Peran Pemda dan Desa dalam Percepatan Pe

KONSORSIUM SATUNAMA

POLICY
BRIEF

MEMPERCEPAT PERHUTANAN SOSIAL

KONSORSIUM SATUNAMA

APRIL 2017

INSTITUSIONALISASI PENGELOLAAN HUTAN DESA

Yayasan Satunama, ARuPA, G-cinDe, Fak Agroindustri UMBY

MEMPERCEPAT PERHUTANAN SOSIAL,
Peran Pemerintah Kabupaten dan Desa
Ditulis oleh:

Agus Budi Purwanto 1


R. Yando Zakaria 2


Pengantar
Presiden Jokowi telah menetapkan reforma agraria sebagai program prioritas. Target program
akan dicapai melalui dua skema. Pertama melalui skema legislasi dan redistribusi lahan (seluas 9
juta ha). Kedua melalui pelaksanaan program perhutanan sosial (seluas 12,7 juta ha). Program
perhutanan sosial akan dilakukan melalui alokasi sumberdaya hutan yang dikuasai negara kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial (PS).

Peraturan ini menegaskan bahwa PS adalah “sistem pengelolaan hutan lestari yang dilakukan
dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat
setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa,
Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.” Melalui kebijakan ini Pemerintah ingin : (a) menciptakan dan mempercepat pemerataan akses dan distribusi aset sumberdaya hutan; (b) menyelesaikan konflik tenurial di kawasan
hutan; dan (c) mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal
di dalam dan di sekitar kawasan hutan.


Kendala Pelaksanaan


Menurut Wiratno (2016), target PS Pemerintah itu setara 10% dari keseluruhan kawasan hutan
negara. Kemampuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) saat ini,
merujuk data 2010-2014 dan pada 2015-Juli 2016, nyatanya hanya mampu menyerahkan hak
kelola dan/atau izin seluas 200.000-300.000 hektar/tahun. Artinya, target rata-rata 2,5 juta hektar/ tahun pada periode 2015-2019 sudah pasti tidak akan tercapai. Belum lagi adanya hambatan pendanaan program, baik di tingkat Pemerintah maupun pada masyarakat.

Berbagai hasil kajian tentang pelaksanaan program PS selama ini juga menunjukkan bahwa
lambannya realisasi pemberian izin juga berpangkal dari sedikitnya kelompok masyarakat—dan
desa—yang mampu dan siap mengajukan permohonan sebagai penyelenggara salah satu ske1

Penggiat pada Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (ARuPA), Yogyakarta

2

Antropolog, peneliti pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta
!1

KONSORSIUM SATUNAMA

MEMPERCEPAT PERHUTANAN SOSIAL


ma PS itu. Kendala-kendala itu antara lain : a) Perhutanan Sosial selama ini hanya menjadi urusan sektoral Kementerian LHK beserta jajarannya di bawah, sehingga anggaran dan perangkat
kerja terbatas; b) Pengelola hutan tingkat tapak yaitu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) secara
kualitas dan kuantitas jauh dari kecukupan; c) Kurangnya sosialisasi kebijakan PS pada level
masyarakat dan desa, sehingga inisiatif usulan dari masyarakat dan desa mustahil di harapkan;
d) Masih diperlukannya pendampingan kepada masyarakat dan desa tentang rencana kelola
hutan serta hal teknis lainnya.


UU Desa dan Konflik Tenurial

Dipenghujung tahun lalu, Presiden telah menyerahkan surat keputusan tentang pengakuan
hutan adat pada 9 komunitas masyarakat adat. Luas hutan yang diserahkan itu sekitar 13.500
ha, yang akan dinikmati oleh sekitar 5.000 keluarga. Pada masa sebelumnya, khususnya sejak
reformasi 1998, sudah ada pula pengakuan pada hutan adat seluas 15.000 ha. Data-data ini
menunjukkan bahwa pelaksanaan program PS belum memiliki strategi implementasi untuk
penyelesaian persoalan yang tepat dan cepat. Padahal, masalah yang dihadapi bukanlah
masalah kecil. Pada tahun 2014 saja, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sedikitnya terjadi 472 konflik agraria dengan luasan mencapai 2.860.977,07 hektar. Konflik ini melibatkan sedikitnya 105.887 kepala keluarga (KK).

Selain itu, menurut catatan Kementerian Kehutanan (kala itu) dan Badan Pusat Statistik (2007 &
2009),3 dari sekitar 73.000 desa, 31.957 desa di antaranya berada di dalam dan sekitar kawasan

hutan yang diklaim sebagai hutan negara. Itu artinya, terdapat konflik tata batas antara desa dan
kawasan hutan. Akibatnya, fasilitasi pembangunan di desa-desa yang bersangkutan relatif terbatas. Maka tidaklah heran jika hampir seluruh desa-desa dimaksud tergolong sebagai desa
miskin.


