HAKEKAT MANUSIA MENURUT ALQURAN DOC

HAKEKAT MANUSIA MENURUT ALQUR'AN
Al-Qur'an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga
macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-insaan , an-naas ,
al-basyar , dan banii Aadam .
Manusia disebut al-insaan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan
teguran dan peringatan.
Sedangkan kata an-naas (terambil dari kata an-nawsyang berarti gerak; dan ada
juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas yang berarti nampak)
digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia baik dalam arti jenis manusia
atau sekelompok tertentu dari manusia.
Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga
perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut sebagai banii Aadam karena dia
menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi Adam as sehingga dia bisa
tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa dia
hidup, dan ke mana ia akan kembali.
Penggunaan istilah banii Aadam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan
hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan
panggilan kepada Adam dalam al-Qur'an oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa
Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi
Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta)dan bukan jamak (antum)
sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 35.

Manusia dalam pandangan al- Qur'an bukanlah makhluk anthropomorfsme yaitu
makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi manusia. Al-Qur'an
menggambarkan manusia sebagai makhluk theomorfs yang memiliki sesuatu yang
agung di dalam dirinya. Disamping itu manusia dianugerahi akal yang
memungkinkan dia dapat membedakan nilai baik dan buruk, sehingga membawa
dia pada sebuah kualitas tertinggi sebagai manusia takwa.
Al-Qur'an memandang manusia sebagaimana ftrahnya yang suci dan mulia, bukan
sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam
sebagai cikal bakal manusia,yang melakukan dosa dengan melanggar larangan
Tuhan, mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari sorga, tidak bisa dijadikan
argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan.
Al-Quran justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam
perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat,
meski dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat
melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan
sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif,
haniif).

Karena itu, kualitas, hakikat, ftrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan
indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia

itu. Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan
indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya.
Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat
untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu
dihadapkan pada dua tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain.
Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu
sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas
mutaqqin di atas.
Gambaran al-Qur'an tentang kualitas dan hakikat manusia di atas megingatkan kita
pada teori superego yang dikemukakan oleh sigmund Freud, seorang ahli
psikoanalisa kenamaan yang pendapatnya banyak dijadika rujukan tatkala orang
berbicara tentang kualitas jiwa manusia.
Menurut Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai
berbagai tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital (libido bitalis), sehingga
penyaluran doronganego (nafsu lawwamah/nafsu buruk) tidak mudah menempuh
jalan melalui superego (nafsu muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu
muthmainnah) berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego manusia.
Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifkasi terhadap
egomanakala instink, intuisi, dan intelegensi - ditambah dengan petunjuk wahyu
bagi orang beragama- bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa

memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang positif. Ego
yang liar dan tak terkendali adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas
dan hakikat manusia itu sendiri.
Sebagai kesimpulan dapatlah diterangkan bahwa kualitas manusia berada diantara
naluridan nurani. Dalam rentetan seperti itulah manusia berperilaku, baik perilaku
yang positif maupun yang negatif. Fungsi intelegensi dapat menaikkan manusia ke
tingkat yang lebih tinggi. Namun intelegensi saja tidaklah cukup melainkan harus
diikuti dengan nurani yang tajam dan bersih. Nurani (mata batin, akal budi)
dipahami sebagai superego, sebagiconscience atau sebagai nafsu muthmainnah
(dorongan yang positif). Prof. Dr. Fuad Hasan mengatakan bahwa bagi manusia
bukan sekedar to live (bagaimana memiliki) dan to survive (bagaimana bertahan),
melainkan juga to exist (bagaimana keberadaannya). Untuk itu, maka manusia
memerlukan pembekalan yang kualitatif dan kuantitatif yang lebih baik daripada
hewan.
Manusia bisa berkulitas kalau ia memiliki kebebasan untuk berbuat dan kehendak.
Tetapi kebebasan disini bukanlah melepaskan diri dari kendali rohani dan akal
sehat, melainkan upaya kualitatif untuk mengekspresikan totalitas kediriannya,
sambil berjuang keras untuk menenangkan diri sendiri atas dorongan naluriah yang

negatif dan destruktif. Jadi kebebasan yang dimaksudkan disini adalah upaya sadar

untuk mewujudkan kualitas dan nilai dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi
secara bertangung jawab.
Kualitas dan nilai manusia akan terkuak bila manusia memiliki kemampuan untuk
mengarahkan naluri bebasnya itu berdasarkan pertimbangan aqliah yang dikaruniai
Allah kepadanya dan dibimbing oleh cahaya iman yang menerangi nuraninya yang
paling murni.

Al-Qur’an adalah kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk
segenap manusia. Di dalamnya Allah menyapa akal dan perasaan manusia,
mengajarkan tauhid kepada manusia, menyucikan manusia dengan berbagai
ibadah, menunjukkan manusia kepada hal-hal yang dapat membawa kebaikan serta
kemaslahatan dalam kehidupan individual dan sosial manusia, membimbing
manusia kepada agama yang luhur agar mewujudkan diri, mengembangkan
kepribadian manusia, serta meningkatkan diri manusia ke taraf kesempurnaan
insani. Sehingga, manusia dapat mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.[1]
Al-Qur’an juga mendorong manusia untuk merenungkan perihal dirinya, keajaiban
penciptaannya, serta keakuratan pembentukannya. Sebab, pengenalan manusia
terhadap dirinya dapat mengantarkannya pada ma’rifatullah, sebagaimana tersirat
dalam Surah at-Taariq [86] ayat 5-7.
ْ ِ‫ فَلْيَنْظُر‬.

