat pertanian negara-negara berkembang dan bias terhadap kebijakan pertanian negara-negara maju sehingga peraturan lebih menguntungkan pertanian negara-negara maju. Kemudian khudori (2004) mengkritik tegas kebijakan pertanian yang terjadi di negara-negara indutri yang tergabung OECD yang terdiri dari 30 negara menghabiskan subsidi sebesar US$ 311 miliar. Sedangkan Amerika memberikan subsidi Rp. 153 triliun/ tahun pada tahun 2003. Jika kita bandingkan dengan subsidi pupuk tahun 2010 hanya sebesar 19,3 trilun untuk tahun ini jauh sekali perbandingannya. Dan lebih parah lagi ketika perumusan APBN tahun depan diajukan perumusan subsidi sampai 4,5 triliun. Hal ini akan kembali mencekik para petani. Di saat negara-negara lain mulai naikkan subsidi seperi Thailand dan Vietnam negara ini dengan bangga menurunkan subsidinya.

Pertanian kita yang mulai dari nol ketika pergantian rezim dan badai krisis melanda perekonomian harus dihadapkan dengan kebijakan pemerintah untuk terjun


(4)

4 dalam WTO. Dalam pemahaman WTO jelas doktrin liberalisasi salah satunya terhadap produk-produk pertanian. Dengan semakin terbukanya pasar di Indonesia maka masuklah produk pangan dari negara yang telah menjadi industri pertanian di dunia. Negara-negara seperti Australia, amerika, uni eropa, selandia baru bahkan cina mulai ikut bermain dengan ACFTA. Negara tersebut memberi subsidi yang besar dan proteksi terhadap produk pertaniannnya. Maka membanjirnya produk-produk impor merusak pasar pangan di Indonesia dengan bea masuk yang rendah bahkan free, produk impor ini harga lebih murah daripada produk lokal. Hal ini disebabkan biaya produksi pertanian di negara-negara maju lebih murah karena subsidi yang besar dibandingkan dengan biaya produksi pertanian kita yang minim subsidi. Impor pangan menjadi suatu ketergantungan di negara ini Jika kita lihat perdagangan produk pertanian, Indonesia kini sangat tergantung pada impor, setidaknya pada beberapa komoditi yang termasuk dalam sembako. Untuk komoditas beras kita cenderung aman, setidaknya impor berhenti pada tahun 2008 (sebelumnya kita masih tergantung impor, bahkan terbesar di dunia hingga tahun 2007). Gula, kita masih mengimpor dan ketergantungannya mencapai 30 persen dari kebutuhan nasional. Untuk susu dan produknya kita bahkan masih tergantung pada impor hingga 70 persen. Garam ketergantungan impornya sebesar 50 persen. Sementara itu, untuk kedelai kita bergantung pada impor sebesar 45 persen, daging sebesar 28 persen dan jagung 15 persen.2

Indonesia bersama 153 negara lainnya mulai tergabung dengan WTO yang mayoritas didominasi negara-negara berkembang dan miskin. Indonesia salah satu yang tergiur dengan penciptaan kesejahteraan secara global yang dijanjikan oleh WTO. Tetapi sejak terbentuk tahun 1995 hingga sekarang belum terjadi yang telah dijanjikan. WTO lebih mengutamakan negara-negara maju seperti membiarkan proteksi dan subsidi pertanian di negara maju yang tergabung dalam OECD. Sedangkan bagi negara-negara lainnya diharuskan melaksanakan kebijakan


(5)

5 perdagangan dalam perjanjian pertanian (AOA). Jika tidak sanksi tegas dijatuhkan kepada negara tersebut, hal ini membuat banyak negara berkembng dan miskin tunduk pada WTO. Menurut pandangan khudori (2004) Indonesia menjadi negara yang patuh dengan perjanjian pertanian AOA dalam WTO. Segala macam peraturan telah dilaksanakan oleh Indonesia membuat negara ini dianggap paling kooperatif oleh WTO. Komitmen Indonesia dalam perjanjian pertanian AOA WTO yaitu:

1. Indonesia telah mengikat (bound) seluruh mata tariff komoditas pertanian, baik melalui proses tarifikasi. Jumlah mata tarif komoditas yang diikat mencapai 1.341 komoditas sesuai dengan GATT (general agreement on tariffs and trade). Secara keseluruhan 37 persen jauh lebih tinggi seperti disyaratkan WTO sebesar (24%)

2. Indonesia juga membuka akses pasar dari komoditas pertanian dunia, tetapi yang paling diutamakan yaitu dua komoditas beras dan susu. Ini adalah konsekuensi dalam perjanjian pertanian AOA dalam WTO yang harus dipatuhi oleh Indonesia.

3. Di bidang subsidi ekspor, Indonesia memberikan komitmen untuk mengurangi subsidi ekspor untuk komiditi beras baik dalam jumlah maupun nilainya.Hal ini berlaku selama 10 tahun menurut perjanjian AOA.

4. Selain komitmen pada sektor-sektor pertanian, komitmen ini menjangkit pada fungsi dan peran pemerintah dalam perdagangan internasional melalui bulog. Bulog sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati diubah menjadi state trading enterprises (STE). Sehingga lembaga ini memperoleh status sebagai sole importer atau sole exporter yang ditunjuk oleh pemerintah untuk melaksanakan monopoli import/ekspor terhadap komoditas-komoditas pertanian tertentu sesuai garis kebijakan pangan pemerintah.

Hal ini merupakan gambaran kebijakan pertanian di Indonesia setelah Indonesia bergabung dengan WTO dengan perjanjian yang disepakati. Perjanjian ini membuat pertanian kita tunduk kepada asing yang jauh dari pemikiran para pendiri bangsa ini


(6)

6 yang ingin menjadikan pertanian hidup matinya bangsa. Prinsip berdikari bung Karno serasa tidak berarti lagi dengan membuka pasar dan mengurangi tarif impor membuat pertanian kita tergadaikan oleh pihak asing.

Pertanian saat ini seperti mati suri begitu juga nasib para petani. Banyak petani yang tidak menikmati hasil ladang mereka atau bahkan menjual lahan pertaniannya dan beralih menjadi petani gurem (buruh tani). Pertanian seperti yang dikatakan Xenophon (430-355 BC)3, yaitu

“Agriculture is the mother of all arts. When it is well conducted, all other arts prosper. When it is neglected all other arts decline”

Pertanian tidak hanya suatu kegiatan juga sebagai sumber kehidupan bagi kita semua. Melalui pertanian kita dapat menyejahterakan orang banyak sebab ketahan pangan dan sektor pertanian juga membutuhkan banyak tenaga kerja. Maka ironis jika kemiskinan melanda para petani Indonesia seperti data BPS yang banyak terdapat di desa. Mereka seperti kelaparan di lumbung padi.

Permasalahan kemiskinan tidak pernah ada habisnya dan selalu menjadi kajian serta penelitian tapi tidak berujung indah. Dan ini menjadi permasalahan mendasar yang penulis kaji melalui suatu kebijakan yang ideal. Kebijakan pertanian jika scara status quo serasa tidak relevan lagi, karena bukannya memberikan solusi mengatasi nasib para petani yang semakin termarjinalkan oleh kondisi yang ada. Nasib petani di Indonesia jauh berbeda dengan yang dialami oleh petani Negara maju sebut saja Amerika yang jumlah petani hanya 2% dari jumlah penduduk tetapi pertanian disana diproteksi dengan subsidi walaupun amerika bagian dari WTO. Hal ini bertolak belakang dengan Indonesia yang juga tergabung dengan WTO seperti yang dijelaskan oleh khudori (2004) bahwa bagaimana mungkin petani kita dapat menghidupi keluarganya jika lahan petanian yang dikelolanya kecil yaitu dibawah 0,25 ha dan tanpa subsidi input-input pertanian serta penghasilan bersih sekitar


(7)

7 Rp.4000,- perhari. Hidup dengan penghasilan yang diperoleh jelas tidak cukup untuk menghidupi diri sendiri apalagi keluarganya.

