Antara Perokok Pasif Dan Aktif

Antara Perokok Pasif Dan Aktif
By : Em Sa’dun Irfan.
Manusia sebagai makhluk sosial butuh untuk bersosialisasi dengan yang lain. Satu sisi punya hakhak yang harus dipenuhi, di sisi lain juga ada kewajiban- kewajiban yang harus dilaksanakan. Dalam
konsep sosial, kewajiban dan hak seseorang dibatasi oleh hak dan kewajiban orang lain, namun konsep
ini masih menyisakan problem, kendati menurut pepatah Jawa dikatakan “sing waras ngalah”.
Contoh nyata, ketika kita sedang berkumpul dalam sebuah majelis, dan mayoritas jama’ahnya para
perokok serta sebagian lain ada yang mengidap penyakit TBC, sementara dalam dunia medis
dipaparkan, bahwa para perokok pasif lebih berbahaya daripada perokok aktif dan para penderita TBC
dilarang berludah di sembarang tempat karena ludahnya dapat menyebabkan penularan, dan masih
banyak aturan- aturan yang lain, padahal para penderita TBC kebanyakan sering meludah karena
banyaknya lendir-lendir pada tenggorokan yang harus dikeluarkan. Ungkapan ini menjadi problematika
dilematis bagi para jama’ah. Satu sisi harus menyelesaikan hal- hal dalam majelis, di sisi lain kondisi
majelis kurang bersahabat karena para penderita senantiasa meludah setiap saat, sementara para
perokok terus menghirup rokok dan menghembuskan asapnya dengan santai.
Secara yuridis syara’, bolehkah merokok dalam majelis padahal sebagian jama’ah ada yang
mengidap penyakit TBC dan ada perokok pasif? Dalam permasalahan ini, kami akan mencoba lebih
menguraikan secara pendekatan.
Syara’ diberlakukan demi kelangsungan manusia sebagai mahluk sosial. Syara’ tidak melarang
umatnya untuk memanfaatkan kepemilikan yang bersifat pribadi dengan cara apapun selama
menggunakan dalam wilayah sendiri. Akan tetapi jika kepemilikan digunakan di tempat- tempat umum,
maka syara’ membatasinya dengan tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain.

Suatu perbuatan berpotensi membahayakan orang lain ketika terdapat ghalabah al-dzan (dugaan
kuat) terjadinya dlarar (bahaya) yang setara dengan dlarar yang memperbolehkan melakukan tayamum.
Hal ini senada dengan hadist Nabi yang artinya :
“Tidak diperbolehkan mencelakai dan balas mencelakai”. (HR. al- Baihaqi)
Salah satu bentuk usaha syara’ menjaga kelangsungan hidup sesama ialah diberlakukannya
hukum makruh untuk menghindari suatu majelis bagi orang –orang yang telah memakan makanan yang
berbau menyengat seperti bawang merah atau putih sebagaimana sabda Nabi :
“Barang siapa yang (baru saja) memakan (dan belum membersihkan diri) sayuran semacam ini,
maka hendaknya ia tidak mendekati kami”. (HR. Ahmad)
Dari hadits ini kita bisa fahami, bahwa dalam sebuah majelis, hendaknya seseorang harus
menghargai yang lainnya dan sebisa mungkin tidak menyakiti komunitas dengan segala bentuk
gangguan semacam menyebarkan bau yang menyengat, merokok, dan sebagainya. Khusus bagi
pengidap penyakit menular, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Sahabat Umar RA terhadap
pengidap lepra.

Maka dapat disimpulkan bahwa merokok dalam majelis yang sebagian anggota ada perokok pasif
dan pengidap penyakit TBC, tidak diperbolehkan, apabila ada ghalabah al- dzan (dugaan kuat)
terjadinya dlarar (bahaya) yang menjadi penyebab seseorang boleh melakukan tayammum.
Wallahua’lam.
Referensi :










36 ‫ ص‬3 ‫)الترمسى )ج‬
‫( الجامع‬216-209 ‫ ص‬6 ‫تحفة المحتاج في شرح المنهاج )ج‬
‫( الجامع‬14-13 ‫ ص‬3 ‫فتاوى الرملي )ج‬
‫( الجامع‬91 ‫ ص‬3 ‫حاشيتا قليوبي و عميرة )ج‬
‫( الجامع‬66-8 ‫ ص‬3 ‫الفتاوى الفقهية الكبرى )ج‬
‫( الجامع‬236-235 ‫الحكا م السلطا نية للماوردي )ص‬
‫( الجامع‬99 ‫ ص‬3 ‫حاشية البجيرمي على الخطيب )ج‬