Perempuan Dan Sistem Sosial Yang Mapan

7. PEMBEBASAN PEREMPUAN DI DUNIA KETIGA
Pembebasan perempuan bukan monopoli kepentingan kaum perempuan di
negara-negara kapitalis maju yang secara relatif memiliki standar kehidupan dan
pendidikan yang lebih baik. Sebaliknya, hal ini juga menjadi kepentingan kaum perempuan
di seluruh dunia, tidak terkecuali perempuan dunia ketiga.
Negara-negara belum berkembang mengalami kesengsaraan dimana
perekonomian berada di bawah dominasi imperialis. Di negara-negara ini terdapat
perbedaan cukup besar dal;am situasi ekonomi, sosial dantradisi budayanya. Perbedaan
meliputi daerah dengan perekonomian terendah hingga industrialisasi seperti Brazil,
Mexico, Argentina, Korea Selatan dan Taiwan. Situasi ini juga mempengaruhi kondisi kaum
perempuannya.

Pengaruh atas dominasi Kapitalis

Dalam merubah corak produksi masyarakat menjadi ekonomi kapitalis, dominasi
imperialis menggunakan dan mengkombinasikan hubungan sosial dan produksi pro
kapitalis dan tradisional. Lahirnya kapitalisme di Eropa barat pada negara-negara maju
dilakukakan melalui evolusi kaum demokrat borjuis dengan menggulingkan kelas penguasa
feodal. Berbeda dengan negara-negara kolonial, imperialis justru mendukung keberadaan
hirarki yang ada dan klas penguasa pro kapitalis yang reaksioner dan menggunakan
berbagai cara untuk menjaga stabilitas dan memaksimalkan penghisapan.

Kapitalisme Eropa secara brutal berekspansi ke Asia, Amerika latin dan Afrika,
menggunakan kekerasan, pemusnahan, perkosaan dan berbagai teror dalam skala besar
juga perbudakan atas penduduk asli Afrika. Bahkan misi keagamaan kristen juga berfungsi
sebagai alat dalam melakukan ekspansi.
Dalam perang dunia ke II terjadi perebutan kekuasaan antara kolonialis Eropa dan
imperialis baru-Amerika-yang ingin menguasai pasar dunia ketiga dan sumber alamnya
dengan mendorong perjuangan kemerdekaan di negara-negara jajahan Eropa di Asia dan
Afrika. Sehingga walaupun negara-negara ini memperoleh kemerdekaan namun secara
ekonomi didominasi oleh korporasi kapitalis raksasa dari negara-negara imperialis.
Ekspansi terus berlanjut hingga saat ini walaupun sudah tidak menggunakan
senjata dan pasukan namun melalui bank-bank imperialis dan korporasi transnasional
dengan kedok pinjaman dan hubungan perdagangan menghisap sumber alam di dunia
ketiga untuk negara-negara kaya. Dampak dari ekspansi ini bukan hanya secara ekonomi,
tapi juga terjadi krisis lingkungan secara global, seperti rusaknya lapisan ozon, tidak
terkontrolnya produk-produk beracun, polusi udara, laut, tanah, air minum, erosi dan
kerusakan lapisan tanah dan perusakan hutan.
Ekspansi pasar kapitalis mempunyai pengaruh yang kontradiktif bagi kaum
perempuan didunia ketiga, walaupun secara umum situasi kaum perempuan berhubungan
secara langsung dengan industrialisasi yang sedang berjalan. Pada satu sisi, kaum
perempuan diperkenalkan pada hubungan ekonomi baru yang dapat menjadi dasar untuk

menghancurkan penindasan sejak berabad lalu. Namun disisi lain terjadi diskriminasi dan
eksploitasi dengan wajah baru, yang menggunakan tradisi kuno, ajaran agama dan
prasangka yang anti perempuan. Namun perkembangan yang tidak sama di berbagai
masyarakat juga memberikan kontradiksi yang mengejutkan, contohnya kemandirian
ekonomi yang relatif pada kaum perempuan Afrika yang mendominasi pertanian primitif di
beberapa daerah di Afrika
Perkembangan proses produksi kapitalis di dunia ketiga untuk kepentingan
imperialisme. Dengan ini industrialisasi berjalan lambat dan tidak seimbang

