Variasi Genetik dan Teknik Perbanyakan Vegetatif Cemara Sumatra (Taxus sumatrana)

1

VARIASI GENETIK DAN TEKNIK PERBANYAKAN
VEGETATIF CEMARA SUMATRA (Taxus sumatrana)

HENTI HENDALASTUTI RACHMAT

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Variasi Genetik dan
Teknik Perbanyakan Vegetatif Cemara Sumatra (Taxus sumatrana) adalah karya
saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis
ini.

Bogor, Agustus 2008

Henti Hendalastuti Rachmat
NIM E051060431

3

ABSTRACT
HENTI HENDALASTUTI RACHMAT. Genetic Variation and Vegetative
Propagation Technique of Sumatran Yew (Taxus Sumatrana). Under direction
of Dr. ISKANDAR Z. SIREGAR and Dr. SUPRIYANTO
Genetic diversity and vegetatif propagation technique for Sumatran yew
(Taxus sumatrana) are little known and could be useful for the management of
this long-lived species either for conservation, habitat restoration or production of
paclitaxel (Taxol® ), a promising anti-cancer agent. The objective of this research
were: 1) To estimate genetic variation of Sumatran yew from three reproductive
population (mother tree, planted tree in Cibodas Botanical Garden and natural

seedling) using RAPD marker that is important in formulating appropriate
conservation strategies for the species; and 2) To find out suitable rooting medium
in propagating Sumatran yew vegetatively. In this study, the genetic diversity was
estimated based on Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Of the 28
universal primers screened, six produced polymorphic and clear RAPD bands.
The result also showed that there was a relatively high genetic diversity within
population with the percentage of polymorphic band (PPB) ranging from 45,8% –
83,33% with an average 69,43% and Nei’s genetic diversity index (He) of 0,2346,
and moderate genetic differentiation among population (GST = 0,2892 ). The high
genetic diversity found on population of Sumatran yew may result from their life
history characteristic as an outcrossing, widespread distribution, wind-pollinated,
animal digested seed and long-lived woody species. Results from shoot cutting
experiment using three different rooting media showed that rooting ability was
significantly affected by the medium. Among the three media tested, combination
of cocodust and rice husk at the ratio 2:1 (v/v) gave the best result in rooting
ability (66,7%).
Keywords: Taxus sumatrana, genetic diversity, RAPD, cutting

4


RINGKASAN
HENTI HENDALASTUTI RACHMAT.
Variasi Genetik dan Teknik
Perbanyakan Vegetatif Cemara sumatra (Taxus sumatrana). Dibimbing oleh
Dr. Ir. ISKANDAR Z. SIREGAR dan Dr. Ir. SUPRIYANTO
Kulit, daun, cabang, ranting, dan akar dari genus Taxus merupakan
sumber paclitaxel (Taxol®), yang saat ini sangat sukses digunakan dalam
mengobati kanker ovarium dan kanker payudara serta berbagai jenis penyakit non
kanker lainnya seperti alzheimer, sarcoma kaposi (tumor jaringan pembuluh
darah), dan sklerosis ginjal. Produksi 1 kg Taxol membutuhkan sekitar 30.000 kg
biomasa. Menurut Smith & Cameron (2001), kebutuhan Taxol untuk Amerika
Utara dan Eropa saja sekitar 400 kg/tahun (setara dengan 12 juta kg biomas) atau
diprediksikan sekitar 1.000 kg/tahun untuk pasar dunia (setara dengan 30 juta kg
biomas). Permintaan terhadap produk ini mengalami kenaikan rata-rata 20%
setiap tahun. Oleh karena kondisi penurunan populasi Taxus yang sudah berada
pada tingkat yang sangat memprihatinkan, maka Taxus telah dimasukan ke dalam
Appendiks II CITES sejak tahun 2005 (CITES, 2005).
Indonesia merupakan sedikit dari negara yang memiliki sebaran alamiah
Taxus di zona Asia. Taxus sumatrana yang dikenal di dunia internasional dengan
nama Sumatran yew (Cemara sumatra) merupakan salah satu jenis pohon berdaun

jarum yang tumbuh secara alamiah di Indonesia (Sumatera) pada ketinggian
1.400-2.300 mdpl.
Keragaman genetik suatu individu memegang peranan yang penting
karena tingkat keragaman individu dalam populasi maupun antar populasi
menggambarkan status keberadaan suatu jenis di alam. Pemilihan teknik RAPD
dalam menganalisis keragaman genetik telah dilakukan pada beberapa jenis Taxus
namun sampai saat ini belum ada laporan penggunaan teknik ini untuk
menganalisis keragaman genetik Cemara sumatra yang tumbuh di Indonesia.
Upaya budidaya merupakan salah satu kunci penting dalam
mempertahankan keberadaan suatu jenis. Karena sulitnya penanganan pada
pematahan dormansi benih maka teknik perbanyakan paling umum dari genus
Taxus dilakukan dengan penyetekan. Meskipun telah dilaporkan beberapa upaya
dan keberhasilan perbanyakan jenis-jenis Taxus melalui perbanyakan dengan stek,
namun sampai saat ini belum ada laporan hasil penelitian yang serupa terhadap
jenis Cemara sumatra.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1) Menduga keragaman genetik
Cemara sumatra dari 3 populasi reproduktif (populasi pohon induk, populasi
Cibodas, populasi anakan alam) dengan menggunakan Random Amplified
Polymorphic DNA (RAPD) yang berguna sebagai dasar dalam memformulasikan
strategi konservasi yang paling sesuai; dan 2) Mendapatkan metode penyetekan

dengan tingkat keberhasilan yang paling tinggi dari beberapa media yang berbeda.
Bahan tanaman yang digunakan untuk analisis variasi genetik adalah
sampel daun Cemara sumatra dari 3 populasi reproduktif yaitu populasi pohon
induk alam, populasi anakan alam, dan populasi yang ditanam di Cibodas.
Ekstraksi daun dilakukan dengan modifikasi metode cetyl trimethyl ammonium
bromida (CTAB) dari Milligan (1989). Amplifikasi DNA dilakukan dengan
metode Random Amlified Polymorphic DNA (RAPD) pada mesin PCR MJ

