Pengaruh Rasio Tepung Talas, Pati Talas, dan Tepung Terigu dengan Penambahan CMC terhadap Sifat Kimia dan Organoleptik Mi Instan

  

TINJAUAN PUSTAKA

Talas

  Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) merupakan salah satu umbi-umbian yang banyak ditanam di Indonesia. Talas termasuk divisi Spermatophyta, subdivisi Monocotyledoneae, ordo Aracales, famili Araceae, genus Calocasia dan spesies Colocasia esculenta (L.) Schott. Tanaman talas mempunyai variasi yang besar baik karakter morfologi seperti umbi, daun dan pembungaan serta kimiawi seperti rasa dan aroma tergantung varietas dan tempat talas di tanam (Hartati dan Prana, 2003).

  Talas banyak dibudidayakan di Indonesia karena talas dapat tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan tidak terlalu memerlukan pengairan. Tanaman ini juga dapat dijadikan sebagai tanaman sela dan dapat tumbuh sepanjang tahun di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi. Di Indonesia dijumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai ke pegunungan dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Talas berbentuk silinder atau lonjong sampai agak bulat. Kulit umbi talas berwarna kemerahan, bertekstur kasar, dan terdapat berkas-berkas pertumbuhan akar (Onwueme, 1994).

  Talas adalah tanaman herba dengan tinggi antara 0,5-1,5 m. Panjang helai daun sekitar 30-80 cm dan lebar daun antara 20-50 cm. Panjang tangkai daun bervariasi tergantung genotipenya, antara < 30 cm-1,5 m. Ukuran daun sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Jenis-jenis talas di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis talas di Indonesia

  Gambar Jenis Talas Sifat Fisik 1. Daun berbentuk hati dengan ujung Talas Bogor (Colocasia pelepah daunnya tertancap agak esculenta L. ketengah helai daun sebelah bawah.

  ) Bunga terdiri atas tangkai seludang Schoott dan tongkol. Bunga betinanya terletak di pangkal tongkol, bunga jantan disebelah atasnya, sedang diantaranya terdapat bagian yang menyempit.

  Tanaman dipanen setelah berumur 6-9 bulan. Hasil per rumpun sangat bervariasi yaitu berkisar 0,25-6 kg.

  2. Kimpul tergolong tumbuhan berbunga Talas Kimpul (Xanthosoma Agiospermae ” dan berkeping satu sagitifolium ) “Monocotylae“. Daunnya hijau muda karena tangkai daunnya yang hijau muda mempunyai garis ungu. Bentuk umbi kimpul silinder hingga agak bulat, terdapat ruas dengan beberapa bakal tunas. Kulit umbi mempunyai tebal sekitar 0,01–0,1 cm, sedangkan korteksnya setebal 0,1 cm.

  Batang umbi (panjangnya dapat

  3. Talas Banten (Xanthosoma mencapai 120 cm dengan berat 42 kg undipes K. Koch ) dan ukuran lingkar luar 50 cm), kandungan oksalatnya yang tinggi (61,783 ppm).

  

4. Talas Ketan Hitam Talas jenis ini tangkai daunnya

berwarna ungu tua. Umbinya bulat lonjong dan daging umbinya putih.

  Umur panen sekitar 7 bulan.

  

5. Talas Semir Talas khas Sumedang. Talas ini

memiliki ciri khas pada pangkal ujung daunnya berwarna kemerah-merahan.

  Umbinya bulat, umur panen sekitar 7 bulan. atas helaian daunnya yang hijau mengkilat seperti minyak, sehingga mudah dibedakan dari talas-talas lainnya. Umbinya bulat lonjong, beratnya antara 0,5-3 kg. Umur panen sekitar 6-7 bulan. Memiliki

  kandungan pati 70-80%, sehingga memiliki potensi untuk bahan baku tepung-tepungan.

  Kalsium (mg) 31,00

  69,20 Bagian yang dapat dimakan (%) 85,00

  2,00 Air (g)

  0,05 Vitamin C (mg)

  Karoten (mg) Vitamin B1 (mg)

  Besi (mg) 0,70

  Posfor (mg) 67,00

  Abu (g) 0,80

  Sumber: Ermayuli (2011) Kandungan Kimia Talas

  Serat (g) 0,70

  0,30 karbohidrat (g) 28,20

  1,50 Lemak (g)

  120,00 Protein (g)

  Jumlah Energi (kal)

  Tabel 2. Kandungan kimia umbi talas Kandungan gizi

  Pemanfaatan talas sebagai bahan pangan populer dikenal secara luas seperti di daerah Papua dan Jawa (Bogor, Sumedang, dan Malang). Pemanfaatan talas sebagai bahan pangan disebabkan karena talas memiliki komponen makronutrien dan mikronutrien yang mencukupi angka gizi. Kandungan kimia umbi talas dipengaruhi oleh varietas, iklim, kesuburan tanah, dan umur panen (Lingga, dkk., 1990). Kandungan kimia umbi talas secara umum per 100 g dapat dilihat pada Tabel 2.