Produksi petani

Populasi terbesar di dunia ketiga menggantungkan hidup pada pertenian dengan
metode kuno. Sebuah keluarga besar yang terdiri dari bibi, paman, keponakan dan kakeknenek bersandar hidup pada produk pertanian dalam skala kecil.
Kaum perempuan mempunyai peran yang menentukan dalam ekonomi. Bukan
hanya karena jam kerja yang panjang baik di rumah maupun di ladang, tapi karena
perempuan menghasilkan anak yang ikut memikul beban ekonomi dan menjadi jaminan
masa tua. Mereka menikah di usia muda dan melahirkan anak-anak sebanyak mungkin.
Perempuan dinilai dari berapa jumlah anak yang bisa mereka hasilkan.
Perempuan yang tidak subur mempunyai aib dan bencana bagi perekonomian. Juga sering
dijadikan alasan untuk sebuah perceraian.

Karena peran produksinya, ikatan keluarga terutama terhadap perempuan sangat
kuat. Terlebih di daerah pedesaan dengan taraf ekonomi rendah, petani perempuan
mendapat perlakuan semena-mena. Secara individu mereka tidak memiliki hak-hak sosial
dan hukum dan kadang tidak diperlakukan secara manusiawi. Secara total hidup mereka
berada dibawah dominasi laki-laki dalam keluarganya.
Dibanyak daerah, dalam berbagai kasus, pembagian konsumsi dalam keluarga dilakukan
dengan mendahulukan anggota laki-laki sehingga tidak jarang anak-anak perempuan
mendapat porsi yang lebih sedikit dan kurang gizi. Angka buta huruf di kalangan
perempuan mencapai nilai 100%. Hal ini merupakan pembunuhan terhadap perempuan
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara mengabaikan mereka.
Daerah pedesaan terkena dampak akibat bergabungnya negara-negara dalam
dunia kapitalis. Dengan adanya inflasi dan kalah dalam bersaing dengan pertanian
yang menggunakan metode produksi yang lebih maju, terjadi gelombang
perpindahan ke kota. Biasanya kaum laki-laki yang lebih dulu meninggalkan keluarganya
untuk mencoba keluar dari kemiskinan. Namun kadang, ada juga kaum perempuan yang
mencari kerja di daerah industri sebagai pekerja perempuan yang mendapat
eksploitasi besar-besaran dan upah rendah. Bahkan ada yang kemudian direkrut
menjadi pelacur.
Kesulitan dalam mencari kerja telah mendorong jutaan pekerja untuk
meninggalkan negri kelahirannya untuk bekerja di negara-negara kaya penghasil minyak

seperti Arab dan Teluk Persia. Jika beruntung mereka bisa mendapat pekerjaan walau dalam
kondisi penghisapan yang menyedihkan.
Tradisi terbelakang dan isolasi daerah pedesaan mulai berubah dengan
perpindahan ke kota dan pengaruh dari media massa seperti radio dan televisi

Pengaruh urbanisasi

Dengan berpindahnya ke kota dan kondisi kehidupan yang baru, terjadi
perubahan pandangan kaum buruh terhadap norma-norma tradisional dan mitos atas
perempuan.
Peran keluarga sebagai unit produksi mulai menghilang di kota. Setiap
anggota keluarga bertanggungjawab terhadap diri sendiri sebagai tenaga kerja upahan.
Situasi pekerjaan yang berat, kurangnya subsidi kesejahteraan sosial dan situasi keuangan
sebagai semi-proletar perkotaan menyebabkan mereka harus bersaing dengan kerabat
sendiri, tanggungjawab menghidupi keluarga juga terdiri dari paman, bibi, saudara sepupu,
kakak, adik dan anak-anak selain ibu, ayah dan anak-anak. Unit keluarga makin terbatas
diantara kelas menengah perkotaan, sektor yang lebih mapan dari kelas pekerja.
Kaum perempuan mendapat kesempatan lebih besar untuk mengenyam
pendidikan, memperluas kontak sosial dan kemandirian secara ekonomi setelah


pindah ke kota. Kapitalisme yang berkepentingan untuk menarik perempuan keluar
dari isolasi keluarga mulai terbentur dengan tradisi lama tentang peran perempuan
dalam masyarakat.
Kaum perempuan mulai mendobrak tradisi dan pandangan kuno dengan bekerja
di industri dan sektor jasa. Bahkan terjamin dalam mengambil pendidikan profesi sebagai
guru atau perawat, yang sebenarnya kontradiktif dengan perilaku tradisional bahkan juga
dalam pandangan perempuan yang tidak bekerja.
Realita ini memunculkan gugatan atas mitos inferioritas perempuan, mengubah
subordinasi yang sudah lama mereka hadapi.
Bahkan bagi perempuan yang tidak berpendidikan atau tidak bekerja diluar
rumah, kondisi perkotaan menyediakan kemudahan untuk menghilangkan tekanan dari
penjara rumahtangga. Hal ini juga dipengaruhi oleh media massa, bersinggungan dengan
kehidupan politik dan perjuangan, serta tersedianya peralatan rumahtangga modern seperti
laundri dan sebagainya