PS sebagai peluang pemberdayaan desa

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pada Pasal 26
ayat (2) butir j., disebutkan bahwa, dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Desa berwenang
mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Di samping itu, pada Pasal 76 ayat (1) disebutkan pula bahwa Aset
Desa, antara lain berupa hutan milik desa.

Merujuk pada dua pengaturan ini maka, dalam rangka menyelesaikan konflik tata batas atara
desa dan kawasan hutan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal
di dalam dan sekitar kawasan hutan, Pemerintah bisa mempercepat pelaksanaan PS. Khususnya dalam bentuk program hutan desa dan juga hutan adat melalui penetapan desa adat yang
masih terancam mandul (Zakaria, 2015 & 2017).4

Kecuali dapat mencapai target program, cara ini sekaligus juga akan mempercepat pelaksanaan
program PS itu sendiri dan sekaligus menyelesaikan konflik tata batas desa dan hutan. Andai
saja untuk 33.000 desa yang memiliki konflik tata batas itu dapat dialokasikan masing-masing

100 ha saja, maka pelaksanaan program hutan desa ini akan mampu direalisasikan pada
3.300.000 ha, atau sekitar 25% dari target program PS secara keseluruhan. Jika masing-masing
dialokasikan 1.000 ha, maka realisasi reforma agraria akan menjadi dua kali lipat dari target.
Apalagi jika ada political will merealisasikan nomenklatur desa adat versi UU Desa.


3

Dikutip dari Komnas HAM, tt. Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hukum Adat Atas
Wilayahnya di KAwasan Hutan. Temuan dan Rekomendasi untuk Perbaikan Hukum dan kebijakan. Jakarta:
Komnas HAM.
4

Lihat https://www.academia.edu/17407078/Desa_Adat_Nomenklatur_Strategis_yang_Terancam_Mandul
; dan https://www.academia.edu/32234807/Mempercepat_Reforma_Agraria
!2

KONSORSIUM SATUNAMA

MEMPERCEPAT PERHUTANAN SOSIAL


Perhutanan Sosial di Kabupaten Merangin

Jumlah desa di Kabupaten Merangin adalah 205, yang dihuni oleh 365 ribu jiwa. Di antara 205
desa tersebut terdapat 17 desa lokasi PS dengan luas + 45.000 hektar. Angka ini tertinggi jika
dibandingkan dengan kabupaten yang lain di Provinsi Jambi. Oleh karena itu dapat dimaklumi
jika pada tahun 2014 kabupaten Merangin memperoleh indeks tertinggi tata kelola hutan se
Provinsi Jambi.

Meski begitu, ketujuhbelas lokasi PS itu menhadapi sejumlah permasalahan yang jika tidak diatasi dapat menghambat pencapaian tujuan program PS. Sebagai contoh, Hutan Desa dan Adat
di Kecamatan Muara Siau dan Pangkalan Jambu masih terkendala (belum dapat beroperasi
penuh) karena belum keluarnya izin Hak Pengelolaan Hutan Desa. Persoalan lain yaitu belum
optimalnya pengelolaan potensi Hutan Desa dan Adat bagi kesejahteraan masyarakat serta kelestarian hutan. Semisal potensi buah kepayang belum dimaksimalkan pengolahannya, yang
sebenarnya dapat diolah menjadi virgin oil yang memiliki manfaat bagi perkembangan otak
anak.

Saat ini, Konsorsium Satunama dengan dukungan pendanaan dari MCA Indonesia dan MCC
tengah mendampingi lima desa tersebut untuk mengoptimalkan Pengelolaan Hutan Desa dan
Adat. Lima desa tersebut yakni Desa Lubuk Beringin, Lubuk Birah, Durian Rambun, Tiaro, dan
Birun. Konsorsium Satunama sendiri terdiri dari Yayasan Satunama, ARuPA, G-cinDe, dan Unversitas Mercu Buana Yogyakarta. Program yang dijalan bertajuk “Institusionalisasi Pengelolaan

Hutan Desa: Penguatan pelembangaan pengelolaan Hutan Desa di tingkat lokal melalui realisasi
UU Desa”.

