Pemerataan Kualitas Pengajaran berbasis kerakyatan

Pemerataan Kualitas Pengajaran berbasis Komunitas Profesional Guru
Sekolah Dasar

Oleh :
Mousafi Juliasandi Magistar
16712251049

Program Studi Pendidikan Dasar
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
2017

1

Pendahuluan
Tingkat partisipasi pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun terus
meningkat terutama pada jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah.
Hal ini memang menjadi konsentrasi pemerintah Indonesia selama beberapa
dekade setelah kemerdekaan diraih oleh negara Indonesia. Tingginya buta huruf
karena sangat rendahnya tingkat pasrtisipasi pendidikan di Indonesia menjadi
sasaran utama program-program pemerintah pada masa itu. Beberapa upaya

pemerintah dalam meningkatkan angka melek huruf di Indonesia antara lain
dengan dibangunnya Sekolah Dasar Instruksi Presiden (Inpres) di berbagai daerah
yang belum memiliki lembaga pendidikan untuk mengakomodasi para anak
dengan umur sekolah yang ada di daerah tersebut. Upaya lain dalam
menyelesaikan masalah partisipasi pendidikan di Indonesia adalah kebijakan
Wajib Belajar 6 tahun (Wajar) yang saat ini telah ditingkatkan menjadi Wajib
belajar 12 tahun. Kebijakan ini juga didukung dengan dana bantuan pendidikan
dari pemerintah yang berupa BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk setiap
siswa di Indonesia yang disalurkan melalui sekolah mereka.
Keberhasilan peningkatan partisipasi pendidikan di Indonesia dapat kita
lihat dengan tingginya angka pastisipasi pendidikan di beberapa jenjang
pendidikan khususnya pendidikan dasar. Namun tingginya angka partisipasi
pendidikan ini masih belum diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan
yang ada di Indonesia. Peningkatan partisipasi pendidikan ini tidak diimbangi
dengan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Berbagai survei yang
dilakukan OECD (2016, p. 469–475) pada negara-negara OECD dan negaranegara mitra termasuk didalamnya Indonesia, dengan berbagai indikator
menempatkan Indonesia selalu pada posisi dibawah rata, bahkan terdapat
beberapa indikator yang menempatkan indonesia pada posisi terakhir dari 65
negara.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah

ketidakmerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Indonesia merupakan negara
kepulauan dengan ribuan pulau yang masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kualitas pendidikan di daerah-daerah yang termasuk dalam

2

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam berbagai data nasional kita
dapat meilhat bagaimana jauhnya kesenjangan antara daerah-daerah yang termauk
dalam perkotaan dan daerah-daerah terpencil di Indonesia dalam hal pencapaian
pembelajaran dan juga prestasi akademik para siswanya. UNESCO pada
peluncuran Global Education Moniitoring (GEM) Report 2016, menyoroti
kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia. Kualitas pendidikan yang
didapatkan oleh anak-anak di pedalaman Kalimantan dan Papua sangat berbeda
dengan yang didapatkan oleh anak-anak di perkotaan seperti Jakarta dan
Yogyakarta. UUD 1945 yang mengatur tentang hak setiap warga negara untuk
memperoleh pendidikan seakan tidak berlaku pada daerah-daerah terpencil
tersebut.
Ketidakmerataan kualitas pendidikan di Indonesia disebabkan oleh berbagai
faktor. Geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, dan juga akses
terbatas untuk mencapai daerah-daerah merupakan salah satu faktor. Berbagai

dana bantuan dari dana pendidikan sebesar 20% dari APBN seakan tidak
menyentuh daerah-daerah dengan predikat 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal)
(Al-Samarrai & Cerdan-Infantes, 2013, p. 115). Proses penyaluran dana yang
tidak sesuai dan tidak relevan dengan kebutuhan pendidikan Indonesia juga
menjadi salah satu faktor penyebab hal tersebut. Selain itu, masih terdapat daerahdaerah dengan aspirasi pendidikan yang sangat rendah seperti di daerah
pedalaman sulawesi, kalimantan, Irian, dan Papua. Hal ini disebabkan budaya dan
pola pikir para masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan bukanlah hal
yang penting untuk diperjuangkan, tentu saja hal ini juga merupakan bagi kualitas
pendidikan Indonesia untuk menyadarkan para warga negaranya bahwa
pendidikan merupakan investasi jangka panjang dalam kehidupan dan
berkepribadian.
Salah satu faktor kunci dari kesenjangan ini adalah perbedaan kompetensi
guru di setiap daerah Indonesia. Kualitas pendidikan suatu negara sangat
tergantung pada bagaimana kualitas para pendidiknya. Berbagai kesenjangan yang
ada antara daerah perkotaan dan daerah-daerah terpencil di Indonesia, mencetak
kompetensi-kompetensi guru yang juga memiliki kesenjangan. Kualitas guru di