Permasalahan petani bertambah ketika lahan-lahan petanian “digadaikan” kepada investor, tidak ada proteksi kepada lahan-lahan pertanian. Ketika bertani ditengah arus globalisasi dengan paham neoliberalisme serasa membunuh petani secara perlahan. Petani harus bersaing dengan produk-produk impor yang menguasai pasar kita. Perampasan tanah pun sering terjadi dengan alasan pembangunan lahan-lahan pertanian tersingkirkan oleh pembangunan jalan tol, perumahan, gedung-gedung bertingkat. Sebetulnya secara konstitusional melalui UUPA 1960 pemerintah sudah menetapkan bahwa tanah untuk petani (penggarap), namun tahap implementasinya tidak sesuai sehingga menimbulkan konflik agraria dengan berbagai ragam kasus dan lebih lanjut menghasilkan struktur kepemilikan lahan yang timpang.4 Janji yang disampaikan presiden SBY saat kampanye tahun lalu dengan memberikan lahan-lahan petanian untuk para petani gurem atau buruh tani tidak kunjung terjadi. Pemberian lahan diberikan pada para investor-investor untuk mengelola sawit dan para petani kita hanya menjadi buruh di lahan sawit. UUPA no 5 tahun 1960 yang disahkan oleh Bung Karno dimaknai sebagai hari tani nasional yang telah setengah abad berlangsung, tetapi nasib para petani selama 50 tahun tidak kunjung membaik. Lahan pertanian semakin menyusut tiap tahunnya terutama lahan padi yang menjadi salah satu bahan pangan pokok. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa, luas lahan pertanian padi di Indonesia pada 2010 tinggal 12,870 juta hektare (ha), menyusut 0,1% dari tahun sebelumnya 12,883 juta ha. Secara keseluruhan luas lahan pertanian, termasuk non-padi, pada 2010 diperkirakan 19,814 juta ha, menyusut 13% dibanding tahun 2009 yang mencapai 19,853 juta ha. Kondisi ini yang terus memperparah kehidupan petani.5 Hal ini menunjukkan bahwa

4

catatan pembangunan pertanian dan pedesaan spi Korporatisasi pertanian telah meminggirkan

Pertanian rakyat. www.spi.co.id

5 Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati. www.spi.co.id


(8)

8 bumi, air dan kekayaan alam yang dikelola oleh negara dan diperuntukkan guna menciptakan kesejahteraan masyarakat tidak tercapai. Masalah ini bertentangan

dengan UUD’45, dimana saat ini semuanya diserahkan kepada swasta. Saat ini para petani menuntut suatu pembaharuan terhadap permasalahan agraria karena lahan pertanian sangat penting bagi petani. Berdasarkan berbagai problematika yang menimpa petani perlu kebijakan yang tepat untuk mengatasinya, apakah nantinya tetap bertahan dengan Status Quo atau perlu kebijakan yang baru. Hal ini yang coba kami analisis guna menjawab permasalahan yang ada.

Menganalisis dari sektor ekonomi yaitu kesejahteraan petani yang semakin terpinggirkan dalam arus globalisasi yang menganut neoliberalisme. Kebijakan pertanian Indonesia yang pro pasar dengan arahan WTO membuat pertanian kita terbelunggu dalam cengkraman koorporasi asing yaitu perusahaan transnasional. Dengan menngurangi subsidi pupuk dan input-input pertanian lainnya membuat ongkos produksi semakin meningkat belum lagi masalah perubahan cuaca. Biaya produksi yang tinggi memaksa petani memperoleh keuntungan dari hasil panennya, hal ini berbeda seperti pada negara yang telah menjadi industri pertanian. Di negara-negara tersebut pertanian menjadi hidup-matinya negara-negara tersebut sehingga mereka memberikan lahan pertanian kepada petani dengan subsidi penuh serta proteksi yang ketat. Sehingga kesejahteraan petani di negara-negara tersebut sangat baik karena negara menjaminnya.

TANTANGAN DALAM MENGHADAPI OTONOMI DESA

Otonomi desa menjadi salah satu langkah pemerintah pusat dalam mendorong pembangunan dari desa. Desa merupakan sebuah perkumpulan masyarakat yang berada dalam suatu wilayah, dimana telah ada sebelum bangsa Indonesia merdeka. Maka terdapat kata-kata yang menggambarkan peran desa dalam suatu negara yaitu


(9)

9

“Desa mawa cara, negara mawa tata”. Istilah tersebut memiliki makna: Pertama, setiap desa sesungguhnya memiliki adat istiadatnya sendiri dan berhak menjalankannya menurut caranya (mawa cara) masing-masing; kedua, negara memiliki seperangkat ketentuan (mawa tata) yang harus dipatuhi demi ketertiban kehidupan bersama (di desa-desa), sebagai bagian dari suatu negara (Gunawan, 2013:15). Hubungan antara desa dan negara tidak dapat dipisahkan begitu saja, karena kemajuan negara pasti didukung oleh desa itu sendiri, tetapi desa harus tunduk oleh aturan-aturan dalam sebuah negara (mawa tata). Disisi yang lain, desa berhak menyelenggarakan kehidupannya (mawa cara) sendiri sesuai dengan adat istiadat dan norma-norma.

Setelah bangsa ini merdeka peran desa seakan terpisahkan dari geliat pembangunan, desa hanya menjadi obyek pembangunan bukan lagi subyek pembangunan. Desa hanya menjadi ladang ambisi para pengusaha, akibatnya peran dan eksistensi desa semakin terlupakan. Desa mulai ditinggalkan oleh masyarakat karena proses pembangunan dan modernitas, desa dianggap sebuah daerah tertinggal atau sekumpulan masyarakat miskin. Masyarakat desa merasa mimpi mereka tentang kesejahteraan dan kesederhaan tidak mampu terwujud ketika tinggal di desa. Arus migrasi penduduk semakin tidak terbendung lagi karena semua mimpi tersebut telah bergeser diperkotaan. Kondisi ini mengakibatkan beralihnya kehidupan pedesaan yaitu bertani dan berkebun berubah jati diri menjadi daerah perkotaan dengan lebih mendorong pembangunan perumahan, pabrik, dan pertokoaan. Hidup menjadi seorang petani bukan sebuah cita-cita yang indah bagi para generasi muda bahkan bagi mereka yang tinggal dan hidup dalam keluarga petani. Lahan-lahan pertanian mulai tergadai dan terjual demi sebuah impian modernitas dan pembangunan karena kota tidak lagi mampu menampung segala pertumbuhan pembangunan. Sehingga dalam perjalanan bangsa ini desa cenderung hanya menjadi korban dalam sebuah pembangunan.


(10)

10 Berbagai problematika yang terjadi tersebut akibat hilangnya konsep negara mawa tata yaitu kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro petani. Kesejahteraan petani semakin termarginalkan oleh lemahnya perhatian pemerintah pusat. Petani-petani harus melawan pasar bebas yang semua harga komiditi diatur oleh mereka. Kegelisahan yang dirasakan ini menjadi problematika yang serius bagi negara kedepannya karena dampaknya mulai dirasakan saat ini, yaitu ketika ketimpangan pembangunan antara kota dan desa membawa implikasi yang signifikan. Pemberlakuan desentrasi dan otonomi daerah diharapkan memberikan harapan dalam menciptakan keadilan bagi daerah. Otonomi daerah berupaya membangun kembali pola hubungan yang sehat antara pemerintah pusat dengan daerah-daerah (horizontal imbalance) dan juga mengurangi ketimpangan antar daerah-daerah di Indonesia (vertical imbalance). Seiring perjalanan desentralisasi dan otonomi daerah kurang lebih 15 tahun ini belum membawa kinerja yang signifikan terhadap pembangunan khususnya bagi pedesaan. Hegemoni otonomi daerah lebih terasa pada pemilihan kepala daerah secara langsung, sedangkan pemasalahan dan tuntutan masyarakat dijawabkan dengan janji-janji kampanye yang cenderung hanya sebuah retorika. Kita bisa memahami bahwa menjadi seorang pemimpin rakyat (hasil pemilihan secara langsung) banyang tantangan dan hambatan yang akan dihadapi apalagi masuk dalam sistem politik tidak sehat. Pejabat dan aparat daerah akan terjebak dalam dualism dalam birokrasi yang akan mereka jalankan, apakah menjadi birokrasi yang netral atau birokrasi politik?. Sebuah tantangan yang cukup berat bagi pemimpin daerah dapat memposisikan diri dalam situasi tersebut, karena mereka adalah pejabat politik (dipilih melalui pilkada) sedangkan birokrasi dituntut untuk lebih netral (netralitas birokrasi) agar kebijakan dan pelayanan lebih berbicara kepada publik. Walaupun begitu kita tidak perlu terlalu skeptis terhadap tata kelola pemerintahan pusat dan daerah karena pasti muncul figur-figur yang mampu memimpin daerahnya dengan integritas yang tinggi.


