pertanggungjawaban pidana penipuan dengan cara hipnotis dikaitkan dengan pasal 378 kitab undang-undang hukum pidana tentang penipuan.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENIPUAN DENGAN CARA
HIPNOTIS DIKAITKAN DENGAN PASAL 378 KITAB UNDANG–
UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PENIPUAN
ABSTRAK
Kasus kejahatan dengan cara hipnotis, termasuk jenis kejahatan
penipuan. Kejahatan ini juga termasuk sulit diungkap. Selain karena
minimnya barang bukti, banyak korban kejahatan hipnotis memilih tidak
melapor kepada polisi, dengan berbagai alasan, seperti malu, tidak ada
saksi, tidak ada bukti, atau pesimis polisi bisa mengungkap kasus yang
menimpanya. Kejahatan hipnotis ini perlu dimasukkan ke dalam undangundang sebagai suatu delik pidana karena kejahatan ini langsung
dirasakan oleh masyarakat.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif, yaitu penelitian yang melihat efektivitas hukum di dalam
masyarakat. Data yang dipergunakan adalah data sekunder yaitu bahan
hukum primer.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan, bahwa pengaturan tindak
pidana penipuan dengan cara hipnotis adalah berdasarkan pasal 378
KUHP. Didalam peraturan perundang-undang lainnya belum ada yang
mengaturnya. Hal tersebut karena tindak pidana penipuan dengan cara
hipnotis dianggap bukan merupakan tindak pidana yang membahayakan
kepentingan negara. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
pidana kepada terdakwa di Pengadilan Negeri Bandung dengan
memeriksa fakta-fakta di persidangan melalui keterangan saksi,
pemeriksaan terhadap keterangan terdakwa dan barang bukti yang
dihadirkan di persidangan dihubungkan dengan unsur-unsur yang
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum serta keyakinan hakim selain itu
adalah mengenai hal yang memberatkan dan hal yang meringankan.
Dalam kasus tindak pidana penipuan dengan cara hipnotis diatas, pidana
yang dijatuhkan termasuk ringan yaitu pidana penjara 10 (sepuluh) bulan
lebih ringan dari tuntutan Penuntut Umum yaitu pidana penjara 12 (dua
belas) bulan. Namun itu merupakan kewenangan Majelis hakim untuk
menjatuhkan putusan. Didalam penjatuhan putusan, ada suatu aturan
yang mana Majelis Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana melebihi apa
yang dituntut oleh Penuntut Umum.
iv
HIPNOTIS DIKAITKAN DENGAN PASAL 378 KITAB UNDANG–
UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PENIPUAN
ABSTRAK
Kasus kejahatan dengan cara hipnotis, termasuk jenis kejahatan
penipuan. Kejahatan ini juga termasuk sulit diungkap. Selain karena
minimnya barang bukti, banyak korban kejahatan hipnotis memilih tidak
melapor kepada polisi, dengan berbagai alasan, seperti malu, tidak ada
saksi, tidak ada bukti, atau pesimis polisi bisa mengungkap kasus yang
menimpanya. Kejahatan hipnotis ini perlu dimasukkan ke dalam undangundang sebagai suatu delik pidana karena kejahatan ini langsung
dirasakan oleh masyarakat.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif, yaitu penelitian yang melihat efektivitas hukum di dalam
masyarakat. Data yang dipergunakan adalah data sekunder yaitu bahan
hukum primer.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan, bahwa pengaturan tindak
pidana penipuan dengan cara hipnotis adalah berdasarkan pasal 378
KUHP. Didalam peraturan perundang-undang lainnya belum ada yang
mengaturnya. Hal tersebut karena tindak pidana penipuan dengan cara
hipnotis dianggap bukan merupakan tindak pidana yang membahayakan
kepentingan negara. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
pidana kepada terdakwa di Pengadilan Negeri Bandung dengan
memeriksa fakta-fakta di persidangan melalui keterangan saksi,
pemeriksaan terhadap keterangan terdakwa dan barang bukti yang
dihadirkan di persidangan dihubungkan dengan unsur-unsur yang
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum serta keyakinan hakim selain itu
adalah mengenai hal yang memberatkan dan hal yang meringankan.
Dalam kasus tindak pidana penipuan dengan cara hipnotis diatas, pidana
yang dijatuhkan termasuk ringan yaitu pidana penjara 10 (sepuluh) bulan
lebih ringan dari tuntutan Penuntut Umum yaitu pidana penjara 12 (dua
belas) bulan. Namun itu merupakan kewenangan Majelis hakim untuk
menjatuhkan putusan. Didalam penjatuhan putusan, ada suatu aturan
yang mana Majelis Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana melebihi apa
yang dituntut oleh Penuntut Umum.
iv