5

Research PTC-100. Primer yang digunakan adalah 6 primer hasil optimasi
keluaran Operon Technology yaitu OPC-05, OPO-06, OPO-13, OPY-14, OPY-15
dan OPY-20. Variabel untuk keragaman genetik dalam populasi adalah:
Persentase Lokus Polimorfik (PLP), jumlah alel efektif (Ae), indeks Shanon (S)
dan keragaman genetik Nei-s (He). Sedangkan variabel yang diukur pada
keragaman genetik antar populasi adalah : jarak genetik (do), diferensiasi genetik
(GST), dan analisis gerombol.
Pada kegiatan penelitian teknik perbanyakan vegetatif dengan stek,
sumber bahan stek merupakan pohon induk Cemara sumatra yang tumbuh di
Gunung Kerinci – Jambi yang diambil dari cabang ortotrof. Penanaman bahan

stek di rumah kaca dilakukan pada 3 media yang berbeda yaitu : tanah : sekam
pada rasio 1:1 (v/v) (M1), tanah : sekam : serbuk kelapa pada rasio 1:1:1 (v/v/v)
(M2), dan serbuk kelapa: sekam pada rasio 2:1 (v/v) (M3). Setiap perlakuan
diulang sebanyak 3 kali dengan masing-masing ulangan terdiri dari 7 bahan stek.
Pengecekan akar dilakukan pada umur stek 16 minggu setelah tanam (MST), 20
MST, dan 24 MST sedangkan penyapihan dilakukan pada umur 28 MST.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Variabel pengamatan adalah persentase stek hidup, persentase stek berakar,
jumlah dan panjang akar primer serta jumlah dan panjang akar sekunder.
Pengamatan histologi akar dilakukan pada akhir pengamatan penyetekan dengan
menggunakan metode parafinasi dengan tujuan mengetahui daerah munculnya
akar pertama kali.
Dari total 48 lokus yang terdeteksi, 47 (97,92%) merupakan lokus
polimorfik. Persentase lokus polimorfik memiliki nilai rata-rata 69,43%, dengan
kisaran 45,83% - 83,33%. Rata-rata jumlah alel efektif per lokus adalah 1,4039.
Keragaman genetik dalam populasi (He) tergolong tinggi dengan nilai 0,2346 dan
indeks Shanon memiliki nilai 0,3524. Dari ketiga populasi yang dianalisis,
populasi pohon induk alam (He = 0,2590) dan hasil perbanyakan di Kebun Raya
Cibodas (He = 29,59) memperlihatkan tingkat variabilitas yang jauh lebih tinggi
dibanding populasi anakan alam (He = 0,1490). Diferensiasi genetik antar populasi

(Gst) tergolong sedang dengan nilai 0,2892. Sedangkan besarnya jarak genetik
Nei (do) antar populasi berkisar dari 0,1308 – 0, 2598 dengan nilai rata-rata
0,2041. Berdasarkan jarak genetik Nei (1972), populasi Cemara sumatra terbagi
menjadi 2 kelompok. Populasi pohon induk alam dan populasi hasil perbanyakan
vegetatif berada pada satu kelompok yang sama dan kelompok kedua hanya terdiri
dari populasi anakan alam.
Perlakuan pemakaian media yang berbeda dalam penyetekan Cemara
sumatra menghasilkan perbedaan yang signifikan hanya pada variabel persentase
stek berakar. Media serbuk kelapa : sekam pada 2:1 (v/v) (M3) menghasilkan
persentase stek yang paling tinggi yaitu 66,7%. Berdasarkan hasil mikroteknik,
pembentukan akar pada stek Cemara sumatra dimulai dari sel-sel meristem pada
kambium. Namun demikian pada beberapa stek, akar terbentuk dengan didahului
oleh terbentuknya kalus dan ada juga akar adventif pada batang yang tumbuh
secara spontan.
Kata kunci: Taxus sumatrana, variasi genetik, RAPD, penyetekan

6

 Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7

VARIASI GENETIK DAN TEKNIK PERBANYAKAN
VEGETATIF CEMARA SUMATRA (Taxus sumatrana)

HENTI HENDALASTUTI RACHMAT

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

8

Judul Tesis : Variasi Genetik dan Teknik Perbanyakan Vegetatif Cemara
Sumatra (Taxus sumatrana)
Nama
: Henti Hendalastuti Rachmat
NIM
: E051060431

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Iskandar Z. Siregar
Ketua


Dr. Supriyanto
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS

Tanggal Ujian: 19 Agustus 2008

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Lulus :

9


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga segala upaya penulis dalam melaksanakan dan menyusun karya
ilmiah dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan
sejak bulan September 2007 ini adalah Variasi Genetik dan Teknik Perbanyakan
Vegetatif Cemara Sumatra (Taxus sumatrana).
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Departemen
Kehutanan atas kesempatan dan beasiswa yang telah diberikan untuk melanjutkan
studi ke Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada Dr. Iskandar
Z. Siregar dan Dr. Supriyanto selaku komisi pembimbing yang telah banyak
memberikan arahan, bimbingan dan motivasi dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
Keberhasilan ini juga tidak terlepas dari peran suami, anak dan keluarga, terima
kasih untuk semuanya.
Semoga dengan adanya karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2008
Henti Hendalastuti Rachmat

x

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 8 Agustus 1978
sebagai anak ketiga dari pasangan Bapak Mamat Rachmat dan Ibu Eceh
Suwangsih (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan,
Fakultas Kehutanan, IPB, lulus pada bulan April 2001.

Kesempatan untuk

melanjutkan ke program master pada Progran Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan,
sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun ajaran 2006/2007.

Beasiswa

pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Kehutanan.
Penulis bekerja sebagai peneliti pada Loka Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya institusi tempat penulis bekerja
mengalami perubahan tugas pokok dan fungsi menjadi Balai Penelitian Hutan
Penghasil Serat, Badan Litbang Kehutanan – Departemen Kehutanan.

Bogor, Agustus 2008

Henti Hendalastuti Rachmat

xi

DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR TABEL ........................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. v
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
Latar Belakang....................................................................................... 1
Perumusan Masalah ............................................................................... 2
Tujuan ................................................................................................... 4
Hipotesis................................................................................................ 4
Manfaat.................................................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5
Taxus sumatrana (Miq) de Laubenfels ................................................... 5
Keragaman Genetik ............................................................................... 7
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)....................................... 8
Sistem Perbanyakan Vegetatif Stek ........................................................ 9
METODE PENELITIAN.............................................................................. 12
Analisis Keragaman Genetik......................................................................... 12
Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 12
Alat dan Bahan ...................................................................................... 12
Metode................................................................................................... 14
Teknik Perbanyakan Vegetatif ..................................................................... 20
Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 20
Alat dan Bahan ...................................................................................... 20
Metode................................................................................................... 20
Pengamatan Histologi Akar ......................................................................... 23

xii

HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 26
Keragaman Genetik Cemara sumatra ............................................................ 26
Keragaman Genetik dalam Populasi ...................................................... 26
Keragaman Genetik antar Populasi......................................................... 33
Perbanyakan Vegetatif Stek ......................................................................... 34
Persentase Stek Hidup dan Berakar ........................................................ 35
Jumlah dan Panjang akar Primer dan Sekunder ...................................... 39
Pertumbuhan dan Perkembangan Akar pada Stek................................... 40
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 45
LAMPIRAN ................................................................................................. 48

xiii

DAFTAR TABEL
No.

Hal

1.

Koordinat, ketinggian tempat dan diameter pohon induk populasi
alam Cemara sumatra yang dijadikan sampel untuk analisis RAPD

13

2.

Kondisi sampel anakan alam untuk analisis RAPD di Gunung
Kerinci

13

3.

Kondisi tanaman Cemara sumatra hasil perbanyakan di Cibodas
yang digunakan untuk analisis RAPD

14

4.

Komposisi buffer ekstraksi

15

5.

Urutan basa nukleotida 28 primer dari Operon Technology

17

6.