3

pedalaman sangat berbeda dengan kualitas guru yang ada di perkotaan, mulai dari

latar belakang pendidikan, pengalaman, sampai pada motivasi mengajar mereka.
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai usaha guna menyelesaikan
masalah ketidakmerataan pengajaran ini

dengan program

SM3T

yang

menempatkan guru-guru yang dianggap kompeten di bidangnya untuk mengajar
di daerah-daerah 3T. Namun esensi program ini menjadi berubah ketika kita
melihat hal tersebut hanya sebagai syarat formalitas dalam mencapai tingkat
kemapanan karir. Banyak guru-guru setelah mereka ditempatkan di daerah
terpencil dan kembali ke daerah mereka di perkotaan dengan tingkat
profesionalisme yang dianggap mumpuni berdasar pada pengalaman yang telah
mereka lalui, tidak mau lagi untuk mengajar di daerah terpencil dan memilih
untuk mengajar di daerah perkotaan. Akibatnya, tetap saja kesenjangan kualitas
pengajaran yang terbentang antara daerah terpencil dan perkotaan tidak
menemukan solusinya.

Komunitas profesional merupakan salah satu strategi efektif dalam
pengembangan kompetensi guru. Komunitas profesional merupakan sebuah
perkumpulan para pendidik yang melakukan berbagai kegiatan bersama-sama
guna mengembangkan kualitas pengajaran mereka. Selain berposisi sebagai
pribadi individu, guru juga berposisi sebagai anggota dari sebuah sistem sekolah,
seperti juga siswa atau peserta didik mereka. Guru bervariasi dalam usia, latar
belakangnya, pengalamannya, dan juga bagaimana mereka merespon hal-hal yang
mereka hadapi baik dalam kehidupan maupun dalam pengajaran. Sehingga,
kompetensi setiap guru tentu berbeda melihat dari pengalaman-pengalaman yang
mereka lalui dalam menyelesaikan masalah dalam kelas mereka. Komunitas guru
dapat menjadi wadah bagi mereka untuk berbagi pengalaman, inovasi, konten,
menyelesaikan masalah dan menjalin keterikatan antar guru sebagai sarana
pengembangan

kompetensi

dan

profesionalisme


mereka.

Pengoptimalan

komunitas profesional guru sekolah dasar merupakan solusi ketidakmerataan
kualitas pengajaran di Indonesia.

4

A. Komunitas Profesional Guru Sekolah Dasar
Guru memiliki beberapa kompetensi yang harus dimiliki dalam aspek
keprofesionalitasannya (Farisi, 2011, p. 23). Kompetensi yang pertama adalah
kompetensi pedagogis dimana seorang guru dituntut untuk memiliki kemampuan
dalam kemampuan mengelola pembelajaran dan pengajaran mereka. Kompetensi
yang kedua adalah kompetensi kepribadian dimana seorang guru adalah seseorang
dengan pribadi yang baik, berwibawa, bijaksana, dan mampu menjadi teladan
bagi para peserta didik mereka. Kompetensi profesional merupakan kompetensi
selanjutnya, dimana seorang guru dituntut untuk menguasai kedalaman materi dari
apa yang disampaikan. Kompetensi selanjutnya adalah kompetensi sosial dimana
seorang guru juga merupakan seorang anggota di dalam sistem masyarakat, guru

harus mampu memiliki kemampuan berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya,
baik dengan masyarakat, sesama guru, siswa, maupun para orangtua dan wali dari
siswa. Berbagai kompetensi inilah yang harus dimiliki dan dikembangkan oleh
para pendidik untuk dapat menjadi guru yang efektif dan berkualitas guna
meningkatkan