  Sumber: Lingga, dkk. (1990)

  Menurut Onwueme (1994), talas mengandung karbohidrat berkisar antara 13–29% dengan komponen utama adalah pati yang mencapai 77,9%. Namun umbi talas mengandung kristal kalsium oksalat yang dapat menyebabkan rasa gatal di mulut. Hal ini menyebabkan konsumsi makanan tinggi asam oksalat dalam jangka panjang dapat menyebabkan kekurangan gizi karena akan menghambat penyerapan kalsium pada tubuh. Banyak perlakuan yang dilakukan untuk mereduksi kadar kalsium oksalat pada umbi talas, agar tidak menimbulkan gatal-gatal pada saat dikonsumsi. Kristal kalsium oksalat dapat dikurangi bahkan dapat dihilangkan dengan perendaman dalam larutan garam, pengukusan, perebusan, penggorengan, pemanggangan, dan kombinasi perlakuan tersebut. Jumlah kadar oksalat yang diizinkan sehingga layak untuk dikonsumsi adalah sebesar 71 mg/100 g (Sefa-Dedeh and Agyir-Sackey, 2004).

  Reaksi metatesi adalah jenis reaksi kimia dimana terjadi pertukaran antar dua reaksi yang berbeda seperti reaksi yang berlangsung antara asam dan garam.

  Reaksi metatesis ditandai dengan terbentuknya endapan, gas atau zat yang langsung terurai menjadi gas (Schumm, 1978). Pengurangan asam oksalat dilakukan dengan perendaman dalam larutan garam (NaCl) untuk mengurangi efek gatal pada talas. Garam terbentuk dari hasil reaksi asam dan basa yang terdiri dari ion positif (kation) dan ion negatif (anion), sehingga membentuk senyawa

  netral (tanpa muatan). NaCl akan terionisasi di dalam air menjadi ion Na dan Cl yang akan berikatan dengan kalsium oksalat membentuk natrium oksalat dan endapan kalsium diklorida yang larut dalam air dengan reaksi sebagai berikut:

  2

  4

  

2

  2

  4

  2 CaC O + 2 NaCl Na C O + CaCl

  Kalsium oksalat garam natrium oksalat kalsium diklorida

  Mi Instan

  Dipasaran dikenal beberapa jenis mi, seperti mi segar/mentah, mi basah, mi kering dan mi instan yang pada prinsipnya dibuat dengan cara yang sama.

  Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 3551-1994, mi instan didefenisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi dan siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Mi instan dikenal dengan ramen (Astawan, 2008).

  Dari segi kandungan airnya mi dapat dibedakan menjadi mi basah atau segar dan mi kering. Mi basah digolongkan dalam produk “intermedieate

  

moisture food” (makanan semi basah) yaitu suatu makanan yang mempunyai

  kadar air tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah antara 15-55% dengan kisaran Aw antara 0,65-0,85. Mi kering mempunyai kadar air ≤ 2,5% sehingga daya simpan mi kering lebih lama jika dibandingkan dengan mi basah. Mi kering sering disebut dengan mi instan (Robsons, 1976).

  Mi instan telah dikonsumsi sebagai makanan pokok pengganti nasi, oleh sebagian masyarakat dan merupakan jenis pangan yang sangat luas penyebarannya. Tetapi pada dasarnya mi instan tidak bisa dijadikan makanan pokok, karena kandungan gizinya tidak mencukupi angka kecukupan gizi (Haryadi, 1992). Mi instan banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena harganya relatif murah, nilai kalori cukup tinggi, dan dapat diproduksi dalam berbagai bentuk yang menarik serta daya tahan yang cukup tinggi (Harper, dkk., 1979).

  Komposisi Mi Instan

  Nilai gizi mi pada umumnya dapat dianggap cukup baik karena selain karbohidrat terdapat sedikit protein yang disebut glutein. Kandungan protein utama tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mi adalah gluten. Gluten dapat dibentuk dari gliadin (prolamin dalam gandum) dan glutenin. Protein dalam tepung terigu untuk pembuatan mi harus dalam jumlah yang cukup tinggi supaya mi menjadi elastis dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksinya.