Komposisi untuk reaksi PCR dengan bahan Green Go Taq

18

7.

Tahapan dalam proses PCR

18

8.

Sekuensi primer dan jumlah pita polimorfik yang dihasilkan

26

9.

Variabilitas genetik dalam populasi Cemara sumatra berdasarkan
analisis RAPD

29

10.

Nilai keragaman genetik dalam dan antar populasi Cemara
sumatra

33

11.

Rekapitulasi hasil sidik ragam penggunaan media tanam yang
berbeda terhadap perkembangan stek Cemara sumatra 28 MST

34

12.

Hasil sidik ragam persentase hidup dan berakar stek Cemara
sumatra

35

13.

Hasil uji Duncan pengaruh media terhadap persentase berakar stek
Cemara sumatra

36

14.

Kondisi perakaran stek Cemara sumatra 28 MST pada tiga kondisi
media yang berbeda

39

xiv

DAFTAR GAMBAR
No.

Hal

1.

Pohon, batang, dan daun Cemara sumatra

6

2.

Penyebaran Cemara sumatra

7

3.

Prosedur penelitian keragaman genetik

14

4.

Cara penilaian pita dengan sistem skoring

19

5.

Hasil amplifikasi pita yang diperlihatkan oleh primer

26

6.

Amplifikasi RAPD oleh primer OPC-05

27

7.

Amplifikasi RAPD oleh primer OPO-06

27

8.

Amplifikasi RAPD oleh primer OPO-13

27

9.

Amplifikasi RAPD oleh primer OPY-14

28

10.

Amplifikasi RAPD oleh primer OPY-15

28

11.

Amplifikasi RAPD oleh primer OPY-20

28

12.

Persentase hidup dan berakar stek Cemara sumatra

35

13.

Kondisi perakaran stek Cemara sumatra 28 MST pada tiga media
berbeda

36

14.

Rata-rata jumlah akar primer dan sekunder stek Cemara sumatra
28 MST pada media yang berbeda

39

15.

Panjang akar primer dan sekunder stek Cemara sumatra 28 MST
pada media yang berbeda

40

16.

Penampang melintang akar Cemara sumatra hasil penyetekan

41

17.

Akar yang tumbuh dari jaringan kalus

42

18.

Akar adventif batang yang tumbuh secara spontan

42

xv

DAFTAR LAMPIRAN
No.

Hal

1.

Hasil analisis tanah dari Gunung Kerinci - Jambi

48

2.

Hasil skoring pita DNA yang diamplifikasi oleh 6 primer dari
Operon Technology
Analisis sidik ragam untuk variabel persen hidup dan berakar stek
Cemara sumatra 28 MST
Hasil uji Duncan persen berakar stek Cemara sumatra 28 MST

49

3.
4.
5.

Analisis sidik ragam untuk panjang akar utama, jumlah akar
utama, panjang akar sekunder dan jumlah akar sekunder stek
Cemara sumatra 28 MST

50
50
50

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang banyak memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia, baik untuk produksi kayu, jasa lingkungan,
maupun sumber plasma nutfah. Indonesia merupakan salah satu negara yang
mempunyai hutan yang luas dengan berbagai tipe hutan yang tersusun atas
berbagai jenis tumbuhan dengan keanekaragaman yang tinggi. Keanekaragaman
hayati sebagai sumber kekayaan hayati bagi umat manusia merupakan pilar untuk
mengembangkan tanaman pangan, bahan baku industri, maupun bahan baku obatobatan.
Berangkat dari catatan sejarah, ketertarikan terhadap sumber daya hutan
telah sekian lama terfokus hanya pada produk berupa kayu atau turunannya.
Nilai-nilai sumber daya hutan yang lainnya ditempatkan pada kelas kedua dan
dinilai sebagai produk tambahan dengan sebutan produk minor hutan. Dari hal
tersebut tergambar secara jelas kurangnya ketertarikan dan perhatian terhadap
produk hutan non kayu.
Seiring dengan waktu, telah terjadi peningkatan ketertarikan dan perhatian
terhadap hasil hutan non kayu akhir-akhir ini. Perubahan iklim dunia merupakan
salah satu faktor signifikan yang berkontribusi dalam meningkatkan perhatian
berbagai kalangan terhadap nilai-nilai biodiversitas dan signifikansi jasa
lingkungan yang terkandung di dalam hutan. Kondisi degradasi hutan di berbagai
belahan dunia yang semakin tinggi juga telah menuntut dilakukannya upayaupaya pelestarian dan pengelolaan hutan dan hasil hutan.
Produk hasil hutan non kayu kini telah menjadi bisnis besar dan beberapa
diantaranya berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mendukung bisnis tersebut mulai dari budidaya, ekstraksi sampai
ke pemasaran. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tidak jarang
pemanenan terhadap hasil hutan non kayu sama merusaknya dengan pemanenan
terhadap kayu. Pada beberapa jenis hasil hutan non kayu (rotan, kayu penghasil
gaharu, berbagai jenis akar dan batang) sistem pemanenannya akan menimbulkan
kematian terhadap pohon/tumbuhan tersebut.

2

Diantara sekian banyak pengelompokan jenis hasil hutan non kayu,
tumbuhan atau pohon sebagai sumber senyawa aktif obat-obatan (industri farmasi)
merupakan salah satu kelompok hasil hutan non kayu dengan nilai ekonomis yang
tinggi. Menurut Kuswiyati et al. (1999) dalam Anonim (1999), disebutkan bahwa
Indonesia mempunyai 1260 jenis tumbuhan obat-obatan. Tanaman obat yang
dimanfaatkan baru 456 jenis dari 646 jenis tanaman obat yang telah diteliti. Di
negara lain seperti Cina, sudah terdaftar lebih dari 7000 spesies tanaman obat,
Korea sejak 1983 melakukan standardisasi 530 jenis tanaman obat. Di Jerman,
penelitian dan pemanfaatan obat-obatan dari bahan alam yang biasa disebut
phytomedicines sudah jauh lebih maju. Tahun 1989 pasar obat-obatan dari bahan
alam di Jerman mencapai nilai $1,7 milyar, atau 10% dari total nilai pasar Jerman.
Hasil penelitian Allenbach Institute (1989) menyatakan bahwa 58% penduduk
Jerman menggunakan obat dari bahan alam (Kompas, 22 Oktober 1998 dalam
Budiatmoko 1999).
Namun demikian, sangat disayangkan bahwa potensi hutan Indonesia
sebagai sumber bahan alami obat-obatan bernilai tinggi belum tergali secara
optimal.

Hanya beberapa jenis pohon atau tumbuhan saja yang sudah

dimanfaatkan secara komersial dan masih jauh lebih banyak jenis pohon/
tumbuhan yang belum terjamah. Dengan tingkat degradasi hutan yang sangat
tinggi, cukup masuk akal jika timbul kekhawatiran bahwa tumbuhan/pohon
penghasil obat-obatan di hutan Indonesia akan musnah bahkan sebelum
potensinya dapat diketahui.