(11)

11 Secara konseptual desentralisasi memberikan ruang untuk berinovasi dan berpikir visioner dalam membangun daerahnya. Hal inilah yang mendorong bagi pemerintah pusat memberikan ruang bagi desa berserta seluruh komponennya untuk menciptakan dan meningkatkan pembangunan dari komunitas terkecil dari mayarakat yaitu desa. Otonomi desa melalui undang-undang no 6 tahun 2014 berusaha mengembalikan peran desa sebagai pusat pembangunan sehingga mampu menopang pembangunan regional dan nasonal. Berlakunya undang-undang tersebut mendorong peran desa menjadi bagian penting dalam proses pembangunan, tidak lagi hanya

sebagai pelengkap tetapi menjadi ‘pemain’. Hal tersebut yang tersirat dalam undang -undang no 6 tahun 2014 bahwa desa perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Sebuah harapan dan tuntutan yang harus diwujudkan oleh para pemimpin, pelaksana, stakeholder dan masyarakat desa.

Memahami secara konsep dan kontekstual penerapan Undang-undang 6 tahun 2104, bahwa kedudukan dan kewenangan desa menggambarkan kontruksi mengabungkan fungsi self-governing community dengan local self government

(Dirjen Pemdes, 2014). Self-governing community dapat diartikan kewenangan desa berkaitan dengn hak asal usul atau adat istiadat dan kewenangan lokal sesuai dengan kebutuhan desa tersebut. Local self government berkaitan dengan kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah (pemerintah pusat, provinsi dan daerah). Hal tersebut merupakan upaya pemerintah pusat mengembalikan tatanan atau pola hubungan negara dan desa berdasarkan sejarah yaitu “desa mawa cara negara mawa tata”. Desa diberi kewenangan dan juga diikuti oleh anggaran yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di desa tersebut. Sebuah tanggung jawab yang besar harus diimbangi oleh sebuah komitmen pemimpin dan aparat desa untuk melaksanakan hal tersebut.

Otonomi desa harus mampu meningkatkan kemampuan aparatur desa dalam mengelola potensi-potensi yang ada menjadi sebuah keunggulan. Potensi desa tentunya akan beragam sesuai dengan kondisi alam dan masyarakatnya. Langkah terpenting bahwa otonomi desa harus mampu memberdayakan masyarakat desa dan


(12)

12 perlu kontrol dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jika belajar dari pengalaman sebelumnya ketika diberlakukan otonomi daerah banyak menimbulkan problematika yaitu penyanggunaan kewenangan dan anggaran. Semoga kondisi ini tidak terjadi dalam perjalanan otonomi desa kedepannya karena tidak hanya berbicara tentang output (kebijakan, program dan kinerja) dari otonomi desa tetapi harus berbicara tentang dampak (outcomes) yaitu memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat desa.

Pembangunan berbasis potensi desa merupakan tanggung jawab pemerintahan desa nantinya dan tentunya perlu dukungan pemerintah pusat serta pemerintah daerah. Potensi desa yang relevan dalam mendukung menciptakan kemandirian dan rencana strategis nasional adalah sektor pertanian. Sektor pertanian seperti yang telah dibahas sebelumnya menjadi satu saju sektor unggulan dalam menciptakan kemandirian pangan atau lebih dikenal dengan istilah swasembada pangan. Sektor pertanian harusnya menjadi roda penggerak utama pembangunan di Indonesia. Eksploitasi sumber daya alam lebih diperhatikan pemerintah dengan nilai investasi yang tinggi tetapi yang diperoleh bangsa ini tidak seberapa dibandingkan dengan hasil yang dibawa oleh para investor. Pertanian yang merupakan sektor padat karya yang mampu banyak menyerap tenaga kerja harus dioptimalkan bukannya lahan-lahan pertanian dialih fungsi atau dijual ke swasta. Maka berikut ini merupakan tantangan yang dihadapi terkait pembngunan sektor pertanian berbasis pedesaan berdasarkan data yang adalah sebagai berikut:

1. Kemiskinan yang menjerat petani

Nasib para petani saat ini terjerat dalam kemiskinan, dengan kebijakan pro pasar (neoliberalisme) dan pro kepada perusahaan transnasional. Secara umum kemiskinan dapat dibagi menjadi dua berdasar wilayah yaitu kemiskinan perkotaan dan kemiskinan pedesaan. Penduduk miskin perdesaan lebih besar dari perkotaan, hal tersebut berdasarkan data dari tabel dibawah ini:


(13)

13 Jumlah penduduk miskin di kota dan desa

Tahun Jumlah penduduk miskin (juta orang)

Kota Desa Kota+desa

2010 11,1 19,93 31,02

2011 (maret) 11,05 18,97 30,02

2012 (maret) 10,65 18,49 29,13

2013 (maret) 10,33 17,74 28,07

Sumber: BPS

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa desa masih banyak terdapat penduduk miskin walaupun dari tahun ke tahun cenderung menurun. Kondisi ini pasti dipengaruhi banyak faktor dan kondisi di masing-masing daerah tetapi hal ini menjadi masalah nasional. Maka diharapkan melalui otonomi desa mampu menjawab tantangan dan tuntutan tersebut. Jumlah pekerja disektor pertanian lebih banyak dibandingkan sektor lainnya. Karena sektor pertanian adalah sektor padat karya yang mampu menyerap banyak tenaga kerja, hal tersbeut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel III

Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja

Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, 2008–2010 (dalam ribuan)

Lapangan kerja utama

2008 2009 2010

Februari Agustus Februari Agustus Februari Pertanian 42.689,64 41.331,71 43.029,49 41.661,84 42.825,81 Industri 12.440,14 12.549,38 12.615,44 12.839,80 13.052,52 Konstruksi 4.733,68 5.438,97 4.610,70 5.486,82 4.844,69 Perdagangan 20.684,04 21.221,74 21.836,77 21.947,82 22.212,89 Angkutan,

pergudangan dan komunikasi


(14)

14 Keuangan 1.440,04 1.459,99 1.484,60 1.486,60 1.639,75 Jasa

kemasyarakatan

12.778,15 13.099,82 13.611,84 14.001,52 15.615,11 Lainnya 1.270,22 1.271,65 1.348,94 1.378,29 1.397,13 Total 102.049,86 102.552,75 104.485,44 104.870,66 107.405,57 Sumber:Data strategis BPS.

Dari tabel diatas memperlihatkan bahwa sektor pertanian menyerap banyak tenaga kerja yaitu hampir setengah dari total pekerja di Indonesia. Tetapi di segi kesejahteraan yang menjadi permasalahan, karena jika tidak diatasi pertanian mulai ditinggalkan berdampak naiknya tingkat pengangguran. Selain mayoritas yang bekerja di sektor pertanian adalah buruh tani karena semakin berkurangnya luas kepemilikan lahan pertanian.

2. Impor pangan

Belum lagi masalah impor pangan yang semakin massif seiring semakin terbukanya pasar pangan Indonesia. Indonesia yang masuk dalam perangkap WTO maka mau tidak mau harus menanggung konsekuensinya. Dengan semakin terbuka pasar pertanian maka produk-produk impor menguasai pasar kita. Kondisi impor dan ekspor komoditi pangan Pada tahun 2014-2015 dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel IV.