  Mutu atau resep yang digunakan oleh pabrik sangat banyak sehingga nilai gizinya pun sangat bervariasi (Judoadmijojo, 1985). Kandungan gizi mi secara umum dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan mi instan secara umum

  Kandungan gizi Komposisi per 100 g Rata per porsi Protein (g)

  10

  7 Lemak (g) 5 3,5 Kolestrol (mg) max 3 max 2,1 Karbohidrat (g)

  69

  48 Kadar air (g) max 11 max 8 Energi (Kkal) 362 254 Mineral (g) a 6 4,2

  Sumber: Winarno (2002)

  Aroma dari suatu makanan dapat timbul karena adanya senyawa-senyawa volatil yang mudah menguap dari makanan. Aroma dari setiap makanan berbeda- beda. Rasa dari suatu makanan dipengaruhi oleh aroma makanan, bumbu masakan, bahan makanan, keempukan/kekenyalan makanan, kerenyahan makanan, dan tingkat pematangan dari makanan (Rejeki, dkk., 2012).

  Semua produk pangan yang dihasilkan harus memenuhi standar yang telah dibuat. Setiap produk pangan memilki Standar Nasional Indonesia supaya bahan pangan yang dikonsumsi memiliki mutu yang tetap. Syarat mutu mi instan dapat dilihat pada Tabel 4.

  Tabel 4. Syarat mutu mi instan No Kriteria uji Satuan Persyaratan

  1 Keadaan Tekstur Normal/dapat diterima -

  • Aroma

  Normal/dapat diterima

  • Rasa

  Normal/dapat diterima

  • Warna

  Normal/dapat diterima 2 - Benda asing Tidak boleh ada

  3 Keutuhan %b/b Min. 90

  4 Kadar air Proses penggorengan %b/b Maks. 10,0 Proses pengeringan %b/b Maks. 14,5

  5 Kadar protein Mi dari terigu %b/b Min. 8,0 Mi dari bukan terigu %b/b Min. 4,0

  6 Bilangan asam mg KOH/gram Maks. 2 minyak

  7 Cemaran logam Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,05

  8 Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5

  9 Cemaran mikroba

  6 Angka lempeng total Koloni/g Maks 1,0 x 10

  E. coli APM/g < 3

  • Salmonela Negatif per 25 g

  3 Kapang Koloni/g Maks. 1,0 x 10 Sumber : SNI 01-3551-2000 Bahan Baku Pembuatan Mi Instan Tepung terigu

  Bahan baku utama dalam pembuatan mi instan adalah tepung terigu, tepung tapioka, dan air. Tepung terigu berasal dari gandum, dimana pada umumnya gandum diklasifikasikan berdasarkan atas kekerasan dari gandum dan protein yang dikandungnya serta warna butir gandum itu sendiri. Pada perusahaan makanan, tepung terigu yang digunakan harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu tepung terigu jenis hard flour (jenis kuat) dimana tepung terigu jenis ini memiliki kandungan gluten yang tinggi sehingga bisa menghasilkan adonan yang elastis dan tidak mudah putus. Jumlah kadar gluten sesuai dengan standar adalah minimal 9% dan maksimal 14% (Kent, 1983).

  Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mi. Tepung terigu diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Tepung terigu mempunyai gluten yang tidak dimiliki oleh serealia lainnya. Gluten tersebut berperan penting dalam membuat massa adonan tepung menjadi ulet dan menyebabkan mi yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan. Mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki kadar air 14%, kadar protein 8-12%, kadar abu 0,25-0,60%, dan gluten basah 24-36% (Astawan, 2008).

  Pada tepung, serat kasar lebih tinggi dibandingkan dengan pati. Penentuan serat kasar pada bahan pangan sangat penting dalam penilaian kualitas bahan pangan karena angka ini merupakan indeks dan menentukan nilai gizi bahan makanan. Serat kasar mengandung selulosa, lignin, dan zat lain yang belum dapat diidentifikasi dimana tidak dapat dicerna oleh pencernaan manusia dan binatang. Serat kasar dapat dipakai untuk menentukan kemurnian bahan dan efisiensi proses (Sudarmadji, dkk., 1989).

  Hubungan antara tepung gandum (flour), protein, gluten jaringan, dan produk adalah mutu produk yang dihasilkan ditentukan oleh kandungan gluten jaringan tepung tersebut. Mutu jaringan tersebut ditentukan oleh kuat gluten (daya ikat air oleh gluten). Kuat gluten ditentukan oleh jumlah protein yang ada dan jumlah protein ditentukan oleh jenis tepung yang digunakan (Subagjo, 2007). Komposisi kimia tepung terigu dihitung per 100 g bahan dapat dilihat pada Tabel 5.