Perumusan Masalah
Kulit, daun, cabang, ranting, dan akar dari genus Taxus merupakan
sumber paclitaxel (Taxol®), yang saat ini sangat sukses digunakan dalam
pengobatan kanker ovarium dan kanker payudara. Saat ini, Taxol® juga mulai
digunakan untuk pengobatan beberapa jenis kanker lainnya dan penyakit non
kanker seperti alzheimer, sarkoma kaposi (tumor jaringan pembuluh darah), dan
sklerosis ginjal. Seiring dengan tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan untuk
memperoleh bahan aktif Taxol® di dunia farmasi karena permintaan pasar yang
sangat tinggi terhadap produk ini maka populasi Taxus di dunia telah menurun

3

secara drastis.

Tingkat pemanenan Taxus yang sangat tinggi di populasi

alamiahnya juga dipicu oleh sangat rendahnya kandungan Taxol® pada bagian
tanaman. Produksi 1 kg Taxol® membutuhkan sekitar 30.000 kg biomasa.
Menurut Smith & Cameron (2001), kebutuhan Taxol® untuk Amerika Utara dan
Eropa saja sekitar 400 kg/tahun (setara dengan 12 juta kg biomas) atau
diprediksikan sekitar 1.000 kg/tahun untuk pasar dunia (setara dengan 30 juta kg
biomas). Jika diasumsikan 1 ha hutan tanaman mampu menghasilkan 400 kg
biomasa maka diperlukan 75.000 ha hutan tanaman Taxus untuk pemenuhan
suplai bahan baku.
Permintaan yang sangat tinggi terhadap bahan aktif Taxol® dan berbagai
senyawa Taxane lainnya yang diekstraksi dari Taxus berlangsung mulai tahun
1990-an dan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 20% per tahun. Fenomena ini
diprediksikan akan terus meningkat seiring dengan kenyataan bahwa Taxol®
merupakan obat anti kanker paling dicari di dunia (Anonim, 2003). Upaya
budidaya untuk pemenuhan bahan baku telah dilakukan di wilayah timur laut
Pasifik dan Midwest Amerika Serikat namun sebagian besar bahan baku yang
digunakan masih diimpor dari Asia terutama dari Cina dan India. Penurunan
drastis populasi Taxus telah menyebabkan jenis ini dimasukan ke dalam
Appendiks II CITES sejak tahun 2005 (CITES 2005).
Indonesia merupakan sedikit dari negara yang memiliki sebaran alamiah
Taxus di zona Asia.

Taxus sumatrana yang dikenal di dunia dengan nama

Sumatran yew (Cemara sumatra) merupakan salah satu jenis pohon berdaun jarum
yang tumbuh secara alamiah di Indonesia (Sumatera) pada ketinggian 1.400-2.300
mdpl. Sedikit sekali penelitian ilmiah yang sudah dilakukan mengenai jenis ini di
Indonesia. Sangat berbeda dengan negara-negara di belahan bumi bagian utara
yang sudah sangat berkembang dalam meneliti Taxus dari berbagai aspek, di
Indonesia hanya terdapat dua hasil penelitian saja yang telah dipublikasikan yaitu
mengenai studi kapang endofitik penghasil Taxol® yang hidup pada batang
Cemara sumatra yang tumbuh di Cibodas (Syukur et al. 2003) dan penemuan
senyawa taxane diterpenoid baru yang diekstraksi dari bagian daun Cemara
sumatra yang tumbuh di Sumatera ( Kitagawa et al. 1995). Sampai dengan saat
ini belum dilaporkan adanya

publikasi ilmiah hasil penelitian atau kajian

4

mengenai keragaman genetik, teknik budidaya maupun strategi konservasi
Cemara sumatra yang tumbuh alami di Indonesia. Dari kondisi ini muncul dua
permasalahan utama, yaitu:
1. Bagaimana keragaman genetik intra maupun antar populasi Cemara sumatra
di Indonesia dan strategi konservasi apa yang bisa disusun berdasarkan
keragaman genetik yang dimilikinya?
2. Bagaimana tingkat keberhasilan perbanyakan vegetatif melalui penyetekan
dengan media berbeda pada Cemara sumatra?

Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Menduga keragaman genetik Cemara sumatra dari 3 populasi reproduktif
(populasi pohon induk, populasi Cibodas, populasi anakan alam) dengan
menggunakan

Random

Amplified

Polymorphic

DNA

(RAPD)

dan

memformulasikan strategi konservasi yang paling sesuai.
2. Mengkaji metode penyetekan dengan tingkat keberhasilan yang paling tinggi
dari beberapa media yang berbeda.

Hipotesis
1.

Variasi genetik populasi Cibodas sebagai hasil perbanyakan vegetatif dari
alam akan lebih mendekati populasi pohon induk alam dibanding dengan
populasi anakan alam.

2.

Pemakaian media tanam yang berbeda pada penyetekan Cemara sumatra
akan menghasilkan perbedaan tingkat keberhasilan dalam memperbanyak
jenis ini secara vegetatif.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sains dasar
(basic science) mengenai keragaman genetik dan teknik perbanyakan Cemara
sumatra yang penting sebagai landasan dalam praktek budidaya

dan

pengelolaannya dimasa mendatang, baik untuk tujuan komersial maupun
konservasi.

TINJAUAN PUSTAKA

Taxus sumatrana (Miq) de Laubenfels
Aspek botanis
Taxus sumatrana termasuk ke dalam genus Taxus, famili Taxaceae dan
sub-divisi Gymnospermae. Di dunia internasional Taxus sumatrana dikenal
dengan nama Sumatran yews atau Cemara sumatra. Habitus dari tanaman ini
berbentuk semak sampai pohon dengan tinggi bisa mencapai 30 m.

Daun

berbentuk elip-lanset, berwarna hijau zaitun dengan ukuran panjang 1,8 – 3,0 cm,
lebar 2.0 – 2.5 mm, dan tebal 200 – 275 µm. Warna kulit batang merah keabuabuan dengan tebal kulit 0,5-0,8 cm. Bunga kerucut jantan biasanya tidak terlihat,
sedangkan bunga kerucut betina berbentuk subsilindris dengan panjang 2 mm,
lebar 1 mm. Buah berbentuk kerucut kaku dengan panjang 4 mm dan lebar 3 mm,
mengerucut dari tengah ke puncak. Seluruh genus Taxus dikenal sebagai jenis
yang berumur panjang bahkan pohon tertua di daratan Eropa dengan umur
diperkirakan 3.000 – 4.000 dan berdiameter lebih dari 4 meter adalah Taxus
baccata (Spjut 2003).
Hampir semua jenis Taxus berumah dua (dioceous) hanya Taxus
canadensis merupakan tumbuhan berumah satu (monoceous). Bunga berukuran
kecil dan soliter dan tumbuh dari tunas aksilar. Kuncup bunga betina terdiri dari
ovul tunggal yang dikelilingi oleh 5 kelopak bunga. Antesis diindikasikan dengan
terdapatnya mikropolar pada oval yang terbuka, yang selanjutnya akan
berkembang menjadi benih. Kuncup bunga jantan biasanya mengelompok di
sepanjang bagian bawah percabangan. Bunga jantan memiliki 14 stamen, masingmasing dengan 5-9 mikrosporangia atau kantung polen. Polinasi terutama
dilakukan oleh angin.
Sampai dengan saat ini tidak banyak informasi yang dapat diperoleh
mengenai Cemara sumatra yang tumbuh di Indonesia baik dari segi ekologi
maupun silvikultur. Gambar 1 berikut memperlihatkan pohon, batang dan daun
Cemara sumatra yang ditanam di Kebun Raya Cibodas.