Total dan nilai impor pangan 2014-2015 Komoditi

(ton)

TAHUN

2014 2015

Ekspor Impor Ekspor Impor

Beras 3.026 815.307 1.215 -

Jagung 44.843 3.296.106 400.000 1.600.000

Kacang Tanah 6.291 254.323 5.284 129.475

Kedelai 51.184 5.786.446 6.938 3.642.471

Bawang Merah


(15)

15

Cabe 12.125 26.162 7.181 -

Kacang Hijau 34.928 82.957 6.181 32.991

Sapi Hidup - 246.509 - 113.732

Sumber: Kinerja Kementan 2015

Jika ketergantungan terus saja terjadi maka menjadi permasalahan kedepannya, karena jumlah penduduk yang besar ketahanan pangan menjadi hal utama. Impor jagung dan kedelai cukup fantastis, walaupun terjadi penurunan pada tahun 2015. Jika melihat potensi alam komiditi tersebut mampu dihasilkan dengan kebijakan yang relevan. Pemerintah perlu menciptakaan dan memberdayakan petani untuk meninggalkan ketergantungan impor maka bangsa ini hanya menjadi konsumen dan kelaparan menjadi wajah baru di negara yang kaya ini. Belum kebijakan ACFTA (Asean-Cina free trade) dimana secara perlahan Cina mulai menguasai kebutuhan

pertanian dan “membunuh” potensi pertanian lokal sepert. Sehingga berbicara ketahanan pangan sulit terwujud karena banyak gangguan dari eksternal maupun internal sektor pertanian. Kemudian berbicara impor yang terus meningkat jelas akan merugikan petani dan produk pertanian akan kalah bersaing dengan produk impor.

3. Lahan pertanian

Sebetulnya secara konstitusional melalui UUPA 1960 pemerintah sudah menetapkan bahwa tanah untuk petani ( penggarap), namun tahap implementasinya tidak sesuai sehingga menimbulkan konflik agrarian dengan berbagai ragam kasus dan lebih lanjut menghasilkan struktur kepemilikan lahan yang timpang.6 Banyaknya lahan-lahan pertanian yang dialih fungsi menjadi permasalahan saat ini. Kurangnya proteksi terhadap lahan-lahan pertanian membuat hal ini sering terjadi, menurut data SPI pengalihan fungsi lahan pertanian tiap tahunnya mencapai 10.000 hektar. Tanpa lahan apa yang bisa dibuat para petani, apalagi masuknya perusahaan transnasional untuk mengusai lahan pertanian kita. Sebagai contoh pembukaan lahan bagi pertanian


(16)

16 dan perkebuna kemudian dimanipulatif ketika lahan tersebut digunakan untuk lahan sawit. Jelas untuk membuka lahan sawit membutuhkan korporasi yang kuat dan tidak ada peluang bagi petani kita, kalaupun ada hanya sebagai buruh tani. Kemudian ketika otonomi daerah tiap kabupaten/kota berupaya meningkatkan pendapatan, lahan pertanian yang terkandung bahan tambang dialih fungsikan yang sulit untuk digunakan kembali. Terbuka ruang investasi pada uu no 25 tahun 2007 yaitu penanaman modal asing salah stunya di sektor pertanian. Dengan luas wilayah yang luas dan tanah yang subur maka sangat menggoda para investor untuk mulai berinvestasi di sektor pertanian. Sehingga kita tidak perlu bertanya-tanya lagi, sebuah negara kecil seperti singapore sebagai negara penghasil CPO karena lahan sawitnya berada di indonesia.

Alternatif-alternatif kebijakan

Berdasarkan masalah dan tantangan yang akan dihadapi terkait sektor pertanian terutama menghadapi otonomi desa maka penulis menyimpulkan bahwa masalah politis menjadi sasaran dalam memperbaiki tata kelola kebijakan sektor pertanian. Kebijakan pertanian ketika salah urus atau salah kelola maka yang paling menderita adalah petani serta stakeholder pertanian. Hal ini terbukti ketika kemiskinan terbesar berada di desa yang mayoritas mata pencaharian sebagai petani. Gagal dan berhasilnya kebijakan pertanian seharusnya sejalan dengan kesejahteraan petani terutama buruh tani. Selama ini, Kementerian Pertanian terlalu mendorong peningkatan produksi pangan melalui penggenjotan produktivitas pertanian yang sebenarnya tidak pernah berhasil7. Pemerintah harus segera mengalokasikan tambahan lahan untuk pertanian. Tetapi juga sebagai koreksi bahwa tambahan lahan harus dikhususkan untuk produk pertanian yang benar-benar dibutuhkan. Pada kenyataannya pembukaan lahan banyak diperuntukan sebagai lahan sawit yang


(17)

17 kemudian dikelola perusahaan besar. Akhirnya nasib petani masih terpingkirkan dan kurang diberi tempat dalam proses pembangunan negara ini, sehingga di negara yang kaya ini petani jarang bisa menikmati produk pertanian dari kerja kerasnya.

Masalah politis tidak hanya pada kebijakan pertanian saja tetapi juga kebijakan lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kebijakan pertanian. Sebagai contoh kebijakan perdagangan bebas yaitu ACFTA (Asean-Cina), walaupun perjanjian ini telah direncanakan awal tahun 2000-an tetapi bangsa ini memperkuat kapasitas sektor pertanian. Akhir lemahnya persiapan produk pertanian kita tidak mampu bersaing dengan produk pertanian cina terutama buah-buahan. Belum lagi tantangan ketika UU no 25 tahun 2007 bergulir dimana sektor pertanian terbuka bagi penanaman modal walaupun dengan syarat tertentu tetapi fakta pembukaan lahan pertanian pun dikuasai oleh lahan sawit. Belum lagi kebijakan hukum ketika terjadi sengketa lahan antara petani dengan PTPN, dimana banyak terjadi kasus tidak ada kejelasan atas hak atas tanah ulayat di banyak daerah.

Pada alternatif kebijakan ini memberikan pandangan kebijakan-kebijakan yang dapat dipilih untuk mengatasi permasalahan yang ada. Maka perlu pengkajian secara mendalam tentang alternatif kebijakan tersebut karena mengatasi suatu masalah kemiskinan yang melanda petani. Pada tahapan ini melihat berbagai macam kebijakan baik yang sudah dilaksanakan saat ini serta sampai kebijakan yang dianut berbagai negara di dunia. Kemudian kebijakan tersebut dipilih berdasarkan keunggulan dibandingkan berbagai alterantif kebijakan lainnya.

Suatu kebijakan harus dapat mencapai sasaran masalah yang dihadapi dan itu menjadi tujuan memilih alternatif kebijakan tersebut. Pemilihan alternatif kebijakan perlu pengkajian secara mendalam, agar nantinya dapat menyentuh akar permasalahannya. Suatu alternatif kebijakan harus berdasarkan apsirasi atau tuntutan masyarakat. Baik itu kebijakan yang telah dilaksanakan ataupun yang akan dilaksanakan. Maka penulis menganalis dan mengkaji alternatif kebijakan, yaitu sebagai berikut :


(18)

18 1. Alternatif I (Perberdayaan sektor pedesaan)

Memfokuskan kebijakan pertanian pada sektor pedesaan, karena kemiskinan banyak terdapat di pedesaan. Maka perlu meningkatkan peran pedesaan sebagai kekuatan baru untuk menopang pembangunan di Indonesia.

Pemberdayaan masyarakat miskin pedesaan dengan membangun kapasitas baik secara individu maupun kolektif. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan-kesempatan ekonomi, pelayanan sosial dan infrastruktur. Pengembangan infrastruktur secara intensif seperti system irigasi, akses jalan, dan fasilitas transportasi. Pendidikan pun sangat penting disini, karena pendidikan petani kita sangat rendah. Sektor industri pun perlu digerakan di pedesaan, industri disini adalah agroindustri. Agroindustri dapat menarik banyak pekerja karena sektor agroindustri tidak hanya menghasilkan komoditi pangan tetapi menghasilkan produk olahan yang berasala dari komoditi pangan tersebut. Sistem penyuluhan secara intensif di bawah kontrol pemerintah pusat sebagai kebijakan negara yang nantinya diterapkan di setiap daerah.

