PENGARUH PEMBELAJARAN IPA BERBASIS SCIENTIFIC INQUIRY AND SCIENCE ISSUES PADA KETERCAPAIAN 3 RANAH HASIL BELAJAR SISWA SMP.

(1)

vii

PENGARUH PEMBELAJARAN IPA BERBASIS SCIENTIFIC INQUIRY

AND SCIENCE ISSUES PADA KETERCAPAIAN 3 RANAH HASIL

BELAJAR SISWA SMP Oleh

Tri Handayani NIM 12312241035

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan yaitu implementasi pendekatan pembelajaran scientific inquiry and science issues yang belum optimal dan hasil belajar belum memuaskan sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis: (1) pengaruh pembelajaran berbasis scientific inquiry and science issues pada ketercapaian ranah kognitif siswa SMP, (2) pengaruh pembelajaran berbasis scientific inquiry and science issues pada ketercapaian ranah afektif siswa SMP, (3) pengaruh pembelajaran berbasis scientific inquiry and science issues pada ketercapaian ranah psikomotor siswa SMP, dan (4) pengaruh pembelajaran berbasis scientific inquiry and science issues pada ketercapaian ranah kognitif, afektif dan psikomotor siswa SMP.

Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment dengan desain pretest-posttest nonequivalent control grup design. Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP N 2 Tempel. Sampel dalam penelitian ini adalah VIII C sebagai kelas eksperimen yang menggunakan pendekatan scientific inquiry and science issues dan VIII A sebagai kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) lembar keterlaksanaan pembelajaran scientific inquiry and science issues, (2) soal pretest-posttest, (3) lembar observasi sikap ilmiah, dan (4) lembar observasi practical skills. Untuk menganalisis pengaruh pembelajaran berbasis scientific inquiry and science issues terhadap 3 ranah hasil belajar siswa SMP digunakan uji Manova.

Hasil penelitian ini adalah (1) terdapat pengaruh pembelajaran berbasis scientific inquiry and science issues terhadap ranah kognitif sebesar 6,1 % dengan nilai signifikansi 0,036 dan nilai F 4,628; (2) terdapat pengaruh pembelajaran berbasis scientific inquiry and science issues terhadap ranah afektif sebesar 34,0 % dengan nilai signifikansi 0,000 dan nilai F 29,892; (3) terdapat pengaruh pembelajaran berbasis scientific inquiry and science issues terhadap ranah psikomotor sebesar 15,0 % dengan nilai signifikansi 0,002 dan nilai F 10,869; (4) terdapat pengaruh pembelajaran berbasis scientific inquiry and science issues terhadap ranah kognitif, afektif dan psikomotor siswa dengan nilai signifikansi 0,000.


(2)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses yang berfungsi membimbing siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan tugas perkembangannya. Tugas perkembangan tersebut mencakup kebutuhan hidup baik individu maupun sosial dan juga sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, proses pembelajaran menjadikan manusia selalu berubah sesuai dengan tugas perkembangannya.

Pembelajaran di sekolah merupakan kegiatan yang melibatkan interaksi antara guru dan siswa. Interaksi ini memerlukan berbagai cara agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan optimum. Tujuan pembelajaran yang optimum hendaknya tetap memperhatikan tiga ranah kemampuan siswa yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif fokus dalam hal kemampuan berpikir dan menalar siswa, afektif fokus pada sikap siswa, dan psikomotor fokus pada ketrampilan siswa.

Ketercapaian tujuan pembelajaran IPA dapat ditinjau dari penilaian hasil belajarnya. Salah satu prinsip dasar yang harus diperhatikan dan dipegang dalam penilaian adalah prinsip utuh atau menyeluruh. Evaluasi hasil belajar harus mencakup tiga aspek baik dari segi pemahaman terhadap materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan (aspek kognitif), segi sikap (aspek afektif), maupun segi ketrampilan (aspek psikomotor). Ketiga aspek itu saling berkaitan erat dan tidak dapat dilepaskan dari kegiatan atau proses evaluasi hasil belajar IPA. Aspek kognitif, afektif, dan psikomotor harus dijadikan


(3)

2 sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar IPA untuk memantau setiap perkembangan kemampuan siswa. Pelaksanaan penilaian hasil belajar IPA yang menyeluruh akan memudahkan guru untuk memberikan keputusan bagi setiap siswa yang didasarkan pada proses pembelajaran, bukan hanya pada produk pembelajaran saja.

Pada Tahun 2012, kemampuan IPA siswa Indonesia berada di peringkat 64 dari 65 Negara dengan skor 382 (PISA, 2012). Kemampuan IPA yang diukur oleh PISA adalah penggunaan pengetahuan dan identifikasi masalah untuk memahami fakta-fakta dan membuat keputusan tentang alam serta perubahan yang terjadi pada lingkungan (kemdikbud.go.id). Hasil penelitian PISA dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil penelitian ini merupakan cerminan hasil belajar siswa Indonesia yang masih rendah. Hal ini terbukti dari hasil wawancara dengan Guru IPA di SMP N 2 Tempel yang menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Menurut Guru IPA SMP N 2 Tempel, penilaian hasil belajar IPA yang melibatkan 3 aspek susah untuk diterapkan karena tidak semua materi IPA memunculkan 3 aspek tersebut. Selain itu, nilai pada raport tidak dituntut untuk menunjukkan nilai afektif dan psikomotor sehingga nilai afektif dan psikomotor ini hanya digunakan untuk arsip guru saja dan hasilnya belum optimal. Penilaian yang masih fokus pada ranah konitif mengakibatkan pembelajaran IPA kurang aktif. Padahal salah satu prinsip dasar dalam melakukan evaluasi hasil belajar siswa tidak hanya fokus pada aspek kognitif saja, tetapi harus menyeluruh terhadap kemampuan siswa. Hasil wawancara dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil belajar IPA


(4)

3 pada ranah kognitif di SMP N 2 Tempel juga masih rendah. Hal ini terbukti dengan rata-rata nilai ulangan tengah semester gasal kelas VIII tahun 2015 masih berkisar 50-75. Nilai ini tentu masih dibawah nilai KKM yakni rata-rata 76. Nilai UTS SMP N 2 Tempel dapat dilihat pada Lampiran 3.

Selain penilaian hasil belajar IPA yang masih fokus pada ranah kognitif, berdasarkan hasil wawancara dengan Guru IPA di SMP N 2 Tempel, penerapan pembelajaran IPA yang mendorong siswa aktif masih terbatas pada beberapa materi IPA saja. Hal ini karena penerapan pembelajaran IPA yang aktif sering terbentur dengan waktu dan kemampuan anak. Materi IPA yang banyak mengharuskan penyediaan waktu yang longgar untuk melakukan berbagai kegiatan pembelajaran yang menuntut siswa aktif. Pembelajaran IPA yang aktif juga didukung oleh keaktifan dari siswa sendiri karena tidak semua kelas memiliki siswa yang aktif dalam pembelajaran. Padahal menurut Eveline Siregar dan Hartini Nara (2010: 76), pembelajaran pada hakikatnya adalah berpusat pada siswa. Siswa belajar aktif menemukan dan memproses sendiri pengetahuannya. Pembelajaran yang berpusat pada siswa, menjadikan peran guru semakin kompleks. Peran guru tidak lagi sebagai penyampai informasi dan siswa tidak hanya sebagai penerima informasi. Guru menfasilitasi penemuan-penemuan dan pemecahan masalah yang dilakukan oleh siswa dan mendorong siswa untuk belajar aktif.

Berdasarkan realita yang sudah di deskripsikan sebelumnya, pembelajaran IPA ditingkat SMP kurang menekankan terhadap proses pemerolehan pengetahuan siswa melainkan pada hasil belajar siswa yaitu


(5)

4 ranah kognitifnya saja. Pembelajaran lebih menekankan pada materi yang akan digunakan siswa dalam ujian nasional. Siswa berlatih dengan soal-soal yang hanya fokus pada ranah kognitif saja. Hal ini tentu mengesampingkan dasar evaluasi pembelajaran yang bersifat menyeluruh. Selain itu, kurangnya kegiatan diskusi kelompok dan percobaan IPA mengakibatkan rendahnya keaktifan siswa dan ketrampilan siswa terutama dalam hal penyelidikan IPA. Padahal proses pemerolehan pengetahuan yang melibatkan siswa secara langsung akan lebih bermakna bagi siswa, karena dapat memberikan pengalaman yang nyata. Oleh karena itu, perencanaan dan persiapan pembelajaran IPA harus dilakukan terutama dalam hal pendekatan, model, metode pembelajaran agar pembelajaran IPA dapat terlaksana dengan optimal.

NSTA (2003: 4-30) menyebutkan 10 standar persiapan guru IPA (Standards for Science Teacher Preparation), yaitu standar isi (content); standar hakikat IPA (nature of science); standar inkuiri (inquiry); standar issues; standar keterampilan umum mengajar; standar kurikulum; standar sains (IPA) dan masyarakat; standar asesmen; standar keselamatan dan kesejahteraan; serta standar pertumbuhan profesional. Sepuluh standar tersebut dapat dijadikan acuan bagi guru untuk merencanakan pembelajaran IPA. Pembelajaran IPA yang direncanakan dengan standar-standar tersebut, dapat menjadi suatu wadah bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar sehingga dapat bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.


(6)

5 Salah satu standar pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran IPA adalah inkuiri. Inkuiri adalah pembelajaran yang berorientasi pada proses dan bertujuan untuk mengajarkan siswa melatih ketrampilan, pengetahuan, dan sikap. Keterampilan, pengetahuan, dan sikap tersebut digunakan untuk menjawab pertanyaan suatu masalah atau isu yang penting (Kilbane, Clare R. dan Milman, Natalie B, 2014: 244).

Inkuiri mengutamakan pembelajaran melalui pengalaman secara langsung. Secara umum inkuiri memiliki makna untuk menemukan informasi, menanyakan dan menginvestigasi fenomena yang terjadi dalam lingkungan sekitar. Melalui aktivitas seperti eksperimen, siswa menyelidiki suatu fenomena dan membuat kesimpulan sendiri. Hal ini sesuai dengan dua standar persiapan guru IPA yang direkomendasikan oleh NSTA yaitu standard inquiry dan standard issues. Standard inquiry dan standard issues merupakan dua standar dari 10 standar persiapan guru IPA yang memiliki keterkaitan sehingga dapat dipadukan.

Pembelajaran berbasis standard inquiry akan membawa dampak bagi perkembangan mental positif siswa. Pembelajaran berbasis standard inquiry memberikan kesempatan yang luas bagi siswa untuk mencari dan menemukan sendiri apa yang dibutuhkan, terutama dalam pembelajaran yang bersifat abstrak. Standard issues menuntut guru untuk memahami pentingnya isu-isu IPA di masyarakat yang berkaitan dengan teknologi, menggunakan proses ilmiah dalam menganalisis dan membuat keputusan terkait dengan isu-isu IPA serta mengajak siswa menganalisis masalah, mempertimbangkan resiko,


(7)

6 keuntungan dan pemecahan alternatif, menghubungkan isu-isu dengan pengetahuan, tujuan dan nilai-nilai mulia. Standard inquiry dan standard issues dapat dipadukan menjadi suatu pendekatan pembelajaran untuk menyelidiki masalah atau isu yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran dengan pendekatan ini dimulai ketika guru menampilkan masalah atau isu yang ada di masyarakat untuk diselidiki oleh siswa.