‫ِب‬
ُ . َ‫خلِق‬
ُ ‫م‬
ِ ‫ج‬
ِ َ‫خلِق‬
ِ ‫ن‬
ُ ‫ْر‬
ُ ‫سا‬
َ ْ ‫الِن‬
َ ‫ن‬
ّ ‫م‬
ِ ‫ب وَالت ّ َرائ‬
ِ ْ ‫صل‬
ّ ‫ن ال‬
ْ ‫م‬
ُ ‫ يَخ‬. ‫ق‬
ْ ‫م‬
ِ ْ ‫ن بَي‬
ٍ ِ‫ما ٍء دَاف‬
Maka, hendaklah manusia merenungkan, dari apa ia diciptakan. Ia diciptakan dari

air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada. (Q.S. atTaariq [86]: 5-7)
Berkaitan dengan hal ini, terdapat sebuah atsar yang menyebutkan bahwa “Barang
siapa mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Tuhan-nya.”
Di samping itu, Al-Qur’an juga memuat petunjuk mengenai manusia, sifat-sifat dan
keadaan psikologisnya yang berkaitan dengan pembentukan gambaran yang benar
tentang kepribadian manusia, motivasi utama yang menggerakkan perilaku
manusia, serta faktor-faktor yang mendasari keselarasan dan kesempurnaan
kepribadian manusia dan terwujudnya kesehatan jiwa manusia.[2]
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba melihat sejauh mana hakikat manusia
menurut perspektif Al-Qur’an. Di awal pembahasan, penulis akan memaparkan
secara sekilas defnisi manusia dan asal-usul penciptaannya. Semoga tulisan
sederhana ini bisa menambah inspirasi untuk memantapkan kembali eksistensi kita
sebagai manusia.
Definisi Manusia

Ketika berbicara tentang manusia, Al-Qur’an menggunakan tiga istilah pokok.
Pertama, menggunakan kata yang terdiri atas huruf alif, nun, dan sin, seperti kata
insan, ins, naas, dan unaas. Kedua, menggunakan kata basyar. Ketiga,
menggunakan kata Bani Adam dan dzurriyat Adam.[3]
Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang bermakna

penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata
basyarah yang berarti kulit. Al-Qur’an menggunakan kata basyar sebanyak 36 kali
dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna untuk menunjuk manusia
dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.[4] Dengan
demikian, kata basyar dalam Al-Qur’an menunjuk pada dimensi material manusia
yang suka makan, minum, tidur, dan jalan-jalan.[5] Dari makna ini lantas lahir
makna-makna lain yang lebih memperkaya defnisi manusia. Dari akar kata basyar
lahir makna bahwa proses penciptaan manusia terjadi secara bertahap sehingga
mencapai tahap kedewasaan.[6]
Allah swt. berfrman:
ََ ‫ُون‬
ٍ ‫َومِنْ آَ َيا ِت ِه أَنْ َخلَ َق ُك ْم مِنْ ُت َرا‬
َ ‫ب ُث ّم إِ َذا أَ ْن ُت ْم َب َش ٌر َت ْن َتشِ ر‬
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari tanah,
kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. (Q.S. ar-Rum
[30]: 20)
Selain itu, kata basyar juga dikaitkan dengan kedewasaan manusia yang
menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Akibat kemampuan mengemban
tanggung jawab inilah, maka pantas tugas kekhalifahan dibebankan kepada
manusia.[7] Hal ini sebagaimana frman Allah berikut ini.

ُ ‫ َفإِ َذا َسوّ ْي ُت ُه َو َن َف ْخ‬. ‫ون‬
‫ِين‬
َ ‫ت فِي ِه مِنْ رُوحِي َف َقعُوا لَ ُه َسا ِجد‬
َ ‫ص ْل‬
َ ْ‫ّك ل ِْل َم َل ِئ َك ِة إِ ّني َخال ٌِق َب َشرً ا مِن‬
َ ‫َوإِ ْذ َقا َل َرب‬
ٍ ‫ص‬
ٍ ‫ال مِنْ َح َمإٍ َمسْ ُن‬
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfrman kepada para malaikat, “Sesungguhnya
Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari
lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah
kamu kepadanya dengan bersujud.” (Q.S. al-Hijr [15]: 28-29):
‫ك َقا َل‬
ُ ِ‫ض َخلِي َف ًة َقالُوا أَ َتجْ َع ُل فِي َها َمنْ ُي ْفسِ ُد فِي َها َو َيسْ ف‬
َ َ‫ك َو ُن َق ّدسُ ل‬
َ ‫ك ال ّد َما َء َو َنحْ نُ ُن َس ّب ُح ِب َح ْم ِد‬
َ ‫َوإِ ْذ َقا َل َرب‬
ِ ْ‫ّك ل ِْل َم َل ِئ َك ِة إِ ّني َجاعِ ٌل فِي ْالَر‬
‫ُون‬

َ ‫ إِ ّني أَعْ لَ ُم َما َل َتعْ لَم‬.
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfrman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfrman,
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. al-Baqarah
[2]: 30)