kualitas

pengajaran

dan

akhirnya

meningkatkan

kualitas

pendididikan.
Selain berposisi sebagai pribadi individu, guru juga berposisi sebagai

anggota dari sebuah sistem sekolah, seperti juga siswa atau peserta didik mereka.
Guru bervariasi dalam usia, latar belakangnya, pengalamannya, dan juga
bagaimana mereka merespon hal-hal yang mereka hadapi baik dalam kehidupan
maupun dalam pengajaran (Lieberman & Miller, 2008, p. 97). Sehingga,
kompetensi setiap guru tentu berbeda melihat dari pengalaman-pengalaman yang
mereka lalui dalam menyelesaikan masalah dalam kelas mereka. Dalam berbagai
perbedaan inilah peran sebuah komunitas profesional sangat penting.
Komunitas profesional merupakan sebuah komunitas dimana pendidik atau
guru berkumpul untuk bertukar pengalaman mengajar (Day, Sammons, Stobart,
Kington, & Gu, 2007, p. 137). Komunitas yang kita kenal ada di Indonesia dan
diatur dalam undang-undang adalah Kelompok Kerja Guru (KKG). KKG
merupakan perkumpulan para guru dalam satu gugus sekolah.

5

McLaughlin & Talbert (2006, p. 75), membedakan antara dua jenis
komunitas guru. Dua jenis itu adalah “komunitas tradisional” dan selanjutnya
dengan apa yang mereka sebut dengan “komunitas belajar guru”. Guru di
komunitas tradisional berbagi pandangan yang terdefinisi dengan baik mengenai
konten yang mereka ajarkan dan apa yang harus dipelajari siswa, tetapi mereka

menunjukkan

sedikit

kecenderungan

untuk mempertanyakan pandangan

tersebut bahkan dalam menghadapi kesulitan atau kegagalan siswa. Sebaliknya,
komunitas

belajar

guru

dipersatukan

oleh

komitmen


mereka

terhadap

pembelajaran siswa dan kecenderungan untuk menanyakan secara mendalam
masalah-masalah belajar mengajar. Seperti yang digunakan oleh McLaughlin
dan Talbert, istilah “komunitas belajar guru” mengacu pada upaya bersama guru
untuk menghasilkan pengetahuan baru dari praktek dan saling mendukung
pertumbuhan professional masing-masing. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
sebuah komunitas guru akan kuat apabila mereka memiliki satu misi dalam
komunitasnya ditengah berbagai perbedaan kompetensi yang mereka miliki.
Persamaan tujuan atau misi ini tentu saja adalah untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran dan pengajaran mereka guna meningkatkan kualitas pendidikan.
B. Komunitas Profesional Guru Sebagai Wadah Peningkatan Kompetensi
Seorang guru harus memiliki pengetahuan dalam konteks yang senantiasa
berubah mengikuti berkembangnya kebutuhan dan masalah yang ada saat ini
(Stoll, Bolam, McMahon, Wallace, & Thomas, 2006, p. 224). Sehingga dalam hal
ini pengembangan kompetensi seorang guru yang berkelanjutan merupakan
sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari status mereka sebagai seorang

pendidik. Wood, (2007, p. 282) mengemukakan bahwa seorang guru seharusnya
bukanlah hanya seseorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan
pedagogis, namun juga sebagai pencipta, penyebar, dan juga sebagai pelopor.
Komunitas guru memberikan kesempatan bagi guru untuk dapat mengembangkan
kompetensinya bukan hanya sebagai penerima pengetahuan yang pasif namun
juga sebagai pencipta, pelopor dan penyebar pengetahuan tersebut.

6

Didalam sebuah komunitas guru, guru dapat mengungkapkan masalah
pembelajaran yang belum memiliki pemecahannya (Warren Little, 2003, p. 915).
Dengan berbagai pengalaman dan kekayaan pengetahuan para guru secara
bersama-sama,