Salah satu contoh isu yang berkembang dalam masyarakat adalah bahan kimia berbahaya dalam jajanan anak sekolah. Bahan kimia tersebut meliputi pewarna, pengawet, pemanis, penguat rasa, dan lain-lain. Adanya masalah tersebut dapat diselidiki oleh siswa dengan inquiry. Siswa dapat menemukan masalah/isu, memecahkan masalah, dan menyimpulkan sendiri hasil pemecahan masalah tersebut melalui pendekatan inquiry yang berbasis isu-isu dalam IPA.

Pembelajaran IPA berbasis scientific inquiry and science issues lebih tepat apabila diterapkan dalam pembelajaran IPA karena obyek kajian IPA dapat ditemui di alam sekitar. Pengalaman yang diperoleh siswa ketika berada di alam tentu akan menjadi salah satu bekal siswa untuk belajar IPA. Selain itu, dengan pendekatan ini, siswa mampu belajar lebih mandiri, aktif, dan dapat memperoleh jawaban sendiri atas pertanyaan mereka tentang masalah yang berada di sekitar mereka. Pembelajaran IPA dengan scientific inquiry and science issues dapat melatih segi pemahaman materi (aspek kognitif), segi sikap (aspek afektif), dan ketrampilan (aspek psikomotor). Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Pengaruh pembelajaran


(8)

7 IPA berbasis scientific Inquiry and science issues pada ketercapaian 3 ranah

hasil belajar siswa SMP”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang, masalah yang dapat diidentifikasi antara lain sebagai berikut:

1. Salah satu prinsip dasar penilaian yang harus diperhatikan dan dipegang adalah prinsip utuh. Prinsip utuh adalah mengevaluasi secara menyeluruh terhadap siswa, baik dari segi pemahamannya (aspek kognitif), maupun dari segi sikap (aspek afektif), dan ketrampilan (aspek psikomotor). Namun penerapan penilaian hasil belajar IPA masih fokus pada ranah kognitif dan hasilnya belum optimal.

2. Pembelajaran pada hakikatnya adalah berpusat pada siswa sehingga siswa belajar aktif menemukan dan memproses sendiri pengetahuannya. Namun penerapannya masih terbatas pada beberapa materi IPA saja, sehingga siswa kurang aktif.

3. Pendekatan pembelajaran merupakan dasar dalam melaksanakan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran IPA adalah pendekatan inquiry. Pendekatan ini melatih siswa untuk melakukan penyelidikan isu atau masalah dalam IPA atau science issues. Oleh karena itu, inkuiri dapat dipadukan dengan science issues menjadi pendekatan berbasis


(9)

8 scientific inquiry and science issues yang belum banyak diimplementasikan.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah agar permasalahan menjadi lebih fokus dilakukan pembatasan masalah yaitu masalah nomor satu dan empat yakni pembelajaran berbasis scientific inquiry and science issues terhadap ketercapaian tiga ranah hasil belajar IPA yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah, maka dapat dirumuskan permasalahannya yaitu sebagai berikut :

1. Apakah ada pengaruh pembelajaran IPA berbasis scientific Inquiry and science issues pada ketercapaian ranah kognitif siswa SMP?

2. Apakah ada pengaruh pembelajaran IPA berbasis scientific Inquiry and science issues pada ketercapaian ranah afektif siswa SMP?

3. Apakah ada pengaruh pembelajaran IPA berbasis scientific Inquiry and science issues pada ketercapaian ranah psikomotor siswa SMP?

4. Apakah ada pengaruh pembelajaran IPA berbasis scientific Inquiry and science issues pada ketercapaian ranah kognitif, afektif, dan psikomotor siswa SMP?


(10)

9 E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis:

1. Pengaruh pembelajaran IPA berbasis scientific Inquiryand science issues pada ketercapaian ranah kognitif siswa SMP.

2. Pengaruh pembelajaran IPA berbasis scientific Inquiryand science issues pada ketercapaian ranah afektif siswa SMP.

3. Pengaruh pembelajaran IPA berbasis scientific Inquiryand science issues pada ketercapaian ranah psikomotor siswa SMP.

4. Pengaruh pembelajaran IPA berbasis scientific Inquiryand science issues pada ketercapaian ranah kognitif, afektif, dan psikomotor siswa SMP.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1. Bagi Calon Guru

a. Sebagai sarana untuk memberikan variasi dalam penggunaan pendekatan pembelajaran.

b. Sebagai sarana untuk melatih ketrampilan membelajarkan IPA. 2. Bagi siswa

a. Memberikan latihan untuk menemukan pengetahuan dengan pembelajaran yang bermakna (meaningful learning).

b. Memberikan pengalaman secara langsung sehingga siswa mempunyai kesan dalam belajarnya.


(11)

10 3. Bagi guru

a. Memberikan gambaran pemilihan dan penerapan pendekatan scientific inquiry and science issues dalam proses pembelajaran IPA agar dapat meningkatkan hasil belajar IPA.

b. Sebagai bahan masukan dalam memilih pendekatan untuk meningkatkan 3 ranah hasil belajar IPA.


(12)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Pembelajaran IPA berbasis Scientific Inquiry and Science Issues a. Pembelajaran IPA

Pembelajaran IPA seyogianya melibatkan siswa dalam berbagai ranah, yaitu ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif. Hal ini dikuatkan dalam kurikulum IPA yang menganjurkan bahwa pembelajaran IPA di sekolah melibatkan siswa dalam penyelidikan yang berorientasi inkuiri, dengan interaksi antara siswa dengan guru dan siswa lainnya. Melalui kegiatan penyelidikan, siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan ilmiah yang ditemukannya pada berbagai sumber, siswa menerapkan materi IPA untuk mengajukan pertanyaan, siswa menggunakan pengetahuannya dalam pemecahan masalah, perencanaan, membuat keputusan, diskusi kelompok, dan siswa memperoleh asesmen yang konsisten dengan suatu pendekatan aktif untuk belajar. Dengan demikian, pembelajaran IPA di sekolah yang berpusat pada siswa dan menekankan pentingnya belajar aktif berarti mengubah persepsi tentang guru yang selalu memberikan informasi dan menjadi sumber pengetahuan bagi siswa (Wasih Djojosoediro, 2011: 22).

Berdasarkan KTSP yang diterbitkan oleh Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (2006), menyatakan bahwa mata pelajaran IPA bertujuan agar siswa memiliki kemampuan untuk:


(13)

12 1) Mengembangkan pemahaman tentang berbagai macam gejala alam, konsep dan prinsip IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

2) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran terhadap adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.

3) Melakukan inquiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak ilmiah serta berkomunikasi.

Pembelajaran IPA memberikan pengertian bahwa belajar tidak hanya sekedar menerima informasi dari guru. Belajar IPA mengajarkan siswa untuk lebih aktif karena IPA mengkaji fenomena alam yang ada disekitar siswa.

b. Scientific Inquiry

1) Pengertian Scientific Inquiry

Scientific Inquiry merupakan salah satu standar dari 10 standar bagi persipan guru IPA (Standard for Teacher Preparation) NSTA (2003, 4-30). Scientific inquiry atau penyelidikan ilmiah mengacu pada cara-cara para ilmuwan untuk mempelajari alam dan bukti yang berasal dari penyelidikan tersebut. Inkuiri mencerminkan pemahaman tentang bagaimana hasil ilmu pengetahuan dari proses penyelidikan. (Anderson, Ronald D., 2002: 2). Guru IPA sebaiknya mengajak siswa-siswanya belajar dengan inkuiri ilmiah agar pembelajaran dapat aktif. Parameter persiapan guru IPA yang memiliki standar inkuiri ilmiah, harus menunjukkan bahwa guru IPA:


(14)

13 a) Memahami proses, prinsip dan asumsi dari pendekatan

inkuiri dalam menemukan pengetahuan ilmiah.

b) Mengajak siswa berhasil mengembangkan inkuiri dengan tepat terutama dalam mengembangkan konsep dan hubungan pengamatan, data dan kesimpulan secara ilmiah.

Nana Sudjana (2004: 154) menjelaskan bahwa pendekatan inkuiri merupakan model mengajar dengan meletakkan dasar dan mengembangkan cara berpikir ilmiah. Siswa lebih banyak mengembangkan sendiri konsep dalam pemecahan masalah sehingga siswa berperan sebagai subjek belajar, sedangkan guru berperan sebagai pembimbing dan fasilitator dalam pembelajaran.

Pembelajaran inkuiri merupakan pembelajaran yang mengembangkan processes dan scientific knowledge agar siswa dapat memiliki penalaran ilmiah dan berpikir kritis untuk mengembangkan pemahaman konsep ilmiah. Dalam pembelajaran inkuiri (penemuan), individu bertindak sebagai seorang ilmuan alam (Sund dan Throwbridge, 1973: 62-78).

Inkuiri merupakan proses pembelajaran yang dilakukan siswa untuk menemukan pengetahuan dan keterampilan (Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana, 2009: 73). Esensi dari pendekatan inkuiri melibatkan siswa dalam masalah yang nyata untuk diinvestigasi. Pendekatan inkuiri membantu siswa untuk


(15)

14 mengidentifikasi masalah dan mengajak siswa untuk mendesain cara untuk menyelesaikan masalah tersebut ( Joice, Bruce & Well, Marsha, 1996: 187).

Inkuiri adalah suatu pendekatan yang melibatkan para siswa dalam kegiatan penyelidikan ilmiah. Agar efektif, pembelajaran inkuiri harus mencakup kemampuan dasar dalam melakukan penyelidikan ilmiah serta pemahaman tentang bagaimana para ilmuwan melakukan pekerjaan mereka. Pembelajaran berbasis penyelidikan harus menekankan pentingnya proses belajar, seperti merumuskan pertanyaan secara empiris dan mendukung suatu pengetahuan dengan bukti (Kubicek, John P., 2005: 3).

Menurut Kilbane, Clare R. dan Milman, Natalie B (2014: 244), Inkuiri adalah pembelajaran yang berorientasi pada proses dan bertujuan untuk mengajarkan siswa melatih keterampilan, pengetahuan, dan sikap. Keterampilan, pengetahuan, dan sikap tersebut digunakan untuk menjawab pertanyaan suatu masalah atau isu yang penting. Selain itu menurut Maryati (2010: 16), Inkuiri memiliki kelebihan yakni menekankan kepada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang.