Sementara itu, kata insan terambil dari kata ins yang berarti jinak, harmonis, dan
tampak.[8] Musa Asy’arie menambahkan bahwa kata insan berasal dari tiga kata:
anasa yang berarti melihat, meminta izin, dan mengetahui; nasiya yang berarti
lupa; dan al-uns yang berarti jinak.[9] Menurut M. Quraish Shihab, makna jinak,
harmonis, dan tampak lebih tepat daripada pendapat yang mengatakan bahwa kata
insan terambil dari kata nasiya (lupa) dan kata naasa-yanuusu (berguncang).[10]
Dalam Al-Qur’an, kata insaan disebut sebanyak 65 kali.[11] Kata insaan digunakan
Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan
raga.[12] Bahkan, lebih jauh Bintusy Syathi’ menegaskan bahwa makna kata insaan
inilah yang membawa manusia sampai pada derajat yang membuatnya pantas
menjadi khalifah di muka bumi, menerima beban takliif dan amanat kekuasaan.[13]

Dua kata ini, yakni basyar dan insaan, sudah cukup menggambarkan hakikat
manusia dalam Al-Qur’an. Dari dua kata ini, kami menyimpulkan bahwa defnisi
manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna, yang diciptakan secara
bertahap, yang terdiri atas dimensi jiwa dan raga, jasmani dan rohani, sehingga
memungkinkannya untuk menjadi wakil Allah di muka bumi (khaliifah Allah fi alardl).
Asal-Usul Penciptaan Manusia
Al-Qur’an telah memberikan informasi kepada kita mengenai proses penciptaan
manusia melalui beberapa fase: dari tanah menjadi lumpur, menjadi tanah liat yang
dibentuk, menjadi tanah kering, kemudian Allah swt. meniupkan ruh kepadanya,
lalu terciptalah Adam a.s.[14] Hal ini diisyaratkan Allah dalam Surah Shaad [38]
ayat 71-72.
َ ّ ‫ل َرب‬
َ ‫ إِذ ْ قَا‬.
‫ين‬
ِ ِ‫ْت فِيه‬
ِ ‫م َلئ ِكَةِ إِنّي خَالِقٌ بَشَ ًرا‬
َ ‫ه‬
َ ‫ فَإِذ َا‬. ‫ين‬
ِ ‫سا‬
ُ َ ‫ن ُروحِي فَقَعُوا ل‬

ُ ‫ه وَنَفَخ‬
ُ ُ ‫سوّيْت‬
َ ْ ‫ك ل ِل‬
َ ِ ‫جد‬
ْ ‫م‬
ْ ‫م‬
ٍ ِ‫ن ط‬
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfrman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan
menciptakan manusia dari tanah. Maka, apabila telah Kusempurnakan kejadiannya
dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu menyungkur
dengan bersujud kepadanya.” (Q.S. Shaad [38]: 71-72.)
Perhatikan juga frman Allah dalam Surah al-H{ijr [15] ayat 28-29.
َ ّ ‫ل َرب‬
َ ‫وَإِذ ْ قَا‬
‫ن ُروحِي‬
ِ ِ‫ْت فِيه‬
ِ ‫ال‬
ِ ‫م َلئ ِكَةِ إِنّي خَالِقٌ بَشَ ًرا‬
َ ‫ن‬
َ ‫ فَإِذ َا‬. ‫ون‬
ْ ‫م‬
ُ ‫ه وَنَفَخ‬
ُ ُ ‫سوّيْت‬
َ ٍ ‫مإ‬
َ ‫ح‬
َ ْ ‫ك ل ِل‬
َ ْ ‫صل‬
َ ‫ن‬
ْ ‫م‬
ٍ ُ ‫سن‬
ْ ‫م‬
ٍ ‫ص‬
ْ ‫م‬
َ
‫ين‬
َ ‫ه‬
ِ ‫سا‬
ُ ‫ فَقَعُوا ل‬.
َ ِ ‫جد‬
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfrman kepada para malaikat, “Sesungguhnya
Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari
lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah
kamu kepadanya dengan bersujud.” (Q.S. al-Hijr [15]: 28-29)
Dalam Al-Qur’an, kata ruh (ar-ruh) mempunyai beberapa arti. Pengertian ruh yang
disebutkan dalam ayat-ayat yang menjelaskan penciptaan Adam a.s. adalah ruh