mendiskusikan

solusi

yang

efektif

guna

menyelesaikan

permasalahan tersebut. Kegiatan ini tentu saja akan memperbaiki kualitas
pengajaran baik secara individu maupun secara keseluruhan karena guru-guru lain
juga mendapatkan pengalaman tersebut. Indonesia dengan kompleksitas siswa
yang sangat tinggi tentu memiliki berbagai masalah yang bervariasi di dalam
berbagai kondisi lingkungan pembelajaran. Tidak setiap guru dapat mendapatkan
pengalaman dengan masalah yang dimiliki guru lain, sehingga dalam komunitas
guru dapat memberikan antispasi ketika nantinya guru mendapatkan masalah yang
sama dengan masalah yang telah didiskusikan.
Komunitas profesional guru juga menjadi media bagi guru untuk dapat
mengembangkan metode pembelajaran bagi para siswanya (Cheng & Tsui, 1999,
p. 147). Setiap guru tentu memiliki kecenderungan dalam menggunakan
menggunakan suatu metode dalam pembelajaran di kelasnya. Kecenderungan ini
tentu saja menjadikan seorang guru memiliki pengetahuan dan pengalaman yang
lebih pada metode pembelajaran tersebut. Kecenderungan yang berbeda-beda
pada setiap guru dapat menjadi modal bagi guru untuk mengkombinasikan,
mengkolaborasikan, dan mengembangkan metode pembelajaran dalam kelas
mereka.
Komunitas profesional guru menimbulkan adanya keterikatan antar guru
sebagai kolega. Keterikatan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap
pengembangan kompetensi. Dengan keterikatan para guru akan saling mendorong
satu sama lain untuk dapat terus mengembangkan kemampuan dan terus
berinovasi. Keterikatan ini juga menjadikan terhapuskannya jarak antara guru
junior dan senior, atau guru tetap dan guru honorer yang sering menimbulkan
kesenjangan antar guru dan menjadi salah satu faktor ketidakefektifan peforma
guru dalam pembelajaran (Andrews & Lewis, 2002, p. 250). Levine (2011, p. 39)
juga mengungkapkan bahwa sekolah yang memelihara kolaboratif 'komunitas
profesional guru' dari waktu ke waktu dapat menciptakan sumber daya yang

7

membantu guru untuk mengubah aspek pekerjaan mereka. Sumber daya tersebut
meliputi: keinginan guru untuk berinovasi; tujuan bersama secara luas;
kepercayaan; kontinuitas dengan masa lalu; dan juga apresiasi yang tinggi bagi
guru.
Komunitas

profesional

yang

efektif

akan

menunjukkan

intensitas

komunikasi yang tinggi antar guru, dimana tentu saja komunikasi tersebut
difokuskan secara khusus pada pengajaran dan pembelajaran. Para guru dalam
komunitas profesional akan lebih sering berkomunikasi tentang kemajuan para
siswanya, mengembangkan kurikulum dan juga instrumen penilaian bersamasama dan juga membantu guru lain untuk mengobservasi pembelajaran mereka
guna mendapatkan refleksi yang representatif dari pembelajaran mereka (Talbert
& Mclaughlin, 2002, p. 329). Guru dengan banyak pengalaman dapat
membimbing guru-guru baru dalam pembelajaran mereka (Scott, 2005, p. 52).
Guru dapat membandingkan hasil-hasil karya atau tulisan siswa. Guru dengan
ilmu disiplin yang berbeda dapat saling menentukan hubungan otentik antar
subjek guna mengembangkan pembelajaran tematik di kelas mereka.
C. Pemerataan Kualitas Pengajaran berbasis Komunitas Profesional
Berdasarkan kajian literatur mengenai komunitas profesional guru, jelas
bahwa komunitas guru merupakan salah satu strategi yang efektif untuk
mengembangkan dan meningkatkan kompetensi guru. Namun, bagaimana sebuah
komunitas profesional guru dapat menyelesaikan masalah ketidakmerataan
pengajaran di Indonesia? Pengoptimalan kegiatan komunitas profesional yang
didukung oleh sekolah dan juga pemerintah, merupakan jawaban dari pertanyaan
tersebut.
Tahap pertama pengoptimalan ini harus dilakukan pada komunitas guru di
kawasan perkotaan dengan sumber daya dan dukungan kompetensi yang
memadai. Kurang efektifnya kegiatan komunitas guru disebabkan sulitnya guru
untuk menyisihkan waktunya guna bertemu satu sama lain, hal ini disebabkan
berbagai faktor seperti ruang, tuntutan jam mengajar, dan sekolah yang tidak
mendukung hal tersebut (Hur & Brush, 2009, p. 279). Salah satu strategi untuk