6

Koleksi pribadi, 2006

5 cm

Gambar 1 Pohon, batang, dan daun Cemara sumatra.

Penyebaran, tempat tumbuh dan status ekologi
Cemara sumatra tumbuh di hutan sub tropis lembab dan hutan hujan
pegunungan. Penyebaran alami jenis ini mencakup wilayah Afganistan, Tibet,
Nepal, Bhutan, Burma, Vietnam, Taiwan dan Cina.

Di Indonesia, Cemara

sumatra tumbuh secara alami sebagai sub kanopi di hutan pegunungan ataupun
punggung pegunungan di Pulau Sumatera dan Sulawesi pada ketinggian 1.400 –
2.300 mdpl (Spjut 2003). Di Taiwan, jenis ini dikenal sebagai jenis konifer yang
terancam punah dengan pola penyebaran yang terpencar mengelompok (Huang et
al. 2008). Untuk Cemara sumatra yang tumbuh di Indonesia sampai dengan saat
ini belum dilaporkan adanya publikasi ilmiah aspek ekologi yang komprehensif
tentang jenis ini. Adapun penyebaran jenis ini di Indonesia seperti terlihat pada
Gambar 2.

7

Gambar 2 Penyebaran Cemara sumatra di Indonesia.
(Sumber: http://www.conifer.org)
Keterangan : Titik merah mengindikasikan wilayah penyebaran Cemara sumatra di Indonesia

Produk perdagangan dalam dunia tumbuhan obat terdiri dari berbagai
komoditas mulai dari bahan baku mentah (akar, kulit batang, daun dll) sampai
dengan hasil ekstrak atau produk farmasi akhir yang sudah dikemas. Ekstrak
Taxus baik berupa bahan kimia mentah, setengah dimurnikan atau senyawa aktif
yang sudah dikemas dan siap dikonsumsi merupakan bentuk produk yang
diperdagangkan luas di dunia. Tambahan anonasi #10 pada Apendix II CITES
untuk Taxus sumatrana berimplikasi terhadapa mekanisme perdagangannya yaitu
pelarangan perdagangan segala bagian pohon dan turunannya, kecuali biji dan
produk farmasi akhir siap konsumsi (CITES 2007). Dengan demikian, pemenuhan
bahan baku dalam pembuatan Taxol bertumpu hanya pada dua pilihan utama yaitu
pembangunan hutan tanaman dan pemanfaatan bioteknologi dalam sintesis
senyawa Taxol (kultur suspensi sel, kultur rambut akar, pemanfaatan kapang
endofitik, teknik fermentasi sel tanaman).

Keragaman Genetik
Tingkat keragaman individu dalam populasi maupun antar populasi secara
tidak langsung menggambarkan status keberadaan suatu jenis di alam. Tingkat
keragaman yang rendah mengindikasikan penurunan dalam populasi efektif di
alam akibat terjadinya inbreeding.

Dalam hal ini, populasi dengan tingkat

8

keragaman genetik yang tinggi mempunyai peluang hidup yang lebih baik karena
mempunyai

kemampuan

lingkungannya.

yang

lebih

baik

untuk

beradaptasi

dengan

Menurut Finkeldey (2005), keragaman genetik adalah suatu

besaran yang mengukur variasi fenotype yang disebabkan oleh faktor-faktor
genetik.
Keragaman genetik dapat dibagi menjadi keragaman genetik di dalam
populasi dan antar populasi dimana masing-masing memiliki besaran/parameter
pengukuran.

Keragaman genetik dalam populasi biasanya diukur dengan

polimorfisme atau persentase lokus polimorfik, rata-rata jumlah alel per lokus,
keragaman gametik, keragaman genetik dan rata-rata tingkat heterozigositas.
Keragaman antar individu dalam suatu jenis merupakan hal yang penting karena
keragaman materi genetik yang berbeda tersebut akan menggambarkan perbedaan
tingkat adaptasi individu di dalam suatu jenis terhadap dinamika kondisi
lingkungannya. Individu-individu dalam generasi tertentu yang memiliki tingkat
adaptasi tinggi terhadap lingkungannnya akan mampu bertahan hidup dan
menghasilkan individu-individu turunan untuk generasi selanjutnya. Keragaman
genetik antar populasi dihitung dengan menggunakan parameter jarak genetik,
diferensiasi, pengelompokan keragaman genetik, dan analisa gerombol (Hattemer
1991 dalam Siregar 2000; Yeh 2000)

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)
Penanda genetik RAPD merupakan metode yang mendeteksi polimorfisme
DNA dengan hasilnya berupa ada atau tidaknya amplifikasi di dalam sebuah lokus
yang ditandakan dengan terbentuk atau tidaknya pita-pita DNA.
genotipe, RAPD merupakan penanda dominan.

Pada level

DNA yang digunakan dalam

teknik RAPD ini bisa DNA dari posisi manapun baik DNA inti, DNA kloroplas
maupun DNA mitokondria. RAPD menggunakan prinsip kerja mesin PCR dan
pertama kali digunakan dan dikembangkan oleh William et al. (1990) dengan
menggunakan primer tunggal atau sekuen nukleotida pendek (10-20 mer) yang
susunan basanya dibuat secara acak (Glaubitz & Moran 2000).

Teknik RAPD

banyak dipilih untuk menganalisis keragaman genetik dengan berbagai alasan
antara lain tidak membutuhkan latar belakang pengetahuan tentang genom yang

9

akan dianalisis, tersedianya primer yang secara universal dapat digunakan untuk
organisme prokariot maupun eukariot, mampu menghasilkan karakter yang relatif
tidak terbatas jumlahnya, bahan-bahan yang digunakan relatif lebih murah, mudah
dalam preparasi, dan relatif cepat memberikan hasil (Weissing et al. 1995).
Pemilihan teknik RAPD dalam menganalisis keragaman genetik telah
dilakukan pada beberapa jenis Taxus diantaranya adalah Taxus bacata, Taxus
canadensis dan Taxus brevifolia. Teknik RAPD berhasil mendeteksi keragaman
klonal dalam populasi, struktur populasi, diferensiasi dan dinamika genetik
populasi, serta mendeteksi pengaruh persilangan resiprokal terhadap terbentuknya
kultivar/hybrid baru (Hilfiker et al. 2004; Collins et al. 2003). Meskipun teknik
ini semakin berkembang dan banyak digunakan untuk analisis genetik pada
berbagai jenis dalam genus Taxus namun sampai saat ini belum ada laporan
penelitian mengenai penggunaan teknik RAPD untuk analisa genetik Cemara
sumatra yang tumbuh di Indonesia.