dari Allah swt. yang menjadikan manusia memiliki kecenderungan pada sifat-sifat
luhur dan mengikuti kebenaran. Hal ini yang kemudian menjadikan manusia lebih
unggul dibanding seluruh makhluk yang lain. Karakteristik ruh yang berasal dari
Allah ini menjadikan manusia cenderung untuk mengenal Allah swt. dan beribadah
kepada-Nya, memperoleh ilmu pengetahuan dan menggunakannya untuk
kemakmuran bumi, serta berpegang pada nilai-nilai luhur dalam perilakunya, baik
secara individual maupun sosial, yang dapat mengangkat derajatnya ke taraf
kesempurnaan insaniah yang tinggi. Oleh sebab itu, manusia layak menjadi khalifah
Allah swt.[15]
Ruh dan materi yang terdapat pada manusia itu tercipta dalam satu kesatuan yang
saling melengkapi dan harmonis. Dari perpaduan keduanya ini terbentuklah diri
manusia dan kepribadiannya. Dengan memperhatikan esensi manusia dengan
sempurna dari perpaduan dua unsur tersebut, ruh dan materi, kita akan dapat
memahami kepribadian manusia secara akurat.
Kemudian, dalam ayat lain juga disebutkan mengenai permulaan penciptaan
manusia yang berasal dari tanah.
َ
ٍ‫ضغَة‬
ِ ‫م‬
ِ ‫م‬
ِ ‫م‬
ِ ‫م‬
ِ ْ‫ن الْبَع‬
ِ ‫ب‬
ْ ‫م‬
ْ ِ‫س إ‬
ُ ‫ن‬
ّ ُ ‫ن عَلَقَةٍ ث‬
ّ ُ ‫ن نُطْفَةٍ ث‬
ّ ُ ‫اب ث‬
ْ ُ ‫ث فَإِنّا خَلَقْنَاك‬
ْ ُ ‫ن كُنْت‬
ٍ ‫ن ت ُ َر‬
ٍ ْ ‫م ِفي َري‬
ُ ‫يَا أيّهَا النّا‬
ْ ‫م‬
ْ ‫م‬
ْ ‫م‬
ْ ‫م‬
َ ‫م‬
َ
ْ ‫م وَنُقِ ّر فِي‬
‫م لِتَبْلُغُوا‬
ُ ِ‫م نُخْر‬
َ ‫ما نَشَ اءُ إِلَى أ‬
َ ‫ال َ ْر‬
َ ‫م‬
ّ ُ ‫م طِف ًْل ث‬
ْ ُ ‫جك‬
ّ ُ ‫مى ث‬
ّ ‫س‬
ُ ‫ل‬
َ ِ ‫حام‬
ْ ُ ‫ن لَك‬
ُ ِ‫مخَلّقَةٍ وَغَيْر‬
ُ
ٍ ‫ج‬
َ ّ ‫مخَلّقَةٍ لِنُبَي‬
َ ‫أَشُ دكُم ومنكُم من يتوفّى ومنكُم من يرد إلَى أ‬
َ ْ ‫من بَعْدِ عِلْم شَ يْئًا وتَرى‬
َ ‫مرِ ل ِكَي ْ َل يَعْل‬
ْ ‫َل ال‬
‫م‬
‫ع‬
‫ذ‬
‫ر‬
ً‫مدَة‬
ِ ‫ض هَا‬
ِ
ْ
ِ
َ
ْ
ِ
ُ
ّ
ُ
ُ
ّ
َ
ُ
َ
ْ
َ
ْ
ْ
َ ‫ال ْر‬
َ َ
ْ
ِ
ْ
َ
ْ
َ
َ
ْ
َ
ِ
ٍ
َ ‫ فَإذ َا أَنزلْنا عَلَيها الْماءَ اهْتزت وربت وأ‬.
ُ
ّ
‫يج‬
‫ه‬
‫ب‬
‫ج‬
‫و‬
‫ز‬
‫ل‬
‫ك‬
‫ن‬
‫م‬
‫ت‬
‫ت‬
‫ب‬
‫ن‬
َ َْ
َ
َْ
ْ ِ ْ ََْ َ ْ َ ََ ْ َّ
ٍ َِ ٍ ْ َ
ِ
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka
(ketahuilah) sesungguhnya kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu
dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang
sudah ditentukan, kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan
berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada
yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya
sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah
diketahuinya. Dan, kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah kami
turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan
berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (Q.S. al-Hajj [22]: 5)
‫ما‬
َ َ‫ضغ‬
ً َ‫ضغ‬
َ َ‫ة فَخَلَقْنَا الْعَلَق‬
ً َ‫ة عَلَق‬
َ َ‫م خَلَقْنَا النّطْف‬
ً َ‫جعَلْنَاهُ نُطْف‬
ْ ‫م‬
ْ ‫م‬
َ ‫م‬
ً ‫ة عِظَا‬
ُ ْ ‫ة فَخَلَقْنَا ال‬
ُ ‫ة‬
ّ ُ ‫ ث‬. ‫ين‬
َ ٍ‫ة فِي قَ َرار‬
ّ ُ‫ث‬
ٍ ِ ‫مك‬
ْ
َ
َ
َ
ْ
ّ
ْ
َ
َ
ْ
َ
َ
‫ين‬
ْ ‫هأ‬
ْ ‫مل‬
َ ‫سوْنَا العِظا‬
َ ‫ح‬
َ ‫ فَك‬.
ُ ‫ارك الل‬
ّ ُ ‫ما ث‬
ً ‫ح‬
َ ِ‫ن الخَالِق‬
ُ ‫س‬
َ َ ‫م أنْشَ أنَاهُ خَلقًا آخ ََر فَتَب‬
Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan
tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian
kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka, Mahasuci-lah Allah, Pencipta
yang paling baik. (Q.S. al-Mu’minuun [23]: 13-14)