8

mengoptimalkan kegiatan ini di perkotaan adalah melalui komunitas profesional
guru secara online menggunakan jaringan internet (Duncan-Howell, 2010, p.
101).
Internet saat ini memberikan keleluasaan yang hampir tidak terbatas bagi
penggunanya, menghapuskan jarak, waktu dan berbagai keterbatasan. Hal ini
dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kegiatan komunitas profesional guru
secara online sehingga guru lebih leluasa dalam komunikasi kapanpun dan
dimanapun. Di berbagai negara di dunia, hal ini telah terimplementasi dengan
baik dan berdampak sangat positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan (UE,
Outlook, & UE, 2014, p. 148). Contohnya di negara perancis yang memiliki
platform komunitas online yang dikelola oleh Kementrian Pendidikan Perancis
yang didalamnya terdapat 2500 inovasi karya dari guru-guru yang ikut
berpartisipasi dalam platform tersebut. Selain itu juga di negara Swedia yang
memiliki situs web pendidikan dengan tiga tujuan umum yaitu informasi, sumber
online dan juga ruang komunikasi bagi lebih dari 100 guru yang ikut
berpartisipasi didalamnya.
Salah satu media yang paling mudah digunakan dan representatif untuk
kondisi para guru di Indonesia yang notabene masih kurang pengalaman dalam
hal pengoperasian teknologi adalah media Blog. Blog yang merupakan singkatan
dari Web Log adalah sebuah situs web yang mudah digunakan yang berisi teks
gambar, video atau tautan ke situs Web lainnya (Byrd, 2011, p. 2). Blogger yang
memposting dan memperbaharui informasi di Blog, tidak perlu terbiasa dengan
HTML (hypertext markup languange), dan Blog mudah digunakan semudah
menggunakan program pengolah kata. Informasi mudah diupload dengan dikirim
dari komputer ke Internet dan memungkinkan informasi tersebut untuk dibagi
dengan khalayak yang lebih luas (guru-guru dalam komunitas) (Yang, 2009, p.
19). Blog tidak memerlukan biaya apapun selain sedikit waktu, kemauan, dan juga
koneksi internet. Penulis percaya bahwa blog adalah media yang sempurna bagi
pendidik untuk berkomunikasi, berbagi, mempublikasikan, dan mengelola
informasi. Blog menyediakan tempat dimana para guru dapat saling

9

berkomunikasi dan berpartisipasi dalam komunitas yang dibangun secara sosial
melalui wacana elektronik kolaboratif.
Secara teknis, blog dapat diatur sesuai dengan kebutuhan guru, guru dapat
menetapkan blog dapat diakses menggunakan password atau dapat diakses secara
bebas oleh khalayak luas. Blog dapat digunakan untuk mempublikasi sesuatu
seperti inovasi metode pembelajaran, hasil belajar siswa, atau karya-karya siswa
mereka (Tang & Lam, 2014; Wang, 2011). Para guru dapat berinteraksi melalui
kolom comment dan juga post. Beberapa penelitian telah membuktikan
keefektifan Blog dalam membangun komunitas guru alternatif yang juga efektif
sebagai pengembangan kompetensi penggunanya (Hou, Chang, & Sung, 2009;
Tang & Lam, 2014; Wang, 2011; Yang, 2009).
Setelah

pengoptimalan

komunitas

profesional

guru

dioptimalkan,

selanjutnya adalah mengoptimalkan komunitas guru di daerah-daerah terpencil.
Minimnya akses untuk dapat menjangkau daerah terpencil menjadikan komunitas
guru di daerah tersebut menjadi tidak optimal, dan tidak memungkinkan bagi para
guru dengan kompetensi yang mumpuni yang sebagian besar tinggal di perkotaan
untuk datang ke daerah terpencil. Salah satu upaya untuk mengoptimalkan
komunitas profesional guru yang berada di daerah terpencil adalah dengan
menggunakan media, seperti video atau buku.
Dengan dukungan pemerintah, hal ini memiliki kemungkinan besar untuk
dapat dilaksanakan di Indonesia. Komunitas guru yang didalamnya terdapat
kegaiatan berbagai pengalaman, mengkritisi konsep dan juga berinovasi, dapat
diabadikan dalam sebuah media video atau buku. Setelah hasil dari kegiatan
komunitas ini diabadikan dalam dalam media video atau buku, selanjutnya buku
dan video tersebut diperbanyak dan kirimkan kepada guru-guru yang berada di
daerah terpencil. melalui media video atau buku yang merupakan hasil dari
kegiatan komunitas guru di perkotaan, guru-guru yang berada di daerah terpencil
juga akan mendapatkan pengalaman dan ilmu yang juga dapatkan oleh para guru
dalam komunitas profesional guru di perkotaan. Guru-guru di pedesaan juga dapat
mengemukakan masalah-masalah mereka dalam bentuk rekaman yang nantinya
dapat dibahas dalam kegiatan komunitas guru di perkotaan.