(16)

15 Berdasarkan teori-teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa scientific inquiry merupakan pendekatan dalam pembelajaran yang berorientasi pada proses identifikasi masalah/isu dan cara pemecahan masalah tersebut.

2) Tipe Scientific Inquiry

Inkuiri terbagi menjadi tiga tipe, yaitu inkuiri terbimbing, inkuiri bebas, dan inkuiri bebas termodifikasi ( Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana, 2009: 77). Berikut adalah penjelasannya:

a) Inkuiri terbimbing (Guided inquiry approach)

Pendekatan inkuri terbimbing adalah pendekatan inkuiri dimana guru membimbing siswa melakukan kegiatan penyelidikan. Guru membimbing siswa melakukan kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan siswa untuk berdiskusi. Peran guru dalam pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing adalah menentukan permasalahan dan tahap-tahap pemecahannya.

Menurut David Jerner Martin (2006: 223), dalam guided inquiry, guru memilihkan topik, mengenalkan bagian-bagian dan pembelajaran, dan menyediakan rancangan penyelidikan. Pada awal pembelajaran, guru banyak memberi bimbingan, tetapi dalam proses lanjut, guru merancang pembelajaran dan merujuk pada student


(17)

16 centered learning. Pendekatan ini digunakan bagi siswa yang kurang berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri.

b) Inkuiri bebas (Free inquiry approach)

Pendekatan ini digunakan bagi siswa yang telah berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri. Pada pendekatan inkuiri bebas, siswa seolah-olah bekerja sebagai seorang ilmuwan. Siswa diberikan kebebasan untuk menentukan permasalahan yanag akan diselidiki, merancang prosedur atau langkah-langkah yang diperlukan, serta menyelesaikan masalah secara mandiri. Selama proses itu, bimbingan guru hanya sedikit, bahkan tidak diberikan sama sekali.

c) Inkuiri bebas yang dimodifikasi (Modified free inquiry approach)

Pendekatan ini merupakan modifikasi dari kedua pendekatan inkuiri sebelumnya, yaitu pendekatan inkuiri terbimbing dan pendekatan inkuiri bebas. Dalam pendekatan ini, siswa tidak dapat memilih atau menentukan masalah untuk diselidiki secara sendiri, namun menerima masalah dari gurunya untuk dipecahkan dan tetap memperoleh bimbingan. Tetapi bimbingan yang diberikan


(18)

17 lebih sedikit daripada inkuiri terbimbing dan tidak terstruktur.

Dari ketiga jenis tipe inkuiri tersebut, tipe scientific inquiry yang dimaksud oleh peneliti adalah inkuiri terbimbing. Pemilihan ini dikarenakan siswa belum terbiasa melakukan penyelidikan masalah/isu. Peran guru ketika menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing adalah menentukan permasalahan dan tahap-tahap pemecahannya.

3) Tahapan Scientific Inquiry

Menurut Sund, Robert B. dan Trowbridge, Leslie W. (1973: 63), ada 7 tahap yang ditempuh dalam melaksanakan pendekatan inkuiri:

a) Mengajukan pertanyaan mendalam tentang fenomena alam. b) Merumuskan masalah

c) Merumuskan hipotesis

d) Merancang investigasi, termasuk eksperimen. e) Melakukan eksperimen.

f) Mensintesis pengetahuan.

g) Memiliki sikap ilmiah, yaitu objektif, sikap ingin tahu, terbuka, respect, dan tanggungjawab.


(19)

18 Menurut W. Gulo (2008: 94-95) secara umum proses pembelajaran inkuiri dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut ini:

a) Merumuskan masalah

Kemampuan yang ditunjukkan dalam tahapan ini adalah

(1) Kesadaran terhadap masalah (2) Melihat pentingnya masalah (3) Merumuskan masalah b) Merumuskan hipotesis

Kemampuan yang ditunjukkan dalam tahapan ini adalah:

(1) Menguji dan menggolongklan jenis data yang dapat diperoleh.

(2) Melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis.

(3) Merumuskan hipotesis. c) Mengumpulkan bukti

Pada tahapan ini, siswa dapat merngumpulkan data, mengevaluasi data, dan menyusun data.


(20)

19 d) Menguji hipotesis

Pada tahapan ini, siswa menganalisis data, melihat hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, mengidentifikasi tren, frekuensi dan keteraturan.

e) Menarik kesimpulan sementara

Kemampuan yang ditunjukkan dalam tahapan ini adalah

(1) Mencari pola dan makna hubungan. (2) Merumuskan kesimpulan.

Asri Widowati (2011: 58), Tahapan pendekatan inkuiri dijelaskan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Tahapan Pendekatan Inkuiri

No Tahapan Inkuiri

1 Mengenal dan merumuskan problem terkait dengan percobaan.

2 Merumuskan hipotesis, dan memilih satu atau lebih hipotesis untuk testing dan verifikasi.

3 Mengumpulkan serta menyusun informasi-informasi yang relevan.

4 Merancang percobaan. 5 Melakukan percobaan.

6 Menyatakan atau menarik kesimpulan-kesimpulan (yang berdasarkan eksperimen).


(21)

20 Menurut pendapat dari beberapa ahli di atas, langkah inkuiri hampir sama dan dapat ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Langkah Inkuiri Menurut Beberapa Ahli

Sund, Robert B. dan Trowbridge, Leslie W. (1973:

63) W. Gulo (2008: 94-95) Asri Widowati (2011: 58) Sintesa Peneliti Mengajukan pertanyaan mendalam tentang fenomen alam

Mengenal dan merumuskan problem terkait dengan percobaan Orientasi Merumuskan masalah Merumuskan masalah Merumuskan masalah Merumuskan hipotesis Merumuskan hipotesis Merumuskan hipotesis, dan memilih satu atau lebih hipotesis untuk testing dan verifikasi Merumuskan hipotesis Merancang investigasi, termasuk eskperimen Merancang percobaan Melakukan eksperimen Mengumpuk an bukti Mengumpulkan serta menyusun informasi-informasi yang relevan, melakukan percobaan. Mengumpulkan data Menguji hipotesis Menguji hipotesis Merumuskan kesimpulan

Menyatakan atau menarik

kesimpulan-kesimpulan (yang berdasarkan eksperimen). Merumuskan kesimpulan Mensintesis pengetahuan Mengembangkan permasalahan baru. Memiliki sikap

ilmiah

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa scientific inquiry merupakan pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk menyelidiki masalah atau isu yang terjadi dalam


(22)

21 kehidupan sehari-hari. Pembelajaran ini menekankan keaktifan siswa dengan memperoleh bimbingan dari guru sesuai yang diperlukan (terbimbing). Langkah dalam pendekatan scientific inquiry yaitu orientasi, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan merumuskan kesimpulan.

c. Science issues

Pembelajaran IPA akan lebih bermakna apabila pembelajaran yang dilakukan berbasis kontekstual. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang mengkaitkan materi IPA dengan konteks dunia nyata yang dihadapi siswa sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan alam sekitar, sehingga siswa mampu membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Proses ini melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran yakni : kontruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menyelidiki (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian autentik (authentic assessment) (Jumadi, 2003: 1).

Pembelajaran berbasis isu adalah menghadapkan siswa pada situasi masalah kehidupan nyata (autentik) dan bermakna, memfasilitasi siswa untuk memecahkannya melalui penyelidikan/ inkuiri dan kerjasama, memfasilitasi dialog dari berbagai segi, dan


(23)

22 merangsang siswa untuk menghasilkan karya pemecahan (Jumadi, 2003: 6).

Cara menghadirkan science issues sama dengan socio-scientific issues. Isu-isu sosiosains (socio-scientific issues: SSI) digunakan untuk menghadirkan dan merepresentasikan persoalan sosial berhubungan dengan IPA secara kontekstual (Nuangchalerm, 2010: 34-37). SSI memberi kesempatan individu/kelompok siswa berhadapan dengan situasi konflik yang menyangkut IPA dan kehidupan sosial. Situasi konflik ini dapat berpengaruh pada meningkatnya kesadaran karakter dalam aspek sosial, etika, budaya bahkan politik dan ekonomi dalam diri siswa dan menjadi modal untuk membuat suatu keputusan dalam kehidupannya kelak. SSI dapat ditemukan dalam konteks global, seperti isu rekayasa genetik (terapi gen, cloning ) dan masalah lingkungan seperti pemanasan global dan perubahan iklim (Sadler & Zeidler, 2005: 112-138). Contoh lain dari SSI dalam konteks global yaitu pembangunan berkelanjutan, sumber daya energi, makanan, kesehatan, serta pengendalian populasi. Disamping itu, SSI juga dapat bersumber dari masyarakat lokal, seperti isu dampak peristiwa erupsi merapi (A. W. Subiantoro, 2013: 41-47).

Investigasi socio-scientific issues membantu siswa untuk mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang isu dan inti dari IPA itu sendiri. Investigasi menekankan pada informasi


(24)

23 faktual yang ditunjukkan dengan argumen dan bukti. Investigasi dan analisis SSI memerlukan inkuiri dan mengemukakan ide dengan bekerja di laboratorium, di lapangan, menggunakan internet, dan lain-lain (Chiappetta, Eugene L. dan Koballa, Thomas R., 2010: 202).

Guru IPA hendaknya siap untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan berkaitan dengan IPA, teknologi dan isu-isu IPA dalam masyarakat umum. Parameter persiapan guru IPA yang memiliki standar isu-isu IPA, harus menunjukkan bahwa guru IPA: 1) Memahami pentingnya isu-isu IPA di masyarakat berkaitan

dengan teknologi, menggunakan proses ilmiah dalam menganalisis dan membuat keputusan terkait dengan isu-isu IPA tersebut.

2) Mengajak siswa berhasil dalam menganalisis masalah, mempertimbangkan resiko, keuntungan dan pemecahan alternatif, menghubungkan isu-isu dengan pengetahuan, tujuan dan nilai-nilai mulia (NSTA, 2003: 17-19).

Berdasarkan uraian di atas, science issues merupakan cara untuk memberikan gambaran bagi siswa untuk menganalisis isu yang berada di lingkungan mereka. Isu-isu tersebut dapat muncul dari konteks global maupun lokal melalui artikel, majalah, dan lain-lain.


(25)

24 Pembelajaran IPA berbasis scientific inquiry and science issues merupakan pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk menyelidiki masalah atau isu (science issues) yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran ini menekankan keaktifan siswa dengan memperoleh bimbingan dari guru sesuai yang diperlukan (terbimbing). Langkah dalam pembelajaran IPA berbasis scientific inquiry and science issues yaitu orientasi pada isu sains, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan merumuskan kesimpulan. Dalam langkah orientasi, siswa dihadapkan pada masalah berupa isu sains yang disajikan sehingga tahapan pertama disebut orientasi pada isu sains. Langkah merumuskan masalah, siswa dibimbing oleh guru untuk mengidentifikasi masalah dan membuat rumusan masalah. Masalah dirumuskan sendiri oleh siswa, sehingga siswa memiliki motivasi tinggi untuk mengadakan penyelidikan terhadap isu sains. Setelah merumuskan masalah, siswa diajak untuk menuliskan hipotesis atau jawaban sementara dari isu sains yang sedang dikaji. Oleh karena itu, hipotesis perlu diuji kebenarannya dengan langkah mengumpulkan data. Mengumpukan data merupakan aktivitas mengumpulkan informasi data yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis tersebut untuk menentukan jawaban apakah diterima atau tidak berdasarkan data atau informasi yang dikumpulkan. Langkah terakhir yang digunakan peneliti adalah merumuskan kesimpulan, yaitu suatu


(26)

25 proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis.