Partisipasi angkatan kerja

Kaum perempuan di negara-negara belum berkembang biasanya mendapat upah
lebih rendah daripada di negara-negara imperialis. Bervariasi antara 8 – 20% berbeda
dengan negara-negara kapitalis dimana perempuan bisa mendapat upah hingga 40%.

Namun pertumbuhan angkatan kerja perempuan terus terjadi di kedua jenis negara
tersebut.
Proporsi tertinggi pekerja perempuan adalah kerja-kerja domestik, kemudian
pertanian dan kerja borongan di rumah yang tidak membutuhkan keahlian, mempunyai
upah rendah dan tidak memiliki jaminan keamanan secara hukum dan sebagainya. Rata-rata
upah pekerja perempuan 1/3 – ½ upah pekerja laki-laki. Walaupun di negara-negara
kapitalis, kaum perempuan mengenyam pendidikan dan memiliki keahlian namun mereka
tetap didorong untuk bekerja pada kerja-kerja yang bersifat ‘keperempuanan’ seperti
mengajar dan perawat.
Kaum perempuan banyak tersebar di industri-industri ringan yang banyak
bermunculan di negara-negara industri kolonial seperti tekstil, garmen, makanan kalengan
dan suku cadang. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun kecil jumlahnya namun pekerja
perempuan mempunyai peran strategis yang penting.
Imperialis melihat pentingnya mempekerjakan perempuan karena mereka adalah
penghasil tenaga kerja murah dan secara logika kapitalis memandang bahwa upah murah
akan memecah belah dan melemahkan kelas pekerja, dan juga menjaga stabilitas skala
upah. Proses akumulasi imperialis tidak dapat dipahami tanpa menjelaskan peran
eksploitasi mereka terhadap pekerja perempuan di negara-negara belum berkembang.
Angka pengangguran mencapai tingkat yang mengkhawatirkan dan kaum
perempuan sering harus bertanggungjawab atas pendapatan keluarga. Demi memenuhi

kebutuhan keluarga, kaum perempuan terpaksa bekerja sebagai penjual kerajinan tangan
atau makanan di jalan atau menjadi pencuci baju.
Inflasi besar-besaran di kota menyebabkan ibu-ibu rumahtangga harus
menelusuri pasar demi pasar untuk mencari bahan makanan dengan harga terendah, selain
itu mengurangi jatah makan dirinya agar dapat memberikan jatah tersebut pada anakanaknya. Kerja-kerja domestik lebih banyak dilakukan di daerah pinggiran dan kumuh yang
tidak dialiri listrik, air, fasilitas kesehatan dan sekolah. Pengangguran endermis diperburuk
dengan adanya pelacuran, alkohol dan kecanduan obat yang kerap melahirkan tindak
kekerasan terhadap perempuan.

Situasi kaum perempuan di daerah pedesaan bahkan lebih buruk lagi. Dengan
tidak tersedianya pelayanan umum membuat mereka harus mengerjakan tugas-tugas
domestik dalam kondisi yang brutal. Kerja-kerja domestik juga meliputi memberi makan
ternak dan menyiapkan hasil produksi untuk dijual ke pasar. Kaum perempuan harus
menempuh jarak yang jauh untuk mendapatkan air dan kayu. Petani perempuan dipaksa
untuk menjadi petani penggarap atau buruh harian.