2. Alternatif II (Subsidi input-input pertanian)

Kebijakan terhadap input-input pertanian guna mengurangi biaya produksi. Kebijakan ini juga diterapkan di negara India. Tetapi subsidi ini diberikan dengan porsi besar sesuai dengan kebutuhan petani saat ini. Karena saat ini biaya produksi sangat tinggi kebijakan ini berguna menekannya melalui subsidi yaitu :

1. Subsidi Pupuk di berapa wilayah di beberapa wilayah.

Peningkatan subsidi pupuk karena pertanian di Indonesia terutama padi masih sangat tergantung pada pupuk. Harga pupuk yang tidak stabil dan cenderung berbeda-beda antar daerah satu dengan daerah lainnya. Yaitu dengan menetapkan atau mengkontrol harga pupuk di Indonesia.


(19)

19 Permasalahan pendistribusian pupuk menjadi sorotan disini. Pemerintah mengawasi pendistribusian pupuk yang masih dikelola oleh swasta. 2. Subsidi pestisida di berbagai wilayah

Seringnya terjadi bahwa tanaman pangan kita diserang hama maka pestisida tidak mungkin dipisahkan dari sektor pertanian. Mahalnya pestisida menyebabkan banyak petani tidak mampu membeli dan nantinya akan berdampak pada gagal panen.

3. Subsidi benih

Benih-benih unggul adalah jawaban untuk meningkat produksi pertanian dan tahan terhadap hama penyakit. Pemerintah memberikan subsidi agar nantinya benih-benih tersebut dapat diperoleh petani dengan murah. 4. Pembukaan lahan pertanian baru tetapi ditujukan untuk memciptakan

ketahanan pangan dan memberi proteksi lahan pertanian dari ancaman alih fungsi lahan, misal melalui peraturan perundang-undangan.

3. Alternatif III (Output pertanian)

Kebijakan terhadap output pertanian dimana menetapkan harga-harga pangan dengan mengintervensi pasar sangat ketat. Kebijakan pertanian ini diterapkan di Malaysia dengan menetapkan harga pangan di seluruh daerah di negara tersebut. Jika ada yang menaikkan harga pangan seenaknya maka pemerintah langsung menindak dengan tegas. Penetapan Harga ini misalnya, Penetapan harga minimum (harga dasar) padi (gabah kering) selama musim panen (mengembalikan peran Bulog saat orde baru). Serta perlu mengkontrol pasar dengan intervensi yaitu mengurangi impor pangan secara berkelanjutan. Salah satu cara yaitu mengembalikan peran atau fungsi Bulog pada waktu orde baru, sebagai stabilisasi harga serta pendistribusian pangan.

Kemudian juga memberikan kredit khusus dengan tingkat suku bunga ringan untuk kegiatan pertanian di beberapa wilayah. Melalui koperasi atau bank


(20)

20 pembangunan daerah maupun bank swasta. Kebijakan ini diterapkan juga di Negara Brazil8.

4. Alternatif IV (Kebijakan gabungan alternatif II dan III) Merupakan gabungan antara alternatif II dan Alternatif III

Dengan menggabungkan kebijakan subsidi input pertanian dan kebijakan output pertanian diharapkan menjawab permasalahan pertanian dari hulu ke hilir. Karena kebijakan ini dapat membantu petani mulai dari produksi saat panen sampai pemasaran produk mereka. Kebijakan pertanian ini menggambarkan kebijakan pada saat orde baru yaitu sebelum Indonesia melakukan perjanjian kepada IMF yang kemudian mengintervensi kebijakan pertanian. Dengan mekanisme tambahan yaitu menyediakan teknologi yang terjangkau oleh petani serta mendorong sektor swasta menghasilkan teknologi tetapi tetap dalam pengawasan dan intervensi pemerintah.

Dari alternatif kebijakan yang ada perlu menilai kelebihan dan kelemahannya sehingga dapat menggambarkan secara detail kebijakan tersebut. Nantinya memberi pandangan tersendiri bagi analis kebijakan dalam memilih suatu alternatif kebijakan.

Alternatif-alternatif kebijakan tersebut memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing, yaitu :

Alternatif I (Pemberdayaan sektor pedesaan)

Kelebihan kebijakan ini :

1. Langsung kepada permasalahan kemiskinan di sektor pedesaan, memberikan peran besar kepada pedesaan menjadi roda industri pertanian. Yang nantinya menciptakan kesejahteraan di pedesaan.

2. Agroindustri pada pedesaan, pedesaan tidak lagi hanya menghasilkan komoditi pertanian tetapi juga mengolahnya produk olahan unggulan. Hal mampu


(21)

21 menarik wisatawan karena pedesaan juga menjadi agrowisata pertanian. Sehingga menumbuhkan perekonomian pedesaan.

3. Akses transportasi yang dibanguan memudahkan akses pendistribusian pangan dari desa ke kota sehingga nantinya mengurangi kelangkaan pangan.

4. Kontrol pemerintah pusat secara penuh dengan koordinasi pemerintah daerah semakin meningkatkan efesiensi dan efektivitas pertanian.

Kelemahan kebijakan ini :

1. Industrilisasi selalu berdampak pada kerusakan atau pencemaran lingkungan. Hal ini harus benar-benar diantisipasi.

2. Faktor-faktor input pertanian seperti pupuk, benih, pestisida jika semakin mahal, maka tetap memberatkan petani terhadap produksi pertanian.

3. Kebijakan impor jika tetap dilakukan akan menghambat perkembangan kebijakan sektor pedesaan. Karena dinamikanya terjadi gap yang jauh antara pangan import dengan pangan lokal termasuk dari sisi harga walaupun dari sisi kualitas produk pangan lokal bisa bersaing.

4. Kesiapan pemerintah daerah untuk melaksanakan kebijakan tersebut dan juga rendahnya pendidikan di sektor pedesaan akan menghambat proses implementasi. Perlu pemberian spesifik grant (DAK) kepada daerah agar kinerja pertanian dapat tersinergi ke daerah.

Alternatif II (subsidi input-input pertanian)

Kelebihan kebijakan ini:

1. Mampu meningkatkan produksi petani sehingga semakin dekat dengan tercapainya swasembada pangan. Segala permasalahan hama dapat diatasi sehingga mengurangi intensitas kegagalan panen. Menciptakan ketahan pangan di pedesaan dan juga ketahanan pangan negara

2. Mengurangi beban produksi petani sehingga nantinya meningkatkan kesejahteraan petani berdasarkan biaya yang dikeluarkan petani semakin menurun.


(22)

22 Kelemahan kebijakan ini:

1. Ketergantungan petani semakin tinggi terhadap pupuk, petisida dan sebagainya. Hal ini juga berdampak pada tanaman yang rentan tergantung pada pupuk dan petisida. Sehingga nantinya kegagalan panen terjadi akibat kelangkaan pupuk.

2. Kerusakan lingkungan akibat pemakaian pupuk atau pestisida semakin parah. Pencemaran air, bisa membunuh tanaman lainnya yang rentan terhadap pestisida tersebut. Juga mencemari air sungai yang nantinya menggangu kesehatan.

Alternatif III (Subsidi output pertanian)

Kelebihan kebijakan ini :

1. Petani mendapatkan pendapatan yang jelas dari harga komiditi pangan yang dihasilkannya. Mendorong petani untuk meningkatkan produksi pertaniannya dapat menciptakan ketahanan pangan.

2. Pertanian tetap menjadi peran sentral pembangunan di Indonesia dan menarik pekerja guna memelihara kesempatan kerja serta menciptakan kesejahteraan. 3. Bulog akan mempunyai peran sentral atau sebagai roda depan dalam proteksi

harga serta pendistribusian pangan. Kelemahan kebijakan ini :

1. Kelangkaan pangan akibat penimbuhan pangan menjadi masalah yang harus dihadapi, dimana ketika harga telah ditetapkan tetapi kelangkaan terjadi dapat menggangu stabilitas harga.