2. Tiga Ranah Hasil Belajar IPA (Kognitif, Afektif, dan Psikomotor) Dalam pembelajaran di sekolah, tidak hanya kemampuan siswa dalam menjawab soal ulangan yang dinilai. Melainkan proses pemerolehan kemampuan tersebut juga dinilai yaitu sikap dan keterampilannya. Penilaian hasil belajar IPA harus dilaksanakan secara holistik atau secara menyeluruh.

Menurut Sumaji dalam Patta Bundu (2006: 18), hasil belajar dipandang dari dua aspek yakni aspek kognitif dan aspek non kognitif. Aspek kognitif merupakan aspek yang berkaitan dengan hal-hal pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan intelektual siswa. Sedangkan aspek nonkognitif erta kaitannya dengan sikap (afektif) dan keterampilan fisik atau otot (psikomotor). Berikut adalah tiga ranah hasil belajar IPA: a. Ranah Kognitif

Ranah kognitif dapat diartikan sebagai suatu pencapaian siswa dalam menguasai materi pelajaran. Ranah ini fokus pada pengetahuan dan keterampilan-keterampilan, yang lazim digunakan sebagai objek penilain di Sekolah saat ini. Rata-rata 80% - 90%, di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama menggunakan penilaian kognitif (David Jacobsen dkk, 1989: 85).

Menurut Krathwohl, David R. (2002: 213), taksonomi Bloom yang diperbaiki oleh Anderson dalam ranah kognitif terdiri dari


(27)

26 aspek mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan. Berikut adalah penjelasannya: 1) Mengingat (C1)

Mengingat merupakan proses berpikir tingkat awal yang menjelaskan jawaban faktual, menguji ingatan , dan pengenalan. Contoh kata kerja pada tingkatan mengingat ini adalah meniru, menyebutkan, mendefinisikan, menghafal, mengulang, memberi label, mendaftar, mengurutkan, menyadari, menyusun, mengaitkan, menjelaskan dan memproduksi.

2) Memahami (C2)

Kemampuan memahami merupakan kemampuan menjabarkan suatu materi/bahan lain. Contoh kata kerjanya adalah menjelaskan, mengelompokkan, memilih, menguji ulang, menerangkan, mengurutkan, menurunkan, mengidentifikasi, menunjukkan, dan menjabarkan.

3) Menerapkan (C3)

Menerapkan merupakan kemampuan yang mencakup penggunaan pengetahuan, aturan, rumus, konsep, prinsip, hukum, dan teori. Contoh kata kerjanya adalah menerapkan, mendemonstrasikan, mempraktikan, mensketsa, mencari jawaban, menentukan, dan menjelaskan.


(28)

27 4) Menganalisis (C4)

Menganalisis merupakan kemampuan untuk menguraikan materi ke dalam bagian yang lebih terstruktur dan mudah untuk dimengerti. Kata kerja pada tingkatan ini meliputi membedakan, membandingkan, menganalisis, melakukan pengujian, dan melakukan percobaan.

5) Menilai (C5)

Menilai merupakan kemampuan untuk memperkirakan dan menguji nilai suatu materi untuk tujuan tertentu. Contoh kata kerja pada tingkatan ini adalah menilai, menguji, mempertahankan, memilih, dan mengevaluasi.

6) Menciptakan (C6)

Menciptakan merupakan kemampuan menggabungkan unsur-unsur ke dalam bentuk atau pola yang sebelumnya kurang jelas. Contoh kata kerjanya adalah mengkonstruksi, merancang, menciptakan, dan mengubah (Ella Yulaelawati, 2004: 71).

Ranah kognitif merupakan ranah yang fokus pada penguasaan siswa terhadap suatu materi pelajaran. Ranah kognitif terdiri atas 6 tingkatan yaitu mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, menilai, dan menciptakan. Dalam penelitian ini, kemampuan kognitif yang akan diukur adalah dari C1 sampai C4. Pemilihan kemampuan kognitif yang diukur disesuaikan dengan indikator


(29)

28 pencapaian kompetensi, kegiatan pembelajaran dan karakteristik materi yang digunakan dalam penelitian.

b. Ranah afektif

Ranah afektif merupakan suatu sikap yang terbentuk dari hasil kegiatan siswa dalam mempelajari pelajaran (dalam penelitian ini pelajaran IPA). Tipe belajar afektif nampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman kelas, kebiasaan belajar, dan hubungan sosial (Nana Sudjana, 2014: 30). Tingkatan ranah afektif dari yang paling sederhana sampai ke yang kompleks adalah:

1) Receiving/attending atau penerimaan

Tingkatan ini merupakan semacam kepekaan dalam menerima rangsangan (stimulus), dari luar yang datang kepada siswa dalam masalah, situasi, gejala, dll. Contoh tingkatan ini adalah menunjukkan penerimaan dengan mengiyakan, mendengarkan, dan menanggapi sesuatu.

2) Responding atau jawaban atau penanggapan

Responding atau jawaban merupakan rekasi yang diberikan oleh rangsang terhadap stimulasi yang datang dari luar. Hal ini mencakup tentang ketepatan reaksi, perasaan, kepuasan dalam menjawab stimulus yang datang. Contoh tingkatan ini adalah menaati, menuruti, tunduk, mengikuti,


(30)

29 mengomentari, bertindak sukarela, mengisi waktu senggang dan menyambut.

3) Valuing atau penilaian

Tingkatan ini berkaitan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus tadi, termasuk kesediaan menerima nilai, latar belakang, atau pengalaman. Contoh tingkatan ini adalah meningkatkan kelancaran berbahasa atau dalam berinteraksi, menyerahkan, melepaskan sesuatu, membantu, menyumbang, mendukung dan mendebat.

4) Organisasi atau pengelolaan

Organisasi merupakan pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan, dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Contoh sikap dalam tingkatan ini adalah mendiskusikan, menteorikan, merumuskan, membangun opini, menyeimbangkan, menguji.

5) Karakteristik nilai atau internalisasi nilai

Tingkatan ini merupakan keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi kepribadian dan tingkah lakunya. Contoh tingkatan ini adalah memperbaiki, membutuhkan, menempatkan pada standar tinggi, mencegah, berani menolak, mengelola, mencari penyelesain dari suatu masalah (Ella Yulaelawati, 2004: 62).


(31)

30 Dalam penelitian ini, ranah afektif yang dimaksud adalah sikap sains. Sikap sains disebut dengan sikap ilmiah atau sikap keilmuwan. Sikap sains ini bukan merupakan sikap terhadap sains, melainkan sikap yang dimiliki para ilmuwan untuk mencari dan mengembangkan pengetahuan baru.

Maskoeri Jasin (2012: 45) merumuskan sikap ilmiah, antara lain:

1) Memiliki rasa ingin tahu, yaitu sikap ilmiah apabila melihat peristiwa gejala alam akan terangsang untuk mengetahui lebih lanjut mengenai apa, bagaimana, dan mengapa itu bisa terjadi. 2) Tidak dapat menerima kebenaran tanpa bukti, yaitu apabila

terdapat suatu isu atau berita yang belum tentu kebenarannya maka siswa yang memiliki sikap ilmiah tidak begitu saja menerimanya.

3) Jujur, yaitu objektif ketika melaporkan hasil pengamatan. 4) Terbuka, yaitu menghargai setiap gagasan baru.

5) Toleran, yaitu sikap tidak merasa paling hebat tetapi mengakui bahwa orang lain lebih banyak pengetahuannya, bersedia menerima gagasan orang lain, tidak memaksakan kehendak orang lain, mempunyai tenggang rasa jauh dari sikap angkuh. 6) Skeptis, yaitu sikap hati-hari, meragui atau skeptis.

Sedangkan menurut National Curriculum Council dalam Patta bundu (2006: 39), sikap ilmiah meliputi hasrat ingin tahu,


(32)

31 menghargai kenyataan (fakta atau data), ingin menerima ketidakpastian, refleksi kritis dan hati-hati, tekun, ulet, tabah, kreatif untuk penemuan baru, berpikiran terbuka, sensitif terhadap lingkungan sekitar, dan bekerjasama dengan orang lain.

Dari kedua teori tersebut, sikap ilmiah hampir sama cakupannya. Jabaran sikap ilmiah dapat disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Sikap ilmiah

Maskoeri Jasin (2010: 45) National Curriculum Council

 Memiliki rasa ingin tahu  Hasrat ingin tahu

 Tidak dapat menerima

kebenaran tanpa bukti

 Ingin menerima ketidakpastian  Menghargai kenyataan (fakta

atau data)

 Kreatif untuk penemuan baru  Jujur

 Terbuka

 Toleran

 Bekerjasama dengan orang lain

 Skeptis  Refleksi kritis dan hati-hati

 Tekun, ulet, tabah

Pengelompokkan/dimensi sikap juga dikelompokkan oleh Harlen dalam Patta Bundu (2006: 140). Pengelompokkan sikap dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Dimensi dan Indikator Sikap Ilmiah

Dimensi Indikator

Sikap ingin tahu  Antusias mencari jawaban

 Perhatian pada objek yang diamati  Antusias pada proses sains

 Menanyakan setiap langkah kegiatan Sikap respek terhadap

data/fakta

 Objektif/jujur

 Tidak memanipulasi data  Tidak purbasangka

 Mengambil keputusan sesuai fakta  Tidak mencampur fakta dengan pendapat

Sikap berpikir kritis  Meragukan temuan teman

 Menanyakan setiap perubahan/hal baru  Mengulangi kegiatan yang dilakukan


(33)

32

Dimensi Indikator

 Tidak mengabaikan data meskipun kecil

Sikap penemuan dan

kreativitas

 Menggunakan fakta-fakta untuk dasar konklusi

 Menunjukkan laporan berbeda dengan teman kelas

 Merubah pendapat dalam merespon

terhadap fakta

 Menggunakan alat tidak seperti biasanya  Menyarankan percobaan-percobaan baru

 Menguraikan konklusi baru hasil

pengamatan Sikap berpikiran terbuka

dan kerjasama

 Menghargai pendapat/temuan orang lain  Mau merubah pendapat jika data kurang  Menerima saran dari teman

 Tidak merasa selalu benar

 Menganggap setiap kesimpulan adalah tentatif

 Berpartisipasi aktif dalam kelompok

Sikap ketekunan  Melanjutkan memeliti sesudah

“kebaruannya” hilang

 Mengulangi percobaan meskipun

berakibat kegagalan

 Melengkapi satu kegiatan meskipun teman

 Kelasnya selesai lebih awal

Sikap peka terhadap

lingkungan sekitar

 Perhatian terhadap peristiwa sekitar  Partisipasi pada kegiatan sosial

 Menjaga kebersihan lingkungan sekolah

Dari pemaparan teori di atas, ranah afektif merupakan suatu sikap yang terbentuk dari hasil kegiatan siswa dalam mempelajari pelajaran IPA. Ranah afektif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sikap ilmiah, yaitu sikap yang dimiliki siswa untuk mencari dan mengembangkan pengetahuan IPA.