Itulah di antara sekian banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang asal-usul
penciptaan manusia. Penciptaan manusia yang bermula dari tanah ini tidak berarti
bahwa manusia dicetak dengan memakai bahan tanah seperti orang membuat
patung dari tanah. Akan tetapi, penciptaan manusia dari tanah tersebut bermakna
simbolik, yaitu saripati yang merupakan faktor utama dalam pembentukan jasad
manusia. Penegasan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dari
tanah ini merujuk pada pengertian jasadnya. Oleh karena itu, Al-Qur’an menyatakan
bahwa kelak ketika ajal kematian manusia telah sampai, maka jasad itu akan
kembali pula ke asalnya, yaitu tanah.[16]
Secara komprehensif, Umar Shihab memaparkan bahwa proses penciptaan manusia
terbagi ke dalam beberapa fase kehidupan sebagai berikut.[17] Pertama, fase awal
kehidupan manusia yang berupa tanah. Manusia berasal dari tanah disebabkan oleh
dua hal: (1) manusia adalah keturunan Nabi Adam a.s. yang diciptakan dari tanah;
(2) sperma atau ovum yang menjadi cikal bakal manusia bersumber dari saripati
makanan yang berasal dari tanah. Kedua, saripati makanan yang berasal dari tanah
tersebut menjadi sperma atau ovum, yang disebut oleh Al-Qur’an dengan istilah
nutfah. Ketiga, kemudian sperma dan ovum tersebut menyatu dan menetap di
rahim sehingga berubah menjadi embrio (‘alaqah). Keempat, proses selanjutnya,
embrio tersebut berubah menjadi segumpal daging (mudlghah). Kelima, proses ini
merupakan kelanjutan dari mudlghah. Dalam hal ini, bentuk embrio sudah
mengeras dan menguat sampai berubah menjadi tulang belulang (‘idzaam).
Keenam, proses penciptaan manusia selanjutnya adalah menjadi daging (lahmah).
Ketujuh, proses peniupan ruh. Pada fase ini, embrio sudah berubah menjadi bayi
dan mulai bergerak. Kedelapan, setelah sempurna kejadiannya, akhirnya lahirlah
bayi tersebut ke atas dunia.

[1]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an: Terapi Qur’ani dalam
Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, terj. M. Zaka al-Farisi (Bandung: Pustaka Setia,
2005), hlm. 11.

[2]Ibid., hlm. 19.
[3]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 367.
[4]Cek dalam Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz AlQur’an Al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 153-154.
[5]Aisyah Abdurrahman Bintusy Syathi’, Manusia Sensitivitas Hermeneutika AlQur’an, terj. M. Adib al-Arief (Yogyakarta: LKPSM, 1997), hlm. 7.
[6]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 368.

[7]Ibid., hlm. 368-369.
[8]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 369.
[9]Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Yogyakarta:
LESFI, 1992), hlm. 19.
[10]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 369.
[11]Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras, hlm. 119-120.
[12]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 369.
[13]Aisyah Abdurrahman Bintusy Syathi’, Manusia, hlm. 14.
[14]Ibid., hlm. 362.
[15]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 364.
[16]Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan, hlm. 63-65.
[17]Penjelasan mengenai fase kehidupan manusia ini didasarkan pada Q.S. alMu’minun [23]: 13-14. Lihat Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik
atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an (Jakarta: Penamadani, 2005), hlm. 105-106.

HAKEKAT MANUSIA DALAM AL-QURAN

1.

A. PENGGUNAAN KATA MANUSIA DALAM AL-QURAN
Baggai mana bentuk dan peran seseorang secara garis besarnya dapat dilihat dari kedudukan
yang di tempatinya. Peranini dapat di rujukan antara lain dari berbagai sebutan yang diberikan
kepada manusia. Selaku makluk ciptaan, manusia di anugrahi penciptanya dengan sejumlah
nama atau sebutan.
Dalam Al-Quran manusia disebut berbagia nama antara lain :
Al-Basyar
Manusia dalam konsep al-Basyar, dipandang dari pendekatan biologis (Muhaimin, 1993:
11). Sebagai makhluk biologis berarti manusia terdiri atas unsur materi, sehingga menampilkan
sosok dalam bentuk material (Hasan Langgulung, 1987: 289), berupa tubuh kasar (ragawi).
Dalam kaitan ini, manusia merupakan makluk jasmaniah yang secara umum terkait kepada
kaidah-kaidah umum dari kehidupan makluk biologi.
Berdasarkan konsp al-Basyar, manusia takjauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya.
Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti
berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat
pematangan dan kedewasaan. Manusia memerlukan makanan dan minuman untuk hidup, dan
juga memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan proses pelanjut keturunannya. Lengkapnya
manusia memiliki golongan biologis seperti dorongan makan dan minum, dorongan seksual,

2.

3.

4.