  Tabel 5. Komposisi kimia tepung terigu per 100 g bahan Komponen Kadar

  Kadar air (%) 12,00

  Karbohidrat (%) 74,5 Protein (%)

  11,80 Lemak (%)

  1,20 Abu (%)

  0,46 Kalori (kal) 340

  Sumber : Kent (1983) Tepung talas

  Tepung merupakan bentuk hasil pengolahan bahan yang dilakukan dengan memperkecil ukuran bahan menggunakan metode penggilingan sehingga luas permukaan bahan meningkat dan kandungan air bahan menjadi rendah. Menurut Winarno (1997), tepung merupakan produk yang memiliki kadar air rendah sehingga daya awetnya pun tinggi. Proses penggilingan bahan disebabkan oleh bahan yang ditekan dengan gaya mekanis dari alat penggiling. Tepung mekanis pada proses penggilingan diikuti dengan peremukan bahan dan energi yang dikeluarkan sangat dipengaruhi oleh kekerasan bahan dan kecenderungan bahan untuk dihancurkan (Hubeis, 1984).

  Kandungan protein suatu bahan mempengaruhi daya penyerapan air oleh bahan karena protein memiliki gugus yang bersifat hidrofilik dan bermuatan sehingga dapat mengikat air. Semakin banyak air yang diikat oleh tepung maka semakin baik tekstur bahan pangan yang dihasilkan (Kusnandar, 2010).

  Talas memiliki potensi untuk dapat digunakan sebagai bahan baku tepung- tepungan karena memiliki kandungan pati yang tinggi, yaitu sekitar 70-80%

  (Quach, dkk. 2000). Selain itu, tepung talas memiliki ukuran granula yang kecil, yaitu sekitar 0,5-5 µm. Ukuran granula pati yang kecil dapat membantu individu yang mengalami masalah dengan pencernaannya karena talas mudah untuk dicerna.

  Secara umum, pengeringan dengan menggunakan alat pengering lebih baik daripada menggunakan sinar matahari. Kelebihannya antara lain suhu pengeringan dan laju alir udara panas yang dapat dikontrol, kebersihan yang lebih terjaga, dan pemanasan terjadi secara merata. Proses pengeringan pada pembuatan tepung merupakan salah satu tahapan yang krusial, karena menentukan kualitas dan keawetan dari produk olahan selanjutnya dari tepung tersebut. Suhu dan waktu pengeringan merupakan faktor penting dalam pengeringan yang akan mempengaruhi mutu produk akhir (Heldman dan Lund, 2007). Penepungan talas juga dapat mengurangi kerugian karena panen raya (Hartati dan Prana, 2003). Sifat kimia tepung talas dan tepung terigu sebagai pembanding per 100 g dapat dilihat pada Tabel 6.

  Tabel 6. Kandungan kimia tepung talas dan tepung terigu per 100 g Jenis tepung

  Sifat kimia

  a b

  Talas Terigu Abu (% bk) 2,24 1,13 Lemak (% bk) 2,01 1,113 Protein (% bk) 3,9 10,2 Karbohidrat (% bk) 91,7 87,53 Serat Kasar (% bk) 2,7 0,34 Energi (kal) 400,91 377,55

  Sumber: a = Lingga, dkk. (1990) b = Direktorat Bina Gizi Masyarakat (1995)

  Proses pengeringan yang paling optimal menurut Mohamed dan Hussein (1994) dilakukan pada suhu pengeringan 60ºC selama 22 jam, yang pada akhirnya akan didapatkan kadar air tepung ± 9,89%. Hasil dari pengeringan tersebut kemudian digiling dengan pin disc mill. Pembuatan tepung talas memiliki beberapa keuntungan yaitu awet, mudah diaplikasikan untuk bermacam-macam produk serta mudah penyimpanannya.

  Pati

  Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Setiap pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta struktur lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan

  b ).

  α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 2002 Pati digunakan dalam hampir setiap industri dalam berbagai bentuk. Pati dapat memberikan tekstur, kekentalan, dan meningkatkan palatabilitas dari berbagai makanan. Kegunaannya yang paling banyak adalah perekat, dalam industri fermentasi digunakan sebagai bahan baku pembuatan sirup glukosa dan kristal glukosa. Perubahan kimiawi dari pati ini dapat menambah kestabilan terhadap keadaan pH yang ekstrim dan pemanasan (retorting), kestabilan dari bentuk sol dan gel dari siklus cair-beku (freeze-thaw cyclus), kepekatan dalam media bergula dan kemampuan bergabung dengan bahan makanan yang lain (Buckle, dkk., 2009).