10

Peran pemerintah dalam mendukung terlaksananya kegiatan ini sangat
berpengaruh. Seperti dalam hal memperbanyak video atau buku sebagai medaia
dalam komunitas profesional, menyalurkan video atau buku tersebut kepada guruguru di berbagai daerah terpencil melalui pemerintah daerah masing-masing,
hingga menyediakan alat perekam dan pemutar video bagi guru-guru di daerah
terpencil. Berbagi dan menerima pengalaman melalui media video atau buku
dapat menambah pengalaman dan pengetahuan guru guna memperbaiki dan
mengambangakan kualitas pengajaran mereka (Van Es, 2012, p. 182). Hal ini
seharusnya dapat dilakukan secara berkelanjutan, sehingga kesenjangan yang ada
dalam kompetensi pengajaran guru di daerah-daerah terpencil dan perkotaan dapat
terselesaikan.
Kesimpulan
Salah satu faktor kunci dari ketidakmerataan kualitas pengajaran di
Indonesia adalah perbedaan kompetensi guru di setiap daerah Indonesia.
Pengoptimalan komunitas profesional guru sekolah dasar merupakan solusi
ketidakmerataan kualitas pengajaran di Indonesia.
Komunitas profesional merupakan perkumpulan para guru untuk saling
berinteraksi dan berkomunikasi yang berfokus pada perbaikan pembelajaran dan
pengajaran. Komunitas profesional yang efektif akan menunjukkan intensitas
komunikasi yang tinggi antar guru, dimana tentu saja komunikasi tersebut
difokuskan secara khusus pada pengajaran dan pembelajaran. Para guru dalam
komunitas profesional akan lebih sering berkomunikasi tentang kemajuan para
siswanya, mengembangkan kurikulum dan juga instrumen penilaian bersamasama dan juga membantu guru lain untuk mengobservasi pembelajaran mereka
guna mendapatkan refleksi yang representatif dari pembelajaran mereka.
Pemerataan kompetensi pengajaran dapat dilakukan dengan pengoptimalan
kegiatan komunitas profesional guru. Pengoptimalan komunitas profesional guru
di perkotaan dapat dilakukan dengan menciptakan komunitas profesional online
melalui jaringan Internet. Salah satu aplikasi situs Web yang mudah digunakan
dan relevan dengan kemampuan digital guru-guru di Indonesia adalah Blog.
Pengoptimalan

komunitas

profesional

11

guru

di

daerah

terpencil

dapat

menggunakan media bantu seperti video atau buku yang berisi hasil dari kegiatan
komunitas profesional di perkotaan. Peran pemerintah sangat penting dalam
mendukung kegiatan ini. Hal ini seharusnya dapat dilakukan secara berkelanjutan,
sehingga kesenjangan yang ada dalam kompetensi pengajaran guru di daerahdaerah terpencil dan perkotaan dapat terselesaikan.