Kurangnya hak-hak dasar

Pada sekitar abad 19 dan 20-an kaum perempuan di negara-negara kapitalis maju
dapat memenangkan beberapa hak demokratik yang paling dasar namun di banyak negara

masih belum terjadi. Bahkan sejumlah negara masihmempertahankan hukum yang
menempatkan perempuan dibawah kontrol suaminya, seperti ijin suami bagi istri yang
bekerja, hukum yang mengesahkan suami untuk mengontrol gaji istrinya, dan hukum yang
memberi hak bagi suami untuk memiliki anak-anaknya dan mengontrol tempat tinggal
istrinya. Di beberapa negara masih terdapat penjualan perempuan dengan selubung
pernikahan. Juga hukuman hingga pembunuhan bagi perempuan yang dianggap menghina
‘kehormatan’ suami.
Pada sebagian negara sudah berlaku hukum yang menjamin hak-hak perempuan
namun masih belum dapat dinikmati sebagian besar perempuan karena kondisi
keterbelakangan mereka seperti kemiskinan, buta huruf, kekurangan gizi, ketergantungan
ekonomi dan tradisi yang terbelakang. Imperialisme turut mendistorsi perkembangan
negara-negara ini dan menjadi penghalang atas hak-hak demokratik yang paling dasar
untuk perempuan.
Demi mempertahankan keterbelakangan ekonomi di negara-negara
kolonial dan semi kolonial, imperialisme menggunakan hirarki agama sehingga
kekuasaan dan pengaruh agama sangat kuat. Bahkan di beberapa negara tidak terdapat
pemisahan antara institusi agama dan negara, dan antara budaya dan dogma agama. Seperti
di India yang menggunakan sistem kasta, sanksi diberikan berdasarkan ajaran agama Hindu.
Di beberapa negara Islam, aktivitas umum diperketat, terdapat pemisahan antara
perempuan dan laki-laki dan tradisi jilbab bagi perempuan diciptakan untuk menjauhkan

perempuan dari publik sementara negara Khatolik menolak hak perceraian.
Dibawah dominasi imperialis, kekerasan terhadap perempuan yang sudah menyatu dalam
kehidupan ekonomi, sosial dan degradasi sex dalam setiap tahap perkembangan masyarakat
kelas ditonjokan oleh kontradiksi dalam mengahasilkan keturunan. Meluasnya partisipasi
perempuan dalam masyarakat serta bertambahnya akses pada pendidikan dan pekerjaan
telah memberikan kesempatan bagi kaum perempuan untuk mendobrak tradisi kuno dalam
kehidupan publik.
Namun semua usaha kaum perempuan untuk mendobrak tradisi lama sering
mendapat reaksi keras dari kerabat laki-laki berupa pemasungan, pemukulan, hingga
pembunuhan. Walaupun ada hukum yang mengatur sanksi atas kekerasan terhadap
perempuan, namun prakteknya seringkali pelaku kekerasan bisa lolos dari jeratan hukum.
Kesempatan kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan di negara-negara
kolonial dan semi-kolonial lebih dibatasi dibandingkan di negara-negara kapitalis maju. Hal
ini ditunjukkan dengan tingginya angka buta huruf di kalangan perempuan. Semakin tinggi
tingkat pendidikan, semakin besar jurang pemisah antara laki-laki dan perempuan dalam
hal kesempatan belajar.
Sistem pendidikan di negara-negara kolonial dan semi-kolonial -bahkan lebih
menyolok daripada negara-negara imperialis- diselenggarakan untuk memperkuat posisi
perempuan sebagai ibu-istri-penjaga rumah dan menjauhkan mereka dari kehidupan sosial.


Sekolah khusus perempuan secara bervariasi menerima anggaran yang lebih kecil, jumlah
guru lebih sedikit dan fasilitas yang buruk. Setelah fasilitas pendidikan bersama disediakan,
anak-anak perempuan tetap didorong untuk mengikuti kursus memasak, menjahit dan
pekerjaan rumah.
Bagaimanapun juga untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja yang lebih
terlatih, akhirnya pasar mampu mendesakkan kepentingan agar perempuan mendapat
pendidikan yang lebih tinggi seperti tehnisi

Hak-hak reproduksi dan pengendalian kelahiran

Kaum perempuan di negara-negara berkembang tidak memiliki kontrol atas
fungsi reproduksinya dibandingkan dengan perempuan di negara-negara imperialis. Kaum
perempuan tidak memiliki akses terhadap informasi yang lebih ilmiah mengenai reproduksi
atau sex akibat kecilnya kesempatan pendidikan dan kuatnya pengaruh agama.
Secara ekonomi dan sosial kaum perempuan ditekan untuk melahirkan lebih
banyak anak. Sedangkan pengendalian kelahiran biasanya dilakukan untuk memenuhi
kepentingan imperialisme dalam mengontrol populasi secara rasis. Hal ini biasanya
dilakukan dengan memaksa sterilisasi pada kaum perempuan usia subur seperti di Puerto
Rico dan kelompok minoritas suku Indian di Bolivia.
Walaupun sterilisasi tidak menjadi kebijakan pemerintah namun hal ini merupakan