  Proses gelatinisasi adalah proses dimana pati bersifat larut dalam air panas sehingga mengembang dan membentuk pasta. Hal ini dikarenakan granula tempat penyimpanan zat pati dalam sel membesar sehingga dapat bercampur dengan air. Pati yang mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan. Pati yang telah kering masih dapat menyerap air sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan produk makanan instan (Auliana, 1999).

  Pati merupakan simpanan karbohidrat dalam tumbuh-tumbuhan dan merupakan karbohidrat utama yang dikonsumsi manusia di seluruh dunia.

  Komposisi amilosa dan amilopektin berbeda dalam pati berbagai bahan makanan. Amilopektin pada umumnya terdapat dalam jumlah lebih besar. Sebagian besar pati mengandung antara 15% dan 35% amilosa. Rantai-rantai amilosa dan amilopektin tersusun dalam bentuk semi kristal yang menyebabkan tidak larut dalam air dan memperlambat proses pencernaannya oleh amilase pankreas. Bila dipanaskan dengan air, struktur kristal rusak dan rantai polisakarida akan mengambil posisi acak. Hal ini yang menyebabkannya mengembang dan memadat (gelatinisasi). Cabang-cabang yang terletak pada bagian amilopektin yang terutama sebagai penyebab terbentuknya gel yang cukup stabil. Proses pemasakan pati dapat menyebabkan terbentuknya gel, melunakkan, dan memecah sel, sehingga mempermudah proses pencernaan. Dalam proses pencernaan semua bentuk pati dihidrolisa menjadi glukosa (Almatsier, 2004).

  Dalam keadaan murni, granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau, dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan tipis yang tersusun terpusat. Granula pati bervariasi dalam bentuk dan ukuran yaitu ada yang berbentuk bulat, oval, bahkan tak beraturan demikian juga ukurannya tergantung sumber patinya (Koswara, 2006).

  Daya serap air menunjukkan kemampuan bahan pangan dalam menyerap air. Daya serap air suatu bahan tergantung pada jumlah pati dalam adonan dimana penurunan daya serap air disebabkan penurunan kadar pati dalam adonan (Widaningrum, dkk., 2005). Daya serap air mi instan dipengaruhi oleh kemampuan mi dalam menyerap air. Nilai daya serap air yang terlalu tinggi tidak diinginkan karena granula pati akan mudah pecah. Daya serap mi berbanding lurus dengan nilai rehidrasi mi. Semakin tinggi rehidrasi mi kering maka semakin besar daya serap air mi instan (Kusrini, 2008).

  Pada dasarnya kehilangan padatan akibat pemasakan terjadi pada mi disebabkan oleh sebagian pati lepas dari untaian mi pada saat pemasakan.

  Kehilangan padatan akibat pemasakan juga disebabkan oleh kurang optimumnya matriks pati tergelatinisasi mengikat pati yang tidak tergelatinisasi (Merdiyanti, 2006). Kehilangan padatan akibat pemasakan adalah faktor penting dalam menilai mutu produk mi dari pati. Nilai kehilangan padatan akibat pemasakan yang lebih rendah menunjukkan mi yang baik. Nilai kehilangan padatan akibat pemasakan mi dari pati yang diterima oleh standar mi pati di China dan Thailand memiliki nilai yang tidak lebih dari 10% (Lii dan Chang, 1981).

  STPP (Sodium Tripoly Phospate)

  Pada pembuatan mi biasanya ditambahkan garam alkali yang bertujuan untuk meningkatkan elastisitas dan ektensibilitas mi. Menurut Astawan (2008) jenis garam alkali yang biasa digunakan dalam pada pembuatan mi antara lain,

  2

  3

  sodium karbonat (Na CO ) atau dikenal dengan nama soda abu, potasium

  2

  3

  karbonat (K CO ) atau kalium karbonat, STPP (sodium tripolifosfat), dan kansui (air abu).

  Fungsi STPP adalah untuk mempengaruhi tekstur mi menjadi lebih kenyal, selain itu juga dapat mengikat aktivitas air sehingga kerusakan mikrobiologis dapat dicegah. Penggunaan STPP yang diizinkan adalah 3 g per kg berat adonan atau 0,3%. Batas penggunaan STPP tergantung dari jenis mi yang akan dibuat dan bahan baku yang digunakan (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

  Fungsi penambahan garam alkali ke dalam pembuatan mi adalah sebagai berikut: a. Menguatkan struktur gluten sehingga menjadi mi yang lentur

  b. Mengubah sifat pati tepung terigu sehingga menjadi lebih kenyal

  c. Mengubah sifat zat warna (pigmen) dalam terigu sehingga lebih cerah d. Semakin besar garam alkali yang digunakan maka mi semakin keras dan kenyal.