Dalam penelitian ini, sikap ilmiah yang akan diukur yaitu sikap ingin tahu, dan sikap berpikiran terbuka dan kerjasama dengan orang lain. Namun untuk sikap berpikiran terbuka dan kerjasama dipisah


(34)

33 karena memiliki makna yang berbeda. Pemilihan sikap ingin tahu disesuaikan dengan esensi dari inkuiri yaitu penyelidikan, sehingga sikap ingin tahu yang di akan diukur adalah sikap ingin tahu dalam proses inkuiri atau penyelidikan. Sedangkan sikap berpikiran terbuka dan kerjasama dengan orang lain disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran yang mengharuskan siswa berkelompok untuk melakukan suatu penyelidikan atau inkuiri.

Apabila dihubungkan dengan tingkatan afektif, sikap ingin tahu masuk dalam tingkatan receiving/attending atau penerimaan. Sikap ingin tahu merupakan sikap yang muncul akibat kepekaan terhadap rangsangan berupa masalah. Sedangkan sikap berpikiran terbuka dan kerjasama dengan orang lain masuk dalam tingkatan responding dan organisasi. Sikap berpikiran terbuka merupakan sikap respon yaitu berupa mengomentari rangsangan luar berupa pendapat orang lain sehingga dapat melatih siswa dalam tahapan yang lebih tinggi, organisasi, yaitu bekerjasama.

c. Ranah psikomotor

Ranah psikomotor merupakan ranah yang membicarakan mengenai keterampilan olah tangan siswa. Ranah ini fokus pada pengembangan otot dan koordinasi tubuh (David Jacobsen dkk, 1989: 82). Nana Sudjana (2014: 30) mengemukakan bahwa terdapat enam tingkatan keterampilan yaitu:


(35)

34 2) Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar.

3) Kemampuan perseptual. 4) Kemampuan di bidang fisik. 5) Gerakan-gerakan skill.

6) Gerakan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive. Aspek psikomotor merupakan aspek yang berkenaan dengan apa yang dilakukan oleh siswa ketika memperoleh pengalaman belajar sesuatu. Siswa akan melakukan perilaku-perilaku sesuai dengan pengalaman tersebut. Menurut Anita Harrow dalam Ella Yulaelawati (2004: 63), ranah psikomotor meliputi koordinasi ketaksengajaan dan kemampuan yang dilatihkan. Taksonomi ini dimulai dengan refleks yang sederhana pada tingkatan rendah ke gerakan saraf otot yang lebih kompleks pada tingkatan yang tertinggi. Berikut adalah deskripsi mengenai tingkatan psikomotor: 1) Gerakan refleks, merupakan tindakan yang ditunjukkan tanpa

belajar dalam menanggapi stimulus. Contohnya adalah merentangkan, memperluas, melentarkan, meregangkan, dan menyesuaikan postur tubuh dengan keadaan.

2) Gerakan dasar, merupakan pola gerakan yang terbentuk berdasarkan campuran gerakan refleks dan gerakan yang lebih kompleks. Contoh kata kerja dalam tingkatan ini adalah berlari, berjalan, mendorong, menelikung, menggenggam, merebut, menggunakan dan memanipulasi.


(36)

35 3) Gerakan tanggap atau perseptual, merupakan penafsiran terhadap segalan rangsang yang membuat seseorang mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Contoh kata kerja tingkatan ini adalah waspada (awas), kecermatan melihat, mendengarkan dan bergerak, atau ketajaman dalam melihat perbedaan, misalnya pada gerakan terkoordinasi, seperti meloncat, bermain tali, menangkap, menyepak, dan menggalah. 4) Kegiatan fisik, merupakan kegiatan yang memerlukan kekuatan

otot, kekuatan mental, ketahanan, kecerdasan, kegesitan, dan kekuatan suara. Contoh tingkatan ini adalah semua kegiatan fisik yang memerlukan usaha dalam jangka panjang dan berat, pengerahan otot, gerakan sendi yang cepat, serta gerakan yang cepat dan tepat.

5) Gerakan-gerakan skills, merupakan Gerakan-gerakan yang memerlukan belajar misalnya, keterampilan dalam menari, olahraga, dan rekreasi. Gerakan ini mencakup gerakan kombinasi untuk menggunakan alat-alat seperti raket, parang, dan sebagainya. Menguasai mekanisme seluruh tubuh seperti dalam senam (gymnastic).

6) Komunikasi tidak berwacana, merupakan komunikasi melalui gerakan tubuh. Gerakan tubuh ini merentang dari ekspresi mimik muka sampai dengan gerakan koreografi yang rumit.


(37)

36 Dalam penelitian ini, ranah psikomotor yang dimaksud adalah practical skills karena lebih menekankan pada pengembangan otot dan koordinasi tubuh. Praktik (practicing) merupakan kegiatan mencoba aktivitas fisik tertentu secara terus menerus (Ismet Basuki dan Hariyanto, 2015: 216). Menurut Andrew Watts (2013), tujuan practical skills adalah membantu siswa memahami IPA dan bagaimana ide-ide ilmiah dikembangkan. Selain itu, kerja praktik juga memiliki tujuan antara lain: motivasi dalam penemuan, konsolidasi teori, pengembangan keterampilan manipulatif, pengetahuan tentang teknik standar, pemahaman umum dari analisis data, pengembangan keterampilan lainnya (misalnya analitik, evaluatif, perencanaan, penerapan, matematika) dan pemahaman tentang bagaimana ilmu bekerja (misalnya konsep proses ilmiah, kerja kolaboratif, pengujian).

Practical skills memiliki empat kategori antara lain: procedural dan manipulative skills (P & M); observational skills (O); drawing skills (D); reporting and interpretative skills (R & I). Keterampilan prosedural dan manipulatif meliputi menyeleksi instrumen/piranti untuk merancang eksperimen; mengetahui keterbatasan instrumen mencakup ukuran, jumlah dan akurasi; menyusun atau mengatur peralatan eksperimen secara sistematis; memisahkan dan memindahkan alat dan bahan eksperimen dengan penuh kehati-hatian; menggunakan metode dan bahan yang tepat;


(38)

37 menambahkan bahan-bahan kimia dengan jumlah yang tepat sesuai prosedur; merancang eksperimen secara hati-hati.

Keterampilan observasi meliputi menemukan jumlah hasil pengukuran; membaca hasil pengukuran secara benar; mencatat perubahan warna, pengembangan gas, pembentukan endapan, reaksi kimia, dan lain-lain secara teliti; memperhatikan detail spesifik spesimen dengan seksama; menetapkan bagian yang diinginkan pada specimen secara akurat; melakukan pengamatan secara teliti dan dengan cara yang sistematis; membaca grafik secara benar. Keterampilan menggambar meliputi membuat tabel pengamatan; menggambar diagram, susunan alat kegiatan laboratorium, sket, dsb;, memberi keterangan gambar dan tabel secara benar dan menggambar grafik. Keterampilan melaporkan dan interpretasi meliputi membuat perencanaan untuk mencatat hasil observasi, data dan informasi secara benar; mengklasifikasi; membuat perhitungan secara benar; merumuskan dan menyimpulkan hasil percobaan; membuat laporan hasil percobaan dan menginterpretasi hasil dan pengamatan secara tepat (CBSE, 2005: 9).

Dalam penelitian ini ranah psikomotor adalah practical skills yang membicarakan mengenai keterampilan siswa dan fokus pada pengembangan otot dan koordinasi tubuh. practical skills yang akan diukur yaitu keterampilan prosedural & manipulatif dan keterampilan melaporkan & interpretasi. Pemilihan aspek dalam


(39)

38 practical skills disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran yang kemungkinan memunculkan practical skills tersebut. keterampilan prosedural & manipulatif akan muncul pada saat siswa memulai kegiatan diskusi/percobaan dengan menggunakan alat/bahan yang telah disediakan. Keterampilan melaporkan & interpretasi akan muncul ketika siswa mencatat setiap data yang dikumpulkan hingga menyimpulkan kegiatan yang dilakukan. Apabila dihubungkan dengan tingkatan ranah psikomotor, keterampilan prosedural & manipulatif masuk dalam tingkatan gerakan dasar dan kegiatan fisik. Sedangkan keterampilan melaporkan & interpretasi masuk dalam tingkatan gerakan tanggap dan perseptual.

3. Kajian Keilmuwan : Zat Aditif dan Sistem Pencernaan Makanan Materi pembelajaran yang akan diajarkan dalam penelitian ini adalah perpaduan antara zat aditif makanan dan sistem pencernaan makanan. Materi IPA ini disajikan secara terpadu sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) IPA SMP. Dengan perpaduan materi tersebut, peneliti mengangkat sebuah tema

pembelajaran yaitu “waspada makanan berbahaya”. Berikut adalah deskripsi cakupan materi yang diajarkan:

a. Zat Aditif Makanan

Menurut peraturan Menteri Kesehatan RI No. 329/Menkes/PER/XII/76 dalam F.G. Winarno (2004: 214), zat aditif makanan adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan dalam


(40)

39 proses pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu. Zat aditif terdiri dari pewarna, penyedap rasa dan aroma, pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, antigumpal, pemucat, dan pengental. Zat aditif pada makanan, ada yang berasal dari alam dan ada yang buatan (sintetik). Untuk zat aditif alami tidak banyak menyebabkan efek samping. Lain halnya dengan zat aditif sintetik. Beberapa zat aditif dari alam yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :

1) Pewarna, contohnya : Daun pandan (hijau), kunyit (kuning), buah coklat (coklat), wortel (orange), anato (orange), karamel (cokelat hitam), beta karoten (kuning) dan klorofil (hijau). 2) Penyedap, contohnya : Pala, merica, cabai, laos, kunyit,

ketumbar.

3) Pengawet, contohnya : asam cuka (untuk acar), gula (untuk manisan), dan garam (untuk asinan ikan/telur). Selain itu beberapa bahan alam misalnya saja penambahan air jeruk atau air garam yang dapat digunakan untuk menghambat terjadinya proses reaksi waktu coklat (browing reaction) pada buah apel. 4) Pemanis, contohnya : madu, gula tebu.