REFERENSI
Al-Samarrai, S., & Cerdan-Infantes, P. (2013). Where did all the Money Go?
Financing Basic Education in Indonesia. In Education in Indonesia (pp. 109–
138). Retrieved from http://muse.jhu.edu/books/9789814459877
Andrews, D., & Lewis, M. (2002). The experience of a professional community:
teachers developing a new image of themselves and their workplace.
Educational
Research,
44(3),
237–254.
https://doi.org/10.1080/00131880210135340
Byrd, K. (2011). What Is a Blog? - Blog Basics. Retrieved from
http://blogbasics.com/what-is-a-blog/
Cheng, Y. C., & Tsui, K. T. (1999). Multimodels of Teacher Effectiveness:
Implications for Research. The Journal of Educational Research, 92(3), 141–
150. https://doi.org/10.1080/00220679909597589
Day, C., Sammons, P., Stobart, G., Kington, A., & Gu, Q. (2007). Teachers
matter :connecting work, lives and effectiveness. Professional learning.
https://doi.org/10.1787/9789264022157-ja
Duncan-Howell, J. (2010). Teachers making connections: Online communities as
a source of professional learning. British Journal of Educational Technology,
41(2), 324–340. https://doi.org/10.1111/j.1467-8535.2009.00953.x
Farisi, M. I. (2011). Kompetensi Guru dalam Mewujudkan Pendidikan
Berkarakter dan berbasis Budaya. Jurnal Teknologi Pendidikan, 11(1)(ISSN
0854-7149),
23–33.
Retrieved
from
http://jm.tp.ac.id/view/1331224689/mohammad-imam-farisi/kompetensiguru-dalam-mewujudkan-pendidikan-berkarakter-dan-berbudaya
Hou, H.-T., Chang, K.-E., & Sung, Y.-T. (2009). Using blogs as a professional
development tool for teachers: analysis of interaction behavioral patterns.
Interactive
Learning
Environments,
17(4),
325–340.
https://doi.org/10.1080/10494820903195215
Hur, J. W., & Brush, T. A. (2009). Teacher Participation in Online Communities:
Why Do Teachers Want to Participate in Self-generated Online Communities

12

of K-12 Teachers? Journal of Research on Technology in Educati, 41(3),
279–303. https://doi.org/10.1080/15391523.2009.10782532
Levine, T. H. (2011). Experienced teachers and school reform: Exploring how
two different professional communities facilitated and complicated change.
Improving
Schools,
14(1),
30–47.
https://doi.org/10.1177/1365480211398233
Lieberman, A., & Miller, L. (2008). Teachers in professional communities. The
Series on School Reform.
McLaughlin, M. W., & Talbert, J. E. (2006). Building school-based teacher
learning communities. professional strategies to improve student
achievement.
OECD. (2016). Education at a Glance 2016: OECD Indicators. OECD
Publishing. https://doi.org/10.1787/eag-2016-en
Scott, E. S. (2005). Peer-to-peer mentoring: teaching collegiality. Nurse Educator,
30(2), 52–6. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15785339
Stoll, L., Bolam, R., McMahon, A., Wallace, M., & Thomas, S. (2006).
Professional Learning Communities: A Review of the Literature. Journal of
Educational Change, 7(4), 221–258. https://doi.org/10.1007/s10833-0060001-8
Talbert, J. E., & Mclaughlin, M. W. (2002). Professional Communities and the
Artisan Model of Teaching. Teachers and Teaching, 8(3), 325–343.
https://doi.org/10.1080/135406002100000477
Tang, E., & Lam, C. (2014). Building an effective online learning community
(OLC) in blog-based teaching portfolios. Internet and Higher Education, 20,
79–85. https://doi.org/10.1016/j.iheduc.2012.12.002
UE, Outlook, E. P., & UE. (2014). Education Policy Outlook 2015. Ocde.
https://doi.org/10.1787/9789264225442-en
Van Es, E. A. (2012). Examining the development of a teacher learning
community: The case of a video club. Teaching and Teacher Education,
28(2), 182–192. https://doi.org/10.1016/j.tate.2011.09.005
Wang, Y. (2011). Blog for teacher implicit knowledge sharing model
construction. In Proceedings - 2011 International Conference of Information
Technology, Computer Engineering and Management Sciences, ICM 2011
(Vol. 3, pp. 363–367). https://doi.org/10.1109/ICM.2011.246
Warren Little, J. (2003). Inside Teacher Community: Representations of
Classroom Practice. Teachers College Record, 105(6), 913–945.
https://doi.org/10.1111/1467-9620.00273

13

Wood, D. R. (2007). Professional Learning Communities: Teachers, Knowledge,
and
Knowing.
Theory
Into
Practice,
46(4),
281–290.
https://doi.org/10.1080/00405840701593865
Yang, S. H. (2009). Using blogs to enhance critical reflection and community of
practice. Educational Technology and Society, 12(2), 11–21.
https://doi.org/10.2307/jeductechsoci.12.2.11

14