Dalam program konsorsium, terdapat tiga strategi yang dijalankan, antara lain: pertama, mengintegrasikan pengelolaan Hutan Desa dan Adat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Desa (RPJMDes); kedua, mengoptimalkan pengolahan buah kepayang (pangium edule) kopi serta jahe; ketiga, melakukan restorasi lahan. Strategi tersebut pada muaranya adalah untuk menjadikan pemerintah desa dan masyarakat desa sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan.
Dalam rangka mempercepat pelaksanaan program PS, kelima Desa tersebut saat ini telah
memasukkan beberapa kegiatan pengelolaan hutan desa dan adat dalam RPJMDes tahun
2017-2021.

Pengembangan PS di Kabupaten Merangin merupakan bagian dari kategori pemberdayaan
masyarakat desa. Dalam hal prosentase belanja desa pada APBDes masuk dalam kategori
penggunaan anggaran minimal 70 persen. Dalam konteks Kabupaten Merangin, Perhutanan
Sosial juga dapat dimasukkan dalam prioritas pembangunan sekaligus dalam RPJMDes,
RKPDes, dan APBDes.

Hal ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi (Permendes PDDT) nomor 1 tahun 2015 pasal 9 tentang Bidang Pembangunan Desa antara lain: Pengembangan ekonomi lokal desa dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan desa. Dalam pasal 14, Pembangunan Desa juga meliputi fasilitasi kelompok tani. Sehingga
Desa sangat berpeluang untuk mengambil posisi sebagai garda terdepan dalam pemberdayaan
masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya hutan secara berkelanjutan melalui alat yang kita sebut PS.

Masalahnya kemudian, masih ada keragu-raguan Pemerintah Desa dan masyarakat untuk memanfaatkan peluang PS sebagai upaya memperbesar aset desa. Pemerintah Desa saat ini

belum melihat hutan yang senyatanya terbagi habis dalam wilayah administrasi Desa, sebagai
aset desa. Hal ini merupakan buah dari pemisahan antara desa dan hutan sejak jaman kolonial
Belanda. Keragu-raguan itu juga ditopang oleh kebaruan kewenangan Desa yang belum semua
Pemerintah Desa memahami. Selain itu, rendahnya kapasitas masyarakat dan pemerintah desa
dalam hal perencanaan pengelolaan hutan masih menjadi persoalan serius. Oleh karena itu, Pemerintah harus turun tangan untuk menjadikan Pemerintah Desa dan masyarakat mampu mengelola hutan.


!3

KONSORSIUM SATUNAMA

MEMPERCEPAT PERHUTANAN SOSIAL

Payung hukum peran Pemerintah Kabupaten dan Desa

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan
Sosial menyatakan bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi Pemegang HPHD,
IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan Pemangku Kehutanan (Pasal 61 ayat 1)”.
“Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitasi pada tahap usulan permohonan, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas termasuk manajemen usaha, pembentukan koperasi, tata batas areal kerja, penyusunan rencana pengelolaan hutan desa, rencana
kerja usaha, dan rencana kerja tahunan, bentuk-bentuk kegiatan kemitraan kehutanan, pembiayaan, pasca panen, pengembangan usaha dan akses pasar” (Pasal 61 ayat 2).


Amanat tersebut tentu sejalan dengan peran Pemerintah Kabupaten sebagaimana diatur dalam
Dalam Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Antara lain dinyatakan
bahwa, dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan Desa, Pemerintah Daerah Kabupaten/
Kota berwenang untuk menyelenggarakan Penataan Desa; Fasilitasi kerjasama antar Desa
dalam satu Kabupaten; Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan Desa.

Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, jajaran pemerintah di atas Pemerintah Desa
berkewajiban membina dan mengawasi (ps. 112 UU Desa). Secara spesifik dalam pasal 115 UU
Desa, dinyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang salah satunya antara lain: Melakukan
fasilitasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa; Melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa; Melakukan upaya percepatan pembangunan perdesaan; dan
Melakukan upaya percepatan Pembangunan Desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis.

Program PS dalam konteks penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan bagian dari Pembangunan Desa yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas
hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan (ps. 78 ayat 1 UU Desa).

Dengan argumentasi hukum tersebut di atas, maka Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
pada sisi legalitas tercukupi untuk mengeluarkan kebijakan tentang pelaksanaan PS di kabupaten Merangin. Percepatan Pelaksanaan PS memerlukan kebijakan politis Kepala Daerah Kabupaten Merangin dalam bentuk “Surat Edaran tentang Percepatan Program Perhutanan Sosial di
Kabupaten Merangin”, yang detail isinya akan dikembangkan kemudian.


Dengan peran Pemerintah Kabupaten yang demikian itu maka aspirasi masyarakat Merangin
yang ingin meningkatkan kesejahteraan ekonomi sekaligus melestarikan hutan dapat segera
terwujud.***

4
!

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65