Beberapa zat aditif sintetik yang sering digunakan dalam beraneka jenis makanan, yaitu :


(41)

40 1) Zat Pewarna

Zat pewarna adalah bahan yang dapat memberi warna pada makanan, sehingga makanan tersebut lebih menarik. Tartrazin adalah pewarna makanan buatan yang mempunyai banyak macam pilihan warna, diantaranya Tartrazin CI 19140. Contoh pewarna sintetik: biru berlian (biru), coklat HT (coklat), eritrosit (merah) dan hijau FCF (hijau).

2) Penguat rasa

Bahan penguat rasa atau penyedap makanan yang paling banyak digunakan adalah MSG (Monosodium Glutamate) yang sehari-hari dikenal dengan nama vetsin. MSG berfungsi penguat rasa makanan dan juga untuk melezatkan makanan. MSG dalam jumlah tertentu dapat mendorong pertumbuhan dan penyebaran sel kanker dalam tubuh (mediskus, 2016).

3) Zat pemanis buatan

Bahan ini tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi, contohnya sakarin (kemanisannya 500x gula), dulsin (kemanisannya 250x gula), dan natrium siklamat (kemanisannya 50x gula) dan sorbitol.

4) Pengawet

Pengawet adalah bahan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian makanan yang disebabkan mikroorganisme. Zat pengawet dimaksudkan


(42)

41 untuk memperlambat oksidasi yang dapat merusak makanan. Contoh bahan pengawet dan penggunaanya:

a) Asam benzoat, natrium benzoat dan kalium benzoat b) Natrium nitrat (NaNO3)

c) Natrium nitrit (NaNO2)

d) Asam propionat, untuk roti dan sediaan keju olahan.

Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh pola konsumsinya. Makanan yang sehat akan memberikan efek positif terhadap tumbuh kembangnya. Pola konsumsi disini tidak hanya sekedar makanan dan minuman utamanya saja, melainkan jajanan anak juga turut di perhitungkan. Oleh karena itu harus memperhatikan kualitas jajanan anak karena tidak sedikit jajanan yang mengandung zat aditif atau bahan tambahan yang tidak aman bagi anak.

Tidak semua zat aditif membahayakan kesehatan. Ada beberapa zat aditif alami maupun sintetis yang masih aman dan direkomendasikan untuk produk pangan. Untuk zat aditif sintetis, ada batasan kadar yang di izinkan untuk ditambahkan dalam produk pangan.

Penambahan bahan sintetis melebihi ambang batas yang ditetapkan menjadikan bahan tersebut bersifat toksik. Namun demikian, harga bahan tambahan alami dan sintetis tersebut relatif mahal. Sehingga produsen pangan, meski tidak seluruhnya, tetapi sebagian besar melirik penggunaan bahan lain, bahkan yang tidak


(43)

42 aman. Ini dilakukan untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Efek yang ditimbulkan akibat konsumsi zat berbahaya tersebut sering kali tidak muncul segera setelah konsumsi. Efek tersebut terakumulasi di dalam tubuh anak, yang baru tampak hasilnya setelah beberapa tahun kemudian (Maya Devianty S., 2013). Pada sistem pencernaan, zat aditif dapat memicu kanker pada organ pencernaan dan hepatitis akibat penumpukan zat-zat berbahaya pada tubuh. Beberapa zat aditif berbahaya yang sering ditambahkan dalam makanan atau jajanan adalah boraks dan pewarna tekstil. Berikut adalah penjelasannya:

1) Boraks

Boraks (Na2B4O7.10H2O) berbentuk serbuk kristal lunak yang mengandung unsur boron, berwarna putih, tidak berbau, mudah larut dalam air, tidak larut dalam alkohol, dan memiliki PH 9,5. Boraks banyak digunakan dalam berbagai industri non pangan khususnya industri keras, gelas, pengawet kayu, anti septik kayu, keramik dan pengontrol kecoa. Bentuk tidak murni dari boraks yaitu bleng, sejak lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan gendar nasi, krupuk gendar, atau krupuk puli yang secara tradisional di jawa disebut karak atau lempeng. Disamping itu boraks digunakan untuk industri makanan seperti dalam pembuatan mie basah, lontong, ketupat, bakso bahkan


(44)

43 dalam pembuatan kecap. Berikut adalah ciri-ciri makanan yang mengandung boraks:

a) Mie Basah : tidak lengket, sangat kenyal, serta tidak mudah putus.

b) Bakso : tekstur sangat kenyal, warna tidak kecokelatan seperti penggunaan daging, tapi lebih cemerlang keputihan.

c) Lontong : rasa getir dan sangat gurih, serta beraroma sangat tajam.

d) Kerupuk : teksturnya sangat lembut dan renyah, bisa menimbulkan rasa getir di lidah (Yabpeknas, 2015)

Kunyit dapat digunakan sebagai media sederhana untuk mengetahui kandungan boraks pada makanan, seperti bakso dan sosis. Prinsip ini telah lama digunakan pada laboratorium makanan. Hal ini juga telah diterapkan untuk mendeteksi kandungan cemaran Boron pada air sungai. Prinsipnya adalah struktur Beta-diketon pada kunyit mudah terlepas dan menyebabkan hidrogen terbebas dan berikatan dengan senyawa borat (H3BO3). Hasil ikatan ini dinamakan rosocyanin atau boro-kurkumin yang akan membentuk warna merah kecoklatan, pertanda terdapat kandungan boraks di dalam makanan (Andiko Prakoso, 2015).


(45)

44 2) Pewarna tekstil

Secara umum bahan pewarna yang sering digunakan dalam makanan olahan terbagi atas pewarna sintetis (buatan) dan pewarna alami. Pewarna sintetis pada umumnya terbuat dari bahan-bahan kimia. Misalnya tartrazin untuk warna kuning, allura red untuk warna merah, dan seterusnya. Kadang-kadang pengusaha yang nakal juga menggunakan pewarna bukan makanan (non food grade) untuk memberikan warna pada makanan. Misalnya saja penggunaan rhodamin B yang sering digunakan untuk mewarnai terasi, kerupuk dan minuman sirup. Penggunaan pewarna jenis ini tentu saja dilarang keras, karena bisa menimbulkan kanker dan penyakit-penyakit lainnya (Pustekkom, 2007). Ciri-ciri makanan yang mengandung pewarna buatan adalah memiliki warna mencolok cerah, mengkilap, warnanya tidak homogen (ada yang menggumpal), ada sedikit rasa pahit jika ditelan dan memunculkan sedikit rasa gatal di tenggorokan saat mengonsumsinya (Yabpeknas, 2015).

Pewarna alami dan pewarna buatan dapat dibedakan dengan menggunakan bahan sederhana yaitu sabun. Sabun yang bersifat basa dapat mengubah zat warna pada pewarna alami sehingga mengalami perubahan warna. Sedangkan pewarna buatan tidak akan mengalami perubahan warna. Selain


(46)

45 menggunakan sabun, dapat pula menggunakan cuka yang bersifat asam (Science Education Channel, 2014).

b. Sistem Pencernaan Makanan

Makanan mengalami berbagai proses perubahan dalam saluran pencernaan agar dapat dicerna dalam bentuk yang sederhana. Hasil pencernaan akan diabsopsi ke dalam darah untuk selanjutnya diangkut oleh darah atau limfe ke sel-sel tubuh. Proses perubahan bentuk-bentuk sederhana ini dilakukan melalui proses pencernaan di dalam saluran cerna. Pencernaan dilakukan melalui cara mekanis dan kimiawi. Secara mekanis, makanan dihancurkan melalui proses mengunyah dan proses peristaltik. Sedangkan secara kimiawi, makanan dihancurkan oleh enzim-enzim pencernaan (Sunita Almatsier, 2004: 14). Berikut adalah organ-organ yang menyusun sistem pencernaan pada manusia:

1) Rongga mulut

Rongga mulut merupakan organ yang pertama mencerna makanan. Di dalam rongga mulut terdapat beberapa alat pencernaan yakni gigi, lidah, dan kelenjar ludah. Gigi berperan dalam proses pencernaan mekanik, yaitu mengubah makanan yang besar menjadi ukuran yang lebih kecil agar lebih mudah ditelan. Lidah berperan sebagai indra perasa. Manusia dapat merasakan rasa manis, pahit, asin, pedas karena adanya sel-sel perasa pada lidah. Lidah juga membantu mendorong makanan


(47)

46 menuju lambung. Kelenjar ludah pada mulut berguna untuk menghasilkan enzim ptialin yang membantu pencernaan makanan secara kimiawi dengan cara mencerna amilum menjadi maltosa (Nugroho, 2014: 3).

2) Kerongkongan

Kerongkongan melakukan gerak peristaltik, yaitu gerakan mendorong dan meremas makanan menuju lambung.

3) Lambung

Setelah melalui mulut, makanan akan diremas dan di campur oleh kelenjar dalam lambung. Kelenjar ini antara lain enzim pencernaan protein, pepsin dan asam HCl. Kerja kelenjar ini akan dibantu oleh aktivitas otot yang membuat dinding lambung berkontraksi dan berelaksasi (Hickman, Faith M.dkk, 1980: 437).

Lambung melakukan pencernaan secara mekanik dan kimiawi. Pencernaan kimiawi di dalam lambung yaitu peremasan makanan yang dilakukan oleh otot-otot dinding lambung. Sedangkan pencernaan kimiawi dibantu oleh enzim yang dihasilkan oleh lambung. Lambung menghasilkan enzim renin, pepsin, dan asam HCl. Renin berfungsi mengendapkan protein susu (kasein). HCl berfungsi membunuh kuman. Pepsin berfungsi mengubah protein menjadi pepton (Sunita Almatsier, 2004: 14).


(48)

47 4) Pankreas

Pankreas terletak di perut kiri atas antara lekukan duodenum dan limpa. Pankreas menghasilkan enzim yang terlibat dalam pencernaan yaitu amilase, lipase, dan tripsin. Enzim amilase mencerna karbohidrat menjadi glukosa. Lipase mengkonversi lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Tripsinogen adalah enzim aktif yang diubah menjadi tripsin aktif dalam duodenum. Tripsin mencerna polipeptida rantai pendek asam amino. Cairan enzim pankreas akan dikeluarkan oleh saluran kecil yang bersatu untuk membentuk saluran yang lebih besar atau saluran pankreas utama. Saluran pankreas utama muncul dari sisi pankreas dan bergabung dengan saluran empedu ke duodenum (Scanlon, Valerie C. dan Sanders, Tina, 2007: 379).

5)

Hati

Hati berperan menghasilkan empedu. Empedu yang dihasilkan hati akan memasuki saluran empedu kecil (empedu canaliculi). Saluran empedu kecil yang bersatu untuk membentuk saluran yang lebih besar dan akhirnya bergabung dan membentuk duktus hepatik, sehingga empedu keluar dari hati. Empedu sebagian besar berisi air dan memiliki fungsi ekskretoris dalam hal ini membawa bilirubin dan kelebihan


(49)

48 kolesterol ke usus untuk mewarnai dalam tinja (Scanlon, Valerie C. dan Sanders, Tina, 2007: 379).