Sistem Perbanyakan Vegetatif Stek
Didapatnya teknik perbanyakan yang paling sesuai terutama untuk jenisjenis yang terancam punah dapat menjadi salah satu kontribusi yang sangat
penting dalam upaya pelestarian jenis tersebut. Dari berbagai teknik perbanyakan
yang ada, penyetekan merupakan metode yang paling populer dalam
memperbanyak tanaman secara vegetatif (Maden 2003). Adapun menurut
Balitbanghut (2007), beberapa alasan digunakannya perbanyakan vegetatif antara
lain adalah : a) Memperoleh keturunan dari pohon induk yang memiliki
keunggulan genetik. Hal ini berkaitan erat dengan program pemuliaan dari suatu
jenis; b) Sulitnya mendapatkan pasokan benih suatu jenis; dan c) Perbanyakan
vegetatif dinilai akan lebih efisien untuk diterapkan pada jenis-jenis tertentu.
Umumnya perbanyakan vegetatif jenis-jenis Taxus dilakukan dengan
penyetekan. Persentase berakar cukup bervariasi antar kultivar atau antar jenis
tergantung dari suhu, sistem dan mekanisme penyemprotan (misting), serta
penggunaan hormon tumbuh seperti IBA atau NAA. Hasil pengamatan Echer
(1988) dalam Kulkarni (2000) terhadap beberapa jenis Taxus diperoleh persentase
berakar antara 63-100% sedangkan Chee (1995) dalam Kulkarni (2000)

10

melaporkan stek batang Taxus cuspidata yang diperlakukan dengan larutan IBA
0,2% + NAA 0,1% + Thiamine 0,08% memiliki persentase berakar 73,5%.
Namun demikian tingkat keberhasilan stek berakar untuk jenis Taxus wallichiana
sangat kecil yaitu 20-30% dengan waktu pembentukan akar yang panjang yaitu 3
bulan.
Penyetekan di rumah kaca pada kondisi ternaungi dengan suhu lapisan
bawah polibag yang dikondisikan pada 21 oC dan kelembaban yang tinggi cukup
berhasil untuk Taxus brevifolia, Taxus canadensis, Taxus globosa dan Taxus
floridana. Adapun sumber bahan stek adalah anakan alam yang berumur 1-2
tahun, panjang stek 10 - 20 cm, dan

pencelupan dengan hormone IBA

berkonsentrasi 5.000 – 10.000 ppm. Media yang digunakan adalah campuran
spaghnum peat moss, vermikulit kasar dan perlite atau pasir (Vance & Rudolph
2000).
Penelitian yang cukup menyeluruh dan intensif mengenai teknik penyetekan
pada Taxus telah dilakukan untuk jenis Taxus canadensis.

Pada jenis ini

terindikasi bahwa penyetekan dapat dilakukan pada setiap musim namun biaya
dan keberhasilan berakar stek bervariasi untuk tiap musimnya.

Penyetekan

dengan bahan stek dari pucuk yang tidak dorman dan masih aktif melakukan
pemanjangan (bulan Mei-Juli) dapat menjadi sangat problematik karena bahan
stek mudah pecah dan sulit dalam mempertahankan suhu dan kisaran kelembaban
dalam rumah kaca selama musim panas.

Bahan stek pada berbagai ukuran

hampir semuanya mampu berakar, ukuran bahan stek yang dipilih lebih pada
pertimbangan tipe dan ukuran kontainer atau polibag yang digunakan. Untuk
kontainer persemaian berukuran 65 cm2 dengan masa tumbuh stek di rumah kaca
sekitar 1 tahun maka ukuran panjang bahan stek yang direkomendasikan adalah
7,5 - 10 cm.

Perakaran yang baik tumbuh tepat diatas nodul sehingga

pemotongan bahan stek diatas nodul akan lebih baik dibandingkan pada bagian
antar nodul.
Dibutuhkan waktu sekitar 12-16 minggu agar bahan stek membentuk kalus
dan mulai membentuk perakaran. Suhu rumah kaca pada siang hari dipertahankan
pada 22-25 oC dan 18 oC pada malam hari pada awal pembentukan akar. Untuk
mempertinggi kemampuan berakar dilakukan pencelupan bahan stek ke dalam

11

IBA 0,8% bentuk serbuk. Sebaiknya dibuatkan lubang tanam terlebih dahulu
pada media tumbuh untuk mengurangi pecah atau luka bahan stek. Bahan stek
ditanamkan dengan kedalaman minimal 3,0 cm - 4,0 cm, media di sekitarnya
dipadatkan dan pH media dipertahankan pada 5,5 cm - 6 cm (Yeates et al. 2005).
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan berakar stek.
Salah satu faktor yang sangat signifikan untuk keberhasilan berakar adalah
juvenilitas bahan stek dimana stek yang berasal dari ortet muda memiliki nilai
persentase berakar lebih tinggi yaitu 70,8%, sedangkan stek dari ortet tua
memiliki nilai persentase berakar 48,6 % (Mitchell 1997).
Meskipun telah dilaporkan beberapa upaya dan keberhasilan perbanyakan
jenis-jenis Taxus melalui perbanyakan dengan stek, namun hingga saat ini belum
ada publikasi ilmiah hasil penelitian yang serupa terhadap jenis Cemara sumatra.

METODE PENELITIAN

Analisis Keragaman Genetik
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian keragaman genetik tanaman Cemara sumatra dilaksanakan di
Laboratorium Analisis Genetika, Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan
IPB, sedangkan untuk dokumentasi hasil PCR dilaksanakan di Laboratorium
Biorin, Pusat Studi Ilmu Hayati dan Bioteknologi IPB. Waktu Penelitian selama
5 bulan (Nopember 2007 – Maret 2008). Bagian yang digunakan untuk analisis
keragaman genetik adalah bagian daun.

Sampel diambil dari 3 populasi

reproduktif yaitu populasi pohon induk alam, populasi anakan alam, dan populasi
hasil perbanyakan. Sampel daun untuk populasi reproduktif pohon induk dan
anakan alam Cemara sumatra diambil dari Gunung Kerinci, Taman Nasional
Kerinci Seblat - Jambi, sedangkan populasi hasil perbanyakan vegetatif diambil
dari hasil perbanyakan vegetatif yang ditanam di Kebun Raya Cibodas.

Alat dan bahan
Untuk analisis keragaman genetik tanaman Cemara sumatra alat yang
digunakan adalah GPS Garmin Type 76C, tube, gelas piala, gelas ukur, sarung
tangan, UV transiluminator, kamera digital, mortar dan pestel, hotplate, stirer,
neraca analitik, vortex, Peltier Thermal Cycler MJ-100 Reserach, pipet, freezer
dan sentrifuse.
Bahan tanaman yang digunakan adalah sampel daun Cemara sumatra dari
3 populasi reproduktif yaitu populasi pohon induk alami (nomor sampel 1-10),
populasi anakan alam (nomor sampel 11-20), dan populasi hasil perbanyakan
vegetatif (nomor sampel 21-30).