dengan mempertahankan diri, dan dorongan mengembangkan diri sebagai bentuk dorongan
primer masuk biologis.
Dalam konsep al-Basyar ini tergambar tentang bagai mana seharusnya peran manusia
sebagai makhluk biologis. Bagaimana ia harus berperan dalam upaya memenuhi kebutuhan
primernya secara benar, menurut tuntunan yang telah diatur penciptanya. Sebagai makhluk
biologis, manusia di bedakan dari makhluk biologis lainnya seperti hewan, yang pemenuhan
kebutuhan primernya dikuasai dorongan instingtif. Sebaliknya manusia dalam kasus yang sama,
di dasarkan tata aturan yang baku dari allah SWT. Pemenuhan biologis manusia diatur dari
siariat agama allah.
Al-Insan
Al-Insan terbentuk dari akar kata nasya yang berarti lupa (M.Qhurois Shihab 1996: 60).
Penggunaan kata al-Insan sebagai kata bentukan yang termuat dalam al-Quran, mengacu pada
potensi yang di anugrahkan allah kepada manusia. Potensi tersebut antara lain berupa potensi
untuk bertumbuh dan berkembang secara fisik (Qs. 23:12-14) dan juga potensi untuk bertumbuh
dan berkembang secara mental spiritual.
Al-Insan mengacu pada bagaimana manusia dapat memerankan dirinya sebagai sosok
pribadi yang mampu untuk mengembangkan dirinya, agar menjadi sosok yang seniaman, serta
ber akhlak mulia secara utuh. Paling tidak pada tahap yang paling rendah adalah mampu mencari
dan menemukan yang baik, benar dan indah, untuk di jadikan rujukan dalam bersikap dan
berperilaku. Dengan cara seperti itu diharapkan manusia mampu mengembangkan potensi
individunya, guna mencapai kehidupan yang ber kualitas.
Potensi manusia menurut al-Insan konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong
manusia untuk berkreasi dan ber inovasi. Dari kreatifitasnya, manusia dapat menghasilkan
sejumlah kegiatan berupa pemikiran (Ilmu Pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda
ciptaan. Kemudian melalui kemampuan berinofasi, manusia mampu merekayasa temuan-temuan
baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya makhluk
berbudaya dan berperadaban.
AN-NAS
Dalam al-Quran kosa kata an-Nas umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai
makhluk sosial. Manusia diciptakan manusia bermasyarakat, yang berawal dari pasangan lakilaki dan wanita, kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa, untuk saling kenal mengenal
(Qs. 49: 13). Manusia merupakan makhhluk sosial secara fitroh senang hidup berkelompok,
sejak dari bentuk stuan yang terkecil (keluarga) hingga ke yang paling besar dan kompleks, yaitu
bangsa dan umat manusia. Konsep an-Nas mengacu ke pada peran manusia dalam kehidupan
manusia. Manusia di arahkan agar menjadi warga sosial dapat memberi manfaat bagi kehidupan
bersama di masyarakat.
Kehidupan sosial yang demikian itu tampaknya memang di perioritaskan dalam ajaran
islam, sebagai yang tergambarkan bahwa konsep an-Nas terulang sekitar 24 kali dalam al-Quran.
Kemampuan untuk memerankan diri dalam kehidupan sosial, sehingga dapat mendatangkan
manfaat, merupakan usaha yang sangat di anjurkan. Dengan demikian konsep an-Nas, mengacu
kepada peran dan tanggung jawab manusia sebagai makluk sosial dalam ssetatusnya sebagai
makhluk ciptaan Allah SWT.
BANI ADAM
Manusia sebagai bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam al-Quran (Muhammad
Fuad abd Al-Baqi, 1989: 137-138). Dalam penjelasan al-Ghorib al-Ishfahany, bani berarti
keturunan (Dari Darah Daging) yang dilahirkan (al-Ishfahany.tt. 20-21). Sedangkan penjelasan

5.

6.

7.

panitia penafsir al-Quran departemen agama RI, mengartikannya sebagai “umat manusia”
(panitia penafsiran, 1971: 224, catatan kaki nomor 530).
Dalam konteks ayat-ayat yang mengandung konsep bani adam, manusia diingatkan allah
agar tidak tergoda setan (Qs.7:26-27), pencegahan dari makan minu yang berlebih-lebihan dan
tata cara berpakian yang pantas saat melaksanakan ibadah (Qs.7:31), ketakwaan (Qs.7:35),
kesaksian manusia terhadap tuhannya (Qs.7:172), dan terakir peringatan agar manusia tidak
terperdaya hingga menhyembah setan (Qs.36:60).
Penjelasan ayat-ayat diatas meng isyaratkan, bahwa manusia selaku bani Adam dikaitkan
dengan gambaran peran Adam As. Saat awal diciptakan, di kala AdamAs akan diciptakan, para
malaikat seakan mengkhawatirkan kehadiran makhluk ini. Mereka memperkirakan dengan
penciptaannya, manusia akan menjadi biang kerusakan pertumpaan darah (Qs.2:30). Kemudian
terbukti bahwa Adam As dan istrinya (Siti Hawa) karena kekeliruan akhirnya terjebak oleh
hasutan setan hingga oleh Allah SWT, keduanya di keluarkan dari surga sebagai hekuman atas
kelalean yang mereka perbuat (Qs.2:35-36).
Konsep bani Adam, dalam bentuk menyeluruh mengacu kepada penghormatan pada
nilai-nilai kemanusiaan. Konsep ini menitik beratkan pada upaya pembinaan hubungan
persaudaraan antar sesama manusia. Menyatukan visi bahwa manusia pada hakekatnya ber awal
dari nenek moyang yang sama, yaitu Adam As.
Al-Ins
Al-Ins adalah homonim dari al-Jins dan al-Nufur (Muhammad Al-Baqi:24). Menurut M.
Quraish sihab, al-Insan ter bentuk dari akar kata Ins berarti senang, jinak dan harmonis, atau
akar kata nisy yang berarati lupa, serta dari akar kata naus berarti ”pergerakan atau dinamisme”.
Dalam kaitannya dengan jin, maka manusia adalah makhluk yang kasat mata. Sedangkan
jin adalah makhluk halus yang tidak tampak (M.Quraish sihab,1996:280). Selain itu juga, makna
ini di hadapkan dengan al-nufur (perjalanan) karena manusia (al-Ins) termasuk makhluk yang
jinak, senang menetap.
Untuk melihat bagai mana konsep al-Ins ini dipahami, seperti di kemukakan al-Quran,
bahwa jin dan manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Allah (Qs.51:56). Berangkat dari
hakekat penciptanya ini tampaknya manusia dalam konteks konsep al-Ins, bersetatus selaku
pengabdi Allah.
Abd Allah
Al-Quran juga menemukan manusia dengan abd Allah yang berarti abdi atau hamba
Allah. Menurut M.Quraish sihab, seluruh makhluk yang memiliki potensi berperasaan dan ber
kehendak adalah add Allah dalam arti dimiliki Allah. Kepemilikan Allah terhadap makhluk
tersebut merupakan kepemilikan mutlak dan sempurna. Dengan demikian abd Allah tersebut
tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan seluruh aktifitasnya dalam kehidupan itu.
Dalam konteks abd Allah ini peran manusia harus disesuaikan dengan kedudukannya
sebagai abdi (hamba). Hal ini berarti bahwa manusia harus menempatkan diri sebagai yang di
miliki, tunduk dan taat kepada semua ketentuan miliknya, yaitu Allah. Sebagai pernyataan
penghambaan dirinya manusia harus dapat menempatkan dirinya sebaqgai pengabdi Allah
dengan sungguh dan secara ikhlas. Kemampuan ini tergambar dari pola sikap dan perilakunya
yaiti apakah ia sanggup untuk memainkan peran tersebut secara baik atau tidak.
KHALIFAH ALLAH
Sebelum manusia diciptakan Allah telah mengemukakan penciptaannya tersebut kepada
para malaikat. Pernyataan Allah ini terangkum dalam ayat 30 al-Baqarah yang maknanya
sesungguhnya aku hendak menjadikan seseorang menjadi khalifah di muka bumi. Untuk