  

Namun penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan bau yang tidak sedap pada

mi yang dihasilkan (Astawan, 2008).

  Garam

  Natrium klorida sangat berpengaruh dalam proses pengolahan bahan pangan. Pada konsentrasi rendah mempengaruhi cita rasa yaitu persyaratan terhadap organoleptik sedangkan pada konsentrasi tinggi garam sebagai pengawet bahan makanan. Pada konsentrasi tinggi dapat mengubah beberapa faktor dalam komponen gizi berbagai bahan pangan. Dalam pembuatan mi, penambahan garam dapur untuk memberi rasa, memperkuat tekstur mi, meningkatkan fleksibilitas, dan elastisitas mi, serta untuk mengikat air. Selain itu, garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2008).

  Penggunaan garam 1-2% akan meningkatkan kekuatan lembaran adonan dan mengurangi kelengketan, sehingga mempermudah proses pencetakan mi dan menghasilkan mi yang elastisitas. Di Jepang, pembuatan mi pada umumnya ditambahkan 2 atau 3% garam ke adonan mi. Jumlah ini merupakan kontrol terhadap α-amilase (Winarno, 1991).

  CMC (Carboxyl Methyl Celulose)

  Surfaktan yang digunakan pada bahan pangan bertujuan untuk meningkatkan mutu produk dan mempermudah dalam proses pengolahan.

  Pemakaian surfaktan dapat meningkatkan viskositas, tekstur, mouthfeel, dan memperpanjang daya simpannya. Surfaktan adalah pengemulsi, penstabil, pengental, dan pembasah. CMC merupakan salah satu jenis dari surfaktan tersebut. Sebagai pengemulsi, CMC sangat baik digunakan untuk memperbaiki penampakan tekstur dari produk berkadar gula tinggi. Sebagai pengental, CMC mampu mengikat air sehingga molekul-molekul air terperangkap dalam struktur gel yang dibentuk oleh CMC (Fardiaz, 1986).

  Carboxyl Methyl Celulose adalah turunan dari selulosa dan beberapa sering dipakai dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik.

  Fungsi CMC adalah sebagai pengental, stabilisator, pembentuk gel, pengemulsi, dan dalam beberapa hal dapat meratakan penyebaran antibiotik. Pada pembuatan es krim CMC akan memperbaiki tekstur dan kristal laktosa yang terbentuk akan lebih halus (Winarno, 1995).

  Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut. Perubahan tekstur atau viskositas bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya ransangan terhadap sel reseptor olfaktori dan kelenjar air liur. Semakin kental suatu bahan, penerimaan terhadap intensitas rasa, bau, dan cita rasa semakin berkurang. Untuk menghasilkan produk pangan olahan yang dapat menimbulkan ransangan positif sering dilakukan penambahan zat-zat pengental seperti CMC karena dapat mengurangi rasa pahit dan dapat meningkatkan rasa asin NaCl sehingga dapat menutupi sifat dan karakteristik bahan baku untuk

  b menghasilkan produk olahan tersebut (Winarno , 2002).

  CMC merupakan turunan dari selulosa yang mengandung mineral (komponen anorganik) tertentu (Andarwulan, dkk., 2011). CMC yang banyak dipakai pada industri makanan adalah garam Na-karboksi metil selulosa. Natrium karboksil metil selulosa adalah polimer selulosa eter yang larut dalam air dibuat dengan mereaksikan NaOH dengan selulosa murni, kemudian ditambahkan Na-Khloroasetat.

  RselulosaOH + NaOH Rselulosa-ONa + HOH

  2

  2 Rselulosa-ONa + ClCH COONa Rseluosa-CH COONa + NaCl

  Na-Kloroasetat Na-CMC CMC mempunyai gugus karboksil sehingga viskositas larutan CMC dipengaruhi

  b oleh pH larutan (Winarno , 2002).

  Karboksi metil selulosa memiliki sifat higroskopis, mudah larut dalam air, dan membentuk larutan koloid. Pada pembuatan mi, CMC berfungsi sebagai pengembang. Bahan ini dapat mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki ketahanan terhadap air, dan mempertahankan keempukan selama penyimpanan.

  Jumlah bahan pengembang yang digunakan berkisar antara 0,5-1,0% dari berat tepung terigu. Penggunaan berlebih akan menyebabkan tekstur mi yang terlalu keras dan daya rehidrasi mi menjadi berkurang (Astawan, 2008).