penghalang bagi kaum perempuan untuk memperoleh hak dalam mengontrol tubuh dan
kehidupan mereka sendiri.
Bumi pun memiliki batas untuk menampung populasi, namun pengalaman di
negara-negara maju menunjukkan bahwa angka kelahiran akan menurun apabila
kaum perempuan memiliki kontrol atas tubuh mereka dan mandiri secara ekonomi,
kehidupan sosial, ekonomi, kesetaraan politik dan pendidikan yang cukup serta
kebebasan untuk memilih lebih dibutuhkan ketimbang sejumlah kebijakan yang disertai
paksaan dan kekerasan dalam menurunkan jumlah populasi.
Perempuan di negara-negara berkembang telah menjadi binatang percobaan
dengan dipaksakannya program pengendalian kelahiran dan obat-obatan. Kaum perempuan
di dunia ketiga terpaksa harus melakukan aborsi secara ilegal yang tidak terjamin
kebersihannya dan bisa menyebabkan kematian. Dan ini semua karena perempuan tidak
memiliki hak untuk memilih.
Anarkisme kapitalis dalam memperbesar profit telah memperdalam krisis ekologi
global dan kemiskinan di dunia ketiga, usaha untuk mengontrol populasi akan semakin
besar dan kasus seperti di Puerto Rico akan dialami oleh belahan dunia yang lain. Dan tentu
saja imperialisme akan
mengkambinghitamkan ‘ledakan penduduk’ atas bencana alam dan krisis ekonomi.
Dunia ketiga juga harus menghadapi masalah rasisme dan seksisme yang dibawa
oleh kebudayaan asing melalui iklan, film dan berbagai bentuk propaganda lainnya.
Kosmetika sebagai standar ‘kecantikan’ perempuan tidak hanya menindas perempuan di
Eropa dan Amerika Utara tetapi juga perempuan di dunia ketiga.
Standar sexual di dunia ketiga lebih ketat daripada negara-negara imperialis, hal
ini juga karena adanya pengaruh kuat dari agama. Di satu sisi perempuan dituntut untuk
tidak mengekspresikan hasrat seksual dan menjaga keperawanan, seorang perempuan yang
didapati sudah tidak perawan ketika dinikahi boleh diceraikan oleh suaminya. Tapi di sisi
lain, perempuan harus memberi kepuasan sezual pada suaminya, kepuasan juga sering
menjadi alasan perceraian. Bahkan tindakan brutal terhadap perempuan dilindungi oleh
hukum tradisional. Banyak terjadi praktek poligami dan penyunatan terhadap anak-anak
perempuan.

Keterbelakangan dalam sexualitas juga bisa dilihat pada penindasan terhadap
homoseksual baik gay maupun lesbian.

Langkah ke depan

Kapitalisme terus mengembangkan sayap dalam hubungan sosial dan ekonomi di
negara-negara kolonial dan pra kapitalis dalam berbagai bentuk. Hal ini berarti perjuangan
untuk bebas dari penindasan dan penghisapan harus dilakukan dalam berbagai tuntutan
Perjuangan melawan dominasi imperialis dan eksploitasi kapitalis sering
dimulai dengan gugatan pada kedaulatan nasional, land reform dan tuntutantuntutan demokratik dasar lainnya. Juga termasuk didalamnya adalah hak-hak dasar
seperti kesetaraan dalam sosial, ekonomi dan politik untuk perempuan. Isu-isu yang
terkait adalah kenaikan harga, fasilitas kesehatan, pendidikan dan perumahan. Selain itu
juga isu yang dibawa oleh gerkan perempuan di negara kapitalis maju seperti pusat
penitipan anak, fasilitas medis yang memungkinkan perempuan untuk mengontrol
kehidupan reproduksi mereka, akses pada pekerjaan dan pendidikan.
Tapi perjuangan ini tidak akan berhasil tanpa adanya mobilisasi kelas pekerja
sebagai kekuatan sosial yang menjadi pemimpin perjuangan, termasuk mobilisasi
perempuan.
Di negara-negara berkembang dimana kapitalisme dan kelas penguasa kapitalis
relatif lemah, biasanya tidak ada kebebasan sipil dan represi politik lebih besar. Saat
perjuangan dimulai-baik perempuan maupun sektor tertindas lainnya- akan dihadapi secara
represi dan perjuangan pembebasan politik membutuhkan hak-hak untuk
menyelenggarakan pertemuan, mendirikan organisasi, memiliki koran dan alat propaganda
lainnya dan untuk demonstrasi, oleh karena itu perjuangan pembebasan perempuan
tidak terpisah dari perjuangan secara keseluruhan untuk kebebasan politik.
Di negara-negara kolonial dan semi-kolonial, keikutsertaan perempuan dalam
perjuangan sosial dan politik ditunjukkan dengan bertambahnya jumlah perempuan yang
menjadi tahanan politik. Di penjara kaum perempuan mengalami penyiksaan secara brutal.
Perjuangan untuk menuntut pembebasan tahanan politik yang mengekspos buruknya
kondisi perempuan memberi arti penting bagi gerakan pembebasan perempuan. Kaum
perempuan semakin menjadi pusat perhatian dan diharapkan menjadi pemimpin
perjuangan untuk mengkampanyekan penculikan, pembunuhan massal serta orang-orang
‘hilang’.