2. Perlu meyakinkan pasar terutama pengusaha terhadap harga yang ditetapkan agar tidak saling merugikan.

3. Ada kecenderungan bank-bank enggan memberikan kredit murah kepada petani karena permasalahan profit. Peran koperasi kurang signifikan dalam pemberian kredit dan perlu kontrol pemerintah pusat secara intensif.


(23)

23 4. Pengembalian peran Bulog seperti orde baru akan memunculkan pro dan kontra terutama dalan ranah politik terkait adanya kepentingan yang bermain di dalamnya.

Alternatif IV (gabungan antara alternatif II dan III)

Kelebihan kebijakan ini :

Kelebihan kebijakan ini hampir sama dengan alternatif II dan alternatif III dimana pada kebijakan ini memberikan solusi pertanian dari hulu hingga hilir. Kemudian lebih menjadi kesejahteraan petani, hal ini terlihat pada NTP (nilai tukar petani) yang semakin tumbuh signifikan. Ketahanan pangan sangat signifikan bahkan menimbulkan swasembada pangan secara berkelanjutan. Dan nantinya akan menempatkan pertanian sebagai nadi pembangunan bangsa seperti apa yang telah dicita-citak terdahulu.

Kelemahan kebijakan ini :

Secara keseluruhan hampir sama dengan kelemahan antara alternatif II dan alternatif III. Tetapi juga perlu diperhatikan terkait dengan kendala implementasi di lapangan yang sering menjadi masalah terkait dengan pendidikan petani yang kurang menghadapi perubahan terutama perubahan cuaca yang nantinya mengancam produksi pertanian.

Pengukuran alternatif-alternatif kebijakan

Dalam proses kebijakan publik selain merancang alternatif-alternatif kebijakan yang sesuai maka perlu perumusan kebijakan yang sesuai dengan masalah. Namun perumusan kebijakan memiliki pendekatan lain yaitu model kebijakan yang berorientasi pada tujuan, atau goal oriented (Nugroho, 2012:585). Memang secara konseptual menjadi tidak ada perbedaan dalam perumusan kebijakan berbasis


(24)

24 masalah dan tujuan. Tujuan sebuah kebijakan publik adalah menjawab tuntutan masyarakat yang menjadi bagian permasalahan. Berkaitan dengan hal tersebut, perumusan kebijakan pertanian memiliki beberapa kriteria tujuan. Adapun kriteria tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tujuan mengurangi angka kemiskinan di pedesaan

Permasalahan kemiskinan semakin kompleks karena tidak bisa dipandang dari satu sebab saja melainkan banyak faktor yang mempengaruhi. Karena itu alternatif kebijakan harus mampu menjawab permasalahan kemiskinan yang semakin mendominasi pedesaan terutama sektor pertanian. Juga kebijakan yang terpilih harus mampu diimplementasikan kedepannya.

2. Ekonomi

Kebijakan yang diambil adalah dapat memberikan keuntungan secara ekonomi. Keuntungkan ekonomi ini dimaksudkan meningkatkan produksi komiditi pangan kita untuk dapat bersaing di era globalisasi dan memberikan pendapatan yang cukup signifikan.

3. Politik

Kriteria ini memberi gambaran bahwa kebijakan yang diambil mendapat dukungan secara politik dari stakeholder dan legislative serta sejalan dengan pelaksanaan otonomi desa.

4. Ketahanan pangan

Kriteria ini melihat suatu kebijakan yang diambil mampu menciptakan ketahanan pangan. Ketahanan pangan dalam arti mampu menciptakan dan memenuhi kebutuhan pangan terhadap 237 juta penduduk. Nantinya kebijakan ini mempunyai dampak cukup signifikan mengatasi masalah kelaparan dan gizi buruk karena secara tidak langsung sangat berkaitan. 5. Kestabilan harga


(25)

25 Kriteria ini memandang suatu kebijakan yang nantinya diambil mampu menstabilkan harga produk pangan kita. Karena harga pangan kita cenderung fluktuatif apalagi menjelang memasuki hari raya atau hari libur. Kestabilan harga ini penting karena berdampak kepada daya beli masyarakat serta berpengaruh pada pendapatan petani.

6. Ketahanan sosial

Kriteria ini dimaknai bahwa nantinya kebijakan yang diambil, semakin memperkuat sektor pertanian sebagai kekuatan pembangunan. Kebijakan yang dipilih agar nantinya mampu mendorong pertanian sebagai bentuk dari proses pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Tahapan selanjutnya kriteria-kriteria tersebut menganalisis alternatif-alternatif kebijakan yang ada menggunakan Metode May (feasible manipulations) untuk melakukan evaluasi atau penilaian terhadap alternatif kebijakan dibandingkan dengan kriteria-kriteria yang ada.

Tabel VI

Penilaian alternatif kebijakan

Kriteria Alternatif kebijakan

Alternatif I (Pemberdayaan sektor pedesaan) Alternatif II (Subsidi input-input pertanian) Alternatif III (Subsidi output pertanian) Alternatif IV (Gab alternatif II dan III)

Mengurangi angka

kemiskinan di pedesaan

Baik, langsung ke sasaran Baik, dibandingk-an dengdibandingk-an status Quo Baik, dibandingkan dengan status Quo Sangat baik, perubahan besar dari status Quo Ekonomi Baik, bila

implementasi sesuai Baik, bila lepas dari tekanan WTO Baik, bila mampu intervensi pasar Sangat baik, menciptakan swasembada Politik Sedang, kendala

implementasi antara pusat dan daerah

Baik, bila ada kontrol penuh pemerintah

Baik Sangat baik, sesuai


(26)

26

Ketahanan pangan

Baik, jika sesuai implementasinya

Baik Baik Baik, harus

berkelanjutan Kestabilan

harga

Sedang, ketika di kota terjadi perubahan Sedang, pasar sangat dominan Baik, bagi petani

Baik, jika tidak terjadi permainan distribusi

Ketahanan Sosial

Sangat Baik, roda industri pedesaan Baik, mampu menarik pekerja Baik, mampu menarik pekerja Sangat baik, menuju arah negara industri pertanian

Berdasarkan hasil kajian terhadap beberapa alternatif kebijakan, maka penulis memiliki pandangan bahwa alternatif kebijakan IV sangat relevan untuk diterapkan. Hal tersebut didasarkan dengan kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Tujuan mengurangi angka kemiskinan di pedesaan, Kemiskinan menjadi problemalitis di negara ini yang tidak pernah selesai. Kemiskinan memang tidak hanya terjadi di pedesaan tetapi juga di perkotaan tetapi tingkat kemiskinan di pedesaan lebih tinggi dari perkotaan. Kemudian ada kemungkinan kemiskinan di perkotaan akibat pengaruh kemiskinan dipedesaan yang mulai bergeser ke perkotaan akibat arus urbanisasi. Dengan kebijakan V yang berupaya memberikan subsidi input-input pertanian dengan porsi yang berbeda, melalui subsidi yang bertahap diharapkan dapat meringankan beban petani. Karena yang ini yang sering dikeluhkan petani, mahalnya harga input pertanian seperti pupuk, pestisida dan lainya. Akibat biaya produksi yang tinggi menyebabkan petani sering merugi apalagi jika harga produk tanaman mereka jatuh. Harga produk seperti bahan-bahan pokok perlu diproteksi dengan ketat agar tidak merugikan petani dan konsumen. Karena kemiskinan terjadi karena biaya yang diperoleh petani tidak sebanding dengan harga yang didapatnya, hal ini membuat banyak petani gulung tikar dengan menjual lahan pertaniannya. Jika kebijakan ini diterapkan menjamin kesejahteraan sektor pertanian khususnya petani.

2. Ekonomi, dari sektor ekonomi kebijakan ini jelas menuntungkan tetapi tidak secara instan. Karena pembangunan sektor pertanian butuh proses yang cukup


(27)

27 lama karena banyaknya pekerja di sektor pertanian serta tahapan yang baik. Kebijakan ini menguntungkan secara kesinambungan karena mengkuatkan sektor pedesaan, pertumbuhan ekonomi tidak hanya terjadi di perkotaan atau di jabotabek saja seperti saat ini. Pertumbuhan ekonomi mulai mengjangkau sektor pedesaan sehingga nantinya menimbulkan pemerataan di seluruh daerah. Kemudian kebijakan ini menumbuhkan daya saing pertanian kita, karena pertanian semakin menarik pekerja dan terus berproduksi secara meningkatkan pendapatan negara sektor pertanian.