melakukan tugas-tugas ke khalifahan itu, manusia tidak membiarkan makhluk ciptaaNya itu
dalam keadaan kosong.
Pada hakekatnya eksistensi manusia dalam kehidupan ini adalah untuk melaksanakan ke
khalifahan, yaitu membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini, sesiai dengan kehendak
penciptanya.
M.Quraish sihab menyimpulkan bahwa kata khalifah mencakup pengertian:
1. Orang yang diberi kekuasaan untuk mengelola wilayah baik luas maupun terbatas
2. Khalifah memiliki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan
dan kekeliruan.
B. HAKEKAT TERCIPTANYA MANUSIA
Manusia merupakan karya allah SWT. Yang paling istimewa, bila dilihat dari sosok diri,
serta beban dan tanggung jawab yang diamanatkan kepadanya. Manusia merupakan satu-satunya
makluk yang perbuatannya mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak tuhan yang
mampu menjadi sejarah disamping itu, ada unsurlain yang membuat dirinya dapat mengatasi
pengaruh dunia sekitarnya serta problemnya dirinya yaitu unsur jasmani dan rohani. Kedua unsur
ini sebenarnya sudah tampak pada berbagai makluki lain yang diberinama jiwa atau soul, anima
dan psyche (Haryono Ismail, 1991: 5). Tetapi pada kedua unsur tersebut manusia diberi nilai
lebih, hingga kualitasnya berada diatas kemampuan yang dimiliki makluk-makluk lain itu.
Dengan bekal yang istimewa ini manusia mampu menghadapi keselamatan, keamanan,
kesejahteraan, dan kualitas hidupnya.
1.

Kedudukan Manusia
Sebagai hamba Allah
Kedudukan sebagai hamba Allah ini memang menjadi tujuan Allah menciptakan manusia dan
makhluk-makhluk lainnya dalam firman-NYA:
"Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada ku".
(QS.adz-dzariyat:56)

2.

Sebagai Khalifah
Manusia di beri kedudukan oleh tuhan sebagai penguasa, pengatur kehidupan di muka bumi ini.
Firman-NYA:
''Dialah yang menitapkan kamu jadi khalifah-khalifah di muka bumi, dan ditinggikannya
sebagian kamu dari pada yang sebagian beberapa derajat untuk mencobaimudari hal apa saja
yang diberikan-nya kepada kamu. Sesungguhnya tuhan maha pengapun lagi
penyayang."(QS,Al-an'am:165)

3.

Sebagai Makhluk yang Bertanggung jawab
Setelah dengan kemampuan akalnya manusia meneliti dunia ini dan dirinya sendiri kemudian
mengerti bahwa hakekat diciptakannya manusia dan alam semesta ini semata-mata untuk
menyembah kepada tuhannya, maka sebagai konsekuensi diberikan kedudukan yang istimewa
oleh tuhan pada manusia seperti tersebut diatas, maka manusi juga dituntut untuk
bertanggungjawab terhadap apa-apayang telah dilakukan diatas dunia ini, kelak di akhirat.
Firmannya:
'' Pada hari itu, lidah, tangan dan kaki mereka sendiri akan menjadi saksi atas perbuatanperbuatan yang telah mereka lakukan. Pada hari itu Allah akan member balasan kepada mereka

denga balasan yang setimpal dan tahulah mereka bahwa Allah itulah yang benar dan ia telah
cukup memberikan keterangan."(QS,an-nuur:24-25 )
4.