Perjuangan pembebasan nasional

Perjuangan pembebasan perempuan tidak terpisah dari perjuangan
pembebasan nasional karena tugas mendesak bagi seluruh kelas tertindas termasuk
perempuan adalah menghancurkan dominasi kapitalis seperti yang ditunjukkan oleh
Nicaragua dan El Salvador.
Saat bergabung dengan gerakan pembebasan nasional, kaum perempuan
menjadi lebih politis. Untuk memenangkan perjuangan dibutuhkan peran yang lebih besar
dari kaum perempuan. Kaum perempuan mulai mendobrak larangan tradisi lama
dengan menempati posisi pemimpin, pejuang, organiser dan pemikir politik.
Kontradiksi ini menstimulasikan perlawanan terhadap penindasan sex, seperti juga
tuntutan kesetaraan dalam gerakan revolusioner.
Perjuangan kaum perempuan di Vietnam, Algeria, Cuba, Palestina, Angola,
Mozambique dan tempat-tempat lain untuk mengakhiri bentuk penindasan yang paling
brutal terkait dengan perkembangan perjuangan anti imperialis.

Keikutsertaan kaum perempuan dalam perjuangan pembebasan nasional
juga telah mentransformasikan kesadaran kaum laki-laki tentang kemampuan dan
peran perempuan. Dalam proses perjuangan melawan penindasan dan penghisapan, kaum
laki-laki justru dapat lebih peka terhadap penindasan perempuan, menyadari kebutuhan
untuk melawannya dan pentingnya menjadikan sebagai sekutu perjuangan
Sejak kebangkitan perjuangan kolonial di awal abad ini, kaum perempuan turut
serta dalam sentimen anti imperialis. Namun kaum perempuan belum melakukan tuntutan
yang spesifik pada isu perempuan. Bagaimanapun juga perkembangan sistem kapitalisme
sejak PD II yang telah mempertajam kontradiksi ekonomi, sosial dn politik semakin
mendorong kaum perempuan untuk mengangkat isu-isu perempuan
Dimulailah krisis kapitalisme yang ditandai oleh krisis internasional antara tahun
1974-1975 yang berdampak pada negara-negara terbelakang. Krisis hutang negara-negara
dunia ketiga adalah salahsatu usaha imperialis untuk membebankan krisis pada negaranegara tersebut. Kaum perempuan turut menjadi korban dengan adanya pemotongan
subsidi kesehatan dan pendidikan dan meningkatnya harga barang.
Kontradiksi ini memberi pengaruh pada kesadaran perempuan yang diperkuat
oleh gerakan pembebasan perempuan internasional yang menjadi inspirasi bagi perempuan
di seluruh dunia untuk mempopulerkan tuntutan mereka. Peran serta perempuan dapat
dilihat pada dekade 1975-1985. Pada konferensi besar yang pertama di Mexico pada tahun
1975 sebagian besar pesertanya adalah perempuan dari negara-negara industri. Sementara
konferensi terakhir di Harare pada tahun 1985 memfokuskan pada situasi perempuan di
dunia ketiga.
Walaupun banyak contoh-contoh yang dapat diberikan untuk memperlihatkan
hasil yang dicapai oleh gerakan pembebasan juga mengenai kekerasan dan serangan militer
yang dilakukan imperialisme. Vietnam, Cuba dan Nicaragua telah menjadi simbol
perjuangan. Untuk menggulingkan imperialisme. Memberikan contoh yang lebih hidup
tentang bagaimana kekayaan sebuah negara yang diperuntukkan bagi golongan mayoritas,
kontrol yang dilakukan oleh golongan mayoritas dan konsekuensinya bagi perempuan.
Contoh nyata tentang bagaimana perubahan dapat dilakukan dan bukan sekedar utopia
abstrak. Seperti juga revolusi Rusia dan Cina, revolusi ini juga menjadi indikasi keberhasilan
yang bisa di raih di negara-negara dengan keterbelakangan ekonomi dan mayoritas
penduduk petani