6) Usus

Usus pada manusia dibagi menjadi: a) Usus halus

Usus halus terdiri dari tiga bagian yakni duodenum (usus dua belas jari), jejunum (bagian usus halus sesudah duodenum sampai ke ileum), ileum (ujung usus halus). merupakan usus terpanjang di dalam sistem pencernaan manusia yakni 6-8 meter pada orang dewasa. Pada usus halus terjadi proses penyerapan sari makanan menuju pembuluh darah dan pembuluh limpa. Penyerapan sari-sari makanan dilakukan melalui villi yang memiliki absorptive cell. Sel pada villi memiliki bulu halus yang disbeut microvilli. Diantara celah antar vili terdapat kripta-kripta untuk mengeluarkan getah-getah pencernaan ke saluran usus halus. Sari-sari makanan yang diserap antara lain monosakarida, asam amino, ion positif dan vitamin mineral terlarut melalui transport aktif, serta ion negatif melalui transport aktif maupun pasif (Scanlon, Valerie C. dan Sanders, Tina, 2007: 383).


(50)

49 b) Usus besar

Didalam usus besar terjadi penyerapan air dan pembusukan sisa sari-sari makanan oleh bantuan bakteri Escherichia Coli (Sunita Almatsier, 2004: 14).

7) Anus

Anus berfungsi untuk mengeluarkan sisa sari sari makanan yang tidak diserap oleh tubuh (Sunita Almatsier, 2004: 14).

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian antara lain:

1) Penelitian yang dilakukan oleh Fatimah pada tahun 2009 memperoleh hasil bahwa penerapan pembelajaran inkuiri terbimbing pada hasil belajar siswa meningkat secara signifikan, yaitu sebesar 18,69. Nilai rata-rata kelas pada siklus I sebesar 58,42 meningkat menjasi 77,11 pada siklus II.

2) Penelitian yang dilakukan oleh Yulian Putri Muhtartinah pada tahun 2013 memperoleh hasil bahwa aspek kognitif menunjukkan selisih yang nyata diantara kelas eksperimen (menerapkan guided inquiry) dan kelas kontrol, yaitu sebesar 45,19 untuk kelas eksperimen dan sebesar 53,61 untuk kelas kontrol. Hasil belajar ranah afektif siswa untuk kelas kontrol pada pertemuan 1 sebesar 70,16 dan pertemuan 2 sebesar 86,69 sedangkan untuk kelas eksperimen pada pertemuan 1 sebesar 86,69 dan pertemuan 2 sebesar 96,43. Dan untuk hasil belajar ranah psikomotor


(51)

50 untuk kelas kontrol pada pertemuan 1 sebesar 53,94 dan pertemuan 2 sebesar 72,39 sedangkan untuk kelas eksperimen pada pertemuan 1 sebesar 62,46 dan pertemuan 2 sebesar 81,32.

3) Penelitian yang dilakukan oleh Na’afi Aisya, Yuni Wibowo, M.Pd, dan Dr. Tien Aminatun pada tahun 2014 memperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep dan reflective judgment yang signifikan antara kelas eksperimen (menerapkan socio scientific issues) dan kelas kontrol dengan taraf signifikansi sebesar 0,000.

4) Penelitian yang dilakukan oleh A.W. Subiantoro, N.A. Ariyanti, dan Sulistyo pada tahun 2013 memperoleh hasil bahwa pembelajaran materi ekosistem berbasis SSI memberi pengaruh yang lebih baik terhadap perubahan atau peningkatan kemampuan reflective judgment dibanding dengan pembelajaran yang biasa diterapkan guru. reflective judgment adalah kemampuan berpikir kritis reflektif untuk membuat keputusan dan pemecahan masalah atas dasar pertimbangan tertentu, yang menunjukkan tingkat perkembangan literasi seseorang dalam hal mengumpulkan dan menganalisis informasi atau data dari beragam sumber serta menjadikan-nya dasar membuat keputusan yang bertanggung jawab.

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut maka penulis dapat menyimpulkan bahwa penerapan pembelajaran dengan pendekatan inquiry dapat meningkatkan hasil belajar ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan penelitian socio science issues dapat meningkatkan hasil belajar ranah kognitif dan reflective judgment. Keterkaitan inkuiri (penyelidikan)


(52)

51 dengan isu dalam IPA (science issues) yang berkembang di masyarakat mendorong peneliti memadukan pendekatan scientific inquiry and science issues untuk mengetahui pengaruhnya terhadap 3 ranah hasil belajar siswa SMP.


(53)

53 C. Kerangka Berpikir

Gambar 1. Diagram Alur Kerangka Berpikir

scientific inquiry and science issues

- Orientasi pada isu sains

- Merumuskan masalah

- Merumuskan hipotesis

- Mengumpulkan data

- Menguji hipotesis

- Merumuskan kesimpulan

Psikomotor - Procedural &

manipulative skills

- Reporting & interpretative skills

Hasil Belajar IPA

Kognitif - C1 (Mengingat)

- C2 (Memahami)

- C3 (Menerapkan)

- C4 (Menganalisis) Afektif

- Sikap ingin tahu - Sikap kerjasama - Sikap berpikiran

terbuka

Mempengaruhi


(54)

53 Proses pembelajaran yang cenderung berpusat pada guru mengakibatkan siswa kurang aktif. Seolah-olah proses pembelajaran hanya terjadi satu arah yakni guru memberikan materi secara langsung. Pembelajaran difokuskan pada hasil belajar kognitif untuk mengejar ulangan ataupun ujian. Hal ini mengakibatkan proses siswa yakni hasil belajar afektif dan psikomotor kurang diperhatikan. Oleh karena itu, perencanaan dan persiapan pembelajaran IPA harus dilakukan terutama dalam hal pendekatan, model, metode pembelajaran agar pembelajaran IPA dapat terlaksana dengan optimal.

Perencanaan dan persiapan pembelajaran IPA dapat dilakukan sesuai dengan rekomendasi dari NSTA yang menyebutkan 10 standar persiapan guru IPA (Standards for Science Teacher Preparation) yaitu standar isi (content); standar hakikat IPA (nature of science); standar inkuiri (inquiry); standar issues; standar keterampilan umum mengajar; standar kurikulum; standar sains (IPA) dan masyarakat; standar asesmen; standar keselamatan dan kesejahteraan; serta standar pertumbuhan profesional. Sepuluh standar tersebut dapat dijadikan acuan bagi guru untuk merencanakan pembelajaran IPA.

Salah satu standar pendekatan pembelajaran IPA yang digunakan adalah inkuiri yang berorientasi pada proses dan bertujuan untuk mengajarkan siswa melatih keterampilan, pengetahuan, dan sikap (3 ranah hasil belajar IPA). Secara umum inkuiri memiliki makna untuk menemukan informasi serta menanyakan dan menginvestigasi fenomena


(55)

54 yang terjadi dalam lingkungan sekitar. Melalui aktivitas seperti eksperimen dan diskusi, siswa menyelidiki suatu fenomena dan membuat kesimpulan sendiri. Hal ini sesuai dengan dua standar persiapan guru IPA yang direkomendasikan oleh NSTA yaitu standard inquiry dan standard issues. scientific inquiry dan science issues merupakan dua standar dari 10 standar persiapan guru IPA yang memiliki keterkaitan sehingga dapat dipadukan menjadi sebuah pendekatan pembelajaran yaitu scientific inquiry and sscience issues. Pendekatan Pembelajaran scientific inquiry and sscience issues memiliki tahapan yaitu orientasi pada isu sains, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan merumuskan kesimpulan. Dengan pendekatan scientific inquiry and sscience issues akan mengaktifkan siswa karena memberikan pengalaman belajar yang bermakna sehingga penilaian hasil belajar IPA dapat dilakukan dengan optimal. Penilaian yang optimal meliputi ranah kognitif (C1-C4), ranah afektif (sikap ingin tahu, kerjasama, dan berpikiran terbuka), dan ranah psikomotor (procedural & manipulative skills dan reporting & interpretative skills).

D. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

1. Terdapat pengaruh pembelajaran berbasis Scientific Inquiry and Science Issues terhadap ranah hasil belajar kognitif siswa SMP.


(56)

55 2. Terdapat pengaruh pembelajaran berbasis Scientific Inquiry and Science

Issues terhadap ranah hasil belajar afektif siswa SMP

3. Terdapat pengaruh pembelajaran berbasis Scientific Inquiry and Science Issues terhadap ranah hasil belajar psikomotor siswa SMP

4. Terdapat pengaruh pembelajaran berbasis Scientific Inquiry and Science Issues terhadap ranah hasil belajar kognitif, afektif, dan psikomotor siswa SMP


(57)

56 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experiment (eksperimen semu). Jenis penelitin ini dipilih karena tidak memungkinkan untuk mengontrol secara ketat situasi kelas. Situasi kelas yang tidak mungkin dikontrol adalah usia yang sama, jumlah peserta didik laki-laki dan perempuan yang sama, cara belajar dan lain-lain.

Desain eksperimen ini adalah pretest-posttest nonequivalent control group design. Desain ini digunakan karena sebelum dan sesudah diberikan perlakukan, kelas kontrol dan kelas eksperimen mendapatkan pretest dan posttest. Selain itu, pemilihan kelas kontrol dan kelas eksperimen juga dilakukan secara acak sehingga tidak sepenuhnya sama (nonequivalent) (Andy Prastowo, 2011: 158). Terdapat dua kelas dalam penelitian ini, yaitu kelas eksperimen yang diberikan pembelajaran berbasis scientific inquiry and science issues dan kelompok kontrol yang diberikan pembelajaran menggunakan pembelajaran pada KTSP yaitu EEK (Eksplorasi, Elaborasi, Konfirmasi). Sebelum diberi perlakuan masing-masing kelas diberikan soal pretest untuk mengukur kemampuan awal. Desain penelitian disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Desain Penelitian Pretest-Posttest Nonequivalent Control Group Design

Kelompok Pretest Treatment (Perlakuan) Postest Eksperimen O1 X1 (scientific inquiry and science

issues)

O2 Kontrol O1 X2 (EEK (Eksplorasi, Elaborasi,

Konfirmasi))


(58)

57 Keterangan:

O1 : rerata nilai pretest O2 : rerata nilai posttest

X1 : Pembelajaran IPA berbasis scientific inquiry and science issues X2 : Pembelajaran IPA dengan pembelajaran EEK (Eksplorasi,

Elaborasi, Konfirmasi)

Langkah-langkah penelitian dengan menggunakan desain ini adalah sebagai berikut :

1. Menentukan sampel dari populasi.

2. Menentukan kelompok eksperimen dan kontrol secara acak.

3. Diberikan pretest kepada kedua kelompok untuk mengetahui kemampuan awal siswa.

4. Memberikan perlakuan pada masing-masing kelas. 5. Mengobservasi sikap ilmiah dan practical skills siswa.

6. Diberikan posttest kepada kedua kelompok untuk mengetahui kemampuan akhir siswa.

7. Dilakukan uji statistik untuk mengetahui pengaruh pembelajaran IPA berbasis scientific inquiry and science issues pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.