3. Politik, kebijakan ini menjangkau tuntutan petani yang selama ini diabaikan. Baik DPR maupun Pemerintah harus melihat kebijakan ini lebih ideal menghadapi persoalan tetapi terkadang dinamika berbeda dengan harapan. Karena selama ini pertanian hanya menjadi kendaaraan politik saja seperti pada Organisasi pertanian seperti HKTI, SPI dan lainnya kurang menjawab persoalan sektor pertanian.

4. Ketahanan Pangan, Ketahanan pangan terwujud karena kebijakan ini akan menggiatkan roda pertanian. Petani semakin berupaya untuk terus bertani karena pemerintah menjamin sektor pertanian dari hulu hingga hilir melalui kebijakan ini. Melalui kebijakan ini mencapai swasembada pangan secara berkelanjutan. Pendistribusian pangan mencapai seluruh daerah sehingga masalah kelaparan dan busung lapar.

5. Kestabilan Harga. Kestabilan harga sering mengancam pertanian kita. Harga produk pangan kita sering fluktuatif bahkan selalu naik. Harga yang berbeda cenderung merugikan petani apalagi ketika hari raya besar petani atau hari lainnya. Ketika harga produk pangan di serahkan kepada swasta, hal ini yang menjadi masalah besar karena pengusaha cenderung mempermainkan harga. Maka dengan mengembalikan peran Bulog pada waktu orde baru akan jelas kinerjanya karena dibawah kendali pemerintah daripada diserahkan kepada pasar dalam penetapan harga.


(28)

28 6. Ketahanan Sosial, Kebijakan ini diharapkan semakin membuat pertanian menjadi sektor unggulan dibandingkan sektor lainnya. Pertanian akan semakin berkembang merangkul permasalahan terkait kelaparan, pengangguran, kemiskinan tentunya dan lain sebagainya. Karena selama ini pertanian semakin terpuruk dan terpinggirkan, maka dengan kebijakan ini berupaya menjawab persoalan tersebut.

Kesimpulan

Kebijakan di sektor pertanian menjadi sesuatu yang penting dalam sebuah proses pembangunan. Pertanian tidak lagi hanya berbicara pada ketahanan pangan tetapi harus mencapai kedaulatan (kemandirian) pangan. Otonomi desa menjadi ruang pada desa mewujudkan hal tersebut sehingga berdampak signifikan tidak hanya pada desa tetapi secara regional hingga nasional. Nantinya kemandirian desa dilihat dari kemampuan dalam mengelola dan menciptakan kebijakan yang tepat mengatasi masalah. Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperbaiki guna memberi ruang bagi desa dalam konteks otonomi desa. Pertama, dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan kebijakan. Kewenangan desa adalah melaksanakan kebijakan nasional dan daerah, maka diperlukan sinergitas dalam proses perumusan kebijakan. Perumusan kebijakan ini juga perlu melibatkan peran stakeholder para petani agar mampu mencari aspirasi atau tuntutan petani. Para perumuskan kebijakan harus melibatkan pihak petani agar nantinya mencapai sasaran yang dituju. Perumus kebijakan juga terdapat di permerintah daerah maka perlu koordinasi secara intensif.

Kedua, kebijakan dengan melibatkan kelompok sasaran. Kelompok sasaran di sini lebih fokus kepada petani tidak kemungkinan sektor swasta untuk menjaga kestabilan harga. Petani harus mengetahui kebijakan yang dilakukan serta perlu dukungan masyarakat secara luas. Mampu tidaknya kelompok sasaran menerima kebijakan berdampak pada kelangsungan kebijakan tersebut. Stakeholder sektor


(29)

29 pertanian pun harus dilibatkan seperti NGO, LSM, bahkan sampai pemerintah daerah sebagai bentuk pengawasannya. Sosialisasi kepada kelompok tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, karena untuk menciptakan kesinambungan kebijakan perlu memperkuat sektor pertanian di seluruh Indonesia. Pemahaman petani yang berbeda antar daerah menjadi kendala terkait rendahnya pendidikan petani. Tetapi jika dilakukan secara insentif memberikan dampak yang cukup signifikan.

Ketiga, sinergitas diantara aktor pelaksana kebijakan. Kunci keberhasilan implementasi kebijakan terletak pada pelaksanaan karena cenderung butuh koordinasi lintas kementrian, departemen, dan birokrasi. Oleh karena itu perlu sosialisasi diberikan kepada aktor pelaksana pusat dan aktor pelaksana daerah. Aktor pelaksana pusat yaitu Departemen Pertanian yang perlu berkoordinasi dengan Departemen perindustrian dan Departemen Perdagangan terkait dengan distribusi dan subsidi input pertanian serta kestabilan harga pangan. Sosialisasi yang benar-benar sesuai karena melakukan koordinasi antar depertemen agar implementator mengetahui yang dilakukan. Aktor pelaksana di daerah pun perlu skema yang tersinergi dengan aktor pelaksana pusat agar proses implementasi yang sama sehingga implementasi mencapai sasaran.


(30)

30 DAFTAR PUSTAKA

Dunn, William. N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gajah Mada University Press. Yogyalarta,

Fakih, Mansour.2009 Runtuhnya teori pembangunan dan Globalisasi. Insist Press: Yogyakarta

Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisis. Gava Media: Yogyakarta.

Nugroho, Riant, 2010. Public Policy.PT Alex Media Komputindo.Jakarta. Khudori. Neoliberalisme menumpas Petani. Resist book : Yogyakarta 2004

Sutanto, Jusuf Ed. 2009, “Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban” . Kompas, Yogyakarta

UU no 5 Tahun 1960 Peraturan pokok Agraria. www. BPS.com


(1)

25

Kriteria ini memandang suatu kebijakan yang nantinya diambil mampu menstabilkan harga produk pangan kita. Karena harga pangan kita cenderung fluktuatif apalagi menjelang memasuki hari raya atau hari libur. Kestabilan harga ini penting karena berdampak kepada daya beli masyarakat serta berpengaruh pada pendapatan petani.

6. Ketahanan sosial

Kriteria ini dimaknai bahwa nantinya kebijakan yang diambil, semakin memperkuat sektor pertanian sebagai kekuatan pembangunan. Kebijakan yang dipilih agar nantinya mampu mendorong pertanian sebagai bentuk dari proses pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Tahapan selanjutnya kriteria-kriteria tersebut menganalisis alternatif-alternatif kebijakan yang ada menggunakan Metode May (feasible manipulations) untuk melakukan evaluasi atau penilaian terhadap alternatif kebijakan dibandingkan dengan kriteria-kriteria yang ada.

Tabel VI

Penilaian alternatif kebijakan

Kriteria Alternatif kebijakan

Alternatif I (Pemberdayaan sektor pedesaan) Alternatif II (Subsidi input-input pertanian) Alternatif III (Subsidi output pertanian) Alternatif IV (Gab alternatif II dan III)

Mengurangi angka

kemiskinan di pedesaan

Baik, langsung ke sasaran Baik, dibandingk-an dengdibandingk-an status Quo Baik, dibandingkan dengan status Quo Sangat baik, perubahan besar dari status Quo Ekonomi Baik, bila

implementasi sesuai Baik, bila lepas dari tekanan WTO Baik, bila mampu intervensi pasar Sangat baik, menciptakan swasembada Politik Sedang, kendala

implementasi antara pusat dan daerah

Baik, bila ada kontrol penuh pemerintah

Baik Sangat baik, sesuai


(2)

26

Ketahanan pangan

Baik, jika sesuai implementasinya

Baik Baik Baik, harus

berkelanjutan Kestabilan

harga

Sedang, ketika di kota terjadi perubahan Sedang, pasar sangat dominan Baik, bagi petani

Baik, jika tidak terjadi permainan distribusi

Ketahanan Sosial

Sangat Baik, roda industri pedesaan Baik, mampu menarik pekerja Baik, mampu menarik pekerja Sangat baik, menuju arah negara industri pertanian