Revolusi Cuba

Revolusi Cuba lebih memiliki kesadaran untuk melakukan perjuangan melawan
penindasan perempuan bahkan sejak awal revolusi Rusia.
Setelah memenangkan revolusi sosialis, Cuba mulai memperbaiki sistem
pelayanan pendidikan dan kesehatan dan membuka lapangan kerja seluasnya. Federasi
perempuan Kuba didirikan sehingga kesetaraan perempuan bukan sekedar slogan namun
terstruktur dimana perempuan dapat mengorganisir perjuangan untuk kesetaraan.
Perjuangan untuk melawan sikap sexist telah menghasilkan undang-undang yang mengatur
laki-laki untuk ikut mengambil separo kerja-kerja domestik.
Saat ini kaum perempuan Kuba telah menduduki berbagai posisi di bidang
ekonomi, 54% dari pekerjaan tehnis dipegang oleh perempuan. Kaum perempuan juga
mendominasi dunia pendidikan dan medis dari posisi terendah hingga posisi atas. Dan hal
ini didapat dengan melakukan kompetisi dengan laki-laki. Ratusan pusat penitipan
anak didirikan.
Kaum perempuan memegang peranan dalam mendapatkan bantuan internasional
bagi Kuba, baik yang bersifat kemanusiaan hingga militer. Semakin bertambah jumlah
perempuan yang menduduki posisi publik di pemerintahan dan diplomasi.

Kaum perempuan mengalami kemajuan di negara kepulauan yang berjarak hanya
140 Km dari Amerika. Kuba adalah negara miskin, hal ini lebih banyak karena selama lebih
dari 30 tahun mengalami blokade ekonomi oleh Amerika sehingga Kuba tergantung pada
Uni Sovyet dan Eropa Timur untuk mendapat bahan bakar dan mesin. Agresi Amerika terus
berlanjut dengan berdirinya pangkalan militer Amerika di Teluk Guantanamo.
Setelah kejatuhan blok Sovyet, Kuba mengalami krisis ekonomi. Kuba kehilangan
akses terhadap negara yang menjadi partnerdagang dan lebih menderita akibat blokade
ekonomi yang melarang tiap negara untukmelakukan perdagangan dengan Kuba. Namun
kesulitan ekonomi ditanggung bersama oleh rakyat Kuba dan program penyetaraan
perempuan terus berjalan.
Diluar masalah ini, Kuba telah menjadi contoh bagi rakyat dunia ketiga dan kaum
miskin di Amerika latin selama lebih dari 30 tahun.