  Untuk mendapatkan porositas, konsistensi, dan elastisitas yang tinggi pada mi, dapat ditambahkan bahan penunjang seperti monogliserida, lesitin, natrium karbonat dan sebagainya. Pada produk mi instan komersial sering digunakan pula kalium karbonat, natrium polifosfat, karboksimetil selulosa (CMC) dan kadang-kadang guar gum. CMC digunakan sebagai bahan pengganti fungsi gluten. Hal ini didasarkan pada peranan penting senyawa tersebut dalam keberhasilan pengembangan roti dari tepung beras. Dalam teknologi roti beras ini, CMC digunakan sebanyak 3%. Batas penggunaan ini juga dapat ditambahkan pada produk olahan dengan bahan baku tanpa atau sedikit tepung terigu (Munarso dan Haryanto, 2010).

  Penambahan bahan pengental ke dalam bahan pangan dapat meningkatkan sifat hidrofilik protein dari bahan pangan dan sifat lipofilik dari lemak, sehingga air yang diserap oleh protein lebih banyak. Pengikatan air oleh protein menyebabkan tekstur bahan pangan lebih lembut dan sifat lipofilik dari lemak menyebabkan lemak terdispersi secara merata ke dalam bahan pangan sehingga tekstur lebih seragam (Winarno, 2008).

  Air

  Penambahan air dalam adonan berfungsi untuk membentuk konsistensi adonan yang diinginkan. Umumnya air yang ditambahkan dalam pembuatan mi

  o

  antara 30-35%, suhu air yang disarankan untuk pembuatan mi sebesar 25-35

  C, untuk mengaktifkan enzim amilase yang akan memecah pati menjadi dekstrin dan protease yang akan memecah gluten, sehingga menghasilkan adonan lembut dan

  o

  halus. Jika suhu kurang dari 25 C adonan menjadi keras, rapuh, dan kasar. Jika

  o

  suhu lebih dari 40 C akan menghasilkan mi dengan tingkat elastisitas yang menurun dan kelengketannya meningkat (Bhusuk dan Rasper, 1994).

  Air merupakan komponen penting dalam pengembangan gluten, selain itu juga berfungsi sebagai media dalam pencampuran garam dan pengikatan karbohidrat sehingga membentuk adonan yang baik. Air akan menyebabkan serat-serat gluten mengembang, karena gluten menyerap air. Semakin banyak air yang diserap semakin kembang adonan yang dihasilkan. Konsentrasi air yang ditambahkan pada pembuatan mi harus sesuai karena akan mempengaruhi

  b terhadap tekstur mi yang dihasilkan (Winarno , 2002).

  Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan bahkan dalam bahan makanan yang kering seperti buah kering, tepung, serta biji-bijian terkandung air dalam jumlah tertentu. Selain merupakan bagian dari suatu bahan makanan, air merupakan pencuci yang baik bagi bahan makanan tersebut atau alat-alat yang digunakan dalam pengolahannya. Sebagian besar dari perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan

  b itu sendiri (Winarno , 2002).

  Metode Pembuatan Mi Instan Tahap awal dalam pembuatan mi instan adalah pencampuran larutan alkali

dengan air, kemudian dimasukkan ke mesin pengadukan material yang di dalamnya

telah terdapat tepung terigu. Campuran diaduk sampai menjadi adonan yang merata,

selama 15 menit. Adonan yang terbentuk diharapkan lunak, lembut, halus, dan

kompak (Astawan, 2008). Tujuan pengadukan adalah mencampur rata air dan bahan

lainnya hingga membentuk adonan yang kalis. Waktu pengadukan yang baik sekitar

15 menit. Jika pengadukan lebih dari 25 menit, akan menyebabkan adonan keras,

rapuh, dan kering. Sementara itu, pengadukan kurang dari 15 menit akan menyebabkan adonan lengket dan tidak merata.

  Setelah adonan menjadi homogen, campuran tersebut dimasukkan ke dalam

mesin pengepres. Dalam mesin pres, adonan akan dibentuk menjadi

lembaran-lembaran, dimana pada proses ini serat-serat gluten akan menjadi halus (Astawan, 2008). Adonan mi yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam alat pembuat

lembaran secara bertahap. Awalnya, lembaran yang terbentuk berupa lempengan

tebal. Penggilingan dilakukan beberapa kali sampai diperoleh lembaran agak tebal

yang kalis/merata. Penurunan ketebalan dilakukan secara bertahap. Hal ini

disebabkan jumlah penipisan akan berpengaruh terhadap sifat mi yang dihasilkan.