Masing-masing populasi diwakili oleh 10

individu. Untuk populasi pohon induk maka dilakukan pencatatan letak geografis
berdasarkan penunjukkan koordinat oleh GPS (Global Positioning System).
Untuk populasi anakan alam, tidak berhasil dilakukan pencatatan koordinat. Hal
ini disebabkan kondisi lokasi tempat tumbuh anakan yang bervegetasi sangat
rapat dan gelap sehingga tidak terdapat ruang/celah yang memungkinkan GPS
mampu menangkap sinyal satelit dan bekerja secara optimal. Koordinat yang

13

ditunjukkan oleh GPS untuk tiap lokasi pengambilan sampel pada populasi pohon
induk alam seperti terlihat pada Tabel 1, sedangkan kondisi anakan alam dan
tanaman hasil perbanyakan yang diambil sampel daunnya untuk analisis
keragaman genetik dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 1 Koordinat, ketinggian tempat, tinggi dan diameter pohon induk
populasi alam Cemara sumatra yang dijadikan sampel untuk
analisis RAPD
No.
sampel
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Tabel 2
No.
sampel
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.

Koordinat GPS
S: 01o43’986’’
E: 101o15’311’’
S: 01o43’890’’
E: 101o15’741’’
S: 01o44’027’’
E: 101o15’659’’
S: 01o44’018’’
E: 101o15’659’’
S: 01o43’972’’
E: 101o15’702’’
S: 01o43’886’’
E: 101o15’733’’
S: 01o43’893’’
E: 101o15’749’’
S: 01o43’834’’
E: 101o15’736’’
S: 01o43’830’’
E: 101o15’746’’
S: 01o43’773’’
E: 101o15’736’’

Ketinggian
tempat
(m dpl)

Tinggi
pohon (m)

Diameter
pohon (cm)

Σ pohon
Taxus lain di
sekitarnya

1786

12

20

3

2090

15

25

3

2044

15

25

3

2045

30

110

0

2052

18

25

6

2090

22

45

3

2090

25

45

3

2150

15

20

2

2147

18

40

4

2163

35

110

0

Kondisi sampel anakan alam untuk analisis RAPD di Gunung
Kerinci
Tinggi
(cm)
15
12
10
8
20
13
20
23
20
14

Diameter (cm)

Orientasi tumbuh

0,5
0,3
0,4
0,5
0,5
0,5
0,5
0,3
0,4
0,4

ke atas
ke atas
ke atas
ke atas
Menyamping
ke atas
ke atas
Menyamping
Menyamping
ke atas

14

Tabel 3 Kondisi tanaman Cemara sumatra hasil perbanyakan vegetatif di
Cibodas yang digunakan untuk analisis RAPD
No.
sampel
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.

Tinggi tanaman
(m)
1,2
1,1
1,0
1,1
0,9
1,2
1,2
2,4
2,2
2,0

Diameter (cm)

Tahun tanam

6
4
5
5
4
5
5
12
10
12

2002
2002
2002
2002
2002
2002
2002
2000
2000
2000

Bahan kimia yang digunakan dalam analisis RAPD adalah Buffer TE, PVP
(polyvinylpyrrolidone) 2%, agarose, ethidium bromida (EtBr), buffer ekstrak,
CTAB, Cloroform IAA, phenol, propanol, NaCl, etanol (ETOH) 100%, Taq
Polymerase dan Primer dari Operon Technology.

Metode penelitian
Metode analisis DNA dengan RAPD dibagi menjadi tiga tahapan yaitu
ekstraksi, RAPD dan analisis data. Secara umum prosedur penelitian dengan
metode RAPD dapat dilihat pada Gambar 3.

Pengambilan Sampel Daun

Ekstraksi dan Isolasi DNA
Seleksi Primer
PCR-RAPD

Pemotretan Hasil Amplifikasi

Interpretasi & Analisis Data: Deskriptif, POPGENE Ver 3.2

Gambar 3 Prosedur penelitian keragaman genetik

15

Ekstraksi dan isolasi DNA
Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan metode CTAB (Milligan
1989) yang meliputi beberapa kegiatan yaitu: ekstraksi, pemurnian dan presipitasi.
Pada kegiatan ekstraksi, sampel daun digerus dalam pestel dengan penambahan
larutan buffer ekstraksi sebanyak 300-500 µl dan larutan PVP 2% sebanyak 100
µl sampai berbentuk serbuk. Hasil gerusan tersebut kemudian dimasukkan ke
dalam tabung plastik steril yang kemudian diisi dengan buffer pengekstrak CTAB
(komposisi pada Tabel 4.) sebanyak 500 µl dan ditambahkan 100 µl PVP 2%.
Tabung kemudian ditutup rapat dan dikocok lalu diinkubasi dalam water bath
selama 45 menit – 1 jam pada suhu 65 0C. Setiap 15 menit sekali tabung-tabung
tersebut diangkat dari water bath untuk dikocok perlahan-lahan.

Tabel 4 Komposisi buffer ekstraksi
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Nama Bahan
Tris-HCl 1 M
NaCl 5 M
EDTA 0.5 M
CTAB 10%
Merkaptoetanol
PVP 1%
Aquadest

1 sampel reaksi
100 l
280 l
40 l
200 l
5 l
100 l
280 l

X sample reaksi
X x 100 l
X x 280 l
X x 40 l
X x 200 l
Xx 5 l
X x 100 l
X x 280 l

Setelah inkubasi selesai, tabung diangkat dan didinginkan pada suhu
ruang selam 15 menit dan dicuci dengan menambahkan 500 µl Cloroform IAA
dan phenol 10 µl. Selanjutnya disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 2 menit.
Supernatan yang diperoleh kemudian dipindahkan ke tabung baru dengan
penambahan kembali 500 µl Cloroform IAA dan phenol 10 µl dan disentrifugasi
kembali pada 13.000 rpm selama 2 menit.
Tahap presipitasi adalah memindahkan supernatan hasil pemurnian ke
tabung steril baru kemudian ditambahkan isopropanol dingin dan NaCl masingmasing sebanyak 500 µl dan 300 µl, dikocok kemudian disimpan dalam freezer
selama 60 menit. Setelah itu dilakukan sentrifugasi kembali selama 2 menit , dan
cairan dalam tube dibuang sehinga yang tertinggal adalah pellet DNA. Ke dalam
pellet DNA tersebut selanjutnya ditambahkan ETOH 100% sebanyak 300 µl,
kemudian disentrifugasi kembali dan cairan dibuang sampai yang tertinggal hanya
pellet DNA. Penambahan ETOH 100% masih tetap dilakukan dan kemudian

16

disentrifugasi kembali pada 13.000 rpm selama 2 menit. Cairan dibuang kembali
dengan hati-hati agar pellet DNA tidak ikut terbuang. Setelah yang tertinggal
hanya pellet DNA yang menempel pada dinding tabung, tahapan selanjutnya
adalah dikeringanginkan dalam desikator selama 15 menit. Setelah pellet DNA
kering, ditambahkan buffer TE sebanyak 40 µl lalu ketuk-ketuk dan disentrifugasi
sampai tercampur merata.