Pengalaman Sandinista di Nicaragua

Revolusi Sandinista di Nicaragua belajar dari revolusi Kuba dan pengaruh dari
gelombang kedua perjuangan pembebasan perempuan di seluruh dunia. Perempuan
Nicaragua tergabung dalam organisasi perempuan AMPRONAC yang turut memobilisir
perempuan dalam perjuangan revolusioner untuk menggulingkan kediktatoran Somoza.
Di tahun 1979 setelah berhasil menggulingkan kediktatoran Somoza yang
didukung oleh Amerika, AMPRONAC mengubah nama menjadi AMNLAE yang memiliki 2
tujuan-berjuang untuk mempertahankan revolusi dan memperjuangkan pembebasan
perempuan dalam revolusi.
Di tahun 1977 hanya 29% kaum perempuan yang bekerja. Di akhir tahun 80-an,
37% dari pekerja industri adalah perempuan, 35% dari pekerja pertanian dan 44% dari
gerakan koperasi. Kaum perempuan juga mulai masuk di dinas kemiliteran. 80% dari
penjaga malam revolusioner dan 70% brigade pertahanan sipil adalah perempuan. Kaum
perempuan menduduki 31% dari kepemimpinan di pemerintahan Sandinista. Mereka juga
mendapat training tehnik dan pendidikan lanjutan ketiga. Pusat penitipan anak mulai
dibangun di pedesaan dan kota.
Meningkatnya partisipasi perempuan dalam politik dan kehidupan
produksi di Nicaragua juga dipacu oleh perjuangan melawan Amerika setelah perang
usai. Tetapi dalam periode ini kemajuan yang dicapai bukan hanya secara ekonomi
namun juga perubahan dalam perlakuan terhadap perempuan. Kesetaraan sipil mulai
dijalankan, penggunaan tubuh perempuan dalam iklan dilarang, hukum perceraian
diamandemen sehingga perceraian dapat dilakukan secara sepihak, dan hukum yang
menjamin agar kedua orangtua turut bertangungjawab atas penyediaan pangan, medis,
rumah untuk anak-anak baik dari maupun diluar perkawinan.
Terdapat sebuah periode di pertengahan 80-an selama perang dimana tuntutan
perempuan diabaikan, namun dalam 2 tahun keadaan berbalik seiring dengan
meningkatnya peran AMNLAE. Kaum perempuan memasuki dewan konstitusi dimana
terdapat diskusi mengenai konstitusi baru. Kaum perempuan mulai mengorganisir serikat
buruh dan organisasi massa lainnya. Aktifitas ini untuk menghancurkan penghalang atas
meningkatnya partisipasi perempuan.
Hal ini menimbulkan kontradiksi antara ‘lingkungan
pribadi’-keluarga berencana, aborsi, kekerasan domestik, kekerasan sexual di tempat kerja,
perlawanan terhadap machismo- dengan lingkungan publik untuk pertama kalinya dalam
sejarah Nicaragua. Tuntutan ini kemudian disahkan dengan diratifikasinya konstitusi baru.
Pusat biro hukum khusus didirikan untuk memastikan bahwa hukum-hukum ini dijalankan.
Biro hukum ini membantu kaum perempuan dalam mengatasi problem mendesak, memberi

pendidikan mengenai hak-hak mereka dan menyediakan konseling. Mereka juga
mengkampanyekan kekerasan terhadap perempuan. Hal yang sama juga terjadi didalam
serikat buruh untuk perbaikan kondisi perempuan, bahkan pendidikan sex dan keluarga
berencana di tempat kerja.
Dalam pemilu 1990 di Nicaragua, Dewan Nasional berencana untuk merancang
hukum tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak serta menghapus undangundang yang menganggap aborsi sebagai tindakan kriminal. Sejak FSLN kalah dalam pemilu,
AMNLAE harus berjuang untuk mempertahankan keberhasilan yang telah dicapai
perempuan karena pemerintahan Presiden Violetta Chamorro yang didukung Amerika telah
bertekad untuk mengembalikan posisi perempuan ke rumah dibawah slogan Patria
Potestad-‘hak suami’ untuk ‘mengontrol’ keluarganya. Dimulailah pemecatan terhadap
pekerja perempuan. Di tahun 1992 pemerintahan Chamorro mengadopsi hukum antihomoseksual yang paling represif di Amerika latin
Berbagai diskusi dan evaluasi digelar yang membahas tentang peran AMNLAE,
hubungannya dengan FSLN dan cara untuk membuktikan peran organisasi perempuan
dalam memperjuangkan hak-haknya. Keberhasilan yang dicapai oleh kaum perempuan
Nicaragua selama periode 10 tahun pada pemerintahan revolusioner dibawah
kepemimpinan FSLN telah menjadi contoh bagi kaum perempuan di negara-negara belum
berkembang lainnya.
Di beberapa negara seperti Filipina, Palestina dan Indonesia, kaum perempuan
mengorganisir diri dengan mengambil contoh pengalaman di Nicaragua. Organisasi
perempuan bergabung dengan mobilisasi kelas tertindas lainnya.
Pengalaman Nicaragua sebagai’revolusi dalam revolusi’ semakin menjadi contoh
bagi menyatunya perjuangan perempuan dengan kelas tertindas lainnya. Maksud dan tujuan
dari tahun-tahun awal revolusi Rusia semakin diyakini sebagai langkah maju meskipun
bentuk-bentuk organisasi sudah berkembang sejak saat itu.