Sebagai Makhluk yang dapat didik dan mendidik
Manusia sebagai makhluk yang dapat didik dapat difahami dari firman Allah sebagai berikut:
" Bacalah dengan nama tuhanmu yang menciptakan, yang menciptakan manusia dari segumpal
dara, bacalah dan tuhanmu yang amat mulia. Yang mengajar manusia dengan pena. Yang
mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak di ketahuinya."(QS,Al-Alaq:1-5)
Sedangkan manusia sebagai makhluk mendidik dapat difahami dari firmannya yang
mengisahkan bagaimana Luqman mengajar anaknya sebagai berikut firman Allah:
"Perhatikanlah ketika berkata luqman kepada anaknya sedang ia member pelajaran kepadanya,
katanya: hai anakku, janganlah engkau menyekutukan allah. Sesungguhnya menyekutukan allah
itu keaniayaan yang besar."(QS.Luqman:13)

Demikian kedudukan manusi yang sempat di kemukakan dalam uraian ini. Ini adalah sebagian
kecil yang dapat diungkapkan. Namun kami mengangap yang sedikit ini telah dapat memberi
gambaran apa dan bagaiman seharusnya itu baik untuk dirinya sendiri, sesamanya, alamnya dan
Tuhannya.
C. Hakekat Manusia dilihat dari Eksistensinya
adalah makhluk yang bebas nilai. Berdasarkan hakekat penciptaanya, maka secara moral
manusia telah diikat suatu perjanjian dengan penciptanya ikatan moral dalam bentuk pernyataan
bertauhid kepada Allah, sebagai bentuk perjanjian manusia dengan penciptanya. Perjanjian ini
merupakan prinsip dasar dalam konsep hubungan manusia dengan penciptanya.
Bentuk perjanjian dan pernyataan seperti di kemukakan itu menjadikan manusia memiliki
peluang untuk di serahi amanah, yang kemudian di harapkan dapat di pertanggung jawabkan
kepada sang pencipta. Pertanggung jawaban itu adalah berupa kewajiban menjalankan tugas
dalam peran sebagai khalifah (mandataris ) Allah di muka bumi keberadaan manusia selama
menjalani kehidupannya di bumi , padadasrnya tak dapat dilepskan dari peran utamanya itu.
Dalam hubungan ini yang akan di jadikan pernilaian adalah bagamana pola peran
manusia dalam mengemban aman at serta mempertanggungjawabkan pelaksanaannya.
Kesesuaian antara peran dan amanat akan dinilai positif, dengan janji akan memperoleh ganjaran
(rewad) dari sang pencipta. Sebaliknya bagi yang gagal memenuhinya akan dinialai negative,
serta akan memperoleh hukuman sebagai imbalannya. Dalam hubungan ini terlihat betapa
pentingnya peran pendidikan dalam pandangan filsafat pendidikan islam.
Sepeti taelah dikemukakan bahwa secara garis besarnya, peran manusia tercermin dari
konsep penamaan atas dirinya, yaitu albasyar, al-insan, an-naas, bani adam, Abd Allah serta
khalifah allah.

DAFTAR PUSTAKA
Dra.Zuhairini dkk,1995, filsafat pedidikan islam, jakarta : BUMI AKSARA
Prof. Dr. H. Jalaluddin, 2001, Teologi pendidika, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Dokumen yang terkait

AKIBAT HUKUM PENOLAKAN WARISAN OLEH AHLI WARIS MENURUT KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM PERDATA

7 73 16

ALOKASI WAKTU KYAI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA DI YAYASAN KYAI SYARIFUDDIN LUMAJANG (Working Hours of Moeslem Foundation Head In Improving The Quality Of Human Resources In Kyai Syarifuddin Foundation Lumajang)

1 46 7

ANALISA RAGAM RIWAYAT WAKTU (Time History Analysis) PADA STRUKTUR PORTAL TAHAN GEMPA 3 DIMENSI MENURUT SNI 03-1726-2002

1 17 2

ANALISIS TENTANG STATUS HUKUM MACAM- MACAM HARTA PERKAWINAN DALAM KAITANNYA DENGAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM ADAT JAWA

3 28 18

KAJIAN YURIDIS PENGAWASAN OLEH PANWASLU TERHADAP PELAKSANAAN PEMILUKADA DI KOTA MOJOKERTO MENURUT PERATURAN BAWASLU NO 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

1 68 95

KAJIAN YURIDIS TERHADAP SEORANG WALI YANG MELAKUKAN PENGAMBILAN HARTA WARIS ANAK DIBAWAH PERWALIANNYA MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA

1 28 17

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

GAYA KEPEMIMPINAN WALI KOTA BANDAR LAMPUNG 2012-2014 DI BIDANG PENDIDIKAN DAN KESEHATAN MENURUT PERSEPSI MASYARAKAT KECAMATAN TANJUNG KARANG TIMUR

3 34 79

PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH PADA SEKTOR PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PROVINSI SUMATERA SELATAN

3 52 68

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PROSTITUSI ONLINE SEBAGAI TINDAK PIDANA PELACURAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

8 71 86