Uji kualitas DNA
Untuk pengujian kualitas DNA maka agarose 1% (0,33 gram agarose
dalam 33 ml TAE) disiapkan bersamaan dengan proses pengeringan pellet DNA
dalam desikator. Untuk proses elektroforesis, 3 µl DNA masing-masing sampel
dicampur dengan 2 µl blue juice 10 X. Masukkan campuran DNA dan blue juice
pada sumur agarose 1% dengan menggunakan pipet mikro. Running dilakukan
pada tegangan 100 volt selama ± 24 menit.

Hasil elektroforesis kemudian

direndam dalam larutan ethidium bromide (EtBr) 0,005 % (10 µl EtBr dalam 200
ml aquades) selama 5-10 menit, dan selanjutnya dilihat pada UV transiluminator
dan didokumentasikan dengan menggunakan foto gel.

Seleksi primer
Seleksi primer dilakukan terhadap 28 primer secara acak yaitu primer
golongan OPO, OPC dan OPY yang diproduksi oleh Operon Technology.
Selanjutnya dari 28 primer tersebut dipilih primer-primer yang menghasilkan pita
DNA yang jelas, terang, dan polimorfik. Urutan basa nukleotida dari 28 primer
produksi Operon Technology disajikan pada Tabel 5.

17

Tabel 5 Urutan basa nukleotida 28 primer dari Operon Technology
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Primer
OPO-05
OPO-06
OPO-07
OPO-08
OPO-11
OPO-13
OPO-14
OPO-16
OPY-01
OPY-05
OPY-06
OPY-07
OPY-08
OPY-09

Urutan Basa
5' CCCAGTCACT '3
5' CCACGGGAAG '3
5' CAGCACTGAC '3
5′ CCTCCAGTGT '3
5' GACAGGAGGT '3
5' GTCAGAGTCC '3
5' AGCATGGCTC '3
5' TCGGCGGTTC '3
5' GGTGGCATCT '3
5' AGCCGTGGAA '3
5' AAGGCTCACC '3
5’ AGAGGGGTGA 3’
5' AGGCAGAGCA '3
5' GTGACCGAGT '3

No.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.

Primer
OPY-10
OPY-11
OPY-12
OPY-13
OPY-14
OPY-15
OPY-16
OPY-17
OPY-18
OPY-19
OPY-20
OPC- 4
OPC- 5
OPC -7

Urutan Basa
5’ CAAACGTGGG ‘3
5' AGACGATGGG '3
5' AAGCCTGCGA '3
5' CACAGCGACA '3
5' GGTCGATCTG '3
5' AGTCGCCCTT '3
5' GGGCCAATGT '3
5' GACGTGGTGA '3
5' GTGGAGTCAG '3
5’ TGAGGGTCCC 3’
5' AGCCGTGGAA '3
5’ CCGCATCTAC 3’
5’ GATGACCGCC 3’
5’ GTCCCGACGA 3’

Untuk proses PCR, masing – masing DNA hasil ekstraksi diambil 1 µl
dan dicampur menjadi satu.

Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan

penambahan 99 µl aquabidest. Ambil komponen campuran untuk reaksi PCR
(green go Taq 7,5 µl, Nuclease-free water 2,5 µl, DNA mix masing-masing 2 µl
dan primer masing-masing 1,5 µl) dan disentrifugasi selama 5-10 detik dan
selanjutnya dimasukkan ke dalam mesin PCR.
DNA hasil PCR kemudian dielektroforesis dengan menggunakan
agarose 2% (0,30 g agarose dalam 15 ml TAE) pada tegangan 90 volt selama 24
menit, selanjutnya dilihat pada UV transiluminator. Primer yang menghasilkan
pita atau jumlah amplifikasi yang terbanyak digunakan untuk amplifikasi DNA
dari 30 sampel yang diuji.

Amplifikasi dengan PCR (Polymerase Chain Reaction)
Sebelum melakukan amplifikasi PCR, DNA hasil ekstraksi diencerkan
dengan aquabidest.

Perbandingan antara DNA dengan aquabidest tergantung

pada resolusi pita genomik hasil ekstraksi (misalnya pengenceran 100 X artinya
99 µl aquabides dan 1 µl DNA hasil ekstraksi.
Proses amplifikasi dilakukan dengan metode RAPD menggunakan mesin
PCR MJ Research PTC-100.

Untuk proses amplifikasi DNA dengan PCR

terdapat empat komponen yang digunakan antara lain Green Go Taq, DNA

18

sampel dari bibit tanaman, primer dan aquaidest. Komposisi bahan untuk PCR
disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi untuk reaksi PCR dengan bahan Green Go Taq
No.
1
2
3
4

Nama Bahan
H2O
Green Go Taq
Primer
Cetakan DNA

1 sampel reaksi
2 mikro liter
7.5 mikro liter
1.5 mikro liter
2 mikro liter

X sample reaksi
X x 2 mikro liter
X x 7.5 mikro liter
X x 1.5 mikro liter
X x 2 mikro liter

DNA hasil PCR dielektroforesis dengan menggunakan konsentrasi
agarose 2% (0.66 gram agarose dalam 33 ml TAE), dirunning pada tegangan 90
volt selama 24 menit dan direndam dalam larutan etidium bromida 0,005% selama
5-10 menit.

Visualisasi fragmen DNA dilakukan pada UV transiluminator.

Selanjutnya hasil running tersebut didokumentasikan dengan menggunakan foto
gel. Pengaturan suhu pada mesin PCR MJ Research PTC-100 disajikan pada
Tabel 7.

Tabel 7 Tahapan dalam proses PCR
Tahapan
Pre denaturasi
Denaturasi
Annealing
Extension
Final Extension

Suhu (oC)
95
95
37
72
72

Waktu (menit)
2
1
2
2
10

Jumlah siklus
1
45
1

Analisis hasil PCR
Berdasarkan foto DNA kemudian dilakukan skoring dan diterjemahkan
dalam data biner berdasarkan ada tidaknya pita dengan ketentuan nilai 0 (nol)
untuk tidak ada pita dan nilai 1 (satu) untuk adanya pita pada suatu posisi yang
sama dari setiap individu yang dibandingkan (Gambar 10). Data yang diperoleh,
diolah dengan menggunakan software POPGENE versi 3.2.

19

Lokus
1

2

3

4

5

3
1
1
0
1

4
1
0
1
1

5
1
1
0
1

Individu
6
7

8

9

10

11

8
0
1
1
1

9
1
0
0
1

10
0
1
0
1

11
1
1
1
1

L-1
L-2
L-3
L-4

Lokus
L-1
L-2
L-3
L-4

Individu
1
2
1
1
1
1
1
1
1
0

6
0
1
0
1

7
1
1
1
0

Gambar 4 Cara penilaian pita dengan sistem skoring (1 = ada pita, 0 = tidak
ada pita).
Parameter yang diukur adalah keragaman genetik dalam populasi dan antar
populasi. Parameter untuk keragaman genetik dalam populasi adalah:
- Persentase Lokus