  Lembaran mi yang terbentuk sebaiknya tidak sobek, permukaannya halus, dan merata serta terjaga dari kotoran (Suyanti, 2008).

  Dari lembaran tipis tersebut kemudian secara otomatis masuk ke dalam mesin

penyisir lembaran tipis membentuk untaian tali seperti pita dengan selera konsumen

(Ubaidillah, 1997). Lembaran mi dimasukkan ke dalam alat pemotong mi dan alat

diputar sampai lembaran mi terpotong habis. Potongan mi ditaburi dengan tepung

tapioka dan siap untuk dimasak atau disimpan (Suyanti, 2008). Mi dibuat dalam

bentuk pilinan (bergelombang) karena memiliki keuntungan, diantaranya adalah

mempercepat laju penguapan dan penggorengan karena adanya konduksi panas dan

sirkulasi panas dari minyak di dalamnya (Astawan, 2008).

  Setelah melalui proses pencetakan dilakukan pemasakan mi dengan pemanasan. Pemanasan ini menyebabkan gelatinisasi dan koagulasi gluten. Menurut Astawan (2008) gelatinisasi ini dapat menyebabkan :

  • • Pati tergelatinisasi dan membentuk lapisan tipis (film) yang dapat mengurangi

    penyerapan minyak dan memberikan kelembutan mi
  • Meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mi

  • Gelatinisasi pati dan koagulasi gluten terjadi pada proses pengukusan sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan timbulnya kekenyalan mi. Hal ini disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati dan gluten lebih rapat. Sebelum dikukus, ikatan bersifat lunak dan fleksibel, tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat.

  Setelah proses pengukusan, mi dikeringkan untuk mengurangi kadar air bahan

dan menurunkan Aw bahan. Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi awet

dengan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat

ruang pengangkut dan pengepakan. Disamping itu pengeringan juga mempunyai

beberapa kelemahan yaitu terjadi perubahan warna, tekstur, kandungan gizi, aroma

yang mudah menguap dan memucatkan pigmen, perubahan struktur serta dapat

menimbulkan bahan gosong pada kondisi pengeringan yang tidak terkendali

(Buckle, dkk., 2009). Dengan penggorengan, mi menjadi matang sehingga

penyajiannya hanya dengan menyeduh mi dengan air mendidih atau memasaknya dalam beberapa menit. Pada saat penggorengan mi yang digunakan adalah minyak padat agar permukaan mi tidak mengkilap seperti jika digoreng dengan minyak biasa (Suyanti, 2008).

  Mi yang telah kering didinginkan untuk melepaskan sisa uap panas. Jika tidak

didinginkan, sisa uap panas akan terkondensasi saat dikemas sehingga memberi

peluang jamur untuk tumbuh (Suyanti, 2008). Mi yang telah digoreng didinginkan

dengan menggunakan kipas angin dalam mesin pendingin. Mesin ini bekerja dengan

meniupkan angin ke arah mi panas. Proses pendinginan ini akan menyebabkan

pengerasan minyak yang terserap dan menempel pada mi sehingga mi pun menjadi

keras (Astawan, 2008).

  Selanjutnya mi dikemas dengan kemasan yang telah disediakan. Tujuan

pengemasan adalah untuk melindungi bahan dari kerusakan fisik akibat tekanan,

  

melindungi produk dari cemaran, serta memudahkan penyimpanan, pengangkutan,

distribusi, dan sebagai alat pemikat bagi pembeli. Produk mi dengan kemasan yang

tepat dapat melindungi produk dari pengaruh lingkungan yang mempercepat

kerusakan dan mempersingkat umur simpannya (Suyanti, 2008).

  Studi Pendahuluan Tepung talas digunakan untuk substitusi tepung terigu pada pembuatan mi

basah. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan rasio

tepung talas dan tepung terigu: (0:100, 10:90, 20:80, 30:70, 40:60, dan 50:50)%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan tepung talas dan tepung terigu

berpengaruh berbeda nyata pada kadar air, kadar abu, elastisitas, warna, dan rasa mi

basah. Dari hasil penelitian mi basah yang terbaik terdapat pada rasio 20:80

(Permatasari, dkk., 2009)

  Pada penelitian ini digunakan rasio tepung talas, pati talas, dan tepung terigu

(80:0:20, 60:20:20, 40:40:20, 20:60:20, 0:80:20)% dengan penambahan CMC

(konsentrasi 1%, 2%, dan 3%) sebagai pengental untuk menggantikan fungsi gluten

pada pembuatan mi instan.