(59)

58 B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di SMP N 2 Tempel yang berlokasi di Jl Balangan, Barongan, Banyurejo, Tempel, Sleman, Yogyakarta pada siswa kelas VIII.

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2015 – Februari 2016.

C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP N 2 Tempel Tahun Pelajaran 2015/2016. Jumlah subyek populasi adalah 160 siswa yang terbagi kedalam lima kelas, yaitu kelas VIII A, VIII B, VIII C, VIII D dan VIII E dengan jumlah siswa untuk masing-masing kelas 32 siswa.

2. Sampel Penelitian

Pengambilan sampel menggunakan teknik cluster random sampling. Ciri utama sampling ini adalah setiap unsur populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih. Caranya ialah melalui undian, ordinal, tabel bilangan random, atau dengan komputer. Berhubung tidak ada kelas unggulan di SMP N 2 Tempel, siswa terdistribusi merata ke setiap kelas. Sehingga peneliti mengasumsikan


(1)

79 Presentase keterlaksaan selanjutnya dicocokkan dengan kriteria yang disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Presentase Keterlaksanaan Pembelajaran

No Persentase (%) Kategori

1. 80 ≤ X ≤ 100 Sangat Baik

2. 60 ≤ X ≤ 80 Baik

3. 40 ≤ X ≤ 60 Cukup

4. 20 ≤ X ≤ 40 Kurang

5. 0 ≤ X ≤ 20 Sangat Kurang


(2)

112 DAFTAR PUSTAKA

Agus Irianto. (2009). Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Prenada Media Group.

Anderson, Ronal D. (2002). Reforming Science Teaching: What Research says about Inquiry. Journal of Science Teacher Education. 13(1). Hlm 1-12. Andiko Prakoso. (2015). Cara Menggunakan Boraks dengan Menggunakan

Kunyit Diakses dari http://tumbuhan.net/cara-mendeteksi-boraks-menggunakan-kunyit/ pada tanggal 25 November 2015.

Andi Prastowo. (2011). Memahami Metode-Metode Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media.

Asri Widowati. (2011). Pengembangan Critikal Thinking Mahasiswa Melalui

Penerapan Pendekatan Inquiry pada Matakuliah Pendidikan Sains. Majalah Ilmiah Pendidikan. 1(7). Hlm 53-63.

A.W. Subiantoro, N.A. Ariyanti, dan Sulistyo. (2013). Pembelajaran Materi Ekosistem Dengan Socio-Scientific Issues Dan Pengaruhnya Terhadap Reflective Judgment Siswa. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia. 2(I). Hlm 41-47.

Bambang Avip Priatna. (2008). Uji Coba Instrumen Penelitian dengan Menggunakan MS Excel dan SPSS. Diakses dari http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/19641

2051990031-BAMBANG_AVIP_PRIATNA_M/Makalah_November_2008.pdf pada tanggal 9 Desember 2015.

Central Board of Secondary School (CBSE). (2005). Assesment of Practical Skills in Science and Technology. Delhi: CBSE.

Chiappetta, Eugene L. & Koballa, Thomas R. (2010). Science Instruction In The Middle and Secondary Schools. Amerika: Pearson Education.

Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran IPA SMP/MTs. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.

Eko Putro Widoyoko. (2012). Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(3)

113 Ella Yulaelawati. (2004). Kurikulum dan Pembelajaran (Filosofi Teori dan

Aplikasi). Jakarta: Pakar Karya.

Eveline Siregar & Hartini Nara. (2010). Teori Belajar dan Pembelajarannya. Bogor : Ghalia Indonesia.

Fatimah. (2009). Peningkatan Hasil Belajar Siswa pada Pembelajaran IPA dengan Pendekatan inkuiri di kelas II SD N 15 SEGEDONG. Skripsi. Diakses dari www.jurnal.untan.ac.id.

F. G. Winarno. (2004). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hair., Black., Babin., Anderson., & Tatbain. (2006). Multivariate Data Analysis. Amerika: Pearson International Edition.

Hake. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. Diakses dari http://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf pada tanggal 1 Februari 2016.

Hickman, Faith M. et al. (1980). Biological Science an Inquiry Into Life. USA: BSCS.

Husaini Usman & Purnomo Setiady Akbar. (2011). Pengantar Statistika. Jakarta: Remaja Rosdakarya.

Imam Ghozali. (2009). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Ismet Basuki & Hariyanto. (2015). Asesmen Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Jacobsen, David., Eggen, Paul., & Kauchak, Donald. (1989). Methods for Teaching. Melbourne: Merrill Publishing Company.

Joice, Bruce & Well, Marsha. (1996). Models of Teaching. Amerika: Simon and Schuster Company.

Jumadi. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Implentasinya Diakses dari

http://staff.uny.ac.id/system/files/pengabdian/.../pembelajaran-kontekstual.pdf pada tanggal 18 Januari 2016.

Kana Hidayati. (2006). Panduan Penggunaan ITEMAN Diakses dari


(4)

114

Kemdikbud. (2013). PISA diakses dari

http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa pada tanggal 14 Desember 2015.

Kilbane, Clare R. & Milman, Natalie B. (2014). Teaching Models Designing Instrucstion for 21st Century Learners. Amerika: Pearson Education.

Krathwohl, David R. (2002). A Revision of Bloom's Taxonomy: an Overview. Jurnal Pendidikan. 41(1). Hlm 213-263.

Kubicek, John P. (2005). Inquiry-based learning, the nature of science, and computer technology: New possibilities in science education. Canadian Journal of Learning and Technology. 31(1). Hlm 1-13.

Maryati. 2010. Strategi Pembelejaran Inkuiri Diakses dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/maryati-ssi-msi/7strategi-pembelajaran-inkuiripdf.pdf.

Martin, David Jerner. (2006). Elementary Science Methods. Amerika : Thompson Corporation.

Martin, Ralph., Sexton, Collen., Franklin, Teresa., & Gerlovich, Jack. (2005). Teaching Science for All Children Inquiry Methods for Constructing Undersatnding. Amerika: Pearson Education.

Maskoeri Jasin. (2009). Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Maya Devianty Sapada. (2013). Pengaruh Zat Aditif pada Pertumbuhan Anak

dinduh dari http://www.ibudanbalita.net/931/pengaruh-zat-adiktif-bagi-pertumbuhan-anak.html pada tanggal 25 November 2015.

Mediskus. 2016. 11 Zat Aditif Makanan yang Berbahaya. Diakses dari http://mediskus.com/nutrisi/12-zat-aditif-pada-makanan-yang-berbahaya pada tanggal 04 Februari 2016.

Na’afi Aisya, Yuni Wibowo, & Tien Aminatun. 2014. Pengaruh Pembelajaran Socio-Scientific Issues Terhadap Pemahaman Konsep dan Reflective Judgment Siswasma Pada Materi Ekosistem. e-Journal UNY . 3(7).

Nana Sudjana. (2014). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nana Sudjana. (2011). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.


(5)

115 Nanang Hanafiah & Cucu Suhana. (2009). Konsep Strategi Pembelajaran.

Bandung: PT Refika Aditama.

NSTA. (2003). Standards for Science Teacher Preparation. Diakses dari https://www.nsta.org/preservice/docs/NSTAstandards2003.pdf pada tanggal 28 November 2015.

Nuangchalerm, Prasart. (2010). Engaging Students to Perceive Nature of Science Through Socioscientific Issues-Based Instruction. European Journal of Social Sciences. (13)1. Hlm 34-37.

Nugroho. (2014). Pencernaan Makanan. Diakses dari

http://staff.unila.ac.id/gnugroho/files/2014/06/Sistem-Pencernaan-Makanan.pdf pada tanggal 9 Desember 2015.

Nuryani Y. Rustaman, 2012. Trend Penelitian Pendidikan: Kasus Penilaian Pendidikan Sains. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA. Yogyakarta: FMIPA UNY.

Patta Bundu. (2006). Penilaian Ketrampilan Proses dan Sikap Ilmiah Dalam Pembelajaran IPA-SD. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

PISA. (2012). PISA 2012 Result in Focus. Diakses dari http://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-2012-results-overview.pdf pada tanggal 14 Desember 2015.

Pustekkom. 2007. Pewarna yang Dilarang untuk Pangan Diakses dari http://idkf.bogor.net/yuesbi/eDU.KU/edukasi.net/Kesehatan/Bahan.Pewarna /materi4.html pada tanggal 25 November 2015.

Riduwan. (2007). Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Roestiyah N. K. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sadler, T. D. & Zeidler, D. L. (2005). Patterns of Informal Reasoning in the

Context of Socio Scientific Decision Making. Journal of Research in Science Teaching. 42(1). Hlm 112-138.

Scanlon, Valerie C. & Sanders, Tina. (2007). Essentials of Anatomy and Physiology. Piladelphia: F. A. Davis Company.

Science Education Channel. 2014 Diakses dari

https://www.youtube.com/watch?v=u5CWSLA8teA pada tanggal 25 November 2015.


(6)

116 Setiawan & Pepen Permana. (2008). Pengantar Statistik diakses dari

http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_JERMAN/1959 06231987031-SETIAWAN/PS_12.pdf pada tanggal 31 Januari 2016. Sugiono. (2012). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sumarna Suryapranata. (2005). Analisis, Validitas, Reliabilitas, dan Interpretasi Hasil Tes Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Sund, Robert B & Trowbridge, Leslie W. (1973). Teaching Science by Inquiry in the Secondary School. Amerika: Charles E. Merrill Publishing Company. Sunita Almatsier. (2004). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Wasih Djojosoediro. (2011). Hakikat IPA dan Pembelajaran IPA SD. Diaskes dari http://kuliahdaring.dikti.go.id/materiterbuka/open/dikti/BA_DIP-BPJJ_BATCH_1/Pengembangan%20Pembelajaran%20IPA%20SD/01.%20 Inisiasi%20Online%201.pdf pada tanggal 1 Februari 2016.

Watts, Andrew. (2013). The Assesment of a Practical Science. Diakses dari http://www.cambridgeassessment.org.uk pada tanggal 18 Oktober 2015. W. Gulo (2008). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana

Indonesia.

Yabpeknas. 2015. Pengertian Boraks dan Formalin dan ciri-cirinya Diakses dari http://www.yabpeknas.com/2015/01/pengertian-borak-dan-formalin-dan-ciri.html pada tanggal 25 November 2015.

Yulian Putri Muhtartinah. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (guided inquiry) dengan Menggunakan Metode Eksperimen terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Biologi Siswa (Kelas VIII SMP Negeri 2 Maesan Bondowoso). Skripsi. Diakses dari http://www.repository.unej.ac.id.