Berdasarkan hasil kajian terhadap beberapa alternatif kebijakan, maka penulis memiliki pandangan bahwa alternatif kebijakan IV sangat relevan untuk diterapkan. Hal tersebut didasarkan dengan kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Tujuan mengurangi angka kemiskinan di pedesaan, Kemiskinan menjadi problemalitis di negara ini yang tidak pernah selesai. Kemiskinan memang tidak hanya terjadi di pedesaan tetapi juga di perkotaan tetapi tingkat kemiskinan di pedesaan lebih tinggi dari perkotaan. Kemudian ada kemungkinan kemiskinan di perkotaan akibat pengaruh kemiskinan dipedesaan yang mulai bergeser ke perkotaan akibat arus urbanisasi. Dengan kebijakan V yang berupaya memberikan subsidi input-input pertanian dengan porsi yang berbeda, melalui subsidi yang bertahap diharapkan dapat meringankan beban petani. Karena yang ini yang sering dikeluhkan petani, mahalnya harga input pertanian seperti pupuk, pestisida dan lainya. Akibat biaya produksi yang tinggi menyebabkan petani sering merugi apalagi jika harga produk tanaman mereka jatuh. Harga produk seperti bahan-bahan pokok perlu diproteksi dengan ketat agar tidak merugikan petani dan konsumen. Karena kemiskinan terjadi karena biaya yang diperoleh petani tidak sebanding dengan harga yang didapatnya, hal ini membuat banyak petani gulung tikar dengan menjual lahan pertaniannya. Jika kebijakan ini diterapkan menjamin kesejahteraan sektor pertanian khususnya petani.

2. Ekonomi, dari sektor ekonomi kebijakan ini jelas menuntungkan tetapi tidak secara instan. Karena pembangunan sektor pertanian butuh proses yang cukup


(3)

27

lama karena banyaknya pekerja di sektor pertanian serta tahapan yang baik. Kebijakan ini menguntungkan secara kesinambungan karena mengkuatkan sektor pedesaan, pertumbuhan ekonomi tidak hanya terjadi di perkotaan atau di jabotabek saja seperti saat ini. Pertumbuhan ekonomi mulai mengjangkau sektor pedesaan sehingga nantinya menimbulkan pemerataan di seluruh daerah. Kemudian kebijakan ini menumbuhkan daya saing pertanian kita, karena pertanian semakin menarik pekerja dan terus berproduksi secara meningkatkan pendapatan negara sektor pertanian.

3. Politik, kebijakan ini menjangkau tuntutan petani yang selama ini diabaikan. Baik DPR maupun Pemerintah harus melihat kebijakan ini lebih ideal menghadapi persoalan tetapi terkadang dinamika berbeda dengan harapan. Karena selama ini pertanian hanya menjadi kendaaraan politik saja seperti pada Organisasi pertanian seperti HKTI, SPI dan lainnya kurang menjawab persoalan sektor pertanian.

4. Ketahanan Pangan, Ketahanan pangan terwujud karena kebijakan ini akan menggiatkan roda pertanian. Petani semakin berupaya untuk terus bertani karena pemerintah menjamin sektor pertanian dari hulu hingga hilir melalui kebijakan ini. Melalui kebijakan ini mencapai swasembada pangan secara berkelanjutan. Pendistribusian pangan mencapai seluruh daerah sehingga masalah kelaparan dan busung lapar.

5. Kestabilan Harga. Kestabilan harga sering mengancam pertanian kita. Harga produk pangan kita sering fluktuatif bahkan selalu naik. Harga yang berbeda cenderung merugikan petani apalagi ketika hari raya besar petani atau hari lainnya. Ketika harga produk pangan di serahkan kepada swasta, hal ini yang menjadi masalah besar karena pengusaha cenderung mempermainkan harga. Maka dengan mengembalikan peran Bulog pada waktu orde baru akan jelas kinerjanya karena dibawah kendali pemerintah daripada diserahkan kepada pasar dalam penetapan harga.


(4)

28

6. Ketahanan Sosial, Kebijakan ini diharapkan semakin membuat pertanian menjadi sektor unggulan dibandingkan sektor lainnya. Pertanian akan semakin berkembang merangkul permasalahan terkait kelaparan, pengangguran, kemiskinan tentunya dan lain sebagainya. Karena selama ini pertanian semakin terpuruk dan terpinggirkan, maka dengan kebijakan ini berupaya menjawab persoalan tersebut.

Kesimpulan

Kebijakan di sektor pertanian menjadi sesuatu yang penting dalam sebuah proses pembangunan. Pertanian tidak lagi hanya berbicara pada ketahanan pangan tetapi harus mencapai kedaulatan (kemandirian) pangan. Otonomi desa menjadi ruang pada desa mewujudkan hal tersebut sehingga berdampak signifikan tidak hanya pada desa tetapi secara regional hingga nasional. Nantinya kemandirian desa dilihat dari kemampuan dalam mengelola dan menciptakan kebijakan yang tepat mengatasi masalah. Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperbaiki guna memberi ruang bagi desa dalam konteks otonomi desa. Pertama, dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan kebijakan. Kewenangan desa adalah melaksanakan kebijakan nasional dan daerah, maka diperlukan sinergitas dalam proses perumusan kebijakan. Perumusan kebijakan ini juga perlu melibatkan peran stakeholder para petani agar mampu mencari aspirasi atau tuntutan petani. Para perumuskan kebijakan harus melibatkan pihak petani agar nantinya mencapai sasaran yang dituju. Perumus kebijakan juga terdapat di permerintah daerah maka perlu koordinasi secara intensif.

Kedua, kebijakan dengan melibatkan kelompok sasaran. Kelompok sasaran di sini lebih fokus kepada petani tidak kemungkinan sektor swasta untuk menjaga kestabilan harga. Petani harus mengetahui kebijakan yang dilakukan serta perlu dukungan masyarakat secara luas. Mampu tidaknya kelompok sasaran menerima kebijakan berdampak pada kelangsungan kebijakan tersebut. Stakeholder sektor


(5)

29

pertanian pun harus dilibatkan seperti NGO, LSM, bahkan sampai pemerintah daerah sebagai bentuk pengawasannya. Sosialisasi kepada kelompok tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, karena untuk menciptakan kesinambungan kebijakan perlu memperkuat sektor pertanian di seluruh Indonesia. Pemahaman petani yang berbeda antar daerah menjadi kendala terkait rendahnya pendidikan petani. Tetapi jika dilakukan secara insentif memberikan dampak yang cukup signifikan.

Ketiga, sinergitas diantara aktor pelaksana kebijakan. Kunci keberhasilan implementasi kebijakan terletak pada pelaksanaan karena cenderung butuh koordinasi lintas kementrian, departemen, dan birokrasi. Oleh karena itu perlu sosialisasi diberikan kepada aktor pelaksana pusat dan aktor pelaksana daerah. Aktor pelaksana pusat yaitu Departemen Pertanian yang perlu berkoordinasi dengan Departemen perindustrian dan Departemen Perdagangan terkait dengan distribusi dan subsidi input pertanian serta kestabilan harga pangan. Sosialisasi yang benar-benar sesuai karena melakukan koordinasi antar depertemen agar implementator mengetahui yang dilakukan. Aktor pelaksana di daerah pun perlu skema yang tersinergi dengan aktor pelaksana pusat agar proses implementasi yang sama sehingga implementasi mencapai sasaran.


(6)

30

DAFTAR PUSTAKA

Dunn, William. N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gajah Mada University Press. Yogyalarta,

Fakih, Mansour.2009 Runtuhnya teori pembangunan dan Globalisasi. Insist Press: Yogyakarta

Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisis. Gava Media: Yogyakarta.

Nugroho, Riant, 2010. Public Policy.PT Alex Media Komputindo.Jakarta. Khudori. Neoliberalisme menumpas Petani. Resist book : Yogyakarta 2004

Sutanto, Jusuf Ed. 2009, “Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban” . Kompas, Yogyakarta

UU no 5 Tahun 1960 Peraturan pokok Agraria. www. BPS.com